
Baca Novel Cinta Tak Semudah Kata C.I.N.T.A
Monday, April 18, 2016
Comment
CINTA TAK
SEMUDAH KATA
C.I.N.T.A
Penulis : Azizah Attamimi
Saat aku tak mengenali bagaimana aku diizinkan untuk benar –benar menyimpan perasaan itu di hati hingga mati…
Hingga semuanya terjadi, dan itulah yang tak semudah diucapkan
TAKDIR…
Situbondo, Agustus
Satu,,,
Aku heran kenapa kata CINTA selalu dijadikan prioritas utama dalam kisah
hidup setiap manusia. Seperti tidak ada hal lain saja yang lebih penting
dari sekedar kisah romantis antara sepasang manusia laki –laki dan
perempuan. Bukanlah karier, cita -cita masa depan yang diperjuangkan,
melainkan restu CINTA yang diperjuangkan hingga mencapai bingkai
pelaminan. Setelah semua itu, barulah kembali mengingat karier tujuan
semula. Aku hanya bisa tersenyum saja, apalagi saat aku merasakannya.
Aku benar –benar mengerti kenapa kata CINTA selalu jadi menu utama dalam
daftar cobaan hidup. Sedih, susah, senang, itu sudah biasa, bahkan
wajib untuk dirasakan hidup dalam mengiringi kisah cinta.
Secuil kisah cintaku dimasa lalu…
Awalnya aku memang „masa bodoh‟ dengan urusan cinta. Tapi, ketika hati
kecilku ini telah memandang seseorang yang biasa dengan sebuah ketulusan
dan kasih sayang, rasanya aku tidak mau memperdulikan lainnya lagi.
Hanya dia yang terpandang dalam hidupku.
Ya, aku jatuh cinta padanya…
Kata orang anak SMP itu baru belajar apa yang namanya cinta tapi masih
tahap monyet, alias cinta monyet. Dan mengenali Cinta yang sesungguhnya
saat SMA. Begitu juga denganku. Semua berawal sejak dia selalu mencuri
pandanganku. Saat itu sedang kegiatan classmeeting pertandingan final
antara kelasku, a dan kakak kelas b. Pertandingan voli yang sangat seru
dan cukup menegangkan, karena kedua tim sama – sama kuat. Saking
serunya, tak ada satu orang guru maupun murid yang beranjak dari
tempat penonton. Semua bagian luar lapangan terpenuhi oleh orang –orang
itu. Jika kamu terlambat maka kamu tidak akan mendapatkan satu tempat
untuk berdiri sekalipun.
“Ami! Semangat!!” Teriak kawan –kawan menyemangati aku. Satu sekolahpun
tahu kalau aku pentolan pemain voli nomor satu di sekolah.
Sekejap memejamkan mata, mengingat akan Tuhan sang pencipta. Aku lempar
bola ke atas dan SmaaSh! Permainan di mulai. Ribuan pasang mata tak
henti –hentinya mengikuti lari bola kesana –kemari. Aku sangat menikmati
permainan ini, dibawah terik matahari yang mulai meninggi hampir tepat
keatas kepala. Lompat sana, pukul sini, dan Goal! Tim ku unggul tellak
dalam dua babak. Dan sekarang babak terakhir. Babak penentuan siapa
pemenang yang sesungguhnya.
3
Pertandingan semakin sengit, mereka mengatur kembali strategi baru yang
cukup membuatku lebih lelah lagi. Kini mataku mulai terasa panas,
sejenak aku alihkan pandangan pada kerumunan penonton. Satu hal menarik
di pandangan mataku, di
jauh sana di tengah –tengah gerombolan manusia ada satu orang lelaki
yang tidak rapih, bajunya keluar, dasinya miring, dan penampilannya agak
acak –acakan. Dia melontarkan senyum padaku. O‟oww, sontak jantungku
berdebar kencang sekali. Aku takut ini akan membuyarkan konsentrasiku.
Lekas aku tarik nafas dan menghembuskannya lagi dan kembali focus pada
bola kuning biru itu. Aku kembali bermain, tapi perasaanku masih gugup.
Aku rasa aku mulai merasa Ge-er dengan satu pasang mata yang sejak tadi
mengintai setiap gerak tubuhku. Kembali aku menolehi arah kerumunan
penonton itu, lelaki itu tetap tersenyum padaku. Ya Tuhan! Aku mulai
hilang kendali, konsentrasiku mengoyah, aku tak bisa bermain seperti
ini.
Ting! Oh no!
Sebuah kedipan sebelah mata yang aku dapatkan darinya cukup membuat aku
terhenyak dan tercekat ditengah –tengah lalu lalang bola.
“BhaaaaKK!!!”
Akhirnya bola kuning biru itu menghantam mukaku. Aku terjatuh dan
rasanya sakit sekali.
“Goaaalll!!!!!” Semua orang berteriak, teamku kebobolan bola dan mereka
menang. Sorakan itu berbarengan dengan bunyi peluit wasit yang
menandakan permainan telah berakhir.
Sial! Aku kalah karena kecurangan mereka. Sementara aku sendiri segera
dilarikan ke unit kesehatan sekolah karena hidungku mengucur darah.
“Ini gak adil!” Teriakku sambil meronta –ronta ingin lekas kabur menemui
kakak kelas yang jail itu.
Petugas kesehatan dan guruku tetap menahan. Mereka memegangi aku dengan
kuat, sampai aku seperti orang gila yang sedang mengamuk.
“Sudah, kalau memang kalah ya mau diapakan lagi sekarang? Jangan panas
hati begitu, obati dulu hidungmu, untung saja kamu belum kehilangan
hidungmu yang mancung itu.” Sahut pak guru sembari menggodaku.
“Tapi ini tidak bisa dibiarkan pak!” Teriakku kesal.
“Sudah lah, semua orang tahu koq kalau kamu itu dicurangi.” “Tapi
caranya konyol pak. Kan jadinya saya yang malu Pak..”
Pak guru hanya tertawa cekikikan sendiri. Abaikan itu.
Panas hati, aku tidak bisa begitu saja membiarkan kecurangan mereka yang
sangat memalukan aku. Kejadian tadi benar –benar merusak reputasiku
sebagai pemain voli nomor satu hanya karena sebuah kedipan mata. Ah, aku
tak bisa terima itu, mereka harus dapat pembalasanku dulu.
“Ami, Ami… jangan. Percuma yang ada kamu sendiri yang malu…” Dessy,
teman terbaikku sejak SD dulu, terus menahan agar aku tak menemui lelaki
tadi.
“Tidak bisa! Dia harus terima pembalasan dariku!!” Sahutku geram. Aku
tak
perdulikan semua murid tertawa melihat langkah kakiku yang gerasa grusu
penuh
4
amarah. Aku sungguh –sungguh harus menghentikan tawa orang –orang itu.
“Ami…” Cemas Dessy terus mengekoriku.
Aku sampai di depan kelas mereka. Aku melongo kedalam kelas, mencari
sesuatu.
“Cari siapa lo?” Tanya seorang laki –laki menghampiriku. Tapi bukan
lelaki yang aku cari. Ia berdiri dihadapanku menopangkan kedua tangannya
di pinggang.
“Aku cari temen lo yang keganjennan ngedip –ngedipin matanya sama aku!”
Tiba –tiba tersirat rasa takut membuat aku kacau melontarkan kalimatku.
Aku masuk kandang macan, kanan kirinya hanya Dessy satu –satunya
temanku.
“Huahahahaa…” Lelaki itu tertawa keras. “Dasar bollywood, ngomong aja
gak benner lo! Lagian, ngapain juga loe cari temen gue? Gak terima kalau
kalah?!” “Aku bukan Bollywood!” Teriakku tepat di depan mukanya. Sunguh
aku semakin kesal dibuatnya.
Mereka semua selalu menyebutku bollywood padahal aku bukan orang india.
Aku hanya seorang gadis berketurunan Pakistan saja!
“Katanya pentolan nomor satu? Tapi mana?” Mulailah satu ledekan dari
seorang lagi yang menghampiri kami. Wajah –wajah usil menyinyir membuat
semakin panas hatiku. Arrgghh! Rasanya aku ingin menghajar mereka satu
persatu. Sayang sekali aku tak berkuasa apapun, jika aku menghajarnya
bisa –bisa aku masuk bp. Akupun bingung harus melakukan apa saat itu.
“Udah Ami…” Dessy-pun menyeret aku kembali meninggalkan kelas mereka.
Beralih dari ketegangan, aku bersantai di kantin sambil mengepal –ngepal
hidungku yang semakin terasa sakit.
“Kalau kamu marah –marah di depan dia, pastinya semua orang akan dengar
dan fatal kalau mereka tahu kamu geer cuman gara –gara tuh orang..”
“Agrh! Anak siapa sih dia?! Beraninya dia bikin ge-er aku.”
Dessy menggeleng.
“Hai…” Sapa seorang lelaki yang tak lain lelaki yang tengah dibahas kami
berdua.
Pandanganku kembali sengit menatapnya. “Kau?!” “Gak patah kan
hidungnya?”
“Dasar kau lelaki sinting! Kau itu curang! Harusnya aku yang menang!”
Ocehku kesal.
Dia tetap tersenyum mengabaikan ocehanku. “Owh, okay… sorry…” “Just it?!
Kamu sadar kamu telah buat kesalahan fatal?!” “Enggak…”
“Dasar sinting!”
“Sepertinya aku sukses mengecohmu ya?”
“Hey! Let see siapa yang bakalan lebih ge-er dari pada ini okay…”
“Okay…”
Aku berbalik meninggalkan dia.
“Tunggu!”
Aku hanya menghentikan langkahku tanpa menolehi panggilannya.
5
“Namaku Ibrahim…” Katanya.
Aku menoleh dan menyunggingkan senyum hanya di ujung bibirku.
Sejak hari itu, aku semakin sering bertemu dengan dia di sekolah. Dia
selalu menyambutku saat pagi datang sekolah, dan mengantarku hingga
gerbang saat pulang. Tanpa bicara apapun, kami berdua hanya bertukar
senyum penuh arti. Bagaimana tidak, aku masih terus menginginkan dia
rasakan apa yang aku rasakan waktu itu. Geer, dia harus lebih ge-er
daripada aku waktu itu.
Sayangnya bertukar senyum itu hanya berlangsung selama sebulan sampai ia
dinyatakan resmi lulus dari sekolah, dan melanjutkan ke SMA yang tidak
popular.
***
Pagi yang cerah…
Aku duduk mengotak atik handphoneku sembari menunggu bel berbunyi
pertanda pelajaran dimulai. Kali ini aku bukan lagi murid kelas satu,
aku sudah naik satu tingkat jadi kelas dua.
Sebuah amplop berwarna merah jambu diberikan padaku. “Ini surat buatmu…”
Aku mengeryitkan dahiku. “Surat dari siapa?”
“Surat dari cowok yang dah bikin team kita kalah dulu.” Aku tersenyum.
“Ibrahim maksudmu?”
Dessy hanya mengangguk.
Senyumku semakin lebar saja. Surat merah jambuku yang pertama, aku tak
menyangka dia akan mengirimkan aku sebuah surat cinta. Kali ini aku yang
bertambah semakin ge-er saja.
Berbalas surat merah jambu, mengantikan berbalas senyum selama sebulan
yang sempat menghilang karena kepergiannya. Hal pertama yang merwarnai
hari – hariku dengan warna merah jambu, itulah surat darinya. Dia
Ibrahim Imran, dan aku panggil dia Aim…
Hingga…
“Ini, surat cinta lagi….!!!” Dessy menjulurkan amplop merah hati itu
padaku.
Mukanya terlihat kesal karena lelah jadi tukang pos tanpa bayaran.
Aku tersenyum, aku rangkul sahabat baikku itu. “Makasih sayang….”
Perlahan aku buka amplop berlem dengan rupa dan hati agak –ge-er.
“Heran, hari gini masih jaman ya pake surat cinta?!!” Tangannya melipat
kesal. Aku tersenyum geli. “Maaf Dessyku sayang… makanya kamu bilang
sama dia,
yang gentle dong. Aku gak masalah koq kalau dia mau ketemu langsung sama
aku.
Justru aku malah tambah senneng.. hehe…”
“Yee iya deh. Tapi dia tetep gak mau, malu katanya…”
“Hmmm.. cowok koq pemalu ya? Dulu aja waktu ngecoh dia gak tau malu.”
“Tau ah pangeranmu…” Dessy mencabut suratku yang masih ada dalam
amplopnya. “Eh apa lagi ini isinya??”
Aku hanya menggeleng sambil menaik turunkan bahuku.
Surat merah jambu…
Aku tak segan untuk membacakan isinya pada dessy. Isi surat itu konyol,
hanya bertaburan kegombalan ala penyair cinta muda. Haha! Begok ah!
6
Dear Ami…
Hai…
Apa kabar? Aku tidak akan berhenti bertanya kabarmu. Walau aku hanya
bisa melihat kamu dari jauh tapi aku ingin mendengar kabarmu langsung
darimu sendiri. Aku sangat senang saat kemarin mendengar kabar tetang
keberhasilan kamu mengikuti lomba memasak.
Aku tercengang sejenak. “Dari mana dia tahu kalau aku ikut lomba masak?”
Dessy mengangkat dua tangannya seraya menggeleng. Memamerkan wajah tak
paham juga kenapa Aimku bisa tahu
“Yakin bukan kamu yang bilang?” Tatapku selidik. “Sumpah deh, kan aku
dah janji sama kamu…” Lanjut kembali pada surat…
Aku ucapkan selamat, walau runner up tapi aku sangat bangga sama kamu.
Kamu itu sangat berbeda dengan perempuan manapun yang pernah aku temui.
Menarik dan unik, pandai dan sangat menawan hati. Sampai –sampai aku tak
bisa berhenti memikirkan kamu….
Aku dan Dessy saling memandang sambil menahan tawa geli.
“Akh… sintting nih anak.” Aku lekas melipat surat itu sebelum aku
tandaskan kegombalannya. Tulisan itu terlihat biasa dan tak romantis
untukku dan kalian juga
tentunya. Aku lebih berharap untuk mendapatkan puisi ala penyair cinta
sungguhan. Yang romantic dan membuat aku melayang tinggi di udara. Di
dalam semua suratnya, selalu saja hanya puji –pujian yang baik ia
tuliskan. Sampai –sampai aku jadi risih sendiri membacanya. Aku tak suka
jika ia terus memujiku seperti itu.
“Udah ah Dess, bilang sama dia aku gak akan bales surat dia lagi kalau
dia gak mau memberanikan diri buat ketemu langsung sama aku.”
“Wokeh deh boss..” Tangannya bergeran dan kemudian berposisi seperti
sedang hormat.
“Bilang juga, kalau dia gak mau ya udah, gak usah kirim –kirim surat ke
aku lagi…”
“Iya iya deh…”
Selama lebih dari tiga tahun, aku selalu mendapatkan surat beramplop
merah
jambu dari dia. Tapi selalu saja tak punya keberanian bertemu denganku,
padahal kami berdua sudah sama saling tahu. Aku Ami dan dia Aim, hehe
beda dikit ya namanya.
Jodoh kale… Ngarep deh…!!!
***
Pagi yang cerah…
Greeeekkk….
Gordyn putih di gerek, jendelapun di buka agar udara dan sinar matahari
pagi
yang sehat bisa masuk dalam kamar. Ya maksudnya biar Ami bisa lekas
bangun tidur, jam saja sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima.
“Ami! Ayo bangun! Gak mau sekolah kamu??!!” Kak Hani sedikit berteriak
membangunkan adiknya yang masih molor.
7
“Hem…” Sahut Ami mendesah tak membuka matanya sedikitpun. “Jam tujuh
sekarang! Gak sekolah?!”
“Aku mau bolos hari ini, aku dah janjian sama Dessy. Hari ini gak ada
pelajaran. Kan tinggal tunggu pembagian rapor terus liburan panjang.
Hari ini cuma lomba – lomba sama pentas music.”
Kak Hani membulatkan mulutnya tak bersuara. Iapun pergi meninggalkan Ami
sendiri di kamar yang masih kemulan.
Bulan depan, kenaikan kelas, itu artinya minggu depan libur panjang.
Hari ini saatnya sibuk disekolah, menghabiskan minggu terakhir di
sekolah dengan kegiatan classmeeting, adu music yang diselenggarakan
sekolah dengan mengundang para peserta dari sekolah lain. .
Krang! Kring! Krung!
Itu suara handphone Ami terus berdering membuat berisik tetangga. Tapi
Ami malah semakin menarik guling untuk nyumbat telinganya.
“Aduhh!!!!” Kesalnya.
“Ami telponnya diangkat dulu lah…” Kak Hani melongo dari luar pintu
kamar.
Krang! Kring! Krung!
Hape itu tak berhenti berdering, akhirnya terpaksa juga Ami menjulurkan
tangannya meraih handphone touch screen warna hitam miliknya di atas
nacase tempat tidur.
“Hallo?” Jawabnya berat.
“Hallo! Ami!!” Terdengar suara yang sangat kacau dan tergesa –gesa dari
kejauhan sana.
Akhirnya mata Ami melebar, ia terkejut siapa yang menelponnya dengan
nada
yang sangat emergency. Hape itu di lepasnya dan di pandang ulang dengan
mata yang lebih jelas.
“Dessy?” Katanya heran. Hape itu ditempellkan lagi ketelinganya. “Ada
apa Dess?”
“Eh sumpah deh! Kamu harus masuk sekolah sekarang!” “Ha?! Sekolah?!” Ami
terduduk. “Emang ada apa?” “Aim!! Aim!!! Aim!!!”
“Kenapa Aim?”
“Pokoknya kamu harus masuk sekolah sekarang! Ini aku aja dah mandi mau
siap –siap berangkat bentar lagi!”
Tit!!!
“Ha?!” Ami terheran, hubungan telpon mati seketika dari seberang sana.
Penasaran apa yang tejadi, segera Ami melompat dari tempat tidurnya.
Bergegas mandi dan pakai seragam.
“Ami mau kemana?” Tanya Mama yang heran saat melihat Ami tergesa –gesa
menyambar roti di meja makan.
“Kamu telat sekolah?” Tambah kak Hani.
Mulutnya tersumpal roti, ia duduk memasang tali sepatunya. “Aku ada
emergency Ma…” Katanya tak jelas.
8
“Hallah… telat juga….”
“Ah udah, aku jalan dulu Ma…” Secepat kilat Ami menyambar tangan Mama
dan berlari keluar rumah. “Assalamualaikum!!!”
“Waalaikum salam…” Sahut Mama dan kak Hani bersamaan. “Baru aja
dibangunin katanya libur gak mau masuk…”
“Ada pengumuman mendadak mungkin…” Timpal Mama.
Sementara...
Resah dan gelisah, Dessy mondar mandir bagai setrika baju menantikan
kedatangan Ami penuh harap cemas di depan pos satpam sekolah sambil
mengepal – ngepal tangannya dan sesekali menggigit jarinya.
“Ada apa sih Des?” Sapa Ami.
Kemunculan Ami cukup mengejutkan dan melegakan Dessy.
“Akh akhirnya dateng juga kamu Mi…”
“Ada apa sih Dess?”
Tanpa menjelaskan apapun, Dessy langsung menggandeng tangan Ami dan
mengajaknya menuju halaman belakang.
Halaman yang sangat luas dan lebar saat sepi kini sangat sulit untuk
dilewati. Semua siswa –siswi dari berbagai sekolah datang untuk
menyaksikan kompetisi music yang memang rutin diadakan setiap tahun.
Keramaian itu tak menyisahkan satu tempatpun untuk Ami dan Dessy
menyeberanginya.
“Duh gimana nih?” Dessy semakin gelisah sendiri.
“Apanya yang gimana sih Dess?” Ami mulai kesal. Gandengan tangan Dessy
dilepasnya begitu saja.
Dessy meraba –raba dalam tasnya, muncullah satu handphone flip berwarna
biru. Dibuka kemudian ditekan beberapa tombol nomernya dan ditempelkan
tepat ditelinganya.
“Hallo? Iya ada dimana?! Ya Ayo cepettan kalau memang mau kesini! Iya
ini aku ada di depan kelas , . Iya iya gak ada Ami koq disini…. Iya awas
ceppetan! Jangan aneh –aneh lo!” Telpon Dessy berakhir juga.
“Siapa yang kamu telpon?”
Dessy lebih tenang sekarang. “Barusan aku telpon Aim.” “Aim?”
“Iya, rencananya kan kita mau bolos hari ini. Eh pagi –pagi Aim telpon
katanya mau nonton di sini, sekalian mau ketemu kamu.”
“Tapi kamu tadi koq bilang aku gak ada?”
“Itu cuma akal –akalanku aja biar dia bisa ketemu sama kamu. Coba deh,
kemarin pas aku nyampein pesen kamu yang ada dia malah marah –marah sama
aku. Yang katanya dia gak siaplah, inilah, itu lah. Males! Sekarang
juga dia masih gak mau ketemu kamu, maunya mau nyiapin diri dulu. Tapi
aku dah males nunggu dia kelamaan…”
Ami tersenyum gelli. “Kamu itu…”
“Ya sekarang ide aku buat jebak dia, seakan –akan kalian emang gak
sengaja ketemu gitu…”
9
“Oke lah aku setuju! Aku perlu sembunyi?” “Sip…!!”
Rencana dadakanpun dilaksanakan sebaik mungkin. Ami bersembunyi entah
kemana. Sedang Aim, seperti terancam mengendap –endap berjalan lirik
kanan lihat kiri. Mungkin ia takut Ami akan menemukannya.
“Woy!” Sapa Aim pada Dessy yang sudah menunggunya. “Heh, napa lagi sih?
Cuma mau ketemu aja ribet amat lo.” “Hah gue gak siap O‟on…”
“Enak aja ngatain aku O‟on!”
Aim masih saja menoleh kanan kirinya. “Mana dia?”
“Dia siapa?”
“Argh… jangan sok begok deh. Ya Ami lah…” “Ngapain lagi cari dia? Mu
ketemu sekarang?” “Ya gak lah!”
“Ah lo, suruh ketemuin gak mau. Giliran gak ada dicariin aja.” “Justru
gua takut ketemu sama dia..”
“Kenapa harus takut? Lu pikir sohib gue monster apa?!” “Ah ello…”
“Emang kenapa coba kalau ketemu? Kan enak urusan kalian bisa cepet
selesai. Napa sih lo?!”
“Akh… udah deh lo.” Diam sejenak…
Dari kejauhan Ami memperlihatkan dirinya, ia terus berjalan mendekat
pada Dessy lagi.
Takut, Aim berusaha melarikan diri, tapiterlambat karena tangannya sudah
lebih dulu di tahan Dessy. “Heh mau kemana loe??!!”
“Sialan lo! Ini rencana lo kan nyuruh dia datang kemari ha?!”
“Jieh! Ge –er lo, dia itu baru datang. Mana gue tahu dia mau ketemu ama
gue atao enggak!” Dessy terus menahan tangan Aim.
Aim yang malu and nerveous dengan kehadiran Ami hanya bisa menunduk
saja.
“Hey…” Sapa Ami dengan senyuman manisnya.
“Ah Ami… katanya hari ini gak mau masuk?” Basa –basi Dessy.
Ami tersenyum. “Males di rumah gak ada kerjaan.” Matanya beralih pada
Aim yang terus memalingkan muka. “Aim… wah gak nyangka kita ketemu
langsung sekarang ya…”
Senyuman Aim menahan sejuta rasa malunya. “Iya…” “Hmm… Makan bakso yuk…”
Ajak Ami.
“Wah boleh itu…”
“Kalau gitu aku pergi dulu ya..” “Kenapa?”
“Kan gak enak kalau aku ikut kalian..”
Ami tersenyum. “Udah ikut gabung sama kita berdua aja. Itung –itung
jamuan makan kecil nih. Kan mumpung di sekolahku…”
10
“Tapi…”
“Udah ah lo jangan sok malu –malu kodok deh…” “Sembarangan loe…”
“Udah –udah, yuk…” Ami tersenyum. Iapun berbalik meninggalkan Dessy dan
Aim yang masih malu sendiri di belakang.
“Eh sialan lo rencanain ini kan?!” Aim berbisik tapi itu masih jelas
terdengar di telinga Ami.
“Jieh! Ge –er lo bos! Udah ngomong terus. Ikut deh…” Dessy dengan kasar
menyeret Aim untuk segera mengejar Ami yang sudah cukup jauh juga.
***
Dua,,,
Tiga porsi bakso mendarat juga di meja.
Saus, sambal, kecap or tambahan garam. Dessy sibuk dengan ramuan kuah
baksonya. Ami? Dia hanya menambahkan bubuk garam dan sesekali meliriki
Aim yang hanya membisu dan memainkan bakso di mangkuknya.
“Kenapa? Gak suka baksonya? Atau gak enak?” Tanya Ami.
Mukanya terangkat. “Ah enggak, enggak, enggak koq… aku suka…enak.”
“Kalau suka ya ceppet makan dong!” Sambung Dessy.
“Hirh…” Desahnya kesal.
Ami tersenyum. “Abang gak usah malu, aku gak akan ngetawain abang ada
disini koq. Lagian gak ada yang tahu siapa abang.”
“Cheile… Abang…” “Emang apa salahnya?” “So cweeet gitu loh…”
Ami tersenyum santai. “Umurnya diatas aku, apa salahnya aku panggil
abang? Aku menghormati dia koq..”
“Makasih ya, Mi.” “Sama –sama.”
“Iya deh, abang sayang…”
Ami dan Aim sama –sama tersenyum, bahkan mereka saling berpandangan
walau sebentar saja. Perlahan rasa malunya berlarut dalam suasana gaduh
di kantin dan gurauan –gurauan konyol yang terlontar dari mulut Dessy.
“Ami, bisa ngomong bentar gak?” Sapa seorang teman lelaki menghampiri
meja mereka.
“Owh oke” Ami melepas sendok dan garpu ditangannya dan beranjak dari
kursi. “Aku permisi dulu ya.” Pamitnya
“Iyaa..” Jawab Aim dan Dessy bersama.
Matanya membuntuti jalannya Ami bersama seorang teman lelaki tadi.
“Woy!” Dessy melayangkan sendok di depan mata Aim.
11
“Sapa dia?” “Napa cemburu??”
Senyumnya santai tanpa menjawab apapun.
“Eh by the way ni. Napa sih lo susah banget kalau gue suruh ketemuan
sama Ami?” Tatapan Dessy serius kali ini.
“Gak penting loe tahu.”
“Penting dong! Sekarang kalau Ami terus –terusan tanyain gimana? Kan gua
gak bisa jawab?!”
“Lo mau tahu?”
Dessy menangguk yakin.
“Benneran?”
“Iya…”
“Sungguh?”
“YA ALLAH! Capek deh ni anak! Serius ni!”
“Okay tahan, tapi lo harus janji sama gue jangan kasih tahu hal ini sama
Ami.” “Hmmmm….”
“Serius, gue gak segan –segan nyemplungin lo ke sumur kalau Ami sampai
tahu
dari mulut lo.” Ancaman Aim itu terdengar sangat mengerikan dan sunguh
–sungguh. Dessy merasa aneh dan cukup takut. “Segitunya lo?”
“Ini serius.”
“Okay, ada apa sih sebennernya?”
“Sebennernya…” Aim menarik nafasnya berat. Masalah ini tak mudah ia akan
ceritakan pada siapapun. “Gue ini abang tirinya…”
Mata Dessy nyaris melompat saja. “Whaat?!” Katanya terbelak sungguh tak
percaya.
“Gue gak mau Ami tahu, karena pasti Ami akan menjauh dari gue.” “Tunggu!
Tapi kenapa Ami gak pernah cerita kalau ibu tirinya itu punya anak
dua?”
“Ya dia kan gak tahu. Dia gak pernah lihat gue. Dari dulu gue tinggal
sama babe.
Baru beberapa tahun terakhir gue balik ke Emmak. Dan sengaja selama ini
gue emang ngindarin kalau Ami dateng jengukin Emmak, sama Adek gue.”
“Lo serius Im?”
“Lo kira ini main –main apa?!”
“Ya tapi gimana kalau Ami tahu sendiri?” “Itu bencana besar buat gue…”
“Apanya yang bencana?” Rupanya kalimat terakhir Aim terdengar oleh Ami
yang tiba –tiba datang kembali.
Keduanya tercekat, gelagatnya sedikit kebingungan mencari alasan.
“Tahun lalu dulu pernah tsunami…” Elak Dessy konyol. “Hmmm…”
Well, Ami rupanya tak terlalu penasaran juga dengan kalimat itu. Acara
makanpun kembali dilanjutkan dengan santai dan suasana jadi lebih nyaman
sekarang. Aim tak terlalu canggung lagi dengan keberadaan Ami
dihadapannya langsung.
12
***
“Udah siap?”
Tanya Kak Hani yang mencantolkan tasnya.
Mengintip dari cermin dihadapannya, aku yang menggigit karet rambut
menjawab tak jelas. “Bentar…”
“Aku tunggu di luar. Cepet yang lain sudah siap…”
Takut akan ditinggal, aku lekas mempercepat kunciran rambutku yang
tinggal sedikit lagi di kepang. Karet di mulut kuambil. “Iya iya…”
Krang kring Krung!!!
Aku tolehi handphone yang nyaris saja tertinggal di nakas. Selesai
mengikat aku
ambil dan aku lihat. Cukup mengherankan, hanya nomor yang tak ku kenal.
Siapa yang telpon aku?
“Hallo?”
“Assalamualaikum…” Terdengar suara lelaki dari seberang sana. “Waalaikum
salam…” Jawabku sedikit heran. Sambil berjalan keluar kamar. “Aku
Ibrahim.”
Kakiku berhenti. “Abang?” “Iya…”
“Ada apa?”
“Aku mau ketemu kamu sekarang. Bisa?”
“Aduh, maaf tapi aku mau ke rumah auntyku sama kakak – kakaku. Lain kali
aja ya…”
“Kalau besok pagi?”
“Inysa‟ALLAH ada waktu. Tapi entar aja ya aku pastiin lagi?” “Kamu buru
–buru ya?”
“Maaf bang, iya nih…”
“Okay kalau gitu aku minta maaf, lain kali aku telpon kamu lagi.
Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam.”
Tiit!
Hubungan telpon berakhir..
“Ami ayo cepat!”
Mendengar panggilan itu Aku langsung berlari keluar menghampiri semua
orang yang telah menungguku sejak tadi.
Hari ini hari libur, semua orang di rumah libur, dan saatnya liburan.
Semua naik
ke mobil, Mama, Ayah, kakak, abang Ipar dan ponakanku yang kecil –kecil.
Walau agak berdesakan tapi ini akan jadi perjalanan yang panjang dan
sangat seru!!
Bosan dengan kehidupan kota, sejenak aku dan semua penghuni rumah
mengirup udara pedesaan yang sejuk dan indah. Pedesaan yang sangat jauh
dari kota tempat tinggal kami. Desa tempat tinggal Auntyku, kakak dari
Ibu. Walau pedesaan kali ini sudah banyak bangunan –bangunan rumah
berfondasi berbatu, tapi suasananya tak sedikitpun menyesakkan seperti
di kota.
Cukup melelahkan menghabiskan waku yang lama, tiga jam perjalanan
13
kemudian akhirnya kami semua sampai dengan selamat. Sebuah rumah yang
luas dengan halaman, tak bertingat, tapi rumah itu cukup besar untuk
daerah pedesaan seperti ini.
Angin semilir sangat sejuk meniup rambutku yang baru saja turun dari
mobil.
Wah sepertinya rambutku mulai acak –acakan. Hum… tarik nafas, buang
perlahan… udaranya dingin, cukup membuat air kran seperti air es.
Brrr…!!! Walau disana hanya ada empat orang, Uncle, Aunty, dan Abang
sepupu serta istrinya, tapi cukup seru koq.
Disambut cukup meriah dan menyenangkan. Hmm… jadi teringat masa kecil
dulu
waktu liburan sering aku main ke sini. Di halaman belakang aku ingat ada
sungai, lalu di pinggirnya ada pohon belimbing, sawo, mangga dan apa
ya??? Tapi sekarang sudah tidak ada, sayang sekali..
Lagi asyik –asyiknya nih bergurau mengenang masa dulu bersama kakak Ipar
dan Mama, tiba –tiba ada saja yang membuatku menyingkir dari keseruan.
Krang ! Kring! Krung!
Hapeku bunyi lagi, ku comot dari kantong dan menjauh. Dessy rupanya.
“Hallo Dess?”
“Hallo Mi…”
“Ada apa ni? Tumben?”
“Eh aku tanya, apa Aim telpon kamu?”
“Iya. Emang kenapa?” Sedikit pertanyaan itu memunculkan rasa
penasaranku. “Ah enggak sih. Cuma tadi pas subhuh dia paksa –paksa aku
buat kasih nomermu. Tapi dia gak bilang aneh –aneh kan sama kamu?”
“Kalau aneh sih enggak, tapi…” “Apa?”
“Dia tanyain aku sibuk atau enggak tadi pagi. Dia mau ketemu aku
katanya…” “What?!Huahah….” Terdengar sangat keras Dessy tertawa terbahak
–bahak
disana. Aku lekas jauhkan telpon dari telingaku, bisa –bisa telingaku
jebbol gara –gara tawanya yang keras.
“Sinnting! Sampe segitunya ngakak?!” “Sori –sori say…” Dessy menahan
tawanya.
“Emang napa kalau dia ngajakin ketemuan?” Aku kembali ke topik awal.
“Akh, lucu aja. Akhirnya dia punya nyali juga buat ketemu langsung sama
kamu.
Kamu lupa, udah seminggu kamu bilang Aim gak pernah muncul or ngabarin
sama kamu sejak jamuan makan bakso di sekolah waktu itu. Eh sekarang
tiba –tiba muncul langsung ngajakin ketemuan…”
Akupun tersenyum. Aku lupa kapan terakhir kali aku dapat kabar tentang
dia. Dessy benar, Aim sudah cukup lama sekali menghilang, itu juga
karena aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai tak ingat
tentang dia.
“Hati –hati say…”
“Napa?”
“Aim itu tipe cowok instan…”
“Kopi kale instan! Ada –ada aja kau itu…”
“Tapi bennerkan? Lama gak ada kabar, eh tahu –tahu langsung minta
14
ketemuan.” “Iya juga sih…”
“Eh kayanya dia dah masuk perangkap dan gak bakalan lepas lagi deh.”
“Serius lo?”
“Percaya deh. Lihat aja, entar abis ketemuan dia pasti langsung minta
kamu jadi pacarnya. Terus, abis jadi pacar langsung dilamar deh..”
Lanjut Dessy sambil cekikikan. “Jieh! Sembarangan, pacaran sih mending,
kalau nikah? Yang ada dia masih
sekolah juga kale…”
“Tapi dia kan dah lulus? Lupa nih?” “Ah emang dia gak mau kuliah?” “Lho?
Emang aku belum cerita ya?” “Apa?”
“Aim gak mau kuliah, jusrtu dia mau langsung kerja katanya. Buat
memantapkan diri biar cepet –cepet bisa ngelamar kamu…”
“Jiah Chuih! Lama –lama kumat juga penyakit lo Dess…” “Hahaa…”
“Ami?! Sok penting kamu terima telpon lama amat!” Tegur kak Sita
mendekat. Aku hanya menoleh sambil menutup bagian mic hape. “Iya benntar
lagi…” Kemudian aku kembali pada Dessy di telpon. “Dess sorry ya aku
putus, gak enak aku dah di rumah Auntyku ni. Sambung besok ya…”
“Wokeh deh say.. bye…” “Bye…”
Tit!
Telpon berakhir, dan aku kembali pada kumpulan cerita masa lalu bersama
yang lain.
***
Hmm…
Perjalanan seharian kemarin cukup membuat tubuhku terasa remuk seperti
habis berkelahi saja. Matahari sudah hampir pas di atas kepala, tapi
mataku masih saja tak kuat untuk dilebarkan. Aku tetap berkelut dengan
bantal dan gulingku.
“Udah mandi kak?” Tanyaku pada kak Hani yang juga sedang tiduran di
sebelahku.
“Udah dong, dari tadi. Ayo kamu gak mau bangun?” “Males, ngantuk…”
“Hari ini gak ada rencana mau jalan?”
“Kayaknya sih enggak, emang napa?” Sambil aku meraih handphone di
nacase.
“Ya kan boring di rumah…”
Diam aku tak jawab kakak lagi.
Aku raba handphoneku di nacase seperti biasa. Satu tombol terus kedap
kedip pertanda notifikasi. Aku lihat ternyata ada missed call,
“Astaughfirullahal adim!!!” Aku terbelak melihat panggilan tak terjawab
itu ternyata sudah lima kali. Aku baru ingat aku telah melupakan
sesuatu.
“Apa Mi?”
15
“Aku punya janji kak!!!” Segera aku melompat dari tempat tidurku.
Berlari ke kamar mandi.
Astaga! Oh MY GOD! Kenapa aku bisa sampai lupa kalau pagi ini harusnya
aku bertemu dengan Aim. Aduh!!! Dia pasti sangat marah padaku, atau
bahkan dia bisa illfill sama aku. Duh Aim tolong tunggu aku, aku pasti
datang koq…
Tergesa –gesa aku berpakaian dan keluar kamar.
“Aku ikut Mi?”
“Ah gak bisa, ini urusanku bukan urusan orang tua kaya kau!!” Sahutku
sembari bergurau menggoda kakak.
Sebelas nol nol. Harusnya janjiku sejak tadi jam delapan. Kira –kira Aim
masih ada gak ya di sana? Tujuh puluh kilo meter per jam, aku
menunggangi motor matic pemberian Ayah setahun yang lalu. Aku benar
–benar berharap Aim masih mau menungguku yang sudah terlambat berjam
–jam.
Dalam empat menit aku bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Sebuah
tempat
yang indah dan segar dipandang mata. Sungai panjang dan lebar, terdengar
gemuruh airnya yang sangat deras, dan kanan kiri terdapat sawah hijau
membentang. Sungguh tempat yang sangat sejuk walau di tengah siang yang
menyengat. Karena aku berdiri diatas rumput yang hijau dan dinaungi
pohon berdaun lebat yang rindang. Dia pandai sekali memilih tempat untuk
bertemu, karena aku suka tempat ini. Ini pertamakalinya aku datang
ketempat seperti ini.
Sesaat kagum pada suasana, aku kembali ingat janjiku dengan Aim. Aku
tolehi
semua kanan dan kiriku, aku harap dia masih bersedia menungguku. Tapi
tidak, dia tak ada di tempat ini. Tentu dia telah pulang Karena janji
kami sudah batal akibat ketidakhadiranku.
“Ami…!!!” Sesaat kemudian terdengar suara panggilan untukku.
Aku menolehi suara itu. Dari balik pohon besar muncullah Aim tersenyum
padaku.
Sungguh senang melihat dia ternyata masih bersedia menunggu
kedatanganku. Segera aku berlari kecil menghampirinya.
“Aku minta maaf bang, aku bener –benner minta maaf. Aku lupa. Aku
ketiduran. Kemarin seharian aku jalan –jalan sama semua keluargaku, jadi
aku capek terus bangun aja aku kesiangan…” Ujarku cepat.
Aim tersenyum. “Gak papa, kamu udah mau dateng sekarang aja aku sudah
sennang.”
“Jangan marah ya?” Kataku lagi masih merasa tidak enak hati.
“Ngapain aku marah sama kamu? Aku gak bisa marah sama kamu…” Katanya
lembut, sambil tersenyum lagi.
Giliran aku yang tersenyum, tapi tersipu sangat malu dengan gombalannya.
Kami berduapun duduk berdampingan dengan beralas karpet hijau alami.
Saling diam tak langsung berbicara apa yang ingin dibicarakan.
Sebenarnya aku sedikit lebih gugup dari biasanya, perlahan jantungku
terasa berdebar lebih kencang, semakin kencang, hingga getaran –getaran
kecil mulai merambat hingga ujung –ujung jariku.
Aku harap ini bukanlah triknya untuk membuat aku ge-er seperti beberapa
tahun lalu.
16
“Sebenarnya…” Kataku dan dia bersamaan tanpa sengaja.
Kata itu tak terlanjutkan, hanya tertawa lucu dan malu sendiri.
“Silahkan kamu duluan..” Katanya. “Gak abang duluan aja…”
“Ladys first…”
Aku tersenyum. “Sebenarnya abang ngapain minta aku ketemu disini?” “Ah
itu, sebenernya aku…”
Cukup susah mungkin untuk dia menuntaskan kalimatnya segera.
“Aku harap kamu mau menjawab pertanyaanku dengan jujur ya??” “Waw,
pertanyaan apa itu?”
“Aku cuma ingin memastikan aja. Apa bener yang Dessy bilang sama aku?”
“Apa?” Aku mulai takut, jangan –jangan Dessy bilang macam –macam
padanya.
“Apa benar kamu juga suka aku?” Pertanyaan itu terdengar malu –malu.
Aku terhenyak, tersenyum menahan malu. Oh God! Dessy bilang kalau aku
suka sama dia?! Oh no…
“Ah itu, a, e, m…” Jantungku semakin berdebar sangat kencang, lidahku
juga kelu membuat aku benar –benar kehilangan kata –kata.
“Kamu jangan merasa malu gitu ya. Ini cuma aku, aku sangat mengharap
kalau apa yang Dessy bilang itu benar. Setidaknya aku gak sedih karena
cintaku bertepuk sebelah tangan.”
Aku mengangguk memalingkan pandanganku.
“Benner?”
“Iya…” Jawabku malu.
Raut wajahnya nampak jelas kalau dia sangat bahagia dengan anggukanku
sebagai jawaban.
“Sungguh?”
“Iya, aku memang benner suka sama abang. Bahkan mungkin sebelum abang
suka sama aku…”
“Apa sejak kedipanku dulu?”
Aku tersenyum semakin malu. Mengingat hal terbodoh yang pernah aku alami
dalam hidupku. Itu pertamakalinya kesalahan fatalku akibat tercekat
pada sebuah kerlingan mata.
“Kau curang..!” Jawabku tertawa kecil.
“Maaf, itu demi reputasi kelasku. Kami semua tahu koq kalau kelasmu itu
pentolan tim voli sekolah…”
“Hmm, terus kenapa harus kau yang menjalankan tugas?”
Aim tak menjawab, ia hanya tersenyum malu.
Sunyi sejenak saling tersenyum di benak masing –masing.
“Aku minta kamu jadi pacar aku ya?” Kilat aku menoleh menghadapnya.
“Ha?!”
“Ya aku minta kamu jadi pacar aku. Aku sama kamu, kita, jadian…”
Aku tersenyum semakin lebar, jantungku berdetak semakin kencang. Aku
gugup, apa ini mimpi? Tidak ini bukan mimpi, karena rumput yang aku raba
sangat
17
terasa kasar dan tajam. Hey! Kanpa aku jadi seperti ini??
“Aku gak salah denger bang?”
Aim hanya menggeleng.
Aku teringat akan perkataan Dessy kemarin di telpon. Aim benar –benar
instan! Sesuai dugaannya hari ini dia langsung meminta aku untuk jadi
pacarnya. Apa perangkap tepat mengenai dia, atau aku yang masuk
perangkapnya? Yang pasti aku senang dan merasa ge-er dengan pernyataan
cintanya.
“Iya aku mau…” Jawabku perlahan malu.
Tak tahan aku memendam masalahku sendirian, karena aku biasa untuk
membaginya dengan Dessy kawan terbaikku sejak SD dulu.
“Hahahaa!!!”
Aku dan Dessy di sebrang sana langsung tertawa terbahak –bahak. Setelah
mendengar aku menceritakan semua yang sudah terjadi tadi siang.
“Sumpah deh, gak nyangka banget kalau Aim bakalan seperti yang dah kamu
bilang kemarin. Wah gak nyangka benneran say…”
“Dah entar lagi kamu tinggal tunggu dia bilang “Marry me…!!”” Lanjut
Dessy semakin terbahak.
“Wah gile lo, jangan dong, jangan sekarang kan aku masih sekolah…” “Duh,
gak percuma aku tempa sehari semalaman waktu itu.” “Ditempa gimana?”
Tanyaku tiba –tiba penasaran dengan pernyataanya barusan.
“Ya aku katain dia begini begitu. Aku bilang sama dia. Kalau dia gak
cepet –
cepet Ayahmu dah ada calon buat kamu…” Dia menjawab cepat lalu kembali
terbahak. “Akhr… sialan lo…”
“Ya sialan dikit gak papa dong, yang penting sekarang dah dapet benneran
kan…??”
“Hem iya sih… eh by the way, kira –kira dia itu serius gak ya? Atau itu
cuma trik dia bikin aku tambah ge-er?”
“Udah say tenang aja. Aku yakin koq Aim itu emang beneran serius. Justru
dia yang masuk sama perangkap mu.”
“I hope so…”
Sejak siang itu, hidupku lebih berwarna lagi dari biasanya. Sekarang Aim
bukan lagi mengirimkan surat merah jambu, tapi sudah jadi pengingatku.
Pengingat untuk makan, tidur, istirahat, ibadah, dan lain –lain.
Gombal! Itu dulu saat aku belum tahu bagaimana jadi seorang yang sangat
diperhatikan oleh pasangannnya. Dulu aku bilang. “Ikh, Norak!” pada
teman –teman yang selalu berdialog mesra di telpon bersama kekasihnya.
Tapi sekarang, norak sih tapi… biarin aja deh yang penting aku sennang…
***
Tiga
18
“Chieh chieh, yang baru jadian nih…” Goda Dessy yang tiba –tiba muncul
dan menepuk pundakku yang sedang menikmati semangkuk bakso di ujung
jalan bersama pangeranku Aim.
“Wey! Kemana aja kau?! Lama gak muncul…” Sahutku bersalaman dan cipika
cipiki.
“Iya kemana aja?” Tanya Aim Juga.
Dessy duduk disampingku. “Aku baru balik dari Jakarta.” “Koq gak kasih
tahu? Kapan berangkatnya?”
“Oma aku meninggal, so dadakan lah pastinya berangkat tiga hari yang
lalu.” “Innalillahi wainna ilaihi roji‟un.” Sahutku dan Aim bersama.
“Turut duka cita ya…” Tambahnya. “Makasih…”
Intro „Its my life, by bon jovi‟
Sepenggalan music barat muncul makin keras memecah keasyikan kami.
Ternyata hape Aim yang berbunyi.
“Bentar ya ada Teflon…”
“Teflon?! Telfon kale…!!!” Seruku dan Dessy serempak dengan tawa.
Diangkat telfon itu dan pergi menceri ketenangan suara.
“Aduh telpon dari siapa ya sampai menjauh gitu???” Dessy masih terus
menggodaku.
Aku tersenyum. “Ken Dedes, Ken Dedes! Koq kamu yang repot tuh telpon
dari siapa? Biarin aja terserah siapa yang mau telpon lah…”
“Lah bukannya curiga malah senyum –senyum…” “Truzz?? Gimana lagi dong?
Ya udah biarin aja lah…” “Yeh! Koq gitu sih? Gak takut lepas dari
jebakan ne?”
“Terserahlah…”
“Lho? Waktu itu katamu pengen serius deh. Koq terserah? Kalau di rampok
orang gimana?”
“Perhiasan kale di rampok?!!!” “Ah gimana sih…”
“Masih banyak koq yang lebih kerren dan bagus dari dia. Ya kalau memang
dia selingkuh dan gak serius sama aku… yaa good bye…”
“Masya‟ALLAH… Aku baru nemuin nih yang begini nih…”
“Hahay! Aku gak buta ken, kalau memang dia jelek ya jellek aja. Bahkan
kalau temen –temen dia ngatain dia „jelangkung‟ emang iya kalli yaa???”
“Jelangkung?!”
“He‟em…” Aku menggangguk. Aim kembali. “Sorry lama…”
“Gak masalah sih kalau aku, gak tau kalau dia ya…” Dessy menyikutku.
Aku dan dia hanya tersenyum malu.
“Koq bisa ya?” Heran Dessy. “Apa?”
19
“Kalian berdua jadi…”
Senyumku semakin lebar saja. Aku kembali teringat masa SMP dulu, saat
pertama aku punya masalah dengan dia, saat kerlingan matanya
menggoyahkan
konsentrasiku. Sungguh aku tak menyangga semuanya bisa berlanjut sampai
sejauh ini.
Aku tengok jam tanganku. Sudah tepat pukul lima. “Aku pulang ya?”
pamitku dengan nada lembut padanya.
“E‟hm! E‟hm...!” Dessy terbatuk batuk. “Aduh, kalau sama dia lembutnya…”
“Ah iya deh, aku pulang dulu ya Ken Dedes…” Aku mengelus –ngelus
punggungnya.
“Hahay! Im! Kog gak diantar pulang sih?”
“Backstreet buk,” Sahutku kilat. “Udah aku duluan ya…” Pamitku kembali
pada mereka berdua.
Aim yang aneh, backstreet bukanlah pilihanku untuk menjalani hubungan
dengan dia, tapi itu adalah permohonan darinya. Aku ingin hubungan yang
serius
dengannya. Awalnya aku memang sekedar main –main. Tapi, aku selalu
merasa senang dan tenang di dekatnya. Akupun tidak mau kehilangan
seseorang yang sudah memberikan ketenangan dalam hidupku. Lalu kufikir
hubungan seperti ini bukanlah untuk main –main. Walau aku tahu banyak
pemuda –pemudi jaman sekarang hanya menjalani hubungan sekedar suka
–suka dan trend saja. Sementara, dia selalu menghindar dengan jurus
seribu satu alasan hingga aku bosan untuk membahasnya lagi.
Aku sempat dibuatnya menangis karena aku menolak untuk backstreet.
“Apa salahnya sih bang? Aku ingin hubungan kita serius…”
Sementara Aim masih bersikeras dengan kemauannya sendiri. “Kalau kamu
gak mau ya udah sampai disini aja.”
Aku sangat kaget dengan ancamanya itu. “Kau tega bilang gitu…?” Setetes
air mataku mulai jatuh. Ya, sejak itu aku mulai berasa menjadi seorang
yang cengeng. “Abang sadar? Baru kemarin rasanya abang kirim aku surat
merah jambu, lalu sejam kemudian Abang minta aku jadi pacar abang, dan
sekarang? Abang ngancam untuk putus cuma karena aku gak mau untuk kita
backstreet?!”
“Maafin aku Ami. Tapi kita harus lakukan ini setidaknya sampai waktu
yang
tepat.” Lututnya ditekuk. “Aku mohon sama kamu Mi, aku janji sampai
saatnya tepat
aku pasti mau untuk datang dan menunjukkan siapa aku pada orang tuamu
dan siapa kamu pada orang tua aku…”
“Iya tapi kenapa?!”
“Tolong Ami, jangan tanyakan itu. Aku gak bisa mengatakan alasannya sama
kamu.”
Aku pegang tangannya agar ia tak terus –menerus berlutut dihadapanku.
Aku peluk dia dengan erat, aku tak mau kehilangan dia yang aku rasa aku
mulai menyayanginya lebih dari apapun.
Aku tidak tahu kenapa dia minta untuk menyembunyikan hubungan ini dari
semuanya, terutama dari keluargaku. Hanya aku, Dessy dan dia sendiri
yang tahu, satu lagi, tuhan pasti tahu hubungan kita ini. Entah kenapa,
menyatakan cinta hanya duduk
20
santai, tapi memohon untuk backstreet sampai berlutut.
***
Aku genggam
gagang kulkas dan bergerak menarik untuk membuka. Ku comot
sepiring coklat cake dengan lapisan coklat leleh yang lezaat sekali.
Humm! Aku suka ini.
“Adin mau pesta kecil, nanti abis isya‟ Ayah mau antar kita…” Kabar
kakakku
Emma sambil kesana kemari dengan piring suapan anaknya.
“Harus ya?” Sahutku lesu.
Mama mencetokkan sendok ke dahiku. “Yang benar saja kamu, itu adik kamu
ya harus lah…”
Aku menggosok dahiku. “Ah Mama, Ami kan cuma bercanda…” Aku rampas
sendok di tangan Mama.
“Kamu bercanda terus kapan seriusnya?!”
“Kalau bercanda sudah dilarang, pasti Ami akan serius Mami.” Jawabku
sambil berjalan meninggalkan Mama menuju kamar.
“Ah Ami! Kamu diajakin ngomong bener malah aneh –aneh jawabnya!”
Sambung kakakku yang lainnya lagi, Sita namanya.
Aku tak perdulikan omongan Kak Sita atau yang lainnya. Aku terus
berjalan
sambil menikmati lezatnya cake coklat buatan aku, Mama dan ketiga
kakakku tadi pagi. Haha! Lezat! Kemudian aku bergegas masuk kamar.
Aku menarik gagang pintu untuk dirapatkan sedikit. “Adin ulang tahun mau
ikut kak?” Tanyaku pada Kak Hani yang bersantai dengan I pad Apple-nya
di atas tempat tidur.
“Ya iyalah. Adik sendiri, apa kata Ayah nanti?” Jawabnya tak mengalihkan
pandangannya sedikitpun.
Aku duduk di bibir kasur, menatapi lesu cake coklat yang mulai terasa
hambar. Itu benar, Ayah pasti marah jika tahu anak –anak dan sang Ibu
tiri tercinta tak
akur. Padahal terkadang sering juga mereka itu membuat kesalahan pada
kami tapi itu tidak mendapat penanganan yang serius dari Ayah. Aku
mengerti betapa sulitnya menjadi seorang yang harus adil pada dua
keluarga. Tapi kata Mama kami semua harus mengalah demi Ayah, dan aku
juga pikirkan Ayah yang akan sangat tersiksa dengan perang antara dua
kubu dibawah pimpinannya.
Hem… Adin, dia anak Ayah dengan ibu tiriku. Umurnya sekarang sepuluh
tahun.
Ah! Aku malas mau pergi malam ini, tapi aku gak punya alasan buat
menghindar dan melarikan diri.
“Malas ah kak…” “Sudah tahan sendiri.” “Kakak bawa hadiah?”
“Enggak, aku gak punya duit.” “Kalau gitu aku juga enggak ah…”
Diam sesaat,
“Mau?” Aku tawarkan cake pada kak Hani.
Mukanya berlaih. “Ngemil terus! Gimana mau langsing badanmu? Dikit lagi
pasti dah kaya balon terbang!” Ejeknya.
21
“Hey! badanku hanya kelebihan bobot sedikit! Dari pada kau kaya
tengkorak idup!” Sahutku kesal.
“Hirh!”
Lekas aku habiskan cake milikku, sementara Kak Hani melepas I padnya.
“Ayo, udah setengah tujuh. Entar kamu dimarahin sama Ayah…” “Bentar
lagi.”
Pikiranku tiba –tiba teringat pada Aim. Kalau saja orang tua aku tahu
siapa
kamu, mungkin aku bisa ajak kau sekalian buat kumpul sama keluargaku.
Sapa tahu itu akan lebih seru.
***
“Ma, Nanti kakak
jadi kan makan malam disini?” Tanya Adin meletakkan tasnya di kursi.
“Bhurrr!!!” Segelas air yang diteguk seketika menyembur.
Mama dan Adin menolehi Aim sangat kaget.
“Kamu apa –apaan?!”
Dengan cepat kepalanya menggeleng. Ia sangat shock kalau ternyata acara
makan malam sebentar lagi akan mendatangkan Ami. “Anaknya Om, Ma?” “Iya,
Adin yang minta bang.”
“Sial! Gimana kalau Ami sampai tahu kalau aku ini abangnya Adin?”
Gusarnya sendiri.
Kaki itu terus berjalan bolak balik di depan tempat tidur. Jantungnya
berdeguk cepat, bintik –bintik air membasahi seluruh dahi dan lehernya
sebesar biji jagung. Nafasnya tersengal –sengal seperti habis lari
marathon saja. Setelah bertahun –tahun menghindar menyembunyikan diri
dari pandangan Ami, kali ini dia tak bisa kabur kemana –mana. Kabar
kedatangan Ami dan saudaranya terlambat sampai ditelinga Aim. Sekarang
sudah tak punya alasan yang tepat untuk kabur menghilang lagi, karana
Mami juga pasti akan marah.
“Udah siap, kak?” Tanya Ami yang kali ini malah terlihat ingin cepat
–cepat sampai di rumah Adin.
“Bentar napa. Tadi aja males sekarang suruh ceppet.” “Iya iya..” Ami
keluar dari kamar.
“Udah siap?” Tanya Mama.
Ami tersenyum berat pada Mama. Setiap kali kerumah Adin, berarti Mama
sendirian saja dirumah. Tak mungkin Mama ikut dengan mereka kerumah Adin
bukan?
“Iya Ma… tenang aja Ma, kita gak bakal pulang terlalu malam koq…” “Iya
iya…”
Tujuh nol nol, jam dinding sudah tepat. Semua sudah siap untuk
berangkat, by
mobil jazz hitam milik Ayah, Ami dan yang lain langsung melaju sampai di
rumah besar yang ditinggali sang ibu tiri.
Tujuh menit perjalanan tak memakan waktu lama, sampai juga akhirnya.
Rupanya ini pesta yang lumayan besar. Yaa walau hanya syukuran makan.
Setidaknya bukan hanya Ami dan kakak –kakak tapi juga Aunty dari Ayah
serta sepupu yang lain. Untung saja kedatangan mereka tak terlalu
terlambat.
22
Deretan aneka hidangan sedap menggugah selera telah tertata sangat rapih
berkat bantuan helper, Ami dan kakak yang lain. Saatnya makan! Mereka
semua sudah bekumpul di ruang makan. Dan Atun! Maaf, namanya Fajrin,
hanya kesal dengan tingkahnya dulu jadi Ami dan kakaknya memanggil
lelaki itu dengan sebutan Atun. Dia anak sulung Mami dengan suaminya
yang terdahulu.
Mami terlihat sedikit kesal. “Ada?” Tanya Mami pada si Atun, eh! Fajrin
maksudnya.
“Sebentar lagi Ma, masih sibuk katanya.” Jawab si lelaki yang tak
terlalu tampan itu.
“Aduh, aneh –aneh saja si Bram itu!” Kesal Mami. “Ini mau mulai tapi dia
malah terlambat. Sana panggil dia lagi!”
Sesuai perintah sang Ibu, Fajrin kembali menaiki tangga memanggil
Adiknya yang masih bersemedi di kamar penuh kegelisahan.
Ami mendekat pada kak Hani yang duduk tepat disampingnya. “Bram? Siapa?”
Bisiknya pelan.
“Masa gak tahu? Namanya Ibrahim anak kedua Mama.” “Ibrahim?”
Kak Hani hanya menggangguk dan kembali bicara dengan Mami dan yang
lainnya.
Ibrahim? Sungguh persis dengan nama Aim, apa mungkin yang dimaksud benar
Aim? Mukanya Atun rada mirip sama Aim. Ah! Mungkin hanya pikirku saja.
Bisik Ami dalam hati.
Hatinya tak berhenti gusar penuh rasa penasaran dan curiga. Selama
bertahun
–tahun belum pernah Ami mendengar dan melihat anak Mami yang bernama
Ibrahim atau Bram itu. Yang ia tahu Mami hanya memiliki seorang anak
bernama Fajrin, dari suaminya yang pertama, dan Adin anak Mami dengan
Ayah. Hanya dua tak ada yang lain.
TOILET! Akh! Ami mulai gelisah dengan sikap duduknya. Segera ia menemui
Mami dan permisi untuk ke kamar mandi.
“Yang deket dapur sedang gak ada airnya, kamu kedalam saja. Di kamar
anak – anak saja.” Kata Mami.
“Ah iya Ma.” Sahut Ami, terburu –buru. Ah masa mau bucil alias buang air
kecil aja harus naik tangga panjang sih?! Keburu bocor nih! Aneh –aneh
aja.
Ini jadi pertamakalinya Ami untuk naik ke lantai dua, mana ia tahu letak
kamar
mandi mereka. Ami jarang sekali berkunjung kesini selain untuk
mengantarkan sesuatu untuk Mami, atau sekedar bersilaturrahim yang duduk
di sofa tamu.
Iapun melihat Fajrin yang sedang mengetuk pintu kamar.
“Bram! Ayo cepet ditunggu Mama!” Katanya sesekali menekan nadanya. “Misi
Bang, kamar mandi yang bisa aku pake dimana?” Ami menyela. “Disinia aja
Mi, Bentar lagi orangnya keluar koq.” Jawabnya.
Tak lama pintu kamar itu terbuka. Tiba –tiba saja tubuhnya terasa
seperti hendak membeku seketika. Tanpa sadar tangannya perlahan melayang
menunjuk pada seorang lelaki yang tak lain adalah Aim, Ibrahim Imran
kekasihnya.
23
“Aim?” Panggil Ami kaget dengan raut yang tak jelas.
Disana Aim malah tertunduk. “Iya Ami.” Itu benar pangeran Ami yang
menyahut.
Ami sungguh terbelak melihatnya. Selama bertahun –tahun bolak –balik
kemari
belum pernah Ami melihat seorang Aim ada disini. Ternyata dia adalah
saudara tiri Ami seperti Fajrin?! Ya TUHAN! Kenapa jadi seperti ini?
Geraknya sedikit kikuk sekarang, tapi Ami terus berusaha mencairkan
shocknya.
“Gak ngumpul? Dari tadi udah ditungguin, Mama sama atun. Eh! Fajrin
maksudnya.”
Basa –basi Ami menghindari gugup karena shock berat.
“Iya sebentar lagi aku kesana.” Katanya dengan rupa berat. “Kamu mau
kemana?”
“Aku mau ke kamar mandi dulu.” Jawab Ami. “Udah Mi, pake aja disitu.”
Suruh Fajrin.
“Ada tempat lain?” Ami tak berkenan masuk ke kamar Aim, jadi ia
menghidar. “Kalau kamu gak mau ya udah, kamu pakai kamar mandi yang di
ujung jalan, belok kanan.”
Ami manggut saja dan meninggalkan mereka.
Aim?! Apa dia sudah tahu kalau aku ini memang anak dari Ayah tirinya
sekarang? Apa mungkin alasan untuk backstreet adalah ini?
Dan sekarang?! Tentu hatinya sangat perih dirasa, mengetahui sebuah
kenyataan yang tak sanggub untuk diketahuinya. Ya Tuhan, aku tak mungkin
terus berhubungan dengan dia. Itu sama saja aku pacaran dengan abangku
sendiri, Aim, saudara tiriku. Argh! Sial! Dunia ini terlalu sempit
buatku. Tidak adakah pilihan lelaki lain yang jauh lebih berharga di
hati ku, yang halal untuk aku cintai?!
Deretan makanan yang dikira sangat sedap tadi, kini tak sedikitpun bisa
menembus selera makan Ami yang sudah mati kecewa. Di sana, tepat
dihadapannya, Aim hanya diam tertunduk tak sedikitpun memandang Ami.
Mama! Hatiku sakit, aku ingin segera berlari dari tempat ini. Aku ingin
pergi jauh Ma! Teriaknya dalam hati.
Air matanya jatuh juga. Bantal, guling, kasur tidur, semua terasa keras!
“Belum tidur Mi?” Tanya Kak Hani di tengah sadarnya. “Belum kak…”
“Ayo tidur, besok mau sekolah…” Lanjutnya kemudian tak berisik lagi.
Apa yang harus aku lakukan?
Bip, bip, bip! Hapenya berbunyi, ia raih ponselnya di nakas, ternyata
ada sMs dari Aim.
“Met bobo, jangan lupa baca do‟a. besok aku tunggu di tempat biasa ya??”
Katanya dalam sMs itu.
Balas? Gak? Balas? Gak? Argh! Pusing, tidur aja lah…
***
Empat
24
Kringggg!!!
Aku tarik bantal, ku sumbatkan ke telingaku yang tak tahan lagi dengan
suara bising yang terus berdering tanpa henti.
“Ami! Ayo bangun Mi! udah jam enam seperempat Dek!” Kak Hani menarik
selimutku.
Aku tarik kembali selimutku. “Aduh dingin kakak…” “Heh?! Kamu mau
sekolah apa enggak sih?! Ayo bangun.”
“Lima menit lagi aku bangun, kak.” Jawabku tapi semakin menarik selimut
menutupi seluruh badanku yang mulai terasa dingin.
“Sudah lima menit lewat! Ayo bangun!!!” Kak Hani menggelitikku.
Aku kalah! Aku benci digelitik. Berjalan dengan mata terpejam menuju
kamar mandi. Ah Howay! Ngantuk! Perlahan aku buka mataku. Lho?! Koq
buminya kebalik? Dan Gelap!
“Biar nanti Ayah yang antarkan surat izin sakitnya Ami.” Perlahan aku
buka mata melihat Mama sedang duduk di meja belajarku dengan pulpen yang
menari ditangannya.
“Ma pusing.” Keluhku.
“Iya kamu tidur saja, jangan sekolah dulu.” “Iya Ma.”
Hem! Aku akan berbaring sepanjang hari diatas tempat tidur ini. Kenapa
aku? Semalam aku masih sehat –sehat saja, ada yang salah dengan diriku.
Krang! Kring! Kruung! Hehe, hapeku ada telpon ternyata. Astaga! Aim yang
telpon. Bimbang aku harus angkat atau biarkan saja ya? Sudahlah kasihan
juga dia..
“Halo?” Aku jawab telponnya.
“Halo. Kamu kenapa?!” Katanya dengan suara yang cukup cemas. “Waalaikum
salam.” Sahutku santai.
“Ah Maaf, Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam, memangnya anjingnya berapa ekor?” Godaku. “Anjing?”
Heran Aim di seberang sana.
“Aku kira kamu di kejar anjing, sampai tak kasih salam.”
“Ah Ami, aku khawatir sama kamu. Dessy bilang kamu gak masuk sekolah.
Kamu kenapa?” Tanyanya memelan.
“Aku gak papa, aku cuma pusing biasa. Demam, yaa penyakit anak
kecillah…” “Udah ke dokter? Yang namanya demam itu harus diwaspadai
Ami…”
“Udah, kamu gak usah khawatir gitu, masih ada Mama dan Ayahku yang lebih
mencemaskan anaknya.” Aku memotong kegelisahannya.
Oh God, berucap manis, lembut, dan pelan penuh rasa sayang dilarang
antara
aku dan dia. Seharusnya sudah tak boleh aku lontarkan pada dia, Aim itu
abang ku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku langsung minta putus saja?
Tapi gak enak kalau lewat telpon, dan ini juga terlalu cepat aku rasa.
“Udah ya, aku mau tidur dulu. Mau istirahat kepalaku mulai pusing lagi
nih.” “Iya, kamu banyak istirahat ya. Cepet sembuh ya sayang.” Pesan Aim
dengan
25
nada khas rayuan manisnya.
“Makasih.”
Tit! Telpon mati dan aku letakkan kembali di nakasku.
Aku menghela nafas berat. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa hatiku
sakit
saat aku mengetahui ini semua? Kenapa aku mulai merasa berat untuk
kehilangan dia? Tak seperti niatku awal hanya ingin membuat dia
merasakan Ge-er seperti yang pernah aku rasakan, yang akan mencari
seseorang lagi sebagai pengganti dirinya suatu saat nanti. Rasanya itu
tidak akan berlaku lagi sekarang.
“Cepat sembuh ya sayang, aku harap kamu mengerti aku tak mungkin datang
untuk menjenguk kamu. Dan aku tahu kamu mengerti alasan kenapa aku
ingnkan untuk merahasiakan semua ini…”
Itulah yang selalu di lontarkan dalam sMs maupun bicara di telpon selama
dua hari ini padaku.
“Kamu kenapa, Mi? Tumben kamu sakit gak ada sebab?” Tanya Kak Hani yang
sedang mengerjakan tugas di laptopnya.
Aku menggeleng. “Emang sakit gak ada sebab? Aku gak tau kenapa aku
sakit, yaa kalau Tuhan mau hambanya sakit ya sakit, kakak…”
“Pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan? Kakak tahu benar jenis sakit
kamu dan penyebabnya.”
“Hallah! Kakak kaya doketer aja, SOTO!”
“Yeh enakan RAWON lah!” Satu kata itu ditekannya dalam –dalam. “Ya tau
lah, aku ini kan kakak mu sejak tujuh belas tahun yang lalu kamu lahir
kedunia ini.”
Aku menghela nafas panjang.
“Kamu itu kenapa sih, Dek? Seperti orang tua yang sedang memikirkan
masalah rumah tangganya aja. Ruwet!”
“Emang wajahku ruwet gitu?”
“Sangat!” Sahutnya kesal. “Ami, Ami. Kamu itu setiap ada masalah
langsung
jatuh sakit, sekarang kamu cerita biar kamu cepat sembuh kembali. Ingat
udah dua hari kamu gak sekolah, besok gak mau sekolah lagi?”
Aku memang ada masalah kak, dan maaf aku gak bisa curhatin masalah yang
satu ini sama kakak. “Aku cuma capek sama tugas sekolahku kakak,
memangnya aku sakit harus punya masalah ya?”
“Ya gak sih…”
“Ya udah jangan korek aku lagi.” Aku berbalik membelakanginya dan
memejamkan mataku.
Mataku memang terpejam, tapi pikiranku masih tak terhenti yang terus
berjalan tanpa arah. Aim! Aku harus gimana? Aku sudah tak tahu harus
berkata apalagi sekarang, kenapa aku mulai menyesali semua yang telah
ditakdirkan seperti ini. Ah! Kenapa sih dulu Mami kegenitan minta nikah
sama Ayahku dulu?! Jadinya kan kita yang jadi korban!
***
Badanku masih tak
terlalu sehat untuk masuk, tapi mau bagaimana lagi aku
tidak mungkin sakit sampai berhari –hari hanya karena masalah tak
penting seperti ini.
26
“Ami!” Dessy memanggilku yang baru melangkah masuk gerbang sekolah.
“Hey! Apa Des?” “Udah sembuh?” “Iya…” Aku tersenyum.
“Mi, Aim telpon aku panjang lebar kemarin.” “Terus?”
“Katanya kamu gak balesin sms dia ya? Kalau di telpon juga jarang di
jawab katanya.”
“Owh, terus?”
“Aduh koq terus aja sih?!”
Aku menaik turunkan bahuku.
“Dia minta aku tanya kamu, kenapa kamu begitu?”
Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan menuju kelas dengannya sambil
menceritakan semua kekecewaanku. Sakitnya mengetahui siapakah Aim
sebenarnya. Nampaknya Dessy tak terkejut dengan itu, justru aku lah yang
terkejut ternyata Aim sudah menceritakan semua padanya dan meminta
untuk tidak membocorkan padaku hingga akhirnya aku telah tahu sendiri.
“Aku minta maaf Ami…” Sesalnya. Dengan tatapan bersalah memandangku. Aku
melepas tas dan meletakkannya di atas mejaku. “Gak papa Des, kamu
menjaga rahasia yaqg diamanatkan Aim. Dan aku hargai itu.”
“Makasih ya. By the way, kalau kamu seperti itu namanya melarikan diri
dari masalah dong...”
“Aku gak tahu harus gimana Des, aku takut…”
“Ayolah Ami, apa yang harus kamu takutkan? Jangan jadi seperti seorang
pengecut yang lari dari tanggung jawabnya. Ya emang bukan berarti kamu
pengecut sih, tapi ini kenyataan yang harus kamu hadapi sekarang. Kalau
aku yang selesaikan masalahmu ini adalah salah. Aku gak boleh ikut
campur kan? Ini masalahmu dan dia.
Kamu harus segera selesaikan semuanya…”
Aku terdiam menundukkan kepalaku yang terasa semakin berat saja.
“Jangan bilang kamu udah jatuh cinta sama dia, Ami?” Tatapnya curiga.
Aku terhenyak. Benarkah aku telah jatuh cinta? Inikah cinta?
“Kamu takut kehilangan Aim ya? Rasanya kemarin aku mendengar kamu gak
perduli kalau dia pergi, benar bukan?”
Aku tersenyum. “Masih ingat saja kamu.”
“Ami, Ami, jangankan nanti, sekarang saja kamu sudah kehilangan Aim. Yaa
walau semua itu terjadi karena aku yang terlalu aman menyimpan
rahasia.” “Sudah lah Dess, mungkin ini dah jalan yang Kuasa buat kisah
hidup aku.” “Iya sih, kamu yang sabar ya? Yang kuat, walau takdir
menyatakan Ibrahim
Imran itu adalah abang tirikamu, kamu harus bisa menghadapi semuanya,
selesaikan, dan jangan terus menghindar dari dia. Selesaikan segera dan
ya selesai.”
Dessy benar, percuma aku terus bersikap seperti ini. Aku harus segera
temui
dia dan menyelesaikan semua yang memang perlu diselesaikan. Sekarang
yang harus
27
aku lakukan adalah bertemu dengannya. Tapi aku takut Ya Tuhan, beri aku
kekuatan untuk berhadapan dengan dia terakhir kalinya.
***
Suara gemuruh langit yang
semakin meggelap, membuat jantungku semakin mengerut rasanya. Sudah
lebih dari seperempat jam aku menunggu kedatangannya. Ibrahim Imran,
seorang lelaki yang ada dihatiku saat ini tak kunjung muncul. Aim?!
Kemana kamu? Jangan buat aku menunggu lama.
Bip bip bip!
“Ayo pulang, bentar lagi hujan. Jangan lama –lama…” Itu sms dari Mama.
Mungkin aku memang sebaiknya segera pulang. Lalu Aim? Itu urusan
gampang,
dia pasti mengerti dari pada Mama dan tiga kakaku yang akan mengoceh
sepanjang hari tujuh kali seminggu.
Walau cuaca mendung, tapi hari ini hari yang sangat melelahkan. Sejak
pagi aku beraktifitas penuh di sekolah. Hingga badanku rasanya lengket
sekali dengan keringat. Aku menyambar handuk yang menggantung di luar
pintu kamar mandiku, dan
lalu masuk untuk mandi menyegarkan diri.
“Ami! Hapemu bunyi!!” Teriak Kak Hani padaku yang sedang mandi.
“Iya biarkan saja!!” Sahutku berbalas teriakan.
Segar! Beberapa menit kemudian aku keluar. Alisku mengernyit, heran
melihat kak Hani yang duduk di bibir kasur dengan handphoneku lekat
ditelinganya. Raut
mukanya juga tak sabar, dia seperti mendapati sebuah kabar buruk. Siapa
yang telpon? Apa yang terjadi? Biasanya ia tak pernah perdulikan aku
dapat telpon maupun sms dari siapapun.
Aku mendekat padanya. “Kak Hani? Koq hapeku dipakai? Siapa yang telpon?”
Tanyaku heran melihat kak Hani duduk dengan alis bersatu. Ia membuang
hapeku ke kasur dan berdiri tepat dihadapanku.
“Kenapa kak?” Aku semakin heran saja.
PlaaAST! Sebuah tamparan aku terima darinya.
“Kak? Kenapa kakak nampar aku?” Tanyaku tak tahu sambil menyentuh bekas
tamparan yang sangat terasa perih dam sakit.
“Kamu pacaran sama Ibrahim?! Iya?” Bentaknya.
Ya Tuhan, jangan –jangan barusan yang telpon itu Aim. Memangnya apa yang
mereka bicarakan? Apa yang harus aku katakan padanya?
“Jawab!” Bentaknya membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk pertanda ya.
“Sungguh keterlaluan kamu! Kau tahu sendiri bagaimana kerasnya ayah,
tapi
kamu masih saja berani main api! Parahnya lagi sama Ibrahim! Kamu sadar
apa yang udah kamu lakukan Ami?”
“Maaf kak…”
“Kamu tahu siapa Ibrahim itu?!”
Aku mengangguk. Setetes air mata mulai jatuh di pipiku.
“Keterlaluan! Dimana kamu taruh otak kamu untuk mikir ha?! Sudah tahu
dia
itu abangmu sendiri masih kamu pacari. Apa kata orang yang tahu nanti
ha? Kamu gak
28
mikir itu?!”
“Ami gak tahu kalau Aim itu anaknya Mama kak…”
“Ya sekarang kamu sudah tahu kan?! Masih mau lanjut? Mau terus? Mau
nerobos semuanya ikuti nafsu pikiran kamu?!”
“Maaf kak…”
“Ya pastilah kata itu yang akan kamu lontarkan. Tapi maaf itu bukan buat
kakak, tapi buat orang tuamu. Sadar? Pernahkah kamu berfikir bagaimana
perasaan
Mama jika mengetahui hal ini?!”
“Jangan kak. Aku mohon jangan sampai yang lain tahu tentang ini. Aku
tahu aku salah, dan aku akan selesaikan ini semua secepatnya. Aku sadar
aku tak boleh seperti ini kak…” Tangisku semakin menjadi menyesali
semuanya.
“Ibrahim Imran itu abang kamu sendiri Ami! Seperti Kak Hani kakak kamu
ini!”
Tekannya.
“Iya kak…” Jawabku tak kuasa menahan isak tangis.
“Takdir sudah begini, jangan kamu mencoba sekalipun untuk mengelak dari
takdir yang sudah ada. Apalagi masih ada hukum yang harus kamu patuhi
Ami.”
Lanjutnya dan kemudian pergi keluar kamar.
Hatiku sakit, aku berlutut dengan derai air mata penyesalan atas apa
yang sudah menimpaku saat ini. Aku tak kuasa apapun, perasaan ini
sungguh sulit aku
kendalikan. Aku sadari aku telah salah, harusnya dari awal aku berfikir
dan curiga atas apa yang sudah dia lakukan padaku. Sekarang sungguh sial
nasib percintaan aku, giliran cinta pertama harus pada seorang yang
salah.
Aku menarik nafas dan membuangnya dengan pasti, sepasti langkah kakiku
menuju rumah Dessy. Aku butuh petunjuk dari dia, sebagai guru cinta dan
sebagai penanggung jawab telah mencomblangkan aku dengan Aimku.
Langkahku melambat, saat terdengar suara deru deram motor besar tepat
dibelakangku memelan.
“Ami!” Panggil seseorang dari arah belakangku yang sedang berjalan.
Aku hanya menghentikan langkah tanpa menoleh. Aku tahu suara itu adalah
suara Ibrahim Imran.
“Ami tunggu!!” Katanya lagi sesegera mungkin mematikan motor dan turun
dari situ. “Kamu itu kemana Mi? aku pikir kamu sudah sampai, ternyata
kamu malah gak datang…” Lanjutnya berdiri di hadapanku.
“Aku datang tapi kamu yang gak datang.” Aku memalingkan wajahku. Aku tak
mau melihat rupanya yang pasti membuat hati ini semakin sakit.
“Sorry kalau aku harus terlambat. Tapi kamu kenapa?” “Kamu telpon aku
kan?”
“Iya, tapi yang angkat Hani, bukan?” “Dia sudah bicara apa saja sama
kamu?”
“Dia tidak membicarakan apapun. Aku hanya menanyakanmu dan dia
menjawabnya.”
“Lalu kenapa dia ta…” Aku terhenti. Aku baru ingat kalau nomornya di
hapeku aku beri nama „Sayangku Aim‟ pantas saja kak Hani berani angkat
telpon itu. Aduh
29
sungguh bodohnya aku!
“Kenapa?”
“Ah sudah! Aku mau kita putus!” Tegasku kemudian berbalik hendak
meninggalkan dia.
“Ami gak!” Sahutnya lekas menarik tanganku menghadapnya lagi. “Gampang
banget kamu bilang putus. Kenapa kamu mita putus, ha?” Wajahnya seperti
disambar petir. Aku tahu dia sangat terkejut dengan kataku barusan.
“Jangan bodoh, tanpa kata putus saja memang seharusnya kita gak ada
hubungan apa –apa.”
“Jadi kamu mikir gitu? Sudah aku duga kamu pasti mikir begini. Dalam
tubuh
kita gak ada darah yang sama mengalir, Ami! Jangan perdulikan mereka,
biar mereka dengan pikirannya sendiri. Aku tahu, pasti kakak –kakakmu
sudah ngomong macam – macam kan?!”
“Yang mereka katakan hanya satu dan itu benar! Ibrahim Imran adalah
abang
tiri Amita, dan tidak boleh ada hubungan selain persaudaraan diantara
keduanya! Mereka benar, hanya aku saja yang bodoh sudah kemakan semua
alasan dan gombalan kamu!”
“Kamu jangan ngomong gitu Ami! Aku sayang sama kamu…”
“Percuma! Kalau kau memang sayang sama aku harusnya dari awal kau
katakan statusmu yang sebenarnya! Bukan merahasiakan sampai terjadi
semuanya seperti ini. Cukup aku minta ini terakhir kalinya kita ketemu
seperti ini. Jangan pernah temui aku lagi!”
“Aku tetap gak perduli sama omongan kamu itu! Aku sayang sama kamu dan
aku yakin betul kamu juga sayang sama aku!”
“Aim cukup! Jangan ingkari takdir yang sudah ada. Kamu dan aku harus
terima itu!”
“Takdir apa?!”
“Takdir kalau kita ini saudara…”
“T.I.R.I Mamaku, bukan Mamamu, Ayahmu, bukan Ayahku. Dengar? Kau dan
aku, kita bukan saudara!”
“Pernahkah kamu mikir kalau Agama itu tidak menghalalkan cara kita?”
“Agama yang mana?! Aku tak pernah mendengar agama kita melarang hukum
seperti itu.”
Aku terdiam, aku memang tidak tahu apapun tentang hukum yang aku
bicarakan sekarang.
“Hukum yang mana melarang hubungan kita ha?! Bilang sama aku, aku
sendiri yang akan hancurin hukum itu!”
“Aku bilang cukup!” Kataku tak kuat lagi, air mata yang sejak tadi aku
bendung akhirnya jebol juga. Aku tatap dua matanya lekat –lekat. “Jangan
desak aku seperti ini. Aku memang gak tahu tentang hukum. Tapi aku tahu
hubungan kita memang dilarang…”
“Kamu sangat ingin kita akhiri semua?”
Aku hanya menggangguk.
30
“Okay, kalau kamu kita akhiri ini semua, kamu harus penuhi satu
syaratku.” “Apalagi?”
“Kamu harus temukan satu hukum yang memang pasti melarang hubungan kita
ini. Kalau kamu bisa temukan dalam waktu tiga ratus enam puluh lima
hari, okay aku akan terima itu. Tapi kalau kamu gak bisa temukan dengan
pasti tanggal dua tujuh juli dua ribu sepuluh tahun depan, aku akan
langsung membawa kamu menghadap orang tua kita.” Pintanya dengan penuh
keyakinan.
Aku tak lekas menjawabnya, aku terdiam dan berfikir. Mampukah aku
menerima dan melakukan syarat itu? Bagaimana kalau aku mampu? Dan
bagaimana juga bila tidak? Ya Tuhan apa aku harus menerima syarat ini?
“Selama tiga ratus enam puluh lima hari, jangan panggil aku dengan
sebutan sayang. Jadilah seorang abang tiriku sesungguhnya…”
“Itu gampang, aku akan lakukan syaratmu juga...” Katanya sambil
menjulurkan tangannya. “Deal?”
“Deal…” Aku menyalaminya.
Bagaimana ini apa aku mampu? Dari mana aku harus memulai mencari
jawaban ini semua? Sulit bagiku untuk menemukan satu hukum agama yang
pasti. Di dunia ini terlalu banyak ulama yang berpendapat dengan
pendapatnya masing – masing. Tentu saja itu tidak akan menghilangkan
kebingunganku nantinya.
***
Lima,,
Soreku yang kelabu. Walau sinar matahari yang semakin kebarat masuk
kaca rumah tapi tak bisa masuk hati dan pikiranku yang gelap ini. Huh!
Aku mulai bosan dirundung tugas yang aneh ini. Mungkin ini soal mudah,
tapi sangat jauh untuk
mencari jawaban. Hanya soal matematika yang bisa menemukan jawaban
pasti, bukan agama yang hanya diperdebatkan oleh ulama –ulama. Ya Tuhan
kuatkan aku…
Aim, Ibrahim Imran…
Dear Aimku sayang….
Sejujurnya aku merasa sangat kecewa sekali sama kamu. Atas apa yang udah
kamu lakukan dari awal tak sebanding dengan kenyataan menyedihkan yang
aku temui sekarang. Apa yang bisa aku lakukan? Selain mencari jawaban
selama setahun agar aku bisa memastikan diri ini apa kita pantas untuk
bersama atau bahkan tidak sama sekali…
Sampai saat ini aku hanya dapat tuliskan surat kekecewaanku yang tak
perlu disampaikan pada Aim diatas selembar kertas dalam dairy ku. Ah Ya
Tuhan, kenapa setengah perjalanan hidupku seperti ini sekarang. Adakah
hal lain selain cinta yang lebih pantas untuk aku fikirkan?
Aku rentangkan tubuhku hampir memenuhi tempat tidur. Sejenak memejamkan
mata berusaha untuk menenangkan emosiku yang semakin tidak
31
menentu. Sampai akhirnya aku merasa perutku mulai memainkan not –not
fals. Aku lapar, akupun beralih menuju dapur mencari sesuatu yang
mungkin dapat menyumpal bunyi perutku sampai waktu makan malam nanti.
“Tadinya Ayah berniat jodohkan Hani sama Fajrin…” Kata Ayah dengan
secangkir kopinya di meja makan.
Aku menghentikan gerakku seketika. “Memang boleh?” Tanyaku pelan. Aku
lanjutkan kembali memasang tomat dan selada diatas roti burger
bikinanku.
“Itu dia masalahnya, Ayah juga bingung, setau Ayah boleh tapi orang
bilang gak boleh. Ah kebetulan besok ada pengajian biar besok Ayah
tanyakan sama pak Ustadz.”
Aku tersenyum. Ide yang bagus Ayah. Nanti kasih tahu aku juga Yah jawban
yang Ustadz katakan.
Setidaknya untuk sebuah awalan aku dapatkan satu sumber. Sekarang
tinggal
tunggu jawaban besok saja. Masih kurang aku harus cari lagi sumber yang
lainnya. Aku harus cari lebih banyak, agar aku tahu siapa yang benar dan
membuat hatiku semakin yakin akan kebenaran itu. Tapi, perasaanku ragu,
seperti ada hal lain yang membebani hatiku. Rasanya sungguh takut kalau
aku justru menemukan bahwa diantara aku dan dia boleh –boleh saja
bersama, tak ada larangan..
Kali ini aku tak punya kerjaan lain selain duduk sendiri di kamar,
menulis,
merenungi semua yang terjadi pada diriku. Tak ada Kak Hani yang bisa aku
ganggu, tak ada Aim juga yang biasanya mengganggu aku dengan semua
kegombalannya. Telpon, sms, dan surat merah jambu. Abang… Hati ini
bilang aku mulai merindukanmu. Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan
cinta? Perasaan senang yang sangat indah, tapi sedih, perih dan sakit
untuk kehilangan?
Ibrahim…
Aku gapai handphoneku yang bersantai di dekat bantal. Aku buka sebuah
foto
dari gallery memoriku. Itu foto pertamaku dengan dia saat kencan ketiga
di pinggiran sungai yang sama seperti awal pernyataan cintanya padaku.
Mungkin itu sekitar dua bulan yang lalu.
Setetes air bening jatuh dari sebelah mataku. Hatiku sekarang seperti
ditusuk sejuta jarum, seperti di cabik –cabik, seperti disiram air
keras. Sungguh aku tak kuat menahan semuanya sendirian. Ku sentuh tanda
close agar aku tak lihat gambarnya lagi, karena itu akan membuat
pikiranku menggoyah tak karuan. Tapi… aku sangat
merindukan dia. Aku tak kuasa, yang bisa ku lakukan hanya menangis
sendiri meratapi kenyataan kekecewaanku.
Bib Bib Bub Bab! Sms aku terima.
“Sudah tidur?” Rupanya di jauh sana Aim juga tengah memikirkan aku.
Balas atau tidak ya? Tapi aku ingin menanyakan kabarnya. “Belum…”
Balasku.
Ya Tuhan, aku ingin sekali mendengar suaranya. Aku ingin dia memanggilku
dengan kata sayang lagi.
Krang! Kring! Krung!
Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Baru saja aku ingin dengar suaranya
sekarang dia sudah langsung menelponku. Jantung ini rasanya mau copot,
debarnya
32
terlalu kencang.
“Ha, ha, hallo…?” Jawabku gugub. “Assalamualaikum Ami…” “Waalaikum
salam…”
Sunyi sesaat.
“Ada apa?” Tanyaku memulai. “Apa kabar?”
“Aku baik, kau sendiri?”
“Aku baik juga, terimakasih kamu menanyakan kabarku.” “Sama aku juga…”
“Udah malam kenapa masih belum tidur?” “Belum terlalu ngantuk.”
“Owh…”
Perbincangan itu terlalu basi, durasi hanya terbuang oleh diam dan
pertanyaan
–pertanyaan yang tak penting. Tapi aku senang karena aku bisa mendengar
suaranya lagi.
“Besok sepulang sekolah aku jemput ya?” “Ah jangan, jangan jemput aku…”
“Kenapa? Jangan bilang kamu menghidari aku.”
“Tidak, tapi aku sudah punya janji dengan Dessy, besok ada belajar
bersama.” “Owh ok, aku percaya.”
Kembali sunyi… “Ami…”
“Iya?”
“Apa kamu memikirkan yang apa yang aku pikirkan?”
“Memangnya kau mikirin apa?”
“Aku sedang memikirkan hukum kita. Aku harap tidak ada hukum yang
melarang hubungan kita.”
Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Aku tak ingin berharap lebih atas
apa
yang tidak jelas saat ini. Aku tak mau kalau nantinya aku juga harus
sakit hati, bakhkan lebih sakit lagi.
“Sudahlah jangan bahas itu. Ini sudah malam. Aku harus tidur…” “Okay…
met tidur, have a nice dream…”
“Makasih, you too…”
***
“Assalamualaikum warohmatullahi
wabarohkaatuh.” Salam seorang guru yang baru akan memulai pelajaran
siang ini.
Serempak semua murid menjawabnya. “Waalaikum salam warohmatullahi
wabarokatuh…”
“Hari ini kita akan memasuki bab baru dalam pelajaran Agama islam.”
Aku membuka lembar demi lembar halaman buku pelajaran agamaku.
“Bab enam, Munakahat….”
Sangat kebetulan sekali, bab ini mempelajari tentang pernikahan. Salah
satu
33
materi yang dibahas hari ini tentang Mahram yang halal dinikahi. Panjang
lebar Pak Amin menjelaskan semua yang wajib diperhatikan dalam menuju
pernikahan. Mulai dari pemilihan calon pasangan pengantin, hingga sikap
yang dilarang saat menempuh bahtera rumah tangga.
Satuhal yang sangat menarik dipikiranku. Itu tentang Mahram yang halal
dan
yang dilarang untuk dinikahi. Semua itu tertuang dalam Al-Qur‟an Surah
An-nisa Ayat
:
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Aku coba resapi dan mencerna semua pengertian yang tersirat dalam ayat
itu. Hingga sebuah pertanyaan muncul di benakku.
Aku acungkan tanganku segera.
“Ya Ami?”
“Saya mau tanya pak…”
“Silahkan. Sapa tahu mungkin setelah ini Ami akan menikah.” Sahut pak
Guru sembari melontarkan lelucon yang membuat aku sangat malu. Teman
–teman sekelaspun menertawai aku.
Santai saja lah. “Bagaimana pak jika menikahi saudara tiri kita sendiri?
Anak dari Ibu tiri atau Ayah tiri dengan suami atau Istrinya yang
terdahulu?” Tanyaku sungguh –sungguh.
Pak guru tersenyum tapi senyumnya seperti memberatkan sesuatu. “Yaa
kalau itu, pertanyaan yang cukup menarik Ami. Apa kamu menyukai saudara
tirimu?”
Aw! Kenapa mata –mata mereka semua tertuju padaku karena pertanyaan itu.
Aku tersenyum sedikit tegang. “Ya bukan begitu pak, yang saya tahu di
luar sana ada sebagian masyarakat yang berfikir kalau menikah dengan
saudara tiri itu boleh dan ada yang menganggab itu tabu. Sedikit butuh
pencerahan Pak…”
“Ah yayaya… baik, seperti yang tertuang dalam surah annisa ayat dua
puluh tiga. Disana sudah dijelaskan siapa –siapa yang dilarang untuk di
dikahi. Yang
dimaksudkan adalah Mahramnya. Menikahi saudara tiri, anak dari Ayah tiri
atau Ibu tiri dengan suami atau istrinya yang terdahulu. Itu tidak
termasuk dalam mahram yang disebutkan. Berarti, boleh dinikahi…”
Aku mengangguk –angguk mengerti.
“Dalam ilmu biologi, diantara dua anak itu memiliki Ayah dan Ibu yang
berbeda asalnya, berbeda darahnya. Maka tidak akan menimbulkan penyakit
pada keturunan
34
yang dihasilkan nantinya…” “Jadi halal begitu pak?”
“Iya, halal. Hanya sajaaa… Masyarakat yang tidak mengerti biasanya
menganggap hal seperti itu adalah tabu. Dan ada juga yang berfikir kalau
„anaknya minta cerai, orang tuanya gimana?‟ itu namanya saling tarik
–menarik antara masalah anak dan orang tua, jadi sebagian mereka
berfikir, „yaa janganlah begitu…‟”
Aku manggut –manggut. Kali ini aku benar benar mengerti penjelasan pak
Amin. Dan pemikiran orang seperti itu benar, kalau anaknya yang
bermasalah orang tuanya yang sudah harus berbuat sebijaksana mungkin.
“Kalau masalah seperti ini menimpa saya, saya lebih memilih tidak saja.”
“Kenapa pak?” Tanya seorang kawan.
“Ya, karena saya sudah menganggab mereka adalah saudara saya. Apalagi
itu merupakan hubungan yang terlalu dekat buat saya.”
Hubungan segitu terlalu dekat? Lalu antara aku dan Aim, kami berdua
sudah
terlalu jauh. Kalau saja aku tahu dari awal kalau kenyataan yang
sebenarnya seperti ini mungkin aku lebih memilih menghindarinya.
Oh GOD, kenapa jadi serumit ini?
Oh ya, aku teringat pada Ayah yang akan menanyakan hal ini pada Ustadz
di pengajian. Yaa, walau sebenarnya tidak perlu bertanya pada Ayahpun
aku sudah tahu
yang seharusnya. Aku temui Mama di dapur yang sedang menyipakan makan
siang untuk kami semua.
“Gimana Ma, Ayah tanya sama pak Ustad tentang kak Hani sama Fajrin?”
Tanyaku sok perduli dengan keduanya.
“Ustadznya sedang sakit katanya, jadi pengajian kemarin ditunda.
Memangnya kenapa?”
“Ya gak papa sih Ma, kan Ami pengen tahu saja apa Kak Hani sama si Atun
itu bisa jodoh gitu…”
Mama terhenti. “Atun?” Tanyanya heran. “Ah maksudnya Fajrin Ma,” Aku
tersenyum.
“Owh, tapi Mama fikir –fikir Mama tidak setuju kalau harus besanan sama
perempuan itu. Apalagi kalau orang mikir tambah macam –macam saja
omongannya nanti. Ah seperti tidak ada orang lain saja…”
Ah pupus sudah restuku dari Mama. “Iya juga sih Ma…”
Wajar saja Mama menolak punya besan seorang perempuan yang sudah
merebut suaminya belasan tahun silam. Kejam juga aku kalau egois tak
perdulikan itu hanya untuk kisah percintaanku yang tak penting ini. Tapi
bagaimanapun juga aku masih harus mencari hukum yang bisa memastikanku
untuk memperkuat alasan pada Aim nanti.
***
Musim panas
akhirnya mulai beralih menjadi tetesan air yang turun semakin
deras. Terkunci oleh derasnya air di luar sana, aku tak bisa kemana
–mana sekarang. Aim, gimana kabarmu disana? Lama sudah kita gak ketemu,
aku merindukanmu lagi sekarang.
35
“Jendelanya tutup, angin bawa airnya masuk…” Perintah Kak Hani padaku.
Tak perlu menjawab aku segera laksanakan tugas perintahnya menutup
jendela.
“Kamu kenapa lagi?” Tanyanya yang tiba tiba mengalihkan pandangannya
padaku penuh tanya.
“Apanya kak?”
“Mukamu tak secerah biasanya…”
“Memangnya aku langit yang cerah matahari?” Aku tersenyum sedikit. “Aku
gak papa koq kak.” Aku seret gordin menutup jendela kaca. “Kakak tahu
rencana Ayah mau jodohkan Atun sama kakak?”
“Hah?! Serius kamu?!” Katanya dengan mata nyaris melompat. “Biasa aja
lah kak, jangan kaget seperti itu.”
“Tahu dari mana kamu?”
“Ayah bilang sendiri waktu itu.”
Kak Hani terdiam. Ia tampak tak senang sekali dengan kabar ini.
“Tenang aja kak, kakak gak harap itu Mama juga gak mau punya besan orang
itu koq…”
“Benar?”
“Iya. Tadi siang aku tanya Mama, Mama gak mau sekali kalau sampai orang
itu
jadi besannya, lagi pula katanya seperti yang tidak ada lelaki lain
saja…” Aku duduk di pinggiran kasur dan meraih handphoneku di nacase.
“Ya walau jodoh itu siapa yang tahu…”
“Heh, koq gitu kamu? Sudah tahu sendiri Fajrin itu seperti apa. Atau
kamu yang lebih mengharap Ayah berniat menjodohkan kamu dengan Ibrahim?”
Katanya marah. “Hah!” Desahku pasrah. “Percuma juga aku pungkiri ya
kak?”
“Kamu itu, masih kecil saja pikirannya sudah sejauh itu.” Tangannya
mengibas seakan tak habis pikir dengan jalan pikiranku. “Kakak kasih
tahu ya, cari pasangan itu gak sembarangan. Sebelum kamu mengalami yang
namanya jatuh cinta, kamu itu harus lihat bibit, bebet, bobotnya. Iman,
keturunan dan latar belakang keluarganya yang jelas. Kita harus
mengetahuhi jelas tentang itu. Bukan seperti kamu yang langsung jatuh
cinta pada seorang yang tidak jelas asal usulnya.”
“Cinta tak serumit itu, kak…” “Tahu apa kamu soal cinta, ha?!”
Aku menunduk, aku memang tak tahu apapun tentang cinta. Yang aku tahu
aku hanya merasa sedih dan kecewa atas semua yang terjadi saat ini.
“Pernah kamu pikir, kamu sedang menyukai seorang pemabuk? Penjudi?
Pemain free sex? Atau bahkan pembunuh?”
Aku hanya menggeleng.
“Pikir Ami, cinta itu mahal harganya. Tak mudah kamu katakan ya dan
tidak untuk itu. Cinta yang bisa mengangkat derajat orang dan bahkan
juga sebaliknya.
Seseorang bisa terjerumus karena telah jatuh cinta pada seorang yang
salah…”
Aku masih terdiam tanpa kata. Kak Hani benar, dan apakah aku telah jatuh
cinta pada seorang yang salah? Apa dia bisa menjerumuskanku?
36
“Satu hal yang menjadi pedomanku kak. Seorang yang baik hanya akan
mendapatkan seorang yang baik pula. Sebaliknya, seorang yang tak baik
tentu juga mendapat seorang yang tak baik. Dan selama ini aku merasa
diriku telah cukup menjadi seorang yang baik. Siapapun jodohku nanti,
aku hanya bisa berharap dia adalah jodoh terbaikku, kak…”
“Semua orang tahu itu. Bahkan setiap kekurangan akan tertutup oleh
setiap kelebihan dari masing –masing pasangannya.”
“Apa kakak pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang?” “Emangnya
kamu merasa gimana?”
“Aku merasa, aku tak bisa melihat rupa yang baik selain hanya seorang
saja.” “Apa kamu sungguh –sungguh dengan Ibrahim, Mi?”
Aku mengangguk pelan.
“Kau tahu, sudah kakak bilang kamu gak boleh…”
“Iya aku tahu kak…” Aku memotong omongannya. “Aku tahu, bahkan aku tahu
kalau sebenarnya hubungan kami itu gak salah. Halal, untuk berlanjut
hingga pernikahan. Hanya saja aku tidak boleh lupa atas perasaan Mama…”
“Kamu tahu apa yang kamu bicarakan sendiri, Ami?” “Ya aku tahu dan aku
mengerti, kak…”
“Kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh nanti. Sebagai manusia kita
hanya bermimpi dan berharap, tak lupa juga berdoa.”
Aku diam hanya tersenyum kecil.
“Kakak sarankan, sebaiknya hentikan urusanmu itu. Kamu masih muda,
perjalanmu masih panjang jangan dirumitkan dengan masalah percintaan
yang tentunya masih lama untuk kamu jalani.”
“Iya kak…”
“Cinta itu buat entar kalau mau menikah. Atau kamu mau nikah sekarang?”
Aku melempar hapeku ke dekat bantal. “Sinting ah!” Sahutku tersenyum.
***
Kurasa nafas
semakin berat disetiap hari -hariku. Tetesan air semakin
menjatuhi bumi. Aku terus menatapi derasnya aliran air yang menumbuk
bebetuan besar itu. Sungai yang bergemuruh seperti hatiku yang juga
semakin menggemuruh disetiap hari. Sungguh besar kuasa Ilahi, untuk
semua yang terjadi di kehidupan ini.
Seperti halnya hatiku yang selalu bimbang dengan kebimbangan atas dua
pilihan yang sangat sulit. Ya Tuhan jadikan aku bisa mengendalikan
perasaan ini, Mama dan Ibrahim Imran adalah dua orang yang tidak ingin
aku sakiti hatinya. Sementara aku belum mendapat kepastian untuk
hubunganku dengan dirinya.
“Kembali kesini?” Tanya Aim yang tiba –tiba muncul mengejutkan aku yang
sedang melayangkan lamunan. Ia duduk dan tersenyum padaku.
Aku menoleh kearahnya dan membalas senyumannya. Aku tak tahu harus
menyahutinya apa. Jantung ku kembali berdebar kencang seperti awal
perjumpaan ku dengannya dulu.
“Iya…”
“Apa kamu merindukan aku?”
37
Aku hanya menunduk dan tersenyum. Datang kemari pastilah hanya karena
aku sangat merindukan dia, begitu juga dengannya.
“Kau tahu? Aku sangat senang bisa bertemu kamu disini sekarang. Aku
fikir perlahan kamu akan melupakan aku.”
“Sejauh ini aku tak punya niat untuk melupakan kau. Hanya saja…” “Hanya
saja kamu merasa sangat bimbang dengan ketidak pastian?” “Kau juga?”
“Tidak. Aku tidak. Aku tidak merasa bimbang karena aku sangat yakin yang
aku lakukan tidak salah.” Kemudian ia menatapku dengan senyuman yang
sangat indah.
Senyuman itu rasanya tak ingin membuat aku berpaling pada apapun. Aku
benar telah jatuh cinta pada dia. Seorang yang harusnya bukan dia.
“Ayo pulang, sebentar lagi gerimisnya pasti jadi hujan deras. Awannya
saja sudah mendung makin gelap tuh.”
“Aku ingin tinggal lebih lama.” “Kalau hujan?”
“Tak apa. Aku ingin hujan –hujanan.”
“Jangan, nanti kamu masuk angin. Besok masih masuk sekolah.” “Cuma
sekali saja…”
Aim tersenyum. Dipegannya tanganku yang menyentuh rerumputan di tanah.
Kepalan tangannya begitu hangatkan tanganku yang tertusuk dinginnya
hawa.
“Tanganmu dingin sekali. Sudah lama disini ya?” Ia menggosok –gosok
tanganku.
“Baru setengah jam yang lalu…”
“Baru?! Itu sudah lama sekali Ami! Lihat hidung kamu saja sudah merah
jambu begitu.”
Aku pencet –pencet hidungku. “Gak dingin –dingin amat koq…” Aim
tersenyum. “Ami…” Panggilnya tiba –tiba serius.
“Iya?”
“Satu hal yang menjadi do‟a ku saat ini…” “Apa?”
“Semoga tidak ada satu hukumpun yang melarang hubungan kita…” Aku
menarik tanganku seketika. “Jangan berdo‟a seperti itu.” “Kenapa? Kamu
gak mau kita sama –sama?”
Aku terbangun dari dudukku. “Dua puluh tujuh juli tinggal beberapa bulan
lagi, sampai jumpa…” Tandasku dan melangkah pergi.
Aim, kenapa kamu harus berkata seperti itu? Apa yang akan membuat kamu
sadar kalau hubungan kita tidak akan mendapat restu dari sapapun? Ini
hanya akan membuang –buang waktu. Tanggal dua puluh tujuh bulan juli dua
ribu sepuluh hanyalah tinggal empat bulan lagi. Bisakah aku menemukan
kejelasan di jalan lain? Delapan bulan saja lekas berlalunya, apa lagi
sisa waktu yang hanya empat bulan ini. Dimana lagi aku akan mendapatkan
jawaban pasti tentang hubungan kita ini dilarang?
***
Kriiiiinnngg!!!!!!
38
Akhirnya! Bel istirahat berkumadang juga. Sejak tadi perutku sudah
keroncongan mendengar ceramah aneh pak Shodiqin selama empat jam full.
Gara – gara bu Ari gak masuk nih, jadi diganti deh.
“Baksonya dua Buk…” Order Dessy.
Sementara menunggu Dessy yang masih membeli bakso, aku cari tempat yang
pas buat menikmatinya. Tak lama menunggu, Dessy datang dengan dua
mangkuk bakso.
“Nih…” Katanya.
“Eh iya. Katanya anak Ips lagi dapet tugas rumit ya?” Tanyaku memulai
topic. “Enggak koq. Kata siapa?” Sambil lalu, Dessy meramu kuah
baksonya.
Aku melihat sekitar kanan kiri dan bagian belakang. “Itu anak Ips pada
pegang kertas semua.”
“Kalau itu sih, kalau gak salah nih yaa. Mereka cuma disuruh survey
koq…” “Survey apa?”
“Ya survey bikin pertanyaan trus dibagiin ma anak –anak. Terus ya
pertanyaan dijawab dan dilihat hasilnya.”
“Owh.. cuma survey gitu toh, kirain tugas rumit kaya apa tuh..”
“Biasalah anak Ips suka berlebihan.”
Aku hanya tersenyum.
Tapi…
Survey?! Apa mungkin aku perlu melakukan sistem yang sama seperti
mereka? Melakukan survey terhadap seratus orang dari berbagai kalangan
mereka? Cara pandang mereka terhadap hal yang tidak biasa seperti ini.
Akh… seperti kuis saja. Tapi kalau itu bisa berguna, kenapa tidak? Tapi…
Apakah bisa aku lakukan itu dalam jangka waktu yang semakin singkat
ini? Well semoga aku bisa…
Dari mana aku harus memulai? Pastinya aku harus memulai dari menulis
pertanyaan dan options pilihan jawabannya. Lalu aku mengetik dengan rapi
dan
mencetaknya. Setelah dicetak aku tinggal copy rangkap seratus deh. Tapi
kemana aku harus menebarkan seratus lembar angket ini ya?
“Dor!” Lagi, Dessy mengagetkan aku yang sedang berdiri dan berfikir.
“Wey! Ngagetin aja ah…”
“Napa kamu? Kamu akhir –akhir ini aneh tau…” “Aneh? Yang ada kamu yang
aneh.” Gurauku.
“Apa nih?” Dessy mengambil plastic berisi lembaran angket yang baru saya
aku fotocopy.
“Angket.”
“Angket? Buat apa? Ngikut anak ips nih ceritanya?” Ditarik selembar dari
dalamnya. “Bagaimana bila anda menghadapi posisi yang seperti ini…”
Suaranya melenyap, dahinya semakin mengernyit membaca tulisan di kertas
itu. “Nih koq ceritanya ngaco? Inikan cerita kamu.”
“Itu gak ngaco, emang itu ceritaku. Aku bikin itu karena tugas.”
“Tugas? Tugas apa? Kapan? Guru sapa yang kasih tugas ngaco gini? Aneh
ah!” “Itu tugas dari pak Ibrahim Imran…”
39
“Aim? Ngapain?” Katanya semakin heran saja.
“Dia minta aku cari jawaban dari pertanyaan itu.” “Aneh –aneh aja tuh
anak.”
“Aku belum cerita emangnya soal keputusan aku sama dia?” “Keputusan yang
mana?”
“Keputusan aku buat mengakhiri semuanya sama Aim…” “Lho? Koq bisa?”
“Bisa lah… sebenernya aku gak mau harus begini Dess, cuma dah mau gimana
lagi…”
“Emang gimana si koq bisa jadi gini?”
Aku putuskan untuk menceritakan semua yang terjadi diantara aku dan Aim.
Dia cukup terkejut mendengar perjanjian aneh antara kami berdua. Well
dia juga merasa bersalah atas masa lalu itu. Ya kerena dia juga awal
dari pertemuan aku dan Aim yang sampai sejauh ini.
“Aku gak tahu harus apa lagi sekarang. Yang aku butuhkan hanya menyebar
angket ini dan kumpulkan semua jawaban.”
“Disebar di sini aja cepet kan?”
“Heh! Mau disebar di sekolah?! Yang ada mereka semua bakalan ketawain
aku. Pastinya mereka tahu kalau ini bukan tugas.”
“Ya udah sini separuh kasih aku. Nanti pulang sekolah aku coba kasih
tetanggaku. Sehari dua hari aku balikin plus jawaban mereka deh…”
“Serius kamu?”
“Iya kamu tenang aja, aku ikhlas koq bantuin kamu…” “Thanks ya sob…”
Lumayan lega sekarang, tinggal lima puluh lembar lagi dan aku akan
menebarkan semuanya sendiri. Pasar, mall, kantoran, permukiman umum, dan
sepuluh lembar khusus untuk pesantrenan.
“Mau kemana kamu?!” Tanya kak Hani ketus melihat aku sudah bersiap
dengan pakaian yang rapi.
“Aku mau kerumah Dessy…” “Ngapain lagi?!”
“Tugas.”
“Jangan bohong kamu! Hamper setiap hari kamu pergi kerumah Dessy, kalau
memang ada tugas, sekali –sekali kerja disini kenapa?! Atau jangan
–jangan kamu masih berhubungan sama Ibrahim ya?!” Tatapnya penuh curiga.
“Kakak, jangan sepicik begitu sama aku. Aku sadar siapa Aim, dan aku gak
mungkin nyolong ketemu sama dia. Kakak boleh curiga kalau Aim itu memang
orang lain, tapi enggak dengan sekarang. Aku hanya ingin jalan –jalan
dengan Dessy itu saja.
Aku mau ke perpus umum!” Tegasku kemudian lekas meninggalkan kamar.
Separah itukah pemikiran kakakku? Aku gak mungkin bohong buat ketemu
khusus dengan Aim. Ya walau memang aku masih sering ketemu dengan dia.
Tapi itu
hanya sebentar saja, dan itu sungguh kebetulan. Aku sudah menghindari
untuk
40
bertemu dan berhubungan dengan dia. Ah memang kecurigaan itu beralasan,
tapi Whatever! Aku gak perduli, yang harus aku lakukan sekarang hanyalah
mengumpulkan suara atas pertanyaan diatas kertas seratus lembar ini.
“Nih udah selesai semuanya.” Dessy mengembalikan lembaran kertas itu
padaku.
Aku ternganga. “Semua?”
Dessy mengangguk.
“Cepet banget? Kamu kasih kemana aja? Perasaan aku baru tadi pagi kasih
sama kamu.”
“Haha, tadi pas pulang sekolah Andra ngajakin aku kerumah dia. Nih aja
aku
baru sampai. Terus kan naik bus tuh, ya udah kebetulan busnya penuh ya
aku kasih mereka nih kertas. Dan well done semua kan.”
“Wew, hebat loh.”
“Dessy gitu loh…” Dessy menaik turunkan bahunya. “Sini sisanya kasih aku
lagi.
Tetanggaku belum dapet bagian. Nanti malam mau ada rapat desa buat
agustusan.
Aku mau bagiin disana.” “Serius kamu?”
“Ya iyalah, kapan sih aku gak serius?”
“Tapi aku gak punya duit mau ganti capek mu…”
“Ami?! Koq gitu sih? Udah nih juga sebagai penebus dosa aku udah
comblangin kamu sama Aim dulu…”
Ah dia sungguh teman terbaikku. Semua bisa lekas aku urus kembali berkat
bantuannya. Sekarang tinggallah aku menghitung perolehan suara dan
membaca semua alasan yang mereka kemukakan.
***
Hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan sangat –sangat tak terasa
waktu berputar sangat cepat sekali, setahun telah berlalu. Tibalah
sekarang tanggal dua puluh tujuh juli, tanggal yang telah dinanti
–nantikan olehku dan dia. Aku telah siap dengan semua bahan yang akan
aku utarakan padanya. Dengan langkah kaki yang aku pastikan tanpa
keraguan lagi akhirnya aku sampai ditempat yang sudah kami berdua
janjikan.
Lapangan hijau, sungai panjang nan deras, tetesan gerimis turut menemani
kedatangannku. Di sana, di jauh sana, sudah tampak seorang Ibrahim
Imran dengan jas hitam dan kemeja biru berdasi rapih telah menanti
kedatanganku.
Ludah ku telan bulat –bulat, walau nyaliku mulai menciut, dan jantungku
berdebar sangat kencang aku terus pastikan langkahku mendekat tanpa
lemah sedikitpun.
Rupanya, raut mukanya sangat senang melihat kehadiran aku. Tapi aku? Aku
sangat sedih karena semua tidak akan seperti yang diinginkan.
“Sungguh sulit menemukan jawaban yang pasti…” Aku langsung memulai
pembicaraan kami.
“Lalu?”
“Aku rasa do‟a mu terkabul. Tidak ada ayat yang menegaskan bahwa
hubungan
41
kita salah.”
“Sungguh?” Pikirnya senang.
“Agar lebih meyakinkan aku, aku hanya bisa lakukan survey pada seratus
orang…”
“Lalu?”
“Dua puluh lima persen mereka menjawab dilarang, dua lima persen lagi
tidak tahu, dan lima puluh lainnya membolehkan itu…”
“Bagaimana sekarang?” Katanya tersenyum dengan harapannya.
“Jangan senang dulu, masih ada alasan yang mereka kemukakan untuk jadi
pertimbangan kita…”
“Apa lagi?”
Aku ambil sebuah map dari tasku, aku berikan padanya. “Tujuh puluh lima
persen mereka menganggab kurang baik dimata masyarakat. Dua puluh persen
lagi mengatakan kita ini saudara, lima persen, lainnya…”
Dibuka map itu, ia terdiam memandangi lembaran angket dihadapannya
dengan penuh kekecewaan.
“Sekarang masih ingin bersama?”
Tanpa menjawab, map yang terbuat dari kertas dan seisinya di robek
begitu saja tanpa ampun.
“Kenapa?!”
Ia masih tak menjawab, robek –robekan kertas semua ia biarkan meluncur
ke bawah sungai, tertiup angin hingga tenggelam dalam derasnya aliran
air.
“Ami?! Aku belum puas dengan ini semua. Ini belum membuatku pasti! Sudah
aku bilang, tidak akan ada hukum yang bisa melarang hubungan kita. Ayah
Ibu, terserah aku tak perduli.”
“Hubungan seperti kita ini memang hanya akan menjadi bahan omongan
orang. Pikirlah seumur hidup, anak cucu kita akan jadi bahan omongan
orang.” “Aku gak perduli…”
“Tapi aku perduli!” Aku membentak, memutus kalimatnya yang tak selesai.
“Sudahlah, perpisahan ini bukah akhir dari kehidupan. SMA saja aku belum
lulus, aku ini masih muda, masih remaja. Perjalanan hidupku masih
panjang, aku gak mau hidup dengan masalah percintaan yang tak jelas dan
tak penting seperti ini!”
“Ami?! Mudah kamu bilang gitu sama aku? Kamu gak mikir gimana perasaan
aku sekarang ha?! Omongan kamu itu udah nyiksa aku, kamu sadar kan aku
ini cinta sama kamu?!”
“Semoga kau bisa menemukan yang jauh lebih baik dari aku…”
“Ami!” Bentaknya tak tahan lagi dengan sikapku. “Kamu sungguh
keterlaluan.
Bisa –bisanya kamu ngomong gitu sama aku! Kamu itu punya perasaan gak
sih? Jangan buat aku gila Ami!”
Aku masih menahan emosiku yang terbakar kesedihan dan kekecewaan ini.
Aku tak mungkin meledak di hadapannya. Aku tak boleh terlihat lemah, aku
bisa walau tanpa dia.
“Jangan terlarut dalam urusan cinta. Hidup mu juga masih panjang. Cinta
itu
42
gak cuma satu, cinta itu bisa saja menjerumuskan. Sudahlah, sudah cukup
semua sudah selesai sekarang. Aku harap ini adalah akhir dari segalanya.
Selamat tinggal…”
Aku berbalik dan melangkah meninggalkan dia sendiri.
Tetesan gerimis menderas. Ah! akhirnya jatuh juga air mataku. Siapa yang
tahu aku sedang menagis sekarang? Tetesan mataku bercampur dengan
tetesan air langit ini.
Dinginnya hujan menusuk di hati, aku harus bertahan walau perpisahan ini
menyayat hati. Rasa penyesalan pun turut menghantui hari –hariku.
Sekarang hanyalah bagaimana aku harus melupakan dia. Melupakan sebuah
perasaan yang aku berikan pada seorang yang salah.
Apa aku telah sungguh jatuh cinta pada Aim? Apa yang aku ketahui tentang
yang namanya Cinta? Satu kata itu hanya akan menyakitkan aku. Kenapa
harus dia yang menjadi seorang berharga dalam hidupku? Bisakah aku
melupakan dia dan menemukan seorang yang lain?
***
Enam,,
“Putus!” Itu adalah kata terakhir yang selalu aku lontarkan pada semua
bekas pacarku yang aku pacari selama kurang dari seminggu, bahkan lima
hari.
“Apa?!” Matanya mendelik. Namanya Donni, dia adalah pacarku yang ke lima
bulan ini.
“Iya aku minta putus…”
“Ami kamu itu sadar kan? Kita belum genap dua puluh empat jam jadian dan
sekarang kamu langsung minta putus?”
“Sulit aku jelaskan sama kamu, kamu juga gak akan ngerti…” “Iya tapi
kenapa? Kenapa kita gak coba dulu Ami?”
“Cinta itu bukan untuk dicoba –coba Don, sorry aku tetap inginkan kita
putus.”
Aku bengkit dari dudukku disebelahnya dan pergi meninggalkan dia sendiri
di kelas. Kenapa aku ini? Donni itu tidak buruk, dia baik. Kenapa aku
jadi seperti ini.
Sudah berapa kali aku pacaran? Apa ini karena Aim? Apa aku melampiaskan
kekecewaanku karena Aim? Lelaki itu memang belum sepenuhnya pergi dari
hati dan pikiran ku, lalu kapan akan pergi?
Aku melayang menatap air mancur yang terus mengucur tinggi di tengah
gazibu taman sekolahku. “Ibrahim…” Panggilku pelan.
“Masih Aim Mi?” Sahut Dessy yang menghampiri aku. Aku tersenyum. “Wanna
forget him but still…”
“Pacaran, jadi, putus kurang dari lima hari. Itu bukan cara melupakan
Aim, yang ada kamu akan terus ingat dia.”
“Aku gak tau harus gimana lagi.”
“Jujur, walau udah putus kalian berdua masih kompak aja ya.”
43
Aku mengernyitkan dahiku. “Maksudnya?”
“Kamu sama Aim itu mengalami kasus yang sama.” “Maksudnya?” Aku semakin
tidak mengerti saja. “Pacaran kurang dari seminggu udah langsung putus.”
“Aim juga?”
“Iya.” Dessy tersenyum. “Dia kan sering kerumah curhatin luka hatinya
dia abis putus sama kamu.”
“Ah sudah! Aku gak mau ngomongin dia lagi. Yang ada aku tambah gila
nanti.” “Ya udah terserah kamu saja. Sebenarnya aku cuma mau kasih tahu
kamu satu hal penting koq.”
“Apa?”
“Jangan buat cowok –cowok itu sakit hatinya karena satu kata „putus‟
kamu itu.
Kasihan mereka kecewa sama kamu, mereka juga punya perasaan Ami, seperti
kamu sendiri yang sedih karena putus dengan Aim.”
Aku hanya selalu menghela nafas panjangku. “Iya Des, mungkin aku harus
menutup diri dari semua laki –laki sekrang. Ya setidaknya sampai aku
menemukan seorang yang benar pas di hatiku.”
“Aku bisa mengerti itu…”
Apa yang dikatakan Dessy benar. Mereka hanyalah korban dari pelampiasan
sakit hatiku yang tak berujung. Oh GOD! Kenapa hidup harus dengan
cinta?! Aku dan hidupku dikacaukan oleh sebuah perasaan yang kita sebut
cinta!
Aku melentangkan badanku yang nyaris rubuh kelelahan di atas tempat
tidur.
Ku coba pejamkan mata, Ah! Selalu saja! Yang terbayang hanya wajah Aim
tersenyum padaku. Kalau begini terus aku akan segera gila. Aku terjaga,
dan memilih berkumpul bersama Ayah dan Mama di depan tivi.
Aku menggaruk –garuk rambutku yang semakin acak –acakan. “Punya apa Ma?”
“Tanya punya apa.” Sahut Ayah yang tak beralih dari channel beritanya.
“Ya maksudnya tuh…”
“Mama punya melinjo goreng ada di dapur.” Sahut Mama yang selalu dengan
senyumannya.
Tanpa babibu lagi aku menyeret sandal ku ke dapur. Tengok sana tengok
sini, dimana? Hem… mau makan melinjo saja harus pusing cari sana sini.
Ah! Disitu kau rupanya, pantas saja tak terlihat toplesnya ketutupan
panci besar sih. Ku buka dan aku ambil sekeping. HAiksh! Ini melinjo apa
jamu? Pahit! Sepertinya Mama terlalu garing menggorengnya.
“Mana melinjonya Mi?” Teriak Ayah.
“Iya sebentar…” Sahutku membalas teriakan Ayah.
Melinjo, sepertinya ini symbol dari kehidupan. Hidup itu pahit! Ya walau
semua pahit, manis, asam, asin bersatu padu, itulah hidup. Well aku
kembali ke depan tivi dengan toples melinjo yang ku peluk sepenuh hati.
Ku letakkan di atas meja dan aku duduk di lantai depan Mama.
“Memangnya Ibrahim jadi mau di bali?” Tanya Mama pada Ayah yang sedang
44
mengobok –obok toples melinjo. Aku tercekat. Aim ke bali? Ngapain?
“Ya jadi. Disana sudah ditunggu sama Arman dan Vivi.” “Ngapain Ma?”
Tanyaku pelan seolah perduli. “Kerja…”
“Kerja apa Ma?”
“Gak tahu, Ibrahim kerja apa Yah?”
“Suruh ngurus hotel katanya. Jadi assistan maneger mungkin…” “Kapan
Yah?” Aku menyipitkan mataku.
“Besok mau berangkat…”
Hah?! Besok?! Aim koq gak bilang sama aku sih?!
“Besok naik bus Jakarta –Denpasar. Tiketnya tiga ratus, jam satu
berangkat dari sini katanya…” Lanjut ayah tanpa perintah.
Hatiku semakin gusar, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan
sekarang. Aim
akan berangkat besok dan meninggalkan aku dalam waktu yang sangat lama.
Jam satu, bagaimana mungkin besok sepulang sekolah aku akan mengejarnya,
sedangkan jam pulang sekolahku pukul satu lewat lima belas. Pasti
busnya sudah datang dan aku tidak akan bertemu dengannya lagi.
Ah! Aku gak bisa tidur kalau begini!
Pelajaran apa ini?! Sejak tadi pagi aku tak bisa mencerna semua
penerangan
yang diberikan oleh guruku hari ini. Rasanya seperti disuntik –suntik,
kursi ini sangat mengerti kalau aku tak ingin berlama –lama duduk
diatasnya. Jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul satu, tapi Pak
Ridwan terus mengoceh tanpa lelahnya. Jam,
Bis, kalian harus tunggu sampai aku selesai dulu. Aim tunggu aku…
Kriiiingggg!!!!
Akhirnya bel bunyi juga.pelajaran hari ini berakhir sudah. Bergegas aku
berlari keluar kelas, menyelip barisan murid –murid yang keluar dengan
tujuan berbeda. Ah
sial! Aku hampiri semua angkot yang nangkring di pinggiran jalan
ternyata sudah full semua. Bingung harus naik apa sekarang.
“Donni!” Aku berteriak memanggil Donni yang kebetulan lewat di
hadapanku. Seketika Donni menghentikan motornya. “Ami?! Eh aku antar
pulang yuk?” “Kebetulan, tolong antar aku ke tempat agen bus pariwisata
ya?”
“Ngapain?”
“Udah jangan banyak tanya, aku ada urusan penting. Aku harus segera
kesana…” Aku segera naik di boncengannya.
Swerr!! Kami langsung meluncur. Ya Tuhan izinkan aku bertemu dengan Aim
untuk yang terakhir kalinya. Aim tunggu aku…
Motor terhenti, aku sampai dan segera turun. “Makasih ya Don…” “Sama
–sama, perlu aku tunggu?”
“Gak usah, aku pulang sendiri aja…”
“Okay, aku pulang…” Pamitnya dengan senyuman.
Donni pergi, dan aku temui para calon penumpang yang sedang menunggu bis
dengan tas bawaan mereka yang besar –besar.
45
“Bis Jakarta –Denpasar sudah berangkat?” Tanyaku pada seorang petugas
laki – laki.
“Wah sudah setengah jam yang lalu dek…” Katanya.
Ya TUHAN! Kenapa bisnya sudah berangkat? Aku sungguh ingin sekali
bertemu
dengan Aim sekrang, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Aku sungguh
sayangi dia, aku hanya ingin katakan itu saja.
“Ami?” Seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menolehi panggilan itu. “Aim?!” Sahutku yang langsung tersenyum pada
seorang lelaki dengan sebotol air mineral di genggamannya. Aku bergerak
cepat kearahnya dan kupeluk dia dengan erat.
“Ngapain kamu disini?!” Tanya Aim yang berlagak marah.
Aku melepas pelukannku. Ku pukul dia. “Kenapa gak bilang mau pergi?!”
Air mataku mulai mengucur.
Aim tersenyum, tangannya yang hangat mengusap pipiku yang basah. “Aku
memang sengaja gak kasih tahu kamu…”
“Kenapa?! Mau bikin aku gila kehilangan kau?!”
Aku kembali dipeluknya. “Aku gak mau bikin kamu sedih, tapi kalau justru
bikin kamu gila, aku minta maaf ya?”
“Kalau saja kau bukan abang tiriku, pasti aku gak akan izinkan kau
pergi…” “Aku sayang sama kamu Mi. Dan aku akan selalu sayang sama kamu…”
“Aku juga sayang sama abang. Maafkan sikap aku selama ini…”
“Udah.” Aim melepas pelukannya. “Aku mengerti benar kenapa kamu sampai
tega bersikap begitu sama aku. Kamu gak perlu minta maaf ya?”
Aku tersenyum.
“Bandung –Denpasar, lima menit lagi bisnya datang. Para calon penumpang
silakan bersiap…” Kabar seorang petugas.
“Aku mau berangkat, jaga diri kamu baik –baik ya…” Katanya tersenyum.
“Abang…” Panggilku dengan derai air mata yang semakin menjadi.
“Sudah jangan menangis. Aku pergi cuma sebentar koq, lagi pula ini untuk
masa depanku, seharusnya kamu support aku dong bukannya malah nangis
gini bikin aku tambah berat jadinya…” Ia mengambil sapu tangan dari
kantong celananya dan mengusap air mataku.
Bis datang, Aim melepas tanganku dan turut pergi bersama bus itu. Aku
hanya
bisa mengusap air mataku denegan sapu tangan peninggalannya. Menarik
nafas dan membuangnya dengan keras. Menahan air mata yang terus keluar
membasahi mukaku.
Ya Tuhan..
Lindungilah lelaki yang sangat ku cintai ini..
Buatlah ia sukses dalam perjalanan kariernya di sana.
Dan, kembalikanlah dia padaku dalam keadaan utuh hingga hatinya..
Sekarang hidupku sudah benar –benar sepi tanpa kemunculan maupun kabar
dari Aim sebagai abang tiriku sekalipun. Setiap kali aku kerumahnya yang
kulakukan hanya menatapi wajah adikku yang juga adiknya, Adin. wajahnya
sungguh mirip
46
dengan Aimku. Membuat aku selalu ingat masalalu bersamanya.
“Adin! Kenapa kamu mirip sekali sama abngmu yang jellek itu ya??” Aku
mengusap kepalanya.
“Ha? Abang yang mana kak?” “Ah gak jadi…”
***
Tujuh,,
Tak terasa, sudah dua tahun ternyata aku telah melewati hidup tanpa
seorang Ibrahim Imran. Tapi, tak sedikitpun aku lupa akan dia. Setiap
waktu tenggangnya ia masih sempat untuk membaca dan memandangi kenangan
yang aku miliki dengannya dulu. Aku tak mampu berbuat apapun, tapi aku
hanya bisa berdoa bahwa jodohku maka dekatkanlah kembali padaku.
Lalu, bagaimana Aim sekarang ya? Gemukan atau tambah kurus ya? Ah tak
sabar ingin ketemu dia lagi. Sungguh aku merindukan dia, setiap kali
merayakan acara keluarga dia tidak pernah hadir. Termasuk pernikahan
kakakku Hania, setahun lalu. Hem!! Tapi malam ini aku dan semua
keluargaku akan menyambut kedatangannya kembali dirumah Mami.
Kami semua berkumpul mendapat undangan dari Mami untuk menyambut
kedatangan Aim dari pulau kecil itu. Entah apa yang akan dia tunjukkan
padaku sebagai oleh –oleh. Tapi yang penting aku senang bisa
menyambutnya malam ini. Aku dan
kakakku membantu menyiapkan hidangan lezat yang harus berjejer rapi
diatas meja. Sebagai penghormatan dariku, semuaku pastikan sempurna.
“Mi, tas kak Emma ada di mobil, minta tolong ambilkan ya?” Pinta Kak
Emma yang sedang menggedong anaknya, padaku.
Aku hanya mengangguk dengan senyuman, dan aku lekas lakukan perintah.
Cuit cuit!
Kunci terbuka aku buka pintu belakang. Membungkukkan badan dan lihat apa
yang ada di bagian bawah ternyata ada tas hitam milik kakak yang
tertinggal.
“Ami…” Panggil seseorang dari luar mobilku.
Aku keluarkan kepalaku sedikit. “Aim…” Aku tersenyum. Lalu aku keluar
dengan tas kak Emma yang tertinggal.
Sungguh mengejutkan aku bertemu dia langsung sebelum di atas meja makan.
“Hey, apa kabar?” Katanya malu –malu. “Aku baik, abang sendiri gimana?”
“Aku juga baik. Kata Adin sekarang kamu udah kuliah semester empat ya?”
Aku tersenyum. “Iya, bentar lagi aku jadi bidan bang. Abang sendiri
gimana? Gemukan sekarang, bettah di Bali?”
“Enak gak enak di sana…” “Enaknya apa?”
47
“Enaknya, aku bisa menghasilkan di sana.” “Gak enaknya?”
“Gak enaknya, disana aku gak bisa ketemu langsung sama kamu. Cuma
mandangi selembar fotomu yang selalu aku bawa kemana –mana.” Rayunya
dengan senyuman maut andalannya.
Aku tersenyum tersipu sungguh malu. Aku sungguh tersanjung dengan
gombalannya. Tak berubah sedikitpun, sejak dulu sampai sekarang, dia
tetap suka merayu dan memujiku. Ah aku rasa penyakit yang sudah nyaris
sembuh dalam dua tahun hari ini harus kambuh lagi. Sungguh aku sangat
bahagia saat ini..
“Gimana kamu gak ada aku?”
“Gak gimana –gimana. Biasa aja…” Jawabku menggodanya.
“Heh! Memangnya kamu ini gak kangen apa sama abang mu ini ha?!”
“Aku hanya kangen sama seorang yang udah kasih aku ini…” Aku tunjukkan
selembar sapu tangan coklat yang dia berikan dua tahun yang lalu sebelum
keberangkatannya dulu.
Giliran Aim yang tersenyum malu. “Ami, Ami…” Katanya. Kedua tangan Aim
melebar hendak memelukku.
“Eits…” Aku tarik badanku kebelakang. Seketika gerak tangannya tercekat.
“Kenapa?”
“Gak enak kalau ada yang lihat.” Aku tersenyum geli melihat ekspresi
wajahnya. “Aku mau masuk.”
“Ya udah ayo…”
Kami berdua saling tersenyum sendiri. Baru beberapa langkah dari
mobilku, seorang perempuan yang kurasa setahun dua tahun lebih muda
dariku datang menghampiri kami. Penampilannya cukup membuatku Wew! Lebih
tinggi dari aku, rambutnya bergelombang habis dari salon, dan tubuhnya
slim sekali. Sepertinya dia bukan dari golongan anak –anak pendiam.
Alias kelewat gaul, seksi gituloh…!
“Ah disini ternyata kalian. Ayo masuk, Aunty udah tunggu kalian…”
Katanya dengan nada dan gaya yang rada centil ku dengar.
“Siapa dia?” Tanyaku dengan kedua alis terangkat.
“Ah ternyata kakak belum kenal aku. Kenalin aku Inez…” Dia menjulurkan
tangannya padaku.
“Anaknya Om Arman, dan tante Viviana…” Jelas Aim.
Secuil tentang Inez. Anak dari uncle Arman, dan Aunty Viviana yang
merupakan
adik dari Mami Imnan. Jadi, dia adalah sepupu Aim yang berasal dari
Bali. Pulau kecil yang penuh dengan kebebasan. Aku bisa lihat gaya hidup
yang bebas dalam diri Inez. Entah kedatangannya untuk apa kemari,
karena aku belum pernah bertemu dia dalam event apapun.
Aku hanya menyalaminya dan kembali masuk dalam rumah. Duduk bersama di
meja makan, Aim duduk tepat dihadapanku sedang perempuan yang bernama
Inez itu justru duduk tepat di sampingnya. Iri? Ya aku memang Iri pada
perempuan itu! Lebih tepatnya jelous!
“Sebelum makan malam di mulai, Mama mau minta tolong pada anak –anak
48
semua. Bulan depan Ibrahim akan bertunangan dengan Inez…” Kabar Mami
dengan senyum bahagianya.
What?!
Aku terbelak. Seperti digampar di muka umum, sangat sakit dan malu
sekali. Aku tersambar petir! Apa –apaan ini?! Kenapa ini yang aku
dapati? Aku pandangi wajah lelaki yang duduk tepat di seberang sana. Tak
sedikitpun ia mengangkat
wajahnya menghadapku. Matanya tak mengatakan satupun pembelaan. Kenapa
kamu gak bilang sama aku? Kenapa justru kamu menyapaku dengan semua
gombal mautmu yang selalu membuat aku tersanjung dan melayang tinggi?!
Aku telan ludahku bulat –bulat. Ku tahan air yang semakin menggenangi
mataku. Jantungku berdegug kencang, dadaku rasanya sulit bernafas lagi.
Aku tahan rasa sakit ini demi Ayah dan kakak –kakakku. Semua hambar
kurasa, aku ingin segera pergi dari sini!
Sesampainya dirumah, aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu
rapat
–rapat. Tangispun meledak, tak kuasa aku mengendalikan tubuhku yang
semakin terasa lemah. Aku lentangkan tubuhku di tempat tidur. Menangis
dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat hati ini
lebih tenang.
Ya TUHAN, kenapa ini yang aku dapati malam ini. Sebuah kekecewaan dan
sakit
hati yang mendalam. Aku cinta dia, tapi dia tak cintai aku hingga tega
berbuat begitu di hadapanku.
Jam semakin menunjukkan waktu malamnya. Tapi aku tetap tak bisa
memejamkan mata, karena terus memikirkan kekejamannya. Memeluk guling,
mengusap air mata, menatap bulan sabit di jendela. Entah apa yang
dipikirkannya,
hingga ia tega membuat aku seperti ini. Aku tak bisa menerima ini semua
begitu saja. Aku tak seperti Mama yang rela berbagi Ayah dengan wanita
lain. Hanya orang terpilih yang bisa lakukan itu, dan itu bukan aku!
Mutlak! Semalam penuh aku tak bisa tidur, aku langsung menghubungi Aim
meminta untuk bertemu pagi –pagi sekali di tempat biasa, pinggiran
sungai yang selalu menjadi saksi kisah cintaku yang tersembunyi.
“Sengaja bikin kejutan seperti ini buat aku?!” Bentakku pada lelaki yang
berkacamata di hadapanku ini. Sejak semalam air mataku tak bisa aku
hentikan tetesannya, hingga sekarang meledak dahsyat di depannya.
“Ami, jangan berkata seperti itu sama aku…”
“Lalu aku harus berkata apa ha? Selama ini kamu itu selalu melontarkan
kata –
kata manis, sapaan yang lembut, rayuan, gombalan. Semua hal yang manis
yang bikin aku tersanjung. Dan sekarang aku justru menemukan hal yang
paling menyakitkan tahu itu!”
“Aku juga gak mau seperti ini Ami…” Masih saja Aim dengan elakannya dan
wajah memelas.
“Bohong! Kemarin saja kau masih merayuku, menyanjungku? Kau pikir aku
percaya?! Jangan kira semua ini terjadi tanpa kata „iya‟ dari mulutmu.
Kalau kamu gak mau, ini semua gak akan pernah terjadi! Udah jangan
bohong aku tahu koq kau itu…”
Tanganku menyingkap kepala.
49
“Ami…”
“Kau PENGHIANAT!”
“Ami!” Bentak Aim kembali.
“Ah! sudah aku ingin ini benar –benar yang terakhir!” Aku mengusap
wajahku, dan berusaha pergi.
“Ami tunggu!” Aku terhalang dengan genggaman tangannya. “Tolong dengar
aku dulu. Semua ini ide Mamaku dengan Om Armand bukan aku Ami.”
“Percuma! Sebenarnya dari awal kau itu tak pernah sungguh –sungguh
dengan
perasaanmu sama aku! Aku ini hanya sekedar cinta sesaatmu yang hanya
pelampiasan rasa sepimu iya kan?!”
“Cukup! Jangan berkata yang seperti itu! Aku tahu kamu kecewa, tapi aku
mohon agar kamu bisa mendengar dan mengerti semua penjelasan aku!”
Aku lemah, aku tak berdaya, aku benar –benar tak sangub lagi kali ini!
Ya
TUHAN kenapa lagi –lagi kau berikan aku cobaan seperti ini?! Aku benci
jika harus membuang air mata untuk seorang yang tak menghargai
perasaanku seperti dia. Akupun jatuh dipelukannya.
“Maafkan aku Ami…”
Aku dorong dia, dan segera aku lari dari situ. Tak perdulikan Aim yang
masih
terus memanggil –manggil namaku berusaha terus menahan aku. Kali ini aku
sungguh tak tahan berlama –lama dengan lelaki itu lagi. Kemarin aku
selalu termakan omongan rayuan gombalan manisnya. Aku pastikan sekarang
tidak akan ada lagi rayuannya yang mempan dipikiranku. Ini yang terakhir
kalinya untuk semua jebakan raut wajah memelasnya. Semua harus
berakhir! Aku muak!
Aku lekas kembali dalam mobil Honda jazz dan pergi dari tempat kenangan
hitam yang sangat indah itu. Seratus kilo meter per jam, mungkin
kecepatan itu sesuai dengan suasana hatiku saat ini. Rasa sakit, dan
berat kepala semakin tak kuat untuk ku bebankan di atas. Seperti
terlindas truck, hatiku benar –benar hancur tanpa ampun lagi.
Secuil Masa Lalu..
Ibrahim Imran. Seorang lelaki yang mengenalkan padaku CINTA. Yang
berawal dari kekonyolan, dan kini berakhir dengan kepedihan. Bertahun
–tahun aku menantinya, setia dengan cinta, karena dia akan datang
membawa masa depan
untukku. Tapi, semua terjadi begitu saja, waktu bertahun –tahun berlalu
sekejap mata. Awal yang manis, penuh romantic harus kandas karena
kesalahannya..
Oh Tuhan, kenapa hidup seperti ini. Dia adalah seorang pembohong yang
telah membuat aku terperangkap pada sebuah kenyataan perih. Semua
seperti mimpi, mimpi buruk yang tidak akan pernah terlupa. Sebuah
goresan luka yang tak akan ada obatnya. Kini aku sadar kenapa CINTA
menjadi menu utama dalam hidup. Karena aku harus menemukan penawar dari
sakit yang aku rasakan sekarang.
***
50
Delapan,,
Hweeerrr!!!!!
Pandangannya beralih, melihat mobil jazz hitam melaju sangat cepat iapun
tersenyum takjub.
“Wew….”
“Kenapa?”
Ia hanya mengeleng. “Tak penting hanya mobil tadi sangat kencang.
Seperti pengemudi yang sangat handal…” Kembali ia teguk minuman kaleng
yang digenggamnya.
“So? Siapa namanya?” Tanya lelaki dengan sebotol miras di genggamannya.
“Ami, Amita Rorai…” Jawab Lelaki berjaket kulit hitam sambil tersenyum
memandangi kaleng soda minumannya itu.
Kemudian…
Perlahan roda mobil jazz berhenti di tengah kesunyian alam pantai yang
sangat indah. Ami keluar memutuskan untuk habiskan kekecewaan dan duka
hatinya di tempat ini. Ia sadar bahwa tak baik juga terus berlarut pada
ini semua. Apa kata dunia nanti?!
Berjalan menyusuri pinggiran pantai yang indah, memijak di atas pasir
pantai yang menyisakan pijakan kakinya. Memandang lurus cakrawala
pembelah bumi dan
langit. Tuhan itu maha adil membagi langit dan bumi tepat menjadi dua.
Buih ombak, hembusan angin laut menerjang tubuhnya, tetap pandangan itu
tidak goyah.
“Kau adalah penghianat, atau aku hanya gadis bodoh yang sudah masuk
jebakanmu dulu?” Setetes air bening jatuh membasahi pipinya. “Harusnya
aku sadar dari dulu, bahwa semua sikapmu selama ini hanya palsu sebatas
niatmu tak pernah bersungguh sungguh padaku. Aku hanya cinta sesaatmu
yang mengisi kosongnya harimu tanpa kehadiran seorang perempuan lain.”
Kakinya terus melangkah menyusuri tepian pasir pantai yang sudah basah
di
guyur ombak. Menyisakan bekas pikjakan kaki, seperti halnya luka yang ia
rasakan saat ini. Membekas, tapi akan terhapus oleh deburan air laut
yang pasang, dan badai tepi pantai. Semua pasti bisa kembali seperti
semula, perlahan tapi pasti.
Nafasnya di hembus lega, kini Ami lebih tenang. Tak terasa kesedihannya
tadi
sudah membawanya jauh dari tempat parkir mobilnya semula. Toleh kanan
toleh kiri, jantungnya berdegup kencang mencerminkan rasa takut mulai
mengintai dirinya yang sendiri di tempat yang sangat sepi.
“Lalu dimana aku sekarang?” Sesaat memandang keadaan sekitar mencari
sesuatu. Ami terhenti, disana ia melihat ada sebuah gubuk bambu yang
agak reyot
dengan tumpukan kelapa hjau yang sangat banyak. Dan ada seorang
perempuan yang sedang duduk sendiri di bangku kayu panjang di luar gubuk
itu.
“Permisi?” Sapanya pada seorang perempuan paruh baya itu. Sungguh heran,
wanita itu tidak melihat dan menyahutinya, bahkan ia tak merespon dengan
ekspresi wajah apapun. “Ibu?” Ami menggerakkan tangannya di depan
pandangannya, namun
51
masih tetap dia tak perdulikan itu. Ada apa dengan ibu ini? Ami pun
mencoba menepuk punggungnya, dan perempuan itu baru mengahadapnya.
“Mas, ini sudah datang…” Katanya masih tanpa rupa apapun.
Ami melangkah mundur dari hadapannya. “Masya‟ALLAH! Sepertinya aku telah
salah tempat.” Kagetnya dalam hati. Satu demi satu, tiga orang pria
suram dengan tubuh yang penuh tatto dan hanya menggunakan celana sangat
pendek muncul dari
dalam pintu warung yang gelap itu. Ah tak lupa seorang di antara mereka
dengan botol miras yang entah apa merknya.
Ami tahu benar siapa mereka. Jantungnya mau copot saja, gemetar,
berkeringat bercampur takut yang merajai otak Ami sekarang. Apa yang
harus aku lakukan? Sementara mereka terus mendekat dengan tawa senyum
yang dipenuhi
setan di otak mereka. Satu, dua, dan Tiga! Segera Ami melangkahkan jurus
kaki seribu. Lari! Lari! Lari! Dan mereka terus mengejarnya.
Astaughfirullah haladim! Ya Tuhan selamatkanlah aku! Teriak Ami dalam
hati.
Ami mulai merasa lelah dengan kakinya, gerak semakin melambat, jangan
sampai mereka berhasil menangkapku ya Tuhan…
Oh tidak! Seorang lelaki dengan jaket kulit hitam berada di depannya.
Entah siapa lagi orang itu.
“Tollooooongg…!!” Ami berteriak padanya.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya. Entah apa
lagi,
Amipun memejamkan matanya. Ia sungguh takut dan lelah. Ami telah jatuh
di tangan seseorang, seperti dipeluk dengan erat. “Apa aku telah aman?
Semoga bukan preman itu.” Perlahan Ami buka sebelah matanya, melihat
tiga preman itu terhenti karena pistol yang menuju arah mereka, lekas ia
membuka kedua matanya lebar.
“Pergi atau Mati?” Kata lelaki yang mengamankannya dengan santai. “Ayo
kalau berani…!” Sahut seorang yang berambut gondrong.
“Okay…” Sahut lelaki itu membenarkan kuda –kudanya. “Dalam hitungan
ketiga, lari…” Katanya berbisik pada Ami. “Satu… dua…, tiga!”
Seketika juga Ami dan lelaki itu berlari sekencang mungkin. Dan preman –
preman itu mengejar mereka.
“Kita mau kemana?” Tanya Ami yang lari terbirit –birit.
“Kemana aja asal bisa selamatkan diri dari mereka!!” Jawabnya yang tak
melepaskan gandengan tangannnya sedetikpun.
“Kamu bukan polisi ya?”
“Ya bukanlah, aku orang biasa!!” “Terus pistol tadi?!”
“Itu cuma korek biasa. Udah jangan tanya lagi, kita harus sembunyi
sekarang!”
Lelah berlari, mereka bedua memutuskan bersembunyi di bawah truk box
yang besar. Menyelip dan memperhatikan seksama langkah tiga pasang kaki
yang tak beralas itu. Mereka masih berada tepat di samping truk kuning
ini.
“Kenapa bisa ada kamu?” Tanya Ami dengan nafas yang tersengal –sengal.
“Shuttt!!! Jangan bersik, nanti mereka dengar…” Katanya mengecilkan
suara.
Amipun diam sesuai perintahnya.
52
Tak lama bersembunyi, terdengar suara sirine polisi yang semkin
mendekat.
Entah ada urusan apa, tiga pasang kaki itu lekas lari terbirit –birit
menjauh dari tempat. Thanks to God! Mereka selamat. Mereka benar pergi
ketakutan dengan sirine polisi yang ternyata hanya patroli lewat jalan
raya saja. Ami dan lelaki itu kembali keluar dari bawah truck.
Ami mengibaskan pakaiannya yang kotor berpasir. “Alhamdulillah….”
Ucapnya bersyukur. “Makasih sudah menolong aku, gak tau gimana jadinya
aku kalau tadi…” “Udah sama –sama. Udah wajib nolong orang koq…” Kata
lelaki itu sambil lalu membersihkan jaketnya. “Kamu gak papa kan?”
“Alhamdulillah aku gak papa. Cuma lelah aja abis lari.” Amu tersenyum.
“Ya aku pamit dulu…”
“Iya hati –hati.”
Senyum manispun di berikan oleh Ami pada lelaki itu kemudian berbalik
dengan selangkah kaki. Spontan kakinya berhenti begitu saja saat ia
teringat sesuatu.
“Dimana aku parkir mobilku ya? Ah sial! Aku baru ingat, mobilku tambah
jauh
lagi dari sini. Tadi tempatku agak sepi, terus di kejar tambah sepi, eh
sekarang tempat wisata. Udah capek berlari, aku masih harus jalan balik
rute yang tadi?! Oh no..” Desah Ami.
“Ada yang bisa dibantu?” Lelaki itu kembali menghampiri Ami yang
terlihat resah dan kebingungan.
“Aku, ah gak papa…” Elaknya gugup. “Bawa mobil?”
Ami tersenyum nyengir.
“Dimana?”
“He…” Senyum giginya melebar. “Itu dia, aku baru ingat mobilku ada di
jauh sana…”
“Kalau kamu mau, aku antar naik mobilku. Aku antar sampai mobilmu saja.
Jamin selamat gak pakai di kejar preman lagi.” Katan lelaki itu dengan
senyum yang tak kalah lebar dari senyum Ami tadi.
“Terimakasih, terimakasih sekali…”
Sungguh beruntung aku bertemu dengan orang muda, tampan, dan sudah
berbaik hati menolongku dari kejaran preman –preman tadi. Jika
dibandingkan,
memang tak terlalu tampan dari pada Aim. Tapi aku bisa lihat dia jauh
lebih baik dari Ibrahim Imranku. Dia gagah, tegap, terlihat jujur dan
bertanggung jawab. Lalu, jika dia ada disini apa mungkin dia yang akan
menolongku seperti lelaki ini? Ah! Buat apa aku juga aku memikirkan dia,
lelaki yang jelas –jelas menghianati aku, mengecewakan aku dan sedikit
lagi akan membunuhku. Batin Ami bergumam.
“Kenapa bisa sampai dikerjar orang itu?”
“Ha? Aku juga gak tahu. Tadinya aku cuma mau cari pertolongan eh yang
keluar malah orang –orang itu.”
Dia tersenyum.
Sampai juga di parkir mobilnya yang hanya sebatang kara.
“Makasih udah mengantarku.”
53
“Sama –sama…”
Ami turun dan menenemui kembali mobil tersayangnya.
Cuit cuit!
“Maaf tunggu..”
Ami menoleh, lelaki itu malah turun dari mobilnya. “Ada apa?” “Ini
mobilmu?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Seratus kilo meter per jam. Tadi kamu ngebut kan?” Waw, hebat. “Koq
tahu?”
“Tadi aku lihat mobil itu kencang sekali. Seperti professional aja, eh
gak nyangka kalau kamu yang bawa…”
“Ah aku baru dua tahun belajar mobil. Tadi aku hanya…”
“Sudah, kamu terlihat lelah sekali. Sebaiknya pulang dan istirahat…”
“Iya, sekali lagi terimakasih…”
“Sama –sama…”
Ami kembali masuk mobil dan pergi dari tempat itu.
Lelaki itu tersenyum, selembar foto ia ambil dari balik jaket hitamnya.
Foto
seorang gadis beralis tebal, bulu mata lentik, mata indah yang tajam,
hidung mancung bertindik, senyum yang manis, siapa lagi yang memiliki
itu semua selain, Amita Rorai.
“Amita… Lebih cepat dari yang dijanjikan…” Katanya tersenyum. Sementara
Ami dalam mobil selama perjalanan…
Ami terus saja tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Sungguh ia tak
menyangka bahwa nyawanya akan diselamatkan oleh pemuda baik seperti
tadi. Namun pirkiranya curiga, dari mana datangnya pemuda itu tiba –tiba
langsung menolong Ami.
Darimana datangnya pemuda itu sampai dia muncul disaat yang tepat aku
membutuhkan dia. Tapi ada yang ganjil, sungguh mustahil dia datang bak
super hero dengan pistol tiba –tiba ditempat sepi, sunyi yang harusnya
tidak ada seorangpun disitu. Ah dia, harusnya aku tanyakan namanya tadi.
***
Sembilan,,
Sangat lelah setelah berlari sangat jauh tadi hingga Ami tak kuat
menyeret kakinya masuk rumah.
“Ami? Dari mana? Jalan yang bener dong…” Suruh Kak Emma yang duduk
dengan selembar bulletin di sofa depan tivi.
“Gak kuat aku kak mau angkat kaki…” Ami duduk di sebelahnya. “Dari mana
kamu?”
“Aku abis di kejar orang jahat…” Ami melentangkan badanku di sofa.
“Orang jahat gimana maksud kamu?!” Konsentrasi kak Emma beralih.
54
“Gak penting, ceritanya panjang. Yang penting aku selamat, dan kakiku
cuapek abis kak…” Ami menghela nafas sejenak. “Baca apa kak?”
“Bulletin…”
“Iya tahu bulletin, tentang apa gitu?” “Bulettin Ayah dapat dari
pengajian…” “Iya. Tentang?”
“Hukum anak dengan anak tiri…”
Sontak Ami beranjank duduk. “Maksudnya?”
“Ah tanya terus kamu, nih baca aja sendiri.” Kak Emma menutup lembaran
bulletin itu dan memberikannya pada Ami. Ia pun pergi ke dapur.
„Anak tiri telah menjadi anak sendiri… orang tua menjadi suami/istri
maka anak keduanya adalah saudara dan haram hukumnya bila dipasangkan…‟
Ami ternganga membaca penggalan uraian dalam bulletin itu. Sungguh tak
menyangka hubungan mereka adalah haram. Ya Tuhan, ampunilah kesalahan
kami yang belum kami ketahui kemarin. Tapi? Yang mana yang benar? Dalam
surah An Nisa duapuluh tiga di situ justru tidak di sebutkan mahram yang
seperti itu. Sekarang Ami malah tambah semakin bingung. Kembalilah lagi
kebimbangan Ami atas hubungan yang tak jelas antara dirinya dengan Aim.
Mana yang benar sekarang? Atau memang hanya penafsiran Ayatnya saja
yang kurang jelas sehingga mereka tak mengerti? Tapi, itu semua sudah
tidak penting lagi sekarang. Mau dilarang atau diizinkan semua sudah
tidak ada gunanya. Aim telah pergi dari hidup Ami untuk selamanya dan
menjadi miliki orang lain, orang yang sudah pasti halal untuk
dimilikinya. Sia –sia sekarang semua usahanya dalam mencari kebenaran
hukum selama bertahun –tahun. Tidak ada lagi Aim yang memaksa Ami untuk
mencari tahu tentang kepastian hukum diantara mereka. Karena Aim telah
pergi meninggalkan Ami. Mengetahui itu semua menambah luka yang semakin
perih dihati Ami.
Dua mata indah itu kembali berkaca –kaca. Perlahan Ami menyeret kakinya
yang semakin terasa berat kembali kekamar dan mengunci pintu rapat
rapat. Tubuh itu lemah semakin tak berdaya, air mata terus membasahi
seluruh mukanya.
Ibrahim Imran…
,,,Apa salahku? Hingga tega kau Hianati ketulusan cintaku, Ketulusan,
yang tak akan pernah aku berikan pada selain dirimu. Kedatanganmu, lebih
buruk dari kepergianmu.
Membawah sebilah pisau yang menusuk dalam jantungku. Aku terkapar dengan
derai tangis untukmu.
Dan kau terpejam, tak melihatku.
Tanpa perduli dirimu, tersenyum dalam sedihku Aku disini dengan cinta
dan mimpi,
Kau disana dengan dirimu sendiri. Kenapa ini terjadi begitu saja Tak
sesuai mimpiku
Tak seperti anganku
55
Ingkan dirimu Mencari restu Ibuku
Inginkan bahagia selamanya….
Bulir –bulir keringat mengguyur tubuhnya yang tergeletak di lantai.
Nafas itu terdengar semakin berat dan perih dirasa. Setetes cairan
kental berwarna merah perlahan mengucur dari hidungnya.
Tiba –tiba…
Tok tok tok!!!
“Ami!!” Teriak Mama memanggil Ami dari luar.
Tapi tak ada suara menyahut dari dalam kamar Ami.
“Ami?! Ayo nak makan malam dulu…!!!” Panggil Mama terus berusaha
membuka pintu tapi tak bisa. Perasaan curiga mulai menganggu pikiran
Mama. Diam tak ada sahutan dengan keadaan pintu kamar terkunci dengan
rapat, itu bukan kebiasaan Ami untuk tidur di malam yang sangat awal
seperti ini.
Ayah, Kakak dan semua seisi rumah berkumpul di depan kamar Ami dan
mendobrak pintu. Walhasil, pintu terbuka dan mereka semua menemukan Ami
tengah tergeletak tak sadarkan diri dengan berlumuran darah dari
hidungnya. Segera dibawa Ami ke Rumah sakit agar tertangani segera.
Tak lama terntangani petugas kesehatan, dua mata sembab Ami perlahan
terbuka.
“Ma…” Panggilnya mendesah lemah nyaris tanpa suara.
Ayah dan Mama lekas mendatangi ranjang Ami. “Iya nak…” Sahut Mama yang
dua matanya juga sembab karena menangis sejak tadi.
“Aku dimana?” Suara Ami terdengar tak berdaya.
“Sekarang kamu ada di UGD nak, tadi kamu pingsan sambil mimisan…” Jelas
Ayah.
“Pulang.. aku mau pulang…” Pinta Ami lemah. Matanya kembali terpejam
seperti sedang mengigau.
Tak lama dari hasil pemeriksaan yang menunjukkan kondisi Ami tak terlalu
parah, dokter mengizinkan Ami untuk beristirahat di rumah dengan
beberapa resep obat.
Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani dari balik pintu.
Ia tersenyum dan mendekat pada Ami yang sedang tidur. “Lagi –lagi kau
ada masalah Ami. Itu pasti bukan masalah yang mudah sampai kamu jatuh
sakit seperti ini.”
Ami perlahan bergerak dan terjaga dari tidurnya. “Kakak?!” Panggilnya
terkejut melihat Kak hani yang sudah lama tak dijumpainya lagi.
Kak Hani tersenyum. “Iya…”
“Kapan kakak datang?” Ami berusaha bangun dari tempat tidur.
“Tadi pagi aku sampai. Sudah jangan banyak bergerak kamu masih sangat
lemah…”
Ami memeluk kak Hani yang sangat disayanginya itu. “Sejak kakak Nikah,
aku jadi sangat merindukan kakak…”
56
“Sama aku juga Mi.” Pelukan itu dilepas. “Sebenarnya kamu kenapa lagi?”
Mengingat masalah yang sama, setetes air mata jatuh dan meledak seketika
dengan pelukan Ami lagi.
“Apa pertunangan itu?” Tanya Kak Hani menerka mencoba mengerti keadaan
adiknya.
Tangis yang semakin menderas, menjadi jawabannya. “Kenapa sampai sejauh
ini kak??”
“Ami, kamu harus sabar. Sudah pernah kakak bilang dari awal, harusnya
kamu tak sembarangan memilih.”
“Ya aku tahu, tapi kenapa harus berakhir seperti ini?”
“Kamu sudah lihat sendiri sekarang. Seseorang yang dimatamu baik peada
kenyataannya tak lebih dari seorang penjahat. Kamu lihat sendiri, siapa
Ibrahim yang sebenarnya. Dia seorang lelaki, sedang lelaki itu berbeda
dengan wanita yang setia pada satu cinta. Kebanyakan dari mereka itu
hanya manis diawal saja.”
“Ya Kak, aku sangat menyesal karena telah pernah mengenal dia dan
menjadi bagian masa lalunya.”
“Percuma kalau kamu hanya menyesali. Yang harus kamu lakukan adalah
lupakan dia, hanya melupakan dia untuk selamanya…”
“Kakak…”
“Kamu pasti bisa, yakin kamu inginkan untuk melupakan dia pasti bisa…”
“Setelah semua yang terjadi…”
“Dia tidak pantas buat kamu, lihat siapa dirinya. Tidak Ami, lupakan
dia…” Kata kak Hani lembut.
Ami melepas pelukannya.
“Bukankah kamu pernah bilang pada kakak kalau seorang yang baik akan
mendapatkan seorang yang baik juga?”
Ia hanya mengangguk.
“Yakinlah kalau kamu itu terlalu baik untuk orang sepertinya. Jadi kamu
akan dapat yang jauh lebih baik dari Ibrahim.”
“Iya Kak. Terimakasih…”
Ami menyeka kedua matanya, berhenti menangis dan lebih tenang sekarang.
Hanya kak Hani yang bisa menyemangatinya karena hanya dia yang
mengetahui masalah ini.
***
Sepuluh,,
Sudah dua hari aku terbaring sendirian lemah dan membosankan di tempat
tidur. Berbeda dengan dulu saat semua orang ada dirumah ini menemani aku
sakit. Tapi kini hanya ada Mama di rumah dan sekarang sedang pergi ke
pasar.
Aku bangun dari tempat tidurku, memaksakan diri walau rasanya aku masih
gemetaran tak kuat berjalan menuju balkon. Memandangi keadaan sekitar,
ada kolam
57
yang bersih dan ada pembantu rumahku sedang bersih –bersih halaman.
Tarik nafas, hembuskan perlahan. Aku mencium aroma kebebasan, angin,
udara dengan embun yang sejuk. Sepertinya aku jauh lebih baik hari ini.
“Mat, Nyonya minta beliin kelapa ijo…” Terdengar mbak Yanti berteriak
pada pak Rohmat yang sedang mencukur pohon kerdil kesayangan Ayah
dibawah sana.
“Piro?” Tanya Pak Rohmat. “Loro wae…”
Kelapa muda, aku jadi ingat saat tiga preman mengejarku waktu itu. Dan,
lelaki berjaket hitam dia selamatkan aku.
Hey! Kenapa aku jadi teringat dia?? Siapa namanya aku tidak tahu. Yang
aku
tahu hanya dia adalah orang yang baik, dan kebaikannya cukup membuat aku
tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Apa mungkin aku bisa bertemu
dengannya lagi? Atau, mungkin jika aku mencarinya di tempat waktu itu
aku akan kembali bertemu dengannya? Semoga saja, biar aku coba cari
orang itu.
Aku melongo kebawah. “Biar aku aja yang beli…” Teriakku.
Mereka berdua mendangah.
“Lho? Non kan sakit?”
“Udah sembuh koq…” Sahutku dengan senyum penuh semangat.
Aku bergegas menggunakan jaket dan berlari keluar. Harus cepat –cepat
menghilang sebelum Mama datang dan melarangku untuk pergi. Untung tak
ada yang menggunkanan moobil jazz hitam milikku satu –satunya ini, kalau
tidak aku pasti bingung cari transportasi umum.
Semangat, senang dan penuh harap cemas aku melaju dengan mobil
pemberian Ayah dua tahun yang lalu itu, menuju pantai pasir putih yang
indah. Aku parkirkan tepat mobilku di tengah keramaian parkir wisata.
Aku tak mau harus bertemu dengan penjahat koloran itu lagi.
Seingatku kemarin dia naik mobil Nissan terano berwarna hitam. Tapi
disini hanya ada beberapa mobil tapi tak ada satupun Nissan terano.
“Ada yang bisa saya bantu mbak…” Sapa seorang petugas satpam padaku.
Barang kali dia curiga dengan gelagatku.
“Ah tidak pak, saya hanya mencari mobil teman saya. Nissan terano
warnanya hitam. Apa bapak tahu?”
“Namanya siapa ya Mbak?” “Kurang tahu pak…” “Nomor polisinya berapa?”
“Ah, saya juga gak tahu pak…”
“Lho? Piye toh mbak? Cari orang gak tahu namanya, cari mobil juga gak
tau
nomor polisinya.” Satpam itu malah cekikikan. “Yaa, ditunggu saja,
disini yang punya mobil Nissan terano banyak sekali…”
Iya juga sih. “Makasih pak…”
Petugas itu kembali, akupun hanya tersenyum sendiri.
Aneh –aneh saja pikiranku ini, coba kalau aku tahu namanya mungkin aku
bisa cari dia dengan menanyakan namanya. Sekarang resiko deh nyariin
orang yang tak
58
tentu akan datang. Sementara aku masih bingung sendiri, mungkin atau
tidak dia ada disini ya? Ya Tuhan, izinkan aku bertemu dia dan mengenal
dia sedikit saja hari ini. Amin!
Kakiku terus berjalan kesana kemari, mondar –mandir kebingungan sendiri
seperti setrika baju di depan mobilku yang sedang parkir. Tak perduli
walau sejuta pasang mata melihat tingkah anehku ini. Apakah hari ini aku
akan bertemu dirinya disini? Kakikupun berhenti, untuk apa aku sangat
ingin bertemu lelaki itu ya?
“Permisi ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang lelaki dari arah
belakangku. “Sudah saya bilang saya cari pemilik Nissan terr…” Jawabku
sambil berbalik.
Aku terkejut saat melihat siapa dihadapanku ternyata ada si jaket hitam
kemarin. Ya! Lelaki ini yang ku cari!!
“Terrano??” Lanjutnya tersenyum padaku.
Aku diam, sungguh malu. “A, a-aku…” Aku tergagap. “Cari aku atau pemilik
terano yang lainnya?”
Aku hanya tersenyum semakin malu padanya. Oh My God! Sial atau beruntung
aku bertemu dia sekarang, tapi kenapa aku harus memalukan seperti ini?
Benar do‟aku terkabul tapi aku ingin yang baik tak memalukan seperti
ini. Pasti dikiranya aku sangat berharap seribu persen padanya.
“Gak usah malu begitu. Kenalkan aku Farish…” Katanya menjulurkan
tangannya padaku.
“Aku.” Aku menyalaminya.
“Amita, kan…?!” Tebakannya sungguh jitu. “Koq tahu?”
“Aku tahu kamu, tapi kamu gak tahu aku.” “Tahu dari mana?”
“Gak penting lah…”
Aku tersenyum. “Wah, kamu bukan intel kan?”
Dia berbalik senyum. “Sejauh ini aku bukan intel yang suka ngebuntutin
penjahat. By the way, tangan kamu serasa panas. Kamu sakit?”
Lekas aku melepas tanganku. “Ah enggak, aku baik –baik aja…” Elakku.
“Yakin? Wajahmu agak pucat.” Usutnya memastikan.
Aku tersenyum. “Aku yakin. Kamu tenang aja.”
Hemm…
“Emmm, gimana kalau kita ngobrol sambil duduk di pantai. Seru tuh.”
“Boleh.” Aku menerima tawarannya.
Kami berdua beralih, pindah menuju tempat yang jauh lebih santai dan
asyik. Duduk berdua di bawah naungan pohon kelapa yang berayun ditiup
angin laut sambil menikmati air kelapa, yang dibeli olehnya. Akh, jadi
ingat saat bertemu dengan dia pertama kali.
“Kenapa koq dipandangi terus kelapanya?”
Aku terjaga dari lamunanku. “Cuma ingat saja sama kejadian waktu itu.”
“Kejadian apa?”
“Kejadian waktu kamu tolongin aku, waktu itu… awalnya aku lihat tumpukan
59
kelapa hijau gini di warung setan itu.” “Koq gitu sih…”
“Maaf aja kalau kamu gak suka dengernya. Tapi sumpah aku trauma banget
sama kejadian waktu itu. Kalau bukan setan temen mereka apa dong? Sampai
ngejar – ngejar aku gitu, hah sumpah deh…”
Farish tersenyum melihat ekspresiku yang sangat kesal.
“Kenapa?”
Ia menggeleng. “Enggak. Lucu aja…”
“Koq kamu bisa muncul tiba –tiba sih? Pas banget aku sangat butuh
bantuan.” “Kebetulan aja aku ada disana. Deket situ ada warung, aku suka
nongkrong disana.”
“Uww..”
“Tadinya temenku yang lihat, trus dia panggil aku, eh aku lihat itu kamu
aku..”
Kalimatnya dihentikan perlahan.
“Kamu?”
“Ah.”
“Kenapa?”
“Enggak, yaa aku tolongin kamu.”
“Kenapa koq gak temen kamu yang melihatku yang menolongku saja?” “Cemen.
Mereka penakut.”
“Terus kamu gak takut gitu?”
“Yaa, takut sih cuma gimana lagi kasihan kamu.” “Emangnya kalau yang
lain kenapa?”
“Gak papa sih, ya aku tolongin juga, pasti”
Aku tersenyum. Ada yang tak beres dengan orang ini, raut mukanya
terlihat
lebih tegang, dia seperti menyembunyikan sesuatu dibalikku. Tapi
terserahlah, sejauh ini yang penting dia baik tak merugikan aku.
“Eh tau gak, aku kira tuh pistol beneran. Eh gak taunya cuma korek.”
Lanjutku mengalihkan bicara.
“Itu? Ah iya, itu cuma korek punya temenku juga. Sebenernya aku juga
takut. Temenku kasih ke aku, dia bilang kalau preman itu bakalan takut,
tapi apa? Bukannya takut, malah nantangin.” Mimik wajahnya sungguh
ekspresif menceritakan kejadian itu.
Ekspresi rupanya lucu, membuatku tak tahan meledakkan tawa –tawa kecil.
Tak sangka kebersamaan kami yang baru sejenak itu sudah memunculkan tawa
canda yang seru. Belum pernah aku tertawa lepas semudah ini. Tak
seperti bersama Aim yang hanya beberapa memunculkan senyum, bukan tawa.
“Kenapa?” Heran Faris yang melihat rupaku berubah sedih seketika.
“Ah aku gak papa.” “Boleh aku tanya?” “Silahkan?”
“Kamu memang hobi ngebut ya?” “Enggak juga.”
60
“Terus waktu itu? Seratus kilometer per jam di daerah seperti ini rawan
lho..”
Aku hanya bisa tersenyum dan menunduk. Saat itu aku ngebut karena aku
kesal dengan Aim. Aku tak pernah fikir bahaya maut tengah mengancamku.
Saat putus asa seperti itu mungkin memang aku lebih rela mati. Tapi
melihat sekarang, aku tak mau mati hanya karena hal yang tak penting.
“Apa saat itu kamu dapat masalah?” Pertanyaan itu terdengar hati –hati.
Kembali aku tersenyum. “Mungkin…”
“Maaf, bukannya aku mau tahu urusan kamu. Tapi kalau kamu perlu berbagi
silahkan aja…”
“Makasih, tapi bukan masalah yang penting koq.” “Well, moga aja memang
hal gak penting.”
“Hmmm, seberapa sering kamu datang kesini?” Tanyaku. Mengalihkan
pembicaraan.
“Seberapa sering kamu butuh bantuan aku, pasti kamu akan temukan aku
disini.” Jawabnya tersenyum memandangku. Itu memang terdengar serius,
tapi untuk sebuah awal pertemanan, Gombal!
“Waw, so sweet! Ayolah Farish…”
“Sungguh, hampir setiap hari aku ada disini Ami. Setidaknya aku harus
selesaikan kerjaanku dulu baru pergi jalan –jalan.”
“Memang kerjamu apa??”
“Aku adalah…” Ucapannya tak diteruskan. “Apa?”
“Aku adalah…” Farish tak langusng menjawab pertanyaanku, rupanya sengaja
menggodaku seakan ia tak ingin mengatakan seadanya.
“Ya sudah kalau gak mau bilang. Mungin aku bisa menerka, kalau kau itu
anak orang kaya, yang kerjanya melanjutkan usaha orang tua. Atau jangan
–jangan kamu yang punya kebun mangga yang terkenal itu ya???” Mataku
menyipit menerawang dia. “Ha?!” Mukanya terbelak sampai –sampai
ternganga dengan terkaanku.
Rupanya ia sangat terkejut dengan tebakanku barusan. Atau memang
tebakanku jitu? Aku tak kuasa menahan tawaku melihat raut wajahnya yang
sangat kaget tak beraturan. Tak sangka ia sampai begitu kagetnya hingga
harus ternganga lebar.
“Haha, aku cuma bercanda!!!”
Mulutnya yang mangap di tutup. “Kamu itu…”
Well, saking keasikan aku jadi lupa waktu. Aku lihat jam ditangan sudah
menunjukkan jam satu dua lapan, aku harus pulang sekarang.
“Lain waktu kita bisa bertemu lagi kan?” Tanya Farish saat mengantarku
ke
parkiran mobil.
“Mungkin? Insya‟ALLAH…”
Farish tersenyum.
“Okay aku pulang dulu.”
Cuit –cuit!
Pegangan pintu aku tarik dan terbuka. Tak langsung masuk aku merasa ada
61
yang tak enak dengan diriku. Serasa cairan kental mengalir dari
hidungku. Aku seka dan aku lihat ternyata darah mimisan lagi. Aku benci
darah, itu membuat kepalaku pusing dan berputar melihat dunia ini.
“Ami kamu kenapa?” Tanya Farish dengan rupa yang sangat kaget. Lekas aku
seka hidungku. “Aku gak papa.” Elakku.
“Kamu sakit Ami.”
“Aku tidak apa –apa Farish…” Terus saja aku mengelak.
“Biar aku antar kamu pulang. Kamu itu sedang sakit tak mungkin jalan
sendiri.”
Paksa Farish yang tahu benar aku sedang tidak sehat.
Aku tak perdulikan Farish lagi, yang aku rasa sekarang hanya bumi yang
berputar semakin cepat, tubuhku seperti di gigit semut dari ujung kaki
hingga kepala dan gelap!
***
Sebelas,,
Ami pingsan!
Tubuh Ami yang lemas itu terjatuh dan segera ditangkap sigap oleh Farish
yang berdiri disampingnya agar tak jatuh ke tanah.
“Akh! Sial, kenapa si Bram itu kasih gue cewek penyakitan gini sih?!”
Kesal
Farish sambil menyandarkan Ami di kursi mobilnya. Iapun lekas membawa
Ami ke kelinik terdekat.
“Ibrahim…” Panggil Ami dalam pingsannya.
Farish menoleh terkejut, perempuan disampingnya telah menyebutkan sebuah
nama yang tak asing baginya.
“Ibrahim? Apa Bram?” Pikirnya tiba –tiba curiga. “Apa hubungannya?”
Hingga sampai pada klinik dan Ami mendapat pertolongan pertamanya.
“Dia tidak apa –apa. Hanya stress saja, barangkali dia ingin cepat
–cepat kamu nikahi.” Jelas Dokter bergurau sambil menuliskan resep obat
di selembar kertas. Farish terhenyak. “Dia bukan pacar saya, dok!”
“Dia panggil –panggil nama kamu..”
“Siapa nama saya dok?!” Tanya Farish kesal. “Ibrahim?”
“Bukan! Nama saya Farish, dokter.”
“Ah tak apa, tak usah merasa malu seperti itu. Jadi lelaki itu harus
bertanggung jawab. Tak usah mengelak seperti itu lah…”
“Aduh dokter. Apa perlu saya tunjukkan ktp saya?! Saya ini baru kenal
dengan
dia. Pacarnya saja saya tidak tahu siapa.” Jelas Farish kesal pada
dokter yang terus menggodanya.
“Ooo…” Mulut dokter membundar sambil tertawa ringan. “Kalau gitu, nanti
kalau sudah tahu, bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin
segera dinikahi
62
pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu.”
“Benar dia sakit gara –gara setres, dok?”
Dokter menyobek selembar kertas resepnya. “Iya, gadis itu tidak
berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan
beban fikiran yang sangat berat.”
Farish diam tak menjawab apapun lagi.
Selembar resep di berikan pada Farish. “Ini di tebus saja.” “Baik
dokter.”
Resep obat itu ditebus Farish di apotek terdekat.
Apa iya, seperti yang dia bilang tadi kalau dia mungkin sedang
bermasalah?
Tanya Farish dalam benaknya sendiri. Tapi masalah apa sampai terbawa
sakit seperti itu?
Wajah cantik Ami sungguh pucat, kedua matanya sembab berair. Hidung
mancung bertindik itu memerah, bibir mungil memerah dan kering
terkelupas kulit arinya. Ditatapnya gadis itu dengan rasa penasaran
penuh Iba.
Seorang gadis yang di dapat dari seorang kawan bernama Ibrahim Imran.
Saat itu menjelang tengah malam, beberapa lelaki berkumpul di bawah
naungan warung kecil dengan lampu yang tak terlalu terang.
Plasst!!
Ditepis tangan seorang kawan yang hendak menuangkan minuman ke dalam
gelasnya. “Sudah gue bilang jangan coba –coba nuangin cairan itu kedalam
gelas gue!”
“Sorry boss..”
“Gue bukan loe loe!!”
Sunyi seketika perhatian beralih pada sebuah mobil mewah memasuki
halaman
luas warung. Sinaran lampu mobil itu membuat mereka bersembunyi di balik
tangan masing -masing.
“Ibrahim…” Kata Farish tahu siapa yang datang.
Mesin mati, lampu mobilpun mati. Lalu keluarlah sesosok lelaki gagah
berjas
hitam dari mobil itu. Ibrahim Imran, seorang kawan baik dari Farish. Ia
menghampiri Farish dan kawan –kawan yang tengah bersantai menghabiskan
malam.
“Hallo bro!” Sapa Aim dan menyalami semuanya. “Apa kabar ne?” “Baik,
loe?” Tanya Farish balik.
“Alhamdulillah lah…”
“So? Tumbenan langsung kemari, ada apa?” Tanya Farish heran. “Langsung
aja. Gue ada tawaran…”
Alisnya menaik. “Tawaran apa ne?”
Aim trerlihat mengambil sesuatu dari balik jasnya. Di comot selembar
foto dan di letakkan di atas meja. “Namanya Ami..”
Farish mengambil foto itu dan dipandangnya seksama.
Foto itu kembali di lempar ke atas meja. “Sorry gue gak tertarik bro…”
“Buat gue aja!” Serempak kawan –kawan lain berebut menyambar foto diatas
meja bersama –sama.
Foto itu kembali disambar oleh Ibrahim. “Sembarangan! Loe punya muka pe
de
63
amat mau sama ni cewek..”
“Stop! Loe ada apa sampai nawarin cewek itu ke gue?”
“Cuma loe Farish yang tepat buat ni cewek. Lihat, dia ini cantik. Masa
iya gue mau kasih sama bang Joe atau yang lainnya?”
“So loe kira gue kerren gitu?”
“Yaa setidaknya loe kan lebih lukin good dibanding mereka semua. Kita
sama – sama lah..”
“Udah bos, samber aja. Cantik loh..”
Farish tak perdulikan seruan kawan di kanan kirinya.
“Sepuluh juta, setidaknya loe bisa jadi temen baiknya. Setelah itu
terserah loe. Mau diapain okay, terserah loe. Lu urus nih cewek sepuluh
juta.” “Tampangnya cewek baik –baik. Apa maksudnya neh?”
“Loe lihat sendiri aja lah Rish..” Aim kembali merogoh kantong jasnya
dan mengambil sebuah amplop coklat agak tebal. “Ini setengahnya dulu,
kalau loe sukses jadi temen dia, gue kasih semuanya lunas.”
“Penting banget lu kasih ni cewek sama gue?”
“Loe sohhib gue bro. loe pasti bersedia nolongin gue kan?” “Emang dia
siapa lo?”
“Akh, yaa ada orang minta tolong sama gue. Itu aja lah..” “Pentingkah?”
“Banget. Please, gue butuh banget bantuan loe utuk satu cewek ini.”
“Akh, yang benner loe ini. emang ada apa?”
“Sorry bro, gue gak bisa jelasin sama loe. One day loe bakal tau sendiri
lah..” “Okay…” Berat Farish menyetujui penawaran Ibrahim yang tak jelas
itu. Hwerr…!!!
“Farish…” Panggil Ami yang ternyata sudah sadar, membuayarkan lamunan
Farish.
Farish tersenyum. “Iya aku disini.”
„Intro panah asmara by afgan…‟ Memotong pembicaraan mereka. Handphone di
kantong Ami berdering.
“Pasti telpon dari rumah mu…”
Tercekat, jantungnya berdebar kencang. Layar tanpa tombol itu
menampilkan panggilan dari Aim. Panggilan itu tak lekas dijawabnya.
“Kenapa?”
Ami diam, hanya menggeleng.
“Dijawab saja sapa tahu penting.”
“Tidak, ini gak penting.” Ami tetap membiarkan handphoenya berdendang.
Tak sengaja Farish melihat layar panggilan dengan nama „Ibrahim Imran‟
“Pasti dia…” Katanya terdengar pelan.
“Kenapa?”
Farish menggeleng. “Tidak. Angkat saja sapa tahu penting.” „Intro panah
asmara by afgan…‟
Handphone itu terus berdering.
64
“Ami, gak baik membiarkan orang yang butuh sama kamu seperti itu.” “Aku
gak mau jawab.”
“Kenapa gak dimatikan saja.” “Jangan.”
“Jawab Ami. Jangan bikin penelpon itu tambah khawatir sama keadaan
kamu.”
Paksa Farish.
Kembali Ami memandangi layar handphonenya dan menjawab panggilan itu.
“Hallo.” Katanya pelan. “Assalamualaikum…” “Waalaikum salam.” “Kenapa
baru diangkat?” “Maaf, barusan aku lagi…” “Apa?”
“Ada dokter yang meriksa aku.” “Kamu dirumah sakit lagi?”
“Aku ada di klinik. Tadi aku pingsan, aku habis kabur dari rumah.” “Kamu
kabur?! Ami, sudah berapa kali aku bilang kamu…” “Cukup!”
Bentakan Ami cukup mengagetkan Farish yang duduk disebelahnya.
“Hentikan, aku gak mau kau sok baik seolah memperdulikan aku!” “Aku
minta maaf.”
“Sudahlah, tolong kasih tahu kak Hani. Jangan sampai yang lain tahu aku
sedang kambuh di klinik. Suruh dia menjemputku sekarang.”
“Okay…”
Tit!
Berakhir panggilan itu tanpa persetjuan dari Aim disana.
“Kenapa harus membuang emosi?” Tanya Farish.
“Kau tahu kenapa aku tidak mau menjawab telpon itu?” “Kenapa?”
“Karena aku tidak mau membuang emosiku. Tapi kamu yang memaksaku tadi.”
“Maaf Ami. Aku hanya…”
“Sudahlah jangan bahas ini lagi.”
Farish menghela nafasnya santai. “Dokter bilang kamu gak punya penyakit
serius. Hanya terlalu banyak fikiran dan capek.” Kabarnya mengalihkan
pembicaraan. “Iya, waktu itu dokter yang lain juga bilang begitu.”
“Boleh aku tanya?” “Silahkan.”
“Tadi di telpon kamu bilang kamu kabur dari rumah, lalu aku bertemu kamu
di pantai. Memangnya kenapa kamu kabur?” Pertanyaan Farish terdengar
hati –hati. “Aku bosan sudah dua hari aku tidur di kasur, dikamar,
dengan suasana yang
tetap seperti itu. Aku kesepian Farish, mereka hanya memastikan aku baik
–baik saja lalu pergi kembali dengan pekerjaan masing masing. Selesai.”
“Lalu sekarang kamu membuat semua orang dirumahmu khawatir?”
65
“Yaa.”
“Mereka sayang sama kamu tapi kenapa kamu justru seperti itu?” “Sudahlah
Farish, ada kalanya seorang manusia butuh tempat untuk menenangkan
dirinya. Seperti aku yang sampai seperti ini sekarang.”
“Okay aku hargai. Tapi aku harap ini yang terakhir kalinya kamu begini.
Kamu harus cari cara lain, cara yang gak bikin orang lain cemas.”
“Gimana caranya?”
“Menyanyi, berteriak, menulis, tidur atau yaa apalah terserah kamu, tapi
yang pasti gak bikin orang khawatir mikirin keadaan kamu yang tiba
–tiba menghilang seperti ini.”
Ami tersenyum memandang Farish. “Kenapa kamu yang sewot kalau aku bikin
khawatir orang rumahku?”
“Hey Ami. Kamu sadar kamu pergi dengan keadaan sakit?”
Ami mengangguk.
“Untung kamu bertemu dengan aku. Kalau yang lain? Atau mungkin kamu
tidak bertemu dengan siapapun? Bayangkan apa yang akan terjadi sama
kamu. Kamu menyetir sementara hidungmu terus mimisan kamu hilang kendali
dan akhirnya menabrak, kecelakaan, masuk rumah sakit? Yang ada malah
nambahin penyakit bukan tambah sembuh Ami!!” Jelasnya kembali dengan
rupa sangat ekspresif.
Ami tersenyum, semakin lebar melihat kekhawatiran seorang teman yang
baru ia temukan beberapa waktu lalu.
“Boleh aku tanya?” “Ya?”
“Sebagai apa kamu mengkhawatirkan keadaanku sampai segitunya?” “Aku?”
Farish tercekat. Mulutnya kembali ternganga. “A..”
“Farish, Farish…” Ami melpas tawa kecilnya. “Maaf, tapi aku pikir…”
“Sudahlah, terimakasih sekali Farish. Aku gak pernah berfikir sampai
sejauh itu.
Makasih juga kamu udah mengingatkan aku, mewantiku agar lebih berhati
–hati.” Farish tersenyum. “Sama –sama. Itulah gunanya teman yang harus
selalu ada kapanpun dibutuhkan…”
“Aku janji, aku akan berusaha berhenti bikin keluargaku cemas.” “Wajib!
Janjilah pada dirimu sendiri, bukan sama aku atau yang lainnya.” “Iya..”
***
Dua belas..
Mesin mobil di matikan, Ibrahim dan Kak Hani keluar dari situ.
“Nanti biar kakak saja bawa mobilnya Ami. Kamu mau balik langsung gak
papa..” Kata kak Hani sambil mencantolkan kembali tas ke bahunya.
66
“Baik kak…”
Tanpa kata lagi Kak Hani segera masuk pintu klinik dengan diekori Aim di
belakang.
“Ami…” Sapa kak Hani khawatir menemui Ami segera. “Kakak, sama siapa?”
“Aku berdua sama Bram…” Jawab Kak Hani.
Mendengar nama itu Farish terjaga dari tempat duduknya, ia lekas menoleh
kearah pintu.
“Kenapa sama dia, kak?”
“Kan kakak dikasih tahu dia. Sekalian kakak minta antar, kamu kan bawa
mobil.”
Farish terus menatapi arah pintu, terlihat seorang lelaki tengah seibuk
dengan ponselnya berjalan hingga depan pintu. Ia pun terkejut ternyata
yang dimaksud benar adalah Ibrahim Imran sohibnya ada hubungan dengan
Ami.
Disana, Aim berhenti dengan urusan di ponselnya hingga kembali
dimasukkan
dalam kantong celana. Selangkah maju, kakinya kembali berhenti terkejut
saat melihat Farish berada di dalam yang menemani Ami. Mereka hanya
beradu pandang tanpa gerak mendekat sedikitpun.
“Gimana kamu bisa sampai kabur?”
“Aku pengen jalan –jalan kak. Pas keluar untung aku ketemu sama teman
aku… Farish..” Panggil Ami membuyarkan pandangan Farish.
“Ah Iya..” Farish kembali pada Ami dan kak Hani.
“Kenalkan kak, ini Farish, Farish kenalkan dia kak Hani. Kakak yang
paling dekat denganku.”
“Farish.” Farish menjulurkan tangannya.
Kak Hani menyalami Farish. “Hani.” Jabatan tangan dilepas. “Sudah berapa
lama kalian berteman?”
Diam, Ami dan Farish saling melihat.
“Tadi?” Jawab Farish tak yakin. “Ha?”
Ami tersenyum. “Aku pernah cerita aku dikejar preman lalu, ada orang
yang tolong aku?”
Kak Hani menggeleng.
“Ah, nanti aku ceritakan. Orang yang tolong aku dia, dan hari ini aku
bertemu dia lagi di tempat yang sama. Hari ini dia lagi yang tolong aku
membawa kemari.” “Owh. Terimakasih Farish.”
“Sama –sama.”
“Oh ya, apa kata dokter?”
“Tidak ada yang serius, kata dokter Ami hanya kecapean dan banyak
fikiran.”
Jelas Farish.
Kak Hani memandang adik bungsunya itu. Ia tahu benar apa yang
menyebabkan kondisinya jatuh lemah seperti ini. “Hentikan pikiranmu, dia
tak tahu apa yang kamu rasakan. Lupakan dia.”
67
Ami menarik senyum berat. “Iya kak.”
Farish kembali menolehi arah pintu. “Sial!” Kesalnya. “Apanya yang
sial?” Tanya kak Hani.
“Ah enggak. Aku hanya ingat sesuatu terlupa. Maaf, ada yang harus aku
urus sekarang.” Katanya tergesa –gesa.
Farish meninggalkan Ami dan kak Hani berdua di dalam. Tergesa –gesa ia
pergi
keluar mencari sesosok Ibrahim yang seperti kabur dari hadapannya.
Menoleh kekanan
dan kekiri, seluruh parkiran sudah sepi hanya tinggal mobil jazz Ami,
Ambulance dan beberapa motor milik pasien lain.
“Dia benar –benar berhubungan dengan Ami. Sebenarnya siapa dia? Kenapa
seperti takut sekali aku tahu?!”
“Farish!” Panggil Ami.
Farish menoleh mencari sumber panggilan itu.
“Aku mau pulang. Kamu mau kita antar?”
Farish tersenyum dan menggeleng. “Gak usah, aku bisa pulang sendiri.
Kamu pulang bareng kakakmu aja.”
“Setidaknya sebagai ucapan terimakasih kami Farish.” Tambah Kak Hani
yang memapah Ami.
“Makasih Kak, gak usah. Bentar lagi temanku jemput koq.” “Okay, makasih
ya.”
Ami dan kak Hani masuk mobil, hanya lambayan tangan dari dalam mobil
kemudian mobil hitam itu melenyap dari halaman klinik. Begitu juga
dengan Farish tak lama menunggu mobil Nissan terano datang menjemputnya.
Seroang kawan bernama bang Joe menjemputnya.
Perjalanan terasa sunyi dan tegang tak seperti biasanya. Seorang Farish
yang disebut boss hanya diam tak mengucapkan sepatah kata sapaan
sekalipun pada Bang Joe.
Pikirannya teringat pada perkataan dokter tentang Ami tadi siang.
“Ooo…” Mulut dokter membundar. “Kalau gitu, nanti kalau sudah tahu,
bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin segera dinikahi
pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu…”
“Benar dia sakit gara –gara setres dok?”
Dokter menyobek selembar kertas resepnya. “Iya, gadis itu tidak
berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan
fikiran yang sangat berat.” “Bos?”
Farish tak beralih, benar matanya tertuju pada jalanan yang ramai lalu
lalang motor –motor dan mobil, tapi pikirannya melayang jauh entah
kemana. Sebuah motor berkecepatan rendah memotong jalan di depan mobil
tiba -tiba.
“Bosss!!!” Teriak Bang Joe.
Teriakan itu mengejutkan Farish yang melayang, Kiikkk!!!
Seketika rem diinjak hingga merekapun terpental ke depan. Jantungpun
berdebar kencang sangat kencang.
68
“Astaughfirullahaladim!!” Melebar mata Farish dan mengusap dadanya.
“Akh! Boss, kenapa sih bos ne?!”
“Sorry bang, gue gak konsen.”
“Ah bos, ini jalanan rame banget jangan pake gak konsen gitu dong!”
“Sorry sorry.”
Sejenak Farish mengalihkan pikirannya dan kembali konsentrasi pada
jalanan hingga kembali kerumah.
Sebenarnya ada apa dengan Ibrahim dan Ami? Kenapa rasanya aneh dan
mencurigakan begini? Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Farish
setiap saat. Iapun memutuskan untuk menghubungi Aim, tapi panggilan
lewat seluler itu tak ada jawaban.
Kalau memang tidak ada yang disembunyikan pasti Ibrahim merespon
panggilan itu. Benaknya terus gelisah ingin tahu sebenarnya yang
terjadi. Terus
mencoba menghubungi Ibrahim tapi tetap saja tak ada respon darinya.
Akhirnya ia putuskan untuk mendatangi rumah Ibrahim.
Tok tok tok!
Pintu terbuka, muncullah seorang gadis cantik langsing dengan rambut
panjang bergelombang tergerai.
“Cari siapa ya?” Tanya gadis itu sambil membuka pintu, ia tak tahu kalau
Farish yang datang.
“Inez? Kamu disini?” Sapa Farish terkejut.
Perempuan cantik itu juga terkejut dan tersenyum. “Farish, apa kabar?”
“Iya, aku baik kamu sendiri gimana?”
“As you see now..” “Alhamdulillah, oh ya Bram ada?”
“Ada, di dalam. Ayo masuk.” Inez mempersilahkan Farish masuk rumah.
Mereka duduk di sofa ruang tamu bersama.
“Ada apa?” Tanya Aim.
“Kemana aja loe? Dua hari ni gue coba hubungin tapi gak bisa.” “Sorry
bro gue sibuk banget. Terus gimana?”
“Gue udah deket sama cewek itu. Sesuai janji, gue mau minta
setengahnya.” “Owh, iya sebentar…” Aim beranjak dari situ meninggalkan
Inez dan Farish berdua. Ia kembali masuk hendak mengambil sesuatu
dikamarnya.
“Emangnya Bram janji apa soal cewek?”
“Dia suruh aku buat deketin cewek. Namanya Amita, Amita Rorai tapi dia
gak kasih penjelasan apapun soal cewek itu.”
“Amita?” Inez terbelak. “Ami?”
Farish mengangguk cepat.
“Ngapain Bram suruh kau deketin kak Ami seperti itu??” Alisnya
mengernyit. “Kak Ami? Maksudnya?”
“Amita Rorai, itu kan adik tirinya Bram. Anaknya Om Bilal..” Jelas Inez
yang tak tahu urusan.
“Ami sama Ibrahim saudara tiri?”
69
Inez menghentikan gerak mulutnya yang hendak menjawab saat terdengar
langkah kaki Ibrahim menuruni tangga.
“Lima juta. Lunas kan?” Aim meletakkan amplop coklat di depan Farish.
Farish dan Inez saling melihat.
“Saat pingsan dia ngigau panggil –panggil nama Ibrahim dan Aim,
penasaran lo tahu siapa yang dimaksud dia?” Tanya Farish memancing.
“Gue gak tahu.” Jawab Aim cepat. “Yang namanya Ibrahim gak cuma gue,
banyak koq. So bukan gue…”
Farish tersenyum. Jawaban Aim terjerat dalam pancingannya. “Pastinya gue
gak bilang kalau itu loe…”
“Ya, ya…”
“Okay, gue pamit dulu…”
Sederhana saja, orang bodohpun tahu, Aim punya urusan dengan Ami. Farish
kembali melangkah keluar dari rumah Aim.
***
Tiga belas..
Akibat sakit selama seminggu, semua tugas –tugasnya terbengkalai dan
kini
harus segera diselesaikan. Sejak pagi gadis itu nampak sangat sibuk di
kampusnya, ia harus mengurus perpindahan semester dari empat ke lima
istilah lain dikata dafar ulang. Sibuk masuk kantor sana keluar kantor
sini. Arsip, foto copy, keuangan dan lain
–lainnya.
“Foto kopinya sudah selesai?” Tanya Ami pada seorang teman. “Udah,”
“Eh ini punyaku titip sekalian ya…” Ami sangat kesulitan dengan lembaran
– lembaran kertas dan Map yang dipegangnya. Hingga akhirnya lembaran
–lembaran itu jatuh dan berterbangan kemana –mana. “Ah…”
“Duh Ami…”
“Aku benci ini! Mereka semua menitipkan sama aku, sementara aku sendiri
belum menyelesaikan punyaku.” Ocehnya sambil memungut kembali kertas
–kertas yang berhamburan.
“Ami sorry ya, aku ada janji sama dosen sekarang.” Pamit seorang teman
yang tadinya malas untuk membantu memungut kertas itu.
“Ya, ya, ya sudah sana silahkan pergi…” Usir Ami santai.
Kawanpun pergi meninggalkan Ami sendirian.
“Hah! Kalian itu kalau ada maunya saja baik –baikin aku, giliran aku
yang butuh sejuta deh alessannya buat ngindar! Akhr sial banget sih aku
punya temen kaya kalian ha?!” Mulutnya tak berhenti mengutarakan
kekesalan.
“Marah sih marah, tapi jangan terlalu nyaring suaranya, nanti disangka
orang gila bicara sendiri kamu.”
70
Suara itu menghentikan tangan Ami dan iapun lekas menoleh.
Ternyata itu Farish yang tiba –tiba muncul membantu memunguti kertas
yang berantakan.
“Farish?!”
Lagi –lagi Farish hanya tersenyum.
“Ngapain kamu disini?” “Aku? Ke café?”
Ami menatapnya curiga. “Ini memang café, tapi masih banyak café lain
bukan?” “Owh, aku mau ketemu temanku. Dia kuliah disini juga, janjian…”
“Owh…” Mulutnya membundar. Tapi ia mulai ge –er, dikiranya Farish datang
untuk bertemu dirinya.
Farish memberikan lagi lembaran kertasnya.
“Makasih…”
“Sepertinya kamu sibuk sekali ya?”
“Enggak juga sih, sebagian dah selesai tadi. Cuma aku kesssseeeeel
banget.
Yang benner aja masa temen –temen pada nitipin ini semua sama aku. Gak
bayar lagi…” Adunya kesal.
“Sudah, sudah, yang sabar. Itung itung cari pahala aja lah…”
“Pahala sih pahala Rish, tapi enggak juga kalau sampai seberat ini. Nih
aja sampek jatuh kemana –mana. Mending lah aku kasih beras sekarung ke
panti asuhan…”
Farish tersenyum. “Bisa aja kamu…”
“Hey! Kamu udah melupakan sesuatu Farish.” “Apa?” Tanya Farish heran.
“Sejak aku pulang dari klinik kamu gak pernah tanya kabar aku sama
sekali..”
Farish menepak dahinya. Ia tersenyum dan tertawa kecil. “Argh! Ami aku
sungguh minta maaf, aku lupa. Habisnya aku lihat kamu sudah sangat sehat
jadi aku lupa kalau kamu pernah sakit.”
“Sudahlah..”
“Jadi? Gimana kabar kamu sekarang?”
“Yaa seperti yang kamu lihat dan kamu kira. Aku baik –baik saja dan
sangat sehat sekarang.”
“Syukurlah kalau gitu. Hmm… jadi kamu kuliah disini?”
Ami mengangguk cepat. “Iya. Dua tahun lagi aku akan lulus jadi bidan.
Minggu depan aku praktek di klinik. Lebih tepatnya puskesmas desa.”
Sementara…
Sedan civic hitam menyerongkan stirnya berhenti tepat di halaman café
yang
sama. Turunlah lelaki berjas rapih dan kacamata hitam yang menampakkan
dia lebih gagah. Saat kacamata itu dilepas, Aimlah orangnya…
Rupanya sejak pertanyaan Farish waktu itu Aim terus terbayang –bayang
dan
ingin bertemu Ami. Tapi, sesaat Aim cukup terkejut melihat dari kejauhan
Ami sedang bersama seorang lelaki penuh canda tawa sangat lepas.
Seperti terbakar, ia tak senang
71
melihat kedekatan Farish dengan Ami. Ini pertamakalinya ia melihat Ami
sedang berduaan langsung dengan lelaki selain dirinya.
“Ami…” Sapanya kaku.
Mereka berdua yang sedang seru langsung berhenti. “Ibrahim…” Ucapnya
sangat terkejut dengan kedatangan Aim.
“Iya. Apa kabar?” “Aku baik.”
Farish diam saja, ia seperti yang tak tenang.
“Ami, aku pergi dulu…” Pamit Farish tenang. “Mau kemana?”
Sesekali Farish memalingkan pandangannya. “Sudah aku bilang, aku harus
bertemu temanku dulu…”
“Owh okay, tapi…”
“Sampai jumpa Ami…” Farish meninggalkan Aim dan Ami berdua.
Sunyi, tak ada tema yang bisa memulai pembicaran mereka.
“Ada apa kau kesini?” Tanya Ami gugup. Jantungnya terasa berdebar
–debar. “Aku ingin mengajakmu pergi.”
“Kau mau ajak aku pergi kemana?” Tanya Ami menyinyir. Rasa sakit kembali
dirasa dalam hatinya.
“Ikut aku, kita pergi dari sini.”
“Aku gak mau. Urusanku belum selesai.”
“Sebentar saja. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
“Kalau mau bicara silahkan saja, aku tak punya banyak waktu. Masih
banyak yang harus aku urus.”
“Sebentar saja Ami. Aku janji akan antar kamu kembali kesini.” “Aku
bilang tidak! Aku gak mau pergi denganmu!” Tegas Ami. “Tolong sekali ini
saja. Anggab ini yang terakhir Ami…”
“Yang terakhir sudah dari dulu! Aku gak mau ikut kau pergi kemanapun
walau itu hanya sedetik!”
“Ami aku tahu kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf. Tolong dengar aku.”
“Kau minta aku dengar kau tapi kau gak pernah perdulikan aku?! Buat
apalagi aku perdulilkan kau ha?!”
“Ami tolong!”
“Kau yang tolong! Pergi dari sini. Pergi dari hadapan aku, pergi dari
hidup aku selamanya!”
“Kamu begitu angkuh berbeda dari Ami yang dulu aku kenal.” “Begitu juga
kau, berbeda dari Aim yang aku kenal.”
“Ami…”
“Sadar kau? Buka matamu! Lihat siapa yang ada di hadapan kau sekarang!
Siapa aku? Seorang gadis yang terluka karena disakiti hatinya,
dikecewakan perasaanya oleh seorang lelaki tak bertanggung jawab
sepertimu.” Setetes air mata kembali menggenang oleh emosi perasaannya.
“Sadar apa yang sudah kau lakukan? Setelah semua yang aku sudah lakukan
demi hubungan kita. Demi mencari kejelasan, mencari
72
jalan yang halal, selama bertahun –tahun aku diperhatikan olehmu,
disayang –sayang, dimanja –manja, sekarang setelah dua tahun menghilang
kau muncul tiba –tiba dengan kabar duka buatku!”
“Ami…”
“Sadar apa yang udah kau perbuat sama aku ha?!”
Aim terdiam.
“Sebenarnya apa arti seorang diriku ini dalam hidupmu ha?! Kemana cinta
yang aku rasa selama bertahun –tahun ternyata hanya cinta sesaat yang
palsu tanpa tanggung jawab!”
“Maafkan aku Ami…”
“Hanya maaf? Kau tidak bisa mengembalikan luka yang sudah terlanjur
menjadi sebuah infeksi akut dalam hati aku. Percuma!”
Tangan Aim hendak menyentuh Ami, tapi Ami langsung menarik mundur
tubuhnya menghindari sentuhan itu.
“Jangan sentuh aku! Jangan pernah sentuh aku lagi. Aku gak perduli, ini
yang terakhir…” Tandas Ami.
Aim, kenapa kamu begitu? Harusnya aku bukan gadis itu yang kau pilih,
setelah bertahun tahun aku lakukan segalanya demi kejelasan hubungan
kita kenapa harus berakhir seperti ini?!
***
Empat belas..
Setelah bertemu Aim tadi siang membuat kepalaku kembali terasa sangat
berat. Harusnya dia tidak menghampiri aku lagi, karena dia hanya akan
menguras air mataku percuma. Dan herannya, aku sendiri tak bisa menahan
air mata. Selalu saja membuatku ingin berteriak kencang di hadapannya.
Well, kembali pada kebiasaanku, saat masalah datang yang aku lakukan
hanya makan makanan semi berat, cake, Blackforest ciptaan Mama tadi
pagi. Dan membanting tubuh ke sofa lalu menekan tombol „on‟ pada remote
tiviku. “Ma, Emma sama Sita jalan dulu yaa?” Pamit kak Emma pada Mama
yang baru keluar dari kamar.
Mendengar mereka pandangankupun beralih. “Mau kemana? Tumben kakak gak
kabar –kabar mau keluar rumah.”
“Diajak Mama mau beli kain buat tunangan Ibrahim…”
Aku terhennyak. Mereka akan pergi membeli kain untuk seserahan pada
perempuan centil itu? Ya Tuhan, hatiku seperti piring yang di banting
membentur tembok saja rasanya. Hancur, hatiku benar –benar hancur
sekali.
“Mau ikut?” Ajak kakak.
Aku hanya menggeleng. Mengemut kembali sendok yang sudah ada potongan
cake.
73
Aim… apa maumu?
Kau tahu? Kemudian aku akan membantu Mami untuk menyiapkan semuanya.
Sementara aku menangis karena sakit dalam hatiku. Tak ada yang bisa
mendengar jeritan hatiku saat itu. Yaa, Aim, pernahkah kau berfikir
bahwa aku lebih memilih untuk gantung diri dari pada melihat kau
menyematkan cincin di jari manis Inez?
“Maa…” Panggilku lemah.
Mama duduk mendekat disampingku. “Kamu kenapa? Ada masalah lagi?” Aku
menggeleng. “Ma, kenapa bisa Ibrahim duluan yang harus bertunangan
sebelum Fajrin?”
“Entahlah. Kalau gak salah dulu Ayah pernah cerita kalau Ibrahim dan
Inez itu memang niat untuk dijodohkan sejak kecil.”
“Fajrin?”
“Kalau Inez sama Fajrin selisih umurnya terlalu jauh. Jadi ya gak
mungkin Inez dipasangkan sama Fajrin.”
“Tapi mana pantas Ma kalau Ibrahim mendahului Fajrin abangnya sendiri
yang sekarang emang umurnya kan tambah tua. Harusnya gimanapun Fajrin
yang lebih di dahulukan kan Ma…?” Tak sadar nada bicaraku seperti orang
bertengkar tak terima saja.
“Yah mana Mama tahu Ami. Sapa tahu saja, memang Arman dan Viviana dulu
punya perjanjian khusus dengan Ibunya Fajrin. Apa urusan Mama? Terserah
mereka mau seperti apa. Yang penting anak Mama Hani dan kamu tak jadi
bagian dari mereka.”
Terhenyak dengan kalimat terakhir Mama. Akupun kemudian diam dan kembali
memfokuskan diri pada layar televise. Walau kata –kata itu tak
menghentikan jalan pikiranku. Mama tak suka jika anak –anaknya menjadi
bagian dari keluarga itu.
“Itu cuma tunangan, belum menikah. Sebenarnya Mama tidak suka saat
Ayahmu berniat untuk memasangkan Hani dengan Fajrin. Sukur –sukur
kakakmu sudah menikah. Hanya saja, Mama ini masih menghargai Ayahmu.
Kalau tidak, pasti dikiranya
Mama menghina mereka.”
“Iya, Ma. Menurut Mama, mereka itu baik tidak sih Ma?”
“Baik, ya sekarang baik. Dulu Mama gak tahu. Ya Mama tak mau terlau
memusingkan mereka. Selama mereka tak menyerang Mama dan anak –anak ya
sudah terserah mereka. Mama tak mau punya urusan sama mereka…”
Aku diam menjadi pendengar setia curahan hati Mama.
“Kalau bukan karena pertunanan Ibrahim, ah.. Mama tak akan mengizinkan
Emma dan Sita pergi ikut orang itu…”
Dan aku hanya ingin bisa berteriak. “Aim Mamaku benci kamu!!!!!!!!”
Dan maafkan aku Ma, karena aku sangat menginginkan menjadi bagian dari
mereka. Hanya saja aku tak kuasa untuk mengatakan pada Mama dan Ayah
saat ini.
Aku ingin sekali menghentikan pertunangan itu dan memaksa Aim untuk
meninggalkan gadis itu demi aku. Tapi aku tak tahu bagaimana kerasnya
cinta Aim untukku.
„Intro panah asmara by afgan…‟
Terdengar suara lantunan music dari arah kamarku, ternyata itu
handphoneku
74
berdendang. Aku lekas berlari menuju kamar dan meraih handphoneku yang
bergoyang di nacase tempat tidur.
Aku tersenyum saat melihat sepenggalan nama pemanggil yang berbeda dari
biasanya. „Farish‟
“Hallo?” Aku jawab panggilan itu. “Hallo, Assalamualaikum…” “Waalaikum
salam…”
“Hai Ami…” “Hai Farish..” “Apa kabar?”
“Seperti yang kau lihat tadi siang, aku baik.”
“Ah iya, haha…” Katanya tertawa sendiri. “Okay, aah…” “Ada apa? Kenapa
suaramu terdengar gugup?”
“Ah tidak, aku hanya iseng saja jadi aku gak punya tujuan untuk nelpon
kamu sebenarnya.”
Aku tersenyum. “Hmm terus kenapa kamu telpon aku?” “Tadinya aku fikir
ingin mengajakmu keluar. Jalan –jalan…” “Kemana?”
“Terserah kamu, mau aku ajak kemana saja.” “Owh.” Aku merebahkan badanku
di tempat tidur.
“Tapi itu juga kalau kamu gak sibuk dan bersedia keluar sama aku.”
“Ehmmm gimana ya? Sebenarnya aku ingin sekali keluar tapi aku gak…
Mamaku sendiri dirumah, gimana?”
“Auh, iya. Harusnya sebagai anak yang baik kamu gak mau aku ajak
keluar.”
Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani mengejutkanku. “Ami?!” Panggilnya.
“Harusnya begitu. Mamaku sendirian, kakaku pergi semua. Jadi aku gak
mungkin keluar menerima ajakanmu.” Jawaku masih terfokus pada telpon
hanya menolehi kak Hani mengangguk member isyarat.
“Siapa telpon?” Tanya Kak Hani.
Aku menutup mic handphone. “Farish, waktu itu. Dia ajak aku keluar.”
“Ya, kalau gitu gak jadi deh. Tapi…”
“Pergi aja! Mama sama kakak di sini koq.” Suruh Kak Hani mengecilkan
suaranya.
“Maaf Farish. Tunggu sebentar ada yang panggil aku.” “Okay…”
“Ada apa kak?” Tanyaku langsung pada kak Hani yang berdiri di sampingku.
“Kalau Farish yang waktu itu ngajak pergi silahkan pergi aja…”
“Tapi Mama sendirian?”
“Ada aku. Jangan khawatir, besok aku pulang.” “Sungguh gak papa?”
“Iya…”
Aku tersenyum, kembali aku pada telpon bersama Farish. “Farish?” “Iya.
Sudah selesai panggilannya?”
75
“Iya. Apa ajakanmu masih berlaku?” “Tentu aja…”
“Aku tunggu kamu di taman kota setengah jam lagi ya?” “Lalu Mamamu?”
“Udah ada temennya.” “Siapa?”
“Hmm kakakku..” “Wah..Okay…”
“See you there Farish…” “See you too Ami..”
Tit.
Berakhir panggilan itu, segera aku mengganti baju dan tak lupa
menggunakan jaket hitam favoriteku.
***
Dua puluh
nol nol tepat. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam kantong. Lima
menit Ami dihembus angin malam, membuat bulu roma berdiri, sungguh
dingin malam ini.
“Ami..” Terdengar suara panggilan tepat dekat telinga kanannya.
Ami menoleh tapi tak ada seorangpun yang ia lihat, langsung ia menolehi
kirinya ternyata Farish sudah duduk di sebelahnya.
Ami tersenyum menyapanya. “Ah Farish…”
Farish melepaskan tawa kecilnya. “Sorry lama ya?” “Enggak koq, cuma
telat lima menit.”
“Ehmm.. kamu suka melati atau mawar?”
“Dua –duanya, kenapa?” Jawabnya mengerutkan alis heran. “Tidak kamu
harus pilih salah satu.”
“Mawar aja…”
“Hmm…” Rupanya Faris menyembunyikan sesuatu dibalik badannya. “Tutup
matamu dulu ya?”
“Buat apa?”
“Tutup aja, jangan ngintip.”
Ami memejamkan kedua matanya.
“Ok dibuka.”
Perlahan ia buka dua matanya ternyata sudah ada tiga tangkai bunga mawar
putih yang cantik dihadapannya.
“Mawar?” Ami tersenyum.
“Mawar putih ini sebagai tanda pertemanan yang aku ajukan sama kamu.
Bunga pertama, aku ingin menjadi seorang teman yang baik buatmu.” Satu
bunga di berikan pada Ami. “Bunga kedua, sebagai seorang teman yang baik
aku ingin selalu ada saat kamu butuh. Bunga ketiga, sekaligus yang
terakhir, sebagai teman aku ingin melindungi kamu setiap saat…” Dua
bunga itu kemudian diberikan pada Ami semuanya.
Ami tersenyum geli. “Dasar cowok aneh. Tapi terimakasih…”
76
Farish tersenyum, senyumnya dalam seperti tatapannya lekat pada Ami yang
tak beralih sekejap matapun. “Senyummu, manis…”
“Farish? Aku manusia bukan gula…” Gurau Ami. “Terimakasih…” Ami berbalik
menatap Farish dengan senyum indahnya.
Sunyi hanya saling pandang tanpa berkata apapun. Jantung itu tak
berdetak normal, sungguh seperti genderang perang yang kencang dan
nyaring. Farish mengalihkan pandangannya yang semakin merasa gugub.
“Kamu napa?” Tanya Ami.
“Aku, gak papa…” Elak Farish membenarkan posisi duduknya. “Aku gak
nyangka kamu itu baik banget.”
“Aku? Baik? Hahaha..” Farish tertawa. “Kamu belum tahu aja siapa aku.”
“Emangnya kamu siapa?”
“Aku? Farish?” “Ah tak penting.”
Asyik –asyiknya bergurau tak bertema, dari jauh sana ada sebuah mobil
civic
yang tengah mengintai mereka dari kejauhan. Itu Aim, tak sengaja lewat
dan melihat sepasang lelaki dan perempuan tengah bersenda gurau, tertawa
lucu tanpa beban masalah sedikitpun. Lagi –lagi lelaki yang bersama Ami
adalah Farish, lelaki suruhannya untuk berteman dengan Ami.
“Lampunya ijo sayang!” Gertak Inez yang duduk di samping Aim.
Aim mengalihkan pandangannya dan kembali pada jalanan di mobil.
***
Lima belas..
Langit mengkelabu, petir menyambar memecah awan membuat gemuruh
guntur yang tak sedikit. Angin berhembus, meniup bulir –bulir abu kering
dan daun – daun yang menggantung di dahan. Ku lihat jam menggantung
masih menunjukkan pukul lima belas lewat lima belas.
“Tutup jendela, cuacanya terlalu buruk tak seperti biasanya…” Seru Kak
Emma yang muncul dari balik pintu kamar.
Tanpa perintahnyapun aku sudah menutupnya lebih dulu. “Sudah kak…”
Kemudian kak Emma kembali melenyap dari balik pintu.
Aku rebahkan badanku yang sudah mulai terasa dingin. Cuaca memburuk
drastic, aku tak pernah kira hal seperti ini mungkin terjadi.
Bip Bip Bup Bap!
Aku gapai handphoneku yang sedang bersantai dekat bantal tidurku. Siapa
yang berani sms di tengah cuaca yang bergemuruh petir seperti ini?
“Ada di rumah kan?”
Aku tersenyum, itu sms dari Farish. “Iya, kenapa? Kamu dimana?”Aku
membalas pesannya.
Bib bib bub bab!
77
Sesaat smsku berbunyi lagi.
“Aku kejebak ujan di rumah temen. Syukur kamu dah di rumah.” “Hati –Hati
ya…”
. Nanti malam ada acara?”“Iya, makasih. “Gak ada. Napa?”
“Ada Expo nanti malam terakhir. Datang yuk? Tapi kalau gak hujan.
Gimana?” “Hmm… boleh deh…”
Tak terasa melewati gemuruh guntur dan hujan lebat, aku malah asyik
–asyikan mengabaikan ancaman tersambar petir dengan berbalas sms sama
Farish.
Kuasa Tuhan… tiga puluh menit berlalu, awan kelabu, gemuruh guntur dan
derasnya air hujan turut berlalu. Aku buka kembali jendela kamar,
secerca mata hari sore perlahan berani bersinar lagi. Wah berarti aku
jadi dong buat keluar sama Farish nanti malam. Hem… iya deh…
“Ami!” Teriak Mama memanggilku.
Karena aku anak yang baik segera aku menemui Mama di dapur. “Ada apa
Ma?”
“Mamamu itu mau minta tolong katanya tidak enak badan. Minta tensi sama
kamu, dan mau konsultasi katanya.”
Semangatku berubah seketika. “Sekarang?”
“Ya mumpung sore hujan dah reda. Lagian biar cepet selesai…”
“Oh Iya Ami. Kamu ikut Ayah aja sebentar lagi.” Tambah Ayah yang baru
saja lewat.
“Iya Yah…”
Belum jadi dokter saja aku sudah punya pasien. Untung cuma jadi bidan,
setidaknya aku tak terlalu pusing dengan complain or pertanyaan konsul.
Tapi yang paling penting semoga gak mengganggu jam keluarku sama Farish.
Aku langsung bersiap ikut Ayah menuju kediaman Mami tercinta. Kediaman
kekasih hatiku juga, Aim… seorang lelaki yang sudah menyayat hatiku.
Hatiku sudah berdebar, aku harap aku tidak bertemu kamu nanti.
Sekedar hanya membawa stetoskop dan tensimeter manual akupun berangkat
bersama Ayah.
“Oh iya, ya, nanti sebentar lagi…” Telpon Ayah berakhir. “Ami, nanti
kamu tungguh Ayah dulu disana ya. Ayah masih ada janji tadi Ayah lupa…”
“Iya Ayah…”
Sampai juga akhirnya, Ayah mengantar aku ke kamar Mami selebihnya Ayah
meninggalkan kami berdua. Akupun langsung mengeluarkan tensimeter dan
stetoskop memeriksa keadaan Mami.
“Mama cuma kurang istirahat aja Ma. Insya‟ALLAH tidak ada tanda –tanda
penyakit ganas koq. Cukup minum penambah darah aja lah…” Aku melepas
stetoskopku.
“Ya habisnya Mama memang kecapean.” “Mama stress ya?”
“Sebenarnya iya. Ibrahim sebentar lagi mau tunangan gimana gak
dipikirkan
78
sama Mama. Ya begini dah…”
Tak hanya Mama yang setres, tapi aku lebih setres karena harus
kehilangan orang yang aku cintai Ma… Pikirku tersenyum. Aku kemasi lagi
tensimeter dan stetoskop. “Mama Istirahat saja lah dulu…”
“Iya… Makasih banyak ya Ami.”
“Sama –sama Ma. Ami keluar dulu ya…” “Iya.”
Aku pun keluar dari kamar Mami.
Rumah ini sangat besar tapi tak ada isinya. Begitu sepi, aku tak
jalankan pandanganku untuk melihat keadaan sekitar. Aku takut kalau
harus melihat Aim yang tiba –tiba muncul nantinya.
“Hallo sayang…”
Terdengar suara centil seorang perempuan memasuki rumah. Aku
menghentikan langkah kakiku di ujung tangga. Aku melongo kebawah,
ternyata ada si centil Inez yang datang dan disambut Aim.
“Hello…” Aim merangkul gadis itu, memeluknya dan menciumnya.
Jantungku berdegug kencang, seperti dipanah sejuta pisau sakit, perih
dan berlumuran darah. Rasanya aku ingin melempar dua manusia itu dengan
batu besar. Tuhan! Hatiku sangat sakit melihat pasangan itu bermesra
–mesra di hadapanku.
Aku tahan air mata yang sudah mengucur membasahi pipiku. Menyumpal
mulut dengan kedua tanganku, aku berlari menuruni tangga dan keluar dari
rumah besar Mami. Tak perdulikan mereka yang memandangku heran. Tidak
mereka tidak heran, hanya tak perduli dengan keberadaanku.
Aku berlari, berlari dan terus berlari. Aku tidak tahu kemana kakiku
akan
berhenti melangkah. Hatiku sungguh sangat sakit sekali. Kenapa aku harus
melihat dua manusia tak berperasaan itu seperti tadi? Ya Tuhan kuatkan
aku, aku sungguh lemah semakin tak berdaya. Kenapa semuanya harus
seperti ini?! Aku mencintai seorang lelaki yang tak sedikitpun perduli
akan rasa sakit yang aku rasakan saat ini. Dia orang yang kejam,
meninggalkan aku tanpa pamit dan tiba –tiba datang akan bertunangan
dengan gadis lain. Lalu apa aku? Untuk apa cintaku selama ini padanya?!
Aku berhenti melangkah, aku lelah nafasku tersengal –sengal. Sebuah
tempat yang sangat indah dengan sejuta kenangan yang indah pula. Tempat
kebersamaan cinta tersembunyiku dengan Aim dulu, dan sekarang hanya
pelabuhan tangisku. Aku menangis, berderai air mata tanpa henti. Duduk
sendiri di bawah pohon besar menghadap sungai yang airnya mengalir
sangat deras.
Aim!!! Kenapa aku masih saja mau kau beginikan?! Masih bisa saja aku
terlalut dalam perasaanku, perasaan cinta yang seharusnya sudah tidak
boleh ada lagi dalam hatiku. Aku cintai kau, aku tak ingin kehilangan
kau, aku ingin bahagia dengan cintaku tapi tak begini. Aku sangat
merindukan kau, tapi aku ingin semuanya berakhir segera.
***
“Ami…”
Seseorang tengah menyentuh pundaknya.
Ami terkejut, seketika menoleh arah belakangnya. “Farish?” Ami terjaga
dari duduknya. “Maaf, aku gak bisa…”
79
“Sudah, jangan pikirkan itu.”
“Dari mana kamu tahu aku disini?” Isak tangis itu masih sangat jelas
mengalahkan bicaranya.
“Sudahlah. Aku hanya berusaha untuk selalu ada saat kamu butuh.”
Tatapanya penuh iba.
Ami tak berkata apalagi. Ia berusaha tahan air yang terus membanjiri
mukanya.
“Jangan ditahan, menangislah selagi kamu air mata itu bisa membuat kamu
lebih baik.”
Rasanya juga ingin menangis, tak tega melihat perempuan dihadapannya
menagis hingga terisak –isak menahan sebuah beban perasaan. Ingin
dipeluknya agar lebih tenang, tapi siapalah dia hanya seorang teman yang
baru berjalan beberapa hari saja.
Tapi, sangat mengejutkan saat Ami yang sudah merasa sangat lemah dan tak
berdaya dengan sendirinya jatuh dalam pelukan Farish. Seakan berteriak
meminta perlindungan padanya. Walau ragu, belaian lembut ia berikan
untuk menenangkan gadis itu.
“Menangislah Ami, jangan berhenti. Buanglah air matamu hingga benar
–benar hilang dan pergi semua masalah yang menggandrungi hati dan
fikiranmu.”
Hati ini, tak seperti biasa memandang seorang kawan perempuan dengan
penuh rasa iba dan simpati. Tak ingin melihatnya menangis, hanya ingin
selalu
mendampinginya dalam suka dan duka. Hatinya sungguh lembut untuk
tersakiti. Aku tak ingin menyakiti hatinya seperti halnya Ibrahim yang
tak bisa menegaskan apapun pada dirinya sendiri. Bermain –main akan
sebuah perasaan cinta yang diberikan sepenuhnya padanya.
Ami, maafkan aku…
Ingin aku melakukan segalanya agar kamu bisa bahagia untuk cinta yang
sudah mendalam yang kamu miliki untuknya. Tapi, aku berubah Ami, aku tak
ingin kamu bersedih atas Ibrahim. Aku tak ingin pula kamu bahagia
bersama Ibrahim. Aku rasa aku lebih menginginkan senyum dan tangismu
hanya untukku Ami…
***
Enam belas..
Suara gesekan kaki dengan tanah berhenti, Farish nampak kaget saat
Ibrahim berdiri dihadapannya.
“Ibrahim?” Katanya dalam hati.
“Gue kira loe gak bakalan balik malam ini.” Aim memulai bicaraannya.
“Gue masih punya rumah yang bisa disinggahi.”
“Owh…” Aim melipat kedua tangannya.
“Pas banget gue ketemu sama loe disini. Tadinya gue mau calling loe.”
“Wew… kebetulan banget gue juga ada perlu sama loe.”
80
“Ada apa loe cari gue?”
“Sepertinya loe udah kepincut sama cewek sepuluh juta itu yaa?”
“Kenapa loe gak bilang dari awal kalau Ami itu bekas pacar loe?! Sodara
tiri loe sendiri.” Todong Farish langsung tanpa basa –basi.
Terhenyak dengan pertanyaan Farish, Ibrahim tak menyangka kalau Farish
tahu sampai sejauh itu. “Ngomong apa loe?”
“Gue ngomong, antara loe dan Ami. Jangan kira gue gak tahu soal masa
lalu
kalian berdua. Ami sangat cintai loe, tapi loe justru mempermainkan
perasaan dia. Kira
–kira loe itu punya hati atau enggak sih?”
“Sepuluh juta masih kurang buat loe ngurusin cewek itu ha?!”
“Ibrahim, Sorry aja, gue bukan cowok jobless yang butuh sama sepuluh
juta loe
itu. Tapi gua cuma mau nyadarin loe. Harusnya loe buka mata loe lebar
–lebar, lihat dunia nyata yang ada di hadapan loe sekarang. Cewek yang
setengah mati cintai loe nyaris mati karena sakit hatinya dipermainkan
sama loe! Dan loe gak pernah sadar soal itu!”
“Jangan pernah ikut campur urusan gue soal Ami. Sepuluh juta masih
kurang buat loe, ya gue lupa, sepuluh juta bukan jumlah yang berarti
buat loe.” “Loe buta! Loe adalah orang yang paling merugi di dunia ini
karena udah menyia –nyiakan cinta Ami!”
“Okay, loe harus tau, gue gak cinta sama Ami. Gue sayang sama dia,
karena dia
adik tiri gue dan gak lebih dari itu. Dulu, sampai sekarang dia udah
salah tanggab sama rasa sayang gue selama ini. Puas loe?!”
“Gampang loe bilang gitu?!”
“Sudahlah, loe itu hanya sebatas uang buat gue. Tutup saja mulut loe
itu, jangan paksa gue buat menghajar loe.”
“Silahkan kalu loe emang mau menghajar gue. Gue cuma mau bilang,
hentikan semua sikap loe yang bikin Ami menderita. Dia punya hati yang
lembut, dia punya kasih sayang tulus buat loe. Dan kasih sayang itu gak
gampang semua orang dapatkan.
Termasuk loe yang belum tentu mendapat kasih sayang yang sama dari
Inez.” “Jangan bawa –bawa Inez!”
“Loe itu brengsek! Loe pernah bilang cinta sama Ami. Loe buat dia
mencari
tahu selama bertahun –tahun buat kejelasan hubungan kalian. Tapi setelah
semua usahanya, loe tinggalin dia gitu aja tanpa perasaan. Cowok macam
apa loe itu, ha?!” “Dari mana loe tahu semuanya?” Aim kembali kaget
mendengar itu.
“Dessy?”
Rupa Aim semakin terkejut mendengar itu.
“Mak comblang loe sendiri. Gue kenal Dessy sohib baik Ami dari Bang Joe,
jangan lupa loe…”
Aim diam menatap Farish sangat sengit. Tapi ia terus tahan dan berusaha
tenang. Ia resapi semua perkataan yang terlontar dari mulut Farish.
“Gue kenal Dessy pas Bang Joe ngajakin gue…” Lanjut Farish menceritakan
semuanya pada Aim.
Saat itu Farish mengantarkan Bang joe untuk mengantar barang kiriman
81
pamannya dari luar kota.
“Emang isinya apaan sih Bang?” Tanya Farish yang membantu menurunkan
kardus –kardus besar dan berat dari mobil pick upnya.
“Ini baju bos, buat jualan Om gue.” “Owh..”
Sesaat setelah barang –barang besar itu turun dari mobil, Farish permisi
untuk pinjam kamar mandi. Jaketnya digatung di balik pintu kamar mandi,
hingga saat ia keluar jaket tertinggal. Dessy yang ternyata pemilik
rumah sekaligus sepupu bang Joe tak sengaja menemukan jaket hitam
menggantung. Dikiranya itu milik sepupunya, iseng Dessy berniat untuk
menyembunyikan ponsel yang ada dalam kantong jaket itu. Di rongrong
semua lubang kantong, ternyata yang ia temukan justru sebuah foto
seorang perempuan yang sangat dikenalnya, Ami.
“Mas! Ngapain mas nyimpen foto temen aku?!” Tegur Dessy pada bang Joe.
Alisnya mengernyit tak merasa atas tuduhan Dessy. “Kamu itu ngomong opo
toh?!”
“Ini jaketmu kan?!” Dessy menunjukkan jaket hitam itu.
Bang joe menggeleng cepat. “Bukan, ini bukan punya Mas. Ini punya temen
Mas yang di depan itu.”
“Lho? Koq dia punya fotonya Ami?”
Mulutnya mangap hendak menjawab pertanyaan Dessy, tapi keburu Dessy
pergi langsung menemui Farish yang sedang berteh di ruang tamu.
“Mas, boleh tahu namanya?” Tanya Dessy langsung.
Farish meletakkan cangkir tehnya kembali. “Aku? Farish. Ada apa ya?”
Dessy memberikan jaketnya. “Ketinggalan di kamar mandi.”
“Owh iya, makasih…” Farish tersenyum kemudian memasang kembali jaketnya.
Dessy ragu –ragu menunjukkan foto kawannya. “Mas, apanya Ami ya?”
Muka Farish terangkat kaget. “Kamu kenal Ami?”
“Aku temen baiknya sejak SD dulu. Sampai terakhir aku ketemu sekitar
setahun yang lalu. Mas ini siapanya ya?”
“Kamu juga kenal Aim?” “Aim?”
Farish mengangguk. “Ibrahim Imran?” “Iya. Sekarang dia masih di Bali?”
“Sudah datang.”
Dessy tersenyum senang. “Wah mereka gimana sekarang?” “Tunggu tunggu…
sebenarnya ada apa diantara mereka?”
“Lho? Emangnya Mas gak tahu? Mereka itu..” Dessy tak lanjutkan
keterangannya. Ia mulai curiga siapalah seorang Farish yang dihadapinya
sekarang.
“Mas ini siapanya ya?”
“Aku, aku ini temannya. Tolong ceritakan ada apa antara Ami dan
Ibrahim?”
Dan, kisah sejak delapan tahun yang lalu di ceritakan ulang semuanya
rinci pada Farish.
“…dan gue tahu semuanya dari Dessy…”
82
Seksama Aim mendengarkan semua omongan Farish. Ia tak berkutik lagi,
meresapi semua dan terus memikirkannya.
***
Tujuh belas..
“Owh No!”
Ami menciut saat lari mobilnya terasa tak terlalu enak seperti biasa.
Pelan ia menyingkir dari keramaian di tengah jalan. Segera ia turun dan
memastikan ban mobil bagian belakangnya ternyata kehabisan udara.
“Arrgh! Sial kenapa giliran aku punya tugas malah bannya kempos lagi!
Hirrrgh! Siapa yang mau bantuin aku buat ganti coba?!”
“Intro, Panah Asmara by Afgan” “Hallo?” Panggilan itu diangkat.
“Assalamualaikum Ami..?” “Waalaikum salam. Farish!” “Iya, ada dimana
sekarang?”
“Aku lagi perjalanan mau ke puskesmas. Tapi ban ku kempos aku gak bisa
jalan
Farish.”
“Kamu ada ban serep?”
“Ada, tapi percuma juga kan aku gak kuat mau pasang sendiri…”
“Tunggu aja disana, sms alamatnya sama aku. Aku segera kesana sekarang.”
“Makasih Farish…”
“Sama –sama…” Tit……..
Music play…
Sambil menanti kedatangan Farish, mengisi waktu kosong yang sepi
sendirian. Sambil berlalu tembang Mimpi milik Anggun C Sasmi beradu
merdu dalam mobilnya. Dalam hitam gelap malam, Ku berdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini, Telah terkubur sejuta kenangan
Di hempas keras gelombang, Dan tertimbun batu karang Yang tak kan
mungkin dapat terulang, Wajah putih pucat pasi Tergores luka di hati,
Matamu membuka kisah
kasih asmara yang telah ternoda, Hapuskan semua khayalan Lenyapkan satu
harapan, Kemana lagi harus mencari
Kau sandarkan sejenak beban diri, Kau taburkan benih kasih Hanyalah
emosi, Melambung jauh terbang tinggi
Bersama mimpi, Terlelap dalam lautan emosi Setelah aku sadar diri, Kau
tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi, Kini hanya rasa rindu Merasuk di
dada, Serasa sukma melayang pergi
83
Terbawa arus kasih membara, Tok tok tok!!
Matanya membuka,
“Astaga!” Ami terkejut. Sepertinya ia terlelap saat menanti Farish untuk
datang. Pintunya dibuka dan ia keluar dari dalam. “Sudah lama sekali
aku menunggumu pak montir..” Goda Ami.
“Maaf tadi ada yang masih aku harus selesaikan.”
Ami tersenyum.
“Mana ban serepnya?”
“Hey tunggu. Kamu serius mau jadi montir buat gantiin ban mobilku?”
“Iya, kenapa?”
Cukup menarik. “Aku kira kamu akan datang dengan orang suruhan atau
montir sungguhan.”
“Selagi aku bisa aku gak akan minta tolong sama siapapun. Sudah mana
peralatannya?”
Semuanya tersedia di bagasi belakang. Tanpa banyak bicara Farish dengan
energinya memutar tuas melepas empat velg cukup membuat Ami ternganga
dan takjub.
“Mana mobilmu?” “Aku jalan kaki.”
“Jalan kaki? Dari kota kesini jauh. Kamu jalan kaki?” Matanya terbelak.
“Kerjaanku daerah sini. Kebetulan banget ya.”
“Hm… dunia emang sangat sempit.” “Sempit sekali.” Jawab Farish
tersenyum.
“Kau tahu?” Tanya Ami yang duduk di trotoar dekat Farish.
“Apa?”
“Tidak ada…” Jawabnya sendiri sambil senyum –senyum. Terus ia
melanjutkan layangan pikirannya.
Andai saja jika Aim yang ada untuk mengganti ban mobil ini, mungkin aku
tidak akan membiarkan gadis centil itu dekat –dekat dengan Aimku. Karena
aku tahu Aim rela berkorban untukku. Tapi sayangnya sejak kabar
pertunangan itu dia tak pernah menyantuni aku dengan sempurna seperti
dulu. Tak sedikitpun memperdulikan aku. Farish menolehinya sejenak
kemudian kembali lagi dengan ban mobil. Perlahan getaran gugup kembali
muncul merasakan dua pasang mata di belakangnya terus mengintai dengan
senyum.
“Ada yang salah Ami?” “Tidak, kenapa?”
“Terus kenapa kamu mandangi aku terus dari tadi?”
Ami tersenyum. “Tidak, aku hanya membayangkan jika orang lain yang
mengganti ban itu. Bukan kamu…”
Senyumnya melayu. Pasti orang lain yang kamu fikir itu Aim. Sahutnya
membatin. Ternyata Farish terlalu ge –er dikiranya Ami akan terpesona
dengan kemampuannya mengganti ban mobil. Tapi tidak, semua orang bisa
melakukan itu.
84
Hanya saja, keperduliannya yang tidak bisa sama.
“Aku haus…” Ami melongo mencari warung minuman daerah sekitar. “Aku mau
cari air dulu. Kau mau?”
“Bolehlah…”
“Okay…” Kemudian Ami pergi meninggalkan Farish dengan mobilnya hanya
berdua.
Di jauh sana?
Di dalam perjalan sebuah mobil civic hitam milik Aim bersama seorang
gadis yang tak lain Inez, si Gadis centil calon tuangannya. Sebuah
perjalanan yang
membosankan tak seperti biasa pasangan itu hanya diam kaku tak berkata.
Apalagi Inez yang setiap katanya hanya dibentak oleh Aim.
“Sayang, dua tahun kita berhubungan tapi baru kali ini aku lihat kamu
itu
semarah ini. Sejak semalam kau itu berubah seratus delapan puluh
derajat.” Ujar Inez tak tahan dengan kesunyian perjalanan panjangnya.
“Aku bilang jangan bicara apapun. Aku gak mau membahas itu!” Tegas Aim.
“Kau berubah! Sebenarnya kau itu kenapa sih? Bilang kalau memang ada
yang salah sama aku!” Bentak Inez agak berteriak.
“Cukup!” Bentak Aim yang tak kuat lagi. “Sadar?! Sejak mesin mobil ini
hidup aku tak sedikitpun punya waktu untuk menghentikan omonganmu! Kau
itu terlalu banyak omong!!”
“Bram?! Kenapa kau? Biasanya kau itu selalu merespon dan gak pernah
bosan dengan aku.”
“Tapi aku sadar sekarang kalau kau itu..” “Apa?! Aku apa?!”
“Sudah hentikan aku sedang tak ingin berbicara denganmu!” Teriak Aim
kasar.
Pandangannya beralih seketika saat melihat sebuah mobil jazz hitam
persis
seperti milik Ami tengah berhenti dipinggir jalan. Memastikan ia tengok
dari kaca spion diatas ternyata yang tengah parkir itu benar mobil milik
Ami. Seketika Aim membanting stirnya. Ia pun segera turun menghampir
mobil Ami.
“Ngapain loe disini?!” Aim terkejut melihat Farish yang telah selesai
mengganti ban mobil kembali memasukkan peralatan kedalam bagasi.
Kepalanya dikeluarkan. “Ibrahim…” Panggilnya santai.
“Mana Ami?! Ada urusan apa loe sama mobilnya?!” Todong Aim.
“Bannya kempos, tadi dia minta tolong sama gue.” Sembari Farish menutup
pintu bagasinya.
“Mana dia?”
Farish tersenyum simpul. “Perduli amat loe cari dia? Bukannya loe?”
“Jangan cari masalah sama gue! Mana Ami?!”
“Gue gak tau.” Jawab Farish santai. “Loe!” Aim geram.
Farish tersenyum lebar dan melipat dua tangannya. “Loe cemburu sama gue
ya?”
“Gue cemburu?!” Aim tertawa. “Haha, gue cemburu sama loe?! Kepedean
loe!”
85
“Kalau bukan cemburu ngapain loe tanya –tanya Ami segitu sewotnya sama
gue?! Hello Ibrahim, ini bukan sekali dua kali ya.. loe kira gue gak
tahu kalau loe itu sakit hati lihat gue deket –deket sama Ami, ha?”
“Sialan loe!”
“Gue atau loe yang sialan? Sudahlah, dia cuma sepuluh juta. Gue gak
butuh – butuh amat koq. Ntar malem gue balikin..”
“Maaf aku lama, warungnya lumayan jauh…” Ami kembali dengan dua botol
air mineral di tangannya. Ia terkejut saat melihat di depannya ternyata
Aim.
“Bannya sudah selesai. Kamu bisa jalan lagi sekarang.”
“Makasih…” Botol itu diberikan pada Farish. Rupa Ami kembali tegang.
“Okay makasih Ami. Aku pulang dulu.”
“Tunggu sebentar Farish.” Tahan Ami yang sudah merasa tak nyaman lagi.
“Ngapain kau disini?” Tanya Ami pada Aim.
“Kebetulan aku lewat lihat mobilmu parkir aku pikir kamu butuh bantuan
tapi sudah ada orang ini…”
“Terimakasih, tapi kau gak usah memperdulikan aku lagi. Selagi aku mampu
aku gak akan minta bantuanmu, aku gak akan merepotkanmu.”
Aim diam tak menjawab Ami.
Mereka bertiga diam tak berucap sekatapun.
Tak mau berlama –lama menanti Aim yang sedang menemui Ami, Inez turut
turun dan menghampiri Aim.
“Sayang!” Panggil Inez pada Aim.
Semua menolehi panggilan manja Inez. Sekarang, berkumpullah empat
manusia yang sedih dengan perasaanya masing –masing.
“Waw, gak nyangka kita bisa ketemu disini ya, kak?” Sapa Inez pada Ami.
Ami memaksa senyumnya. “Iya Inez…”
Sementara Aim dan Farish mereka bedua hanya beradu mata tajam tanpa
berucap.
“Maaf, aku masih harus kembali kuliah. Farish kunci mobilnya masih ada
sama kamu kan?”
“Ini…” Farish hendak mengembalikan kunci mobil Ami.
“Udah kamu aja yang nyetir aku gak kuat, capek…” Pinta Ami tersenyum
penuh arti.
“Tapi Ami?”
“Kami berdua pamit dulu. Aim, Inez…” Tandas Ami meninggalkan mereka
masuk ke mobil.
Sedang Farish tetap berdiri dengan sebuah kunci mobil di tangannya.
“Inez. Perlu kamu tahu, ada yang salah dengan pacarmu ini. Dia mencintai
Ami bukan kamu…” Kata Farish tersenyum nyinyir memandang Aim.
Dikabarkan pada Inez agar Aim semakin kesal padanya. Kemudian ia pergi
masuk mobil.
Diluar dugaan, Inez terbelak mendengar kabar dari Farish. “Itu bener?”
Tanya
Inez menatap tajam Aim.
86
Aim tak menggubris pertanyaan Inez, ditinggalnya gadis centil itu
kembali masuk kedalam mobil.
***
Delapan belas..
Aku sakit, hati ini perih melihat Aim datang bersama Inez perempuan
centil itu.
Dia tak pernah merasakan sakitnya aku yang selalu menginginkan dia hanya
untuk aku. Aku tak boleh menangis untuk orang yang tak pernah
memperdulikan tangisanku. Aku tak boleh menangis, tak boleh membuang air
mataku, aku tak ingin menangis, tak mau menangis, jangan menangis Ami!
Jangan! Jangan menangis Ami!
Aku tak kuat, sungguh tak kuat menahan air mataku agar tak jatuh.
Tetesan air itu perlahan membasahi pipiku.
“Ami kamu menangis?” Tanya Faris yang konsentrasinya beralih pada aku
yang menangis di sampingnya.
“Jangan hiraukan aku Farish…” Suaraku mulai serak. “Tapi kenapa Ami?”
“Sudahlah, aku tidak mau menceritakan hal memalukan ini sama kamu.”
“Tidak ada hal yang memalukan Ami. Apa dia yang membuatmu menangis
semalam?”
Aku mengangguk.
“Kamu terlalu mencintai dia Ami…”
“Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Mungkin lama –lama aku
lebih baik mati saja…”
“Jangan Ami. Jangan sampai itu terjadi. Karena kamu bisa menjadi orang
yang paling merugi.”
“Aku gak perduli lagi Rish. Selama ini aku mencintai orang yang entah ia
bersungguh –sungguh atau tidak atas cintanya sendiri sama aku.”
Pembicaraan itu terus berlanjut hingga ketepian pantai wisata yang
menjadi tempat berawalnya pertemanan mereka berdua.
Farish kembali dengan dua buah kelapa muda yang baru ia beli di warung
belakang.
“Makasih…”
Farish duduk di sebelah Ami. “Lebih tenang?” Ami tersenyum. “Ya, lebih
baik…”
Nafasnya di tarik dan di hembuskan perlahan. “Hidup itu kenapa harus
dipersulit dengan urusan cinta ya, Ami?”
“Aku tidak tahu.”
“Tapi Ami, aku pikir masalah yang kau temui setidaknya gak seperti
masalah punya temanku yang aku pikir itu masalah super aneh buat aku…”
“Masalah aneh?”
87
“Ya jadi masalahnya gini. Dia itu jatuh cinta sama saudaranya sendiri.”
“Saudara sendiri maksudnya?”
“Kan Ibunya nikah lagi gitu. Trus suaminya si Ibu nih punya anak gitu…”
“Tiri maksudmu?”
“Iya.”
“Trus?” Perlahan aku penasaran dengan masalah yang Farish ceritakan,
sepertinya cerita itu tidak akan jauh beda dengan ceritaku.
“Ya mereka menikah. Ya namanya saling cinta nih yaa..” “Terus?”
“Nikah punya anak.” “Terus?”
“Terus terakhir aku denger kabar katanya mereka mau cerai.” “Kenapa?”
“Aku gak tau pastinya, tapi temen –temen yang cerita katanya gara –gara,
ah biasa lah mungkin si anak nih susah diatur sampei –sampei orang
tuanya gak terima kalau dimarahi jadi pusing deh urusannya. Anak sama
orang tua sama –sama tengkaran.”
Ternyata masalahnya benar tak jauh berbeda dengan yang aku alami
sekarang. Bedanya hanya anak ayah dan anak ibu tiri menikah, dan
sekarang yang jadi masalah adalah urusan rumah tangga yang bikin mau
cerai. Dan orang tua mereka juga ikut – ikutan masalah anaknya, jadi
keluarga yang awalnya harmonis mau hancur juga ngikutin masalah
anaknya?! Masya‟ALLAH, jadi teringat penjelasan pak Amin dulu. Aneh
–aneh saja…
Tapi itu semua apa juga berhubungan dengan haramnya hubungan mereka
yang mengharuskan keduanya tidak bersama? Apa itu adalah teguran bagi
mereka karena Tuhan tidak mengizinkan?
“Ami?” “Ah iya?” “Kenapa?”
“Enggak.” Aku menggeleng. “Kamu tahu hubungan mereka itu dilarang?”
“Apanya?”
“Antara anak tiri yang menikah itu.”
“Hmm, aku sih gak tahu pastinya. Tapi aku pikir yaa tentu aja Ami.
Barangkali semua orang pasti tahu dengan itu. Bayangkan aja, aku rasa
kita sama aja udah jatuh cinta sama saudara sendiri. Iya gak?”
Aku tersenyum. “Iya sih. Tapi aku juga tahu dalam kandungan surah An
nisa itu tidak ada penjelasan bahwa menikahi saudara tiri itu haram.
Jadi aku kira itu boleh, tapinya lagi aku pernah membaca kalau hubungan
itu dilarang karena… akh aku lupa. Pastinya dijelaskan kalau tidak
boleh, sekarang aku malah bingung.”
“Bingung itu sama dengan ragu?”
“Kalau hal ini pasti bikin ragu lah…”
“Kalau begitu, sebaiknya… „MuhAuntyd Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
cucu
Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata :
Saya menghafal
88
dari Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah
apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.‟” Jelasnya bak
seorang ustad yang sangat fasih dan mengerti benar dengan ilmu agamanya.
Aku ternganga mendengarnya. Kali ini aku benar –benar tak menyangka di
zaman sekarang ini masih ada pemuda gaul dan keren yang hafal dengan
hadits.
“Jadi, kalau sudah menemui hal seperti ini, antara jelas dan tidak jelas
berarti meragukan sebaiknya ditinggal saja. Karena mungkin itu akan
menyesatkan.”
Aku tercengang menatapnya.
“Ami?”
Aku masih saja tak sadarkan diri sampai tangannya berterbangan di
hadapanku.
“Ah iya…” “Kamu kenapa?”
Hanya tersenyum, aku mulai kagum padanya. “Aku gak papa…” “Jadi?”
“Jadi aku harus menghindari itu agar aku tidak sesat dan berusaha untuk
bisa menerima semuanya.”
“Menerima apa?”
“Ah nggak…” Elakku. Aku merasa tenang sekarang, ini pertama kalinya aku
merasa setenang ini saat aku sedang menghadapi masalah yang sama.
“Farish…” Panggilku sembari menatapnya. “Iya…”
“Aku suka sama kamu…”
“U‟huk U‟huk!!!” Faris yang sedang minum air kelapanya tersedak. “Jangan
ge-er.” Aku tersenyum memandangnya.
“Ah bukannya ge-er, tapi kenapa kamu koq bilang gitu?”
“Yaa, aku hanya suka punya teman baik seperti kamu. Aku kagum melihat
orang muda yang sangat fasih dengan lafadz arabnya. Kamu hebat, dan
makasih atas semua budi baik kamu sama aku, dan aku tidak sanggub
membalas semua budi
baikmu.”
Farish tersenyum. “Kamu jangan gitu. Kan aku ini temen kamu…” “Sungguh
beruntung perempuan yang akan mendampingi kamu kelak.” “Ami, ayo dong
jangan sampai segitunya…”
“Aku sungguh Farish. Kamu baik, kamu ramah, tenang, perduli, dan jujur…
siapa
sih yang tidak akan merasa beruntung menjadi pasanganmu? Aku saja sudah
sangat senang punya teman sepertimu.”
“Ami, sekali lagi aku minta nih. Jangan muji aku segitunya entar yang
ada telingaku lebar bahkan lebih lebar dari telinga gajah.”
Aku tersenyum dan tertawa kecil. “Sungguh…”
“Terimakasih banyak sekali atas semua pujianmu itu sangat membuat aku
merasa lebih percaya diri.”
“Baguslah kalau begitu…” “Tapi boleh aku tanya Ami?” “Silahkan…”
89
“Kalau kamu begitu memuji aku, kamu bilang perempuan yang dapatkan aku
adalah beruntung bagaimana dengan kamu sendiri? Apa lelaki yang
mendapatkan kamu beruntung?”
“Tidak. Tidak ada yang akan beruntung mendapatkan aku. Karena aku tidak
akan memberi mereka apapun…”
“Kenapa?”
“Kau tahu, sempat aku berfikir kalau aku bisa melupakan orang yang aku
cintai hanya dengan beralih pada lelaki lain. Tapi aku salah bahkan
sangat salah. Aku tidak bisa memberikan sedikitpun perhatian lebihku
pada mereka. Karena setiap aku akan melakukannya aku hanya terbayang
satu orang saja dan itu dia.”
Farish tersenyum berat, rautnya sangat jelas menunjukkan kekecewaan.
“Satu pertanyaan yang harus kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Sampai
kapan kamu akan terus terlalut dalam kekecewaan? Berganti hati, itu
perlu…”
“Aku tidak tahu. Sudahlah aku tidak bisa memikirkan sekarang.”
“Tapi kamu harus mulai memikirkan itu sekarang.” Nadanya memang tak
membentak tapi aku tahu betul Farish sedang marah. Ia nampak gelisah tak
setenang biasanya.
Aku coba terus memandangnya, merasa heran dengan Farish yang memalingkan
mukanya seperti marah.
“Kalau kamu tidak mau menyesal karena sudah mengharapkan cinta seorang
yang salah.”
“Maksudmu?” Tanyaku semakin curiga.
“Aku tidak bermaksud. Aku hanya mengingatkan mu saja lah. Kau harus tahu
kalau lelaki itu tidak mencintai kamu sedikitpun. Dia hanya main –main
sama perasaanmu…”
“Kamu tahu itu dari mana?”
“Orang bodohpun tahu sikap seperti itu sudah jelas –jelas menunjukkan
kalau tidak ada cinta sedikitpun!”
Aku tercekat mendengar nada bicara Farish. Cukup membuatku terkejut
dengan nada bicaranya yang terdengar kasar di telingaku barusan.
Sebenarnya aku tidak tahu kenapa dia sampai semarah itu menekankan kata
–katanya.
“Terimakasih…” Aku bernafas lepas. “Maaf kalau masalahku membuatmu
marah.”
“Marah? Kenapa aku harus marah?”
“Ya kamu marah. Nada bicara kamu terdengar berbeda agak kasar. Aku tahu
kamu marah. Maaf kalau selama ini aku hanya memikirkan tentang aku
sendiri tanpa mengerti kamu yang sudah mulai bosan dengan semua yang
menimpaku.”
“Ami, aku tidak…”
“Gak papa kalau memang kamu ingin aku membahas yang lain bilang saja.
Aku tidak akan marah. Maafkan aku Farish…”
“Ami…”
Aku tersenyum. “Sudah terlalu siang, sebentar lagi pasti sore. Aku harus
pulang.”
90
Pulang aku mengantarkan Farish pada sebah gudang tertutup yang dijaga
satpam. Aku semakin penasaran saja dibuatnya, ia tak pernah mau bilang
dimana dia bekerja. Tapi aku mau berusaha untuk mengenali dia sendiri.
Aku tidak mau membuatnya marah lagi karena harus mengurus masalahku yang
monotone.
***
Sembilan belas..
Hari ini hari yang sangat sepi sekali dirumah Ami yang cukup sangat
besar untuk dirinya seorang. Mondar –mandir, keluar kedalam tidak ada
kerjaan yang penting yang bisa ia lakukan.
“Bikin apa Ma?”
“Bikin pastel…” Jawab Mama singkat. Mama sangat sibuk sendiri jadi tak
terlalu menghiraukan keberadaan Ami.
Kemudian ia memutuskan kembali saja ke kamar. Melentangkan tubuh yang
nyaris patah karena terlalu capek sekali seharian. Memasang earphone dan
aktivkan mudus radio di hapenya.
“Okay, nih Rona akan putterin lagu yang udah di request sama Farish
barusan salamnya special untuk Amita Rorai. Moga aja dia pas lagi
dengerin aja nih ya Farish… Ami, u shuld change to other one…”
„Intro
Ami tercekat, Lagu untukku? Seksama aku dengarkan makna setiap bait yang
terucap. Aku bayangkan kata –kata itu langsung terlontar dari mulutnya.
Satu persatu telah kuhapus, Cerita lalu di antara engkau dan aku
Dua hati ini pernah percaya, Seribu mimpi tanpa ragu tanpa curiga Ku tak
ingin lagi, Menunggu, menanti
Harapan tuk hidupkan cinta yang telah mati, Ku tak ingin coba Hanya tuk
kecewa (Ku telah kecewa),
Lelah ku bersenyum lelah ku bersandiwara Aku ingin pergi, Dan berganti
hati
Satu persatu telah kuhapus, Nada dan lagu yang dulu kucipta untukmu Rasa
yang dulu pernah ada, Kini berdebu terbelenggu dusta dan noda
Kini ku sadari diri ini, Ingin berganti hati Cinta yang tlah pergi,
Harus berganti hati Harus ku ganti hatiku kini, Ini harus ku ganti
Tak perlu ini lagi harus berganti…
Tak hanya Ami sajalah tentu yang mendengar siaran radio Vanganza . Fm.
Seluruh kota tahu dan mendengar, seperti halnya tiga manusia lain yang
teribat dalam kisah ini. Farish, Ibrahim, dan Inez.
“Ami, aku hanya bisa berharap dan berdoa kau bisa melupakan Ibrahim dan
mencari hati yang jauh lebih pantas untuk engkau cintai.” Farish kembali
melanjutkan
91
pekerjaannya yang terhenti sesaat.
“Siapa Ami Rish?” Tanya Ibu yang tak sengaja melihat anaknya tersenyum
berat menatap layar laptop.
Farish berbalik kilat. “Ibu? Bukan siapa –siapa Bu..”
“Jangan bohong kamu. Ibu mendengar radio barusan. Apa sudah menemukan
gadisnya?”
Farish tersenyum malu dengan ucapan Ibu. “Belum Bu… Ibu tenang saja. Aku
tidak mau terlalu terburu –buru untuk mencari pasangan Bu. Aku ingin
gadis itu benar
–benar melihat hatiku…”
Ibu tersenyum. “Ibu serahkan semuanya sama kamu. Ibu yakin pilihan kamu
adalah yang terbaik nak…”
“Terimakasih Bu…”
Kemudian Faris memeluk Ibunya yang pasti sangat dicintainya.
Lalu? Bagaimana dengan Inez dan Ibrahim yang sedang menikmati makan
malam saat café juga tengah mendengarkan siaran radio yang sama?
Wajah lelaki itu memucat, ia benar –benar takut Ami akan berganti
hatinya tak
akan memperdulikan dirinya lagi. Hidangan steak sapi yang terhitung
mahal dan sangat lezat tak lagi dipandang.
“Kita pulang saja sekarang.” Ajaknya sudah semakin tak selera berlama
–lama dengan Inez.
“Kenapa? Steakmu saja belum habis.” “Sudah aku sudah tak selera.”
“Karena di radio tadi?”
“Sudahlah Inez! Hargai aku, aku ingin pulang sekarang. Kalau kamu masih
mau disini ya sudah aku saja yang pulang sendiri!”
“Bram! Bisa gak sih jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, ha?!!”
“Sudah aku tidak mau berdebat denganmu!” Tandas Aim meninggalkan Inez
sendiri di meja.
Tak mau tertinggal Inez terpaksa ikut Aim kembali pulang. Bib bib bub
bab!
Sms menyela siaran radionya.
“Aku tunggu di tempat kita biasanya sekarang juga…” Itu pesan dari Aim.
Jantungnya menjedut, tak menyangka Aim akan mengajaknya kembali datang
ketempat yang sudah tak ia inginkan lagi. Tak lekas ia membalas pesan
itu, kali ini hatinya menggusar penuh keraguan.
***
Semua bait –bait
itu sesungguhnya memang untuk aku. Tidak bisa aku elakkan
aku sangat merindukannya, aku ingin bertemu denganya dan bilang bahwa
aku sangat mencintai dia. Aku inginkan dia secara baik –baik tanpa
pertengkaran lagi. Tapi, seperti apa yang dibilang Farish bahwa dia
hanya memainkan perasaanku dan tidak ada cinta sedikitpun untukku, aku
tak boleh menemuinya. Tapi aku sangat, sangat, sangat dan sangat
merindukannya. Aku putuskan untuk menemuinya…
Aku kuatkan kakiku berjalan menyusuri pinggiran trotoar menuju tempat
yang
92
sangat penuh dengan kisah cinta tersembunyi antara aku dan dia. Rasanya
kembali mata ini ingin sekali membuang air sebanyak –banyaknya. Apalagi
saat aku melihat Aim tengah duduk sendiri di bawah naungan pohon besar
menanti kedatanganku.
“Maaf membuatmu menunggu lama…” Sapaku tetap berdiri di belakangnya.
Bergegas ia terjaga dan menghadapku. Ia langsung menyambar tubuhku
dengan sebuah pelukan yang sangat hangat dan erat aku rasa. “Jangan
pernah berhenti mencintai aku Ami. Apapun yang terjadi.”
Setetes air akhirnya jatuh juga. Aku tak sanggub melepas pelukan ini.
Aku juga tak ingin berhenti untuk mencintai dia, tapi apa dayaku
mencintaimu hanya akan menjadi rasa sakit yang tidak akan pernah ada
obatnya untukku.
“Ami aku mohon sama kamu. Aku rela kalau aku harus pergi dari acara
pertunangan nanti Ami. Aku akan tinggalkan Inez, aku akan pergi sama
kamu Ami.” “Jangan!” Aku melepas pelukan itu. “Jangan pernah melakukan
hal bodoh
seperti itu. Janjilah jangan pernah mempermalukan orang tuamu dan
keluargamu di depan semua orang…”
“Maafkan aku Ami, atas semua yang sudah aku lakukan sama kamu. Aku
sadar,
satu hal yang mengisi indah dalam hatiku cuma kamu bukan Inez atau yang
lainnya.”
Katanya menggenggam erat kedua tanganku.
Ya Tuhan, benarkah apa yang ia katakan? Apa secuil cinta masih tersisa
di dalam hatinya untukku?
“Benarkah?” Tanyaku berlinangan air mata. “Benar kau cinta sama aku?
Seperti aku yang sangat cintai kau?”
Aim mengangguk cepat. Tatapan matanya mengisyaratkan cinta yang memang
tulus hadir dari lubuk hatinya paling dalam. Aku percaya rasa itu memang
ada untukku, dan aku sangat percaya dia cintai aku bukan Inez atau yang
lainnya.
“Aku tahu, perasaan kita ini sama. Merasa sakit melihat orang yang kita
cintai sedang bersanding dengan orang lain. Semua sudah sangat terlambat
bang.
Pertunangan itu tinggal sepuluh hari lagi. Kita ini tidak boleh egois,
kita harus pikirkan orang tua kita…”
“Ami…” Aim membelai lembut wajahku. Tetesan –tetesan air bening perlahan
disekanya lembut. Kemudian ia kembali memelukku dengan eratnya. Malamku
terlewati dengan sedih dan bahagia karena aku menemuinya tanpa
pertengkaran lagi. Aman, damai dan tenang, aku rasa semua indah seindah
langit malam yang cerah bertabur bintang dan bulan purnama.
Tapi, indahnya malam bagai mimpi buruk bagi Farish yang tak sengaja
telah
melihat Ami dan Aim bersama malam itu. Setetes air mata yang tak pernah
dijatuhkan olehnya kini harus jatuh tanpa tertahan. Ia kecewa dan sakit,
seperti saat Ami melihat Aim tengah bersama Inez.
***
Dua puluh..
93
Pagi yang cerah…
Aku kembali menyeret kakiku menuju meja makan menemui Mama dan Ayah
yang telah lebih dulu menyantap sarapan pagi. Nampaknya dua kakakku
sedang pergi, mereka hanya tinggal kak Emma sedang menyuapi anaknya yang
hendak berangkat sekolah.
Aku membuka kulkas seperti biasa berharap menemukan sepotong cake.
“Chesse cakenya masih ada?”
“Sudah habis…” Jawab Mama. “Terus Imnan gimana?” Tanya Mama serius pada
Ayah.
“Ya Imnan kaget, pas yang sampai di tensi itu waktu Ami kesana, settres
dianya.” Jelas Ayah.
Lho? Emangnya ngomongin apa koq sampai bawa –bawa aku. “Napa kak?”
Tanyaku sambil menuang segelas air.
“Ibrahim minta dibatalkan tungangannya.”
Bhuerrrr!!!!! Seketika air yang aku teguk tersembur dan aku tersedak.
“U‟huk, u‟huk!!Uhuk!!!” dan terus terbatuk hingga aku kehilangan suara
saja rasanya tak kuat
untuk bicara.
“Ami?!” Ayah, Mama dan kak Emma mereka sangat heran dengan tersedaknya
aku.
“Aku gak papa…” Elakku yang masih terbatuk –batuk. Perlahan aku tarik
nafas dan membuanganya beraturan, Syukur tak lama hanya tinggal rasa
perih sedikit di dada tapi aku tidak terbatuk –batuk lagi.
“Duh pasti ada yang tidak beres itu sama Ibrahim.” “Ya akhirnya seperti
itu.”
“Memangnya kenapa koq mau di tunda Yah?” Tanyaku penasaran.
“Imnan bilangnya katanya Ibrahim merasa tidak siap. Tapi gak tahu
Ibrahimnya sendiri.” Jelas Ayah yang tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
“Kalau kata Mama nih, pasti Ibrahim itu bukan karena tidak siap. Tapi
dia itu sedang sennang pada orang lain.”
Aku terhenyak, jantungku kembali berdebar dan aku benar –benar sangat
takut. Semalam aku bertemu dengan Aim yang ada dia memang bilang ingin
menghentikan semuanya. Tapi kenapa justru dalam semalam ia nekat
begini?!
Sekarang nyawaku benar –benar terancam. Oh GOD kenapa harus sampai
sejauh ini??!
“Coba Ayah tanyakan sama Ibrahim kenapa dia minta ditunda. Sapa tahu dia
mau mengaku, toh rencana pertunangan itu kan idenya Imnan sendiri dulu
sama
Armand dan Vivi.”
“Jangan!” Sahutku kembali mengejutkan Ayah dan Mama.
“Apanya jangan Ami?”
Argh! Aku menggeleng cepat. Aku sungguh tidak aman sekarang, sebaiknya
aku pergi dari hadapan Ayah dan Mama sebelum tingkahku semakin membuat
mereka curiga.
GOD! Kenapa jadi begini?? Aku tak tenang terus mondar –mandir seperti
setrika pakaian yang terus aja kusut. Aim! Kau sudah gila! Benar –benar
gila! Aku tidak mau pertunangan itu batal ataupun kacau sedikit saja
gara –gara aku. Mau aku taruh mana mukaku ha?! Cinta sih cinta tapi gak
gini juga lah! Sekarang aku bener –bener
94
gak tahu harus kemana lagi. Aim… bisahkah sejenak kau itu tidak membuat
aku terancam ha?!
Aim…
Aim…
Aim…
Gak gini juga aku sampai –sampai tidak bisa konsentrasi dengan semua
tugas – tugasku di klinik. Bagaimana kalau Ayah bertemu dengan Aim?
Bagaimana kalau Ayah benar –benar bertanya pada Aim? Bagaimana kalau Aim
benar –benar mengakui? Bagaimana kalau Aim bilang kalau ini semua
karena aku? Lalu ayah marah? Dan aku akan mati dipenggal olehnya karena
aku telah memalukan keluargaku di depan semua orang!
“Gak!” Teriakku seketika.
Memalukan! Tanpa alasan aku berteriak dihadapan semua orang, disangkanya
pasti aku orang gila. Aku hanya tersenyum menanggapi beberapa pasang
mata yang sedang antre duduk di hadapanku.
Tak enak juga kalau aku terus begini. Aku putuskan segera temui dia,
dan… “Jangan pikir kalau kamu bilang semuanya sama Ayahku atau Mamamu
sediri urusannya akan selesai!” Tegasku kasar padanya.
“Ami? Kenapa lagi kamu?”
“Cukup! Aku gak mau punya urusan sama kamu! Dan aku gak mau mendengar
pertunanganmu batal hanya karena kamu gak siap atau kamu tengah cinta
sama orang lain!”
“Kenapa?!”
“Jangan kira aku akan terpesona, senang, bahagia, karena kamu sudah
melakukan itu semua!”
“Tapi Ami?!”
“Hidup ini bukan seperti sinetron yang bisa semudah itu berakhir tanpa
masalah lagi dan tanpa omongan orang. Kau sadarkan kalau kita ini
berbeda dari orang
–orang pada umumnya? Kita punya komunitas sendiri, cara hidup kita juga
berbeda, cara pikir orang –orang kita berbeda. Kau ingin keluarga kita
jadi terkenal tiba –tiba karena satu masalah memalukan ini?!”
“Ami itu tidak akan terjadi.”
“Sudah aku gak mau denger apapun lagi! I wish this is the last for us!
This is the end of all!” Tandasku kemudian kembali keluar dari mobilnya.
GOD, jangan sampai apa yang aku pkirkan terjadi begitu saja, aku tidak
sanggub!
***
Ku buka laptopku,
connect to internet. Sejenak aku ingin menenangkan diri dari ancaman
Aim tadi pagi. Seperti biasa juga facebook jadi alasan pertama kenapa
aku suka bermain internet. Facebook ku sangat ramai dengan makhluk maya.
Itu membuatku cukup terhibur.
Wah ada satu permintaan teman teranyata. Siapa ya? Klik!
„Farish Rawahi‟
Sepertinya aku kenal dengan rupa ini, siapa yaa? Akh! Dasar Ami pikun!
Itukan
95
Farish yang sudah jadi tempat sampahku, maksudnya tempat curhat.
Ternyata dia baru
nemuin aku langsung di fb.
„Approve‟
“Ami…!” Teriak Mama dari luar memanggilku. “Iya…” Sahutku juga membalas
teriakannya.
Segera aku disconnect, dan temui Mama di luar.
“Ada apa Ma?” Aku temui Mama yang sedang mengelap meja dapur. “Kamu
disuruh Ayah antarkan pastel ke sana…”
“Kesana mana Ma?” “Kerumah Mamamu itu..”
Omg! Perasaan tadi pagi aku sudah bertengkar, sepertinya sebentar lagi
aku akan bertengkar. “Kenapa harus aku Ma?”
“Ya siapa lagi, kakakmu gak ada yang mau.” “Kalau gitu aku juga gak mau
ah Ma…” “Ami? Koq gitu sih?!” Alis Mama bersatu.
Aku menunduk. “Maaf. Tapi aku malas Ma…”
“Cuma sebentar saja nanti langsung balik lah dak usah lama –lama…”
Aku hanya bisa diam dan menurut perintah Mama.
Ma… seandainya Mama tahu yang sebenarnya… “Pastelnya mana Ma?” Aku
tolehi semua keadaan.
Mama beralih pada sebuah dus kue yang ada di atas kulkas. “Udah ini bawa
saja, hati hati…”
Sesuai perintah aku langsung antarkan kue pastel ke rumah Mami tiriku
tersayang. Ah malas aku! Semoga aja nanti aku gak bertemu Aim lagi,
kalau tidak pasti
lain urusan jadinya.
Wez, wiz, wuz…! Delivery sampai…
Tok tok tok!!
Dan pintu berwarna putih besar itu terbuka. Sudah ku duga! Sesuai yang
aku takutkan. Aim yang ada dihadapan mukaku sekarang.
“Mama lagi keluar.” Kabar lelaki yang ada di hadapanku itu.
Aku memberikan kotak pastel padanya. “Ini dari Mamaku. Udah makasih!”
Aku
cepat berbalik.
“Ami tunggu napa ah!” Aim menarik tanganku.
“Apa lagi? Aku cuma disuruh antar itu gak ada yang lain.” “Kamu gak mau
ketemu sama aku?”
“Gak! Kita itu gak perlu ketemu selain acara keluarga. Udah ah!” Aku
buang tangannya.
“Ami kamu koq gitu sama aku?”
“Seharusnya aku udah begini sama kau dari dulu bukan baru sekarang! Kau
itu
cuma abang aku dan gak akan pernah lebih dari itu. Udah ah! Ini yang
terakhir kalinya aku lihat kau begini sama aku!”
“Tapi Ami?!”
“Apa lagi?! Udah, udah, dan Udah! Kebanyakan bilang udah aku!” Aku
segera
96
pergi dari hadapannya. Aku gak mau dia tahan –tahan aku lagi.
Aku langsung kembali kerumah, mengurung diri dalam kamar. Aku berusaha
tenangkan diri dan berfikir secara sehat. Tanpa godaan tanpa gangguan
emosi, aku ingin berfikir jernih sesuai perasaanku sendiri.
Kali ini aku semakin enggan bertemu dengan dia. Memangnya kenapa? Apa
aku hanya kesal saja sama dia ya, karena hari pertunangannya semakin
dekat dan aku merasa terancam dengan jiwanya yang stress memikirkan
pembatalan tunangan itu? Aku tak bisa bayangkan kalau pertunangan itu
benar –benar dibatalkan. Mami
dan Ayah yang malu, bukan Ayah dia yang malu. Yang orang tahu Ibrahim
Imran itu anak didikan Ayahku, Bilal Rorai. Walau hati kecilku sedikit
menginginkan pertunangan
itu batal, tapi juga aku tidak mau membuat malu orang tuaku. Sudahlah
aku tak tahu harus gimana sekarang.
Aku kembali pulang dan melanjutkan facebookku lagi. Wah! Ada satu pesan,
dari Farish ternyata.
„Makasih udah di confirm, salam kenal ya…:D‟ Pesannya.
Bikin aku pengen ngakak aja anak ini, ah dia itu seperti yang baru kenal
saja denganku.
„Siapa ya? gak kenal tuh…‟ Aku membalas pesannya.
Baru beberapa detik setelah mengKlik tombol kirim, eh dia udah nongol
via chat sama aku.
„Hey..‟ Sapanya duluan. „Hey juga, salam kenal?‟ „Hehe, iya :D‟
„Apa kabar nih?‟ „Baik, kamu?‟
„Alhamdulillah aku baik sekali.‟ „Syukur deh…‟
„Seharian ini gak nongol di depan muka aku, tumben?‟ „Aku lagi gak ada
di kota.‟
Alisku mengernyit. „Maksudnya?‟ „Aku lagi keluar kota Ami…:P‟ „Owh..
napa gak pamit?‟
„Tadinya mau pamit tapi kamu sibuk sama oranglain.‟ „Siapa?‟
„Cowok yang punya mobil civic hitam tadi pagi.‟
Ah, Aim maksudnya. Tadi pagi aku memang sangat dikacaukan sama anak itu
dan aku tidak sempat memikirkan hal lain. „Maaf ya..‟
„Gak papa..‟ ‟„
„Sampai kapan perginya?‟ „Insya‟ALLAH lima hari.‟ „Lama yaa…‟
„Gak sih, itu sebentar, aku pernah pergi lebih lama dari itu. Sebulan,
dua bulan pernah.‟
97
„:o.. Lama Amat?‟
„Napa kamu kangen yaa?‟ „Hmm… enggak lah..‟
.‟„Kangen juga gak papa koq.. ‟„
„Eh, udah dulu yaa, ada kerjaan ni.‟ „Ok, bye take cere…‟
‟„Makasih u..
Offline…
Dan aku sendiri sepi malam ini…
***
Dua puluh satu…
“Seratus, delapan puluh..” Aku melepas stetoskop. Dan membuka ikatan
tensi meter. “Banyak –banyak istirahat aja ibu ya, jangan lupa
vitaminnya diminum gak boleh telat.”
“Bayinya Bu?”
“Alhamdulillah bayinya sehat. Tapi masih terus asupan gizi yaa..” “Iya,
Terimakasih ya bu…”
“Sama –sama Ibu…”
Seorang perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu bersalaman denganku
dan keluar.
“Misi Bu Ami…?” Sapa seorang satpam yang hanya muncul sebagian tubuhnya
dari balik pintu.
“Iya ada apa Pak?”
Masuklah kemudian satpam itu. “Saya mau kasih ini Bu..”
Alisku seketika mengernit. Sebuah paket kotak berukuran tanggung
berwarna coklat dikirim lewat pos dan ditujukan padaku. “Dari siapa
Pak?”
“Kurang tahu Bu.”
“Hmm well, makasih pak…” “Mari Bu…” Satpam itu keluar.
„Kepada Amita Rorai‟ benar itu untuk aku. Tapi dari siapa aku bolak
–balik tidak ada pengirimnya.
Sudahlah aku sisihkan paket itu dulu, masih banyak pasien yang antri
untuk diperiksa.
Hmmm… hari yang melelahkan akhirnya aku bisa pulang juga. Aku letakkan
paket itu di kursi sebelahku dan aku melanjutkan menyetir pulang.
Sesekali aku lihat paket itu, siapa yang mengirimnya ya? Selama ini aku
tidak pernah mendapat paket yang misterius dan sebesar ini.
Sambil lalu aku ingin membukanya sendiri sambil menikmati panasnya siang
yang terik dengan sebuah es kelapa muda di tepian pantai yang biasanya
aku lalui bersama Farish. Sayang sekali dia tidak ada disini sekarang,
seandainya dia bisa
98
temani
aku membuka paket ini, mungkin akan lebih seru.
Sudahlah aku tak bettah lama –lama memandang kotak yang sangat membikin
aku penasaran ini.
Perlahan dan sangat hati –hati aku melepas isolasi yang merekatkan
sampul bungkusan. Di balik kotak coklat terbungkus kertas Koran, di
balik kertas Koran terbungkus kertas coklat, dibalik kertas coklat
terbungkus kertas biru yang mengkilap.
Dan dibalik kertas biru itu ada kotak putih dan itu yang terakhir. Aku
tersenyum,
Masya‟ALLAH aku lupa hari ini aku ulang tahun!
Hahahaha!!!!!
Tulisan Happy birth day pada amplop yang tertempel di atas kotak
berwarna putih itu mengingatkan aku hari ini. Lekas aku lihat isinya.
“Dear Ami…
Selamat ulang tahun, maaf aku hanya bisa memberimu ini. Aku harap kau
suka dengan apa yang aku berikan. Semoga apa yang kau impikan terkabul
semua sesuai harapanmu yang terbaik…
Farish Rawahi ”
Aku senang, sangat senang, ini pertama kalinya dihari ulang tahunku
mendapat kejutan yang sangat mengejutkan aku. Sangat tidak aku duga itu
bukan dari siapa – siapa, malah Farish yang aku kenal baru sebulanan
ini.
Dalam kotak itu ada jacket kaos yang tebal dan lembut berwarna biru
dongker yang bagus sekali, dan dua ikat rambut berbulu berwarna coklat
dan biru dongker juga.
Sepertinya ia kenal sekali diriku suka menggunakan jaket saat keluar
malam dan selalu
mengikat rambutku setiap hari.
Farish, rasanya sekarang juga aku ingin sekali bertemu denganmu,
sayangnya kamu masih tiga hari lagi untuk pulang. Sepertinya aku mulai
merindukanmu… “Nummber you are calling is not active, please try again
in a view minute.”
Rupanya dia sibuk sekarang, aku sms saja, semoga dia bisa membaca smsku
nanti.
“Farish! Terimakasih atas hadiahnya, aku sangat senang dan amat sangat
senang sekali. Ah, rasanya aku benar –benar tidak bisa mengungkapkan
rasa bagahiaku sekarang. Terimakasih Farish…”
Hmmm…
“Ami?” Sapa Mama saat aku masuk rumah.
Aku mendekat dan menyalami Mama. “Iya Ma…” “Kamu dapat apa sampai
sesenang itu sepertinya?”
“Aku?” Senyumku semakin melebar. “Aku entahlah Ma aku sangat senang hari
ini.”
“Dapat hadiah ulang tahun dari siapa hayo??”
Aku tertawa kecil. “Ah Mama koq tahu aku dapat hadiah?”
“Kalau bukan hadiah apa coba kotak yang kamu bawa itu?” Mama meliriki
kotak yang aku jinjing sebelah tangan.
Aku tertawa. “Haha! Maa…” Aku memeluk Mama sungguh bahagia.
99
“Hey hey hey… kenapa anak Mama yang satu ini ya?” Mama melepas
pelukanku yang nyaris mengajaknya berdansa. “Sini sini sini. Ayo kamu
harus cerita dapat hadiah dari siapa?”
Aku duduk bersma Mama di sofa. “Dari temanku yang sedang ada di luar
kota Ma…”
“Siapa?”
“Ah tidak Ma, aku tidak akan bilang siapa sama Mama…” “Bukan pacarmu
kan?”
“Ah Mama, bukan lah…”
“Terus apa yang bikin kamu senang sampai segitunya?”
“Aku gak pernah menyangka, berteman saja aku belum genap sebulan Ma
sama dia. Tapi dia sudah tahu segalanya tentang aku, hari ulang tahunku,
warna kesenanganku, ah semuanya Ma…”
“Dia punya perhatian lebih, tentu dia menginginkan kamu Ami…” “Gak lah
Ma…”
“Dengar, kamu mungkin tidak cintai orang itu, tapi kamu sudah mendapat
kasih sayang tulus dari orang itu.”
Mungkin? Entahlah…
Saat aku mulai terlelap dalam tidur… „Panah Asmara by Afgan‟
Mataku terjaga! Siapa yang telpon aku jam segini malam? Aku lihat jam di
dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas. Sementara
hapeku terus berdendang, aku raih di nacase.
„Farish?‟ Akupun tersenyum heran. “Hallo?” Jawabku. “Assalamualaikum…”
“Waalaikum salam…” “Belum tidur Ami?”
Aku tersenyum, bohong dulu ah! “Belum…” “Ngapain sampai jam segini belum
tidur?”
“Kan aku ditelponin sama kamu sekarang. Yaa belum tidur…”
Terdengar disana Farish tengah tertawa kecil. “Kamu bangun gara –gara
aku telpon ya?”
“Hem… mungkin?”
“Maaf ya sudah ganggu kamu.” “Gak papa. Aku senneng koq.”
“Ha? Senneng aku telponin walau malam –malam?” Aduh! Kebawa perasaan
deh. “Gak, maksudnya…” “Udah, gak papa koq.”
Sunyi…
“Farish…”
“Iya?”
“Terimakasih atas hadiahnya yaa?”
“Sama –sama. Apa kamu suka? Maaf aku cuma bisa kasih itu sama kamu. Aku
100
gak tahu harus kasih apa. Maaf ya??”
“Sudah ada yang ingat akan ulang tahun aku aja sudah senneng banget
Rish. Apalagi sampai kejutan lewat pos.”
“Ukurannya pas?”
Aku membalikkan posisi tidurku. “Pas banget. Aku bener –bener senneng
banget Rish hari ini, aku senneng dan gak bisa diungkapin dengan kata
–kata.
Terimakasih yaa, aku gak tahu mau bales apa sama kamu.”
“Jangan mikir gitu terus dong Ami. Selama aku bisa buat kamu seneng aja
aku juga dah senneng.”
“Hirh… so sweet deh…”
Panjang –panjangin ngobrol gak penting di telpon sama Farish, gak kerasa
juga
hampir menghabiskan waktu yang namanya tengah malam. Saking lamanya, aku
muter tempat tidur sampai tiga kali. Hihihi, keasyikan deh…
***
Dua puluh dua..
“Nanti Malam ada pertemuan keluarga Armand dan Vivi.” Kabar Ayah.
Masalah itu lagi. Aku tetap diam dengan hidangan sarapanku.
“Anak –anak ikut juga sekalian.” Lanjut Ayah.
“Maaf Ayah, Ami gak bisa ikut. Nanti malam ada undangan teman Ami mau
nikah.”
“Mama juga dak mau ikutan.” “Kenapa?”
“Ayah masih tanya kenapa?!” Mama menaikkan nadanya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi sama Mama tapi kali ini pembahasan
tentang pertungan Aim sepertinya mulai membosankan dan tak mengundang
selera.
“Ya sudah tak usah mengangkat nada seperti itu.”
Mama diam. Sementara aku memilih untuk kembali ke kamar dan bersiap
berangkat ke klinik.
Suasana klinik yang sangat menghiburku. Terharu, lucu, dan terkadang
jantungku turut berdebar saat berperang menyelamatkan satu nyawa yang
akan lahir kedunia. Melihat perut –perut yang membundar seperti
semangka, sungguh aku merasa lucu dan sedikit aneh. Terkadang aku
berfikir, bagaimana jika aku seperti itu ya? Perutku membundar dan
katanya itu sangat berat sekali. Hmm… menikah dan punya anak nantinya,
itu adalah impian semua manusia yang ada di muka bumi ini. Termasuk juga
aku, memiliki keturunan yang baik dari sepasang orang tua yang baik.
“Terimakasih Bu bidan…”
“Sama –sama Ibu, jangan lupa diminum obatnya..” “Iya…”
“Semoga lahirnya gampang ya Ibu…” “Aminn..”
Akh.. akhirnya pasien terakhir selesai. Aku tarik sedikit lengan bajuku
101
menengoki jam tangan sudah pukul empat tepat. Saatnya pulang, untung
saja aku masih magang, kalau aku sudah jadi bidan sungguhan mungkin jam
segini aku masih harus berkeliling di rumah sakit.
Kembali aku pulang kerumah.
“Assalamualaikum…” Salamku sembari menutup kembali pintu rumah.
“Waalaikum salam…” Sahut Mama.
Tak ada suara lain yang menjawab salamku, rupanya semua orang sudah
pergi untuk makan malam pertemuan dua keluarga yang akan berbesan
sebentar lagi. Aku temui Mama yang sedang bersantai di depan tivi
sendiri.
Aku menyalaminya. “Yang lain sudah berangkat Ma?” “Iya, baru aja…”
“Pantes seppi.” Aku melepas tasku dan duduk dekat Mama. “Nanti malam
kamu mau ke udangan temanmu jadi?”
Aku tersenyum sambil menggeleng. “Aku cuma alasan aja Ma sama Ayah.”
“Alasan? Ngapain?”
“Aku males mau ke sana. Apalagi ketemu dengan orang –orang disana.
Membosankan.”
“Apalagi Mama…”
Aku tersenyum berat. Ku peluk Mama yang duduk di sampingku ini. Ma,
maafkan Ami. Seandainya saja Mama tahu yang sebenarnya mungkin Mama
tidak akan memaafkan Ami.
“Kamu kenapa Ami?” Mama heran dengan sikapku.
“Tidak apa –apa, Ami hanya kangen sekali ingin memeluk Mama…”
Mama tersenyum, iapun berbalik memelukku.
Aku benar –benar butuh perlindungan dari Mama. Ma, semakin detik –detik
jam itu berlalu, semakin hatiku sakit membayangkan acara makan malam itu
sungguh sempurna dengan dua pasangan calon suami –isteri yang sangat
berbahagia dengan senyum mereka.
Aku duduk di kamar menatap kosong ke luar jendela. Hanya langit hitam,
dan bintang bertaburan sangat indah yang jadi saksi perihnya hatiku
malam ini. Ya Tuhan apa yang bisa aku lakukan? Sungguh aku tak kuat
menahan rasa cinta yang terlalu besar aku berikan padanya.
Setetes demi tetes air bening mulai jatuh dan membasahi mukaku. Sungguh
aku ingin berteriak pada dunia pertunangan itu tak boleh terjadi. Aim
hanya untukku saja!
“Ami?” Panggil Mama yang menemukan aku dari balik pintu kamar yang
terbuka.
Lekas aku menyeka air mataku, aku tak ingin Mama tahu aku menangis. “Iya
Ma?” Aku berbalik.
“Kamu kenapa Nak?” Mama menghampiri aku dan duduk dekatku. Aku
menggeleng berat. “Tidak Ma..”
“Jangan bohong kamu. Mama tahu kamu sedang punya masalah. Rupamu berbeda
tak seceria saat kamu mendapat hadiah dari kawanmu kemarin.”
Aku memaksakan senyumku. Iya hanya Farish yang membuatku tersenyum, tapi
aku tak sedikitpun cintai dia.
102
“Ada apa nak? Cerita saja sama Mama.” Desak Mama yang semakin merasa
curiga dengan keadaanku.
Aku menatap penuh pilu wajah Mama. Tetes air mata kembali terjatuh dan
semakin menderas.
“Ami? Kamu kenapa Nak?” Cemas Mama.
Aku seketika memeluk Mama dengan sangat erat dan menangis dalam
peluknya.
“Ami bilang Mama nak kamu kenapa?!” Desakan Mama membuat aku semakin
menangis.
Haruskah aku melakukan pengakuan atas semua perasaanku yang aku
sembunyikan selama bertahun –tahun ini? Ya Tuhan, aku tak ingin membuat
Mama kecewa dengan semua kelakuanku.
Mama mengusapku yang masih bersimpuh dihadapannya. Wajah Mama sudah
berat dengan rasa takutnya atas pengakuanku nanti. Aku sungguh tak tega
melihat wajahnya.
“Ami minta maaf yang banyak sama Mama…” Aku semakin berderaikan air
mata.
“Kamu itu anak Mama, tanpa kamu minta, pasti Mama akan selalu memaafkan
kamu nak. Ayo cerita apa yang sampai membuat kamu jadi seperti ini?
Tolong jangan bikin Mama gelisah Ami…”
Tatapan mata Mama membuat aku berat untuk tidak lekas menceritakan semua
yang terjadi. Tapi aku juga tak ingin membuat Mama shock dengan
pengakuanku yang esktrim ini. Seumur hidupku, inilah masalah terumit
yang aku alami.
Tarik nafas, hembuskan. Tuhan, berilah kekuatan pada Mama untuk
mendengar semua ceritaku yang aku yakini ini pasti menyakitkan di hati
Mama.
“Ma..” Panggilku dengan isak tangis. “Katakan nak…”
“Ami sedang jatuh cinta Ma…”
Mama diam, tak lekas menjawab pernyataanku. “Sama siapa Ami? Siapa
lelaki itu Ami?! Apa yang sudah dia lakukan sampai kamu seperti ini
Ami?!”
“Aku sudah jatuh cinta Ma. Dan dia…” Aku benar –benar tak sanggub
mengatakannya pada Mama. “Maafkan Ami Ma…” Tangisku meledak. Aku peluk
Mama
dengan erat kembali. Ya Tuhan beri aku kekuatan mengatakannya pada Mama.
Dan buat Mama mampu menahaan kekecewaan yang sudah aku perbuat ini.
“Siapa Ami? Bilang sama Mama?! Siapa lelaki itu Ami?!”
Aku masih saja tak kuat menjawab pertanyaan Mama.
“Jangan pernah katakan kalau lelaki itu adalah Ibrahim, Ami…” Terka Mama
yang kecurigaannya memuncak.
Perlahan aku hanya bisa mengangguk memastikan terkaan Mama itu adalah
benar.
Seperti yang ku duga, Mama benar sangat terkejut mengetahui yang
sebenarnya terjadi. Tapi tak setetespun air jatuh dari kedua mata Mama.
Mama hanya menyesalkan semua yang terjadi. Ia tak bisa berkata apapun
untukku. Maafkan aku Mama, derai air mata Mama adalah duka mendalam
buatku. Apa yang harus aku
103
lakukan sekarang? Ya Tuhan, segeralah engkau beri aku dan Mama
ketenangan.
“Dia hanyalah anak dari istri Ayahmu dengan suaminya dulu.” Mama tak
sedikitpun menolehi aku yang bersimpuh dengan derai tangis dihadapannya.
Aku tak bisa membendung isak tangisku sedikitpun. Setelah delapan tahun
memendam perasaan, setelah cukup jauh menjalani hubungan yang indah,
kali ini semua harus kandas akibat pertunangan yang tinggal beberapa
hari lagi.
“Kenapa ini bisa terjadi Ami?”
“Ma, Maafkan Ami. Ami tahu benar Ami salah…”
“Akhirnya yang Mama takutkan benar terjadi sekarang. Kamu sudah jatuh
cinta pada orang yang sangat salah.”
aku tak bisa berkata apapun lagi.
“Jangan pernah kamu memikirkan anak itu lagi! Dia tak pantas buatmu.”
Kalimat terakhir Mama ditekan kuat. “Mama tak mau hilangkan kebaikannya.
Anak itu memang baik, dia sopan, sangat menghargai pada kamu dan Mama
sendiri juga. Tapi tidak, tidak Mama tidak akan pernah mau. Apalagi
sekarang? Dia sudah berkumpul dengan orang sesamanya.”
“Maafkan Ami Ma…”
“Mama bersyukur masih menemukan kabar ini saat dia akan bersanding
dengan orang lain.”
“Ma…”
“Kamu lihat siapa garis keturunannya? Siapa Ibunya? Siapa Ayahnya juga?”
“Iya Ma, Aku sangat mengerti..”
“Ibunya adalah seorang wanita yang sangat dibenci oleh keluargamu. Aunty
–
Auntymu, pamanmu, bahkan Mamamu sendiri saat ini. Kamu memang boleh
bersanding dengan dia, bahkan saat ini juga jika Mama mau, Mama bisa
menyuruh pertuangan itu untuk dibatalkan. Tapi tidak, lelaki itu tidak
pantas buat kamu. Pikirkan
selanjutnya? Selama ini Mama memang diam dengan keadaan orang itu dengan
Mama sendiri, tapi tidak Mama mengharapkan orang itu akan datang dan
pergi sesukanya
kerumah ini. Tidak nak… sampai kapanpun, Mama tidak akan pernah menerima
kehadiran wanita itu apalagi sebagai besan Mama.”
“Ma aku tak pernah berfikir sampai sejauh itu.”
“Dan kamu sekarang harus memikirkan itu. Cinta mau dibawa kemana lagi
selain ke pernikahan yang sah?”
“Aku tahu Ma, tapi aku sangat menyesalkan karena aku tahu dia tengah
berbohong padaku. Aku sangat sakit mengetahui semua ini terjadi Ma.”
“Kamu tidak usah menyesal seperti itu. Percuma, penyesalan seperti itu
hanya
akan menyakiti hati. Sudah, perasaan cinta itu adalah berkah, karunia
Tuhan yang diberikan pada hamba –hambanya. Semua orang berhak cintai
siapapun.”
Aku memeluk Mama dengan erat. Menceritakan sebagian isi hatiku sangatlah
membuat perasaan dan fikiranku jauh lebih tenang. Walau kisah
tersembunyi hanya akan menjadi penyakit yang tidak akan pernah ada
obatnya.
“Lupakan dia, berusahalah terus Nak…” Tandas Mama tanpa menolehi aku
dibelakangnya.
Kemudian Mama terus keluar dan menutup pintu kamarku. Ma maafkan Ami
104
yang telah mengecewakan Mama…
***
Dua puluh tiga..
Klung! Klung!
Aku menolehi laptopku yang sedang modus online. Rupanya ada satu chat
messege. Aku selesaikan dulu menyusun lembaran –lembaran kertas
berserakan diatas kasur yang harus aku serahkan pada dosen besok.
Setelah selesai, baru aku kembali pada layar internet dunia mayaku.
Offline „Farish : Assalamualaikum‟
Aku tersenyum, ternyata anak itu lagi. Sudah dua hari ini dia tak telpon
maupun
sms aku. Sepertinya dia sedang sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya
yang sampai saat ini aku juga gak tahu dia kerja apa sebenarnya. Dia
hanya mendengarkan aku tanpa mengizinkan aku mendengarkan tentang
dirinya. Itu yang membuat aku susah juga untuk cari tahu dia itu anak
siapa sih sebenarnya.
Sayangnya dia sudah keburu offline, mungkin terlalu lama juga menunggu
aku menyelesaikan tugas –tugasku dulu.
„Waalaikum salam‟
Aku membalasnya.
Susudah itu aku melanjutkan lagi tugas –tugas yang tadi.
Hooowwwaaayyy!!! Mataku sudah gak kuat lagi mau terus melebar menatap
cahaya warna dari layar kompi. Aku toleh kebelakang melihat jam di
dinding ternyata masih jam setengah sepuluh malam.
Klung! Klung!
Chat messege lagi.
„Masih online ni?‟
Kembali aku tersenyum dan segera membalasnya. ‟Iya‟ ->‟Sepi ni‟
< sibuk amat ya sekarang?‟-„ ->‟Hehe iya‟
->‟Kamu sendiri juga kan?‟
<‟-„
->‟Bsok aku pulang.‟ ‟Koq O sih?‟ ‟:D,‟
->‟besok ada acara?‟ ‟Gak papa, Tanya aja.‟
105
„kalau
kamu mau n bisa tentunya‟
Senyumanku semakin lebar. Aku sangat senang jika Farish mengajakku
keluar rumah. Entahlah aku tidak tahu kenapa, yang aku tahu hanya merasa
senang, tenang dan tidak kesepian berada di dekatnya.
„terus?‟
„maksudnya kita ketemunya gimana?‟ „dimana?‟ „nggak.dimana?‟
„tapi aku gak mau di penjara ya..‟
„okay!‟
‟Ok, have nice dream…‟
0 Response to "Baca Novel Cinta Tak Semudah Kata C.I.N.T.A"
Post a Comment