-->
Baca Novel Cinta Tak Semudah Kata C.I.N.T.A

Baca Novel Cinta Tak Semudah Kata C.I.N.T.A



 


CINTA TAK SEMUDAH KATA C.I.N.T.A 
Penulis : Azizah Attamimi 

Saat aku tak mengenali bagaimana aku diizinkan untuk benar –benar menyimpan perasaan itu di hati hingga mati… Hingga semuanya terjadi, dan itulah yang tak semudah diucapkan TAKDIR… Situbondo, Agustus  

Satu,,, Aku heran kenapa kata CINTA selalu dijadikan prioritas utama dalam kisah hidup setiap manusia. Seperti tidak ada hal lain saja yang lebih penting dari sekedar kisah romantis antara sepasang manusia laki –laki dan perempuan. Bukanlah karier, cita -cita masa depan yang diperjuangkan, melainkan restu CINTA yang diperjuangkan hingga mencapai bingkai pelaminan. Setelah semua itu, barulah kembali mengingat karier tujuan semula. Aku hanya bisa tersenyum saja, apalagi saat aku merasakannya. Aku benar –benar mengerti kenapa kata CINTA selalu jadi menu utama dalam daftar cobaan hidup. Sedih, susah, senang, itu sudah biasa, bahkan wajib untuk dirasakan hidup dalam mengiringi kisah cinta. Secuil kisah cintaku dimasa lalu… Awalnya aku memang „masa bodoh‟ dengan urusan cinta. Tapi, ketika hati kecilku ini telah memandang seseorang yang biasa dengan sebuah ketulusan dan kasih sayang, rasanya aku tidak mau memperdulikan lainnya lagi. Hanya dia yang terpandang dalam hidupku. Ya, aku jatuh cinta padanya… Kata orang anak SMP itu baru belajar apa yang namanya cinta tapi masih tahap monyet, alias cinta monyet. Dan mengenali Cinta yang sesungguhnya saat SMA. Begitu juga denganku. Semua berawal sejak dia selalu mencuri pandanganku. Saat itu sedang kegiatan classmeeting pertandingan final antara kelasku, a dan kakak kelas b. Pertandingan voli yang sangat seru dan cukup menegangkan, karena kedua tim sama – sama kuat. Saking serunya, tak ada satu orang guru maupun murid yang beranjak dari tempat penonton. Semua bagian luar lapangan terpenuhi oleh orang –orang itu. Jika kamu terlambat maka kamu tidak akan mendapatkan satu tempat untuk berdiri sekalipun. “Ami! Semangat!!” Teriak kawan –kawan menyemangati aku. Satu sekolahpun tahu kalau aku pentolan pemain voli nomor satu di sekolah. Sekejap memejamkan mata, mengingat akan Tuhan sang pencipta. Aku lempar bola ke atas dan SmaaSh! Permainan di mulai. Ribuan pasang mata tak henti –hentinya mengikuti lari bola kesana –kemari. Aku sangat menikmati permainan ini, dibawah terik matahari yang mulai meninggi hampir tepat keatas kepala. Lompat sana, pukul sini, dan Goal! Tim ku unggul tellak dalam dua babak. Dan sekarang babak terakhir. Babak penentuan siapa pemenang yang sesungguhnya. 3 Pertandingan semakin sengit, mereka mengatur kembali strategi baru yang cukup membuatku lebih lelah lagi. Kini mataku mulai terasa panas, sejenak aku alihkan pandangan pada kerumunan penonton. Satu hal menarik di pandangan mataku, di jauh sana di tengah –tengah gerombolan manusia ada satu orang lelaki yang tidak rapih, bajunya keluar, dasinya miring, dan penampilannya agak acak –acakan. Dia melontarkan senyum padaku. O‟oww, sontak jantungku berdebar kencang sekali. Aku takut ini akan membuyarkan konsentrasiku. Lekas aku tarik nafas dan menghembuskannya lagi dan kembali focus pada bola kuning biru itu. Aku kembali bermain, tapi perasaanku masih gugup. Aku rasa aku mulai merasa Ge-er dengan satu pasang mata yang sejak tadi mengintai setiap gerak tubuhku. Kembali aku menolehi arah kerumunan penonton itu, lelaki itu tetap tersenyum padaku. Ya Tuhan! Aku mulai hilang kendali, konsentrasiku mengoyah, aku tak bisa bermain seperti ini. Ting! Oh no! Sebuah kedipan sebelah mata yang aku dapatkan darinya cukup membuat aku terhenyak dan tercekat ditengah –tengah lalu lalang bola. “BhaaaaKK!!!” Akhirnya bola kuning biru itu menghantam mukaku. Aku terjatuh dan rasanya sakit sekali. “Goaaalll!!!!!” Semua orang berteriak, teamku kebobolan bola dan mereka menang. Sorakan itu berbarengan dengan bunyi peluit wasit yang menandakan permainan telah berakhir. Sial! Aku kalah karena kecurangan mereka. Sementara aku sendiri segera dilarikan ke unit kesehatan sekolah karena hidungku mengucur darah. “Ini gak adil!” Teriakku sambil meronta –ronta ingin lekas kabur menemui kakak kelas yang jail itu. Petugas kesehatan dan guruku tetap menahan. Mereka memegangi aku dengan kuat, sampai aku seperti orang gila yang sedang mengamuk. “Sudah, kalau memang kalah ya mau diapakan lagi sekarang? Jangan panas hati begitu, obati dulu hidungmu, untung saja kamu belum kehilangan hidungmu yang mancung itu.” Sahut pak guru sembari menggodaku. “Tapi ini tidak bisa dibiarkan pak!” Teriakku kesal. “Sudah lah, semua orang tahu koq kalau kamu itu dicurangi.” “Tapi caranya konyol pak. Kan jadinya saya yang malu Pak..” Pak guru hanya tertawa cekikikan sendiri. Abaikan itu. Panas hati, aku tidak bisa begitu saja membiarkan kecurangan mereka yang sangat memalukan aku. Kejadian tadi benar –benar merusak reputasiku sebagai pemain voli nomor satu hanya karena sebuah kedipan mata. Ah, aku tak bisa terima itu, mereka harus dapat pembalasanku dulu. “Ami, Ami… jangan. Percuma yang ada kamu sendiri yang malu…” Dessy, teman terbaikku sejak SD dulu, terus menahan agar aku tak menemui lelaki tadi. “Tidak bisa! Dia harus terima pembalasan dariku!!” Sahutku geram. Aku tak perdulikan semua murid tertawa melihat langkah kakiku yang gerasa grusu penuh 4 amarah. Aku sungguh –sungguh harus menghentikan tawa orang –orang itu. “Ami…” Cemas Dessy terus mengekoriku. Aku sampai di depan kelas mereka. Aku melongo kedalam kelas, mencari sesuatu. “Cari siapa lo?” Tanya seorang laki –laki menghampiriku. Tapi bukan lelaki yang aku cari. Ia berdiri dihadapanku menopangkan kedua tangannya di pinggang. “Aku cari temen lo yang keganjennan ngedip –ngedipin matanya sama aku!” Tiba –tiba tersirat rasa takut membuat aku kacau melontarkan kalimatku. Aku masuk kandang macan, kanan kirinya hanya Dessy satu –satunya temanku. “Huahahahaa…” Lelaki itu tertawa keras. “Dasar bollywood, ngomong aja gak benner lo! Lagian, ngapain juga loe cari temen gue? Gak terima kalau kalah?!” “Aku bukan Bollywood!” Teriakku tepat di depan mukanya. Sunguh aku semakin kesal dibuatnya. Mereka semua selalu menyebutku bollywood padahal aku bukan orang india. Aku hanya seorang gadis berketurunan Pakistan saja! “Katanya pentolan nomor satu? Tapi mana?” Mulailah satu ledekan dari seorang lagi yang menghampiri kami. Wajah –wajah usil menyinyir membuat semakin panas hatiku. Arrgghh! Rasanya aku ingin menghajar mereka satu persatu. Sayang sekali aku tak berkuasa apapun, jika aku menghajarnya bisa –bisa aku masuk bp. Akupun bingung harus melakukan apa saat itu. “Udah Ami…” Dessy-pun menyeret aku kembali meninggalkan kelas mereka. Beralih dari ketegangan, aku bersantai di kantin sambil mengepal –ngepal hidungku yang semakin terasa sakit. “Kalau kamu marah –marah di depan dia, pastinya semua orang akan dengar dan fatal kalau mereka tahu kamu geer cuman gara –gara tuh orang..” “Agrh! Anak siapa sih dia?! Beraninya dia bikin ge-er aku.” Dessy menggeleng. “Hai…” Sapa seorang lelaki yang tak lain lelaki yang tengah dibahas kami berdua. Pandanganku kembali sengit menatapnya. “Kau?!” “Gak patah kan hidungnya?” “Dasar kau lelaki sinting! Kau itu curang! Harusnya aku yang menang!” Ocehku kesal. Dia tetap tersenyum mengabaikan ocehanku. “Owh, okay… sorry…” “Just it?! Kamu sadar kamu telah buat kesalahan fatal?!” “Enggak…” “Dasar sinting!” “Sepertinya aku sukses mengecohmu ya?” “Hey! Let see siapa yang bakalan lebih ge-er dari pada ini okay…” “Okay…” Aku berbalik meninggalkan dia. “Tunggu!” Aku hanya menghentikan langkahku tanpa menolehi panggilannya. 5 “Namaku Ibrahim…” Katanya. Aku menoleh dan menyunggingkan senyum hanya di ujung bibirku. Sejak hari itu, aku semakin sering bertemu dengan dia di sekolah. Dia selalu menyambutku saat pagi datang sekolah, dan mengantarku hingga gerbang saat pulang. Tanpa bicara apapun, kami berdua hanya bertukar senyum penuh arti. Bagaimana tidak, aku masih terus menginginkan dia rasakan apa yang aku rasakan waktu itu. Geer, dia harus lebih ge-er daripada aku waktu itu. Sayangnya bertukar senyum itu hanya berlangsung selama sebulan sampai ia dinyatakan resmi lulus dari sekolah, dan melanjutkan ke SMA yang tidak popular. *** 

 Pagi yang cerah… Aku duduk mengotak atik handphoneku sembari menunggu bel berbunyi pertanda pelajaran dimulai. Kali ini aku bukan lagi murid kelas satu, aku sudah naik satu tingkat jadi kelas dua. Sebuah amplop berwarna merah jambu diberikan padaku. “Ini surat buatmu…” Aku mengeryitkan dahiku. “Surat dari siapa?” “Surat dari cowok yang dah bikin team kita kalah dulu.” Aku tersenyum. “Ibrahim maksudmu?” Dessy hanya mengangguk. Senyumku semakin lebar saja. Surat merah jambuku yang pertama, aku tak menyangka dia akan mengirimkan aku sebuah surat cinta. Kali ini aku yang bertambah semakin ge-er saja. Berbalas surat merah jambu, mengantikan berbalas senyum selama sebulan yang sempat menghilang karena kepergiannya. Hal pertama yang merwarnai hari – hariku dengan warna merah jambu, itulah surat darinya. Dia Ibrahim Imran, dan aku panggil dia Aim… Hingga… “Ini, surat cinta lagi….!!!” Dessy menjulurkan amplop merah hati itu padaku. Mukanya terlihat kesal karena lelah jadi tukang pos tanpa bayaran. Aku tersenyum, aku rangkul sahabat baikku itu. “Makasih sayang….” Perlahan aku buka amplop berlem dengan rupa dan hati agak –ge-er. “Heran, hari gini masih jaman ya pake surat cinta?!!” Tangannya melipat kesal. Aku tersenyum geli. “Maaf Dessyku sayang… makanya kamu bilang sama dia, yang gentle dong. Aku gak masalah koq kalau dia mau ketemu langsung sama aku. Justru aku malah tambah senneng.. hehe…” “Yee iya deh. Tapi dia tetep gak mau, malu katanya…” “Hmmm.. cowok koq pemalu ya? Dulu aja waktu ngecoh dia gak tau malu.” “Tau ah pangeranmu…” Dessy mencabut suratku yang masih ada dalam amplopnya. “Eh apa lagi ini isinya??” Aku hanya menggeleng sambil menaik turunkan bahuku. Surat merah jambu… Aku tak segan untuk membacakan isinya pada dessy. Isi surat itu konyol, hanya bertaburan kegombalan ala penyair cinta muda. Haha! Begok ah! 6 Dear Ami… Hai… Apa kabar? Aku tidak akan berhenti bertanya kabarmu. Walau aku hanya bisa melihat kamu dari jauh tapi aku ingin mendengar kabarmu langsung darimu sendiri. Aku sangat senang saat kemarin mendengar kabar tetang keberhasilan kamu mengikuti lomba memasak. Aku tercengang sejenak. “Dari mana dia tahu kalau aku ikut lomba masak?” Dessy mengangkat dua tangannya seraya menggeleng. Memamerkan wajah tak paham juga kenapa Aimku bisa tahu “Yakin bukan kamu yang bilang?” Tatapku selidik. “Sumpah deh, kan aku dah janji sama kamu…” Lanjut kembali pada surat… Aku ucapkan selamat, walau runner up tapi aku sangat bangga sama kamu. Kamu itu sangat berbeda dengan perempuan manapun yang pernah aku temui. Menarik dan unik, pandai dan sangat menawan hati. Sampai –sampai aku tak bisa berhenti memikirkan kamu…. Aku dan Dessy saling memandang sambil menahan tawa geli. “Akh… sintting nih anak.” Aku lekas melipat surat itu sebelum aku tandaskan kegombalannya. Tulisan itu terlihat biasa dan tak romantis untukku dan kalian juga tentunya. Aku lebih berharap untuk mendapatkan puisi ala penyair cinta sungguhan. Yang romantic dan membuat aku melayang tinggi di udara. Di dalam semua suratnya, selalu saja hanya puji –pujian yang baik ia tuliskan. Sampai –sampai aku jadi risih sendiri membacanya. Aku tak suka jika ia terus memujiku seperti itu. “Udah ah Dess, bilang sama dia aku gak akan bales surat dia lagi kalau dia gak mau memberanikan diri buat ketemu langsung sama aku.” “Wokeh deh boss..” Tangannya bergeran dan kemudian berposisi seperti sedang hormat. “Bilang juga, kalau dia gak mau ya udah, gak usah kirim –kirim surat ke aku lagi…” “Iya iya deh…” Selama lebih dari tiga tahun, aku selalu mendapatkan surat beramplop merah jambu dari dia. Tapi selalu saja tak punya keberanian bertemu denganku, padahal kami berdua sudah sama saling tahu. Aku Ami dan dia Aim, hehe beda dikit ya namanya. Jodoh kale… Ngarep deh…!!! ***  

Pagi yang cerah… Greeeekkk…. Gordyn putih di gerek, jendelapun di buka agar udara dan sinar matahari pagi yang sehat bisa masuk dalam kamar. Ya maksudnya biar Ami bisa lekas bangun tidur, jam saja sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima. “Ami! Ayo bangun! Gak mau sekolah kamu??!!” Kak Hani sedikit berteriak membangunkan adiknya yang masih molor. 7 “Hem…” Sahut Ami mendesah tak membuka matanya sedikitpun. “Jam tujuh sekarang! Gak sekolah?!” “Aku mau bolos hari ini, aku dah janjian sama Dessy. Hari ini gak ada pelajaran. Kan tinggal tunggu pembagian rapor terus liburan panjang. Hari ini cuma lomba – lomba sama pentas music.” Kak Hani membulatkan mulutnya tak bersuara. Iapun pergi meninggalkan Ami sendiri di kamar yang masih kemulan. Bulan depan, kenaikan kelas, itu artinya minggu depan libur panjang. Hari ini saatnya sibuk disekolah, menghabiskan minggu terakhir di sekolah dengan kegiatan classmeeting, adu music yang diselenggarakan sekolah dengan mengundang para peserta dari sekolah lain. . Krang! Kring! Krung! Itu suara handphone Ami terus berdering membuat berisik tetangga. Tapi Ami malah semakin menarik guling untuk nyumbat telinganya. “Aduhh!!!!” Kesalnya. “Ami telponnya diangkat dulu lah…” Kak Hani melongo dari luar pintu kamar. Krang! Kring! Krung! Hape itu tak berhenti berdering, akhirnya terpaksa juga Ami menjulurkan tangannya meraih handphone touch screen warna hitam miliknya di atas nacase tempat tidur. “Hallo?” Jawabnya berat. “Hallo! Ami!!” Terdengar suara yang sangat kacau dan tergesa –gesa dari kejauhan sana. Akhirnya mata Ami melebar, ia terkejut siapa yang menelponnya dengan nada yang sangat emergency. Hape itu di lepasnya dan di pandang ulang dengan mata yang lebih jelas. “Dessy?” Katanya heran. Hape itu ditempellkan lagi ketelinganya. “Ada apa Dess?” “Eh sumpah deh! Kamu harus masuk sekolah sekarang!” “Ha?! Sekolah?!” Ami terduduk. “Emang ada apa?” “Aim!! Aim!!! Aim!!!” “Kenapa Aim?” “Pokoknya kamu harus masuk sekolah sekarang! Ini aku aja dah mandi mau siap –siap berangkat bentar lagi!” Tit!!! “Ha?!” Ami terheran, hubungan telpon mati seketika dari seberang sana. Penasaran apa yang tejadi, segera Ami melompat dari tempat tidurnya. Bergegas mandi dan pakai seragam. “Ami mau kemana?” Tanya Mama yang heran saat melihat Ami tergesa –gesa menyambar roti di meja makan. “Kamu telat sekolah?” Tambah kak Hani. Mulutnya tersumpal roti, ia duduk memasang tali sepatunya. “Aku ada emergency Ma…” Katanya tak jelas. 8 “Hallah… telat juga….” “Ah udah, aku jalan dulu Ma…” Secepat kilat Ami menyambar tangan Mama dan berlari keluar rumah. “Assalamualaikum!!!” “Waalaikum salam…” Sahut Mama dan kak Hani bersamaan. “Baru aja dibangunin katanya libur gak mau masuk…” “Ada pengumuman mendadak mungkin…” Timpal Mama. Sementara... Resah dan gelisah, Dessy mondar mandir bagai setrika baju menantikan kedatangan Ami penuh harap cemas di depan pos satpam sekolah sambil mengepal – ngepal tangannya dan sesekali menggigit jarinya. “Ada apa sih Des?” Sapa Ami. Kemunculan Ami cukup mengejutkan dan melegakan Dessy. “Akh akhirnya dateng juga kamu Mi…” “Ada apa sih Dess?” Tanpa menjelaskan apapun, Dessy langsung menggandeng tangan Ami dan mengajaknya menuju halaman belakang. Halaman yang sangat luas dan lebar saat sepi kini sangat sulit untuk dilewati. Semua siswa –siswi dari berbagai sekolah datang untuk menyaksikan kompetisi music yang memang rutin diadakan setiap tahun. Keramaian itu tak menyisahkan satu tempatpun untuk Ami dan Dessy menyeberanginya. “Duh gimana nih?” Dessy semakin gelisah sendiri. “Apanya yang gimana sih Dess?” Ami mulai kesal. Gandengan tangan Dessy dilepasnya begitu saja. Dessy meraba –raba dalam tasnya, muncullah satu handphone flip berwarna biru. Dibuka kemudian ditekan beberapa tombol nomernya dan ditempelkan tepat ditelinganya. “Hallo? Iya ada dimana?! Ya Ayo cepettan kalau memang mau kesini! Iya ini aku ada di depan kelas , . Iya iya gak ada Ami koq disini…. Iya awas ceppetan! Jangan aneh –aneh lo!” Telpon Dessy berakhir juga. “Siapa yang kamu telpon?” Dessy lebih tenang sekarang. “Barusan aku telpon Aim.” “Aim?” “Iya, rencananya kan kita mau bolos hari ini. Eh pagi –pagi Aim telpon katanya mau nonton di sini, sekalian mau ketemu kamu.” “Tapi kamu tadi koq bilang aku gak ada?” “Itu cuma akal –akalanku aja biar dia bisa ketemu sama kamu. Coba deh, kemarin pas aku nyampein pesen kamu yang ada dia malah marah –marah sama aku. Yang katanya dia gak siaplah, inilah, itu lah. Males! Sekarang juga dia masih gak mau ketemu kamu, maunya mau nyiapin diri dulu. Tapi aku dah males nunggu dia kelamaan…” Ami tersenyum gelli. “Kamu itu…” “Ya sekarang ide aku buat jebak dia, seakan –akan kalian emang gak sengaja ketemu gitu…” 9 “Oke lah aku setuju! Aku perlu sembunyi?” “Sip…!!” Rencana dadakanpun dilaksanakan sebaik mungkin. Ami bersembunyi entah kemana. Sedang Aim, seperti terancam mengendap –endap berjalan lirik kanan lihat kiri. Mungkin ia takut Ami akan menemukannya. “Woy!” Sapa Aim pada Dessy yang sudah menunggunya. “Heh, napa lagi sih? Cuma mau ketemu aja ribet amat lo.” “Hah gue gak siap O‟on…” “Enak aja ngatain aku O‟on!” Aim masih saja menoleh kanan kirinya. “Mana dia?” “Dia siapa?” “Argh… jangan sok begok deh. Ya Ami lah…” “Ngapain lagi cari dia? Mu ketemu sekarang?” “Ya gak lah!” “Ah lo, suruh ketemuin gak mau. Giliran gak ada dicariin aja.” “Justru gua takut ketemu sama dia..” “Kenapa harus takut? Lu pikir sohib gue monster apa?!” “Ah ello…” “Emang kenapa coba kalau ketemu? Kan enak urusan kalian bisa cepet selesai. Napa sih lo?!” “Akh… udah deh lo.” Diam sejenak… Dari kejauhan Ami memperlihatkan dirinya, ia terus berjalan mendekat pada Dessy lagi. Takut, Aim berusaha melarikan diri, tapiterlambat karena tangannya sudah lebih dulu di tahan Dessy. “Heh mau kemana loe??!!” “Sialan lo! Ini rencana lo kan nyuruh dia datang kemari ha?!” “Jieh! Ge –er lo, dia itu baru datang. Mana gue tahu dia mau ketemu ama gue atao enggak!” Dessy terus menahan tangan Aim. Aim yang malu and nerveous dengan kehadiran Ami hanya bisa menunduk saja. “Hey…” Sapa Ami dengan senyuman manisnya. “Ah Ami… katanya hari ini gak mau masuk?” Basa –basi Dessy. Ami tersenyum. “Males di rumah gak ada kerjaan.” Matanya beralih pada Aim yang terus memalingkan muka. “Aim… wah gak nyangka kita ketemu langsung sekarang ya…” Senyuman Aim menahan sejuta rasa malunya. “Iya…” “Hmm… Makan bakso yuk…” Ajak Ami. “Wah boleh itu…” “Kalau gitu aku pergi dulu ya..” “Kenapa?” “Kan gak enak kalau aku ikut kalian..” Ami tersenyum. “Udah ikut gabung sama kita berdua aja. Itung –itung jamuan makan kecil nih. Kan mumpung di sekolahku…” 10 “Tapi…” “Udah ah lo jangan sok malu –malu kodok deh…” “Sembarangan loe…” “Udah –udah, yuk…” Ami tersenyum. Iapun berbalik meninggalkan Dessy dan Aim yang masih malu sendiri di belakang. “Eh sialan lo rencanain ini kan?!” Aim berbisik tapi itu masih jelas terdengar di telinga Ami. “Jieh! Ge –er lo bos! Udah ngomong terus. Ikut deh…” Dessy dengan kasar menyeret Aim untuk segera mengejar Ami yang sudah cukup jauh juga. ***  

Dua,,, Tiga porsi bakso mendarat juga di meja. Saus, sambal, kecap or tambahan garam. Dessy sibuk dengan ramuan kuah baksonya. Ami? Dia hanya menambahkan bubuk garam dan sesekali meliriki Aim yang hanya membisu dan memainkan bakso di mangkuknya. “Kenapa? Gak suka baksonya? Atau gak enak?” Tanya Ami. Mukanya terangkat. “Ah enggak, enggak, enggak koq… aku suka…enak.” “Kalau suka ya ceppet makan dong!” Sambung Dessy. “Hirh…” Desahnya kesal. Ami tersenyum. “Abang gak usah malu, aku gak akan ngetawain abang ada disini koq. Lagian gak ada yang tahu siapa abang.” “Cheile… Abang…” “Emang apa salahnya?” “So cweeet gitu loh…” Ami tersenyum santai. “Umurnya diatas aku, apa salahnya aku panggil abang? Aku menghormati dia koq..” “Makasih ya, Mi.” “Sama –sama.” “Iya deh, abang sayang…” Ami dan Aim sama –sama tersenyum, bahkan mereka saling berpandangan walau sebentar saja. Perlahan rasa malunya berlarut dalam suasana gaduh di kantin dan gurauan –gurauan konyol yang terlontar dari mulut Dessy. “Ami, bisa ngomong bentar gak?” Sapa seorang teman lelaki menghampiri meja mereka. “Owh oke” Ami melepas sendok dan garpu ditangannya dan beranjak dari kursi. “Aku permisi dulu ya.” Pamitnya “Iyaa..” Jawab Aim dan Dessy bersama. Matanya membuntuti jalannya Ami bersama seorang teman lelaki tadi. “Woy!” Dessy melayangkan sendok di depan mata Aim. 11 “Sapa dia?” “Napa cemburu??” Senyumnya santai tanpa menjawab apapun. “Eh by the way ni. Napa sih lo susah banget kalau gue suruh ketemuan sama Ami?” Tatapan Dessy serius kali ini. “Gak penting loe tahu.” “Penting dong! Sekarang kalau Ami terus –terusan tanyain gimana? Kan gua gak bisa jawab?!” “Lo mau tahu?” Dessy menangguk yakin. “Benneran?” “Iya…” “Sungguh?” “YA ALLAH! Capek deh ni anak! Serius ni!” “Okay tahan, tapi lo harus janji sama gue jangan kasih tahu hal ini sama Ami.” “Hmmmm….” “Serius, gue gak segan –segan nyemplungin lo ke sumur kalau Ami sampai tahu dari mulut lo.” Ancaman Aim itu terdengar sangat mengerikan dan sunguh –sungguh. Dessy merasa aneh dan cukup takut. “Segitunya lo?” “Ini serius.” “Okay, ada apa sih sebennernya?” “Sebennernya…” Aim menarik nafasnya berat. Masalah ini tak mudah ia akan ceritakan pada siapapun. “Gue ini abang tirinya…” Mata Dessy nyaris melompat saja. “Whaat?!” Katanya terbelak sungguh tak percaya. “Gue gak mau Ami tahu, karena pasti Ami akan menjauh dari gue.” “Tunggu! Tapi kenapa Ami gak pernah cerita kalau ibu tirinya itu punya anak dua?” “Ya dia kan gak tahu. Dia gak pernah lihat gue. Dari dulu gue tinggal sama babe. Baru beberapa tahun terakhir gue balik ke Emmak. Dan sengaja selama ini gue emang ngindarin kalau Ami dateng jengukin Emmak, sama Adek gue.” “Lo serius Im?” “Lo kira ini main –main apa?!” “Ya tapi gimana kalau Ami tahu sendiri?” “Itu bencana besar buat gue…” “Apanya yang bencana?” Rupanya kalimat terakhir Aim terdengar oleh Ami yang tiba –tiba datang kembali. Keduanya tercekat, gelagatnya sedikit kebingungan mencari alasan. “Tahun lalu dulu pernah tsunami…” Elak Dessy konyol. “Hmmm…” Well, Ami rupanya tak terlalu penasaran juga dengan kalimat itu. Acara makanpun kembali dilanjutkan dengan santai dan suasana jadi lebih nyaman sekarang. Aim tak terlalu canggung lagi dengan keberadaan Ami dihadapannya langsung. 12 ***  

“Udah siap?” Tanya Kak Hani yang mencantolkan tasnya. Mengintip dari cermin dihadapannya, aku yang menggigit karet rambut menjawab tak jelas. “Bentar…” “Aku tunggu di luar. Cepet yang lain sudah siap…” Takut akan ditinggal, aku lekas mempercepat kunciran rambutku yang tinggal sedikit lagi di kepang. Karet di mulut kuambil. “Iya iya…” Krang kring Krung!!! Aku tolehi handphone yang nyaris saja tertinggal di nakas. Selesai mengikat aku ambil dan aku lihat. Cukup mengherankan, hanya nomor yang tak ku kenal. Siapa yang telpon aku? “Hallo?” “Assalamualaikum…” Terdengar suara lelaki dari seberang sana. “Waalaikum salam…” Jawabku sedikit heran. Sambil berjalan keluar kamar. “Aku Ibrahim.” Kakiku berhenti. “Abang?” “Iya…” “Ada apa?” “Aku mau ketemu kamu sekarang. Bisa?” “Aduh, maaf tapi aku mau ke rumah auntyku sama kakak – kakaku. Lain kali aja ya…” “Kalau besok pagi?” “Inysa‟ALLAH ada waktu. Tapi entar aja ya aku pastiin lagi?” “Kamu buru –buru ya?” “Maaf bang, iya nih…” “Okay kalau gitu aku minta maaf, lain kali aku telpon kamu lagi. Assalamualaikum…” “Waalaikum salam.” Tiit! Hubungan telpon berakhir.. “Ami ayo cepat!” Mendengar panggilan itu Aku langsung berlari keluar menghampiri semua orang yang telah menungguku sejak tadi. Hari ini hari libur, semua orang di rumah libur, dan saatnya liburan. Semua naik ke mobil, Mama, Ayah, kakak, abang Ipar dan ponakanku yang kecil –kecil. Walau agak berdesakan tapi ini akan jadi perjalanan yang panjang dan sangat seru!! Bosan dengan kehidupan kota, sejenak aku dan semua penghuni rumah mengirup udara pedesaan yang sejuk dan indah. Pedesaan yang sangat jauh dari kota tempat tinggal kami. Desa tempat tinggal Auntyku, kakak dari Ibu. Walau pedesaan kali ini sudah banyak bangunan –bangunan rumah berfondasi berbatu, tapi suasananya tak sedikitpun menyesakkan seperti di kota. Cukup melelahkan menghabiskan waku yang lama, tiga jam perjalanan 13 kemudian akhirnya kami semua sampai dengan selamat. Sebuah rumah yang luas dengan halaman, tak bertingat, tapi rumah itu cukup besar untuk daerah pedesaan seperti ini. Angin semilir sangat sejuk meniup rambutku yang baru saja turun dari mobil. Wah sepertinya rambutku mulai acak –acakan. Hum… tarik nafas, buang perlahan… udaranya dingin, cukup membuat air kran seperti air es. Brrr…!!! Walau disana hanya ada empat orang, Uncle, Aunty, dan Abang sepupu serta istrinya, tapi cukup seru koq. Disambut cukup meriah dan menyenangkan. Hmm… jadi teringat masa kecil dulu waktu liburan sering aku main ke sini. Di halaman belakang aku ingat ada sungai, lalu di pinggirnya ada pohon belimbing, sawo, mangga dan apa ya??? Tapi sekarang sudah tidak ada, sayang sekali.. Lagi asyik –asyiknya nih bergurau mengenang masa dulu bersama kakak Ipar dan Mama, tiba –tiba ada saja yang membuatku menyingkir dari keseruan. Krang ! Kring! Krung! Hapeku bunyi lagi, ku comot dari kantong dan menjauh. Dessy rupanya. “Hallo Dess?” “Hallo Mi…” “Ada apa ni? Tumben?” “Eh aku tanya, apa Aim telpon kamu?” “Iya. Emang kenapa?” Sedikit pertanyaan itu memunculkan rasa penasaranku. “Ah enggak sih. Cuma tadi pas subhuh dia paksa –paksa aku buat kasih nomermu. Tapi dia gak bilang aneh –aneh kan sama kamu?” “Kalau aneh sih enggak, tapi…” “Apa?” “Dia tanyain aku sibuk atau enggak tadi pagi. Dia mau ketemu aku katanya…” “What?!Huahah….” Terdengar sangat keras Dessy tertawa terbahak –bahak disana. Aku lekas jauhkan telpon dari telingaku, bisa –bisa telingaku jebbol gara –gara tawanya yang keras. “Sinnting! Sampe segitunya ngakak?!” “Sori –sori say…” Dessy menahan tawanya. “Emang napa kalau dia ngajakin ketemuan?” Aku kembali ke topik awal. “Akh, lucu aja. Akhirnya dia punya nyali juga buat ketemu langsung sama kamu. Kamu lupa, udah seminggu kamu bilang Aim gak pernah muncul or ngabarin sama kamu sejak jamuan makan bakso di sekolah waktu itu. Eh sekarang tiba –tiba muncul langsung ngajakin ketemuan…” Akupun tersenyum. Aku lupa kapan terakhir kali aku dapat kabar tentang dia. Dessy benar, Aim sudah cukup lama sekali menghilang, itu juga karena aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai tak ingat tentang dia. “Hati –hati say…” “Napa?” “Aim itu tipe cowok instan…” “Kopi kale instan! Ada –ada aja kau itu…” “Tapi bennerkan? Lama gak ada kabar, eh tahu –tahu langsung minta 14 ketemuan.” “Iya juga sih…” “Eh kayanya dia dah masuk perangkap dan gak bakalan lepas lagi deh.” “Serius lo?” “Percaya deh. Lihat aja, entar abis ketemuan dia pasti langsung minta kamu jadi pacarnya. Terus, abis jadi pacar langsung dilamar deh..” Lanjut Dessy sambil cekikikan. “Jieh! Sembarangan, pacaran sih mending, kalau nikah? Yang ada dia masih sekolah juga kale…” “Tapi dia kan dah lulus? Lupa nih?” “Ah emang dia gak mau kuliah?” “Lho? Emang aku belum cerita ya?” “Apa?” “Aim gak mau kuliah, jusrtu dia mau langsung kerja katanya. Buat memantapkan diri biar cepet –cepet bisa ngelamar kamu…” “Jiah Chuih! Lama –lama kumat juga penyakit lo Dess…” “Hahaa…” “Ami?! Sok penting kamu terima telpon lama amat!” Tegur kak Sita mendekat. Aku hanya menoleh sambil menutup bagian mic hape. “Iya benntar lagi…” Kemudian aku kembali pada Dessy di telpon. “Dess sorry ya aku putus, gak enak aku dah di rumah Auntyku ni. Sambung besok ya…” “Wokeh deh say.. bye…” “Bye…” Tit! Telpon berakhir, dan aku kembali pada kumpulan cerita masa lalu bersama yang lain. *** 

Hmm… Perjalanan seharian kemarin cukup membuat tubuhku terasa remuk seperti habis berkelahi saja. Matahari sudah hampir pas di atas kepala, tapi mataku masih saja tak kuat untuk dilebarkan. Aku tetap berkelut dengan bantal dan gulingku. “Udah mandi kak?” Tanyaku pada kak Hani yang juga sedang tiduran di sebelahku. “Udah dong, dari tadi. Ayo kamu gak mau bangun?” “Males, ngantuk…” “Hari ini gak ada rencana mau jalan?” “Kayaknya sih enggak, emang napa?” Sambil aku meraih handphone di nacase. “Ya kan boring di rumah…” Diam aku tak jawab kakak lagi. Aku raba handphoneku di nacase seperti biasa. Satu tombol terus kedap kedip pertanda notifikasi. Aku lihat ternyata ada missed call, “Astaughfirullahal adim!!!” Aku terbelak melihat panggilan tak terjawab itu ternyata sudah lima kali. Aku baru ingat aku telah melupakan sesuatu. “Apa Mi?” 15 “Aku punya janji kak!!!” Segera aku melompat dari tempat tidurku. Berlari ke kamar mandi. Astaga! Oh MY GOD! Kenapa aku bisa sampai lupa kalau pagi ini harusnya aku bertemu dengan Aim. Aduh!!! Dia pasti sangat marah padaku, atau bahkan dia bisa illfill sama aku. Duh Aim tolong tunggu aku, aku pasti datang koq… Tergesa –gesa aku berpakaian dan keluar kamar. “Aku ikut Mi?” “Ah gak bisa, ini urusanku bukan urusan orang tua kaya kau!!” Sahutku sembari bergurau menggoda kakak. Sebelas nol nol. Harusnya janjiku sejak tadi jam delapan. Kira –kira Aim masih ada gak ya di sana? Tujuh puluh kilo meter per jam, aku menunggangi motor matic pemberian Ayah setahun yang lalu. Aku benar –benar berharap Aim masih mau menungguku yang sudah terlambat berjam –jam. Dalam empat menit aku bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Sebuah tempat yang indah dan segar dipandang mata. Sungai panjang dan lebar, terdengar gemuruh airnya yang sangat deras, dan kanan kiri terdapat sawah hijau membentang. Sungguh tempat yang sangat sejuk walau di tengah siang yang menyengat. Karena aku berdiri diatas rumput yang hijau dan dinaungi pohon berdaun lebat yang rindang. Dia pandai sekali memilih tempat untuk bertemu, karena aku suka tempat ini. Ini pertamakalinya aku datang ketempat seperti ini. Sesaat kagum pada suasana, aku kembali ingat janjiku dengan Aim. Aku tolehi semua kanan dan kiriku, aku harap dia masih bersedia menungguku. Tapi tidak, dia tak ada di tempat ini. Tentu dia telah pulang Karena janji kami sudah batal akibat ketidakhadiranku. “Ami…!!!” Sesaat kemudian terdengar suara panggilan untukku. Aku menolehi suara itu. Dari balik pohon besar muncullah Aim tersenyum padaku. Sungguh senang melihat dia ternyata masih bersedia menunggu kedatanganku. Segera aku berlari kecil menghampirinya. “Aku minta maaf bang, aku bener –benner minta maaf. Aku lupa. Aku ketiduran. Kemarin seharian aku jalan –jalan sama semua keluargaku, jadi aku capek terus bangun aja aku kesiangan…” Ujarku cepat. Aim tersenyum. “Gak papa, kamu udah mau dateng sekarang aja aku sudah sennang.” “Jangan marah ya?” Kataku lagi masih merasa tidak enak hati. “Ngapain aku marah sama kamu? Aku gak bisa marah sama kamu…” Katanya lembut, sambil tersenyum lagi. Giliran aku yang tersenyum, tapi tersipu sangat malu dengan gombalannya. Kami berduapun duduk berdampingan dengan beralas karpet hijau alami. Saling diam tak langsung berbicara apa yang ingin dibicarakan. Sebenarnya aku sedikit lebih gugup dari biasanya, perlahan jantungku terasa berdebar lebih kencang, semakin kencang, hingga getaran –getaran kecil mulai merambat hingga ujung –ujung jariku. Aku harap ini bukanlah triknya untuk membuat aku ge-er seperti beberapa tahun lalu. 16 “Sebenarnya…” Kataku dan dia bersamaan tanpa sengaja. Kata itu tak terlanjutkan, hanya tertawa lucu dan malu sendiri. “Silahkan kamu duluan..” Katanya. “Gak abang duluan aja…” “Ladys first…” Aku tersenyum. “Sebenarnya abang ngapain minta aku ketemu disini?” “Ah itu, sebenernya aku…” Cukup susah mungkin untuk dia menuntaskan kalimatnya segera. “Aku harap kamu mau menjawab pertanyaanku dengan jujur ya??” “Waw, pertanyaan apa itu?” “Aku cuma ingin memastikan aja. Apa bener yang Dessy bilang sama aku?” “Apa?” Aku mulai takut, jangan –jangan Dessy bilang macam –macam padanya. “Apa benar kamu juga suka aku?” Pertanyaan itu terdengar malu –malu. Aku terhenyak, tersenyum menahan malu. Oh God! Dessy bilang kalau aku suka sama dia?! Oh no… “Ah itu, a, e, m…” Jantungku semakin berdebar sangat kencang, lidahku juga kelu membuat aku benar –benar kehilangan kata –kata. “Kamu jangan merasa malu gitu ya. Ini cuma aku, aku sangat mengharap kalau apa yang Dessy bilang itu benar. Setidaknya aku gak sedih karena cintaku bertepuk sebelah tangan.” Aku mengangguk memalingkan pandanganku. “Benner?” “Iya…” Jawabku malu. Raut wajahnya nampak jelas kalau dia sangat bahagia dengan anggukanku sebagai jawaban. “Sungguh?” “Iya, aku memang benner suka sama abang. Bahkan mungkin sebelum abang suka sama aku…” “Apa sejak kedipanku dulu?” Aku tersenyum semakin malu. Mengingat hal terbodoh yang pernah aku alami dalam hidupku. Itu pertamakalinya kesalahan fatalku akibat tercekat pada sebuah kerlingan mata. “Kau curang..!” Jawabku tertawa kecil. “Maaf, itu demi reputasi kelasku. Kami semua tahu koq kalau kelasmu itu pentolan tim voli sekolah…” “Hmm, terus kenapa harus kau yang menjalankan tugas?” Aim tak menjawab, ia hanya tersenyum malu. Sunyi sejenak saling tersenyum di benak masing –masing. “Aku minta kamu jadi pacar aku ya?” Kilat aku menoleh menghadapnya. “Ha?!” “Ya aku minta kamu jadi pacar aku. Aku sama kamu, kita, jadian…” Aku tersenyum semakin lebar, jantungku berdetak semakin kencang. Aku gugup, apa ini mimpi? Tidak ini bukan mimpi, karena rumput yang aku raba sangat 17 terasa kasar dan tajam. Hey! Kanpa aku jadi seperti ini?? “Aku gak salah denger bang?” Aim hanya menggeleng. Aku teringat akan perkataan Dessy kemarin di telpon. Aim benar –benar instan! Sesuai dugaannya hari ini dia langsung meminta aku untuk jadi pacarnya. Apa perangkap tepat mengenai dia, atau aku yang masuk perangkapnya? Yang pasti aku senang dan merasa ge-er dengan pernyataan cintanya. “Iya aku mau…” Jawabku perlahan malu. Tak tahan aku memendam masalahku sendirian, karena aku biasa untuk membaginya dengan Dessy kawan terbaikku sejak SD dulu. “Hahahaa!!!” Aku dan Dessy di sebrang sana langsung tertawa terbahak –bahak. Setelah mendengar aku menceritakan semua yang sudah terjadi tadi siang. “Sumpah deh, gak nyangka banget kalau Aim bakalan seperti yang dah kamu bilang kemarin. Wah gak nyangka benneran say…” “Dah entar lagi kamu tinggal tunggu dia bilang “Marry me…!!”” Lanjut Dessy semakin terbahak. “Wah gile lo, jangan dong, jangan sekarang kan aku masih sekolah…” “Duh, gak percuma aku tempa sehari semalaman waktu itu.” “Ditempa gimana?” Tanyaku tiba –tiba penasaran dengan pernyataanya barusan. “Ya aku katain dia begini begitu. Aku bilang sama dia. Kalau dia gak cepet – cepet Ayahmu dah ada calon buat kamu…” Dia menjawab cepat lalu kembali terbahak. “Akhr… sialan lo…” “Ya sialan dikit gak papa dong, yang penting sekarang dah dapet benneran kan…??” “Hem iya sih… eh by the way, kira –kira dia itu serius gak ya? Atau itu cuma trik dia bikin aku tambah ge-er?” “Udah say tenang aja. Aku yakin koq Aim itu emang beneran serius. Justru dia yang masuk sama perangkap mu.” “I hope so…” Sejak siang itu, hidupku lebih berwarna lagi dari biasanya. Sekarang Aim bukan lagi mengirimkan surat merah jambu, tapi sudah jadi pengingatku. Pengingat untuk makan, tidur, istirahat, ibadah, dan lain –lain. Gombal! Itu dulu saat aku belum tahu bagaimana jadi seorang yang sangat diperhatikan oleh pasangannnya. Dulu aku bilang. “Ikh, Norak!” pada teman –teman yang selalu berdialog mesra di telpon bersama kekasihnya. Tapi sekarang, norak sih tapi… biarin aja deh yang penting aku sennang… ***  

Tiga 18 “Chieh chieh, yang baru jadian nih…” Goda Dessy yang tiba –tiba muncul dan menepuk pundakku yang sedang menikmati semangkuk bakso di ujung jalan bersama pangeranku Aim. “Wey! Kemana aja kau?! Lama gak muncul…” Sahutku bersalaman dan cipika cipiki. “Iya kemana aja?” Tanya Aim Juga. Dessy duduk disampingku. “Aku baru balik dari Jakarta.” “Koq gak kasih tahu? Kapan berangkatnya?” “Oma aku meninggal, so dadakan lah pastinya berangkat tiga hari yang lalu.” “Innalillahi wainna ilaihi roji‟un.” Sahutku dan Aim bersama. “Turut duka cita ya…” Tambahnya. “Makasih…” Intro „Its my life, by bon jovi‟ Sepenggalan music barat muncul makin keras memecah keasyikan kami. Ternyata hape Aim yang berbunyi. “Bentar ya ada Teflon…” “Teflon?! Telfon kale…!!!” Seruku dan Dessy serempak dengan tawa. Diangkat telfon itu dan pergi menceri ketenangan suara. “Aduh telpon dari siapa ya sampai menjauh gitu???” Dessy masih terus menggodaku. Aku tersenyum. “Ken Dedes, Ken Dedes! Koq kamu yang repot tuh telpon dari siapa? Biarin aja terserah siapa yang mau telpon lah…” “Lah bukannya curiga malah senyum –senyum…” “Truzz?? Gimana lagi dong? Ya udah biarin aja lah…” “Yeh! Koq gitu sih? Gak takut lepas dari jebakan ne?” “Terserahlah…” “Lho? Waktu itu katamu pengen serius deh. Koq terserah? Kalau di rampok orang gimana?” “Perhiasan kale di rampok?!!!” “Ah gimana sih…” “Masih banyak koq yang lebih kerren dan bagus dari dia. Ya kalau memang dia selingkuh dan gak serius sama aku… yaa good bye…” “Masya‟ALLAH… Aku baru nemuin nih yang begini nih…” “Hahay! Aku gak buta ken, kalau memang dia jelek ya jellek aja. Bahkan kalau temen –temen dia ngatain dia „jelangkung‟ emang iya kalli yaa???” “Jelangkung?!” “He‟em…” Aku menggangguk. Aim kembali. “Sorry lama…” “Gak masalah sih kalau aku, gak tau kalau dia ya…” Dessy menyikutku. Aku dan dia hanya tersenyum malu. “Koq bisa ya?” Heran Dessy. “Apa?” 19 “Kalian berdua jadi…” Senyumku semakin lebar saja. Aku kembali teringat masa SMP dulu, saat pertama aku punya masalah dengan dia, saat kerlingan matanya menggoyahkan konsentrasiku. Sungguh aku tak menyangga semuanya bisa berlanjut sampai sejauh ini. Aku tengok jam tanganku. Sudah tepat pukul lima. “Aku pulang ya?” pamitku dengan nada lembut padanya. “E‟hm! E‟hm...!” Dessy terbatuk batuk. “Aduh, kalau sama dia lembutnya…” “Ah iya deh, aku pulang dulu ya Ken Dedes…” Aku mengelus –ngelus punggungnya. “Hahay! Im! Kog gak diantar pulang sih?” “Backstreet buk,” Sahutku kilat. “Udah aku duluan ya…” Pamitku kembali pada mereka berdua. Aim yang aneh, backstreet bukanlah pilihanku untuk menjalani hubungan dengan dia, tapi itu adalah permohonan darinya. Aku ingin hubungan yang serius dengannya. Awalnya aku memang sekedar main –main. Tapi, aku selalu merasa senang dan tenang di dekatnya. Akupun tidak mau kehilangan seseorang yang sudah memberikan ketenangan dalam hidupku. Lalu kufikir hubungan seperti ini bukanlah untuk main –main. Walau aku tahu banyak pemuda –pemudi jaman sekarang hanya menjalani hubungan sekedar suka –suka dan trend saja. Sementara, dia selalu menghindar dengan jurus seribu satu alasan hingga aku bosan untuk membahasnya lagi. Aku sempat dibuatnya menangis karena aku menolak untuk backstreet. “Apa salahnya sih bang? Aku ingin hubungan kita serius…” Sementara Aim masih bersikeras dengan kemauannya sendiri. “Kalau kamu gak mau ya udah sampai disini aja.” Aku sangat kaget dengan ancamanya itu. “Kau tega bilang gitu…?” Setetes air mataku mulai jatuh. Ya, sejak itu aku mulai berasa menjadi seorang yang cengeng. “Abang sadar? Baru kemarin rasanya abang kirim aku surat merah jambu, lalu sejam kemudian Abang minta aku jadi pacar abang, dan sekarang? Abang ngancam untuk putus cuma karena aku gak mau untuk kita backstreet?!” “Maafin aku Ami. Tapi kita harus lakukan ini setidaknya sampai waktu yang tepat.” Lututnya ditekuk. “Aku mohon sama kamu Mi, aku janji sampai saatnya tepat aku pasti mau untuk datang dan menunjukkan siapa aku pada orang tuamu dan siapa kamu pada orang tua aku…” “Iya tapi kenapa?!” “Tolong Ami, jangan tanyakan itu. Aku gak bisa mengatakan alasannya sama kamu.” Aku pegang tangannya agar ia tak terus –menerus berlutut dihadapanku. Aku peluk dia dengan erat, aku tak mau kehilangan dia yang aku rasa aku mulai menyayanginya lebih dari apapun. Aku tidak tahu kenapa dia minta untuk menyembunyikan hubungan ini dari semuanya, terutama dari keluargaku. Hanya aku, Dessy dan dia sendiri yang tahu, satu lagi, tuhan pasti tahu hubungan kita ini. Entah kenapa, menyatakan cinta hanya duduk 20 santai, tapi memohon untuk backstreet sampai berlutut. ***  

Aku genggam gagang kulkas dan bergerak menarik untuk membuka. Ku comot sepiring coklat cake dengan lapisan coklat leleh yang lezaat sekali. Humm! Aku suka ini. “Adin mau pesta kecil, nanti abis isya‟ Ayah mau antar kita…” Kabar kakakku Emma sambil kesana kemari dengan piring suapan anaknya. “Harus ya?” Sahutku lesu. Mama mencetokkan sendok ke dahiku. “Yang benar saja kamu, itu adik kamu ya harus lah…” Aku menggosok dahiku. “Ah Mama, Ami kan cuma bercanda…” Aku rampas sendok di tangan Mama. “Kamu bercanda terus kapan seriusnya?!” “Kalau bercanda sudah dilarang, pasti Ami akan serius Mami.” Jawabku sambil berjalan meninggalkan Mama menuju kamar. “Ah Ami! Kamu diajakin ngomong bener malah aneh –aneh jawabnya!” Sambung kakakku yang lainnya lagi, Sita namanya. Aku tak perdulikan omongan Kak Sita atau yang lainnya. Aku terus berjalan sambil menikmati lezatnya cake coklat buatan aku, Mama dan ketiga kakakku tadi pagi. Haha! Lezat! Kemudian aku bergegas masuk kamar. Aku menarik gagang pintu untuk dirapatkan sedikit. “Adin ulang tahun mau ikut kak?” Tanyaku pada Kak Hani yang bersantai dengan I pad Apple-nya di atas tempat tidur. “Ya iyalah. Adik sendiri, apa kata Ayah nanti?” Jawabnya tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Aku duduk di bibir kasur, menatapi lesu cake coklat yang mulai terasa hambar. Itu benar, Ayah pasti marah jika tahu anak –anak dan sang Ibu tiri tercinta tak akur. Padahal terkadang sering juga mereka itu membuat kesalahan pada kami tapi itu tidak mendapat penanganan yang serius dari Ayah. Aku mengerti betapa sulitnya menjadi seorang yang harus adil pada dua keluarga. Tapi kata Mama kami semua harus mengalah demi Ayah, dan aku juga pikirkan Ayah yang akan sangat tersiksa dengan perang antara dua kubu dibawah pimpinannya. Hem… Adin, dia anak Ayah dengan ibu tiriku. Umurnya sekarang sepuluh tahun. Ah! Aku malas mau pergi malam ini, tapi aku gak punya alasan buat menghindar dan melarikan diri. “Malas ah kak…” “Sudah tahan sendiri.” “Kakak bawa hadiah?” “Enggak, aku gak punya duit.” “Kalau gitu aku juga enggak ah…” Diam sesaat, “Mau?” Aku tawarkan cake pada kak Hani. Mukanya berlaih. “Ngemil terus! Gimana mau langsing badanmu? Dikit lagi pasti dah kaya balon terbang!” Ejeknya. 21 “Hey! badanku hanya kelebihan bobot sedikit! Dari pada kau kaya tengkorak idup!” Sahutku kesal. “Hirh!” Lekas aku habiskan cake milikku, sementara Kak Hani melepas I padnya. “Ayo, udah setengah tujuh. Entar kamu dimarahin sama Ayah…” “Bentar lagi.” Pikiranku tiba –tiba teringat pada Aim. Kalau saja orang tua aku tahu siapa kamu, mungkin aku bisa ajak kau sekalian buat kumpul sama keluargaku. Sapa tahu itu akan lebih seru. *** 

 “Ma, Nanti kakak jadi kan makan malam disini?” Tanya Adin meletakkan tasnya di kursi. “Bhurrr!!!” Segelas air yang diteguk seketika menyembur. Mama dan Adin menolehi Aim sangat kaget. “Kamu apa –apaan?!” Dengan cepat kepalanya menggeleng. Ia sangat shock kalau ternyata acara makan malam sebentar lagi akan mendatangkan Ami. “Anaknya Om, Ma?” “Iya, Adin yang minta bang.” “Sial! Gimana kalau Ami sampai tahu kalau aku ini abangnya Adin?” Gusarnya sendiri. Kaki itu terus berjalan bolak balik di depan tempat tidur. Jantungnya berdeguk cepat, bintik –bintik air membasahi seluruh dahi dan lehernya sebesar biji jagung. Nafasnya tersengal –sengal seperti habis lari marathon saja. Setelah bertahun –tahun menghindar menyembunyikan diri dari pandangan Ami, kali ini dia tak bisa kabur kemana –mana. Kabar kedatangan Ami dan saudaranya terlambat sampai ditelinga Aim. Sekarang sudah tak punya alasan yang tepat untuk kabur menghilang lagi, karana Mami juga pasti akan marah. “Udah siap, kak?” Tanya Ami yang kali ini malah terlihat ingin cepat –cepat sampai di rumah Adin. “Bentar napa. Tadi aja males sekarang suruh ceppet.” “Iya iya..” Ami keluar dari kamar. “Udah siap?” Tanya Mama. Ami tersenyum berat pada Mama. Setiap kali kerumah Adin, berarti Mama sendirian saja dirumah. Tak mungkin Mama ikut dengan mereka kerumah Adin bukan? “Iya Ma… tenang aja Ma, kita gak bakal pulang terlalu malam koq…” “Iya iya…” Tujuh nol nol, jam dinding sudah tepat. Semua sudah siap untuk berangkat, by mobil jazz hitam milik Ayah, Ami dan yang lain langsung melaju sampai di rumah besar yang ditinggali sang ibu tiri. Tujuh menit perjalanan tak memakan waktu lama, sampai juga akhirnya. Rupanya ini pesta yang lumayan besar. Yaa walau hanya syukuran makan. Setidaknya bukan hanya Ami dan kakak –kakak tapi juga Aunty dari Ayah serta sepupu yang lain. Untung saja kedatangan mereka tak terlalu terlambat. 22 Deretan aneka hidangan sedap menggugah selera telah tertata sangat rapih berkat bantuan helper, Ami dan kakak yang lain. Saatnya makan! Mereka semua sudah bekumpul di ruang makan. Dan Atun! Maaf, namanya Fajrin, hanya kesal dengan tingkahnya dulu jadi Ami dan kakaknya memanggil lelaki itu dengan sebutan Atun. Dia anak sulung Mami dengan suaminya yang terdahulu. Mami terlihat sedikit kesal. “Ada?” Tanya Mami pada si Atun, eh! Fajrin maksudnya. “Sebentar lagi Ma, masih sibuk katanya.” Jawab si lelaki yang tak terlalu tampan itu. “Aduh, aneh –aneh saja si Bram itu!” Kesal Mami. “Ini mau mulai tapi dia malah terlambat. Sana panggil dia lagi!” Sesuai perintah sang Ibu, Fajrin kembali menaiki tangga memanggil Adiknya yang masih bersemedi di kamar penuh kegelisahan. Ami mendekat pada kak Hani yang duduk tepat disampingnya. “Bram? Siapa?” Bisiknya pelan. “Masa gak tahu? Namanya Ibrahim anak kedua Mama.” “Ibrahim?” Kak Hani hanya menggangguk dan kembali bicara dengan Mami dan yang lainnya. Ibrahim? Sungguh persis dengan nama Aim, apa mungkin yang dimaksud benar Aim? Mukanya Atun rada mirip sama Aim. Ah! Mungkin hanya pikirku saja. Bisik Ami dalam hati. Hatinya tak berhenti gusar penuh rasa penasaran dan curiga. Selama bertahun –tahun belum pernah Ami mendengar dan melihat anak Mami yang bernama Ibrahim atau Bram itu. Yang ia tahu Mami hanya memiliki seorang anak bernama Fajrin, dari suaminya yang pertama, dan Adin anak Mami dengan Ayah. Hanya dua tak ada yang lain. TOILET! Akh! Ami mulai gelisah dengan sikap duduknya. Segera ia menemui Mami dan permisi untuk ke kamar mandi. “Yang deket dapur sedang gak ada airnya, kamu kedalam saja. Di kamar anak – anak saja.” Kata Mami. “Ah iya Ma.” Sahut Ami, terburu –buru. Ah masa mau bucil alias buang air kecil aja harus naik tangga panjang sih?! Keburu bocor nih! Aneh –aneh aja. Ini jadi pertamakalinya Ami untuk naik ke lantai dua, mana ia tahu letak kamar mandi mereka. Ami jarang sekali berkunjung kesini selain untuk mengantarkan sesuatu untuk Mami, atau sekedar bersilaturrahim yang duduk di sofa tamu. Iapun melihat Fajrin yang sedang mengetuk pintu kamar. “Bram! Ayo cepet ditunggu Mama!” Katanya sesekali menekan nadanya. “Misi Bang, kamar mandi yang bisa aku pake dimana?” Ami menyela. “Disinia aja Mi, Bentar lagi orangnya keluar koq.” Jawabnya. Tak lama pintu kamar itu terbuka. Tiba –tiba saja tubuhnya terasa seperti hendak membeku seketika. Tanpa sadar tangannya perlahan melayang menunjuk pada seorang lelaki yang tak lain adalah Aim, Ibrahim Imran kekasihnya. 23 “Aim?” Panggil Ami kaget dengan raut yang tak jelas. Disana Aim malah tertunduk. “Iya Ami.” Itu benar pangeran Ami yang menyahut. Ami sungguh terbelak melihatnya. Selama bertahun –tahun bolak –balik kemari belum pernah Ami melihat seorang Aim ada disini. Ternyata dia adalah saudara tiri Ami seperti Fajrin?! Ya TUHAN! Kenapa jadi seperti ini? Geraknya sedikit kikuk sekarang, tapi Ami terus berusaha mencairkan shocknya. “Gak ngumpul? Dari tadi udah ditungguin, Mama sama atun. Eh! Fajrin maksudnya.” Basa –basi Ami menghindari gugup karena shock berat. “Iya sebentar lagi aku kesana.” Katanya dengan rupa berat. “Kamu mau kemana?” “Aku mau ke kamar mandi dulu.” Jawab Ami. “Udah Mi, pake aja disitu.” Suruh Fajrin. “Ada tempat lain?” Ami tak berkenan masuk ke kamar Aim, jadi ia menghidar. “Kalau kamu gak mau ya udah, kamu pakai kamar mandi yang di ujung jalan, belok kanan.” Ami manggut saja dan meninggalkan mereka. Aim?! Apa dia sudah tahu kalau aku ini memang anak dari Ayah tirinya sekarang? Apa mungkin alasan untuk backstreet adalah ini? Dan sekarang?! Tentu hatinya sangat perih dirasa, mengetahui sebuah kenyataan yang tak sanggub untuk diketahuinya. Ya Tuhan, aku tak mungkin terus berhubungan dengan dia. Itu sama saja aku pacaran dengan abangku sendiri, Aim, saudara tiriku. Argh! Sial! Dunia ini terlalu sempit buatku. Tidak adakah pilihan lelaki lain yang jauh lebih berharga di hati ku, yang halal untuk aku cintai?! Deretan makanan yang dikira sangat sedap tadi, kini tak sedikitpun bisa menembus selera makan Ami yang sudah mati kecewa. Di sana, tepat dihadapannya, Aim hanya diam tertunduk tak sedikitpun memandang Ami. Mama! Hatiku sakit, aku ingin segera berlari dari tempat ini. Aku ingin pergi jauh Ma! Teriaknya dalam hati. Air matanya jatuh juga. Bantal, guling, kasur tidur, semua terasa keras! “Belum tidur Mi?” Tanya Kak Hani di tengah sadarnya. “Belum kak…” “Ayo tidur, besok mau sekolah…” Lanjutnya kemudian tak berisik lagi. Apa yang harus aku lakukan? Bip, bip, bip! Hapenya berbunyi, ia raih ponselnya di nakas, ternyata ada sMs dari Aim. “Met bobo, jangan lupa baca do‟a. besok aku tunggu di tempat biasa ya??” Katanya dalam sMs itu. Balas? Gak? Balas? Gak? Argh! Pusing, tidur aja lah… ***  

Empat 24 Kringggg!!! Aku tarik bantal, ku sumbatkan ke telingaku yang tak tahan lagi dengan suara bising yang terus berdering tanpa henti. “Ami! Ayo bangun Mi! udah jam enam seperempat Dek!” Kak Hani menarik selimutku. Aku tarik kembali selimutku. “Aduh dingin kakak…” “Heh?! Kamu mau sekolah apa enggak sih?! Ayo bangun.” “Lima menit lagi aku bangun, kak.” Jawabku tapi semakin menarik selimut menutupi seluruh badanku yang mulai terasa dingin. “Sudah lima menit lewat! Ayo bangun!!!” Kak Hani menggelitikku. Aku kalah! Aku benci digelitik. Berjalan dengan mata terpejam menuju kamar mandi. Ah Howay! Ngantuk! Perlahan aku buka mataku. Lho?! Koq buminya kebalik? Dan Gelap! “Biar nanti Ayah yang antarkan surat izin sakitnya Ami.” Perlahan aku buka mata melihat Mama sedang duduk di meja belajarku dengan pulpen yang menari ditangannya. “Ma pusing.” Keluhku. “Iya kamu tidur saja, jangan sekolah dulu.” “Iya Ma.” Hem! Aku akan berbaring sepanjang hari diatas tempat tidur ini. Kenapa aku? Semalam aku masih sehat –sehat saja, ada yang salah dengan diriku. Krang! Kring! Kruung! Hehe, hapeku ada telpon ternyata. Astaga! Aim yang telpon. Bimbang aku harus angkat atau biarkan saja ya? Sudahlah kasihan juga dia.. “Halo?” Aku jawab telponnya. “Halo. Kamu kenapa?!” Katanya dengan suara yang cukup cemas. “Waalaikum salam.” Sahutku santai. “Ah Maaf, Assalamualaikum.” “Waalaikum salam, memangnya anjingnya berapa ekor?” Godaku. “Anjing?” Heran Aim di seberang sana. “Aku kira kamu di kejar anjing, sampai tak kasih salam.” “Ah Ami, aku khawatir sama kamu. Dessy bilang kamu gak masuk sekolah. Kamu kenapa?” Tanyanya memelan. “Aku gak papa, aku cuma pusing biasa. Demam, yaa penyakit anak kecillah…” “Udah ke dokter? Yang namanya demam itu harus diwaspadai Ami…” “Udah, kamu gak usah khawatir gitu, masih ada Mama dan Ayahku yang lebih mencemaskan anaknya.” Aku memotong kegelisahannya. Oh God, berucap manis, lembut, dan pelan penuh rasa sayang dilarang antara aku dan dia. Seharusnya sudah tak boleh aku lontarkan pada dia, Aim itu abang ku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku langsung minta putus saja? Tapi gak enak kalau lewat telpon, dan ini juga terlalu cepat aku rasa. “Udah ya, aku mau tidur dulu. Mau istirahat kepalaku mulai pusing lagi nih.” “Iya, kamu banyak istirahat ya. Cepet sembuh ya sayang.” Pesan Aim dengan 25 nada khas rayuan manisnya. “Makasih.” Tit! Telpon mati dan aku letakkan kembali di nakasku. Aku menghela nafas berat. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa hatiku sakit saat aku mengetahui ini semua? Kenapa aku mulai merasa berat untuk kehilangan dia? Tak seperti niatku awal hanya ingin membuat dia merasakan Ge-er seperti yang pernah aku rasakan, yang akan mencari seseorang lagi sebagai pengganti dirinya suatu saat nanti. Rasanya itu tidak akan berlaku lagi sekarang. “Cepat sembuh ya sayang, aku harap kamu mengerti aku tak mungkin datang untuk menjenguk kamu. Dan aku tahu kamu mengerti alasan kenapa aku ingnkan untuk merahasiakan semua ini…” Itulah yang selalu di lontarkan dalam sMs maupun bicara di telpon selama dua hari ini padaku. “Kamu kenapa, Mi? Tumben kamu sakit gak ada sebab?” Tanya Kak Hani yang sedang mengerjakan tugas di laptopnya. Aku menggeleng. “Emang sakit gak ada sebab? Aku gak tau kenapa aku sakit, yaa kalau Tuhan mau hambanya sakit ya sakit, kakak…” “Pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan? Kakak tahu benar jenis sakit kamu dan penyebabnya.” “Hallah! Kakak kaya doketer aja, SOTO!” “Yeh enakan RAWON lah!” Satu kata itu ditekannya dalam –dalam. “Ya tau lah, aku ini kan kakak mu sejak tujuh belas tahun yang lalu kamu lahir kedunia ini.” Aku menghela nafas panjang. “Kamu itu kenapa sih, Dek? Seperti orang tua yang sedang memikirkan masalah rumah tangganya aja. Ruwet!” “Emang wajahku ruwet gitu?” “Sangat!” Sahutnya kesal. “Ami, Ami. Kamu itu setiap ada masalah langsung jatuh sakit, sekarang kamu cerita biar kamu cepat sembuh kembali. Ingat udah dua hari kamu gak sekolah, besok gak mau sekolah lagi?” Aku memang ada masalah kak, dan maaf aku gak bisa curhatin masalah yang satu ini sama kakak. “Aku cuma capek sama tugas sekolahku kakak, memangnya aku sakit harus punya masalah ya?” “Ya gak sih…” “Ya udah jangan korek aku lagi.” Aku berbalik membelakanginya dan memejamkan mataku. Mataku memang terpejam, tapi pikiranku masih tak terhenti yang terus berjalan tanpa arah. Aim! Aku harus gimana? Aku sudah tak tahu harus berkata apalagi sekarang, kenapa aku mulai menyesali semua yang telah ditakdirkan seperti ini. Ah! Kenapa sih dulu Mami kegenitan minta nikah sama Ayahku dulu?! Jadinya kan kita yang jadi korban! ***  
Badanku masih tak terlalu sehat untuk masuk, tapi mau bagaimana lagi aku tidak mungkin sakit sampai berhari –hari hanya karena masalah tak penting seperti ini. 26 “Ami!” Dessy memanggilku yang baru melangkah masuk gerbang sekolah. “Hey! Apa Des?” “Udah sembuh?” “Iya…” Aku tersenyum. “Mi, Aim telpon aku panjang lebar kemarin.” “Terus?” “Katanya kamu gak balesin sms dia ya? Kalau di telpon juga jarang di jawab katanya.” “Owh, terus?” “Aduh koq terus aja sih?!” Aku menaik turunkan bahuku. “Dia minta aku tanya kamu, kenapa kamu begitu?” Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan menuju kelas dengannya sambil menceritakan semua kekecewaanku. Sakitnya mengetahui siapakah Aim sebenarnya. Nampaknya Dessy tak terkejut dengan itu, justru aku lah yang terkejut ternyata Aim sudah menceritakan semua padanya dan meminta untuk tidak membocorkan padaku hingga akhirnya aku telah tahu sendiri. “Aku minta maaf Ami…” Sesalnya. Dengan tatapan bersalah memandangku. Aku melepas tas dan meletakkannya di atas mejaku. “Gak papa Des, kamu menjaga rahasia yaqg diamanatkan Aim. Dan aku hargai itu.” “Makasih ya. By the way, kalau kamu seperti itu namanya melarikan diri dari masalah dong...” “Aku gak tahu harus gimana Des, aku takut…” “Ayolah Ami, apa yang harus kamu takutkan? Jangan jadi seperti seorang pengecut yang lari dari tanggung jawabnya. Ya emang bukan berarti kamu pengecut sih, tapi ini kenyataan yang harus kamu hadapi sekarang. Kalau aku yang selesaikan masalahmu ini adalah salah. Aku gak boleh ikut campur kan? Ini masalahmu dan dia. Kamu harus segera selesaikan semuanya…” Aku terdiam menundukkan kepalaku yang terasa semakin berat saja. “Jangan bilang kamu udah jatuh cinta sama dia, Ami?” Tatapnya curiga. Aku terhenyak. Benarkah aku telah jatuh cinta? Inikah cinta? “Kamu takut kehilangan Aim ya? Rasanya kemarin aku mendengar kamu gak perduli kalau dia pergi, benar bukan?” Aku tersenyum. “Masih ingat saja kamu.” “Ami, Ami, jangankan nanti, sekarang saja kamu sudah kehilangan Aim. Yaa walau semua itu terjadi karena aku yang terlalu aman menyimpan rahasia.” “Sudah lah Dess, mungkin ini dah jalan yang Kuasa buat kisah hidup aku.” “Iya sih, kamu yang sabar ya? Yang kuat, walau takdir menyatakan Ibrahim Imran itu adalah abang tirikamu, kamu harus bisa menghadapi semuanya, selesaikan, dan jangan terus menghindar dari dia. Selesaikan segera dan ya selesai.” Dessy benar, percuma aku terus bersikap seperti ini. Aku harus segera temui dia dan menyelesaikan semua yang memang perlu diselesaikan. Sekarang yang harus 27 aku lakukan adalah bertemu dengannya. Tapi aku takut Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk berhadapan dengan dia terakhir kalinya. ***  

Suara gemuruh langit yang semakin meggelap, membuat jantungku semakin mengerut rasanya. Sudah lebih dari seperempat jam aku menunggu kedatangannya. Ibrahim Imran, seorang lelaki yang ada dihatiku saat ini tak kunjung muncul. Aim?! Kemana kamu? Jangan buat aku menunggu lama. Bip bip bip! “Ayo pulang, bentar lagi hujan. Jangan lama –lama…” Itu sms dari Mama. Mungkin aku memang sebaiknya segera pulang. Lalu Aim? Itu urusan gampang, dia pasti mengerti dari pada Mama dan tiga kakaku yang akan mengoceh sepanjang hari tujuh kali seminggu. Walau cuaca mendung, tapi hari ini hari yang sangat melelahkan. Sejak pagi aku beraktifitas penuh di sekolah. Hingga badanku rasanya lengket sekali dengan keringat. Aku menyambar handuk yang menggantung di luar pintu kamar mandiku, dan lalu masuk untuk mandi menyegarkan diri. “Ami! Hapemu bunyi!!” Teriak Kak Hani padaku yang sedang mandi. “Iya biarkan saja!!” Sahutku berbalas teriakan. Segar! Beberapa menit kemudian aku keluar. Alisku mengernyit, heran melihat kak Hani yang duduk di bibir kasur dengan handphoneku lekat ditelinganya. Raut mukanya juga tak sabar, dia seperti mendapati sebuah kabar buruk. Siapa yang telpon? Apa yang terjadi? Biasanya ia tak pernah perdulikan aku dapat telpon maupun sms dari siapapun. Aku mendekat padanya. “Kak Hani? Koq hapeku dipakai? Siapa yang telpon?” Tanyaku heran melihat kak Hani duduk dengan alis bersatu. Ia membuang hapeku ke kasur dan berdiri tepat dihadapanku. “Kenapa kak?” Aku semakin heran saja. PlaaAST! Sebuah tamparan aku terima darinya. “Kak? Kenapa kakak nampar aku?” Tanyaku tak tahu sambil menyentuh bekas tamparan yang sangat terasa perih dam sakit. “Kamu pacaran sama Ibrahim?! Iya?” Bentaknya. Ya Tuhan, jangan –jangan barusan yang telpon itu Aim. Memangnya apa yang mereka bicarakan? Apa yang harus aku katakan padanya? “Jawab!” Bentaknya membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk pertanda ya. “Sungguh keterlaluan kamu! Kau tahu sendiri bagaimana kerasnya ayah, tapi kamu masih saja berani main api! Parahnya lagi sama Ibrahim! Kamu sadar apa yang udah kamu lakukan Ami?” “Maaf kak…” “Kamu tahu siapa Ibrahim itu?!” Aku mengangguk. Setetes air mata mulai jatuh di pipiku. “Keterlaluan! Dimana kamu taruh otak kamu untuk mikir ha?! Sudah tahu dia itu abangmu sendiri masih kamu pacari. Apa kata orang yang tahu nanti ha? Kamu gak 28 mikir itu?!” “Ami gak tahu kalau Aim itu anaknya Mama kak…” “Ya sekarang kamu sudah tahu kan?! Masih mau lanjut? Mau terus? Mau nerobos semuanya ikuti nafsu pikiran kamu?!” “Maaf kak…” “Ya pastilah kata itu yang akan kamu lontarkan. Tapi maaf itu bukan buat kakak, tapi buat orang tuamu. Sadar? Pernahkah kamu berfikir bagaimana perasaan Mama jika mengetahui hal ini?!” “Jangan kak. Aku mohon jangan sampai yang lain tahu tentang ini. Aku tahu aku salah, dan aku akan selesaikan ini semua secepatnya. Aku sadar aku tak boleh seperti ini kak…” Tangisku semakin menjadi menyesali semuanya. “Ibrahim Imran itu abang kamu sendiri Ami! Seperti Kak Hani kakak kamu ini!” Tekannya. “Iya kak…” Jawabku tak kuasa menahan isak tangis. “Takdir sudah begini, jangan kamu mencoba sekalipun untuk mengelak dari takdir yang sudah ada. Apalagi masih ada hukum yang harus kamu patuhi Ami.” Lanjutnya dan kemudian pergi keluar kamar. Hatiku sakit, aku berlutut dengan derai air mata penyesalan atas apa yang sudah menimpaku saat ini. Aku tak kuasa apapun, perasaan ini sungguh sulit aku kendalikan. Aku sadari aku telah salah, harusnya dari awal aku berfikir dan curiga atas apa yang sudah dia lakukan padaku. Sekarang sungguh sial nasib percintaan aku, giliran cinta pertama harus pada seorang yang salah. Aku menarik nafas dan membuangnya dengan pasti, sepasti langkah kakiku menuju rumah Dessy. Aku butuh petunjuk dari dia, sebagai guru cinta dan sebagai penanggung jawab telah mencomblangkan aku dengan Aimku. Langkahku melambat, saat terdengar suara deru deram motor besar tepat dibelakangku memelan. “Ami!” Panggil seseorang dari arah belakangku yang sedang berjalan. Aku hanya menghentikan langkah tanpa menoleh. Aku tahu suara itu adalah suara Ibrahim Imran. “Ami tunggu!!” Katanya lagi sesegera mungkin mematikan motor dan turun dari situ. “Kamu itu kemana Mi? aku pikir kamu sudah sampai, ternyata kamu malah gak datang…” Lanjutnya berdiri di hadapanku. “Aku datang tapi kamu yang gak datang.” Aku memalingkan wajahku. Aku tak mau melihat rupanya yang pasti membuat hati ini semakin sakit. “Sorry kalau aku harus terlambat. Tapi kamu kenapa?” “Kamu telpon aku kan?” “Iya, tapi yang angkat Hani, bukan?” “Dia sudah bicara apa saja sama kamu?” “Dia tidak membicarakan apapun. Aku hanya menanyakanmu dan dia menjawabnya.” “Lalu kenapa dia ta…” Aku terhenti. Aku baru ingat kalau nomornya di hapeku aku beri nama „Sayangku Aim‟ pantas saja kak Hani berani angkat telpon itu. Aduh 29 sungguh bodohnya aku! “Kenapa?” “Ah sudah! Aku mau kita putus!” Tegasku kemudian berbalik hendak meninggalkan dia. “Ami gak!” Sahutnya lekas menarik tanganku menghadapnya lagi. “Gampang banget kamu bilang putus. Kenapa kamu mita putus, ha?” Wajahnya seperti disambar petir. Aku tahu dia sangat terkejut dengan kataku barusan. “Jangan bodoh, tanpa kata putus saja memang seharusnya kita gak ada hubungan apa –apa.” “Jadi kamu mikir gitu? Sudah aku duga kamu pasti mikir begini. Dalam tubuh kita gak ada darah yang sama mengalir, Ami! Jangan perdulikan mereka, biar mereka dengan pikirannya sendiri. Aku tahu, pasti kakak –kakakmu sudah ngomong macam – macam kan?!” “Yang mereka katakan hanya satu dan itu benar! Ibrahim Imran adalah abang tiri Amita, dan tidak boleh ada hubungan selain persaudaraan diantara keduanya! Mereka benar, hanya aku saja yang bodoh sudah kemakan semua alasan dan gombalan kamu!” “Kamu jangan ngomong gitu Ami! Aku sayang sama kamu…” “Percuma! Kalau kau memang sayang sama aku harusnya dari awal kau katakan statusmu yang sebenarnya! Bukan merahasiakan sampai terjadi semuanya seperti ini. Cukup aku minta ini terakhir kalinya kita ketemu seperti ini. Jangan pernah temui aku lagi!” “Aku tetap gak perduli sama omongan kamu itu! Aku sayang sama kamu dan aku yakin betul kamu juga sayang sama aku!” “Aim cukup! Jangan ingkari takdir yang sudah ada. Kamu dan aku harus terima itu!” “Takdir apa?!” “Takdir kalau kita ini saudara…” “T.I.R.I Mamaku, bukan Mamamu, Ayahmu, bukan Ayahku. Dengar? Kau dan aku, kita bukan saudara!” “Pernahkah kamu mikir kalau Agama itu tidak menghalalkan cara kita?” “Agama yang mana?! Aku tak pernah mendengar agama kita melarang hukum seperti itu.” Aku terdiam, aku memang tidak tahu apapun tentang hukum yang aku bicarakan sekarang. “Hukum yang mana melarang hubungan kita ha?! Bilang sama aku, aku sendiri yang akan hancurin hukum itu!” “Aku bilang cukup!” Kataku tak kuat lagi, air mata yang sejak tadi aku bendung akhirnya jebol juga. Aku tatap dua matanya lekat –lekat. “Jangan desak aku seperti ini. Aku memang gak tahu tentang hukum. Tapi aku tahu hubungan kita memang dilarang…” “Kamu sangat ingin kita akhiri semua?” Aku hanya menggangguk. 30 “Okay, kalau kamu kita akhiri ini semua, kamu harus penuhi satu syaratku.” “Apalagi?” “Kamu harus temukan satu hukum yang memang pasti melarang hubungan kita ini. Kalau kamu bisa temukan dalam waktu tiga ratus enam puluh lima hari, okay aku akan terima itu. Tapi kalau kamu gak bisa temukan dengan pasti tanggal dua tujuh juli dua ribu sepuluh tahun depan, aku akan langsung membawa kamu menghadap orang tua kita.” Pintanya dengan penuh keyakinan. Aku tak lekas menjawabnya, aku terdiam dan berfikir. Mampukah aku menerima dan melakukan syarat itu? Bagaimana kalau aku mampu? Dan bagaimana juga bila tidak? Ya Tuhan apa aku harus menerima syarat ini? “Selama tiga ratus enam puluh lima hari, jangan panggil aku dengan sebutan sayang. Jadilah seorang abang tiriku sesungguhnya…” “Itu gampang, aku akan lakukan syaratmu juga...” Katanya sambil menjulurkan tangannya. “Deal?” “Deal…” Aku menyalaminya. Bagaimana ini apa aku mampu? Dari mana aku harus memulai mencari jawaban ini semua? Sulit bagiku untuk menemukan satu hukum agama yang pasti. Di dunia ini terlalu banyak ulama yang berpendapat dengan pendapatnya masing – masing. Tentu saja itu tidak akan menghilangkan kebingunganku nantinya. ***  

Lima,, Soreku yang kelabu. Walau sinar matahari yang semakin kebarat masuk kaca rumah tapi tak bisa masuk hati dan pikiranku yang gelap ini. Huh! Aku mulai bosan dirundung tugas yang aneh ini. Mungkin ini soal mudah, tapi sangat jauh untuk mencari jawaban. Hanya soal matematika yang bisa menemukan jawaban pasti, bukan agama yang hanya diperdebatkan oleh ulama –ulama. Ya Tuhan kuatkan aku… Aim, Ibrahim Imran… Dear Aimku sayang…. Sejujurnya aku merasa sangat kecewa sekali sama kamu. Atas apa yang udah kamu lakukan dari awal tak sebanding dengan kenyataan menyedihkan yang aku temui sekarang. Apa yang bisa aku lakukan? Selain mencari jawaban selama setahun agar aku bisa memastikan diri ini apa kita pantas untuk bersama atau bahkan tidak sama sekali… Sampai saat ini aku hanya dapat tuliskan surat kekecewaanku yang tak perlu disampaikan pada Aim diatas selembar kertas dalam dairy ku. Ah Ya Tuhan, kenapa setengah perjalanan hidupku seperti ini sekarang. Adakah hal lain selain cinta yang lebih pantas untuk aku fikirkan? Aku rentangkan tubuhku hampir memenuhi tempat tidur. Sejenak memejamkan mata berusaha untuk menenangkan emosiku yang semakin tidak 31 menentu. Sampai akhirnya aku merasa perutku mulai memainkan not –not fals. Aku lapar, akupun beralih menuju dapur mencari sesuatu yang mungkin dapat menyumpal bunyi perutku sampai waktu makan malam nanti. “Tadinya Ayah berniat jodohkan Hani sama Fajrin…” Kata Ayah dengan secangkir kopinya di meja makan. Aku menghentikan gerakku seketika. “Memang boleh?” Tanyaku pelan. Aku lanjutkan kembali memasang tomat dan selada diatas roti burger bikinanku. “Itu dia masalahnya, Ayah juga bingung, setau Ayah boleh tapi orang bilang gak boleh. Ah kebetulan besok ada pengajian biar besok Ayah tanyakan sama pak Ustadz.” Aku tersenyum. Ide yang bagus Ayah. Nanti kasih tahu aku juga Yah jawban yang Ustadz katakan. Setidaknya untuk sebuah awalan aku dapatkan satu sumber. Sekarang tinggal tunggu jawaban besok saja. Masih kurang aku harus cari lagi sumber yang lainnya. Aku harus cari lebih banyak, agar aku tahu siapa yang benar dan membuat hatiku semakin yakin akan kebenaran itu. Tapi, perasaanku ragu, seperti ada hal lain yang membebani hatiku. Rasanya sungguh takut kalau aku justru menemukan bahwa diantara aku dan dia boleh –boleh saja bersama, tak ada larangan.. Kali ini aku tak punya kerjaan lain selain duduk sendiri di kamar, menulis, merenungi semua yang terjadi pada diriku. Tak ada Kak Hani yang bisa aku ganggu, tak ada Aim juga yang biasanya mengganggu aku dengan semua kegombalannya. Telpon, sms, dan surat merah jambu. Abang… Hati ini bilang aku mulai merindukanmu. Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan cinta? Perasaan senang yang sangat indah, tapi sedih, perih dan sakit untuk kehilangan? Ibrahim… Aku gapai handphoneku yang bersantai di dekat bantal. Aku buka sebuah foto dari gallery memoriku. Itu foto pertamaku dengan dia saat kencan ketiga di pinggiran sungai yang sama seperti awal pernyataan cintanya padaku. Mungkin itu sekitar dua bulan yang lalu. Setetes air bening jatuh dari sebelah mataku. Hatiku sekarang seperti ditusuk sejuta jarum, seperti di cabik –cabik, seperti disiram air keras. Sungguh aku tak kuat menahan semuanya sendirian. Ku sentuh tanda close agar aku tak lihat gambarnya lagi, karena itu akan membuat pikiranku menggoyah tak karuan. Tapi… aku sangat merindukan dia. Aku tak kuasa, yang bisa ku lakukan hanya menangis sendiri meratapi kenyataan kekecewaanku. Bib Bib Bub Bab! Sms aku terima. “Sudah tidur?” Rupanya di jauh sana Aim juga tengah memikirkan aku. Balas atau tidak ya? Tapi aku ingin menanyakan kabarnya. “Belum…” Balasku. Ya Tuhan, aku ingin sekali mendengar suaranya. Aku ingin dia memanggilku dengan kata sayang lagi. Krang! Kring! Krung! Astaga! Apa aku sedang bermimpi? Baru saja aku ingin dengar suaranya sekarang dia sudah langsung menelponku. Jantung ini rasanya mau copot, debarnya 32 terlalu kencang. “Ha, ha, hallo…?” Jawabku gugub. “Assalamualaikum Ami…” “Waalaikum salam…” Sunyi sesaat. “Ada apa?” Tanyaku memulai. “Apa kabar?” “Aku baik, kau sendiri?” “Aku baik juga, terimakasih kamu menanyakan kabarku.” “Sama aku juga…” “Udah malam kenapa masih belum tidur?” “Belum terlalu ngantuk.” “Owh…” Perbincangan itu terlalu basi, durasi hanya terbuang oleh diam dan pertanyaan –pertanyaan yang tak penting. Tapi aku senang karena aku bisa mendengar suaranya lagi. “Besok sepulang sekolah aku jemput ya?” “Ah jangan, jangan jemput aku…” “Kenapa? Jangan bilang kamu menghidari aku.” “Tidak, tapi aku sudah punya janji dengan Dessy, besok ada belajar bersama.” “Owh ok, aku percaya.” Kembali sunyi… “Ami…” “Iya?” “Apa kamu memikirkan yang apa yang aku pikirkan?” “Memangnya kau mikirin apa?” “Aku sedang memikirkan hukum kita. Aku harap tidak ada hukum yang melarang hubungan kita.” Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Aku tak ingin berharap lebih atas apa yang tidak jelas saat ini. Aku tak mau kalau nantinya aku juga harus sakit hati, bakhkan lebih sakit lagi. “Sudahlah jangan bahas itu. Ini sudah malam. Aku harus tidur…” “Okay… met tidur, have a nice dream…” “Makasih, you too…” *** 

 “Assalamualaikum warohmatullahi wabarohkaatuh.” Salam seorang guru yang baru akan memulai pelajaran siang ini. Serempak semua murid menjawabnya. “Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh…” “Hari ini kita akan memasuki bab baru dalam pelajaran Agama islam.” Aku membuka lembar demi lembar halaman buku pelajaran agamaku. “Bab enam, Munakahat….” Sangat kebetulan sekali, bab ini mempelajari tentang pernikahan. Salah satu 33 materi yang dibahas hari ini tentang Mahram yang halal dinikahi. Panjang lebar Pak Amin menjelaskan semua yang wajib diperhatikan dalam menuju pernikahan. Mulai dari pemilihan calon pasangan pengantin, hingga sikap yang dilarang saat menempuh bahtera rumah tangga. Satuhal yang sangat menarik dipikiranku. Itu tentang Mahram yang halal dan yang dilarang untuk dinikahi. Semua itu tertuang dalam Al-Qur‟an Surah An-nisa Ayat : “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Aku coba resapi dan mencerna semua pengertian yang tersirat dalam ayat itu. Hingga sebuah pertanyaan muncul di benakku. Aku acungkan tanganku segera. “Ya Ami?” “Saya mau tanya pak…” “Silahkan. Sapa tahu mungkin setelah ini Ami akan menikah.” Sahut pak Guru sembari melontarkan lelucon yang membuat aku sangat malu. Teman –teman sekelaspun menertawai aku. Santai saja lah. “Bagaimana pak jika menikahi saudara tiri kita sendiri? Anak dari Ibu tiri atau Ayah tiri dengan suami atau Istrinya yang terdahulu?” Tanyaku sungguh –sungguh. Pak guru tersenyum tapi senyumnya seperti memberatkan sesuatu. “Yaa kalau itu, pertanyaan yang cukup menarik Ami. Apa kamu menyukai saudara tirimu?” Aw! Kenapa mata –mata mereka semua tertuju padaku karena pertanyaan itu. Aku tersenyum sedikit tegang. “Ya bukan begitu pak, yang saya tahu di luar sana ada sebagian masyarakat yang berfikir kalau menikah dengan saudara tiri itu boleh dan ada yang menganggab itu tabu. Sedikit butuh pencerahan Pak…” “Ah yayaya… baik, seperti yang tertuang dalam surah annisa ayat dua puluh tiga. Disana sudah dijelaskan siapa –siapa yang dilarang untuk di dikahi. Yang dimaksudkan adalah Mahramnya. Menikahi saudara tiri, anak dari Ayah tiri atau Ibu tiri dengan suami atau istrinya yang terdahulu. Itu tidak termasuk dalam mahram yang disebutkan. Berarti, boleh dinikahi…” Aku mengangguk –angguk mengerti. “Dalam ilmu biologi, diantara dua anak itu memiliki Ayah dan Ibu yang berbeda asalnya, berbeda darahnya. Maka tidak akan menimbulkan penyakit pada keturunan 34 yang dihasilkan nantinya…” “Jadi halal begitu pak?” “Iya, halal. Hanya sajaaa… Masyarakat yang tidak mengerti biasanya menganggap hal seperti itu adalah tabu. Dan ada juga yang berfikir kalau „anaknya minta cerai, orang tuanya gimana?‟ itu namanya saling tarik –menarik antara masalah anak dan orang tua, jadi sebagian mereka berfikir, „yaa janganlah begitu…‟” Aku manggut –manggut. Kali ini aku benar benar mengerti penjelasan pak Amin. Dan pemikiran orang seperti itu benar, kalau anaknya yang bermasalah orang tuanya yang sudah harus berbuat sebijaksana mungkin. “Kalau masalah seperti ini menimpa saya, saya lebih memilih tidak saja.” “Kenapa pak?” Tanya seorang kawan. “Ya, karena saya sudah menganggab mereka adalah saudara saya. Apalagi itu merupakan hubungan yang terlalu dekat buat saya.” Hubungan segitu terlalu dekat? Lalu antara aku dan Aim, kami berdua sudah terlalu jauh. Kalau saja aku tahu dari awal kalau kenyataan yang sebenarnya seperti ini mungkin aku lebih memilih menghindarinya. Oh GOD, kenapa jadi serumit ini? Oh ya, aku teringat pada Ayah yang akan menanyakan hal ini pada Ustadz di pengajian. Yaa, walau sebenarnya tidak perlu bertanya pada Ayahpun aku sudah tahu yang seharusnya. Aku temui Mama di dapur yang sedang menyipakan makan siang untuk kami semua. “Gimana Ma, Ayah tanya sama pak Ustad tentang kak Hani sama Fajrin?” Tanyaku sok perduli dengan keduanya. “Ustadznya sedang sakit katanya, jadi pengajian kemarin ditunda. Memangnya kenapa?” “Ya gak papa sih Ma, kan Ami pengen tahu saja apa Kak Hani sama si Atun itu bisa jodoh gitu…” Mama terhenti. “Atun?” Tanyanya heran. “Ah maksudnya Fajrin Ma,” Aku tersenyum. “Owh, tapi Mama fikir –fikir Mama tidak setuju kalau harus besanan sama perempuan itu. Apalagi kalau orang mikir tambah macam –macam saja omongannya nanti. Ah seperti tidak ada orang lain saja…” Ah pupus sudah restuku dari Mama. “Iya juga sih Ma…” Wajar saja Mama menolak punya besan seorang perempuan yang sudah merebut suaminya belasan tahun silam. Kejam juga aku kalau egois tak perdulikan itu hanya untuk kisah percintaanku yang tak penting ini. Tapi bagaimanapun juga aku masih harus mencari hukum yang bisa memastikanku untuk memperkuat alasan pada Aim nanti. ***  

Musim panas akhirnya mulai beralih menjadi tetesan air yang turun semakin deras. Terkunci oleh derasnya air di luar sana, aku tak bisa kemana –mana sekarang. Aim, gimana kabarmu disana? Lama sudah kita gak ketemu, aku merindukanmu lagi sekarang. 35 “Jendelanya tutup, angin bawa airnya masuk…” Perintah Kak Hani padaku. Tak perlu menjawab aku segera laksanakan tugas perintahnya menutup jendela. “Kamu kenapa lagi?” Tanyanya yang tiba tiba mengalihkan pandangannya padaku penuh tanya. “Apanya kak?” “Mukamu tak secerah biasanya…” “Memangnya aku langit yang cerah matahari?” Aku tersenyum sedikit. “Aku gak papa koq kak.” Aku seret gordin menutup jendela kaca. “Kakak tahu rencana Ayah mau jodohkan Atun sama kakak?” “Hah?! Serius kamu?!” Katanya dengan mata nyaris melompat. “Biasa aja lah kak, jangan kaget seperti itu.” “Tahu dari mana kamu?” “Ayah bilang sendiri waktu itu.” Kak Hani terdiam. Ia tampak tak senang sekali dengan kabar ini. “Tenang aja kak, kakak gak harap itu Mama juga gak mau punya besan orang itu koq…” “Benar?” “Iya. Tadi siang aku tanya Mama, Mama gak mau sekali kalau sampai orang itu jadi besannya, lagi pula katanya seperti yang tidak ada lelaki lain saja…” Aku duduk di pinggiran kasur dan meraih handphoneku di nacase. “Ya walau jodoh itu siapa yang tahu…” “Heh, koq gitu kamu? Sudah tahu sendiri Fajrin itu seperti apa. Atau kamu yang lebih mengharap Ayah berniat menjodohkan kamu dengan Ibrahim?” Katanya marah. “Hah!” Desahku pasrah. “Percuma juga aku pungkiri ya kak?” “Kamu itu, masih kecil saja pikirannya sudah sejauh itu.” Tangannya mengibas seakan tak habis pikir dengan jalan pikiranku. “Kakak kasih tahu ya, cari pasangan itu gak sembarangan. Sebelum kamu mengalami yang namanya jatuh cinta, kamu itu harus lihat bibit, bebet, bobotnya. Iman, keturunan dan latar belakang keluarganya yang jelas. Kita harus mengetahuhi jelas tentang itu. Bukan seperti kamu yang langsung jatuh cinta pada seorang yang tidak jelas asal usulnya.” “Cinta tak serumit itu, kak…” “Tahu apa kamu soal cinta, ha?!” Aku menunduk, aku memang tak tahu apapun tentang cinta. Yang aku tahu aku hanya merasa sedih dan kecewa atas semua yang terjadi saat ini. “Pernah kamu pikir, kamu sedang menyukai seorang pemabuk? Penjudi? Pemain free sex? Atau bahkan pembunuh?” Aku hanya menggeleng. “Pikir Ami, cinta itu mahal harganya. Tak mudah kamu katakan ya dan tidak untuk itu. Cinta yang bisa mengangkat derajat orang dan bahkan juga sebaliknya. Seseorang bisa terjerumus karena telah jatuh cinta pada seorang yang salah…” Aku masih terdiam tanpa kata. Kak Hani benar, dan apakah aku telah jatuh cinta pada seorang yang salah? Apa dia bisa menjerumuskanku? 36 “Satu hal yang menjadi pedomanku kak. Seorang yang baik hanya akan mendapatkan seorang yang baik pula. Sebaliknya, seorang yang tak baik tentu juga mendapat seorang yang tak baik. Dan selama ini aku merasa diriku telah cukup menjadi seorang yang baik. Siapapun jodohku nanti, aku hanya bisa berharap dia adalah jodoh terbaikku, kak…” “Semua orang tahu itu. Bahkan setiap kekurangan akan tertutup oleh setiap kelebihan dari masing –masing pasangannya.” “Apa kakak pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang?” “Emangnya kamu merasa gimana?” “Aku merasa, aku tak bisa melihat rupa yang baik selain hanya seorang saja.” “Apa kamu sungguh –sungguh dengan Ibrahim, Mi?” Aku mengangguk pelan. “Kau tahu, sudah kakak bilang kamu gak boleh…” “Iya aku tahu kak…” Aku memotong omongannya. “Aku tahu, bahkan aku tahu kalau sebenarnya hubungan kami itu gak salah. Halal, untuk berlanjut hingga pernikahan. Hanya saja aku tidak boleh lupa atas perasaan Mama…” “Kamu tahu apa yang kamu bicarakan sendiri, Ami?” “Ya aku tahu dan aku mengerti, kak…” “Kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh nanti. Sebagai manusia kita hanya bermimpi dan berharap, tak lupa juga berdoa.” Aku diam hanya tersenyum kecil. “Kakak sarankan, sebaiknya hentikan urusanmu itu. Kamu masih muda, perjalanmu masih panjang jangan dirumitkan dengan masalah percintaan yang tentunya masih lama untuk kamu jalani.” “Iya kak…” “Cinta itu buat entar kalau mau menikah. Atau kamu mau nikah sekarang?” Aku melempar hapeku ke dekat bantal. “Sinting ah!” Sahutku tersenyum. ***  

Kurasa nafas semakin berat disetiap hari -hariku. Tetesan air semakin menjatuhi bumi. Aku terus menatapi derasnya aliran air yang menumbuk bebetuan besar itu. Sungai yang bergemuruh seperti hatiku yang juga semakin menggemuruh disetiap hari. Sungguh besar kuasa Ilahi, untuk semua yang terjadi di kehidupan ini. Seperti halnya hatiku yang selalu bimbang dengan kebimbangan atas dua pilihan yang sangat sulit. Ya Tuhan jadikan aku bisa mengendalikan perasaan ini, Mama dan Ibrahim Imran adalah dua orang yang tidak ingin aku sakiti hatinya. Sementara aku belum mendapat kepastian untuk hubunganku dengan dirinya. “Kembali kesini?” Tanya Aim yang tiba –tiba muncul mengejutkan aku yang sedang melayangkan lamunan. Ia duduk dan tersenyum padaku. Aku menoleh kearahnya dan membalas senyumannya. Aku tak tahu harus menyahutinya apa. Jantung ku kembali berdebar kencang seperti awal perjumpaan ku dengannya dulu. “Iya…” “Apa kamu merindukan aku?” 37 Aku hanya menunduk dan tersenyum. Datang kemari pastilah hanya karena aku sangat merindukan dia, begitu juga dengannya. “Kau tahu? Aku sangat senang bisa bertemu kamu disini sekarang. Aku fikir perlahan kamu akan melupakan aku.” “Sejauh ini aku tak punya niat untuk melupakan kau. Hanya saja…” “Hanya saja kamu merasa sangat bimbang dengan ketidak pastian?” “Kau juga?” “Tidak. Aku tidak. Aku tidak merasa bimbang karena aku sangat yakin yang aku lakukan tidak salah.” Kemudian ia menatapku dengan senyuman yang sangat indah. Senyuman itu rasanya tak ingin membuat aku berpaling pada apapun. Aku benar telah jatuh cinta pada dia. Seorang yang harusnya bukan dia. “Ayo pulang, sebentar lagi gerimisnya pasti jadi hujan deras. Awannya saja sudah mendung makin gelap tuh.” “Aku ingin tinggal lebih lama.” “Kalau hujan?” “Tak apa. Aku ingin hujan –hujanan.” “Jangan, nanti kamu masuk angin. Besok masih masuk sekolah.” “Cuma sekali saja…” Aim tersenyum. Dipegannya tanganku yang menyentuh rerumputan di tanah. Kepalan tangannya begitu hangatkan tanganku yang tertusuk dinginnya hawa. “Tanganmu dingin sekali. Sudah lama disini ya?” Ia menggosok –gosok tanganku. “Baru setengah jam yang lalu…” “Baru?! Itu sudah lama sekali Ami! Lihat hidung kamu saja sudah merah jambu begitu.” Aku pencet –pencet hidungku. “Gak dingin –dingin amat koq…” Aim tersenyum. “Ami…” Panggilnya tiba –tiba serius. “Iya?” “Satu hal yang menjadi do‟a ku saat ini…” “Apa?” “Semoga tidak ada satu hukumpun yang melarang hubungan kita…” Aku menarik tanganku seketika. “Jangan berdo‟a seperti itu.” “Kenapa? Kamu gak mau kita sama –sama?” Aku terbangun dari dudukku. “Dua puluh tujuh juli tinggal beberapa bulan lagi, sampai jumpa…” Tandasku dan melangkah pergi. Aim, kenapa kamu harus berkata seperti itu? Apa yang akan membuat kamu sadar kalau hubungan kita tidak akan mendapat restu dari sapapun? Ini hanya akan membuang –buang waktu. Tanggal dua puluh tujuh bulan juli dua ribu sepuluh hanyalah tinggal empat bulan lagi. Bisakah aku menemukan kejelasan di jalan lain? Delapan bulan saja lekas berlalunya, apa lagi sisa waktu yang hanya empat bulan ini. Dimana lagi aku akan mendapatkan jawaban pasti tentang hubungan kita ini dilarang? ***  

Kriiiiinnngg!!!!!! 38 Akhirnya! Bel istirahat berkumadang juga. Sejak tadi perutku sudah keroncongan mendengar ceramah aneh pak Shodiqin selama empat jam full. Gara – gara bu Ari gak masuk nih, jadi diganti deh. “Baksonya dua Buk…” Order Dessy. Sementara menunggu Dessy yang masih membeli bakso, aku cari tempat yang pas buat menikmatinya. Tak lama menunggu, Dessy datang dengan dua mangkuk bakso. “Nih…” Katanya. “Eh iya. Katanya anak Ips lagi dapet tugas rumit ya?” Tanyaku memulai topic. “Enggak koq. Kata siapa?” Sambil lalu, Dessy meramu kuah baksonya. Aku melihat sekitar kanan kiri dan bagian belakang. “Itu anak Ips pada pegang kertas semua.” “Kalau itu sih, kalau gak salah nih yaa. Mereka cuma disuruh survey koq…” “Survey apa?” “Ya survey bikin pertanyaan trus dibagiin ma anak –anak. Terus ya pertanyaan dijawab dan dilihat hasilnya.” “Owh.. cuma survey gitu toh, kirain tugas rumit kaya apa tuh..” “Biasalah anak Ips suka berlebihan.” Aku hanya tersenyum. Tapi… Survey?! Apa mungkin aku perlu melakukan sistem yang sama seperti mereka? Melakukan survey terhadap seratus orang dari berbagai kalangan mereka? Cara pandang mereka terhadap hal yang tidak biasa seperti ini. Akh… seperti kuis saja. Tapi kalau itu bisa berguna, kenapa tidak? Tapi… Apakah bisa aku lakukan itu dalam jangka waktu yang semakin singkat ini? Well semoga aku bisa… Dari mana aku harus memulai? Pastinya aku harus memulai dari menulis pertanyaan dan options pilihan jawabannya. Lalu aku mengetik dengan rapi dan mencetaknya. Setelah dicetak aku tinggal copy rangkap seratus deh. Tapi kemana aku harus menebarkan seratus lembar angket ini ya? “Dor!” Lagi, Dessy mengagetkan aku yang sedang berdiri dan berfikir. “Wey! Ngagetin aja ah…” “Napa kamu? Kamu akhir –akhir ini aneh tau…” “Aneh? Yang ada kamu yang aneh.” Gurauku. “Apa nih?” Dessy mengambil plastic berisi lembaran angket yang baru saya aku fotocopy. “Angket.” “Angket? Buat apa? Ngikut anak ips nih ceritanya?” Ditarik selembar dari dalamnya. “Bagaimana bila anda menghadapi posisi yang seperti ini…” Suaranya melenyap, dahinya semakin mengernyit membaca tulisan di kertas itu. “Nih koq ceritanya ngaco? Inikan cerita kamu.” “Itu gak ngaco, emang itu ceritaku. Aku bikin itu karena tugas.” “Tugas? Tugas apa? Kapan? Guru sapa yang kasih tugas ngaco gini? Aneh ah!” “Itu tugas dari pak Ibrahim Imran…” 39 “Aim? Ngapain?” Katanya semakin heran saja. “Dia minta aku cari jawaban dari pertanyaan itu.” “Aneh –aneh aja tuh anak.” “Aku belum cerita emangnya soal keputusan aku sama dia?” “Keputusan yang mana?” “Keputusan aku buat mengakhiri semuanya sama Aim…” “Lho? Koq bisa?” “Bisa lah… sebenernya aku gak mau harus begini Dess, cuma dah mau gimana lagi…” “Emang gimana si koq bisa jadi gini?” Aku putuskan untuk menceritakan semua yang terjadi diantara aku dan Aim. Dia cukup terkejut mendengar perjanjian aneh antara kami berdua. Well dia juga merasa bersalah atas masa lalu itu. Ya kerena dia juga awal dari pertemuan aku dan Aim yang sampai sejauh ini. “Aku gak tahu harus apa lagi sekarang. Yang aku butuhkan hanya menyebar angket ini dan kumpulkan semua jawaban.” “Disebar di sini aja cepet kan?” “Heh! Mau disebar di sekolah?! Yang ada mereka semua bakalan ketawain aku. Pastinya mereka tahu kalau ini bukan tugas.” “Ya udah sini separuh kasih aku. Nanti pulang sekolah aku coba kasih tetanggaku. Sehari dua hari aku balikin plus jawaban mereka deh…” “Serius kamu?” “Iya kamu tenang aja, aku ikhlas koq bantuin kamu…” “Thanks ya sob…” Lumayan lega sekarang, tinggal lima puluh lembar lagi dan aku akan menebarkan semuanya sendiri. Pasar, mall, kantoran, permukiman umum, dan sepuluh lembar khusus untuk pesantrenan. “Mau kemana kamu?!” Tanya kak Hani ketus melihat aku sudah bersiap dengan pakaian yang rapi. “Aku mau kerumah Dessy…” “Ngapain lagi?!” “Tugas.” “Jangan bohong kamu! Hamper setiap hari kamu pergi kerumah Dessy, kalau memang ada tugas, sekali –sekali kerja disini kenapa?! Atau jangan –jangan kamu masih berhubungan sama Ibrahim ya?!” Tatapnya penuh curiga. “Kakak, jangan sepicik begitu sama aku. Aku sadar siapa Aim, dan aku gak mungkin nyolong ketemu sama dia. Kakak boleh curiga kalau Aim itu memang orang lain, tapi enggak dengan sekarang. Aku hanya ingin jalan –jalan dengan Dessy itu saja. Aku mau ke perpus umum!” Tegasku kemudian lekas meninggalkan kamar. Separah itukah pemikiran kakakku? Aku gak mungkin bohong buat ketemu khusus dengan Aim. Ya walau memang aku masih sering ketemu dengan dia. Tapi itu hanya sebentar saja, dan itu sungguh kebetulan. Aku sudah menghindari untuk 40 bertemu dan berhubungan dengan dia. Ah memang kecurigaan itu beralasan, tapi Whatever! Aku gak perduli, yang harus aku lakukan sekarang hanyalah mengumpulkan suara atas pertanyaan diatas kertas seratus lembar ini. “Nih udah selesai semuanya.” Dessy mengembalikan lembaran kertas itu padaku. Aku ternganga. “Semua?” Dessy mengangguk. “Cepet banget? Kamu kasih kemana aja? Perasaan aku baru tadi pagi kasih sama kamu.” “Haha, tadi pas pulang sekolah Andra ngajakin aku kerumah dia. Nih aja aku baru sampai. Terus kan naik bus tuh, ya udah kebetulan busnya penuh ya aku kasih mereka nih kertas. Dan well done semua kan.” “Wew, hebat loh.” “Dessy gitu loh…” Dessy menaik turunkan bahunya. “Sini sisanya kasih aku lagi. Tetanggaku belum dapet bagian. Nanti malam mau ada rapat desa buat agustusan. Aku mau bagiin disana.” “Serius kamu?” “Ya iyalah, kapan sih aku gak serius?” “Tapi aku gak punya duit mau ganti capek mu…” “Ami?! Koq gitu sih? Udah nih juga sebagai penebus dosa aku udah comblangin kamu sama Aim dulu…” Ah dia sungguh teman terbaikku. Semua bisa lekas aku urus kembali berkat bantuannya. Sekarang tinggallah aku menghitung perolehan suara dan membaca semua alasan yang mereka kemukakan. ***  

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan sangat –sangat tak terasa waktu berputar sangat cepat sekali, setahun telah berlalu. Tibalah sekarang tanggal dua puluh tujuh juli, tanggal yang telah dinanti –nantikan olehku dan dia. Aku telah siap dengan semua bahan yang akan aku utarakan padanya. Dengan langkah kaki yang aku pastikan tanpa keraguan lagi akhirnya aku sampai ditempat yang sudah kami berdua janjikan. Lapangan hijau, sungai panjang nan deras, tetesan gerimis turut menemani kedatangannku. Di sana, di jauh sana, sudah tampak seorang Ibrahim Imran dengan jas hitam dan kemeja biru berdasi rapih telah menanti kedatanganku. Ludah ku telan bulat –bulat, walau nyaliku mulai menciut, dan jantungku berdebar sangat kencang aku terus pastikan langkahku mendekat tanpa lemah sedikitpun. Rupanya, raut mukanya sangat senang melihat kehadiran aku. Tapi aku? Aku sangat sedih karena semua tidak akan seperti yang diinginkan. “Sungguh sulit menemukan jawaban yang pasti…” Aku langsung memulai pembicaraan kami. “Lalu?” “Aku rasa do‟a mu terkabul. Tidak ada ayat yang menegaskan bahwa hubungan 41 kita salah.” “Sungguh?” Pikirnya senang. “Agar lebih meyakinkan aku, aku hanya bisa lakukan survey pada seratus orang…” “Lalu?” “Dua puluh lima persen mereka menjawab dilarang, dua lima persen lagi tidak tahu, dan lima puluh lainnya membolehkan itu…” “Bagaimana sekarang?” Katanya tersenyum dengan harapannya. “Jangan senang dulu, masih ada alasan yang mereka kemukakan untuk jadi pertimbangan kita…” “Apa lagi?” Aku ambil sebuah map dari tasku, aku berikan padanya. “Tujuh puluh lima persen mereka menganggab kurang baik dimata masyarakat. Dua puluh persen lagi mengatakan kita ini saudara, lima persen, lainnya…” Dibuka map itu, ia terdiam memandangi lembaran angket dihadapannya dengan penuh kekecewaan. “Sekarang masih ingin bersama?” Tanpa menjawab, map yang terbuat dari kertas dan seisinya di robek begitu saja tanpa ampun. “Kenapa?!” Ia masih tak menjawab, robek –robekan kertas semua ia biarkan meluncur ke bawah sungai, tertiup angin hingga tenggelam dalam derasnya aliran air. “Ami?! Aku belum puas dengan ini semua. Ini belum membuatku pasti! Sudah aku bilang, tidak akan ada hukum yang bisa melarang hubungan kita. Ayah Ibu, terserah aku tak perduli.” “Hubungan seperti kita ini memang hanya akan menjadi bahan omongan orang. Pikirlah seumur hidup, anak cucu kita akan jadi bahan omongan orang.” “Aku gak perduli…” “Tapi aku perduli!” Aku membentak, memutus kalimatnya yang tak selesai. “Sudahlah, perpisahan ini bukah akhir dari kehidupan. SMA saja aku belum lulus, aku ini masih muda, masih remaja. Perjalanan hidupku masih panjang, aku gak mau hidup dengan masalah percintaan yang tak jelas dan tak penting seperti ini!” “Ami?! Mudah kamu bilang gitu sama aku? Kamu gak mikir gimana perasaan aku sekarang ha?! Omongan kamu itu udah nyiksa aku, kamu sadar kan aku ini cinta sama kamu?!” “Semoga kau bisa menemukan yang jauh lebih baik dari aku…” “Ami!” Bentaknya tak tahan lagi dengan sikapku. “Kamu sungguh keterlaluan. Bisa –bisanya kamu ngomong gitu sama aku! Kamu itu punya perasaan gak sih? Jangan buat aku gila Ami!” Aku masih menahan emosiku yang terbakar kesedihan dan kekecewaan ini. Aku tak mungkin meledak di hadapannya. Aku tak boleh terlihat lemah, aku bisa walau tanpa dia. “Jangan terlarut dalam urusan cinta. Hidup mu juga masih panjang. Cinta itu 42 gak cuma satu, cinta itu bisa saja menjerumuskan. Sudahlah, sudah cukup semua sudah selesai sekarang. Aku harap ini adalah akhir dari segalanya. Selamat tinggal…” Aku berbalik dan melangkah meninggalkan dia sendiri. Tetesan gerimis menderas. Ah! akhirnya jatuh juga air mataku. Siapa yang tahu aku sedang menagis sekarang? Tetesan mataku bercampur dengan tetesan air langit ini. Dinginnya hujan menusuk di hati, aku harus bertahan walau perpisahan ini menyayat hati. Rasa penyesalan pun turut menghantui hari –hariku. Sekarang hanyalah bagaimana aku harus melupakan dia. Melupakan sebuah perasaan yang aku berikan pada seorang yang salah. Apa aku telah sungguh jatuh cinta pada Aim? Apa yang aku ketahui tentang yang namanya Cinta? Satu kata itu hanya akan menyakitkan aku. Kenapa harus dia yang menjadi seorang berharga dalam hidupku? Bisakah aku melupakan dia dan menemukan seorang yang lain? *** 

Enam,, “Putus!” Itu adalah kata terakhir yang selalu aku lontarkan pada semua bekas pacarku yang aku pacari selama kurang dari seminggu, bahkan lima hari. “Apa?!” Matanya mendelik. Namanya Donni, dia adalah pacarku yang ke lima bulan ini. “Iya aku minta putus…” “Ami kamu itu sadar kan? Kita belum genap dua puluh empat jam jadian dan sekarang kamu langsung minta putus?” “Sulit aku jelaskan sama kamu, kamu juga gak akan ngerti…” “Iya tapi kenapa? Kenapa kita gak coba dulu Ami?” “Cinta itu bukan untuk dicoba –coba Don, sorry aku tetap inginkan kita putus.” Aku bengkit dari dudukku disebelahnya dan pergi meninggalkan dia sendiri di kelas. Kenapa aku ini? Donni itu tidak buruk, dia baik. Kenapa aku jadi seperti ini. Sudah berapa kali aku pacaran? Apa ini karena Aim? Apa aku melampiaskan kekecewaanku karena Aim? Lelaki itu memang belum sepenuhnya pergi dari hati dan pikiran ku, lalu kapan akan pergi? Aku melayang menatap air mancur yang terus mengucur tinggi di tengah gazibu taman sekolahku. “Ibrahim…” Panggilku pelan. “Masih Aim Mi?” Sahut Dessy yang menghampiri aku. Aku tersenyum. “Wanna forget him but still…” “Pacaran, jadi, putus kurang dari lima hari. Itu bukan cara melupakan Aim, yang ada kamu akan terus ingat dia.” “Aku gak tau harus gimana lagi.” “Jujur, walau udah putus kalian berdua masih kompak aja ya.” 43 Aku mengernyitkan dahiku. “Maksudnya?” “Kamu sama Aim itu mengalami kasus yang sama.” “Maksudnya?” Aku semakin tidak mengerti saja. “Pacaran kurang dari seminggu udah langsung putus.” “Aim juga?” “Iya.” Dessy tersenyum. “Dia kan sering kerumah curhatin luka hatinya dia abis putus sama kamu.” “Ah sudah! Aku gak mau ngomongin dia lagi. Yang ada aku tambah gila nanti.” “Ya udah terserah kamu saja. Sebenarnya aku cuma mau kasih tahu kamu satu hal penting koq.” “Apa?” “Jangan buat cowok –cowok itu sakit hatinya karena satu kata „putus‟ kamu itu. Kasihan mereka kecewa sama kamu, mereka juga punya perasaan Ami, seperti kamu sendiri yang sedih karena putus dengan Aim.” Aku hanya selalu menghela nafas panjangku. “Iya Des, mungkin aku harus menutup diri dari semua laki –laki sekrang. Ya setidaknya sampai aku menemukan seorang yang benar pas di hatiku.” “Aku bisa mengerti itu…” Apa yang dikatakan Dessy benar. Mereka hanyalah korban dari pelampiasan sakit hatiku yang tak berujung. Oh GOD! Kenapa hidup harus dengan cinta?! Aku dan hidupku dikacaukan oleh sebuah perasaan yang kita sebut cinta! Aku melentangkan badanku yang nyaris rubuh kelelahan di atas tempat tidur. Ku coba pejamkan mata, Ah! Selalu saja! Yang terbayang hanya wajah Aim tersenyum padaku. Kalau begini terus aku akan segera gila. Aku terjaga, dan memilih berkumpul bersama Ayah dan Mama di depan tivi. Aku menggaruk –garuk rambutku yang semakin acak –acakan. “Punya apa Ma?” “Tanya punya apa.” Sahut Ayah yang tak beralih dari channel beritanya. “Ya maksudnya tuh…” “Mama punya melinjo goreng ada di dapur.” Sahut Mama yang selalu dengan senyumannya. Tanpa babibu lagi aku menyeret sandal ku ke dapur. Tengok sana tengok sini, dimana? Hem… mau makan melinjo saja harus pusing cari sana sini. Ah! Disitu kau rupanya, pantas saja tak terlihat toplesnya ketutupan panci besar sih. Ku buka dan aku ambil sekeping. HAiksh! Ini melinjo apa jamu? Pahit! Sepertinya Mama terlalu garing menggorengnya. “Mana melinjonya Mi?” Teriak Ayah. “Iya sebentar…” Sahutku membalas teriakan Ayah. Melinjo, sepertinya ini symbol dari kehidupan. Hidup itu pahit! Ya walau semua pahit, manis, asam, asin bersatu padu, itulah hidup. Well aku kembali ke depan tivi dengan toples melinjo yang ku peluk sepenuh hati. Ku letakkan di atas meja dan aku duduk di lantai depan Mama. “Memangnya Ibrahim jadi mau di bali?” Tanya Mama pada Ayah yang sedang 44 mengobok –obok toples melinjo. Aku tercekat. Aim ke bali? Ngapain? “Ya jadi. Disana sudah ditunggu sama Arman dan Vivi.” “Ngapain Ma?” Tanyaku pelan seolah perduli. “Kerja…” “Kerja apa Ma?” “Gak tahu, Ibrahim kerja apa Yah?” “Suruh ngurus hotel katanya. Jadi assistan maneger mungkin…” “Kapan Yah?” Aku menyipitkan mataku. “Besok mau berangkat…” Hah?! Besok?! Aim koq gak bilang sama aku sih?! “Besok naik bus Jakarta –Denpasar. Tiketnya tiga ratus, jam satu berangkat dari sini katanya…” Lanjut ayah tanpa perintah. Hatiku semakin gusar, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Aim akan berangkat besok dan meninggalkan aku dalam waktu yang sangat lama. Jam satu, bagaimana mungkin besok sepulang sekolah aku akan mengejarnya, sedangkan jam pulang sekolahku pukul satu lewat lima belas. Pasti busnya sudah datang dan aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Ah! Aku gak bisa tidur kalau begini! Pelajaran apa ini?! Sejak tadi pagi aku tak bisa mencerna semua penerangan yang diberikan oleh guruku hari ini. Rasanya seperti disuntik –suntik, kursi ini sangat mengerti kalau aku tak ingin berlama –lama duduk diatasnya. Jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul satu, tapi Pak Ridwan terus mengoceh tanpa lelahnya. Jam, Bis, kalian harus tunggu sampai aku selesai dulu. Aim tunggu aku… Kriiiingggg!!!! Akhirnya bel bunyi juga.pelajaran hari ini berakhir sudah. Bergegas aku berlari keluar kelas, menyelip barisan murid –murid yang keluar dengan tujuan berbeda. Ah sial! Aku hampiri semua angkot yang nangkring di pinggiran jalan ternyata sudah full semua. Bingung harus naik apa sekarang. “Donni!” Aku berteriak memanggil Donni yang kebetulan lewat di hadapanku. Seketika Donni menghentikan motornya. “Ami?! Eh aku antar pulang yuk?” “Kebetulan, tolong antar aku ke tempat agen bus pariwisata ya?” “Ngapain?” “Udah jangan banyak tanya, aku ada urusan penting. Aku harus segera kesana…” Aku segera naik di boncengannya. Swerr!! Kami langsung meluncur. Ya Tuhan izinkan aku bertemu dengan Aim untuk yang terakhir kalinya. Aim tunggu aku… Motor terhenti, aku sampai dan segera turun. “Makasih ya Don…” “Sama –sama, perlu aku tunggu?” “Gak usah, aku pulang sendiri aja…” “Okay, aku pulang…” Pamitnya dengan senyuman. Donni pergi, dan aku temui para calon penumpang yang sedang menunggu bis dengan tas bawaan mereka yang besar –besar. 45 “Bis Jakarta –Denpasar sudah berangkat?” Tanyaku pada seorang petugas laki – laki. “Wah sudah setengah jam yang lalu dek…” Katanya. Ya TUHAN! Kenapa bisnya sudah berangkat? Aku sungguh ingin sekali bertemu dengan Aim sekrang, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Aku sungguh sayangi dia, aku hanya ingin katakan itu saja. “Ami?” Seseorang memanggilku dari belakang. Aku menolehi panggilan itu. “Aim?!” Sahutku yang langsung tersenyum pada seorang lelaki dengan sebotol air mineral di genggamannya. Aku bergerak cepat kearahnya dan kupeluk dia dengan erat. “Ngapain kamu disini?!” Tanya Aim yang berlagak marah. Aku melepas pelukannku. Ku pukul dia. “Kenapa gak bilang mau pergi?!” Air mataku mulai mengucur. Aim tersenyum, tangannya yang hangat mengusap pipiku yang basah. “Aku memang sengaja gak kasih tahu kamu…” “Kenapa?! Mau bikin aku gila kehilangan kau?!” Aku kembali dipeluknya. “Aku gak mau bikin kamu sedih, tapi kalau justru bikin kamu gila, aku minta maaf ya?” “Kalau saja kau bukan abang tiriku, pasti aku gak akan izinkan kau pergi…” “Aku sayang sama kamu Mi. Dan aku akan selalu sayang sama kamu…” “Aku juga sayang sama abang. Maafkan sikap aku selama ini…” “Udah.” Aim melepas pelukannya. “Aku mengerti benar kenapa kamu sampai tega bersikap begitu sama aku. Kamu gak perlu minta maaf ya?” Aku tersenyum. “Bandung –Denpasar, lima menit lagi bisnya datang. Para calon penumpang silakan bersiap…” Kabar seorang petugas. “Aku mau berangkat, jaga diri kamu baik –baik ya…” Katanya tersenyum. “Abang…” Panggilku dengan derai air mata yang semakin menjadi. “Sudah jangan menangis. Aku pergi cuma sebentar koq, lagi pula ini untuk masa depanku, seharusnya kamu support aku dong bukannya malah nangis gini bikin aku tambah berat jadinya…” Ia mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan mengusap air mataku. Bis datang, Aim melepas tanganku dan turut pergi bersama bus itu. Aku hanya bisa mengusap air mataku denegan sapu tangan peninggalannya. Menarik nafas dan membuangnya dengan keras. Menahan air mata yang terus keluar membasahi mukaku. Ya Tuhan.. Lindungilah lelaki yang sangat ku cintai ini.. Buatlah ia sukses dalam perjalanan kariernya di sana. Dan, kembalikanlah dia padaku dalam keadaan utuh hingga hatinya.. Sekarang hidupku sudah benar –benar sepi tanpa kemunculan maupun kabar dari Aim sebagai abang tiriku sekalipun. Setiap kali aku kerumahnya yang kulakukan hanya menatapi wajah adikku yang juga adiknya, Adin. wajahnya sungguh mirip 46 dengan Aimku. Membuat aku selalu ingat masalalu bersamanya. “Adin! Kenapa kamu mirip sekali sama abngmu yang jellek itu ya??” Aku mengusap kepalanya. “Ha? Abang yang mana kak?” “Ah gak jadi…” *** 

 Tujuh,, Tak terasa, sudah dua tahun ternyata aku telah melewati hidup tanpa seorang Ibrahim Imran. Tapi, tak sedikitpun aku lupa akan dia. Setiap waktu tenggangnya ia masih sempat untuk membaca dan memandangi kenangan yang aku miliki dengannya dulu. Aku tak mampu berbuat apapun, tapi aku hanya bisa berdoa bahwa jodohku maka dekatkanlah kembali padaku. Lalu, bagaimana Aim sekarang ya? Gemukan atau tambah kurus ya? Ah tak sabar ingin ketemu dia lagi. Sungguh aku merindukan dia, setiap kali merayakan acara keluarga dia tidak pernah hadir. Termasuk pernikahan kakakku Hania, setahun lalu. Hem!! Tapi malam ini aku dan semua keluargaku akan menyambut kedatangannya kembali dirumah Mami. Kami semua berkumpul mendapat undangan dari Mami untuk menyambut kedatangan Aim dari pulau kecil itu. Entah apa yang akan dia tunjukkan padaku sebagai oleh –oleh. Tapi yang penting aku senang bisa menyambutnya malam ini. Aku dan kakakku membantu menyiapkan hidangan lezat yang harus berjejer rapi diatas meja. Sebagai penghormatan dariku, semuaku pastikan sempurna. “Mi, tas kak Emma ada di mobil, minta tolong ambilkan ya?” Pinta Kak Emma yang sedang menggedong anaknya, padaku. Aku hanya mengangguk dengan senyuman, dan aku lekas lakukan perintah. Cuit cuit! Kunci terbuka aku buka pintu belakang. Membungkukkan badan dan lihat apa yang ada di bagian bawah ternyata ada tas hitam milik kakak yang tertinggal. “Ami…” Panggil seseorang dari luar mobilku. Aku keluarkan kepalaku sedikit. “Aim…” Aku tersenyum. Lalu aku keluar dengan tas kak Emma yang tertinggal. Sungguh mengejutkan aku bertemu dia langsung sebelum di atas meja makan. “Hey, apa kabar?” Katanya malu –malu. “Aku baik, abang sendiri gimana?” “Aku juga baik. Kata Adin sekarang kamu udah kuliah semester empat ya?” Aku tersenyum. “Iya, bentar lagi aku jadi bidan bang. Abang sendiri gimana? Gemukan sekarang, bettah di Bali?” “Enak gak enak di sana…” “Enaknya apa?” 47 “Enaknya, aku bisa menghasilkan di sana.” “Gak enaknya?” “Gak enaknya, disana aku gak bisa ketemu langsung sama kamu. Cuma mandangi selembar fotomu yang selalu aku bawa kemana –mana.” Rayunya dengan senyuman maut andalannya. Aku tersenyum tersipu sungguh malu. Aku sungguh tersanjung dengan gombalannya. Tak berubah sedikitpun, sejak dulu sampai sekarang, dia tetap suka merayu dan memujiku. Ah aku rasa penyakit yang sudah nyaris sembuh dalam dua tahun hari ini harus kambuh lagi. Sungguh aku sangat bahagia saat ini.. “Gimana kamu gak ada aku?” “Gak gimana –gimana. Biasa aja…” Jawabku menggodanya. “Heh! Memangnya kamu ini gak kangen apa sama abang mu ini ha?!” “Aku hanya kangen sama seorang yang udah kasih aku ini…” Aku tunjukkan selembar sapu tangan coklat yang dia berikan dua tahun yang lalu sebelum keberangkatannya dulu. Giliran Aim yang tersenyum malu. “Ami, Ami…” Katanya. Kedua tangan Aim melebar hendak memelukku. “Eits…” Aku tarik badanku kebelakang. Seketika gerak tangannya tercekat. “Kenapa?” “Gak enak kalau ada yang lihat.” Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. “Aku mau masuk.” “Ya udah ayo…” Kami berdua saling tersenyum sendiri. Baru beberapa langkah dari mobilku, seorang perempuan yang kurasa setahun dua tahun lebih muda dariku datang menghampiri kami. Penampilannya cukup membuatku Wew! Lebih tinggi dari aku, rambutnya bergelombang habis dari salon, dan tubuhnya slim sekali. Sepertinya dia bukan dari golongan anak –anak pendiam. Alias kelewat gaul, seksi gituloh…! “Ah disini ternyata kalian. Ayo masuk, Aunty udah tunggu kalian…” Katanya dengan nada dan gaya yang rada centil ku dengar. “Siapa dia?” Tanyaku dengan kedua alis terangkat. “Ah ternyata kakak belum kenal aku. Kenalin aku Inez…” Dia menjulurkan tangannya padaku. “Anaknya Om Arman, dan tante Viviana…” Jelas Aim. Secuil tentang Inez. Anak dari uncle Arman, dan Aunty Viviana yang merupakan adik dari Mami Imnan. Jadi, dia adalah sepupu Aim yang berasal dari Bali. Pulau kecil yang penuh dengan kebebasan. Aku bisa lihat gaya hidup yang bebas dalam diri Inez. Entah kedatangannya untuk apa kemari, karena aku belum pernah bertemu dia dalam event apapun. Aku hanya menyalaminya dan kembali masuk dalam rumah. Duduk bersama di meja makan, Aim duduk tepat dihadapanku sedang perempuan yang bernama Inez itu justru duduk tepat di sampingnya. Iri? Ya aku memang Iri pada perempuan itu! Lebih tepatnya jelous! “Sebelum makan malam di mulai, Mama mau minta tolong pada anak –anak 48 semua. Bulan depan Ibrahim akan bertunangan dengan Inez…” Kabar Mami dengan senyum bahagianya. What?! Aku terbelak. Seperti digampar di muka umum, sangat sakit dan malu sekali. Aku tersambar petir! Apa –apaan ini?! Kenapa ini yang aku dapati? Aku pandangi wajah lelaki yang duduk tepat di seberang sana. Tak sedikitpun ia mengangkat wajahnya menghadapku. Matanya tak mengatakan satupun pembelaan. Kenapa kamu gak bilang sama aku? Kenapa justru kamu menyapaku dengan semua gombal mautmu yang selalu membuat aku tersanjung dan melayang tinggi?! Aku telan ludahku bulat –bulat. Ku tahan air yang semakin menggenangi mataku. Jantungku berdegug kencang, dadaku rasanya sulit bernafas lagi. Aku tahan rasa sakit ini demi Ayah dan kakak –kakakku. Semua hambar kurasa, aku ingin segera pergi dari sini! Sesampainya dirumah, aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat –rapat. Tangispun meledak, tak kuasa aku mengendalikan tubuhku yang semakin terasa lemah. Aku lentangkan tubuhku di tempat tidur. Menangis dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat hati ini lebih tenang. Ya TUHAN, kenapa ini yang aku dapati malam ini. Sebuah kekecewaan dan sakit hati yang mendalam. Aku cinta dia, tapi dia tak cintai aku hingga tega berbuat begitu di hadapanku. Jam semakin menunjukkan waktu malamnya. Tapi aku tetap tak bisa memejamkan mata, karena terus memikirkan kekejamannya. Memeluk guling, mengusap air mata, menatap bulan sabit di jendela. Entah apa yang dipikirkannya, hingga ia tega membuat aku seperti ini. Aku tak bisa menerima ini semua begitu saja. Aku tak seperti Mama yang rela berbagi Ayah dengan wanita lain. Hanya orang terpilih yang bisa lakukan itu, dan itu bukan aku! Mutlak! Semalam penuh aku tak bisa tidur, aku langsung menghubungi Aim meminta untuk bertemu pagi –pagi sekali di tempat biasa, pinggiran sungai yang selalu menjadi saksi kisah cintaku yang tersembunyi. “Sengaja bikin kejutan seperti ini buat aku?!” Bentakku pada lelaki yang berkacamata di hadapanku ini. Sejak semalam air mataku tak bisa aku hentikan tetesannya, hingga sekarang meledak dahsyat di depannya. “Ami, jangan berkata seperti itu sama aku…” “Lalu aku harus berkata apa ha? Selama ini kamu itu selalu melontarkan kata – kata manis, sapaan yang lembut, rayuan, gombalan. Semua hal yang manis yang bikin aku tersanjung. Dan sekarang aku justru menemukan hal yang paling menyakitkan tahu itu!” “Aku juga gak mau seperti ini Ami…” Masih saja Aim dengan elakannya dan wajah memelas. “Bohong! Kemarin saja kau masih merayuku, menyanjungku? Kau pikir aku percaya?! Jangan kira semua ini terjadi tanpa kata „iya‟ dari mulutmu. Kalau kamu gak mau, ini semua gak akan pernah terjadi! Udah jangan bohong aku tahu koq kau itu…” Tanganku menyingkap kepala. 49 “Ami…” “Kau PENGHIANAT!” “Ami!” Bentak Aim kembali. “Ah! sudah aku ingin ini benar –benar yang terakhir!” Aku mengusap wajahku, dan berusaha pergi. “Ami tunggu!” Aku terhalang dengan genggaman tangannya. “Tolong dengar aku dulu. Semua ini ide Mamaku dengan Om Armand bukan aku Ami.” “Percuma! Sebenarnya dari awal kau itu tak pernah sungguh –sungguh dengan perasaanmu sama aku! Aku ini hanya sekedar cinta sesaatmu yang hanya pelampiasan rasa sepimu iya kan?!” “Cukup! Jangan berkata yang seperti itu! Aku tahu kamu kecewa, tapi aku mohon agar kamu bisa mendengar dan mengerti semua penjelasan aku!” Aku lemah, aku tak berdaya, aku benar –benar tak sangub lagi kali ini! Ya TUHAN kenapa lagi –lagi kau berikan aku cobaan seperti ini?! Aku benci jika harus membuang air mata untuk seorang yang tak menghargai perasaanku seperti dia. Akupun jatuh dipelukannya. “Maafkan aku Ami…” Aku dorong dia, dan segera aku lari dari situ. Tak perdulikan Aim yang masih terus memanggil –manggil namaku berusaha terus menahan aku. Kali ini aku sungguh tak tahan berlama –lama dengan lelaki itu lagi. Kemarin aku selalu termakan omongan rayuan gombalan manisnya. Aku pastikan sekarang tidak akan ada lagi rayuannya yang mempan dipikiranku. Ini yang terakhir kalinya untuk semua jebakan raut wajah memelasnya. Semua harus berakhir! Aku muak! Aku lekas kembali dalam mobil Honda jazz dan pergi dari tempat kenangan hitam yang sangat indah itu. Seratus kilo meter per jam, mungkin kecepatan itu sesuai dengan suasana hatiku saat ini. Rasa sakit, dan berat kepala semakin tak kuat untuk ku bebankan di atas. Seperti terlindas truck, hatiku benar –benar hancur tanpa ampun lagi. Secuil Masa Lalu.. Ibrahim Imran. Seorang lelaki yang mengenalkan padaku CINTA. Yang berawal dari kekonyolan, dan kini berakhir dengan kepedihan. Bertahun –tahun aku menantinya, setia dengan cinta, karena dia akan datang membawa masa depan untukku. Tapi, semua terjadi begitu saja, waktu bertahun –tahun berlalu sekejap mata. Awal yang manis, penuh romantic harus kandas karena kesalahannya.. Oh Tuhan, kenapa hidup seperti ini. Dia adalah seorang pembohong yang telah membuat aku terperangkap pada sebuah kenyataan perih. Semua seperti mimpi, mimpi buruk yang tidak akan pernah terlupa. Sebuah goresan luka yang tak akan ada obatnya. Kini aku sadar kenapa CINTA menjadi menu utama dalam hidup. Karena aku harus menemukan penawar dari sakit yang aku rasakan sekarang. ***  

50 Delapan,, Hweeerrr!!!!! Pandangannya beralih, melihat mobil jazz hitam melaju sangat cepat iapun tersenyum takjub. “Wew….” “Kenapa?” Ia hanya mengeleng. “Tak penting hanya mobil tadi sangat kencang. Seperti pengemudi yang sangat handal…” Kembali ia teguk minuman kaleng yang digenggamnya. “So? Siapa namanya?” Tanya lelaki dengan sebotol miras di genggamannya. “Ami, Amita Rorai…” Jawab Lelaki berjaket kulit hitam sambil tersenyum memandangi kaleng soda minumannya itu. Kemudian… Perlahan roda mobil jazz berhenti di tengah kesunyian alam pantai yang sangat indah. Ami keluar memutuskan untuk habiskan kekecewaan dan duka hatinya di tempat ini. Ia sadar bahwa tak baik juga terus berlarut pada ini semua. Apa kata dunia nanti?! Berjalan menyusuri pinggiran pantai yang indah, memijak di atas pasir pantai yang menyisakan pijakan kakinya. Memandang lurus cakrawala pembelah bumi dan langit. Tuhan itu maha adil membagi langit dan bumi tepat menjadi dua. Buih ombak, hembusan angin laut menerjang tubuhnya, tetap pandangan itu tidak goyah. “Kau adalah penghianat, atau aku hanya gadis bodoh yang sudah masuk jebakanmu dulu?” Setetes air bening jatuh membasahi pipinya. “Harusnya aku sadar dari dulu, bahwa semua sikapmu selama ini hanya palsu sebatas niatmu tak pernah bersungguh sungguh padaku. Aku hanya cinta sesaatmu yang mengisi kosongnya harimu tanpa kehadiran seorang perempuan lain.” Kakinya terus melangkah menyusuri tepian pasir pantai yang sudah basah di guyur ombak. Menyisakan bekas pikjakan kaki, seperti halnya luka yang ia rasakan saat ini. Membekas, tapi akan terhapus oleh deburan air laut yang pasang, dan badai tepi pantai. Semua pasti bisa kembali seperti semula, perlahan tapi pasti. Nafasnya di hembus lega, kini Ami lebih tenang. Tak terasa kesedihannya tadi sudah membawanya jauh dari tempat parkir mobilnya semula. Toleh kanan toleh kiri, jantungnya berdegup kencang mencerminkan rasa takut mulai mengintai dirinya yang sendiri di tempat yang sangat sepi. “Lalu dimana aku sekarang?” Sesaat memandang keadaan sekitar mencari sesuatu. Ami terhenti, disana ia melihat ada sebuah gubuk bambu yang agak reyot dengan tumpukan kelapa hjau yang sangat banyak. Dan ada seorang perempuan yang sedang duduk sendiri di bangku kayu panjang di luar gubuk itu. “Permisi?” Sapanya pada seorang perempuan paruh baya itu. Sungguh heran, wanita itu tidak melihat dan menyahutinya, bahkan ia tak merespon dengan ekspresi wajah apapun. “Ibu?” Ami menggerakkan tangannya di depan pandangannya, namun 51 masih tetap dia tak perdulikan itu. Ada apa dengan ibu ini? Ami pun mencoba menepuk punggungnya, dan perempuan itu baru mengahadapnya. “Mas, ini sudah datang…” Katanya masih tanpa rupa apapun. Ami melangkah mundur dari hadapannya. “Masya‟ALLAH! Sepertinya aku telah salah tempat.” Kagetnya dalam hati. Satu demi satu, tiga orang pria suram dengan tubuh yang penuh tatto dan hanya menggunakan celana sangat pendek muncul dari dalam pintu warung yang gelap itu. Ah tak lupa seorang di antara mereka dengan botol miras yang entah apa merknya. Ami tahu benar siapa mereka. Jantungnya mau copot saja, gemetar, berkeringat bercampur takut yang merajai otak Ami sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Sementara mereka terus mendekat dengan tawa senyum yang dipenuhi setan di otak mereka. Satu, dua, dan Tiga! Segera Ami melangkahkan jurus kaki seribu. Lari! Lari! Lari! Dan mereka terus mengejarnya. Astaughfirullah haladim! Ya Tuhan selamatkanlah aku! Teriak Ami dalam hati. Ami mulai merasa lelah dengan kakinya, gerak semakin melambat, jangan sampai mereka berhasil menangkapku ya Tuhan… Oh tidak! Seorang lelaki dengan jaket kulit hitam berada di depannya. Entah siapa lagi orang itu. “Tollooooongg…!!” Ami berteriak padanya. Lelaki itu mengeluarkan sebuah pistol dari balik jaketnya. Entah apa lagi, Amipun memejamkan matanya. Ia sungguh takut dan lelah. Ami telah jatuh di tangan seseorang, seperti dipeluk dengan erat. “Apa aku telah aman? Semoga bukan preman itu.” Perlahan Ami buka sebelah matanya, melihat tiga preman itu terhenti karena pistol yang menuju arah mereka, lekas ia membuka kedua matanya lebar. “Pergi atau Mati?” Kata lelaki yang mengamankannya dengan santai. “Ayo kalau berani…!” Sahut seorang yang berambut gondrong. “Okay…” Sahut lelaki itu membenarkan kuda –kudanya. “Dalam hitungan ketiga, lari…” Katanya berbisik pada Ami. “Satu… dua…, tiga!” Seketika juga Ami dan lelaki itu berlari sekencang mungkin. Dan preman – preman itu mengejar mereka. “Kita mau kemana?” Tanya Ami yang lari terbirit –birit. “Kemana aja asal bisa selamatkan diri dari mereka!!” Jawabnya yang tak melepaskan gandengan tangannnya sedetikpun. “Kamu bukan polisi ya?” “Ya bukanlah, aku orang biasa!!” “Terus pistol tadi?!” “Itu cuma korek biasa. Udah jangan tanya lagi, kita harus sembunyi sekarang!” Lelah berlari, mereka bedua memutuskan bersembunyi di bawah truk box yang besar. Menyelip dan memperhatikan seksama langkah tiga pasang kaki yang tak beralas itu. Mereka masih berada tepat di samping truk kuning ini. “Kenapa bisa ada kamu?” Tanya Ami dengan nafas yang tersengal –sengal. “Shuttt!!! Jangan bersik, nanti mereka dengar…” Katanya mengecilkan suara. Amipun diam sesuai perintahnya. 52 Tak lama bersembunyi, terdengar suara sirine polisi yang semkin mendekat. Entah ada urusan apa, tiga pasang kaki itu lekas lari terbirit –birit menjauh dari tempat. Thanks to God! Mereka selamat. Mereka benar pergi ketakutan dengan sirine polisi yang ternyata hanya patroli lewat jalan raya saja. Ami dan lelaki itu kembali keluar dari bawah truck. Ami mengibaskan pakaiannya yang kotor berpasir. “Alhamdulillah….” Ucapnya bersyukur. “Makasih sudah menolong aku, gak tau gimana jadinya aku kalau tadi…” “Udah sama –sama. Udah wajib nolong orang koq…” Kata lelaki itu sambil lalu membersihkan jaketnya. “Kamu gak papa kan?” “Alhamdulillah aku gak papa. Cuma lelah aja abis lari.” Amu tersenyum. “Ya aku pamit dulu…” “Iya hati –hati.” Senyum manispun di berikan oleh Ami pada lelaki itu kemudian berbalik dengan selangkah kaki. Spontan kakinya berhenti begitu saja saat ia teringat sesuatu. “Dimana aku parkir mobilku ya? Ah sial! Aku baru ingat, mobilku tambah jauh lagi dari sini. Tadi tempatku agak sepi, terus di kejar tambah sepi, eh sekarang tempat wisata. Udah capek berlari, aku masih harus jalan balik rute yang tadi?! Oh no..” Desah Ami. “Ada yang bisa dibantu?” Lelaki itu kembali menghampiri Ami yang terlihat resah dan kebingungan. “Aku, ah gak papa…” Elaknya gugup. “Bawa mobil?” Ami tersenyum nyengir. “Dimana?” “He…” Senyum giginya melebar. “Itu dia, aku baru ingat mobilku ada di jauh sana…” “Kalau kamu mau, aku antar naik mobilku. Aku antar sampai mobilmu saja. Jamin selamat gak pakai di kejar preman lagi.” Katan lelaki itu dengan senyum yang tak kalah lebar dari senyum Ami tadi. “Terimakasih, terimakasih sekali…” Sungguh beruntung aku bertemu dengan orang muda, tampan, dan sudah berbaik hati menolongku dari kejaran preman –preman tadi. Jika dibandingkan, memang tak terlalu tampan dari pada Aim. Tapi aku bisa lihat dia jauh lebih baik dari Ibrahim Imranku. Dia gagah, tegap, terlihat jujur dan bertanggung jawab. Lalu, jika dia ada disini apa mungkin dia yang akan menolongku seperti lelaki ini? Ah! Buat apa aku juga aku memikirkan dia, lelaki yang jelas –jelas menghianati aku, mengecewakan aku dan sedikit lagi akan membunuhku. Batin Ami bergumam. “Kenapa bisa sampai dikerjar orang itu?” “Ha? Aku juga gak tahu. Tadinya aku cuma mau cari pertolongan eh yang keluar malah orang –orang itu.” Dia tersenyum. Sampai juga di parkir mobilnya yang hanya sebatang kara. “Makasih udah mengantarku.” 53 “Sama –sama…” Ami turun dan menenemui kembali mobil tersayangnya. Cuit cuit! “Maaf tunggu..” Ami menoleh, lelaki itu malah turun dari mobilnya. “Ada apa?” “Ini mobilmu?” “Iya, memangnya kenapa?” “Seratus kilo meter per jam. Tadi kamu ngebut kan?” Waw, hebat. “Koq tahu?” “Tadi aku lihat mobil itu kencang sekali. Seperti professional aja, eh gak nyangka kalau kamu yang bawa…” “Ah aku baru dua tahun belajar mobil. Tadi aku hanya…” “Sudah, kamu terlihat lelah sekali. Sebaiknya pulang dan istirahat…” “Iya, sekali lagi terimakasih…” “Sama –sama…” Ami kembali masuk mobil dan pergi dari tempat itu. Lelaki itu tersenyum, selembar foto ia ambil dari balik jaket hitamnya. Foto seorang gadis beralis tebal, bulu mata lentik, mata indah yang tajam, hidung mancung bertindik, senyum yang manis, siapa lagi yang memiliki itu semua selain, Amita Rorai. “Amita… Lebih cepat dari yang dijanjikan…” Katanya tersenyum. Sementara Ami dalam mobil selama perjalanan… Ami terus saja tersenyum sepanjang perjalanan pulang. Sungguh ia tak menyangka bahwa nyawanya akan diselamatkan oleh pemuda baik seperti tadi. Namun pirkiranya curiga, dari mana datangnya pemuda itu tiba –tiba langsung menolong Ami. Darimana datangnya pemuda itu sampai dia muncul disaat yang tepat aku membutuhkan dia. Tapi ada yang ganjil, sungguh mustahil dia datang bak super hero dengan pistol tiba –tiba ditempat sepi, sunyi yang harusnya tidak ada seorangpun disitu. Ah dia, harusnya aku tanyakan namanya tadi. *** 

Sembilan,, Sangat lelah setelah berlari sangat jauh tadi hingga Ami tak kuat menyeret kakinya masuk rumah. “Ami? Dari mana? Jalan yang bener dong…” Suruh Kak Emma yang duduk dengan selembar bulletin di sofa depan tivi. “Gak kuat aku kak mau angkat kaki…” Ami duduk di sebelahnya. “Dari mana kamu?” “Aku abis di kejar orang jahat…” Ami melentangkan badanku di sofa. “Orang jahat gimana maksud kamu?!” Konsentrasi kak Emma beralih. 54 “Gak penting, ceritanya panjang. Yang penting aku selamat, dan kakiku cuapek abis kak…” Ami menghela nafas sejenak. “Baca apa kak?” “Bulletin…” “Iya tahu bulletin, tentang apa gitu?” “Bulettin Ayah dapat dari pengajian…” “Iya. Tentang?” “Hukum anak dengan anak tiri…” Sontak Ami beranjank duduk. “Maksudnya?” “Ah tanya terus kamu, nih baca aja sendiri.” Kak Emma menutup lembaran bulletin itu dan memberikannya pada Ami. Ia pun pergi ke dapur. „Anak tiri telah menjadi anak sendiri… orang tua menjadi suami/istri maka anak keduanya adalah saudara dan haram hukumnya bila dipasangkan…‟ Ami ternganga membaca penggalan uraian dalam bulletin itu. Sungguh tak menyangka hubungan mereka adalah haram. Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang belum kami ketahui kemarin. Tapi? Yang mana yang benar? Dalam surah An Nisa duapuluh tiga di situ justru tidak di sebutkan mahram yang seperti itu. Sekarang Ami malah tambah semakin bingung. Kembalilah lagi kebimbangan Ami atas hubungan yang tak jelas antara dirinya dengan Aim. Mana yang benar sekarang? Atau memang hanya penafsiran Ayatnya saja yang kurang jelas sehingga mereka tak mengerti? Tapi, itu semua sudah tidak penting lagi sekarang. Mau dilarang atau diizinkan semua sudah tidak ada gunanya. Aim telah pergi dari hidup Ami untuk selamanya dan menjadi miliki orang lain, orang yang sudah pasti halal untuk dimilikinya. Sia –sia sekarang semua usahanya dalam mencari kebenaran hukum selama bertahun –tahun. Tidak ada lagi Aim yang memaksa Ami untuk mencari tahu tentang kepastian hukum diantara mereka. Karena Aim telah pergi meninggalkan Ami. Mengetahui itu semua menambah luka yang semakin perih dihati Ami. Dua mata indah itu kembali berkaca –kaca. Perlahan Ami menyeret kakinya yang semakin terasa berat kembali kekamar dan mengunci pintu rapat rapat. Tubuh itu lemah semakin tak berdaya, air mata terus membasahi seluruh mukanya. Ibrahim Imran… ,,,Apa salahku? Hingga tega kau Hianati ketulusan cintaku, Ketulusan, yang tak akan pernah aku berikan pada selain dirimu. Kedatanganmu, lebih buruk dari kepergianmu. Membawah sebilah pisau yang menusuk dalam jantungku. Aku terkapar dengan derai tangis untukmu. Dan kau terpejam, tak melihatku. Tanpa perduli dirimu, tersenyum dalam sedihku Aku disini dengan cinta dan mimpi, Kau disana dengan dirimu sendiri. Kenapa ini terjadi begitu saja Tak sesuai mimpiku Tak seperti anganku 55 Ingkan dirimu Mencari restu Ibuku Inginkan bahagia selamanya…. Bulir –bulir keringat mengguyur tubuhnya yang tergeletak di lantai. Nafas itu terdengar semakin berat dan perih dirasa. Setetes cairan kental berwarna merah perlahan mengucur dari hidungnya. Tiba –tiba… Tok tok tok!!! “Ami!!” Teriak Mama memanggil Ami dari luar. Tapi tak ada suara menyahut dari dalam kamar Ami. “Ami?! Ayo nak makan malam dulu…!!!” Panggil Mama terus berusaha membuka pintu tapi tak bisa. Perasaan curiga mulai menganggu pikiran Mama. Diam tak ada sahutan dengan keadaan pintu kamar terkunci dengan rapat, itu bukan kebiasaan Ami untuk tidur di malam yang sangat awal seperti ini. Ayah, Kakak dan semua seisi rumah berkumpul di depan kamar Ami dan mendobrak pintu. Walhasil, pintu terbuka dan mereka semua menemukan Ami tengah tergeletak tak sadarkan diri dengan berlumuran darah dari hidungnya. Segera dibawa Ami ke Rumah sakit agar tertangani segera. Tak lama terntangani petugas kesehatan, dua mata sembab Ami perlahan terbuka. “Ma…” Panggilnya mendesah lemah nyaris tanpa suara. Ayah dan Mama lekas mendatangi ranjang Ami. “Iya nak…” Sahut Mama yang dua matanya juga sembab karena menangis sejak tadi. “Aku dimana?” Suara Ami terdengar tak berdaya. “Sekarang kamu ada di UGD nak, tadi kamu pingsan sambil mimisan…” Jelas Ayah. “Pulang.. aku mau pulang…” Pinta Ami lemah. Matanya kembali terpejam seperti sedang mengigau. Tak lama dari hasil pemeriksaan yang menunjukkan kondisi Ami tak terlalu parah, dokter mengizinkan Ami untuk beristirahat di rumah dengan beberapa resep obat. Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani dari balik pintu. Ia tersenyum dan mendekat pada Ami yang sedang tidur. “Lagi –lagi kau ada masalah Ami. Itu pasti bukan masalah yang mudah sampai kamu jatuh sakit seperti ini.” Ami perlahan bergerak dan terjaga dari tidurnya. “Kakak?!” Panggilnya terkejut melihat Kak hani yang sudah lama tak dijumpainya lagi. Kak Hani tersenyum. “Iya…” “Kapan kakak datang?” Ami berusaha bangun dari tempat tidur. “Tadi pagi aku sampai. Sudah jangan banyak bergerak kamu masih sangat lemah…” Ami memeluk kak Hani yang sangat disayanginya itu. “Sejak kakak Nikah, aku jadi sangat merindukan kakak…” 56 “Sama aku juga Mi.” Pelukan itu dilepas. “Sebenarnya kamu kenapa lagi?” Mengingat masalah yang sama, setetes air mata jatuh dan meledak seketika dengan pelukan Ami lagi. “Apa pertunangan itu?” Tanya Kak Hani menerka mencoba mengerti keadaan adiknya. Tangis yang semakin menderas, menjadi jawabannya. “Kenapa sampai sejauh ini kak??” “Ami, kamu harus sabar. Sudah pernah kakak bilang dari awal, harusnya kamu tak sembarangan memilih.” “Ya aku tahu, tapi kenapa harus berakhir seperti ini?” “Kamu sudah lihat sendiri sekarang. Seseorang yang dimatamu baik peada kenyataannya tak lebih dari seorang penjahat. Kamu lihat sendiri, siapa Ibrahim yang sebenarnya. Dia seorang lelaki, sedang lelaki itu berbeda dengan wanita yang setia pada satu cinta. Kebanyakan dari mereka itu hanya manis diawal saja.” “Ya Kak, aku sangat menyesal karena telah pernah mengenal dia dan menjadi bagian masa lalunya.” “Percuma kalau kamu hanya menyesali. Yang harus kamu lakukan adalah lupakan dia, hanya melupakan dia untuk selamanya…” “Kakak…” “Kamu pasti bisa, yakin kamu inginkan untuk melupakan dia pasti bisa…” “Setelah semua yang terjadi…” “Dia tidak pantas buat kamu, lihat siapa dirinya. Tidak Ami, lupakan dia…” Kata kak Hani lembut. Ami melepas pelukannya. “Bukankah kamu pernah bilang pada kakak kalau seorang yang baik akan mendapatkan seorang yang baik juga?” Ia hanya mengangguk. “Yakinlah kalau kamu itu terlalu baik untuk orang sepertinya. Jadi kamu akan dapat yang jauh lebih baik dari Ibrahim.” “Iya Kak. Terimakasih…” Ami menyeka kedua matanya, berhenti menangis dan lebih tenang sekarang. Hanya kak Hani yang bisa menyemangatinya karena hanya dia yang mengetahui masalah ini. ***  

Sepuluh,, Sudah dua hari aku terbaring sendirian lemah dan membosankan di tempat tidur. Berbeda dengan dulu saat semua orang ada dirumah ini menemani aku sakit. Tapi kini hanya ada Mama di rumah dan sekarang sedang pergi ke pasar. Aku bangun dari tempat tidurku, memaksakan diri walau rasanya aku masih gemetaran tak kuat berjalan menuju balkon. Memandangi keadaan sekitar, ada kolam 57 yang bersih dan ada pembantu rumahku sedang bersih –bersih halaman. Tarik nafas, hembuskan perlahan. Aku mencium aroma kebebasan, angin, udara dengan embun yang sejuk. Sepertinya aku jauh lebih baik hari ini. “Mat, Nyonya minta beliin kelapa ijo…” Terdengar mbak Yanti berteriak pada pak Rohmat yang sedang mencukur pohon kerdil kesayangan Ayah dibawah sana. “Piro?” Tanya Pak Rohmat. “Loro wae…” Kelapa muda, aku jadi ingat saat tiga preman mengejarku waktu itu. Dan, lelaki berjaket hitam dia selamatkan aku. Hey! Kenapa aku jadi teringat dia?? Siapa namanya aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya dia adalah orang yang baik, dan kebaikannya cukup membuat aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Apa mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi? Atau, mungkin jika aku mencarinya di tempat waktu itu aku akan kembali bertemu dengannya? Semoga saja, biar aku coba cari orang itu. Aku melongo kebawah. “Biar aku aja yang beli…” Teriakku. Mereka berdua mendangah. “Lho? Non kan sakit?” “Udah sembuh koq…” Sahutku dengan senyum penuh semangat. Aku bergegas menggunakan jaket dan berlari keluar. Harus cepat –cepat menghilang sebelum Mama datang dan melarangku untuk pergi. Untung tak ada yang menggunkanan moobil jazz hitam milikku satu –satunya ini, kalau tidak aku pasti bingung cari transportasi umum. Semangat, senang dan penuh harap cemas aku melaju dengan mobil pemberian Ayah dua tahun yang lalu itu, menuju pantai pasir putih yang indah. Aku parkirkan tepat mobilku di tengah keramaian parkir wisata. Aku tak mau harus bertemu dengan penjahat koloran itu lagi. Seingatku kemarin dia naik mobil Nissan terano berwarna hitam. Tapi disini hanya ada beberapa mobil tapi tak ada satupun Nissan terano. “Ada yang bisa saya bantu mbak…” Sapa seorang petugas satpam padaku. Barang kali dia curiga dengan gelagatku. “Ah tidak pak, saya hanya mencari mobil teman saya. Nissan terano warnanya hitam. Apa bapak tahu?” “Namanya siapa ya Mbak?” “Kurang tahu pak…” “Nomor polisinya berapa?” “Ah, saya juga gak tahu pak…” “Lho? Piye toh mbak? Cari orang gak tahu namanya, cari mobil juga gak tau nomor polisinya.” Satpam itu malah cekikikan. “Yaa, ditunggu saja, disini yang punya mobil Nissan terano banyak sekali…” Iya juga sih. “Makasih pak…” Petugas itu kembali, akupun hanya tersenyum sendiri. Aneh –aneh saja pikiranku ini, coba kalau aku tahu namanya mungkin aku bisa cari dia dengan menanyakan namanya. Sekarang resiko deh nyariin orang yang tak 58 tentu akan datang. Sementara aku masih bingung sendiri, mungkin atau tidak dia ada disini ya? Ya Tuhan, izinkan aku bertemu dia dan mengenal dia sedikit saja hari ini. Amin! Kakiku terus berjalan kesana kemari, mondar –mandir kebingungan sendiri seperti setrika baju di depan mobilku yang sedang parkir. Tak perduli walau sejuta pasang mata melihat tingkah anehku ini. Apakah hari ini aku akan bertemu dirinya disini? Kakikupun berhenti, untuk apa aku sangat ingin bertemu lelaki itu ya? “Permisi ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang lelaki dari arah belakangku. “Sudah saya bilang saya cari pemilik Nissan terr…” Jawabku sambil berbalik. Aku terkejut saat melihat siapa dihadapanku ternyata ada si jaket hitam kemarin. Ya! Lelaki ini yang ku cari!! “Terrano??” Lanjutnya tersenyum padaku. Aku diam, sungguh malu. “A, a-aku…” Aku tergagap. “Cari aku atau pemilik terano yang lainnya?” Aku hanya tersenyum semakin malu padanya. Oh My God! Sial atau beruntung aku bertemu dia sekarang, tapi kenapa aku harus memalukan seperti ini? Benar do‟aku terkabul tapi aku ingin yang baik tak memalukan seperti ini. Pasti dikiranya aku sangat berharap seribu persen padanya. “Gak usah malu begitu. Kenalkan aku Farish…” Katanya menjulurkan tangannya padaku. “Aku.” Aku menyalaminya. “Amita, kan…?!” Tebakannya sungguh jitu. “Koq tahu?” “Aku tahu kamu, tapi kamu gak tahu aku.” “Tahu dari mana?” “Gak penting lah…” Aku tersenyum. “Wah, kamu bukan intel kan?” Dia berbalik senyum. “Sejauh ini aku bukan intel yang suka ngebuntutin penjahat. By the way, tangan kamu serasa panas. Kamu sakit?” Lekas aku melepas tanganku. “Ah enggak, aku baik –baik aja…” Elakku. “Yakin? Wajahmu agak pucat.” Usutnya memastikan. Aku tersenyum. “Aku yakin. Kamu tenang aja.” Hemm… “Emmm, gimana kalau kita ngobrol sambil duduk di pantai. Seru tuh.” “Boleh.” Aku menerima tawarannya. Kami berdua beralih, pindah menuju tempat yang jauh lebih santai dan asyik. Duduk berdua di bawah naungan pohon kelapa yang berayun ditiup angin laut sambil menikmati air kelapa, yang dibeli olehnya. Akh, jadi ingat saat bertemu dengan dia pertama kali. “Kenapa koq dipandangi terus kelapanya?” Aku terjaga dari lamunanku. “Cuma ingat saja sama kejadian waktu itu.” “Kejadian apa?” “Kejadian waktu kamu tolongin aku, waktu itu… awalnya aku lihat tumpukan 59 kelapa hijau gini di warung setan itu.” “Koq gitu sih…” “Maaf aja kalau kamu gak suka dengernya. Tapi sumpah aku trauma banget sama kejadian waktu itu. Kalau bukan setan temen mereka apa dong? Sampai ngejar – ngejar aku gitu, hah sumpah deh…” Farish tersenyum melihat ekspresiku yang sangat kesal. “Kenapa?” Ia menggeleng. “Enggak. Lucu aja…” “Koq kamu bisa muncul tiba –tiba sih? Pas banget aku sangat butuh bantuan.” “Kebetulan aja aku ada disana. Deket situ ada warung, aku suka nongkrong disana.” “Uww..” “Tadinya temenku yang lihat, trus dia panggil aku, eh aku lihat itu kamu aku..” Kalimatnya dihentikan perlahan. “Kamu?” “Ah.” “Kenapa?” “Enggak, yaa aku tolongin kamu.” “Kenapa koq gak temen kamu yang melihatku yang menolongku saja?” “Cemen. Mereka penakut.” “Terus kamu gak takut gitu?” “Yaa, takut sih cuma gimana lagi kasihan kamu.” “Emangnya kalau yang lain kenapa?” “Gak papa sih, ya aku tolongin juga, pasti” Aku tersenyum. Ada yang tak beres dengan orang ini, raut mukanya terlihat lebih tegang, dia seperti menyembunyikan sesuatu dibalikku. Tapi terserahlah, sejauh ini yang penting dia baik tak merugikan aku. “Eh tau gak, aku kira tuh pistol beneran. Eh gak taunya cuma korek.” Lanjutku mengalihkan bicara. “Itu? Ah iya, itu cuma korek punya temenku juga. Sebenernya aku juga takut. Temenku kasih ke aku, dia bilang kalau preman itu bakalan takut, tapi apa? Bukannya takut, malah nantangin.” Mimik wajahnya sungguh ekspresif menceritakan kejadian itu. Ekspresi rupanya lucu, membuatku tak tahan meledakkan tawa –tawa kecil. Tak sangka kebersamaan kami yang baru sejenak itu sudah memunculkan tawa canda yang seru. Belum pernah aku tertawa lepas semudah ini. Tak seperti bersama Aim yang hanya beberapa memunculkan senyum, bukan tawa. “Kenapa?” Heran Faris yang melihat rupaku berubah sedih seketika. “Ah aku gak papa.” “Boleh aku tanya?” “Silahkan?” “Kamu memang hobi ngebut ya?” “Enggak juga.” 60 “Terus waktu itu? Seratus kilometer per jam di daerah seperti ini rawan lho..” Aku hanya bisa tersenyum dan menunduk. Saat itu aku ngebut karena aku kesal dengan Aim. Aku tak pernah fikir bahaya maut tengah mengancamku. Saat putus asa seperti itu mungkin memang aku lebih rela mati. Tapi melihat sekarang, aku tak mau mati hanya karena hal yang tak penting. “Apa saat itu kamu dapat masalah?” Pertanyaan itu terdengar hati –hati. Kembali aku tersenyum. “Mungkin…” “Maaf, bukannya aku mau tahu urusan kamu. Tapi kalau kamu perlu berbagi silahkan aja…” “Makasih, tapi bukan masalah yang penting koq.” “Well, moga aja memang hal gak penting.” “Hmmm, seberapa sering kamu datang kesini?” Tanyaku. Mengalihkan pembicaraan. “Seberapa sering kamu butuh bantuan aku, pasti kamu akan temukan aku disini.” Jawabnya tersenyum memandangku. Itu memang terdengar serius, tapi untuk sebuah awal pertemanan, Gombal! “Waw, so sweet! Ayolah Farish…” “Sungguh, hampir setiap hari aku ada disini Ami. Setidaknya aku harus selesaikan kerjaanku dulu baru pergi jalan –jalan.” “Memang kerjamu apa??” “Aku adalah…” Ucapannya tak diteruskan. “Apa?” “Aku adalah…” Farish tak langusng menjawab pertanyaanku, rupanya sengaja menggodaku seakan ia tak ingin mengatakan seadanya. “Ya sudah kalau gak mau bilang. Mungin aku bisa menerka, kalau kau itu anak orang kaya, yang kerjanya melanjutkan usaha orang tua. Atau jangan –jangan kamu yang punya kebun mangga yang terkenal itu ya???” Mataku menyipit menerawang dia. “Ha?!” Mukanya terbelak sampai –sampai ternganga dengan terkaanku. Rupanya ia sangat terkejut dengan tebakanku barusan. Atau memang tebakanku jitu? Aku tak kuasa menahan tawaku melihat raut wajahnya yang sangat kaget tak beraturan. Tak sangka ia sampai begitu kagetnya hingga harus ternganga lebar. “Haha, aku cuma bercanda!!!” Mulutnya yang mangap di tutup. “Kamu itu…” Well, saking keasikan aku jadi lupa waktu. Aku lihat jam ditangan sudah menunjukkan jam satu dua lapan, aku harus pulang sekarang. “Lain waktu kita bisa bertemu lagi kan?” Tanya Farish saat mengantarku ke parkiran mobil. “Mungkin? Insya‟ALLAH…” Farish tersenyum. “Okay aku pulang dulu.” Cuit –cuit! Pegangan pintu aku tarik dan terbuka. Tak langsung masuk aku merasa ada 61 yang tak enak dengan diriku. Serasa cairan kental mengalir dari hidungku. Aku seka dan aku lihat ternyata darah mimisan lagi. Aku benci darah, itu membuat kepalaku pusing dan berputar melihat dunia ini. “Ami kamu kenapa?” Tanya Farish dengan rupa yang sangat kaget. Lekas aku seka hidungku. “Aku gak papa.” Elakku. “Kamu sakit Ami.” “Aku tidak apa –apa Farish…” Terus saja aku mengelak. “Biar aku antar kamu pulang. Kamu itu sedang sakit tak mungkin jalan sendiri.” Paksa Farish yang tahu benar aku sedang tidak sehat. Aku tak perdulikan Farish lagi, yang aku rasa sekarang hanya bumi yang berputar semakin cepat, tubuhku seperti di gigit semut dari ujung kaki hingga kepala dan gelap! ***  

Sebelas,, Ami pingsan! Tubuh Ami yang lemas itu terjatuh dan segera ditangkap sigap oleh Farish yang berdiri disampingnya agar tak jatuh ke tanah. “Akh! Sial, kenapa si Bram itu kasih gue cewek penyakitan gini sih?!” Kesal Farish sambil menyandarkan Ami di kursi mobilnya. Iapun lekas membawa Ami ke kelinik terdekat. “Ibrahim…” Panggil Ami dalam pingsannya. Farish menoleh terkejut, perempuan disampingnya telah menyebutkan sebuah nama yang tak asing baginya. “Ibrahim? Apa Bram?” Pikirnya tiba –tiba curiga. “Apa hubungannya?” Hingga sampai pada klinik dan Ami mendapat pertolongan pertamanya. “Dia tidak apa –apa. Hanya stress saja, barangkali dia ingin cepat –cepat kamu nikahi.” Jelas Dokter bergurau sambil menuliskan resep obat di selembar kertas. Farish terhenyak. “Dia bukan pacar saya, dok!” “Dia panggil –panggil nama kamu..” “Siapa nama saya dok?!” Tanya Farish kesal. “Ibrahim?” “Bukan! Nama saya Farish, dokter.” “Ah tak apa, tak usah merasa malu seperti itu. Jadi lelaki itu harus bertanggung jawab. Tak usah mengelak seperti itu lah…” “Aduh dokter. Apa perlu saya tunjukkan ktp saya?! Saya ini baru kenal dengan dia. Pacarnya saja saya tidak tahu siapa.” Jelas Farish kesal pada dokter yang terus menggodanya. “Ooo…” Mulut dokter membundar sambil tertawa ringan. “Kalau gitu, nanti kalau sudah tahu, bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin segera dinikahi 62 pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu.” “Benar dia sakit gara –gara setres, dok?” Dokter menyobek selembar kertas resepnya. “Iya, gadis itu tidak berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan beban fikiran yang sangat berat.” Farish diam tak menjawab apapun lagi. Selembar resep di berikan pada Farish. “Ini di tebus saja.” “Baik dokter.” Resep obat itu ditebus Farish di apotek terdekat. Apa iya, seperti yang dia bilang tadi kalau dia mungkin sedang bermasalah? Tanya Farish dalam benaknya sendiri. Tapi masalah apa sampai terbawa sakit seperti itu? Wajah cantik Ami sungguh pucat, kedua matanya sembab berair. Hidung mancung bertindik itu memerah, bibir mungil memerah dan kering terkelupas kulit arinya. Ditatapnya gadis itu dengan rasa penasaran penuh Iba. Seorang gadis yang di dapat dari seorang kawan bernama Ibrahim Imran. Saat itu menjelang tengah malam, beberapa lelaki berkumpul di bawah naungan warung kecil dengan lampu yang tak terlalu terang. Plasst!! Ditepis tangan seorang kawan yang hendak menuangkan minuman ke dalam gelasnya. “Sudah gue bilang jangan coba –coba nuangin cairan itu kedalam gelas gue!” “Sorry boss..” “Gue bukan loe loe!!” Sunyi seketika perhatian beralih pada sebuah mobil mewah memasuki halaman luas warung. Sinaran lampu mobil itu membuat mereka bersembunyi di balik tangan masing -masing. “Ibrahim…” Kata Farish tahu siapa yang datang. Mesin mati, lampu mobilpun mati. Lalu keluarlah sesosok lelaki gagah berjas hitam dari mobil itu. Ibrahim Imran, seorang kawan baik dari Farish. Ia menghampiri Farish dan kawan –kawan yang tengah bersantai menghabiskan malam. “Hallo bro!” Sapa Aim dan menyalami semuanya. “Apa kabar ne?” “Baik, loe?” Tanya Farish balik. “Alhamdulillah lah…” “So? Tumbenan langsung kemari, ada apa?” Tanya Farish heran. “Langsung aja. Gue ada tawaran…” Alisnya menaik. “Tawaran apa ne?” Aim trerlihat mengambil sesuatu dari balik jasnya. Di comot selembar foto dan di letakkan di atas meja. “Namanya Ami..” Farish mengambil foto itu dan dipandangnya seksama. Foto itu kembali di lempar ke atas meja. “Sorry gue gak tertarik bro…” “Buat gue aja!” Serempak kawan –kawan lain berebut menyambar foto diatas meja bersama –sama. Foto itu kembali disambar oleh Ibrahim. “Sembarangan! Loe punya muka pe de 63 amat mau sama ni cewek..” “Stop! Loe ada apa sampai nawarin cewek itu ke gue?” “Cuma loe Farish yang tepat buat ni cewek. Lihat, dia ini cantik. Masa iya gue mau kasih sama bang Joe atau yang lainnya?” “So loe kira gue kerren gitu?” “Yaa setidaknya loe kan lebih lukin good dibanding mereka semua. Kita sama – sama lah..” “Udah bos, samber aja. Cantik loh..” Farish tak perdulikan seruan kawan di kanan kirinya. “Sepuluh juta, setidaknya loe bisa jadi temen baiknya. Setelah itu terserah loe. Mau diapain okay, terserah loe. Lu urus nih cewek sepuluh juta.” “Tampangnya cewek baik –baik. Apa maksudnya neh?” “Loe lihat sendiri aja lah Rish..” Aim kembali merogoh kantong jasnya dan mengambil sebuah amplop coklat agak tebal. “Ini setengahnya dulu, kalau loe sukses jadi temen dia, gue kasih semuanya lunas.” “Penting banget lu kasih ni cewek sama gue?” “Loe sohhib gue bro. loe pasti bersedia nolongin gue kan?” “Emang dia siapa lo?” “Akh, yaa ada orang minta tolong sama gue. Itu aja lah..” “Pentingkah?” “Banget. Please, gue butuh banget bantuan loe utuk satu cewek ini.” “Akh, yang benner loe ini. emang ada apa?” “Sorry bro, gue gak bisa jelasin sama loe. One day loe bakal tau sendiri lah..” “Okay…” Berat Farish menyetujui penawaran Ibrahim yang tak jelas itu. Hwerr…!!! “Farish…” Panggil Ami yang ternyata sudah sadar, membuayarkan lamunan Farish. Farish tersenyum. “Iya aku disini.” „Intro panah asmara by afgan…‟ Memotong pembicaraan mereka. Handphone di kantong Ami berdering. “Pasti telpon dari rumah mu…” Tercekat, jantungnya berdebar kencang. Layar tanpa tombol itu menampilkan panggilan dari Aim. Panggilan itu tak lekas dijawabnya. “Kenapa?” Ami diam, hanya menggeleng. “Dijawab saja sapa tahu penting.” “Tidak, ini gak penting.” Ami tetap membiarkan handphoenya berdendang. Tak sengaja Farish melihat layar panggilan dengan nama „Ibrahim Imran‟ “Pasti dia…” Katanya terdengar pelan. “Kenapa?” Farish menggeleng. “Tidak. Angkat saja sapa tahu penting.” „Intro panah asmara by afgan…‟ Handphone itu terus berdering. 64 “Ami, gak baik membiarkan orang yang butuh sama kamu seperti itu.” “Aku gak mau jawab.” “Kenapa gak dimatikan saja.” “Jangan.” “Jawab Ami. Jangan bikin penelpon itu tambah khawatir sama keadaan kamu.” Paksa Farish. Kembali Ami memandangi layar handphonenya dan menjawab panggilan itu. “Hallo.” Katanya pelan. “Assalamualaikum…” “Waalaikum salam.” “Kenapa baru diangkat?” “Maaf, barusan aku lagi…” “Apa?” “Ada dokter yang meriksa aku.” “Kamu dirumah sakit lagi?” “Aku ada di klinik. Tadi aku pingsan, aku habis kabur dari rumah.” “Kamu kabur?! Ami, sudah berapa kali aku bilang kamu…” “Cukup!” Bentakan Ami cukup mengagetkan Farish yang duduk disebelahnya. “Hentikan, aku gak mau kau sok baik seolah memperdulikan aku!” “Aku minta maaf.” “Sudahlah, tolong kasih tahu kak Hani. Jangan sampai yang lain tahu aku sedang kambuh di klinik. Suruh dia menjemputku sekarang.” “Okay…” Tit! Berakhir panggilan itu tanpa persetjuan dari Aim disana. “Kenapa harus membuang emosi?” Tanya Farish. “Kau tahu kenapa aku tidak mau menjawab telpon itu?” “Kenapa?” “Karena aku tidak mau membuang emosiku. Tapi kamu yang memaksaku tadi.” “Maaf Ami. Aku hanya…” “Sudahlah jangan bahas ini lagi.” Farish menghela nafasnya santai. “Dokter bilang kamu gak punya penyakit serius. Hanya terlalu banyak fikiran dan capek.” Kabarnya mengalihkan pembicaraan. “Iya, waktu itu dokter yang lain juga bilang begitu.” “Boleh aku tanya?” “Silahkan.” “Tadi di telpon kamu bilang kamu kabur dari rumah, lalu aku bertemu kamu di pantai. Memangnya kenapa kamu kabur?” Pertanyaan Farish terdengar hati –hati. “Aku bosan sudah dua hari aku tidur di kasur, dikamar, dengan suasana yang tetap seperti itu. Aku kesepian Farish, mereka hanya memastikan aku baik –baik saja lalu pergi kembali dengan pekerjaan masing masing. Selesai.” “Lalu sekarang kamu membuat semua orang dirumahmu khawatir?” 65 “Yaa.” “Mereka sayang sama kamu tapi kenapa kamu justru seperti itu?” “Sudahlah Farish, ada kalanya seorang manusia butuh tempat untuk menenangkan dirinya. Seperti aku yang sampai seperti ini sekarang.” “Okay aku hargai. Tapi aku harap ini yang terakhir kalinya kamu begini. Kamu harus cari cara lain, cara yang gak bikin orang lain cemas.” “Gimana caranya?” “Menyanyi, berteriak, menulis, tidur atau yaa apalah terserah kamu, tapi yang pasti gak bikin orang khawatir mikirin keadaan kamu yang tiba –tiba menghilang seperti ini.” Ami tersenyum memandang Farish. “Kenapa kamu yang sewot kalau aku bikin khawatir orang rumahku?” “Hey Ami. Kamu sadar kamu pergi dengan keadaan sakit?” Ami mengangguk. “Untung kamu bertemu dengan aku. Kalau yang lain? Atau mungkin kamu tidak bertemu dengan siapapun? Bayangkan apa yang akan terjadi sama kamu. Kamu menyetir sementara hidungmu terus mimisan kamu hilang kendali dan akhirnya menabrak, kecelakaan, masuk rumah sakit? Yang ada malah nambahin penyakit bukan tambah sembuh Ami!!” Jelasnya kembali dengan rupa sangat ekspresif. Ami tersenyum, semakin lebar melihat kekhawatiran seorang teman yang baru ia temukan beberapa waktu lalu. “Boleh aku tanya?” “Ya?” “Sebagai apa kamu mengkhawatirkan keadaanku sampai segitunya?” “Aku?” Farish tercekat. Mulutnya kembali ternganga. “A..” “Farish, Farish…” Ami melpas tawa kecilnya. “Maaf, tapi aku pikir…” “Sudahlah, terimakasih sekali Farish. Aku gak pernah berfikir sampai sejauh itu. Makasih juga kamu udah mengingatkan aku, mewantiku agar lebih berhati –hati.” Farish tersenyum. “Sama –sama. Itulah gunanya teman yang harus selalu ada kapanpun dibutuhkan…” “Aku janji, aku akan berusaha berhenti bikin keluargaku cemas.” “Wajib! Janjilah pada dirimu sendiri, bukan sama aku atau yang lainnya.” “Iya..” ***  

Dua belas.. Mesin mobil di matikan, Ibrahim dan Kak Hani keluar dari situ. “Nanti biar kakak saja bawa mobilnya Ami. Kamu mau balik langsung gak papa..” Kata kak Hani sambil mencantolkan kembali tas ke bahunya. 66 “Baik kak…” Tanpa kata lagi Kak Hani segera masuk pintu klinik dengan diekori Aim di belakang. “Ami…” Sapa kak Hani khawatir menemui Ami segera. “Kakak, sama siapa?” “Aku berdua sama Bram…” Jawab Kak Hani. Mendengar nama itu Farish terjaga dari tempat duduknya, ia lekas menoleh kearah pintu. “Kenapa sama dia, kak?” “Kan kakak dikasih tahu dia. Sekalian kakak minta antar, kamu kan bawa mobil.” Farish terus menatapi arah pintu, terlihat seorang lelaki tengah seibuk dengan ponselnya berjalan hingga depan pintu. Ia pun terkejut ternyata yang dimaksud benar adalah Ibrahim Imran sohibnya ada hubungan dengan Ami. Disana, Aim berhenti dengan urusan di ponselnya hingga kembali dimasukkan dalam kantong celana. Selangkah maju, kakinya kembali berhenti terkejut saat melihat Farish berada di dalam yang menemani Ami. Mereka hanya beradu pandang tanpa gerak mendekat sedikitpun. “Gimana kamu bisa sampai kabur?” “Aku pengen jalan –jalan kak. Pas keluar untung aku ketemu sama teman aku… Farish..” Panggil Ami membuyarkan pandangan Farish. “Ah Iya..” Farish kembali pada Ami dan kak Hani. “Kenalkan kak, ini Farish, Farish kenalkan dia kak Hani. Kakak yang paling dekat denganku.” “Farish.” Farish menjulurkan tangannya. Kak Hani menyalami Farish. “Hani.” Jabatan tangan dilepas. “Sudah berapa lama kalian berteman?” Diam, Ami dan Farish saling melihat. “Tadi?” Jawab Farish tak yakin. “Ha?” Ami tersenyum. “Aku pernah cerita aku dikejar preman lalu, ada orang yang tolong aku?” Kak Hani menggeleng. “Ah, nanti aku ceritakan. Orang yang tolong aku dia, dan hari ini aku bertemu dia lagi di tempat yang sama. Hari ini dia lagi yang tolong aku membawa kemari.” “Owh. Terimakasih Farish.” “Sama –sama.” “Oh ya, apa kata dokter?” “Tidak ada yang serius, kata dokter Ami hanya kecapean dan banyak fikiran.” Jelas Farish. Kak Hani memandang adik bungsunya itu. Ia tahu benar apa yang menyebabkan kondisinya jatuh lemah seperti ini. “Hentikan pikiranmu, dia tak tahu apa yang kamu rasakan. Lupakan dia.” 67 Ami menarik senyum berat. “Iya kak.” Farish kembali menolehi arah pintu. “Sial!” Kesalnya. “Apanya yang sial?” Tanya kak Hani. “Ah enggak. Aku hanya ingat sesuatu terlupa. Maaf, ada yang harus aku urus sekarang.” Katanya tergesa –gesa. Farish meninggalkan Ami dan kak Hani berdua di dalam. Tergesa –gesa ia pergi keluar mencari sesosok Ibrahim yang seperti kabur dari hadapannya. Menoleh kekanan dan kekiri, seluruh parkiran sudah sepi hanya tinggal mobil jazz Ami, Ambulance dan beberapa motor milik pasien lain. “Dia benar –benar berhubungan dengan Ami. Sebenarnya siapa dia? Kenapa seperti takut sekali aku tahu?!” “Farish!” Panggil Ami. Farish menoleh mencari sumber panggilan itu. “Aku mau pulang. Kamu mau kita antar?” Farish tersenyum dan menggeleng. “Gak usah, aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang bareng kakakmu aja.” “Setidaknya sebagai ucapan terimakasih kami Farish.” Tambah Kak Hani yang memapah Ami. “Makasih Kak, gak usah. Bentar lagi temanku jemput koq.” “Okay, makasih ya.” Ami dan kak Hani masuk mobil, hanya lambayan tangan dari dalam mobil kemudian mobil hitam itu melenyap dari halaman klinik. Begitu juga dengan Farish tak lama menunggu mobil Nissan terano datang menjemputnya. Seroang kawan bernama bang Joe menjemputnya. Perjalanan terasa sunyi dan tegang tak seperti biasanya. Seorang Farish yang disebut boss hanya diam tak mengucapkan sepatah kata sapaan sekalipun pada Bang Joe. Pikirannya teringat pada perkataan dokter tentang Ami tadi siang. “Ooo…” Mulut dokter membundar. “Kalau gitu, nanti kalau sudah tahu, bilang saja sama pacarnya itu. Barangkali dia ingin segera dinikahi pacarnya. Kasihan dia sangat settres sampai jatuh sakit seperti itu…” “Benar dia sakit gara –gara setres dok?” Dokter menyobek selembar kertas resepnya. “Iya, gadis itu tidak berpenyakit. Biasanya kalau seperti begitu berarti pasien kelelahan dan fikiran yang sangat berat.” “Bos?” Farish tak beralih, benar matanya tertuju pada jalanan yang ramai lalu lalang motor –motor dan mobil, tapi pikirannya melayang jauh entah kemana. Sebuah motor berkecepatan rendah memotong jalan di depan mobil tiba -tiba. “Bosss!!!” Teriak Bang Joe. Teriakan itu mengejutkan Farish yang melayang, Kiikkk!!! Seketika rem diinjak hingga merekapun terpental ke depan. Jantungpun berdebar kencang sangat kencang. 68 “Astaughfirullahaladim!!” Melebar mata Farish dan mengusap dadanya. “Akh! Boss, kenapa sih bos ne?!” “Sorry bang, gue gak konsen.” “Ah bos, ini jalanan rame banget jangan pake gak konsen gitu dong!” “Sorry sorry.” Sejenak Farish mengalihkan pikirannya dan kembali konsentrasi pada jalanan hingga kembali kerumah. Sebenarnya ada apa dengan Ibrahim dan Ami? Kenapa rasanya aneh dan mencurigakan begini? Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Farish setiap saat. Iapun memutuskan untuk menghubungi Aim, tapi panggilan lewat seluler itu tak ada jawaban. Kalau memang tidak ada yang disembunyikan pasti Ibrahim merespon panggilan itu. Benaknya terus gelisah ingin tahu sebenarnya yang terjadi. Terus mencoba menghubungi Ibrahim tapi tetap saja tak ada respon darinya. Akhirnya ia putuskan untuk mendatangi rumah Ibrahim. Tok tok tok! Pintu terbuka, muncullah seorang gadis cantik langsing dengan rambut panjang bergelombang tergerai. “Cari siapa ya?” Tanya gadis itu sambil membuka pintu, ia tak tahu kalau Farish yang datang. “Inez? Kamu disini?” Sapa Farish terkejut. Perempuan cantik itu juga terkejut dan tersenyum. “Farish, apa kabar?” “Iya, aku baik kamu sendiri gimana?” “As you see now..” “Alhamdulillah, oh ya Bram ada?” “Ada, di dalam. Ayo masuk.” Inez mempersilahkan Farish masuk rumah. Mereka duduk di sofa ruang tamu bersama. “Ada apa?” Tanya Aim. “Kemana aja loe? Dua hari ni gue coba hubungin tapi gak bisa.” “Sorry bro gue sibuk banget. Terus gimana?” “Gue udah deket sama cewek itu. Sesuai janji, gue mau minta setengahnya.” “Owh, iya sebentar…” Aim beranjak dari situ meninggalkan Inez dan Farish berdua. Ia kembali masuk hendak mengambil sesuatu dikamarnya. “Emangnya Bram janji apa soal cewek?” “Dia suruh aku buat deketin cewek. Namanya Amita, Amita Rorai tapi dia gak kasih penjelasan apapun soal cewek itu.” “Amita?” Inez terbelak. “Ami?” Farish mengangguk cepat. “Ngapain Bram suruh kau deketin kak Ami seperti itu??” Alisnya mengernyit. “Kak Ami? Maksudnya?” “Amita Rorai, itu kan adik tirinya Bram. Anaknya Om Bilal..” Jelas Inez yang tak tahu urusan. “Ami sama Ibrahim saudara tiri?” 69 Inez menghentikan gerak mulutnya yang hendak menjawab saat terdengar langkah kaki Ibrahim menuruni tangga. “Lima juta. Lunas kan?” Aim meletakkan amplop coklat di depan Farish. Farish dan Inez saling melihat. “Saat pingsan dia ngigau panggil –panggil nama Ibrahim dan Aim, penasaran lo tahu siapa yang dimaksud dia?” Tanya Farish memancing. “Gue gak tahu.” Jawab Aim cepat. “Yang namanya Ibrahim gak cuma gue, banyak koq. So bukan gue…” Farish tersenyum. Jawaban Aim terjerat dalam pancingannya. “Pastinya gue gak bilang kalau itu loe…” “Ya, ya…” “Okay, gue pamit dulu…” Sederhana saja, orang bodohpun tahu, Aim punya urusan dengan Ami. Farish kembali melangkah keluar dari rumah Aim. ***  

Tiga belas.. Akibat sakit selama seminggu, semua tugas –tugasnya terbengkalai dan kini harus segera diselesaikan. Sejak pagi gadis itu nampak sangat sibuk di kampusnya, ia harus mengurus perpindahan semester dari empat ke lima istilah lain dikata dafar ulang. Sibuk masuk kantor sana keluar kantor sini. Arsip, foto copy, keuangan dan lain –lainnya. “Foto kopinya sudah selesai?” Tanya Ami pada seorang teman. “Udah,” “Eh ini punyaku titip sekalian ya…” Ami sangat kesulitan dengan lembaran – lembaran kertas dan Map yang dipegangnya. Hingga akhirnya lembaran –lembaran itu jatuh dan berterbangan kemana –mana. “Ah…” “Duh Ami…” “Aku benci ini! Mereka semua menitipkan sama aku, sementara aku sendiri belum menyelesaikan punyaku.” Ocehnya sambil memungut kembali kertas –kertas yang berhamburan. “Ami sorry ya, aku ada janji sama dosen sekarang.” Pamit seorang teman yang tadinya malas untuk membantu memungut kertas itu. “Ya, ya, ya sudah sana silahkan pergi…” Usir Ami santai. Kawanpun pergi meninggalkan Ami sendirian. “Hah! Kalian itu kalau ada maunya saja baik –baikin aku, giliran aku yang butuh sejuta deh alessannya buat ngindar! Akhr sial banget sih aku punya temen kaya kalian ha?!” Mulutnya tak berhenti mengutarakan kekesalan. “Marah sih marah, tapi jangan terlalu nyaring suaranya, nanti disangka orang gila bicara sendiri kamu.” 70 Suara itu menghentikan tangan Ami dan iapun lekas menoleh. Ternyata itu Farish yang tiba –tiba muncul membantu memunguti kertas yang berantakan. “Farish?!” Lagi –lagi Farish hanya tersenyum. “Ngapain kamu disini?” “Aku? Ke café?” Ami menatapnya curiga. “Ini memang café, tapi masih banyak café lain bukan?” “Owh, aku mau ketemu temanku. Dia kuliah disini juga, janjian…” “Owh…” Mulutnya membundar. Tapi ia mulai ge –er, dikiranya Farish datang untuk bertemu dirinya. Farish memberikan lagi lembaran kertasnya. “Makasih…” “Sepertinya kamu sibuk sekali ya?” “Enggak juga sih, sebagian dah selesai tadi. Cuma aku kesssseeeeel banget. Yang benner aja masa temen –temen pada nitipin ini semua sama aku. Gak bayar lagi…” Adunya kesal. “Sudah, sudah, yang sabar. Itung itung cari pahala aja lah…” “Pahala sih pahala Rish, tapi enggak juga kalau sampai seberat ini. Nih aja sampek jatuh kemana –mana. Mending lah aku kasih beras sekarung ke panti asuhan…” Farish tersenyum. “Bisa aja kamu…” “Hey! Kamu udah melupakan sesuatu Farish.” “Apa?” Tanya Farish heran. “Sejak aku pulang dari klinik kamu gak pernah tanya kabar aku sama sekali..” Farish menepak dahinya. Ia tersenyum dan tertawa kecil. “Argh! Ami aku sungguh minta maaf, aku lupa. Habisnya aku lihat kamu sudah sangat sehat jadi aku lupa kalau kamu pernah sakit.” “Sudahlah..” “Jadi? Gimana kabar kamu sekarang?” “Yaa seperti yang kamu lihat dan kamu kira. Aku baik –baik saja dan sangat sehat sekarang.” “Syukurlah kalau gitu. Hmm… jadi kamu kuliah disini?” Ami mengangguk cepat. “Iya. Dua tahun lagi aku akan lulus jadi bidan. Minggu depan aku praktek di klinik. Lebih tepatnya puskesmas desa.” Sementara… Sedan civic hitam menyerongkan stirnya berhenti tepat di halaman café yang sama. Turunlah lelaki berjas rapih dan kacamata hitam yang menampakkan dia lebih gagah. Saat kacamata itu dilepas, Aimlah orangnya… Rupanya sejak pertanyaan Farish waktu itu Aim terus terbayang –bayang dan ingin bertemu Ami. Tapi, sesaat Aim cukup terkejut melihat dari kejauhan Ami sedang bersama seorang lelaki penuh canda tawa sangat lepas. Seperti terbakar, ia tak senang 71 melihat kedekatan Farish dengan Ami. Ini pertamakalinya ia melihat Ami sedang berduaan langsung dengan lelaki selain dirinya. “Ami…” Sapanya kaku. Mereka berdua yang sedang seru langsung berhenti. “Ibrahim…” Ucapnya sangat terkejut dengan kedatangan Aim. “Iya. Apa kabar?” “Aku baik.” Farish diam saja, ia seperti yang tak tenang. “Ami, aku pergi dulu…” Pamit Farish tenang. “Mau kemana?” Sesekali Farish memalingkan pandangannya. “Sudah aku bilang, aku harus bertemu temanku dulu…” “Owh okay, tapi…” “Sampai jumpa Ami…” Farish meninggalkan Aim dan Ami berdua. Sunyi, tak ada tema yang bisa memulai pembicaran mereka. “Ada apa kau kesini?” Tanya Ami gugup. Jantungnya terasa berdebar –debar. “Aku ingin mengajakmu pergi.” “Kau mau ajak aku pergi kemana?” Tanya Ami menyinyir. Rasa sakit kembali dirasa dalam hatinya. “Ikut aku, kita pergi dari sini.” “Aku gak mau. Urusanku belum selesai.” “Sebentar saja. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.” “Kalau mau bicara silahkan saja, aku tak punya banyak waktu. Masih banyak yang harus aku urus.” “Sebentar saja Ami. Aku janji akan antar kamu kembali kesini.” “Aku bilang tidak! Aku gak mau pergi denganmu!” Tegas Ami. “Tolong sekali ini saja. Anggab ini yang terakhir Ami…” “Yang terakhir sudah dari dulu! Aku gak mau ikut kau pergi kemanapun walau itu hanya sedetik!” “Ami aku tahu kamu kecewa sama aku. Aku minta maaf. Tolong dengar aku.” “Kau minta aku dengar kau tapi kau gak pernah perdulikan aku?! Buat apalagi aku perdulilkan kau ha?!” “Ami tolong!” “Kau yang tolong! Pergi dari sini. Pergi dari hadapan aku, pergi dari hidup aku selamanya!” “Kamu begitu angkuh berbeda dari Ami yang dulu aku kenal.” “Begitu juga kau, berbeda dari Aim yang aku kenal.” “Ami…” “Sadar kau? Buka matamu! Lihat siapa yang ada di hadapan kau sekarang! Siapa aku? Seorang gadis yang terluka karena disakiti hatinya, dikecewakan perasaanya oleh seorang lelaki tak bertanggung jawab sepertimu.” Setetes air mata kembali menggenang oleh emosi perasaannya. “Sadar apa yang sudah kau lakukan? Setelah semua yang aku sudah lakukan demi hubungan kita. Demi mencari kejelasan, mencari 72 jalan yang halal, selama bertahun –tahun aku diperhatikan olehmu, disayang –sayang, dimanja –manja, sekarang setelah dua tahun menghilang kau muncul tiba –tiba dengan kabar duka buatku!” “Ami…” “Sadar apa yang udah kau perbuat sama aku ha?!” Aim terdiam. “Sebenarnya apa arti seorang diriku ini dalam hidupmu ha?! Kemana cinta yang aku rasa selama bertahun –tahun ternyata hanya cinta sesaat yang palsu tanpa tanggung jawab!” “Maafkan aku Ami…” “Hanya maaf? Kau tidak bisa mengembalikan luka yang sudah terlanjur menjadi sebuah infeksi akut dalam hati aku. Percuma!” Tangan Aim hendak menyentuh Ami, tapi Ami langsung menarik mundur tubuhnya menghindari sentuhan itu. “Jangan sentuh aku! Jangan pernah sentuh aku lagi. Aku gak perduli, ini yang terakhir…” Tandas Ami. Aim, kenapa kamu begitu? Harusnya aku bukan gadis itu yang kau pilih, setelah bertahun tahun aku lakukan segalanya demi kejelasan hubungan kita kenapa harus berakhir seperti ini?! ***  

Empat belas.. Setelah bertemu Aim tadi siang membuat kepalaku kembali terasa sangat berat. Harusnya dia tidak menghampiri aku lagi, karena dia hanya akan menguras air mataku percuma. Dan herannya, aku sendiri tak bisa menahan air mata. Selalu saja membuatku ingin berteriak kencang di hadapannya. Well, kembali pada kebiasaanku, saat masalah datang yang aku lakukan hanya makan makanan semi berat, cake, Blackforest ciptaan Mama tadi pagi. Dan membanting tubuh ke sofa lalu menekan tombol „on‟ pada remote tiviku. “Ma, Emma sama Sita jalan dulu yaa?” Pamit kak Emma pada Mama yang baru keluar dari kamar. Mendengar mereka pandangankupun beralih. “Mau kemana? Tumben kakak gak kabar –kabar mau keluar rumah.” “Diajak Mama mau beli kain buat tunangan Ibrahim…” Aku terhennyak. Mereka akan pergi membeli kain untuk seserahan pada perempuan centil itu? Ya Tuhan, hatiku seperti piring yang di banting membentur tembok saja rasanya. Hancur, hatiku benar –benar hancur sekali. “Mau ikut?” Ajak kakak. Aku hanya menggeleng. Mengemut kembali sendok yang sudah ada potongan cake. 73 Aim… apa maumu? Kau tahu? Kemudian aku akan membantu Mami untuk menyiapkan semuanya. Sementara aku menangis karena sakit dalam hatiku. Tak ada yang bisa mendengar jeritan hatiku saat itu. Yaa, Aim, pernahkah kau berfikir bahwa aku lebih memilih untuk gantung diri dari pada melihat kau menyematkan cincin di jari manis Inez? “Maa…” Panggilku lemah. Mama duduk mendekat disampingku. “Kamu kenapa? Ada masalah lagi?” Aku menggeleng. “Ma, kenapa bisa Ibrahim duluan yang harus bertunangan sebelum Fajrin?” “Entahlah. Kalau gak salah dulu Ayah pernah cerita kalau Ibrahim dan Inez itu memang niat untuk dijodohkan sejak kecil.” “Fajrin?” “Kalau Inez sama Fajrin selisih umurnya terlalu jauh. Jadi ya gak mungkin Inez dipasangkan sama Fajrin.” “Tapi mana pantas Ma kalau Ibrahim mendahului Fajrin abangnya sendiri yang sekarang emang umurnya kan tambah tua. Harusnya gimanapun Fajrin yang lebih di dahulukan kan Ma…?” Tak sadar nada bicaraku seperti orang bertengkar tak terima saja. “Yah mana Mama tahu Ami. Sapa tahu saja, memang Arman dan Viviana dulu punya perjanjian khusus dengan Ibunya Fajrin. Apa urusan Mama? Terserah mereka mau seperti apa. Yang penting anak Mama Hani dan kamu tak jadi bagian dari mereka.” Terhenyak dengan kalimat terakhir Mama. Akupun kemudian diam dan kembali memfokuskan diri pada layar televise. Walau kata –kata itu tak menghentikan jalan pikiranku. Mama tak suka jika anak –anaknya menjadi bagian dari keluarga itu. “Itu cuma tunangan, belum menikah. Sebenarnya Mama tidak suka saat Ayahmu berniat untuk memasangkan Hani dengan Fajrin. Sukur –sukur kakakmu sudah menikah. Hanya saja, Mama ini masih menghargai Ayahmu. Kalau tidak, pasti dikiranya Mama menghina mereka.” “Iya, Ma. Menurut Mama, mereka itu baik tidak sih Ma?” “Baik, ya sekarang baik. Dulu Mama gak tahu. Ya Mama tak mau terlau memusingkan mereka. Selama mereka tak menyerang Mama dan anak –anak ya sudah terserah mereka. Mama tak mau punya urusan sama mereka…” Aku diam menjadi pendengar setia curahan hati Mama. “Kalau bukan karena pertunanan Ibrahim, ah.. Mama tak akan mengizinkan Emma dan Sita pergi ikut orang itu…” Dan aku hanya ingin bisa berteriak. “Aim Mamaku benci kamu!!!!!!!!” Dan maafkan aku Ma, karena aku sangat menginginkan menjadi bagian dari mereka. Hanya saja aku tak kuasa untuk mengatakan pada Mama dan Ayah saat ini. Aku ingin sekali menghentikan pertunangan itu dan memaksa Aim untuk meninggalkan gadis itu demi aku. Tapi aku tak tahu bagaimana kerasnya cinta Aim untukku. „Intro panah asmara by afgan…‟ Terdengar suara lantunan music dari arah kamarku, ternyata itu handphoneku 74 berdendang. Aku lekas berlari menuju kamar dan meraih handphoneku yang bergoyang di nacase tempat tidur. Aku tersenyum saat melihat sepenggalan nama pemanggil yang berbeda dari biasanya. „Farish‟ “Hallo?” Aku jawab panggilan itu. “Hallo, Assalamualaikum…” “Waalaikum salam…” “Hai Ami…” “Hai Farish..” “Apa kabar?” “Seperti yang kau lihat tadi siang, aku baik.” “Ah iya, haha…” Katanya tertawa sendiri. “Okay, aah…” “Ada apa? Kenapa suaramu terdengar gugup?” “Ah tidak, aku hanya iseng saja jadi aku gak punya tujuan untuk nelpon kamu sebenarnya.” Aku tersenyum. “Hmm terus kenapa kamu telpon aku?” “Tadinya aku fikir ingin mengajakmu keluar. Jalan –jalan…” “Kemana?” “Terserah kamu, mau aku ajak kemana saja.” “Owh.” Aku merebahkan badanku di tempat tidur. “Tapi itu juga kalau kamu gak sibuk dan bersedia keluar sama aku.” “Ehmmm gimana ya? Sebenarnya aku ingin sekali keluar tapi aku gak… Mamaku sendiri dirumah, gimana?” “Auh, iya. Harusnya sebagai anak yang baik kamu gak mau aku ajak keluar.” Pintu kamar terbuka, muncul Kak Hani mengejutkanku. “Ami?!” Panggilnya. “Harusnya begitu. Mamaku sendirian, kakaku pergi semua. Jadi aku gak mungkin keluar menerima ajakanmu.” Jawaku masih terfokus pada telpon hanya menolehi kak Hani mengangguk member isyarat. “Siapa telpon?” Tanya Kak Hani. Aku menutup mic handphone. “Farish, waktu itu. Dia ajak aku keluar.” “Ya, kalau gitu gak jadi deh. Tapi…” “Pergi aja! Mama sama kakak di sini koq.” Suruh Kak Hani mengecilkan suaranya. “Maaf Farish. Tunggu sebentar ada yang panggil aku.” “Okay…” “Ada apa kak?” Tanyaku langsung pada kak Hani yang berdiri di sampingku. “Kalau Farish yang waktu itu ngajak pergi silahkan pergi aja…” “Tapi Mama sendirian?” “Ada aku. Jangan khawatir, besok aku pulang.” “Sungguh gak papa?” “Iya…” Aku tersenyum, kembali aku pada telpon bersama Farish. “Farish?” “Iya. Sudah selesai panggilannya?” 75 “Iya. Apa ajakanmu masih berlaku?” “Tentu aja…” “Aku tunggu kamu di taman kota setengah jam lagi ya?” “Lalu Mamamu?” “Udah ada temennya.” “Siapa?” “Hmm kakakku..” “Wah..Okay…” “See you there Farish…” “See you too Ami..” Tit. Berakhir panggilan itu, segera aku mengganti baju dan tak lupa menggunakan jaket hitam favoriteku. ***  

Dua puluh nol nol tepat. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam kantong. Lima menit Ami dihembus angin malam, membuat bulu roma berdiri, sungguh dingin malam ini. “Ami..” Terdengar suara panggilan tepat dekat telinga kanannya. Ami menoleh tapi tak ada seorangpun yang ia lihat, langsung ia menolehi kirinya ternyata Farish sudah duduk di sebelahnya. Ami tersenyum menyapanya. “Ah Farish…” Farish melepaskan tawa kecilnya. “Sorry lama ya?” “Enggak koq, cuma telat lima menit.” “Ehmm.. kamu suka melati atau mawar?” “Dua –duanya, kenapa?” Jawabnya mengerutkan alis heran. “Tidak kamu harus pilih salah satu.” “Mawar aja…” “Hmm…” Rupanya Faris menyembunyikan sesuatu dibalik badannya. “Tutup matamu dulu ya?” “Buat apa?” “Tutup aja, jangan ngintip.” Ami memejamkan kedua matanya. “Ok dibuka.” Perlahan ia buka dua matanya ternyata sudah ada tiga tangkai bunga mawar putih yang cantik dihadapannya. “Mawar?” Ami tersenyum. “Mawar putih ini sebagai tanda pertemanan yang aku ajukan sama kamu. Bunga pertama, aku ingin menjadi seorang teman yang baik buatmu.” Satu bunga di berikan pada Ami. “Bunga kedua, sebagai seorang teman yang baik aku ingin selalu ada saat kamu butuh. Bunga ketiga, sekaligus yang terakhir, sebagai teman aku ingin melindungi kamu setiap saat…” Dua bunga itu kemudian diberikan pada Ami semuanya. Ami tersenyum geli. “Dasar cowok aneh. Tapi terimakasih…” 76 Farish tersenyum, senyumnya dalam seperti tatapannya lekat pada Ami yang tak beralih sekejap matapun. “Senyummu, manis…” “Farish? Aku manusia bukan gula…” Gurau Ami. “Terimakasih…” Ami berbalik menatap Farish dengan senyum indahnya. Sunyi hanya saling pandang tanpa berkata apapun. Jantung itu tak berdetak normal, sungguh seperti genderang perang yang kencang dan nyaring. Farish mengalihkan pandangannya yang semakin merasa gugub. “Kamu napa?” Tanya Ami. “Aku, gak papa…” Elak Farish membenarkan posisi duduknya. “Aku gak nyangka kamu itu baik banget.” “Aku? Baik? Hahaha..” Farish tertawa. “Kamu belum tahu aja siapa aku.” “Emangnya kamu siapa?” “Aku? Farish?” “Ah tak penting.” Asyik –asyiknya bergurau tak bertema, dari jauh sana ada sebuah mobil civic yang tengah mengintai mereka dari kejauhan. Itu Aim, tak sengaja lewat dan melihat sepasang lelaki dan perempuan tengah bersenda gurau, tertawa lucu tanpa beban masalah sedikitpun. Lagi –lagi lelaki yang bersama Ami adalah Farish, lelaki suruhannya untuk berteman dengan Ami. “Lampunya ijo sayang!” Gertak Inez yang duduk di samping Aim. Aim mengalihkan pandangannya dan kembali pada jalanan di mobil. ***  

Lima belas.. Langit mengkelabu, petir menyambar memecah awan membuat gemuruh guntur yang tak sedikit. Angin berhembus, meniup bulir –bulir abu kering dan daun – daun yang menggantung di dahan. Ku lihat jam menggantung masih menunjukkan pukul lima belas lewat lima belas. “Tutup jendela, cuacanya terlalu buruk tak seperti biasanya…” Seru Kak Emma yang muncul dari balik pintu kamar. Tanpa perintahnyapun aku sudah menutupnya lebih dulu. “Sudah kak…” Kemudian kak Emma kembali melenyap dari balik pintu. Aku rebahkan badanku yang sudah mulai terasa dingin. Cuaca memburuk drastic, aku tak pernah kira hal seperti ini mungkin terjadi. Bip Bip Bup Bap! Aku gapai handphoneku yang sedang bersantai dekat bantal tidurku. Siapa yang berani sms di tengah cuaca yang bergemuruh petir seperti ini? “Ada di rumah kan?” Aku tersenyum, itu sms dari Farish. “Iya, kenapa? Kamu dimana?”Aku membalas pesannya. Bib bib bub bab! 77 Sesaat smsku berbunyi lagi. “Aku kejebak ujan di rumah temen. Syukur kamu dah di rumah.” “Hati –Hati ya…” . Nanti malam ada acara?”“Iya, makasih. “Gak ada. Napa?” “Ada Expo nanti malam terakhir. Datang yuk? Tapi kalau gak hujan. Gimana?” “Hmm… boleh deh…” Tak terasa melewati gemuruh guntur dan hujan lebat, aku malah asyik –asyikan mengabaikan ancaman tersambar petir dengan berbalas sms sama Farish. Kuasa Tuhan… tiga puluh menit berlalu, awan kelabu, gemuruh guntur dan derasnya air hujan turut berlalu. Aku buka kembali jendela kamar, secerca mata hari sore perlahan berani bersinar lagi. Wah berarti aku jadi dong buat keluar sama Farish nanti malam. Hem… iya deh… “Ami!” Teriak Mama memanggilku. Karena aku anak yang baik segera aku menemui Mama di dapur. “Ada apa Ma?” “Mamamu itu mau minta tolong katanya tidak enak badan. Minta tensi sama kamu, dan mau konsultasi katanya.” Semangatku berubah seketika. “Sekarang?” “Ya mumpung sore hujan dah reda. Lagian biar cepet selesai…” “Oh Iya Ami. Kamu ikut Ayah aja sebentar lagi.” Tambah Ayah yang baru saja lewat. “Iya Yah…” Belum jadi dokter saja aku sudah punya pasien. Untung cuma jadi bidan, setidaknya aku tak terlalu pusing dengan complain or pertanyaan konsul. Tapi yang paling penting semoga gak mengganggu jam keluarku sama Farish. Aku langsung bersiap ikut Ayah menuju kediaman Mami tercinta. Kediaman kekasih hatiku juga, Aim… seorang lelaki yang sudah menyayat hatiku. Hatiku sudah berdebar, aku harap aku tidak bertemu kamu nanti. Sekedar hanya membawa stetoskop dan tensimeter manual akupun berangkat bersama Ayah. “Oh iya, ya, nanti sebentar lagi…” Telpon Ayah berakhir. “Ami, nanti kamu tungguh Ayah dulu disana ya. Ayah masih ada janji tadi Ayah lupa…” “Iya Ayah…” Sampai juga akhirnya, Ayah mengantar aku ke kamar Mami selebihnya Ayah meninggalkan kami berdua. Akupun langsung mengeluarkan tensimeter dan stetoskop memeriksa keadaan Mami. “Mama cuma kurang istirahat aja Ma. Insya‟ALLAH tidak ada tanda –tanda penyakit ganas koq. Cukup minum penambah darah aja lah…” Aku melepas stetoskopku. “Ya habisnya Mama memang kecapean.” “Mama stress ya?” “Sebenarnya iya. Ibrahim sebentar lagi mau tunangan gimana gak dipikirkan 78 sama Mama. Ya begini dah…” Tak hanya Mama yang setres, tapi aku lebih setres karena harus kehilangan orang yang aku cintai Ma… Pikirku tersenyum. Aku kemasi lagi tensimeter dan stetoskop. “Mama Istirahat saja lah dulu…” “Iya… Makasih banyak ya Ami.” “Sama –sama Ma. Ami keluar dulu ya…” “Iya.” Aku pun keluar dari kamar Mami. Rumah ini sangat besar tapi tak ada isinya. Begitu sepi, aku tak jalankan pandanganku untuk melihat keadaan sekitar. Aku takut kalau harus melihat Aim yang tiba –tiba muncul nantinya. “Hallo sayang…” Terdengar suara centil seorang perempuan memasuki rumah. Aku menghentikan langkah kakiku di ujung tangga. Aku melongo kebawah, ternyata ada si centil Inez yang datang dan disambut Aim. “Hello…” Aim merangkul gadis itu, memeluknya dan menciumnya. Jantungku berdegug kencang, seperti dipanah sejuta pisau sakit, perih dan berlumuran darah. Rasanya aku ingin melempar dua manusia itu dengan batu besar. Tuhan! Hatiku sangat sakit melihat pasangan itu bermesra –mesra di hadapanku. Aku tahan air mata yang sudah mengucur membasahi pipiku. Menyumpal mulut dengan kedua tanganku, aku berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah besar Mami. Tak perdulikan mereka yang memandangku heran. Tidak mereka tidak heran, hanya tak perduli dengan keberadaanku. Aku berlari, berlari dan terus berlari. Aku tidak tahu kemana kakiku akan berhenti melangkah. Hatiku sungguh sangat sakit sekali. Kenapa aku harus melihat dua manusia tak berperasaan itu seperti tadi? Ya Tuhan kuatkan aku, aku sungguh lemah semakin tak berdaya. Kenapa semuanya harus seperti ini?! Aku mencintai seorang lelaki yang tak sedikitpun perduli akan rasa sakit yang aku rasakan saat ini. Dia orang yang kejam, meninggalkan aku tanpa pamit dan tiba –tiba datang akan bertunangan dengan gadis lain. Lalu apa aku? Untuk apa cintaku selama ini padanya?! Aku berhenti melangkah, aku lelah nafasku tersengal –sengal. Sebuah tempat yang sangat indah dengan sejuta kenangan yang indah pula. Tempat kebersamaan cinta tersembunyiku dengan Aim dulu, dan sekarang hanya pelabuhan tangisku. Aku menangis, berderai air mata tanpa henti. Duduk sendiri di bawah pohon besar menghadap sungai yang airnya mengalir sangat deras. Aim!!! Kenapa aku masih saja mau kau beginikan?! Masih bisa saja aku terlalut dalam perasaanku, perasaan cinta yang seharusnya sudah tidak boleh ada lagi dalam hatiku. Aku cintai kau, aku tak ingin kehilangan kau, aku ingin bahagia dengan cintaku tapi tak begini. Aku sangat merindukan kau, tapi aku ingin semuanya berakhir segera. *** 

 “Ami…” Seseorang tengah menyentuh pundaknya. Ami terkejut, seketika menoleh arah belakangnya. “Farish?” Ami terjaga dari duduknya. “Maaf, aku gak bisa…” 79 “Sudah, jangan pikirkan itu.” “Dari mana kamu tahu aku disini?” Isak tangis itu masih sangat jelas mengalahkan bicaranya. “Sudahlah. Aku hanya berusaha untuk selalu ada saat kamu butuh.” Tatapanya penuh iba. Ami tak berkata apalagi. Ia berusaha tahan air yang terus membanjiri mukanya. “Jangan ditahan, menangislah selagi kamu air mata itu bisa membuat kamu lebih baik.” Rasanya juga ingin menangis, tak tega melihat perempuan dihadapannya menagis hingga terisak –isak menahan sebuah beban perasaan. Ingin dipeluknya agar lebih tenang, tapi siapalah dia hanya seorang teman yang baru berjalan beberapa hari saja. Tapi, sangat mengejutkan saat Ami yang sudah merasa sangat lemah dan tak berdaya dengan sendirinya jatuh dalam pelukan Farish. Seakan berteriak meminta perlindungan padanya. Walau ragu, belaian lembut ia berikan untuk menenangkan gadis itu. “Menangislah Ami, jangan berhenti. Buanglah air matamu hingga benar –benar hilang dan pergi semua masalah yang menggandrungi hati dan fikiranmu.” Hati ini, tak seperti biasa memandang seorang kawan perempuan dengan penuh rasa iba dan simpati. Tak ingin melihatnya menangis, hanya ingin selalu mendampinginya dalam suka dan duka. Hatinya sungguh lembut untuk tersakiti. Aku tak ingin menyakiti hatinya seperti halnya Ibrahim yang tak bisa menegaskan apapun pada dirinya sendiri. Bermain –main akan sebuah perasaan cinta yang diberikan sepenuhnya padanya. Ami, maafkan aku… Ingin aku melakukan segalanya agar kamu bisa bahagia untuk cinta yang sudah mendalam yang kamu miliki untuknya. Tapi, aku berubah Ami, aku tak ingin kamu bersedih atas Ibrahim. Aku tak ingin pula kamu bahagia bersama Ibrahim. Aku rasa aku lebih menginginkan senyum dan tangismu hanya untukku Ami… ***  

Enam belas.. Suara gesekan kaki dengan tanah berhenti, Farish nampak kaget saat Ibrahim berdiri dihadapannya. “Ibrahim?” Katanya dalam hati. “Gue kira loe gak bakalan balik malam ini.” Aim memulai bicaraannya. “Gue masih punya rumah yang bisa disinggahi.” “Owh…” Aim melipat kedua tangannya. “Pas banget gue ketemu sama loe disini. Tadinya gue mau calling loe.” “Wew… kebetulan banget gue juga ada perlu sama loe.” 80 “Ada apa loe cari gue?” “Sepertinya loe udah kepincut sama cewek sepuluh juta itu yaa?” “Kenapa loe gak bilang dari awal kalau Ami itu bekas pacar loe?! Sodara tiri loe sendiri.” Todong Farish langsung tanpa basa –basi. Terhenyak dengan pertanyaan Farish, Ibrahim tak menyangka kalau Farish tahu sampai sejauh itu. “Ngomong apa loe?” “Gue ngomong, antara loe dan Ami. Jangan kira gue gak tahu soal masa lalu kalian berdua. Ami sangat cintai loe, tapi loe justru mempermainkan perasaan dia. Kira –kira loe itu punya hati atau enggak sih?” “Sepuluh juta masih kurang buat loe ngurusin cewek itu ha?!” “Ibrahim, Sorry aja, gue bukan cowok jobless yang butuh sama sepuluh juta loe itu. Tapi gua cuma mau nyadarin loe. Harusnya loe buka mata loe lebar –lebar, lihat dunia nyata yang ada di hadapan loe sekarang. Cewek yang setengah mati cintai loe nyaris mati karena sakit hatinya dipermainkan sama loe! Dan loe gak pernah sadar soal itu!” “Jangan pernah ikut campur urusan gue soal Ami. Sepuluh juta masih kurang buat loe, ya gue lupa, sepuluh juta bukan jumlah yang berarti buat loe.” “Loe buta! Loe adalah orang yang paling merugi di dunia ini karena udah menyia –nyiakan cinta Ami!” “Okay, loe harus tau, gue gak cinta sama Ami. Gue sayang sama dia, karena dia adik tiri gue dan gak lebih dari itu. Dulu, sampai sekarang dia udah salah tanggab sama rasa sayang gue selama ini. Puas loe?!” “Gampang loe bilang gitu?!” “Sudahlah, loe itu hanya sebatas uang buat gue. Tutup saja mulut loe itu, jangan paksa gue buat menghajar loe.” “Silahkan kalu loe emang mau menghajar gue. Gue cuma mau bilang, hentikan semua sikap loe yang bikin Ami menderita. Dia punya hati yang lembut, dia punya kasih sayang tulus buat loe. Dan kasih sayang itu gak gampang semua orang dapatkan. Termasuk loe yang belum tentu mendapat kasih sayang yang sama dari Inez.” “Jangan bawa –bawa Inez!” “Loe itu brengsek! Loe pernah bilang cinta sama Ami. Loe buat dia mencari tahu selama bertahun –tahun buat kejelasan hubungan kalian. Tapi setelah semua usahanya, loe tinggalin dia gitu aja tanpa perasaan. Cowok macam apa loe itu, ha?!” “Dari mana loe tahu semuanya?” Aim kembali kaget mendengar itu. “Dessy?” Rupa Aim semakin terkejut mendengar itu. “Mak comblang loe sendiri. Gue kenal Dessy sohib baik Ami dari Bang Joe, jangan lupa loe…” Aim diam menatap Farish sangat sengit. Tapi ia terus tahan dan berusaha tenang. Ia resapi semua perkataan yang terlontar dari mulut Farish. “Gue kenal Dessy pas Bang Joe ngajakin gue…” Lanjut Farish menceritakan semuanya pada Aim. Saat itu Farish mengantarkan Bang joe untuk mengantar barang kiriman 81 pamannya dari luar kota. “Emang isinya apaan sih Bang?” Tanya Farish yang membantu menurunkan kardus –kardus besar dan berat dari mobil pick upnya. “Ini baju bos, buat jualan Om gue.” “Owh..” Sesaat setelah barang –barang besar itu turun dari mobil, Farish permisi untuk pinjam kamar mandi. Jaketnya digatung di balik pintu kamar mandi, hingga saat ia keluar jaket tertinggal. Dessy yang ternyata pemilik rumah sekaligus sepupu bang Joe tak sengaja menemukan jaket hitam menggantung. Dikiranya itu milik sepupunya, iseng Dessy berniat untuk menyembunyikan ponsel yang ada dalam kantong jaket itu. Di rongrong semua lubang kantong, ternyata yang ia temukan justru sebuah foto seorang perempuan yang sangat dikenalnya, Ami. “Mas! Ngapain mas nyimpen foto temen aku?!” Tegur Dessy pada bang Joe. Alisnya mengernyit tak merasa atas tuduhan Dessy. “Kamu itu ngomong opo toh?!” “Ini jaketmu kan?!” Dessy menunjukkan jaket hitam itu. Bang joe menggeleng cepat. “Bukan, ini bukan punya Mas. Ini punya temen Mas yang di depan itu.” “Lho? Koq dia punya fotonya Ami?” Mulutnya mangap hendak menjawab pertanyaan Dessy, tapi keburu Dessy pergi langsung menemui Farish yang sedang berteh di ruang tamu. “Mas, boleh tahu namanya?” Tanya Dessy langsung. Farish meletakkan cangkir tehnya kembali. “Aku? Farish. Ada apa ya?” Dessy memberikan jaketnya. “Ketinggalan di kamar mandi.” “Owh iya, makasih…” Farish tersenyum kemudian memasang kembali jaketnya. Dessy ragu –ragu menunjukkan foto kawannya. “Mas, apanya Ami ya?” Muka Farish terangkat kaget. “Kamu kenal Ami?” “Aku temen baiknya sejak SD dulu. Sampai terakhir aku ketemu sekitar setahun yang lalu. Mas ini siapanya ya?” “Kamu juga kenal Aim?” “Aim?” Farish mengangguk. “Ibrahim Imran?” “Iya. Sekarang dia masih di Bali?” “Sudah datang.” Dessy tersenyum senang. “Wah mereka gimana sekarang?” “Tunggu tunggu… sebenarnya ada apa diantara mereka?” “Lho? Emangnya Mas gak tahu? Mereka itu..” Dessy tak lanjutkan keterangannya. Ia mulai curiga siapalah seorang Farish yang dihadapinya sekarang. “Mas ini siapanya ya?” “Aku, aku ini temannya. Tolong ceritakan ada apa antara Ami dan Ibrahim?” Dan, kisah sejak delapan tahun yang lalu di ceritakan ulang semuanya rinci pada Farish. “…dan gue tahu semuanya dari Dessy…” 82 Seksama Aim mendengarkan semua omongan Farish. Ia tak berkutik lagi, meresapi semua dan terus memikirkannya. ***  
Tujuh belas.. “Owh No!” Ami menciut saat lari mobilnya terasa tak terlalu enak seperti biasa. Pelan ia menyingkir dari keramaian di tengah jalan. Segera ia turun dan memastikan ban mobil bagian belakangnya ternyata kehabisan udara. “Arrgh! Sial kenapa giliran aku punya tugas malah bannya kempos lagi! Hirrrgh! Siapa yang mau bantuin aku buat ganti coba?!” “Intro, Panah Asmara by Afgan” “Hallo?” Panggilan itu diangkat. “Assalamualaikum Ami..?” “Waalaikum salam. Farish!” “Iya, ada dimana sekarang?” “Aku lagi perjalanan mau ke puskesmas. Tapi ban ku kempos aku gak bisa jalan Farish.” “Kamu ada ban serep?” “Ada, tapi percuma juga kan aku gak kuat mau pasang sendiri…” “Tunggu aja disana, sms alamatnya sama aku. Aku segera kesana sekarang.” “Makasih Farish…” “Sama –sama…” Tit…….. Music play… Sambil menanti kedatangan Farish, mengisi waktu kosong yang sepi sendirian. Sambil berlalu tembang Mimpi milik Anggun C Sasmi beradu merdu dalam mobilnya. Dalam hitam gelap malam, Ku berdiri melawan sepi Di sini di pantai ini, Telah terkubur sejuta kenangan Di hempas keras gelombang, Dan tertimbun batu karang Yang tak kan mungkin dapat terulang, Wajah putih pucat pasi Tergores luka di hati, Matamu membuka kisah kasih asmara yang telah ternoda, Hapuskan semua khayalan Lenyapkan satu harapan, Kemana lagi harus mencari Kau sandarkan sejenak beban diri, Kau taburkan benih kasih Hanyalah emosi, Melambung jauh terbang tinggi Bersama mimpi, Terlelap dalam lautan emosi Setelah aku sadar diri, Kau tlah jauh pergi Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi, Kini hanya rasa rindu Merasuk di dada, Serasa sukma melayang pergi 83 Terbawa arus kasih membara, Tok tok tok!! Matanya membuka, “Astaga!” Ami terkejut. Sepertinya ia terlelap saat menanti Farish untuk datang. Pintunya dibuka dan ia keluar dari dalam. “Sudah lama sekali aku menunggumu pak montir..” Goda Ami. “Maaf tadi ada yang masih aku harus selesaikan.” Ami tersenyum. “Mana ban serepnya?” “Hey tunggu. Kamu serius mau jadi montir buat gantiin ban mobilku?” “Iya, kenapa?” Cukup menarik. “Aku kira kamu akan datang dengan orang suruhan atau montir sungguhan.” “Selagi aku bisa aku gak akan minta tolong sama siapapun. Sudah mana peralatannya?” Semuanya tersedia di bagasi belakang. Tanpa banyak bicara Farish dengan energinya memutar tuas melepas empat velg cukup membuat Ami ternganga dan takjub. “Mana mobilmu?” “Aku jalan kaki.” “Jalan kaki? Dari kota kesini jauh. Kamu jalan kaki?” Matanya terbelak. “Kerjaanku daerah sini. Kebetulan banget ya.” “Hm… dunia emang sangat sempit.” “Sempit sekali.” Jawab Farish tersenyum. “Kau tahu?” Tanya Ami yang duduk di trotoar dekat Farish. “Apa?” “Tidak ada…” Jawabnya sendiri sambil senyum –senyum. Terus ia melanjutkan layangan pikirannya. Andai saja jika Aim yang ada untuk mengganti ban mobil ini, mungkin aku tidak akan membiarkan gadis centil itu dekat –dekat dengan Aimku. Karena aku tahu Aim rela berkorban untukku. Tapi sayangnya sejak kabar pertunangan itu dia tak pernah menyantuni aku dengan sempurna seperti dulu. Tak sedikitpun memperdulikan aku. Farish menolehinya sejenak kemudian kembali lagi dengan ban mobil. Perlahan getaran gugup kembali muncul merasakan dua pasang mata di belakangnya terus mengintai dengan senyum. “Ada yang salah Ami?” “Tidak, kenapa?” “Terus kenapa kamu mandangi aku terus dari tadi?” Ami tersenyum. “Tidak, aku hanya membayangkan jika orang lain yang mengganti ban itu. Bukan kamu…” Senyumnya melayu. Pasti orang lain yang kamu fikir itu Aim. Sahutnya membatin. Ternyata Farish terlalu ge –er dikiranya Ami akan terpesona dengan kemampuannya mengganti ban mobil. Tapi tidak, semua orang bisa melakukan itu. 84 Hanya saja, keperduliannya yang tidak bisa sama. “Aku haus…” Ami melongo mencari warung minuman daerah sekitar. “Aku mau cari air dulu. Kau mau?” “Bolehlah…” “Okay…” Kemudian Ami pergi meninggalkan Farish dengan mobilnya hanya berdua. Di jauh sana? Di dalam perjalan sebuah mobil civic hitam milik Aim bersama seorang gadis yang tak lain Inez, si Gadis centil calon tuangannya. Sebuah perjalanan yang membosankan tak seperti biasa pasangan itu hanya diam kaku tak berkata. Apalagi Inez yang setiap katanya hanya dibentak oleh Aim. “Sayang, dua tahun kita berhubungan tapi baru kali ini aku lihat kamu itu semarah ini. Sejak semalam kau itu berubah seratus delapan puluh derajat.” Ujar Inez tak tahan dengan kesunyian perjalanan panjangnya. “Aku bilang jangan bicara apapun. Aku gak mau membahas itu!” Tegas Aim. “Kau berubah! Sebenarnya kau itu kenapa sih? Bilang kalau memang ada yang salah sama aku!” Bentak Inez agak berteriak. “Cukup!” Bentak Aim yang tak kuat lagi. “Sadar?! Sejak mesin mobil ini hidup aku tak sedikitpun punya waktu untuk menghentikan omonganmu! Kau itu terlalu banyak omong!!” “Bram?! Kenapa kau? Biasanya kau itu selalu merespon dan gak pernah bosan dengan aku.” “Tapi aku sadar sekarang kalau kau itu..” “Apa?! Aku apa?!” “Sudah hentikan aku sedang tak ingin berbicara denganmu!” Teriak Aim kasar. Pandangannya beralih seketika saat melihat sebuah mobil jazz hitam persis seperti milik Ami tengah berhenti dipinggir jalan. Memastikan ia tengok dari kaca spion diatas ternyata yang tengah parkir itu benar mobil milik Ami. Seketika Aim membanting stirnya. Ia pun segera turun menghampir mobil Ami. “Ngapain loe disini?!” Aim terkejut melihat Farish yang telah selesai mengganti ban mobil kembali memasukkan peralatan kedalam bagasi. Kepalanya dikeluarkan. “Ibrahim…” Panggilnya santai. “Mana Ami?! Ada urusan apa loe sama mobilnya?!” Todong Aim. “Bannya kempos, tadi dia minta tolong sama gue.” Sembari Farish menutup pintu bagasinya. “Mana dia?” Farish tersenyum simpul. “Perduli amat loe cari dia? Bukannya loe?” “Jangan cari masalah sama gue! Mana Ami?!” “Gue gak tau.” Jawab Farish santai. “Loe!” Aim geram. Farish tersenyum lebar dan melipat dua tangannya. “Loe cemburu sama gue ya?” “Gue cemburu?!” Aim tertawa. “Haha, gue cemburu sama loe?! Kepedean loe!” 85 “Kalau bukan cemburu ngapain loe tanya –tanya Ami segitu sewotnya sama gue?! Hello Ibrahim, ini bukan sekali dua kali ya.. loe kira gue gak tahu kalau loe itu sakit hati lihat gue deket –deket sama Ami, ha?” “Sialan loe!” “Gue atau loe yang sialan? Sudahlah, dia cuma sepuluh juta. Gue gak butuh – butuh amat koq. Ntar malem gue balikin..” “Maaf aku lama, warungnya lumayan jauh…” Ami kembali dengan dua botol air mineral di tangannya. Ia terkejut saat melihat di depannya ternyata Aim. “Bannya sudah selesai. Kamu bisa jalan lagi sekarang.” “Makasih…” Botol itu diberikan pada Farish. Rupa Ami kembali tegang. “Okay makasih Ami. Aku pulang dulu.” “Tunggu sebentar Farish.” Tahan Ami yang sudah merasa tak nyaman lagi. “Ngapain kau disini?” Tanya Ami pada Aim. “Kebetulan aku lewat lihat mobilmu parkir aku pikir kamu butuh bantuan tapi sudah ada orang ini…” “Terimakasih, tapi kau gak usah memperdulikan aku lagi. Selagi aku mampu aku gak akan minta bantuanmu, aku gak akan merepotkanmu.” Aim diam tak menjawab Ami. Mereka bertiga diam tak berucap sekatapun. Tak mau berlama –lama menanti Aim yang sedang menemui Ami, Inez turut turun dan menghampiri Aim. “Sayang!” Panggil Inez pada Aim. Semua menolehi panggilan manja Inez. Sekarang, berkumpullah empat manusia yang sedih dengan perasaanya masing –masing. “Waw, gak nyangka kita bisa ketemu disini ya, kak?” Sapa Inez pada Ami. Ami memaksa senyumnya. “Iya Inez…” Sementara Aim dan Farish mereka bedua hanya beradu mata tajam tanpa berucap. “Maaf, aku masih harus kembali kuliah. Farish kunci mobilnya masih ada sama kamu kan?” “Ini…” Farish hendak mengembalikan kunci mobil Ami. “Udah kamu aja yang nyetir aku gak kuat, capek…” Pinta Ami tersenyum penuh arti. “Tapi Ami?” “Kami berdua pamit dulu. Aim, Inez…” Tandas Ami meninggalkan mereka masuk ke mobil. Sedang Farish tetap berdiri dengan sebuah kunci mobil di tangannya. “Inez. Perlu kamu tahu, ada yang salah dengan pacarmu ini. Dia mencintai Ami bukan kamu…” Kata Farish tersenyum nyinyir memandang Aim. Dikabarkan pada Inez agar Aim semakin kesal padanya. Kemudian ia pergi masuk mobil. Diluar dugaan, Inez terbelak mendengar kabar dari Farish. “Itu bener?” Tanya Inez menatap tajam Aim. 86 Aim tak menggubris pertanyaan Inez, ditinggalnya gadis centil itu kembali masuk kedalam mobil. ***  

Delapan belas.. Aku sakit, hati ini perih melihat Aim datang bersama Inez perempuan centil itu. Dia tak pernah merasakan sakitnya aku yang selalu menginginkan dia hanya untuk aku. Aku tak boleh menangis untuk orang yang tak pernah memperdulikan tangisanku. Aku tak boleh menangis, tak boleh membuang air mataku, aku tak ingin menangis, tak mau menangis, jangan menangis Ami! Jangan! Jangan menangis Ami! Aku tak kuat, sungguh tak kuat menahan air mataku agar tak jatuh. Tetesan air itu perlahan membasahi pipiku. “Ami kamu menangis?” Tanya Faris yang konsentrasinya beralih pada aku yang menangis di sampingnya. “Jangan hiraukan aku Farish…” Suaraku mulai serak. “Tapi kenapa Ami?” “Sudahlah, aku tidak mau menceritakan hal memalukan ini sama kamu.” “Tidak ada hal yang memalukan Ami. Apa dia yang membuatmu menangis semalam?” Aku mengangguk. “Kamu terlalu mencintai dia Ami…” “Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Mungkin lama –lama aku lebih baik mati saja…” “Jangan Ami. Jangan sampai itu terjadi. Karena kamu bisa menjadi orang yang paling merugi.” “Aku gak perduli lagi Rish. Selama ini aku mencintai orang yang entah ia bersungguh –sungguh atau tidak atas cintanya sendiri sama aku.” Pembicaraan itu terus berlanjut hingga ketepian pantai wisata yang menjadi tempat berawalnya pertemanan mereka berdua. Farish kembali dengan dua buah kelapa muda yang baru ia beli di warung belakang. “Makasih…” Farish duduk di sebelah Ami. “Lebih tenang?” Ami tersenyum. “Ya, lebih baik…” Nafasnya di tarik dan di hembuskan perlahan. “Hidup itu kenapa harus dipersulit dengan urusan cinta ya, Ami?” “Aku tidak tahu.” “Tapi Ami, aku pikir masalah yang kau temui setidaknya gak seperti masalah punya temanku yang aku pikir itu masalah super aneh buat aku…” “Masalah aneh?” 87 “Ya jadi masalahnya gini. Dia itu jatuh cinta sama saudaranya sendiri.” “Saudara sendiri maksudnya?” “Kan Ibunya nikah lagi gitu. Trus suaminya si Ibu nih punya anak gitu…” “Tiri maksudmu?” “Iya.” “Trus?” Perlahan aku penasaran dengan masalah yang Farish ceritakan, sepertinya cerita itu tidak akan jauh beda dengan ceritaku. “Ya mereka menikah. Ya namanya saling cinta nih yaa..” “Terus?” “Nikah punya anak.” “Terus?” “Terus terakhir aku denger kabar katanya mereka mau cerai.” “Kenapa?” “Aku gak tau pastinya, tapi temen –temen yang cerita katanya gara –gara, ah biasa lah mungkin si anak nih susah diatur sampei –sampei orang tuanya gak terima kalau dimarahi jadi pusing deh urusannya. Anak sama orang tua sama –sama tengkaran.” Ternyata masalahnya benar tak jauh berbeda dengan yang aku alami sekarang. Bedanya hanya anak ayah dan anak ibu tiri menikah, dan sekarang yang jadi masalah adalah urusan rumah tangga yang bikin mau cerai. Dan orang tua mereka juga ikut – ikutan masalah anaknya, jadi keluarga yang awalnya harmonis mau hancur juga ngikutin masalah anaknya?! Masya‟ALLAH, jadi teringat penjelasan pak Amin dulu. Aneh –aneh saja… Tapi itu semua apa juga berhubungan dengan haramnya hubungan mereka yang mengharuskan keduanya tidak bersama? Apa itu adalah teguran bagi mereka karena Tuhan tidak mengizinkan? “Ami?” “Ah iya?” “Kenapa?” “Enggak.” Aku menggeleng. “Kamu tahu hubungan mereka itu dilarang?” “Apanya?” “Antara anak tiri yang menikah itu.” “Hmm, aku sih gak tahu pastinya. Tapi aku pikir yaa tentu aja Ami. Barangkali semua orang pasti tahu dengan itu. Bayangkan aja, aku rasa kita sama aja udah jatuh cinta sama saudara sendiri. Iya gak?” Aku tersenyum. “Iya sih. Tapi aku juga tahu dalam kandungan surah An nisa itu tidak ada penjelasan bahwa menikahi saudara tiri itu haram. Jadi aku kira itu boleh, tapinya lagi aku pernah membaca kalau hubungan itu dilarang karena… akh aku lupa. Pastinya dijelaskan kalau tidak boleh, sekarang aku malah bingung.” “Bingung itu sama dengan ragu?” “Kalau hal ini pasti bikin ragu lah…” “Kalau begitu, sebaiknya… „MuhAuntyd Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal 88 dari Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.‟” Jelasnya bak seorang ustad yang sangat fasih dan mengerti benar dengan ilmu agamanya. Aku ternganga mendengarnya. Kali ini aku benar –benar tak menyangka di zaman sekarang ini masih ada pemuda gaul dan keren yang hafal dengan hadits. “Jadi, kalau sudah menemui hal seperti ini, antara jelas dan tidak jelas berarti meragukan sebaiknya ditinggal saja. Karena mungkin itu akan menyesatkan.” Aku tercengang menatapnya. “Ami?” Aku masih saja tak sadarkan diri sampai tangannya berterbangan di hadapanku. “Ah iya…” “Kamu kenapa?” Hanya tersenyum, aku mulai kagum padanya. “Aku gak papa…” “Jadi?” “Jadi aku harus menghindari itu agar aku tidak sesat dan berusaha untuk bisa menerima semuanya.” “Menerima apa?” “Ah nggak…” Elakku. Aku merasa tenang sekarang, ini pertama kalinya aku merasa setenang ini saat aku sedang menghadapi masalah yang sama. “Farish…” Panggilku sembari menatapnya. “Iya…” “Aku suka sama kamu…” “U‟huk U‟huk!!!” Faris yang sedang minum air kelapanya tersedak. “Jangan ge-er.” Aku tersenyum memandangnya. “Ah bukannya ge-er, tapi kenapa kamu koq bilang gitu?” “Yaa, aku hanya suka punya teman baik seperti kamu. Aku kagum melihat orang muda yang sangat fasih dengan lafadz arabnya. Kamu hebat, dan makasih atas semua budi baik kamu sama aku, dan aku tidak sanggub membalas semua budi baikmu.” Farish tersenyum. “Kamu jangan gitu. Kan aku ini temen kamu…” “Sungguh beruntung perempuan yang akan mendampingi kamu kelak.” “Ami, ayo dong jangan sampai segitunya…” “Aku sungguh Farish. Kamu baik, kamu ramah, tenang, perduli, dan jujur… siapa sih yang tidak akan merasa beruntung menjadi pasanganmu? Aku saja sudah sangat senang punya teman sepertimu.” “Ami, sekali lagi aku minta nih. Jangan muji aku segitunya entar yang ada telingaku lebar bahkan lebih lebar dari telinga gajah.” Aku tersenyum dan tertawa kecil. “Sungguh…” “Terimakasih banyak sekali atas semua pujianmu itu sangat membuat aku merasa lebih percaya diri.” “Baguslah kalau begitu…” “Tapi boleh aku tanya Ami?” “Silahkan…” 89 “Kalau kamu begitu memuji aku, kamu bilang perempuan yang dapatkan aku adalah beruntung bagaimana dengan kamu sendiri? Apa lelaki yang mendapatkan kamu beruntung?” “Tidak. Tidak ada yang akan beruntung mendapatkan aku. Karena aku tidak akan memberi mereka apapun…” “Kenapa?” “Kau tahu, sempat aku berfikir kalau aku bisa melupakan orang yang aku cintai hanya dengan beralih pada lelaki lain. Tapi aku salah bahkan sangat salah. Aku tidak bisa memberikan sedikitpun perhatian lebihku pada mereka. Karena setiap aku akan melakukannya aku hanya terbayang satu orang saja dan itu dia.” Farish tersenyum berat, rautnya sangat jelas menunjukkan kekecewaan. “Satu pertanyaan yang harus kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Sampai kapan kamu akan terus terlalut dalam kekecewaan? Berganti hati, itu perlu…” “Aku tidak tahu. Sudahlah aku tidak bisa memikirkan sekarang.” “Tapi kamu harus mulai memikirkan itu sekarang.” Nadanya memang tak membentak tapi aku tahu betul Farish sedang marah. Ia nampak gelisah tak setenang biasanya. Aku coba terus memandangnya, merasa heran dengan Farish yang memalingkan mukanya seperti marah. “Kalau kamu tidak mau menyesal karena sudah mengharapkan cinta seorang yang salah.” “Maksudmu?” Tanyaku semakin curiga. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya mengingatkan mu saja lah. Kau harus tahu kalau lelaki itu tidak mencintai kamu sedikitpun. Dia hanya main –main sama perasaanmu…” “Kamu tahu itu dari mana?” “Orang bodohpun tahu sikap seperti itu sudah jelas –jelas menunjukkan kalau tidak ada cinta sedikitpun!” Aku tercekat mendengar nada bicara Farish. Cukup membuatku terkejut dengan nada bicaranya yang terdengar kasar di telingaku barusan. Sebenarnya aku tidak tahu kenapa dia sampai semarah itu menekankan kata –katanya. “Terimakasih…” Aku bernafas lepas. “Maaf kalau masalahku membuatmu marah.” “Marah? Kenapa aku harus marah?” “Ya kamu marah. Nada bicara kamu terdengar berbeda agak kasar. Aku tahu kamu marah. Maaf kalau selama ini aku hanya memikirkan tentang aku sendiri tanpa mengerti kamu yang sudah mulai bosan dengan semua yang menimpaku.” “Ami, aku tidak…” “Gak papa kalau memang kamu ingin aku membahas yang lain bilang saja. Aku tidak akan marah. Maafkan aku Farish…” “Ami…” Aku tersenyum. “Sudah terlalu siang, sebentar lagi pasti sore. Aku harus pulang.” 90 Pulang aku mengantarkan Farish pada sebah gudang tertutup yang dijaga satpam. Aku semakin penasaran saja dibuatnya, ia tak pernah mau bilang dimana dia bekerja. Tapi aku mau berusaha untuk mengenali dia sendiri. Aku tidak mau membuatnya marah lagi karena harus mengurus masalahku yang monotone. ***  

Sembilan belas.. Hari ini hari yang sangat sepi sekali dirumah Ami yang cukup sangat besar untuk dirinya seorang. Mondar –mandir, keluar kedalam tidak ada kerjaan yang penting yang bisa ia lakukan. “Bikin apa Ma?” “Bikin pastel…” Jawab Mama singkat. Mama sangat sibuk sendiri jadi tak terlalu menghiraukan keberadaan Ami. Kemudian ia memutuskan kembali saja ke kamar. Melentangkan tubuh yang nyaris patah karena terlalu capek sekali seharian. Memasang earphone dan aktivkan mudus radio di hapenya. “Okay, nih Rona akan putterin lagu yang udah di request sama Farish barusan salamnya special untuk Amita Rorai. Moga aja dia pas lagi dengerin aja nih ya Farish… Ami, u shuld change to other one…” „Intro Ami tercekat, Lagu untukku? Seksama aku dengarkan makna setiap bait yang terucap. Aku bayangkan kata –kata itu langsung terlontar dari mulutnya. Satu persatu telah kuhapus, Cerita lalu di antara engkau dan aku Dua hati ini pernah percaya, Seribu mimpi tanpa ragu tanpa curiga Ku tak ingin lagi, Menunggu, menanti Harapan tuk hidupkan cinta yang telah mati, Ku tak ingin coba Hanya tuk kecewa (Ku telah kecewa), Lelah ku bersenyum lelah ku bersandiwara Aku ingin pergi, Dan berganti hati Satu persatu telah kuhapus, Nada dan lagu yang dulu kucipta untukmu Rasa yang dulu pernah ada, Kini berdebu terbelenggu dusta dan noda Kini ku sadari diri ini, Ingin berganti hati Cinta yang tlah pergi, Harus berganti hati Harus ku ganti hatiku kini, Ini harus ku ganti Tak perlu ini lagi harus berganti… Tak hanya Ami sajalah tentu yang mendengar siaran radio Vanganza . Fm. Seluruh kota tahu dan mendengar, seperti halnya tiga manusia lain yang teribat dalam kisah ini. Farish, Ibrahim, dan Inez. “Ami, aku hanya bisa berharap dan berdoa kau bisa melupakan Ibrahim dan mencari hati yang jauh lebih pantas untuk engkau cintai.” Farish kembali melanjutkan 91 pekerjaannya yang terhenti sesaat. “Siapa Ami Rish?” Tanya Ibu yang tak sengaja melihat anaknya tersenyum berat menatap layar laptop. Farish berbalik kilat. “Ibu? Bukan siapa –siapa Bu..” “Jangan bohong kamu. Ibu mendengar radio barusan. Apa sudah menemukan gadisnya?” Farish tersenyum malu dengan ucapan Ibu. “Belum Bu… Ibu tenang saja. Aku tidak mau terlalu terburu –buru untuk mencari pasangan Bu. Aku ingin gadis itu benar –benar melihat hatiku…” Ibu tersenyum. “Ibu serahkan semuanya sama kamu. Ibu yakin pilihan kamu adalah yang terbaik nak…” “Terimakasih Bu…” Kemudian Faris memeluk Ibunya yang pasti sangat dicintainya. Lalu? Bagaimana dengan Inez dan Ibrahim yang sedang menikmati makan malam saat café juga tengah mendengarkan siaran radio yang sama? Wajah lelaki itu memucat, ia benar –benar takut Ami akan berganti hatinya tak akan memperdulikan dirinya lagi. Hidangan steak sapi yang terhitung mahal dan sangat lezat tak lagi dipandang. “Kita pulang saja sekarang.” Ajaknya sudah semakin tak selera berlama –lama dengan Inez. “Kenapa? Steakmu saja belum habis.” “Sudah aku sudah tak selera.” “Karena di radio tadi?” “Sudahlah Inez! Hargai aku, aku ingin pulang sekarang. Kalau kamu masih mau disini ya sudah aku saja yang pulang sendiri!” “Bram! Bisa gak sih jangan hanya memikirkan dirimu sendiri, ha?!!” “Sudah aku tidak mau berdebat denganmu!” Tandas Aim meninggalkan Inez sendiri di meja. Tak mau tertinggal Inez terpaksa ikut Aim kembali pulang. Bib bib bub bab! Sms menyela siaran radionya. “Aku tunggu di tempat kita biasanya sekarang juga…” Itu pesan dari Aim. Jantungnya menjedut, tak menyangka Aim akan mengajaknya kembali datang ketempat yang sudah tak ia inginkan lagi. Tak lekas ia membalas pesan itu, kali ini hatinya menggusar penuh keraguan. *** 

Semua bait –bait itu sesungguhnya memang untuk aku. Tidak bisa aku elakkan aku sangat merindukannya, aku ingin bertemu denganya dan bilang bahwa aku sangat mencintai dia. Aku inginkan dia secara baik –baik tanpa pertengkaran lagi. Tapi, seperti apa yang dibilang Farish bahwa dia hanya memainkan perasaanku dan tidak ada cinta sedikitpun untukku, aku tak boleh menemuinya. Tapi aku sangat, sangat, sangat dan sangat merindukannya. Aku putuskan untuk menemuinya… Aku kuatkan kakiku berjalan menyusuri pinggiran trotoar menuju tempat yang 92 sangat penuh dengan kisah cinta tersembunyi antara aku dan dia. Rasanya kembali mata ini ingin sekali membuang air sebanyak –banyaknya. Apalagi saat aku melihat Aim tengah duduk sendiri di bawah naungan pohon besar menanti kedatanganku. “Maaf membuatmu menunggu lama…” Sapaku tetap berdiri di belakangnya. Bergegas ia terjaga dan menghadapku. Ia langsung menyambar tubuhku dengan sebuah pelukan yang sangat hangat dan erat aku rasa. “Jangan pernah berhenti mencintai aku Ami. Apapun yang terjadi.” Setetes air akhirnya jatuh juga. Aku tak sanggub melepas pelukan ini. Aku juga tak ingin berhenti untuk mencintai dia, tapi apa dayaku mencintaimu hanya akan menjadi rasa sakit yang tidak akan pernah ada obatnya untukku. “Ami aku mohon sama kamu. Aku rela kalau aku harus pergi dari acara pertunangan nanti Ami. Aku akan tinggalkan Inez, aku akan pergi sama kamu Ami.” “Jangan!” Aku melepas pelukan itu. “Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu. Janjilah jangan pernah mempermalukan orang tuamu dan keluargamu di depan semua orang…” “Maafkan aku Ami, atas semua yang sudah aku lakukan sama kamu. Aku sadar, satu hal yang mengisi indah dalam hatiku cuma kamu bukan Inez atau yang lainnya.” Katanya menggenggam erat kedua tanganku. Ya Tuhan, benarkah apa yang ia katakan? Apa secuil cinta masih tersisa di dalam hatinya untukku? “Benarkah?” Tanyaku berlinangan air mata. “Benar kau cinta sama aku? Seperti aku yang sangat cintai kau?” Aim mengangguk cepat. Tatapan matanya mengisyaratkan cinta yang memang tulus hadir dari lubuk hatinya paling dalam. Aku percaya rasa itu memang ada untukku, dan aku sangat percaya dia cintai aku bukan Inez atau yang lainnya. “Aku tahu, perasaan kita ini sama. Merasa sakit melihat orang yang kita cintai sedang bersanding dengan orang lain. Semua sudah sangat terlambat bang. Pertunangan itu tinggal sepuluh hari lagi. Kita ini tidak boleh egois, kita harus pikirkan orang tua kita…” “Ami…” Aim membelai lembut wajahku. Tetesan –tetesan air bening perlahan disekanya lembut. Kemudian ia kembali memelukku dengan eratnya. Malamku terlewati dengan sedih dan bahagia karena aku menemuinya tanpa pertengkaran lagi. Aman, damai dan tenang, aku rasa semua indah seindah langit malam yang cerah bertabur bintang dan bulan purnama. Tapi, indahnya malam bagai mimpi buruk bagi Farish yang tak sengaja telah melihat Ami dan Aim bersama malam itu. Setetes air mata yang tak pernah dijatuhkan olehnya kini harus jatuh tanpa tertahan. Ia kecewa dan sakit, seperti saat Ami melihat Aim tengah bersama Inez. ***  

Dua puluh.. 93 Pagi yang cerah… Aku kembali menyeret kakiku menuju meja makan menemui Mama dan Ayah yang telah lebih dulu menyantap sarapan pagi. Nampaknya dua kakakku sedang pergi, mereka hanya tinggal kak Emma sedang menyuapi anaknya yang hendak berangkat sekolah. Aku membuka kulkas seperti biasa berharap menemukan sepotong cake. “Chesse cakenya masih ada?” “Sudah habis…” Jawab Mama. “Terus Imnan gimana?” Tanya Mama serius pada Ayah. “Ya Imnan kaget, pas yang sampai di tensi itu waktu Ami kesana, settres dianya.” Jelas Ayah. Lho? Emangnya ngomongin apa koq sampai bawa –bawa aku. “Napa kak?” Tanyaku sambil menuang segelas air. “Ibrahim minta dibatalkan tungangannya.” Bhuerrrr!!!!! Seketika air yang aku teguk tersembur dan aku tersedak. “U‟huk, u‟huk!!Uhuk!!!” dan terus terbatuk hingga aku kehilangan suara saja rasanya tak kuat untuk bicara. “Ami?!” Ayah, Mama dan kak Emma mereka sangat heran dengan tersedaknya aku. “Aku gak papa…” Elakku yang masih terbatuk –batuk. Perlahan aku tarik nafas dan membuanganya beraturan, Syukur tak lama hanya tinggal rasa perih sedikit di dada tapi aku tidak terbatuk –batuk lagi. “Duh pasti ada yang tidak beres itu sama Ibrahim.” “Ya akhirnya seperti itu.” “Memangnya kenapa koq mau di tunda Yah?” Tanyaku penasaran. “Imnan bilangnya katanya Ibrahim merasa tidak siap. Tapi gak tahu Ibrahimnya sendiri.” Jelas Ayah yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kalau kata Mama nih, pasti Ibrahim itu bukan karena tidak siap. Tapi dia itu sedang sennang pada orang lain.” Aku terhenyak, jantungku kembali berdebar dan aku benar –benar sangat takut. Semalam aku bertemu dengan Aim yang ada dia memang bilang ingin menghentikan semuanya. Tapi kenapa justru dalam semalam ia nekat begini?! Sekarang nyawaku benar –benar terancam. Oh GOD kenapa harus sampai sejauh ini??! “Coba Ayah tanyakan sama Ibrahim kenapa dia minta ditunda. Sapa tahu dia mau mengaku, toh rencana pertunangan itu kan idenya Imnan sendiri dulu sama Armand dan Vivi.” “Jangan!” Sahutku kembali mengejutkan Ayah dan Mama. “Apanya jangan Ami?” Argh! Aku menggeleng cepat. Aku sungguh tidak aman sekarang, sebaiknya aku pergi dari hadapan Ayah dan Mama sebelum tingkahku semakin membuat mereka curiga. GOD! Kenapa jadi begini?? Aku tak tenang terus mondar –mandir seperti setrika pakaian yang terus aja kusut. Aim! Kau sudah gila! Benar –benar gila! Aku tidak mau pertunangan itu batal ataupun kacau sedikit saja gara –gara aku. Mau aku taruh mana mukaku ha?! Cinta sih cinta tapi gak gini juga lah! Sekarang aku bener –bener 94 gak tahu harus kemana lagi. Aim… bisahkah sejenak kau itu tidak membuat aku terancam ha?! Aim… Aim… Aim… Gak gini juga aku sampai –sampai tidak bisa konsentrasi dengan semua tugas – tugasku di klinik. Bagaimana kalau Ayah bertemu dengan Aim? Bagaimana kalau Ayah benar –benar bertanya pada Aim? Bagaimana kalau Aim benar –benar mengakui? Bagaimana kalau Aim bilang kalau ini semua karena aku? Lalu ayah marah? Dan aku akan mati dipenggal olehnya karena aku telah memalukan keluargaku di depan semua orang! “Gak!” Teriakku seketika. Memalukan! Tanpa alasan aku berteriak dihadapan semua orang, disangkanya pasti aku orang gila. Aku hanya tersenyum menanggapi beberapa pasang mata yang sedang antre duduk di hadapanku. Tak enak juga kalau aku terus begini. Aku putuskan segera temui dia, dan… “Jangan pikir kalau kamu bilang semuanya sama Ayahku atau Mamamu sediri urusannya akan selesai!” Tegasku kasar padanya. “Ami? Kenapa lagi kamu?” “Cukup! Aku gak mau punya urusan sama kamu! Dan aku gak mau mendengar pertunanganmu batal hanya karena kamu gak siap atau kamu tengah cinta sama orang lain!” “Kenapa?!” “Jangan kira aku akan terpesona, senang, bahagia, karena kamu sudah melakukan itu semua!” “Tapi Ami?!” “Hidup ini bukan seperti sinetron yang bisa semudah itu berakhir tanpa masalah lagi dan tanpa omongan orang. Kau sadarkan kalau kita ini berbeda dari orang –orang pada umumnya? Kita punya komunitas sendiri, cara hidup kita juga berbeda, cara pikir orang –orang kita berbeda. Kau ingin keluarga kita jadi terkenal tiba –tiba karena satu masalah memalukan ini?!” “Ami itu tidak akan terjadi.” “Sudah aku gak mau denger apapun lagi! I wish this is the last for us! This is the end of all!” Tandasku kemudian kembali keluar dari mobilnya. GOD, jangan sampai apa yang aku pkirkan terjadi begitu saja, aku tidak sanggub! *** 

Ku buka laptopku, connect to internet. Sejenak aku ingin menenangkan diri dari ancaman Aim tadi pagi. Seperti biasa juga facebook jadi alasan pertama kenapa aku suka bermain internet. Facebook ku sangat ramai dengan makhluk maya. Itu membuatku cukup terhibur. Wah ada satu permintaan teman teranyata. Siapa ya? Klik! „Farish Rawahi‟ Sepertinya aku kenal dengan rupa ini, siapa yaa? Akh! Dasar Ami pikun! Itukan 95 Farish yang sudah jadi tempat sampahku, maksudnya tempat curhat. Ternyata dia baru nemuin aku langsung di fb. „Approve‟ “Ami…!” Teriak Mama dari luar memanggilku. “Iya…” Sahutku juga membalas teriakannya. Segera aku disconnect, dan temui Mama di luar. “Ada apa Ma?” Aku temui Mama yang sedang mengelap meja dapur. “Kamu disuruh Ayah antarkan pastel ke sana…” “Kesana mana Ma?” “Kerumah Mamamu itu..” Omg! Perasaan tadi pagi aku sudah bertengkar, sepertinya sebentar lagi aku akan bertengkar. “Kenapa harus aku Ma?” “Ya siapa lagi, kakakmu gak ada yang mau.” “Kalau gitu aku juga gak mau ah Ma…” “Ami? Koq gitu sih?!” Alis Mama bersatu. Aku menunduk. “Maaf. Tapi aku malas Ma…” “Cuma sebentar saja nanti langsung balik lah dak usah lama –lama…” Aku hanya bisa diam dan menurut perintah Mama. Ma… seandainya Mama tahu yang sebenarnya… “Pastelnya mana Ma?” Aku tolehi semua keadaan. Mama beralih pada sebuah dus kue yang ada di atas kulkas. “Udah ini bawa saja, hati hati…” Sesuai perintah aku langsung antarkan kue pastel ke rumah Mami tiriku tersayang. Ah malas aku! Semoga aja nanti aku gak bertemu Aim lagi, kalau tidak pasti lain urusan jadinya. Wez, wiz, wuz…! Delivery sampai… Tok tok tok!! Dan pintu berwarna putih besar itu terbuka. Sudah ku duga! Sesuai yang aku takutkan. Aim yang ada dihadapan mukaku sekarang. “Mama lagi keluar.” Kabar lelaki yang ada di hadapanku itu. Aku memberikan kotak pastel padanya. “Ini dari Mamaku. Udah makasih!” Aku cepat berbalik. “Ami tunggu napa ah!” Aim menarik tanganku. “Apa lagi? Aku cuma disuruh antar itu gak ada yang lain.” “Kamu gak mau ketemu sama aku?” “Gak! Kita itu gak perlu ketemu selain acara keluarga. Udah ah!” Aku buang tangannya. “Ami kamu koq gitu sama aku?” “Seharusnya aku udah begini sama kau dari dulu bukan baru sekarang! Kau itu cuma abang aku dan gak akan pernah lebih dari itu. Udah ah! Ini yang terakhir kalinya aku lihat kau begini sama aku!” “Tapi Ami?!” “Apa lagi?! Udah, udah, dan Udah! Kebanyakan bilang udah aku!” Aku segera 96 pergi dari hadapannya. Aku gak mau dia tahan –tahan aku lagi. Aku langsung kembali kerumah, mengurung diri dalam kamar. Aku berusaha tenangkan diri dan berfikir secara sehat. Tanpa godaan tanpa gangguan emosi, aku ingin berfikir jernih sesuai perasaanku sendiri. Kali ini aku semakin enggan bertemu dengan dia. Memangnya kenapa? Apa aku hanya kesal saja sama dia ya, karena hari pertunangannya semakin dekat dan aku merasa terancam dengan jiwanya yang stress memikirkan pembatalan tunangan itu? Aku tak bisa bayangkan kalau pertunangan itu benar –benar dibatalkan. Mami dan Ayah yang malu, bukan Ayah dia yang malu. Yang orang tahu Ibrahim Imran itu anak didikan Ayahku, Bilal Rorai. Walau hati kecilku sedikit menginginkan pertunangan itu batal, tapi juga aku tidak mau membuat malu orang tuaku. Sudahlah aku tak tahu harus gimana sekarang. Aku kembali pulang dan melanjutkan facebookku lagi. Wah! Ada satu pesan, dari Farish ternyata. „Makasih udah di confirm, salam kenal ya…:D‟ Pesannya. Bikin aku pengen ngakak aja anak ini, ah dia itu seperti yang baru kenal saja denganku. „Siapa ya? gak kenal tuh…‟ Aku membalas pesannya. Baru beberapa detik setelah mengKlik tombol kirim, eh dia udah nongol via chat sama aku. „Hey..‟ Sapanya duluan. „Hey juga, salam kenal?‟ „Hehe, iya :D‟ „Apa kabar nih?‟ „Baik, kamu?‟ „Alhamdulillah aku baik sekali.‟ „Syukur deh…‟ „Seharian ini gak nongol di depan muka aku, tumben?‟ „Aku lagi gak ada di kota.‟ Alisku mengernyit. „Maksudnya?‟ „Aku lagi keluar kota Ami…:P‟ „Owh.. napa gak pamit?‟ „Tadinya mau pamit tapi kamu sibuk sama oranglain.‟ „Siapa?‟ „Cowok yang punya mobil civic hitam tadi pagi.‟ Ah, Aim maksudnya. Tadi pagi aku memang sangat dikacaukan sama anak itu dan aku tidak sempat memikirkan hal lain. „Maaf ya..‟ „Gak papa..‟ ‟„ „Sampai kapan perginya?‟ „Insya‟ALLAH lima hari.‟ „Lama yaa…‟ „Gak sih, itu sebentar, aku pernah pergi lebih lama dari itu. Sebulan, dua bulan pernah.‟ 97 „:o.. Lama Amat?‟ „Napa kamu kangen yaa?‟ „Hmm… enggak lah..‟ .‟„Kangen juga gak papa koq.. ‟„ „Eh, udah dulu yaa, ada kerjaan ni.‟ „Ok, bye take cere…‟ ‟„Makasih u.. Offline… Dan aku sendiri sepi malam ini… ***  

Dua puluh satu… “Seratus, delapan puluh..” Aku melepas stetoskop. Dan membuka ikatan tensi meter. “Banyak –banyak istirahat aja ibu ya, jangan lupa vitaminnya diminum gak boleh telat.” “Bayinya Bu?” “Alhamdulillah bayinya sehat. Tapi masih terus asupan gizi yaa..” “Iya, Terimakasih ya bu…” “Sama –sama Ibu…” Seorang perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu bersalaman denganku dan keluar. “Misi Bu Ami…?” Sapa seorang satpam yang hanya muncul sebagian tubuhnya dari balik pintu. “Iya ada apa Pak?” Masuklah kemudian satpam itu. “Saya mau kasih ini Bu..” Alisku seketika mengernit. Sebuah paket kotak berukuran tanggung berwarna coklat dikirim lewat pos dan ditujukan padaku. “Dari siapa Pak?” “Kurang tahu Bu.” “Hmm well, makasih pak…” “Mari Bu…” Satpam itu keluar. „Kepada Amita Rorai‟ benar itu untuk aku. Tapi dari siapa aku bolak –balik tidak ada pengirimnya. Sudahlah aku sisihkan paket itu dulu, masih banyak pasien yang antri untuk diperiksa. Hmmm… hari yang melelahkan akhirnya aku bisa pulang juga. Aku letakkan paket itu di kursi sebelahku dan aku melanjutkan menyetir pulang. Sesekali aku lihat paket itu, siapa yang mengirimnya ya? Selama ini aku tidak pernah mendapat paket yang misterius dan sebesar ini. Sambil lalu aku ingin membukanya sendiri sambil menikmati panasnya siang yang terik dengan sebuah es kelapa muda di tepian pantai yang biasanya aku lalui bersama Farish. Sayang sekali dia tidak ada disini sekarang, seandainya dia bisa 98 temani aku membuka paket ini, mungkin akan lebih seru. Sudahlah aku tak bettah lama –lama memandang kotak yang sangat membikin aku penasaran ini. Perlahan dan sangat hati –hati aku melepas isolasi yang merekatkan sampul bungkusan. Di balik kotak coklat terbungkus kertas Koran, di balik kertas Koran terbungkus kertas coklat, dibalik kertas coklat terbungkus kertas biru yang mengkilap. Dan dibalik kertas biru itu ada kotak putih dan itu yang terakhir. Aku tersenyum, Masya‟ALLAH aku lupa hari ini aku ulang tahun! Hahahaha!!!!! Tulisan Happy birth day pada amplop yang tertempel di atas kotak berwarna putih itu mengingatkan aku hari ini. Lekas aku lihat isinya. “Dear Ami… Selamat ulang tahun, maaf aku hanya bisa memberimu ini. Aku harap kau suka dengan apa yang aku berikan. Semoga apa yang kau impikan terkabul semua sesuai harapanmu yang terbaik… Farish Rawahi ” Aku senang, sangat senang, ini pertama kalinya dihari ulang tahunku mendapat kejutan yang sangat mengejutkan aku. Sangat tidak aku duga itu bukan dari siapa – siapa, malah Farish yang aku kenal baru sebulanan ini. Dalam kotak itu ada jacket kaos yang tebal dan lembut berwarna biru dongker yang bagus sekali, dan dua ikat rambut berbulu berwarna coklat dan biru dongker juga. Sepertinya ia kenal sekali diriku suka menggunakan jaket saat keluar malam dan selalu mengikat rambutku setiap hari. Farish, rasanya sekarang juga aku ingin sekali bertemu denganmu, sayangnya kamu masih tiga hari lagi untuk pulang. Sepertinya aku mulai merindukanmu… “Nummber you are calling is not active, please try again in a view minute.” Rupanya dia sibuk sekarang, aku sms saja, semoga dia bisa membaca smsku nanti. “Farish! Terimakasih atas hadiahnya, aku sangat senang dan amat sangat senang sekali. Ah, rasanya aku benar –benar tidak bisa mengungkapkan rasa bagahiaku sekarang. Terimakasih Farish…” Hmmm… “Ami?” Sapa Mama saat aku masuk rumah. Aku mendekat dan menyalami Mama. “Iya Ma…” “Kamu dapat apa sampai sesenang itu sepertinya?” “Aku?” Senyumku semakin melebar. “Aku entahlah Ma aku sangat senang hari ini.” “Dapat hadiah ulang tahun dari siapa hayo??” Aku tertawa kecil. “Ah Mama koq tahu aku dapat hadiah?” “Kalau bukan hadiah apa coba kotak yang kamu bawa itu?” Mama meliriki kotak yang aku jinjing sebelah tangan. Aku tertawa. “Haha! Maa…” Aku memeluk Mama sungguh bahagia. 99 “Hey hey hey… kenapa anak Mama yang satu ini ya?” Mama melepas pelukanku yang nyaris mengajaknya berdansa. “Sini sini sini. Ayo kamu harus cerita dapat hadiah dari siapa?” Aku duduk bersma Mama di sofa. “Dari temanku yang sedang ada di luar kota Ma…” “Siapa?” “Ah tidak Ma, aku tidak akan bilang siapa sama Mama…” “Bukan pacarmu kan?” “Ah Mama, bukan lah…” “Terus apa yang bikin kamu senang sampai segitunya?” “Aku gak pernah menyangka, berteman saja aku belum genap sebulan Ma sama dia. Tapi dia sudah tahu segalanya tentang aku, hari ulang tahunku, warna kesenanganku, ah semuanya Ma…” “Dia punya perhatian lebih, tentu dia menginginkan kamu Ami…” “Gak lah Ma…” “Dengar, kamu mungkin tidak cintai orang itu, tapi kamu sudah mendapat kasih sayang tulus dari orang itu.” Mungkin? Entahlah… Saat aku mulai terlelap dalam tidur… „Panah Asmara by Afgan‟ Mataku terjaga! Siapa yang telpon aku jam segini malam? Aku lihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas. Sementara hapeku terus berdendang, aku raih di nacase. „Farish?‟ Akupun tersenyum heran. “Hallo?” Jawabku. “Assalamualaikum…” “Waalaikum salam…” “Belum tidur Ami?” Aku tersenyum, bohong dulu ah! “Belum…” “Ngapain sampai jam segini belum tidur?” “Kan aku ditelponin sama kamu sekarang. Yaa belum tidur…” Terdengar disana Farish tengah tertawa kecil. “Kamu bangun gara –gara aku telpon ya?” “Hem… mungkin?” “Maaf ya sudah ganggu kamu.” “Gak papa. Aku senneng koq.” “Ha? Senneng aku telponin walau malam –malam?” Aduh! Kebawa perasaan deh. “Gak, maksudnya…” “Udah, gak papa koq.” Sunyi… “Farish…” “Iya?” “Terimakasih atas hadiahnya yaa?” “Sama –sama. Apa kamu suka? Maaf aku cuma bisa kasih itu sama kamu. Aku 100 gak tahu harus kasih apa. Maaf ya??” “Sudah ada yang ingat akan ulang tahun aku aja sudah senneng banget Rish. Apalagi sampai kejutan lewat pos.” “Ukurannya pas?” Aku membalikkan posisi tidurku. “Pas banget. Aku bener –bener senneng banget Rish hari ini, aku senneng dan gak bisa diungkapin dengan kata –kata. Terimakasih yaa, aku gak tahu mau bales apa sama kamu.” “Jangan mikir gitu terus dong Ami. Selama aku bisa buat kamu seneng aja aku juga dah senneng.” “Hirh… so sweet deh…” Panjang –panjangin ngobrol gak penting di telpon sama Farish, gak kerasa juga hampir menghabiskan waktu yang namanya tengah malam. Saking lamanya, aku muter tempat tidur sampai tiga kali. Hihihi, keasyikan deh… ***  

Dua puluh dua.. “Nanti Malam ada pertemuan keluarga Armand dan Vivi.” Kabar Ayah. Masalah itu lagi. Aku tetap diam dengan hidangan sarapanku. “Anak –anak ikut juga sekalian.” Lanjut Ayah. “Maaf Ayah, Ami gak bisa ikut. Nanti malam ada undangan teman Ami mau nikah.” “Mama juga dak mau ikutan.” “Kenapa?” “Ayah masih tanya kenapa?!” Mama menaikkan nadanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi sama Mama tapi kali ini pembahasan tentang pertungan Aim sepertinya mulai membosankan dan tak mengundang selera. “Ya sudah tak usah mengangkat nada seperti itu.” Mama diam. Sementara aku memilih untuk kembali ke kamar dan bersiap berangkat ke klinik. Suasana klinik yang sangat menghiburku. Terharu, lucu, dan terkadang jantungku turut berdebar saat berperang menyelamatkan satu nyawa yang akan lahir kedunia. Melihat perut –perut yang membundar seperti semangka, sungguh aku merasa lucu dan sedikit aneh. Terkadang aku berfikir, bagaimana jika aku seperti itu ya? Perutku membundar dan katanya itu sangat berat sekali. Hmm… menikah dan punya anak nantinya, itu adalah impian semua manusia yang ada di muka bumi ini. Termasuk juga aku, memiliki keturunan yang baik dari sepasang orang tua yang baik. “Terimakasih Bu bidan…” “Sama –sama Ibu, jangan lupa diminum obatnya..” “Iya…” “Semoga lahirnya gampang ya Ibu…” “Aminn..” Akh.. akhirnya pasien terakhir selesai. Aku tarik sedikit lengan bajuku 101 menengoki jam tangan sudah pukul empat tepat. Saatnya pulang, untung saja aku masih magang, kalau aku sudah jadi bidan sungguhan mungkin jam segini aku masih harus berkeliling di rumah sakit. Kembali aku pulang kerumah. “Assalamualaikum…” Salamku sembari menutup kembali pintu rumah. “Waalaikum salam…” Sahut Mama. Tak ada suara lain yang menjawab salamku, rupanya semua orang sudah pergi untuk makan malam pertemuan dua keluarga yang akan berbesan sebentar lagi. Aku temui Mama yang sedang bersantai di depan tivi sendiri. Aku menyalaminya. “Yang lain sudah berangkat Ma?” “Iya, baru aja…” “Pantes seppi.” Aku melepas tasku dan duduk dekat Mama. “Nanti malam kamu mau ke udangan temanmu jadi?” Aku tersenyum sambil menggeleng. “Aku cuma alasan aja Ma sama Ayah.” “Alasan? Ngapain?” “Aku males mau ke sana. Apalagi ketemu dengan orang –orang disana. Membosankan.” “Apalagi Mama…” Aku tersenyum berat. Ku peluk Mama yang duduk di sampingku ini. Ma, maafkan Ami. Seandainya saja Mama tahu yang sebenarnya mungkin Mama tidak akan memaafkan Ami. “Kamu kenapa Ami?” Mama heran dengan sikapku. “Tidak apa –apa, Ami hanya kangen sekali ingin memeluk Mama…” Mama tersenyum, iapun berbalik memelukku. Aku benar –benar butuh perlindungan dari Mama. Ma, semakin detik –detik jam itu berlalu, semakin hatiku sakit membayangkan acara makan malam itu sungguh sempurna dengan dua pasangan calon suami –isteri yang sangat berbahagia dengan senyum mereka. Aku duduk di kamar menatap kosong ke luar jendela. Hanya langit hitam, dan bintang bertaburan sangat indah yang jadi saksi perihnya hatiku malam ini. Ya Tuhan apa yang bisa aku lakukan? Sungguh aku tak kuat menahan rasa cinta yang terlalu besar aku berikan padanya. Setetes demi tetes air bening mulai jatuh dan membasahi mukaku. Sungguh aku ingin berteriak pada dunia pertunangan itu tak boleh terjadi. Aim hanya untukku saja! “Ami?” Panggil Mama yang menemukan aku dari balik pintu kamar yang terbuka. Lekas aku menyeka air mataku, aku tak ingin Mama tahu aku menangis. “Iya Ma?” Aku berbalik. “Kamu kenapa Nak?” Mama menghampiri aku dan duduk dekatku. Aku menggeleng berat. “Tidak Ma..” “Jangan bohong kamu. Mama tahu kamu sedang punya masalah. Rupamu berbeda tak seceria saat kamu mendapat hadiah dari kawanmu kemarin.” Aku memaksakan senyumku. Iya hanya Farish yang membuatku tersenyum, tapi aku tak sedikitpun cintai dia. 102 “Ada apa nak? Cerita saja sama Mama.” Desak Mama yang semakin merasa curiga dengan keadaanku. Aku menatap penuh pilu wajah Mama. Tetes air mata kembali terjatuh dan semakin menderas. “Ami? Kamu kenapa Nak?” Cemas Mama. Aku seketika memeluk Mama dengan sangat erat dan menangis dalam peluknya. “Ami bilang Mama nak kamu kenapa?!” Desakan Mama membuat aku semakin menangis. Haruskah aku melakukan pengakuan atas semua perasaanku yang aku sembunyikan selama bertahun –tahun ini? Ya Tuhan, aku tak ingin membuat Mama kecewa dengan semua kelakuanku. Mama mengusapku yang masih bersimpuh dihadapannya. Wajah Mama sudah berat dengan rasa takutnya atas pengakuanku nanti. Aku sungguh tak tega melihat wajahnya. “Ami minta maaf yang banyak sama Mama…” Aku semakin berderaikan air mata. “Kamu itu anak Mama, tanpa kamu minta, pasti Mama akan selalu memaafkan kamu nak. Ayo cerita apa yang sampai membuat kamu jadi seperti ini? Tolong jangan bikin Mama gelisah Ami…” Tatapan mata Mama membuat aku berat untuk tidak lekas menceritakan semua yang terjadi. Tapi aku juga tak ingin membuat Mama shock dengan pengakuanku yang esktrim ini. Seumur hidupku, inilah masalah terumit yang aku alami. Tarik nafas, hembuskan. Tuhan, berilah kekuatan pada Mama untuk mendengar semua ceritaku yang aku yakini ini pasti menyakitkan di hati Mama. “Ma..” Panggilku dengan isak tangis. “Katakan nak…” “Ami sedang jatuh cinta Ma…” Mama diam, tak lekas menjawab pernyataanku. “Sama siapa Ami? Siapa lelaki itu Ami?! Apa yang sudah dia lakukan sampai kamu seperti ini Ami?!” “Aku sudah jatuh cinta Ma. Dan dia…” Aku benar –benar tak sanggub mengatakannya pada Mama. “Maafkan Ami Ma…” Tangisku meledak. Aku peluk Mama dengan erat kembali. Ya Tuhan beri aku kekuatan mengatakannya pada Mama. Dan buat Mama mampu menahaan kekecewaan yang sudah aku perbuat ini. “Siapa Ami? Bilang sama Mama?! Siapa lelaki itu Ami?!” Aku masih saja tak kuat menjawab pertanyaan Mama. “Jangan pernah katakan kalau lelaki itu adalah Ibrahim, Ami…” Terka Mama yang kecurigaannya memuncak. Perlahan aku hanya bisa mengangguk memastikan terkaan Mama itu adalah benar. Seperti yang ku duga, Mama benar sangat terkejut mengetahui yang sebenarnya terjadi. Tapi tak setetespun air jatuh dari kedua mata Mama. Mama hanya menyesalkan semua yang terjadi. Ia tak bisa berkata apapun untukku. Maafkan aku Mama, derai air mata Mama adalah duka mendalam buatku. Apa yang harus aku 103 lakukan sekarang? Ya Tuhan, segeralah engkau beri aku dan Mama ketenangan. “Dia hanyalah anak dari istri Ayahmu dengan suaminya dulu.” Mama tak sedikitpun menolehi aku yang bersimpuh dengan derai tangis dihadapannya. Aku tak bisa membendung isak tangisku sedikitpun. Setelah delapan tahun memendam perasaan, setelah cukup jauh menjalani hubungan yang indah, kali ini semua harus kandas akibat pertunangan yang tinggal beberapa hari lagi. “Kenapa ini bisa terjadi Ami?” “Ma, Maafkan Ami. Ami tahu benar Ami salah…” “Akhirnya yang Mama takutkan benar terjadi sekarang. Kamu sudah jatuh cinta pada orang yang sangat salah.” aku tak bisa berkata apapun lagi. “Jangan pernah kamu memikirkan anak itu lagi! Dia tak pantas buatmu.” Kalimat terakhir Mama ditekan kuat. “Mama tak mau hilangkan kebaikannya. Anak itu memang baik, dia sopan, sangat menghargai pada kamu dan Mama sendiri juga. Tapi tidak, tidak Mama tidak akan pernah mau. Apalagi sekarang? Dia sudah berkumpul dengan orang sesamanya.” “Maafkan Ami Ma…” “Mama bersyukur masih menemukan kabar ini saat dia akan bersanding dengan orang lain.” “Ma…” “Kamu lihat siapa garis keturunannya? Siapa Ibunya? Siapa Ayahnya juga?” “Iya Ma, Aku sangat mengerti..” “Ibunya adalah seorang wanita yang sangat dibenci oleh keluargamu. Aunty – Auntymu, pamanmu, bahkan Mamamu sendiri saat ini. Kamu memang boleh bersanding dengan dia, bahkan saat ini juga jika Mama mau, Mama bisa menyuruh pertuangan itu untuk dibatalkan. Tapi tidak, lelaki itu tidak pantas buat kamu. Pikirkan selanjutnya? Selama ini Mama memang diam dengan keadaan orang itu dengan Mama sendiri, tapi tidak Mama mengharapkan orang itu akan datang dan pergi sesukanya kerumah ini. Tidak nak… sampai kapanpun, Mama tidak akan pernah menerima kehadiran wanita itu apalagi sebagai besan Mama.” “Ma aku tak pernah berfikir sampai sejauh itu.” “Dan kamu sekarang harus memikirkan itu. Cinta mau dibawa kemana lagi selain ke pernikahan yang sah?” “Aku tahu Ma, tapi aku sangat menyesalkan karena aku tahu dia tengah berbohong padaku. Aku sangat sakit mengetahui semua ini terjadi Ma.” “Kamu tidak usah menyesal seperti itu. Percuma, penyesalan seperti itu hanya akan menyakiti hati. Sudah, perasaan cinta itu adalah berkah, karunia Tuhan yang diberikan pada hamba –hambanya. Semua orang berhak cintai siapapun.” Aku memeluk Mama dengan erat. Menceritakan sebagian isi hatiku sangatlah membuat perasaan dan fikiranku jauh lebih tenang. Walau kisah tersembunyi hanya akan menjadi penyakit yang tidak akan pernah ada obatnya. “Lupakan dia, berusahalah terus Nak…” Tandas Mama tanpa menolehi aku dibelakangnya. Kemudian Mama terus keluar dan menutup pintu kamarku. Ma maafkan Ami 104 yang telah mengecewakan Mama… ***  

Dua puluh tiga.. Klung! Klung! Aku menolehi laptopku yang sedang modus online. Rupanya ada satu chat messege. Aku selesaikan dulu menyusun lembaran –lembaran kertas berserakan diatas kasur yang harus aku serahkan pada dosen besok. Setelah selesai, baru aku kembali pada layar internet dunia mayaku. Offline „Farish : Assalamualaikum‟ Aku tersenyum, ternyata anak itu lagi. Sudah dua hari ini dia tak telpon maupun sms aku. Sepertinya dia sedang sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya yang sampai saat ini aku juga gak tahu dia kerja apa sebenarnya. Dia hanya mendengarkan aku tanpa mengizinkan aku mendengarkan tentang dirinya. Itu yang membuat aku susah juga untuk cari tahu dia itu anak siapa sih sebenarnya. Sayangnya dia sudah keburu offline, mungkin terlalu lama juga menunggu aku menyelesaikan tugas –tugasku dulu. „Waalaikum salam‟ Aku membalasnya. Susudah itu aku melanjutkan lagi tugas –tugas yang tadi. Hooowwwaaayyy!!! Mataku sudah gak kuat lagi mau terus melebar menatap cahaya warna dari layar kompi. Aku toleh kebelakang melihat jam di dinding ternyata masih jam setengah sepuluh malam. Klung! Klung! Chat messege lagi. „Masih online ni?‟ Kembali aku tersenyum dan segera membalasnya. ‟Iya‟ ->‟Sepi ni‟ < sibuk amat ya sekarang?‟-„ ->‟Hehe iya‟ ->‟Kamu sendiri juga kan?‟ <‟-„ ->‟Bsok aku pulang.‟ ‟Koq O sih?‟ ‟:D,‟ ->‟besok ada acara?‟ ‟Gak papa, Tanya aja.‟ 105 „kalau kamu mau n bisa tentunya‟ Senyumanku semakin lebar. Aku sangat senang jika Farish mengajakku keluar rumah. Entahlah aku tidak tahu kenapa, yang aku tahu hanya merasa senang, tenang dan tidak kesepian berada di dekatnya. „terus?‟ „maksudnya kita ketemunya gimana?‟ „dimana?‟ „nggak.dimana?‟ „tapi aku gak mau di penjara ya..‟ „okay!‟ ‟Ok, have nice dream…‟

0 Response to "Baca Novel Cinta Tak Semudah Kata C.I.N.T.A"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel