
Novel E-Book Piano Di Kotak Kaca
Wednesday, May 4, 2016
PIANO
DI KOTAK KACA
Karya:
Agnes Jessica
BAB 1
"CERAIKAN
saja aku, ceraikan!!!"
Plakkk! Terdengar suara perempuan menangis lalu terdengar suara benda
jatuh.
"Kau pikir aku tidak mau? Ya, kita cerai saja!"
Sheila menutup kupingnya dengan tangan erat-erat. Matanya terpejam lalu
dari sela-sela bulu matanya mengalir air mata. Selalu begini tiap hari.
Apa mereka tidak memikirkannya? Pernahkah mereka memikirkannya barang
sebentar? Pernahkah mereka berpikir bahwa ini menyakitkan? Suara-suara
ribut seperti ini bagai mengimpit jiwanya sampai ia mau mati rasanya.
Itu suara pertengkaran orangtuanya. Sheila cuma remaja yang berusia lima
belas tahun yang mestinya belum mengerti apa-apa. Satu-satunya yang
dapat ia pelajari dari hubungan ayah dan ibunya hanyalah perselisihan.
Bisa saja ibunya berdalih bahwa ia terlalu muda ketika ia menikah dengan
ayahnya dulu, baru genap tujuh belas tahun usianya. Bisa saja ayahnya
berdalih bahwa ia salah memilih istri, yang selalu membuat marah suami.
Tapi apakah mereka pernah berpikir bahwa pernikahan mereka telah
melahirkan dirinya? Lalu apa dirinya? Ia pasti bukan buah cinta seperti
yang di sebut-sebut pemain sinetron ketika menyebut anak. Ia adalah buah
dari hubungan yang tak diharapkan, hubungan tanpa cinta.
"Aaaaaaa!!!!" terdengar teriakan lagi.
Sheila mengetatkan lagi telapak tangannya di telinga, tapi suara-suara
itu masih saja terdengar. Itu pasti suara ibunya, berteriak karena
dipukul ayahnya. Mereka bahkan tak pernah mencoba untuk membuat
pertengkaran ini tak didengarnya.
Tok tok tok!
Sheila bisa mendengar bunyi pintu diketuk, karena kamarnya terletak di
dekat pintu masuk. Kalau ia diamkan saja pasti ayahnya mengomel. Munkin
tukang pos, petugas PAM , atau Pak RT yang ingin menginformasikan
sesuatu. Ia keluar dari kamar, menghapus air matanya, dan membuka pintu.
"Pak RT?" katanya mengenali. Dilihatnya Pak RT datang bersama Pak Basir
dan Bu Endang tetangga sebelahnya.
"Ehmm, papamu ada?" tanya Pak RT melihat gadis kecil dihadapannya.
Sheila bahkan tak bertumbuh besar seperti remaja belasan tahun pada
umumnya. Anaknya yang baru berusia tiga belas tahun saja sudah mulai
menampakkan bentuk tubuh gadis dewasa, sedikit rasa simpati menyelinap
di hatinya. Keluarga Sheila sudah terkenal di lingkungannya sebagai
keluarga yang tak pernah akur. Ayah Sheila sering memukul anak dan
istrinya, dan pertengkaran selalu terdengar dari rumah mereka, setiap
hari. Tak heran pertumbuhan anak mereka terhambat. Kali ini ia datang
karena pengaduan dari dua tetangganya yang khawatir mendengar
pertengkaran hebat dari rumah ini.
"A....da." jawab Sheila ragu-ragu."Tapi...."
"Coba tolong panggilkan. Bilang Pak RT datang, begitu."
Sheila mengangguk dan masuk rumah. Sebenarnya ia malas mengintrupsi
pertengkaran orang tuanya, karena pernah ia lakukan sekali malah kena
sasaran.
Tak lama, Charles keluar bersama Mira. Wajah Mira tampak membiru, tapi
ia menutupinya dengan rambut yang dugeraikan.
Pak RT berkata ramah dan sesantai mungkin, "Bagaimana ini Pak Charles?
Bertengkar lagi?" karena sudah biasa Pak RT tak sungkan lagi bertanya.
Wajah Charles tersipu. "Cuma ribut-ribut kecil antara suami-istri, Pak
RT. Biasa kok."
"Ya, memang biasa. Tapi kan mengganggu tetangga. Lahi pula, kekerasan
dalam rumah tangga sydah ada undang-undangnya lho. Bagaimana ini? Apa
perlu saya laporkan pada yang berwajib?"
Charles melempar pandangan marah pada Pak Basir dan Bu Endang yang
langsung menundukan kepala. Charles memang terkenal pemarah, dan tak
pernah pandang bulu menghadapi orang.
"Tidak usah, Pak RT. Kami sudah baikan kok." jawabnya cepat.
Pak RT bertanya menyelidik "Benar Bu Mira.…?"
"I.....ya, Pak." jawab Mira. Sudut bibirnya berdarah tapi ia menyekanya
dengan tangan.
Pak RT cuma geleng-geleng kepala, kalau sang Istri tidak mau menutut ia
bisa apa?
"Ya sudah, Pak Charles, Bu Mira jangan bertengkar terus dong. Malu sama
tetangga. Lagian kasihan Sheila. Dia sudah besar. Sudah kelas berapa?"
"Tahun ini lulus SMP, Pak."
Mira memeluk Sheila dan menghirup keharuman rambut anaknya. Meskipun
rambut Sheila tidak terlalu harum dan sedikit bercampur dengan bau
matahari, Mira selalu senang memeluk anaknya, seolah-olah Sheila baru
lahir kamarin sore. Ya, ini bayinya, kesayangannya.
"Kamu sudah besar,Nak." katanya. "Bagian sini sudah tumbuh..." ia
menekan dada gadis itu.
Sheila menggelinjang kegelian. Ia mendongak menatap ibunya, lalu
mengusap luka merah di sudut bibir ibunya." Sakit, Ma?"
Air mata mengalir di pipi Mira. "Cuma sakit hati." jawabnya pendek.
"Kenapa papa memukuli Mama terus?"
"Mama salah pilih suami."
"Terus kenapa mama kawin sama Papa?"
"Sudah takdir mama nggak bisa berbuat apa-apa. Sama seperti kenapa
rambut kita hitam, bukan pirang. Itu sudah dari sananya." jawab Mira.
Sheila menggeleng. " Rambut memang dari sananya, tapi suami nggak."
Mira mencubit pucuk hidung anaknya. "Jangan bawel. Nanti kamu tahu
sendiri kalau sudah besar."
Air mata Mira mengalir. Ia memegang pipi anaknya dengan kedua tangannya,
lalu menatapnya lama sekali.
"Kenapa, Ma?"
"Mama mau mengingat wajah kamu, mau Mama simpan di hati Mama." Kata Mira
serak.
"Kenapa?"
"Karena.... Wajah kamu kan nanti bisa berubah. Sebentar lagi kamu jadi
wanita dewasa." "Memang kenapa?"
"Sudahlah jangan nanya terus." tegur Mira. "Ehm..... Kamu sudah lulus
ya. Tapi mama tidak punya uang untuk membelikan hadiah. Mama mau kasih
kamu barang kesayangan Mama. Kamu pilih saja, mana yang kamu suka."
"Huhuyy! Asyik!" Sheila melompat dan membuka lemari pakaian Mamanya. Ia
mengeluarkan kardus bekas mi instan dari rak paling bawah. Dus itu
berisi benda-benda kesayangan Mamanya. Ada topi yang bisa dilipat jadi
tas, ada kalung bermanik mutiara, ada bros yang bisa di buka dan di
dalamnya ada foto nenek dan kakeknya dari pihak Mama. Ada dompet
bersulam manik pasir, ada patung wanita yang menggendong anak, ada......
"Nah, ini dia!" Sheila mengangkat benda yang di ambilnya dari dalam
kardus. Benda itu adalah kotak kaca yang di buat dari akrilik bening.
Bentuknya seperti kubus dengan rusuk lima sentimeter. Di dalamnya ada
miniatur piano putih yang terbuat dari kayu, yang buatannya sangat
halus. Benda itu di berikan oleh teman ibunya yang akan berangkat ke
luar negeri, waktu mereka masih sekolah. Itu benda mahal, makanya
bagus."Aku mau ini, Ma!"
Mira pura-pura kecewa. "Yahh...…!!! Tapi nggak pa-pa buat kamu saja.
Jangan sampai rusak, ya? Mama paling suka benda itu."
"Kapan aku bisa les piano, Ma?"
" Ngelanjutin sekolah aja nggak ada biaya, mau les piano!" gerutu Mira
sambil mencubit hidung anaknya lagi.
Sheila tertawa. Kata-kata ibunya benar. Walau ia mesti buru-buru
mendaftar untuk masuk SMA bulan depan, sampai sekarang ibunya belum
memberikan uang pangkal yang harus dibayarkan. Tapi ia yakin, bila tiba
saatnya, pasti uang itu ducarikan oleh ibunya. Begitu sifat ibunya,
biarpun berutang pinjam sana-sini, yang penting anaknya bisa sekolah.
Tapi kali ini, entah ibunya bisa pinjam dari mana.
Sheila bangun karena bunyi ketukan keras di pintu dan teriakan tetangga.
Dilihatnya jam dinding, sudah menunjukan pukul delapan pagi. Semalam ia
tidak bisa tidur karena memikirkan ibunya. Sudah dua hari ini ibunya
tidak ada di rumah, ia khawatir. Biasanya kalau ibunya pergi pasti
bilang padanya. Tapi ibunya tak ada di rumah sejak pagi dua hari yang
lalu, dan ayahnya pun tak tahu kemana perginya.
"Buka!! Pak Charles ! Buka!!"
Sheila berlari ke depan pinti tanpa sempat merapikan penampilannya di
cermin. Ia takut gedoran keras tetangganya bisa bikin rumahnya roboh.
Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ada belasan orang di depan ramahnya.
"Mamamu, mana Sheila?" tanya seseorang yang dikenalnya sebagai Pak
Dono, suaminya Bu Endang.
Sheila menggeleng. "Sudah dua hari Mama nggak pulang. Saya nggak tahu
Mama pergi kemana."
Pak RT yang maju bicara, "Papamu, ada?"
"Ada apa sih ribut-ribut?!" mendengar suara ayahnya, Sheila mundur dan
membiarkan ayahnya maju.
"Bu Mira mana, Pak Charles?"
"Mana saya tahu, sudah minggat kali!" bentak Charles, ia kesal melihat
tetangga yang selalu mencampuri urusan rumah tangganya.
"Pak Charles, kali ini ada laporan serius. Dua malam yang menggotong
karung yang cukup besar dan melemparkannya ke Endang dan suaminya, sudah
dua hari Bu Mira tidak ada, jadi...."
lalu ada yang melihat Bapak kali. Lalu menurut laporan Bu
"Jadi kalian menuduhku membunuh istriku sendiri?" Seru Charles garang.
"Penduduk sini resah, Pak. Jadi Bapak harus kami serahkan pada yang
berwajib supaya perkara ini bisa jelas."
"Apa?"
Charles mengamuk, tapi beberapa laki-laki bersatu padu membekukannya.
Mereka membawa pria itu keluar.
Sheila berteriak-teriak, "Jangan bawa Papa!!! Papa!!"
Charles hanya bisa menoleh pada anaknya. "Tunggu Papa di sini, nanti
papa pulang!"
"Papa!!! Papa....!!"
Sheila menyaksikan tubuh ayahnya dibawa pergi oleh belasan pria itu. Ia
bersimpuh lemas di lantai. Benarkah itu? Benarkah ayahnya telah membunuh
ibunya? Tapi memang mencurigakan . Ibunya mendadak raib begitu saja
tanpa jejak. Sheila sudah memeriksa pakaiannya, tidak ada yang kurang.
Bahkan perhiasan emas yang cuma beberapa gram dan di sayang-sayang
ibunya masih utuh, lengkap. Juga batik-batik baru peninggalan neneknya,
yang kata ibunya bisa mahal kalau dijual, semua masih lengkap, ada lima
belas setel. Kalau memang ibunya kabur dari rumah, tentunya semua barang
itu dibawa. Apa benar ayahnya telah membunuh ibunya? Kalau itu
benar.....
Sheila menangis. Kalau itu benar bagaimana dengan dirinya....???
Sheila membuka pintu. Di hadapannya ada seorang polisi dan seorang pria
yang tak dikenalnya. Pria itu mengenakan busana yang terlihat mahal.
Sheila mengerutkan keningnya.
"Ca....cari siapa, Pak?" tanyanya dengan hati berdebat. Sejak
penangkapan ayahnya beberapa hari yang lalu, Sheila tak pernah keluar
rumah. Ia makan dari belas kasihan tetangganya. Mereka membawakan nasi
matang dengan lauk sekadarnya bergantian. Tak terbesit keinginan untuk
menengok ayahnya di penjara. Sejak menyadari ayahnya telah membunuh
ibunya, ia tak mau menemui ayahnya lagi.
"Saya Letnan Agung dari Polres Jakarta Barat, dan ini Pak Haryanto."
kata polisi ramah. "Kamu Sheila, kan?" Sheila mengangguk. "Boleh kami
masuk?"
Ragu-ragu Sheila membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan kedua
orang itu masuk. Mereka duduk di sofa. Sheila duduk di sofa lainnya.
"Begini Sheila, Pak Haryanto ini sudara angkat ayahmu." jelas Letnan
Agung.
Sheila ingat ayahnya memang punya saudara angkat, itu pernah
disebut-sebut ibunya. Kabarnya saudara angkat ayahnya itu kaya dan
berhasil hidupnya, padahal ia hanya anak angkat dari almarhum nenek dan
kakek dari pihak ayahnya. Ayahnya tak pernah menemui saudara angkatnya
itu, entah kenapa, hubungan mereka tak dekat.
"Sheila, ya?" ucap Haryanto ramah. Ragu-ragu Sheila balas tersenyum.
"Omm prihatin terhadap nasibmu, ayahmu..." pria itu tak pelanjutkan
ucapannya, malah menoleh kepada Letnan Agung seolah minta bantuan.
"Ayahmu sedang diproses secara hukum, dan dia sudah mengakui semua
kesalahannya."
Walau Sheila sudah mendega, tak urung ia ia terkejut. Matanya memerah
dan napasnya memburu, tangisnya pun pecah tak terkendali.
"Sudahlah Sheila kesalahan ayahmu tak usah kau ingat lagi. Dia akan
mendapatkan ganjaran sesuai hukum yang berlaku." kata Haryanto lembut.
"Be...berapa lama Papa akan di penjara, Pak?" Tanya Sheila.
"Kira-kira minimal sepuluh tahun, maksimal bisa seumur hidup." jawab
Letnan Agung.
Sheila terenyak lemas.
"Tenang saja Sheila, Omm sudah menugasi pengacara untuk membela Papamu.
Siapa tahu hukumannya bisa diperingan." tambah Haryanto.
"Dan karena kamu masih di bawah umur, kamu akan tinggal bersama Pak
Haryanto ini sampai kamu dianggap dewasa secara hukum, yaitu bila kamu
sudah punya KTP sendiri, yaitu saat usiamu tujuh belas tahun."
Sheila menatap Haryanto. Pria itu berusia empat puluhan, dan tampaknya
baik. Ia mengangguk pada Sheila seolah memberi dukungan. "Tinggal
bersama Omm saja, kalau kamu sudah tujuh belas tahun kamu bebas
menentukan tempat tinggalmu sendiri. Tapi tentu saja kamu boleh tinggal
bersama Omm selama kamu mau. Sampai Papamu bebas juga boleh."
Sheila tertegun, ia sama sekali tidak mengenal pria ini, walau di dasar
hatinya ia yakin keramahan pria ini menunjukan bahwa pria iru cukup
bersimpati pada ayahnya. Tapi rumah yang ditinggalinya juga rumah
kontrakan. Dan jika kontrakan ini habis, ia juga tak tahu mesti tinggal
dimana. Bisakah ia menerima kebaikan dari orang yang asing baginya..?
"Omm punya dua anak. Yang kecil sebaya denganmu, namanya Renny. Yang
besar Reza, sudah tujuh belas tahun. Mereka pasti senang punya saudara
dan teman sepertimu."
"Bagaimana Sheila?" tanya Pak Letnan Agung. "Pilihau bikan hanya tinggal
dengan Pak Haryanto. Kamu juga bisa diurus negara dan tinggal di panti
asuhan."
Sheila diam sejenak. Lalu ia menganggik. "Saya..... Mau tinggal bersama
Omm Haryanto saja."
Tak banyak barang yang dibawa Sheila. Cuma beberap helai pakaian yang
masih bagus kata Haryanto, Renny punya banyak baju bekas yang bisa
diberikan untuknya kareana tubuh Sheila jauh lebih kecil lalu surat
-surat penting seperti yang dianjurkan Haryanto dan perhiasan ibunya
yang cuma ada delapan gram, terdiri atas cincib kawin tiga gram, kalung
empat gram, dan subang satu gram.
Ketika Sheila melihat kamarnya sekali lagi padangannya tertuju pada
hiasan mungil piano di kotak kaca yang diletakkan di meja belajarnya.
Dengan haru digapainya benda itu, benda pemberian terakhir ibunya.
Mama apakah kau sekarang sudah di surga? Dendamkah Mama sama Papa?
Rintinya kelu.
Sheila menangis lagi. Ia benci ayahnya. Bagaimana ia dapat menghadapi
pria itu lagi setelah semua kejadian ini? Sekarang ia harus tinggal
bersama orang yang tak dimenalnya, Tuhan lidungilah aku, doanya.
Setelah selesai berbenah Sheila kembali ke ruang tamu. Letnan Agung
sudah pamit karena harus menjalankan tugas lainnya. Haryanto sedang
melihar-lihat album keluarga di meja ruang tamu. Sheila memandang
sekelilingnya. Walau rumah ini kecil dan isinya tak banyak, apa ia mesti
meni.ggalkan semuanya?
"Jangan khawatir soal barang-barang mu. Nanti Omm akan menyuruh orang
untuk mengepak semuanya dan membawanya ke rumah Omm, biar disimpan di
gudang, supaya nanti kalau kamu
mau tinggal sendiri sudah punya barang-barang." kata Haryanto seolah
tahu maksud hati gadis itu.
"Terima kasih, Omm." kata sheila.
"Oh ya, sebelum berangkat, apa kamu mau menemui Papamu dulu?"
"Tidak usah, saya tidak mau bertemu dia lagi."
Matahari bersinar cerah di langit biru berawan putih. Pemandang indah
itu melatarbelakangi rumah cantik bercat putih dan coklat muda yang
terletak di kompleks mewah. Sheila berhenti sejenak dan memandang rumah
itu ragu-ragu.
"Kenapa?" tanya Haryanto.
Sheila menggeleng. "Rumah Omm besar."
"Besar kecil sama saja, yang penting bisa digunakan untuk tempat
bernaung. Ayo masuk."
Sheila mengikuti langkah Haryanto masuk ke rumah, melewati halaman asri
yang ditanami rumput dan bunga-bunga. Terdengar dentingan piano
mengalunkan sebuah lagu paling merdu yang pernah didengar telinga
Sheila.
"Itu pasti Renny." gumam Haryanto. "Dia memang paling suka memainkan Fur
Elise."
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Sheila melihat gadis berkuncir satu
duduk membelakanginya. Gadis itu sedang main piano di ruang tamu. Sheila
terpana gadis itu hebat sekali!
Saat lagu berakhir, Haryanto bertepuk tangan. Renny menoleh dan
menghampiri ayahnya, lalu menggelendot manja.
"Papa kok nggak bilang-bilang udah pulang, ngagetin aja."
"Papa lagi mendengarkan kamu main, kamu makin jago aja."
Wajah Renny kini tertuju pada gadis di samping ayahnya. Gadis dengan
wajah murung dan membawa tas besar.
"Siapa dia, Pa?" bisik Renny.
"Oh ya, Papa sampai lupa mengenalkan kalian, ini Sheila dia akan tinggal
bersama kita." kata Haryanto.
Renny terdiam. Sheila mengangkat wajahnya dan memandang Renny, ingin
tahu tanggapan gadis itu kalau dia tinggal di sini. Namun Renny tak
menujukan wajah gembira atau tidak suka mendengar keputusan ayahnya. Ia
cuma bilang "Aku panggil Mama, ya?"
Haryanto mengangguk dan menyuruh Sheila duduk di sofa. Renny masuk ke
ruang tengah sambil memanggil-manggil Mamanya. Tak lama kemudian ia
kembali dengan wanita yang sangat cantik, dengan pakaian masa kini dan
tatanan rambut terbaru. Juga seorang pemuda yang usianya kira -kira
lebih tua sedikit dari Renny.
"Ada apa, Pa. Renny teriak-teriak memanggilku seperti kebakaran jenggot,
ada apa?" seru wanita cantik itu terpogoh-pogoh menghampiri Haryanto.
"Ma masih ingat kan ceritaku semalam tentang anak adik angkatku?" ujar
Haryanto.
Wanita cantik itu mengarahkan tatapannya pada Sheila. Tatapanya tajam,
dan membuat Sheila langsung menunduk.
"Ya, dan pembicaraan kita belum selesai kan, tapi anaknya sudah dibawa
kemari!"
Dari kata-kata dan nada suaranya Sheila menangkap ketidaksetujuan.
"Sudahlah..... Nanti kuta bicarakan di dalam saja." Sergah Haryanto.
"Sheila ini tante Ratna, istri Omm dan ini Reza.... Anak sulung Omm,
usianya sudah tujuh belas tahun, sudah kelas tiga SMA. Kalau Renny sama
dengan mu baru mau masuk SMA."
Sheila menatap pemyda tampan di samping Renny. Sorot matanya dingin dan
tidak ramah sama seperti Renny dan Ibu mereka. Sheila langsung merasa di
sini yang menyukai keberadaannya cuma Haryanto seorang.
"Dia pengganti Si Inem, pa?" celetuk Reza.
"Jaga mulut kamu." tegur Haryanto. " Sheila ini anak adik angkat Papa,
jadi itung-itung masih sepupu kamu. Dia akan tinggal di sini bersama
kita karena orang tuanya ehmm.... Sudah tidak ada lagi."
"Yang kata Mama masuk penjara itu kan, Pa. Yang katanya membunuh
istrinya sendiri?" sela Reza.
Wajah Sheila langung pucat, tak disangkanya kata-kata itu bila diucapkan
oleh orang lain terdengar sangat menyakitkan.
"Reza..!!" bentak Haryanto.
Renny cekikikan, dan menyenggol Reza dengan sikunya. Reza balas menyikut
adiknya. Tampaknya mereka tidak takut pada ayah mereka.
"Sheila, kamu tidur du kamar Renny saja. Ranjangnya kan ada dua, atas
dan bawah. Yang bawah tudak pernah dipakai, kamu tidur disitu saja, ya?"
ujar Haryanto.
Renny protes. "Ya.... Papa!"
Reza cekikikan dan menjulurka lidah meledek adiknya.
Haryanto melotot. "Renny kamu mulai membantah, ya?"
"Yah..... Papa." Renny masih menggerutu dengan suara yang lebih pelan."
Ratna menyela. "Biar Sheila tidur di kamar belakang saja, aku rapikan
dulu. Nanti ranjang bawah Renny dipindahkan kesana.
Haryanto tampak ragu-ragu dan tidak setuju. "Ma...."
Reza nyeletuk. "Tapi itu kan bekas kamar Si Inem."
"Sudahlah... Kamar itu kan kosong karena Inem pulang kampung kemarin.
Kalau dapat pembantu lagi, biar tidur di kamar belakang saja. Kalau aku
rapikan, pasti bagus, Pa."
Haryanto tidak berdebat lagi. Haryanto menoleh pada Sheila. "Sheila kamu
ikut tante, ya."
"Suit....suit... Asyik pembatu baru." celetuk Reza usil.
Haryanto melotot. "Reza, Sheila bukan pembantu, dia sepupu kamu. Kalian
berdua, Reza dan Renny, karena Inem sudah pulang kemarin dan kuta nggak
punya pembantu kalian harus membantu mama. Kalian kan sudah besar harus
bantu orangtua jangan malah merepotkan."
Renny protes dan menunjuk Sheila." Dia , Pa?"
Haryanto menatap Sheila ramah, "Karena sementara ini tidak ada pembantu,
kamu harus cuci baju sendiri. Bisa kan Sheila?"
Sheila mengangguk.
"Renny kamu juga harus belajar cuci baju sendiri." kata Haryanto.
"Mama sih, pembantu dimarahin terus, jadi pulang deh." gerutu Renny.
Rsnny tidak menjawab, dan berkata ketus pada Sheila. "Ayo, ikut aku."
Mereka pergi ke sebuah kamar berukuran 2 × 2,5 meter yang letaknya dekat
dapur. Sheila ttahu ini bekas kamar pembantu, berdasarkan percakapan
tadi. Tapi ia sudah bersyukur mendapatkan
tempat tinggal. Lagu pula di rumah kontrakan ukuran kamarnya juga tak
jauh veda dengan inu. Tadinya kamar itu kosong hanya berisi matras
gulung dan lemari rotan, tapi berdua dengan Ratna ia mengangkyt
perabotan untuk mengisi kamar.
Setelah dirapikan, sekaranv kamar itu berisi tempat tidur pendek untuk
satu orang, rak ritan, sebuah meja dan kursi. Menurut Sheila sekarang
kamar ity cukup lumayan.
"Terima kasih, Tante." ucapnya. Sedari tadi wanita iru diam saja. Dan
Sheila ingin sekali wanita itu bersikap lebih ramah seperti suaminya.
Ratna menolih dan menatap gadis di hadapannya dengan tajam. "Kamu
tinggal disini mesti tahi diri, ngerti? Mesti nurut kata-kata ku."
Sheila mengangguk.
"Kalau sampai kamu ngadu yang nggak-nggak sama Omm, awas kamu!" ia lalu
meninggalkan Sheila sendirian.
Tertegun karena kata-kata kasar berusan , Sheila sadar ia cuma numpang
tinggal di rumah ini, sampai kapan? Ayahnya bisa di penjara puluhan
tahun lamanya, dan ia juga tidak mau tinggal bersama ayahnya kelak.
Sheila teringat kata-kata polisi yang datang ke rumahnya. Ia mesti
tinggal bersama seorang wali sampai punya KTP dan dianggap dewasa.
Baik, aku mesti bersyukur di beri tempat di sini. Aku akan pergi dari
sini umur tujuh belas tahun nanti, tekadnya. Lalu ia mulai mengeluarkan
barang-barangnya dari tas dan membereskannya.
Dok dok dok! Pintu digedor keras. Sheila yang lagi tidur langsung
melompat bangun.
"Sheila!! Sheila!!"
Sheila mengenalinya sebagai suara Renny. Ia membuka pintu. Dilihatnya
Renny berdiri di hadapannya. Kali ini rambut gadis itu tidak dikuncir
tapi digerai. Wajahnya terlihat jauh lebih cantik.
"Bikinin aku nutrisari,,,, dong." kata gadis itu.
Sheila bengong.
"Nutrisarinya ada di meja dapur, tambahin es, ya . Aku tunggu di sini.
Nanti aku kasih tahu kamarku dimana. Jadi lain kali kamu bisa antar."
Sheila pergi ke dapur dan membuat nutrisari seperti perintah Renny.
Dalam hati ia mulai paham, mungkin Haryanto menyurunya ke sini untuk
dijadikan pembantu. Lagian memang tak ada hubungan darah antara dia dan
keluarga ini. Walaupun sedih, ia sadar ini cukup adil. Ia mendapat
tempat tingval, tapi dia juga harus rela membantu sedikit-sedikit.
Membuat minuman serung dilakukannya untuk ayah dan ibunya dulu, jadi
tidak susah. Yang susah adalah menata hatinya, karena harga dirinya
terasa dihempaskan.
Dibawanya minuman itu ke kamarnya.
"Ren, ini nutrisarinya." kata Sheila.
Renny sedang sibuk melihat-lihat rak Sheila. "Yaruh saja di meja."
Sheila meletakkan minuman itu di meja.
"Aku lagi ngeliat barang apa saja yang kamu bawa. Biasanya sih mama juga
begitu kalau ada pembantu baru, takut nyolong." lalu Renny tertawa
sendiri. "Eh, Sory kamu kan bukan pembantu, ya?"
kalau aku bukan pembantu, kenapa kanu memperlakukan aku seperti
pembantu? Batin Sheila sedih.
Rennya mengambil sesuatu di rak. Piano di kotak kaca milik Sheila.
"Bagus banget nih! Beli di mana?"
"Da.... Dari mamaku."
"Buat aku, ya?"
Tanpa pikir panjang Sheila langsu.g merebut benda itu dari tangan Renny.
"Jangan ini benda terakhir yang diberikan mamaku."
Renny memberengut. "Pelit....!!!" ia mengambil gelas minumannya di meja
lalu keluar dari kamar. Sepeni.ggal Renny, Sheila buru-buru memasukkan
benda itu ke dalam tas dan menarunya di sudut kamar, ditutupi tumpukan
selimut. Kali ini ia selamat, tapi lain kali mungkin tidak. Benda itu ca
indah bagi Renny. Tapi bagi Sheila, miniatur piano itu punya arti yang
sangat penting. Ia tak mau kehilangan mamanya lagi.
BAB 2
"SEBENTAR lagi sekolah, orangtua kamu mendaftarkan kamu ke mana,
Sheila?" tanya Haryanto ketika mereka sekeluarga sedang makan malam. Di
sekeliling meja makan tadinya cuma ada empat bangku sekarabg di tambah
satu bangku untuk Sheila, di samping Renny.
"Belum, Omm," jawab Sheila malu. Sekarang ketahuan keluarganya memang
kesulitab ekonomi.
"Kalau begitu bagaiman kalau kau sekolah bareng Renny? Renny masuk di
SMA ubggulan tak jauh dari rumah ini. Katanya mutunya lumayan bagus.
Sekolah Reza lebih jauh lagi dari sini. Makanya Renny tidak Omm
daftarkan di sana, buang-buang waktu di jalan."
Renny yang mendengar itu langsung menoleh pada ibunya, seolah tahu
ucapan ayahnya akan mengarah ke sana.
"Jangan, Pa!"
Serentak semuanya menoleh pada Ratna, kecuali Sheila yang menunduk,
seolah makannannya harus di amati baik-baik.
"Mama aja nyesel masukin Renny ke sana." sambung Ratna. "Mama denger
guru-guru di sana main nilai. Murid harus ngasih upeti dulu kalau mau
naik kelas."
"Lho, kalau begitu kenapa Renny Mama masukan ke sana?" tanya Haryanto
cemas.
"Mama kan nggak tahu, Pa. Mama baru tahu dari Bu Dinar, tetangga kita
yang memasukan anaknya ke sana juga."
"Si Fahma?"
"Iya, dia yang bilang begitu. Kalau tidak percaya tanya aja sendiri.
Tapi Mama pikir kita udah bayar uang pangkal mahal-mahal. Pasti nggak
bisa dikembalikan kalau nggak jadi masuk. Ya sudahlah. Tapi untuk Sheila
biar nggak nyesel seperti Renny , biar dia masuk SMA lain saja."
"Ya sudahlah, Ma. Kau yang atur saja ya..." Haryanto menoleh pada
Sheila. "Kamu daftar SMA nya sama tante ya, sekalian beli buku, sama
seregamnya jangan lupa.
Sheila hanya mengangguk, dalam hati Sheila yakin sifat Renny dan Reza
diwarisi dari Ratna, bukan dari Haryanto. Sheila juga yakin ucapan Ratna
cuma bohonh belaka. SMA tempat Renny masuk memang SMA unggulan yang
bagus, meski bukan terbaik. Tapi yang didaftarkan Sheila cuma SMA
regular, dan bukan cuma itu, sekolah itu terkenal beasalah karena
dianggap sekolah buangan. Makanya uang sekolahnya murah. Supaya menarik
minat orang tua untuk mendaftarkan sekolahnya di situ.
Sheila sadar mungkin uang sekolahnya memberatkan Ratna, yang
menganggapnya benalu di rumahnya. Kehadiran Sheila pasti mempengaruhi
uang belanja Ratna. Haryanto harus menyediakan biaya tambahan. Kalau
cuma makan mungkin tak berpengaruh banyak, tapi masalah sekolah pasti
menguras kocek cukup dalam.
Seminggu kemudian, saat makan malam lagi, saat Haryanto bisa bergabung
dengan keluarganya setelah seharian sibuk bekerja, Haryanto bertanya
"Bagaimana sekolahmu, sheila, semuanya sudah beres?"
Sheila tifak membeli buku dan seragam seperti yang disuruh Haryanto. Ia
dicarikan buku bekas anak tahun lalu, dan kemeja putih serta rok
putinnya adalah bekas seragam SMP Renny yang badge diganti dengan badge
OSIS SMA. Bahkan Ratna menyuruh ia memasang badgenya sendiri.
"Sudah, omm."
"Pokoknya nggak bakal kecewa, pa. Sekolahnya tidak jauh, bisa jalan kaki
dari sini. Teman-teman Sheila kelihatannya baik-baik."Ujar Ratna.
Sheila terus menunduk dan mengamati makanannya, kebiasaanya sekarang.
Kemarin saat mereka datang ke sekolah, ada polisi berseragam di sekolah,
katanya mau menangkap anak yabg dicuragai sebagai pengedar narkoba.
"Guru-gurunya selalu memudahkan siswanya dalam ulangan, tidak pernah
minta upeti atau semacamnya."
Kemarin juga seorang guru menampar murid, yang jelihatan nakal. Mungkin
Karena melakukan kesalahan. Karena anak itu melotot, sang guru
menendangnya sampai tersungkur.
"Pokoknya Papa nggak usah khawatir lagi. Sayang Renny sudah didaftarkan,
kalau belum kan bisa sekalian."
"Ya sudah, kalau begitu sekarang hatiku sudah tenang." kata Haryanto.
"Masalahnya Sheila ini titipan Papanya. Amanat orang harus kita
laksanakan dengan sebaik-baiknya."
"Memang Papanya dimana, Pa?" celetuk Reza.
Sheila yakin sekali Reza dan Renny sudah tahu, dilihat dari sikap Renny
yang cekikikan sambil menendang kaki kakaknya. Sheila melihatnya di
bawah meja.
"Ehm...... Untuk sementara, ayah Sheila tidak berada di sini, makanya
Sheila dititipkan pada Papa."
"Mamanya mana?"
"Sudah, Rez. Jangan tanya-tanya melulu! Makan." Sergah Haryanto tak
sabar. Ia kembali menoleh pada Sheila. "Sekarang sekolah sydah beres.
ada satu hal lagi. Anak-anak sekarang tak cukup hanya sekolah. Kau juga
harus les, sheila. Renny mengmbil les piano dan bahasa inggris. Omm
mungkin cima bisa memberi aatu jatah les saja, karena biaya les sekarang
jauh lebih mahal daripada biaya sekolah. Kau boleh pilih, mau les apa?"
Sheila mendongak menatap Haryanto, matanya berbinar-binar.
"Bener, Omm. Saya boleh les?" tanyanya.
"Iya, masa Omm bohong. Sebut saja mau les apa? Soal biaya kan nanti biaa
disesuaikan. Kita bisa cari yang terjangkau."
Sheila terharu memandang Haryanto, matanya berkaca-kaca. Tak dilihatnya
sorot tajam mata ratna dan kedua anaknya yang memandang ibunya, seolah
tahu sang ibu pasti tidak setuju.
"Omm, orangtua saya saja tak pernah mengizinkan saya les. Saya tahu
mereka tak punya uang. Tapi Omm begitu baik, bagaimana saya bisa
membalasnya?" katanya dengan suara bergetar.
"Ah, cuma begitu jangan dipersoalkan. Omm percaya, Rezeki sudah diatur
Tuhan. Mungkin sekarang rezeki kamu bercampur dengan rezeki Omm, jadi
Omm harus memberikan bagian milikmu. Bagian Omm tetap utuh, karena
memang sudah ditakar. " tutur Haryanto."Kalau kamu mau membalasnya cukup
dengan memberikan hasil yang baik pada pelajaran sekolah itu saja."
Sheila menghapus air matanya yang seolah-olah berlomba-lomba keluar dari
matanya.
"Sekarang kamy katakan, kamu mau les apa? Komputer? Bahasa inggris?
Pelajaran sekolah biar lebih mantap? Les nyanyi biar bisa ikut kontes
yang sekarang banyak digelar. Atau musik, sepeti piano, gitar,
biola....eh, kalau biola sih nggak ada alatnya. Yang ada..."
"Piano saja,Omm." kata Sheila mantap.
"Piano?"
"Biar saya bisa main lagu seperti yang dimainkan Renny, waktu saya baru
datang dulu."
Renny mencibir, Reza yang melihat tingkah adiknya tak dapat menahan
tawa.
"Maksudmu lagu fur elise...?"
Sheila mengangguk, bisa bermain piano sudah jadi cita-citanya sejak
kecil, yang tak mungkin kesampaian karena kondisi ekonomi orangtuanya.
Ia pernah melihat guru musik SMP-nya memainkan lagu pop terkenal di
piano, bunyinya indah sekali. Lalu saat melihat Renny bermain piano,
keinginan itu timbul lagi. Menggebu-gebu begitu dalam sehingga ia tak
dapat menahan rasa harunya Haryanto bisa mengabulkan keinginannya.
"Wah, itu lagu kesukaan Omm. Pengarangnya Ludwig Van Beethoven." Ujar
Haryanto. "Sebenarnya belajar piano lebih bagus kalau di mulai pada usia
tujuh sampai sepuluh tahun. Renny sudah belajar dari kelas tiga SD.
Tapi kalau ada bakat dan tekad, tidak ada kata terlambat. Iya, kan? Ya
sudah kalo itu sudah jadi keinginanmu, Omm akan berikan biaya lesnya.
Yang penting kau rajin berlatih, cuma itu kuncinya dalam belajar
piano...."
"Pa, biar Sheila les sama aku saja!" sela Ratna.
Haryanto menoleh pada istrinya. "Ma, kau memang bisa main piano. Tapi
kalau mengajarkan..."
"Justru aku juga sambi belajar, Pa. Biar tidak lupa. Papa dulu ingat
tidak, aku juga ikut mengajari Renny waktu belajar lagu yang sulit!
Sayang kan kalau keterampilan itu tidak dipakai, nanti bisa karatan."
Haruanto ragu-ragu, ia menoleh pada Sheila. "Bagaimana Sheila? Kau
diajari tante saja?"
"Ya, nanti kan uangnya bisa buat beli keperluan sekolah, Sheila." tambah
Ratna.
Wajah Sheila memucat. Kalau belajar dengan wanita menyeramkan itu, lebih
baik ia tak usah belajar piano. Dirinya yang yadi seperti melambung ke
langit sekarang seperti terbanting ke tanah.
"Bagaimana Sheila?" tanya Haryanto.
Renny dan Reza juga menatapnya, seolah ikut tegang menunggu jawaban
Sheila. Akhirnya Sheila mengangguk.
"Baik Omm."
Haryanto tersenyum. " Bagus. Omm senang sekali. Semua masalah
terpecahkan. Kau bisa les piano dan tante juga mendapatkan kesibukan.
Keluarga adalah segala-galanya bagi Omm, kalau kalian rukun, kebahagiaan
yang Omm rasakan tidak ada bandingannya."
Waktu cepat sekali berlalu, mungkin lantaran keaibukan yang Sheila
alami. Karena Ratna belum mendapatkan pembantu, Sheila harus bekerja
keras di rumah itu. Tak hanya mencuci pakainnya sendiri, ia juga diminta
Ratna untuk mencuci pakaian seluruh keluarga. Tak boleh pakai mesin
cuci, karena mesin cuci akan merusak pakaian, mengamburkan sabun, air ,
dan listrik.
Selesai mencuci di pagi hari, ia harus berangkat sekolah jalan kaki,
walau sekolahnya lebih jauh daripada sekolahnya Renny yang harus
ditempuh dengan naik bajaj setiap hari. Pulang sekolah ia tak bisa
langsung belajar dan mengerjakan PR, selain harus mengepel rumah sesuai
peermintaan Ratna. Sheila juga mencuci semua piring dan peralatan
memasak yang dipergunakan Ratna untuk memasak, selain itu ia harus
mengangkat jemuran dan menyetrikanya di kamar, lalu
memasukan pakaian bersih ke lemari masing-masing, setelah rampung
semuanya, waktu sudah menunjukan pukul lima sore, dan sebentar lagi
Haryanto pulang, ia buru-buru mandi karena Ratna tidak suka melihatnya
dalam keadaan berantakan saat suaminya pulang. Pernah Sheila belum
sempat mandi saat Haryanto pulang. Ratna menyuruhnya masuk ke dapur dan
mengomelinya, mengancam kalau lain kali mengulanginya lagi, tangannya
tak segan-segan angkat bicara.
Sheila sdar, Ratna tak mau Haryanto tahu ia memperlakukan ponakan
angkatnya dengan buruk. Sheila tak tahu keadaan ekonomi keluarga ini
bagaimana, tapi yang pasti mereka tidak kelihatan susah. Namun kalau
soal uang Ratna sangat hemat. Ia selalu tawar-menawar kalau membeli
barang hingga harganya tidak dapat ditekan lebih rendah lagi, Sheila
menduga Ratna menghemat biaya pembantu dengan memakai tenaganya.
Untuk soal itu, Sheila tak mau hitung-hitungan. Toh , ia sering membantu
orangtuanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi masalah les piano
itu membuatnya sangat kecewa. Ratna tak pernah mengajarinya bermain
piano seperti yang dikatakannya di depan Haryanto. Ia hanya memberi
Sheila selembar partitur fur elise dan berkata pada Sheila agar
banyak-banyak latihan. TITIK.
Bahkan ia tak pernah menjelaskan arti tanda-tanda pada partitur iti dan
di mana Sheila harus menekan tuts yang bemar pada pianonya. Sheila
pasrah ia tak munkin bisa main piano seperti cita-citanya semula. Semua
itu harus di tinggalkannya. Ia tak mau bermimpi lagi. Sudah bagus ia
masih bisa sekolah, makan, dan tinggal di rah Haryanto.
Hari ini Haryanto berulang tahun. Sejak pagi Ratna sudah sibuk memasak
nasi uduk lengkap dengan empal kesukaan suaminya. Renny pun sibuk
kasak-kusuk dengan Reza, meremcanakan hadiah apa yang akan mereka
berikan untuk mereka.
Sementara itu Sheila termenung sedih. Haryanto sudah begitu baik
padanya, tapi ia tak punya apapun untuk diberikan sebagai hadiah ulang
tahun, melalui Ratna Haryanto memberi Sheila uang saku sekadarnya, tapi
uang itu tak pernah sampai ke tangannya. Sheila tak protes masalah itu
karena takut akan menimbulkan masalah terhadap hubungan Haryanto dan
Ratna.
Setiap pagi Sheila sarapan di rumah dan makan siang di rumah juga. Untuk
minum dibawanya sebotol aur minum ke sekolah. Ia masih hidup tanpa uang
jajan, walau terkadang ia ingin sekali punya sedikit uang sebagai
pegangan. Kali ini ia tahu, uang itu sangat berguna di saat seperti ini.
Seandainya ia punya uang, ia bisa membelikan Haryanto hadiah ulang
tahun.
"Papa, ini buat papa. Selamat ulang tahun ya, Pa." seru Renny ketika
ayahnya pulang.
Haryanto tertawa dan duduk di sofa. "Ambilkan air minum dulu dong!"
katanya.
"Sheila ambil air!" teriak Renny.
Sheila buru-buru ke dapur membuatkan sirop.
Sepeninggal Sheila, Haryanto mengerutkan kening tanda tak suka. "Kamu
kok nyuruh-nyuruh dia gitu sih, dia kan bukan pembantu?"
Renny tergagap. "A...... aku kan nggak sengaja, Pa. Aku ingin nungguin
papa buka hadiah ini."
Haryanto membuka kotak kecil itu. "Wah... Dasi yang bagus.
Kebetulan dasi papa sudah
ngebosenin semua!"
"Aku yang pilih, Pa."
Sheila yang sudah membuatkan sirop meletakkannya di meja. "Minum, Omm."
Haryanto meminum sirop itu dalam sekali teguk, sirop itu langsung habis.
"Wah... Enaknya." Melihat Sheila masih di hadapannya, Haryanto
menegurnya " kenapa?Kamu haus juga? Bikin sendiri saja ya?"
Sheila menggeleng."Omm.... Saya.... Saya tidak bisa memberikan
hadiah....saya...."
Haryanti tertawa terbahak-bahak sambil mengusap kepala gadis itu. "Ya
ampun saya kira ada apa, itu sih nggak usah dipikirkan. Omm juga tahu,
uang jajan kamu pas-pasan."
"Itu...."
"Begini saja, kamu kan selama ini sudah les piano sama tante Ratna. Coba
kamu mainkan lagu apa saja. Omm dengerin deh."
Sheila tersentak. Main piano? Menyentuhnya saja ia belum parnah!
"Sa....saya belum bisa Omm."
"Ah... Sudah dua bulan masa belum belajar apa-apa? Main lagu yang
gampang aja deh. Twinkle-twinkle little star juga boleh. Atau main
sebait saja lagu yang kamu pelajari."
Ratna muncul di ruang tamu. Sheila memandangnya penuh tanya. Bagaimana
ia bisa menjawab permintaan Haryanto?
Tapi, Ratna malah bilang. "Ayo Sheila mainkan apa yang sudah tante
ajarkan, jangan ragu-ragu!"
Sheila bengong. Ratna belum pernah mengajarkan apa-apa padanya, kok
wanita itu bilang seperti itu?
"Tapi, tante.... Tante belum pernah..."
"Ayo.... Cepat mainkan lagu yang Tante kasih partiturnya ke kamu itu.
Mana partiturnya?"
Renny menyahut. "Aku juga pengen denger nih. Perasaan aku jarang denger
suara latihan piano kamu, Sheila. Apa kamu mau bikin kejutan."
Reza yang baru muncul di ruang tamu pun ikutan berkata, " Ayo cepetan.
Kalo mainnya bagus, aku juga mau ikut les sama mama, ah..."
Melihat Sheila yang diam saja, Ratna mendesak tubuh Sheila ke arah
piano. Terpaksa ia duduk di situ. Ia membuka tutup piano dengan tangan
bergetar. Apa yang bisa dimainkannya? Ia menoleh lagi, dan melihat
keempat orang itu sudah menunggunya di belakangnya. Haryanto tersenyum,
seolah memberikan dukungan. Mainkanlah, aku akan mendengarkan anak
asuhku main piano.
Sheila kembali menatap tuts-tuts piano yang kini tampak membesar dan
menakutkan baginya. Dikuatkannya hatinya, lalu ditekannya tuts itu
parlahan-lahan. Ia tidak tahu lagu apa yang ia mainkan, tapi jari-jari
kedua tangannya bergerak lincah di papan tuts itu, seolah ia pemain
piano profesional. Setelah beberapa menit berlalu, ia menghetikan
permaiannya, lalu menutup piano. Ia berbalik mengadap mereka semua.
Keempat orang itu bengong. Sheila memainkan piano seperti anak kecil
yang didudukan di depan piano, lalu sebarangan pencet saja.
BRANG-BRANG-BRANG! Haryanto bingung, apa gadis ini berlagak bisa main
piano padahal ia tidak bisa? Renny juga bingung, apa Sheila mau
mempermainkan mereka semua? Reza bingung, cuek sekalu gadis ini,
benar-benar tahan banting sekaligus kulit badak. Ratna menyipitkan
matanya tajam, Sheila benar-benar bermental kuat. Tapi ia tak akan
membiarkannya mengitimidasi dirinya.
"Makanya kalo tante bilang latihan, latihan yang yang bener dong." seru
Ratna.
Sheila tetap menunduk, wajahnya tak menunjukan ekspresi apa-apa.
"Jadi mama sudah ngelatih dia tapi hasinya kayak gini?" cetus Renny.
"Bodoh sekali dia, Ma. " bisiknya.
"Aku bilang sih bagus, kayak pemain profesional........ Yang lagi
kesurupan." ujar Reza. Renny
langsung cekikikan.
"Menurut papa bagus, ia sudah berani tampil." ucap Haryanto. Sheila
menatapnya. Lagi-lagi laki-laki itu memberikan kepercayaan yang begitu
besar padanya. Padahal ia sudah siap dipermalukan. Kalau saja ayah
kandungnya seperti ini.
"Kalau menurutku Sheila harus dihukum karena malas latihan.!" sery
Ratna.
"Sudah lah,Ma. Nanti kau latihan yang rajin ya, Sheila." kata Haryanto.
Lalu ia meninggalkan ruang tamu diikuti kedua anaknya, meninggalkan
Ratna yang memandang Sheila penuh kebencian.
Setelah kejadian itu, tidak ada satu orang pun yang
menyinggung-nyinggung masalah Sheila yang les piano.
Tak hanya dari Ratna kesulitan pun didapat dari Reza dan Renny.
Sementara Renny menyuruh-nyuruh seenaknya seperti pembantu, Reza bak
srigala yang tengah mengincar domba. Berkali-kali pemuda itu memandangi
sheila penuh nafsu, seolah ingin melahap gadis itu sebagai santapan
makan malam spesial. Walau masih kecil, Sheila tahu tak baik dua orang
lawab jenis tinggal berdekatan dalam satu rumah. Bisa jadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Lain halnya dengan Renny, Renny kan adik kandung Reza.
Kalau Sheila tak ada hubungan darah. Penyebabnya belakangan jelas bagi
Sheila.
Suatu hari Sheila masuk ke dalam kamar Reza untuk memasukkan pakaian
yang habis disetrika ke lemari pemuda itu. Karena kamar tak dikunci, ia
tak mengetuk lagi, dan langsung masuk. Dulu pernah ia mengetuk pintu,
tahunya pemuda itu sedang tidur, karena merasa terganggu Reza langsung
memarahi Sheila. Jadi sekarang Sheila langsung membuka pintu itu.
Di dalam Reza sedang duduk serius mengamati komputer. Sheila menasaran,
apa sih yang sedang dilihat pemuda itu? Ia tersentak dan pakaian yang
dibawanya pun jatuh ke lantai.
Reza menoleh, Sheila ada dibelakangnya. Gadis itu melihatnya sedang
melihat potongan adegan porno di komputer. Ia pun menghardik. "Mau apa
sih masuk kamar orang tidak ketuk pintu dulu?"
"A........aku mau memasukan pakaian." sahut Sheila tergagap.
Reza buru-buru mematika komputernya. "Awas ya, kalau kamu ngadu ke
mama." katanya.
Sheila menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Kalo kamu ngadu, nanti aku perkosa kamu!"
Sheila bergegas ke kamarnya. Sejak itu ia tak pernah berani lagi ke
kamar Reza saat pemuda itu ada di kamarnya. Ditunggunya saat Reza di
luar kamar , baru ia buru-buru masuk dan nenaruh pakaian.
Terkadang saat malam hari Sheila menangis. Ia merasa sangat sendirian di
dunia ini. Tak ada seorang pun yang memperhatikkannya, kecuali
Haryanto. Tapi pria itu selalu sibuk, dan tak mungkin Sheila mencurahkan
isi hatinya pada pria itu. Di sekolah ia tak punya teman. Gara-gara ada
teman Renny yang masuk sekolah situ dan Renny bergosip dengannya
tentang masa lalu Sheila, semua teman jadi tahu kalau ia anak seorang
pembunuh. Bahkan membunuh istrinya sediri. Sheila jadi pendiam dan
mengucilkan diri.
Sheila berusaha menjadi ranking satu di sekolah demi membuat Haryanto
bangga, untuk membalas budi pria itu. Tapi apa daya ada murid lain yang
nilainya lebih bagus. Mungkin juga karena ia kurang waktu untuk belajar
karena terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mungkin juga
karena ia kurang pintar. Dan terkadang bila masalahnya terlalu
menghimpit dada, ia jadi tidak bisa belajar. Tidak bisa konsentrasi,
menghafal satu kalimat saja sulit, mengerjakan satu soal hitungan saja
tidak selesai. Sheila merasa ia depresi, karena depresi, ia jadi tambah
tak bisa belajar, jadi tak bisa belajar, jadi tambah depresi.
Kafang ia berpikir kehidupan seperti Renny yang masih seusianya, jauh
lebih baik daripada kehidupannya. Anak itu tak pernah sedih, sedihnya
paling kalau sedang menunggu Sheila yang membuatkan sirop terlalu lama,
atau pakaiannya yang dicuci Sheila jadi luntur. Selain itu Renny bahagia
punya ayah dan ibu yang begitu menyayanginya, punya kakak yang selalu
membelanya, Sheila tahu dari seringnya Reza membela Renny bila Renny
sedang memarahinya, dan yang terpenting ayahnya tidak membunuh ibunya.
Memikirkan hal iti Sheila teringat ayahnya yang sudah divonis
pengadilan. Charles divonis mendekam dipenjara selama lima belas tahun.
Berarti saat ayahnya bebas nanti ia sudah berusia tiga puluh tahun,
mungkin sudah punya suami dan anak-anak, atau mungkin tidak. Mungkin
sudah sudah lulus sekolah, mungkin sudah bekerja. Entah bagaiman ayahnya
seyelah beliau bebas, apaplagi Sheila tak mau bertemu lagi dengan pria
itu selamanya.
Baru disadarinya hubungannya dengan ayahnya tak begitu dekat, dan
sekarang bertambah paraj, sudah tak bisa diperbaiki lagi. Yang diingat
Sheila dari pria itu adalah saat ayahnya dibawa Pak RT dan para ttangga
ke polisi, dan ayahnya berkata. "Tunggu Pap di sini! Nanti Pap pulang!"
Itu pertemuan terakhir mereka, sampai sekarang mereka tak berkomunikasi
lagi. Mengenai jenazah ibunya, Haryanto sudah menceritakan bahwa jenazah
Mira tidak dutemukan. Dari pengakuan Charles jenazah itu dubuang di
sungai, tapi polisi cuma menemulan karung kosong. Tidak jelas bagaiman
kejadiannya, yang pasti Sheila sedih sekali karena ia bahkan tak bisa
pergi ke pusara ibunya.
Tak terasa sydah empat bulan sejak kejadian itu.
" Sheila! Sheila!"
Sheila yang sedang menghaluskan ubi untuk membuat kolak biji salak
menoleh, "Ada apa, Ren?" tanyanya.
"Beliin kertas kado di warung Bu Samsu dong."
"Buat apa?"
"Pakai nanya lagi, ya buat bungkus kado!"
" Kan kertas kado yang kamu pakai untuk membungkus kado papamu masih ada
sisianya. Ku simpan di kamar." Ujar Sheila.
Wajah Renny berseri. "Ya sudah, itu saja. Bawa ke kamarku. Sekalian sama
bawain air minum, aur putih aja.!"
Sheila mengambil kertas kado di itu dan membawanya ke kamar Renny. Tak
lupa ia membawa sebotol iar minum beserta gelasnya.
Renny sedang menggumamkan kata-kata yang akan ditulisnya untuk si
penerima kado. "Semoga panjang umur, dari yang mencintaimu, Renny...."
Sheila tersenyum, ia mebaruh botol dan gelas di meja balajar. Kado utu
pasti untuk cowok, pikirnya. "Mau dibantu dibungkusin, Ren? Masih sisa
banyak nih kertasnya, aku bisa bikin kipas diatasnya."
"Ya sudah." jawab Renny tanpa menoleh. "Tuh kadonya di atas tepat
tidur."
Sheila berjalan ke tempat tidur. Tapi ia kaget melihat benda
satu-satunya yang ada di situ adalah piano di kotak kaca seperti
miliknya.
"Ren, kamu beli benda ini dimana?" tanyanya.
"Ada..... Aja. Kenapa sih?"
Tanpa bicara lagi Sheila langung keluar dari kamar Renny menuju
kamarnya. Di sana ia mencari miniatur piano miliknya yang disembunyikan
di dalam tas. Benar dygaannya benda itu sudah tidak ada lagi. Buru-buru
ia laru lagi ke kamar Renny.
Di dalam kamar dilihatnya gadis utu sedang membungkus benda itu dengan
kertas kado.
"Kembalikan milikku!" seru Sheila.
Renny mendongak. "Milikmu yang mana? Kalau ngomong jangan sembarangan,
ya?"
Sheila merebut benda itu,"Ini punyaku, kan?"
"Ya.....ya....ya... Itu punyamu. Tapi kamu ngomong kasar gitu ke aku,
nggak takut dimarahi mama?"
"Dalam hal ini kamu yang salah, mengambil milik orang lain sembarangan."
Tiba-tiba Renny melompat dan merebut benda itu lalu berlari jauh-jauh
dari Sheila. Sheila mengejarnya.
"Mendekat, ku banting!" ancamnya
"Kembalikan!" teriak Sheila histeris.
"Aku mau kasih benda ini ke cowok yang paling penting buatku. Dia itu
suka main piano. Benda ini cocok untuknya. Nanti aku ganti sama barang
lain deh." ujar Renny.
"Tidak bisa! Benda itu peninggalan mamaku, aku tak mungkin menukarnya
walau dengan kalung emas yang kau pakai!"
"Sembarangan! Siapa yang mau nuker sama kalung emas! Nggak setara,
kalung emas ini sepuluh gram lho, udah berapa tuh harganya. Piano mainan
ini lima puluh ribu juga nggak nyampe harganya.!"
"Pokoknya nggak bisa, kembalikan!"
Seseorang mesuk dalam kamar dan berseru, "Ada apa, sih?"
Keduanya menoleh dan melihat Reza berdiri di sana. Sheila berkata, "Itu
punyaku Renny mengambilnya tapi nggak mau mengembalikan." Reza diam saja
tanpa ekspresi
"Kak ingat Nathan kan? Aku suka sekali sama dia. Dia kan paling suka
sama piano, jadi ini cocok buat dia," rengek Renny. "Tapi si jelek ini
nggak mau ngasih benda ini. Sok banget sudah disekolahin mahal-mahal,
dimintai benda jelej kayak gini, nggak mau ngasih."
Sheila hampir menangis, "Aku punya emas! Ada kalung , giwang, dan
cincin, ku berikan semua padamu, ya. Tapi jangan piano kecil itu.…"
"Nggak butuh, orang mintanya apa dikasihnya apa!" Gerutu Renny. Benda
itu masih di tangan Renny dan di sorongkan tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Karena tuhuh Sheila lebih pendek otomatis ia tak bisa meraih
benda di tangan Renny walau sudah berusaha menjangkau
setinggi-tingginya.
"Sudah, Ren. Kesih aja. Barang jelek gitu, buat Nathan beliin apa aja
lah, nggak usah kasih gituan. Cowok nggak suka benda-benda aneh tahu!"
bujuk Reza.
"Tapi aku suka....." rengek Renny. "Dia pasti akan memajang di kamarnya,
dan dia akan inget terus sama aku."
"Tapi itu punya dia." Reza mulai hilang kesabaran. "Sudah balikin, aja."
"Kalau aku nggak dapat, dia juga nggak." ujar Renny. Ia membuka kepalan
tangannya dengan sengaja, dan piano kecil itu meluncur ke bawah,
kelantai kamar Renny yang berlapis keramik.
PRAAANGG....!!! kotak kacanya bukan terbuat dari kaca betulan, tapi dari
akrilik . Tapi bagian sambungannya yang dilem terlepas. Dan kotak itu
terlepas sisa-sisanya. Piano yang di dalamnya ternyata terbuat dari kayu
jecil- kecil yang dirakit. Karena terbanting bagian-bagiannya terpisah.
Resak berat.
Sheila menangis dan meratap sambil melihat benda yang kini hancur itu.
Ia berusaha mengumpulkanny tapi malah semakin parah. Piano di dalamnya
semakin hancur dan rontok.
Reza melotot pada adiknya, tidak suka melihat sikap adiknya yang
keterlaluan. Tapi Renny pura-pura ridak melihat.
"Wah..... Jatuh... Aku nggak sengaja."
Tiba-tiba Sheila menyambar botol beling yang ada di meja bekas minum
Renny. Ia menyerang Renny. Renny langsung menjerit.
Refleks Reza menghalangi Sheila yang akan memukul adiknya. Tapi Sheila
kalap memukulkan botol itu sekuat tenaga. Botol menghantam pelipis Reza
dan darah segar mengucur keluar. Reza sempat menatap darahnya sendiri,
lalu hilang kesadaran.
Renny menjerit-jerit melihat kakaknya tak sadarkan diri dengan kepala
berlumuran darah. Sheila berdiri terpaku dengan botol beling di
tangannya.
"MAMA! MAMA...!"teriak Renny histeris."TOLONG....!!!"
Terpogoh-pogoh Ratna masuk ke kamar anaknya. Di sana ia melihat
pemandangan yang begitu menyeramkan. Sheila terpaku dengan botol
berlumuran darah di tangannya. Renny menangis, memeluk tubuh Reza tang
tak sadarkan diri di lantai dengan kepala berluran darah.
Ratna hampir saja pingsan, kalau saja ia tak ingat anaknya butuh
pertolongan secepatnya. "Renny telepon ambulans! CEPAT....!!!!"
Renny buru-buru keluar untuk menelepon. Sheila masih berdiri terpaku
dengan mata terbelalak melihat Reza terbaring di depannya. Aku.......
Aku telah membunuh orang, pikirnya.
Melihat Sheila yang masih mematung di kamar itu, Ratna kehilangan
kesabara. "K-kau..... Pergi sekarang juga! MINGGAT SANA! AKU BENCI
MELIHATMU, ANAK PEMBUNUH!"
Sheila berlari keluar kamar. Kakinya terasa lemas. Ia tak tahu harus
melariak diri ke mana. Akhirnya ia membuka pintu gudang yang sempit dan
penuh barang-barang tak terpakai. Ia masuk dan mendekam di dalamnya.
BAB 3
SHEILA tak tahu berapa lama ia di gudang. Kalau bisa, ia tak mau keluar
lagi dari tempat itu untuk selamanya. Gudang itu cuma punya jendela
kecil sebagai ventilasi, dari jendela itu sinar menerobos masuk. Sheila
masih di sana sampai gudang gelap gulita, berarti hari sudah malam.
Tiba-tiba pintu diketuk.
"Sheila.... Sheila... Kau ada di dalam?" Itu suara Haryanto.
Sheila buru-buru keluar dan memeluk Haryanto. "Omm.... Saya minta maaf,
Omm! Saya tidak sengaja! Saya bersalah, Omm!" Namun ia mundur begitu
menyadari yang peluk bukanlah Haryanto melainkan Ratna. Haryanto berdiri
di samping istrinya, dan pria itu menatapnya dengan sorot mata lelah.
"Kepala Reza mendapatkan lima jahitan, dan itu semua gara-gara kamu!"
seru Ratna.
"Maafkan saya, Tante. Saya tidak bermaksud memukul kepala Reza dengan
botol." ujar Sheila lirih.
"Tapi kamu bermaksud memukul kepala Renny, kan?"
Sheila tidak tahu apa yang menyergapnya tadi siang. Pikiran itu tiba-
tiba saja melintas di kepalanya. Kemarahan karena pianonya dirusak
membuatnya hilang kendali. Ia memiliki napsu membunuh dan itu membuatnya
ngeri.
"Kau keturunan Ayahmu, bisa gelap mata kalau sedang emosi. Dan emosimu
bisa muncul begitu saja. Apa kau tahu itu menakutkan?" ujar Ratna dengan
suara lebih rendah, namun mengandung ancaman.
Sheila terisak, dan menangis.
"Kau tidak bisa tinggal di sini lagi!" bentak Ratna.
"Ratna, Reza sudah siuman. Dan kata Dokter Reza cuma kaget karena
melihat darah. Masalah ini biarlah berlalu. Beri Sheila satu kesempatan
lagi." pinta Haryanto.
"Tidak bisa, itu menyangkut keamanan keluarga kita. Siapa menjamin ia
tidak membunuh kita semua, saat kita sedang tidur?" kata Ratna pedas.
"Pokoknya ia tidak boleh tinggal di sini lagi titik." setelah berkata
begitu Ratna meninggalkan Sheila berdua dengan Haryanto.
Sepeninggal Ratna, Heryanto berkata pada Sheila. "Sheila kamu tidak
boleh seperi itu, kau harus bisa menguasai emosimu sendiri. Memang itu
tidak mudah, tapi bisa dilatih. Begitu kau sudah menguasainya. Kau
disebut dewasa."
Sheila menghambur ke pelukan Haryanto. Ia menangis tersedu-sedu.
"Saya minta maaf, Omn!"
"Ya, Omn tahu kau tidak sengaja."
"Apakah saya masih bisa tinggal du sini?"
"Tidak, Nak. Omm akan menyekolahkan kamu di sekolah berasrama."
Matahari bersinar cerah, walau mendung bergelayud di hati Sheila. Gadis
itu tidak tahu mengapa sebelum Reza pulang, ia sudah diantar ke
sekolahnya yang baru, sebuah asrama putri di daerah Ciloto, puncak. Ia
ingin melihat keadaan Reza. Sebelum melihat pemuda itu baik-baik saja
hatinya belum tenang.
Ratna sendiri yang menyetir mobil umtuk mengantarkan Sheila. Renny dan
Haryanto menunggui Reza di rumah sakit.
Sheila membungkus barang-barangnya yang tidak seberapa itu, ditambah
buku-buku dan seragam SMA-nya. Ratna sudah mengurus kepindahanbya dengan
sangat cepat, hingga Sheila merasa hidup di alam mimpi, mimpi yang
buruk.
Miniatur pianonya yang hancur dibawanya pula, sudah dicobanya
berkali-kali untuk merekatkannya, tapi selalu terlepas, lagi. Mungkin
suatu saat nanti, ia bisa membeli lem yang kuat untuk membetulkannya.
Baginya bila piano itu bersamanya, ia bisa mengingat wajah ibunya. Tidak
ada foto terakhir, jadi ia tak punya kenangan. Semua kenangan itu sudah
ia simpan di piano mainan tersebut.
Ratna berdehem. Sheila menatap wajah tantenya yang cantik tapi beku.
Wanita itu tak mengajaknya bicara sejak berangkat dari jakarta. Dan kini
mobil sudah melaju di daerah yang meninggi, tanjakan yang menandakan
mereka sudah hampir sampai di lokasi.
"Kau mesti belajar baik-baik di sana, mengarti?"
" iya, Tante."
"Jangan iya-iya aja. Kau kecil-kecil sebenarnya pembangkang! Sifatmu
bukan sifat yang baik. Kau seharusnya bersyukur, kami sudah sangat baik
tidak menyerahkanmu ke polisi.... Maksud Tante, atas perbuatanmu pada
Reza."
"Iya, tante."
"Coba kurang apa lagi tante? Sudah pindah sekolah dua kali dalam kurun
waktu enam bulan. Uang pangkal saja sudah terbuang berapa. Sekolah
asrama lebih mahal dari pada sekolah biasa, tahu!" Ratna menghela napas.
"Tapi ini demi kebaikan semuanya."
Sheila merasa kata-kata wanita itu benar. Ia bersyukur karena mereka
masih bersedia menyekolahkannya. Tapi, alangkah baiknya kalau ia tetap
tinggal di jakarta.
"Reza.... Sudah baikan, tante?"
"Sudah, tapi kan efek samping dari pukulan itu tidak bisa diketahui
sekarang. Dokter bilang bisa saja beberapa tahun lagi tiba-tiba ia
pusing atau black out."
"Maafkan saya, Tante."
"Ya, tapi tante harap kamu tidak bikin masalah lagi. Kalau bisa kau
sekolah di asrama ini baik-baik sampai lulus SMA. Setelah lulus kau bisa
bekerja dan mandiri. Bisa mandiri baru bisa disebut dewasa. Saat itu
kau tidak butuh kami lagi."
Sheila tahu kenapa Ratna mengantarkannya hari ini. Rupanya wanita itu
ingin mengatakan hal ini. Inilah terakhir kalinya Ratna mengulurkan
bantuan pada Sheila, jadi Sheila jangan sampai merusaknya. Kalau
Haryanto takkanbtega mengatakn hal-hal seperti itu.
"Sa....saya berterima kasih atas semua bantuan tante pada saya. Jasa Omm
dan Tante tidak akan saya lupakan." ucap Sheila pedih.
"Nah, begitu baru bagus. Dan supaya kau bisa berhasil, liburan tak usah
pulang ke rumah. Tinggal di asrama, belajar yang baik, mengerti?"
Saat itu teringgatlah oleh Sheila betapa Ratna telah menggagalkannya
belajar piani, berbohong pada Haryanto ingin mengajarinya padahal tidak,
malah mempermaluka Sheila di depan suaminya. Juga Renny yang telah
memperlakukannya seperti pembantu dan memecahkan piano mainannya. Juga
Reza yang tak pernah menganggapnya ada dan selalh membela adiknya. Cuma
Haryanto yang baik, tapi pria itu pun tunduk pada istrinya. Baik,
mungkin lebih baik ia tak usah pulang lagi dab tinggal di asrama. Itu
keinginnan Ratna, bukan?
"Baik, Tante." jawab Sheila dingin. "Mudah-mudahan saya tidak pernah
pulang ke rumah Tante dan mengganggu Tante lagi."
Ratna mencibir, "Tuh.... Kan sifat jelekmu keluar lagi sindir saja,
sindir!"
"Saya serius Tante, doakan saya juga."
"Tetntu saja, kalau kau bisa berhasil, saya jadi tidak repot,kan? Susah
kalau punya suami terlalu baik hati, semua orang mau ditolong tapi mau
bagaimana lagi?" gerutu Ratna.
Mereka sudah memasuki lokasi. Ratna membelokkan mobilnya ke area
sekolah. Jantung sheila berdebar. Ia sudah sampai di tempat tinggalnya
yang baru. Di sini tak ada yang tahu masa lalunya.
Di bacanya sebuah palng bertuliskan "Sekolah Asrama Putri Mutiara
Ibunda-Ciloto". Ratna pun turun. Seorang wanita berkaca mataenyambut
mereka. Usia sekitar lima puluh tahun.
"Selamat datang, Bu Ratna. Kemarin anda bilang, Anda akan datang bersam
murid baru yang ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya itu. Kok
sekarang anda datang sendirian?"
Sheila turun dan memandang wanita itu dengan wajah pucat.
Mutiara Ibunda adalah sekolah SMA berasrama khusus untuk pelajar putri
dan dikelola oleh yayasan Mutiara Ibunda. Tujuan didirikannya sekolah
ini adalah untuk sosial, atau amal jadi memang bukan untuk mencari
keuntungan. Separuh muridnya adalah anak jalannan yang di asuh dan
bersekolah di sini tanpa membayar bila lulus nanti mereka tetap
mendapatkan ujasah dan bebas meninggalkan asrama dan separuhmya lagi
adalah remaja putri biasa, yang dititipkan orang tua karene mereka sulit
diatur, juga agar mereka lebih mandiri.
Biaya sekolahnya tidak mahal karena du sini para siswa di ajar untuk
mandiri. Mereka diberi tugas untuk memasak makanan mereka sendiri, serta
membersihkan sekolah dan asrama. Mereka harus mencuci pakaian mereka
sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Mereka tidak boleh keluar daru
lingkungan sekolah tanpa izin.
Bangunan SMA Mutiara Ibunda sangat sederhana, cuma terdiri daru satu
gedung besar untuk belajar, dan separuhnya dijadikan asrama tempat
tinggal. Kelasnya cuma ada tiga, yaitu kelas satu, dua, dan tiga yang
masing-masing tetdiri dari 25 murid
Ada sekitar 80 kamar di asrama itu. Satu kamar dihuni empat orang,
terdiri dari dua tempat tidur tingkat san sebuah lemari tempat
penyimpanan barang-barang. Selain para siswa, penghuni sarama itu juga
para guru yang bekerja dengan penuh pengabdian.
Yang menjadi kepala sekolah adalah Bu Lia, yang menyambut kedatangan
Ratna di halaman rumah tadi. Ia mengajar Matatika, Kimia, dan Fisika.
Juga ada Bu Emmy yang mengajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Lalu ada Bu susan, mengajar kesenian. Guru ini masih muda sekitar tiga
puluh tahun usianya, wajahnya cantik tapi belum menikah. Pak Teguh yang
hampir pensiun mengajar bidang studi PPKN, Geografi, dan Sejarah.
Terakhir adalah Pak Alex guru baru yang mengajar komputer dan akutansi.
Seorang pendeta datang seminggu sekali untuk memberika pelajaran agama
di hari jumat, karena latar belakang pemilik yayasan yang beragama
kristen. Tentu saja untuk agama laib disediakan tempat ibadah sendiri.
Karena Ratna sudah memberi tahu bahwa Sheila anak bermasalah yang
ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya, lalu memukul Reza hingga
cedera parah, dan pemalas, maka pudarlah harapan Sheilauntuk
diperlakukan seperti anak-anak biasa.
"Kenalin aku Tini ketua geng di kamar ini." ujar gadis berkulit hitam
dengan rambut kemerahan karena terbakar matahari. Lalu gadis itu
cekikikan. "Bohong, aku cuma bercanda kok nanggepinnya serius gitu sih?"
Sheila ca bisa tertawa rikuh. "Aku Sheila."
"Bagus banget namanya, cantik lagi. Asalnya dari mana sih?"
"Jakarta."
"Wah, geu denger orang Jakarte pada pinter- pinter tuh. Ape bener?" kata
Tini dengan logat Jakarta yang dibuat-buat.
"Ah, nggak . Biasa aja."
"Kok masuk sini nggak dari awal, sekarang kan sudah bulan November, udah
mau ulangan umun,lagi!"
"Aku sempet sekolah di Jakarta. Jadi aku pindah sekolah ke sini."
"Kenapa...??"
"Masalah keluarga." jawab Sheila lirih.
"Eh, yang namanya masalah pasti sumbernya dari keluarga. Mana ada
masalah yang nggak ada hubungannya dengan keluarga coba. Kecuali sama
pacar! Kalo ngomong yang jelas dong!"
"Dia mukul orang sampai koma!" cetus seorang gadis yang baru masuk
kamar.
Tini kaget, tak terkecuali Sheila. Kenapa masalah itu sudah diketahui
semua orang? I sedih. Ini pasti gara-gara Ratna dan guru-guru di sini.
"Tapi sekarang orangnya sudah sembuh kok, iya kan? Kenalin, aku Wenny,"
kata gadis berambut sebahu itu matanya sipit, tapi wajahnya manis.
Kulitnya putih dan tubuhnya tinggi langsing.
"Kau dengar berita itu dari mana?" tanya Sheila sambil menyambut uluran
tangan Wenny.
"Semua juga sudah tahu. Ya sudahlah, kita di sini juga nggak ada yang
punya rahasia. Sumua sudah dibeberkan oleh orang tua kita yang membawa
kita kemari. Aku perokok berat. Tapi sekarang, karena sudah nggak pernah
lihat rokok, sudah sembuh, kali."Ujar Wenny. "Ini Si Item, tukang
nguntit di supermarket. Udah sembuh apa belum, hanya dia yang tahu."
Tini yang dibilang si Item pura-pura memberengut marah.
"Dasar sipit lo. Ngatain gue item, enak aje. Iye kan ye, Sheila!"
Sheila tak bisa menahan senyumnya." jadi di sini semuanya anak
bermasalah!"
"Ya . Orang tuaku sudah kewalahan dan nggak bisa ngajarin aku. Makanya
mereka bawa aku kemari. Kami ketemu enam bulan sekali pas hari Natal dan
kenaikan kelas. Tapi enakan gini, aku jadi nggak pernah denger mereka
ngomel-ngomel lagi." ujar Wenny.
"Kalo aku dipungut dari jalanan oleh tim Mutiara Bunda di bandung. Lalu
aku disekolahkan di SMP Bandung, dan setelah lulus aku dibawa kemari,
katanya sih kalau aku udah lulus dari sini mau dicarikan kerja." ujar
Tini.
Hati Sheila merese menghangat, mendengar kawan-kawannya juga bukan
remaja biasa. Di sekolah ini, ia merasa anak normal, terlalu normal
malah.
Selain airnya yang terlalu dingin sehingga ia malas mendi, selebihnya
sih lumayan. Sebenarnya jauh lebih enak dari pada di rumah Haryanto. Di
sini ia tak diperlakukan seperi pembantu. Kalau soal mencuci baju, toh
itu bajunya sendiri.
"Jadi sekamar kita bertiga?"
"Ada satu lagi, namanya Indah. Sebenarnya kamarnya di ujung bareng
gengnya, tapi karena lagi dihukum ia disuruh berpencar. dan sialnya,
Indah dapet kamar ini." kata Wenny
"Dia baik?" tanya Sheila.
"Uh, ngeselin banget. Tapi kita cuekin aja. Kalau dicuekin nggak bakal
jadi masalah, kan?"
Tapi Tini salah. Ternyata Indah , namanya tidak seindah hatinya. Sejak
awal bertemu dengan Sheila, ia sudah menjaga jarak dan mengirim sinyal
permusuhan. Di dalam kamar sja Indah selalu membuat masalah.
Kelihatannya ia tidak suka Sheila tidur di tempat tidur di bagian atas
tempat tidur tingkatnya. Ada saja ocehan yang membuat Sheila kesal. Tapi
sebagai anak baru, Sheila berusaha menahan diri.
Untunglah Indah kemudian dipindahkan lagi ke kamarnya semula karena masa
hukumannya sudah selesai. Tapi sikap permusuhannya tetap ditunjukan nya
di kelas atau di tempat lain kalau mereka bertemu
Dati Wenny lah, Sheila tahu apa penyebabnya. Indah tidak senang dengan
kehadiran Sheila sebagai murid baru. Pasalnya, wajah Sheila yang cantik
mengalahnkan Indah sebagai gadis rercantik di asrama ini. Memang rambut
panjang dan lurus Indah sangat bagus dan wajahnya pun cantik. Tapi
kecantikan Sheila melebihinya. Apalagi Sheila menarik perhatian guru
idola para murid di sana, Pak Alex.
Alex baru berumur 22 tahun. Kulitnya putih, wajahnya tampan. Alex
menjadi pujaan para murid yang bosan melihat guru-guru permpuan tua yang
ada di Mutiara Ibunda. Ada sih Pak Teguh, tapi umurnya sudah enam puluh
tahun, dan kalau sedang menerangkan ia bisa tiba-tiba ketiduran di
mejanya, dan semua murid keluar dari kelas satu per satu tanpa
pengetahuannya. Jadi selain usianya yang masih muda, Alex punya nilai
plus lain, yaith ketampanannya.
"Jadi dalam Microsoft Word, kita dapat membuat surat untuk beberapa
orang, isinya sama, tinggal namanya saja yang diganti. Apa nama
programnya?"
Seisi kelas pura-pura bengong, atau sibuk memandangi langit-langit
seolah berpikir, atau sibuk mencari sesuatu di dalam tas.
"Sheila?" tanya Alex.
"Mail marge, Pak."
"Benar. Kamu rajin masih mengingat pelajaran yang telah lalu. Bagus."
puji Alex. "Coba, sheila, kamu maju dan tolong saya mengganti catatan di
OHP ini, Bisa?"
"Bisa, pak."
Indah mencibir, Dona yang duduk di sebelahnnya berbisik. "Enek, ndah?"
"Mau muntah!" ujar Indah ketus.
Dona tertawa. Dona tahu Indah naksir berat sama Pak Alex.
"Terus tindakan lo bagaimana?"
"Lihat saja tu anak. Seinci lagi ia mendekat ke Alex, gue hajar dia."
ucap Indah.
Dona tahu, Indah tidak mai -main.
"Jadi rumah itu berhantu?" tunjuk Sheila. Tini dan Wenny duduk di
sampingnya. Mereka duduk di belakang asrama, di tanah berumput yang agak
tinggi. Mereka mesti duduk hati-hati kalau tidak bisa merosot jatuh.
Saat itu masih jam sekolah, pelajaran Pak Teguh. Saat Pak Teguh menyuruh
mencatat, pria itu ketiduran. Sheila, bersama Tini dan Wenny
cepat-cepat menyelinap keluar. Tak tahu teman lain ke mana, yang pasti
jika mereka nongkrong di kantin, pasti semua digebah masuk lagi ke
kelas.
Di belakang asrama ada sebuah rumah dengan pekarangan luas.
Pekarangannya ditanami pohon-pohon dan bunga-bunga yang merimbun
sehingga jika dilihat dari luar pagar, nyaris menutupi pemandangan rumah
itu. Sebenarnya asrama Mutiara Ibunda dengan rumah seram itu cuma di
batasi pagar bambu. Pagarnya pun sudah doyong, tinggal di dorong saja
mereka bisa lewat. Diloncati juga bisa, karena tingginya cuma satu
meter. Tapi menurut cerita Tini, rumah itu berhantu.
Dari jauh terdengar gonggongan anjing dari rumah itu.
"Katanya rumah berhantu, kok ada anjingnya?" tanya Sheila lagi.
"Justru itu, makin menakutkan. Aku takut anjing. Hiiiiii....."
Sheila tertawa. Ia semakin tidak percaya kalau rumah itu berhantu,
apalagi kalau ada anjingnya.
Wenny menimpali, "Kami pernah diwanti-wanti sama Bu Lia, jangan iseng ke
sana." ia menoleh pada Tini. "Inget nggak? Waktu ada kelas tiga yang
iseng ke sana, lalu dikejar anjing. Tapi Bu Lia ngomongnya nggak ke
semua murid, cuma di kamar aja. Aku denger dia ngomong begitu."
"Ngomongnya gimana?" tanya Sheila penasaran.
Wenny membusungkan dadanya dan menirukan gaya bucara Bu Lia. "
Anak-anak, jangan sekali-kali kalian masuk ke rumah belakang asrama.
Kalau ada yang masuk ke sana, saya pribadi yang menghukumnya. Ngerti?"
Tini cekikikan mendengar gaya bicara Wenny.
Sheila mengerutkan keningnya. "Aneh, kok nggak dikasih penjelasan kenapa
kita nggak boleh ke situ? Siapa sih yang tinggal di sana?"
"Hantu..." jawab Tini. "Hiiiii....!!!!"
Sheila menggeleng. "Aku sudah lima belas tahun di dunia, eh seminggu
lagi enam belas deh, nggak pernah tuh melihat hantu."
"Seminggu lagi kau ulang tahun?" tanya Wenny.
Sheila tak menjawab pertanyaan Wenny. "Mesti kita selidiki, benar nggak
ada hantunya." gumam Sheila.
"Seminggu lagi kau ulang tahun?" ulang Wenny.
"Iya, ah bawel." Sheila bangkit berdiri. "Mau ikut nggak?"
"Kemana?"
"Nangkap hantu."
Sheila mengendap-endap, Tini di belakangnya. Wenny paling belakang
karena Tini maunya di tengah. Kalau benar-benar ada hantu yang kena
belakang dan depan dulu, kata Tini. Mereka sudah melompati pagar dan
tengah memasuki pekarangan.
"Duh.... Aku pengen pipis nih.." rengek Tini.
"Ssstttt.... Nanti anjingnya kemari! Kalau digigit anjing terus rabies,
kamu yang tanggung jawab ya!" gerutu Wenny.
"Biar Sheila yang tanggung jawab. Kan ini ide dia!"
"Diamm!" desis Sheila.
Ia mendekati sebuah jendela dan mengintip. Jendela itu bertirai yang
berwarna putih berbahan tipis. Bahannya tampak mahal. Rumah ini juga
rapi. Kalau memang ada orang yang tinggal di dalamnya, pasti orang kaya.
Sheila mencoba memperjelas pandangannya karena tirai itu menghalangi.
Dilihatnya sebuah kamar yang sangat mewah. Dengan perabot warna-warni
yang modern. Sentakan Tini pada bajunya diabaikannya.
"Tunggu sebentar." Bisik Sheila.
Di ruangan itu ada seorang pria, sedang berdiri membelakanginya. Pria
itu bertubuh atletis. Sheila bisa melihatnya kerena pria itu hanya
mengenakan celana panjang, tanpa atasan. Pria itu sedang menghadapi
komputer, dilihat dari cahaya monitor yang berpendar, kelihatannya ia
sedang mengetik.
Wenny yang penasaran ingin ikut melihat. Digesernya Tini yang bertubuh
pendek dan tidak berminat sama sekali mengintip jendela. Tapi Tini tidak
mau bergeser. Rupanya suara berisik mereka terdengar oleh anjing di
rumah itu. Anjing itu menyalak. Salakannya terdengar semakin dekat.
"A.....anjing, Sheila! Anjing...!!!"
Sheila melihat pria itu menoleh. Ia terpana melihat wajah tampan pria
itu, sayang, di pipi kiri pria itu ada bekas luka.... Luka yang cukup
panjang dan dalam!
"Lari...!!!!"
Wenny dan Tini kocar-kacir ketakutan. Tinggal Sheila sendirian di sana.
Ia pun mengadang anjing yang menggonggonginya seperti seorang matador
menghadapi banteng.
"Pus.... Pus!!!" tapi kemudian ia ingat itu bukan kucing melainkan
Anjing. "Tsk...tsk... Doggy! Doggy!"
Grrrrr!!!!! Anjing itu menggeram. Sheila ketakutan dan lari tiba-tiba.
Sang anjing mengejarnya sampai Sheila dapat merasakan moncong sang
anjing hampir menyentuh bokongnya. Untung tepat pada waktunya ia dapat
melompati pagar dibantu Wenny dan Tini. Ia terjatuh ke rumput dengan
napas ngos-ngosan.
"Sialan...!! Tapi untung.... selamat!"
Ketiga gadis itu berpandangan lalu tertawa terbahak-bahak. Apalagi Wenny
ia tertawa sampai sakit perut. Ditunjuknya Tini.
"Sheila kau nggak lihat...... Si Tini ngompol di celana!"
Tini cuma manyun.
Sheila dipanggil oleh kepala sekolah berkaitan dengan nilai-nilainya.
"Ibu lihat laporan nilai kamu dari sekolah lama cukup baik, kenapa di
sini kamu selalu mendapat nilai merah?" tanya Bu Lia.
Sheila menunduk. "Sa.... Saya tidak bisa berkonsentrasi bu."
kata-katanya itu benar. Sheila memang merasakan sulit berkonsentrasi
belakangan ini. Mungkin karena mendapatkan teman-teman yang begitu asyik
yang belum pernah dialaminya, yaitu Tini dan Wenny. Hatinya terus
merasa gembira dan inginnya main terus. Kedua gadis itu pun setali tiga
uang dengannya. Sama-sama malas. Akibatnya ya inilah.
"Itu namanya malas!" sergah Bu Lia. Wajahnya tidak enak dilihat. Ia
memang tidak suka murid yang malas belajar. Kalau bodoh masih bisa
diobati, kalau malas susah diperbaiki.
"Ya sudah, Bu. Mulai sekarang saya akan rajin belajar."
"Harus itu. Kalau tidak apa yang bisa saya laporkan ke Tantemu?"
Kata-kata kepala sekolahnya mengingatkannya pada kehidupannya yang lalu,
yang terasa berjarak ratusan tahun dari sekarang. Apakah Tante Ratna
peduli padanya? Sheila tidak pedulu Tantenya akan berpikir apa, tapi
Sheila takut hal ini akan sampai ke telinga Ommnya. Tegakah ia
mengecewakan hati Omm Haryanto setelah semua kebaikan yang telah ia
terima dari pria itu?
"Jangan, Bu. Lihat dulu nilai saya akhir semester ini," kata Sheila
cepat.
"Tidak, tidak bisa sampai menunggu akhir semester. Kalau tetap jelek itu
namanya terlambat. Begini saja, kamu harus memilih salah satu guru
untuk mementau nilai kamu. Tugas saya banyak saya tidak akan sempat
memperhatikan kamu."
Jadilah Sheila memilih guru yang paling memperhatikan dia, Pak Alex.
BAB 4
"KEMARIN ulangan Biologi dibagikan, Pak Alex. saya dapat sembilan!" ujar
Sheila. kebetulan Alex sedang memeriksa ulangan di ruang komputer.
Sheila menemukan pria itu di sana.
"Kamu pakai cara yang sudah saya kasih tahu?"
"Iya. Digaris bawahi yang penting dulu baru dihafalkan. Terus menyuruh
si Item ngasih pertanyaan ke saya."
Alex mengerutkan kening. "Si Item?"
"Tini."
"Ya ampun. Enak saja kau mengatai orang."
Sheila meringis. "Udah biasa, Pak. Lagian memang dia item kok."
Alex tertawa. Sheila duduk di sampingnya. Entah kenapa ia bisa dekat
dengan gurunya yang satu ini. Mungkin karena Alex tidak galak sepeti
guru-guru yang lain. Apalagi Alex masih muda, enak diajak bicara, dan
selalu memperhatikannya.
"Ya sudah, saya senang kamu dapat nilai bagus. Pokoknya semester ini
rapormu tidak boleh ada nilai merahnya. Kalau ulangan ada yang jelek
cepat-cepat minta perbaikan atau tugas, mengerti?"
"Iya, Pak."
Saat Sheila tertawa Alex memandanginya. Matanya berkaca-kaca. Melihat
perubahan air muka gurunya Sheila berhenti tertawa.
"Bapak kenapa?''
Alex mengusap matanya sewajar mungkin, malu kalau Sheila tahu. "Saya
ingat adik saya."
"Adik Bapak? sekarang di mana, Pak?" tanya Sheila. Setahunya guru-guru
di sini tinggal di asrama. Seminggu sekali mereka pulang setiap hari
jumat, dan kembali pada minggu sore.
"Di tempat yang tidak mungkin kita kunjungi sekarang."
"Tempat apa tuh, Pak." tanya Sheila polos. Lalu saat melihat wajah sedih
Pak Alex, ia tersadar. " Adik Bapak.... Sudah meninggal?"
Alex mengangguk. "Dia mirip kamu?"
Sheila membatin, karena inilah Pak Alex memperhatikannya? Karena ia
mirip adiknya yang sudah meninggal!,
"Rambutnya, wajahnya, perawakan tubuhnya, sifat pembangkangnya..."
Sheila tersenyum karena Alex bilang ia pembangkang. "Dia meninggal
kerena demam berdarah, dua belas tahun lalu. Saat meninggal usianya,
baru enam belas tahun."
"Seumur saya."Gumam Sheila.
"Ya, seumur kamu Sheila. Kalau saya melihat kamu, Sheila.... Sama saja
dengan melihat adik saya. Bila ia tidak meninggal, tentulah...."
Alex kembali mengusap air matanya.
"Jangan sedih, Pak. Bagaimana kalau kita berjanji, mulai saat ini kita
akan terus berhubungan sampai kita tua kelak. Bapak kan ingin melihat
adik anda dwwasa, lihat saya dewasa juga sama. Biar saya jadi pengganti
adik Bapak yang sedah meninggal. Siapa namanya, Pak?"
"Mona."
"Bapak juga boleh panggil saya Mona kalau Bapak mau."
Alex tersenyum, "ngaco kamu."
Saat itu tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata melihat mereka dengan
penuh kebencian.
"Happy birthday Sheila...!! Happy birthday to you...!!!"
Sheila membuka mata yang tadi ditutupi dengan tangan mungil Tini.
Ternyata ia berada di laboratorium kimia. Di lantai ada enam belas lilin
putih yabg diletakkan menyebar, ia tersenyum.
"Gileeeee..... Nggak modal banget cuma lilin doang! Kuenya mana?"
"Tenang si Wenny sudah membeli kue pukis di depan asrama tadi."
Sheila tersenyum lagi. Hari ini tujuh belas desember hari ulang
tahunnya. Sejujurnya baru kali ini ia mengalami pesta kejutan di hari
ulang tahunnya. Ia teringat sewaktu Mamanya masih hidup, beliau sering
membuat kue bolu bila ia ulang tahun. Walau oven dan mixernya harus
meminjam tetangga dan hasilnya kadang bantat, rasa manis kue itu masih
tertinggal di lidahnya. Air matanya tiba-tiba tak terbendung lagi. Ia
mengusapnya cepat-cepat.
"Yahhhh.... Dia nangis.!" seru Wenny. "Si Item sih bilang-bilang kalau
belinya kue pukis. Diem-diem aja kenapa? Ntar juga dia ikut makan."
Mau tak mau Sheila jadi tertawa. Disekanya air mata di wajahnya.
"Nggak kok., aku paling suka kue pukis depan asrama." sanggahnya.
"Tiup lilinya dulu. Tiup...!!!"
Sheila meniup lilin yang terdekat dengannya, lalu berlari menuju lilin
berikutnya. Sampai lilin ke enam belas, lilin itu diletakkan di dekat
botol berisi cairan kimia. Didekat lilin itu ia tersandung dan jatuh.
Tanpa sengaja kaki Sheila menendang lilin dan botol. Rupanya cairan itu
semacam zat pembakar seperti minyak tanah. Dengan cepat api menjilat
cairan dalam botol dan menyala-nyala. Ketiga gadis itu berteriak
ketakutan.
"Kebakaran....!!!! Kabakaran....!!!" teriak mereka.
Tini menarik tangan Sheila. "Ayo kabur...!!"
"Padamin api dulu! Ini gimana?"
"Nggak usah. Mereka pasti sudah mendengar teriakan kita. Sekarang kita
harus kabur sebelum dihukum”
Terpaksa Sheila melangkahkan kaki mengikuti kedua temannya meninggalkan
lab kimia.
Satu jam kemudian mereka ditemukan Pak Teguh di belakang asrama. Api di
lab kimia sudah berhasil dipadamkan. Untung api bisa dimatikan sebelum
menyambar zat pembakar lain. Kalau tidak bisa-bisa sekolah kebakaran.
Walau mereka kabur pelakunya dapat diketahui oleh guru. Pasalnya ada
enam belas lilin dan bungkusan kue pukis di lantai serta coca cola dalam
botol besar. Ketika di cek hanya Sheila yang berulang tahun hari ini,
dan usianya genap enam belas tahun.
"Kamu mau membunuh kami semua, ya?!" bentak Bu Lia. Kata "membunuh" yang
digunakan Bu Lia menyakiti hati Sheila. Kenapa semua kesalahannya
selalu dikaitkan dengan membunuh? Apakah karena ia anak seorang
PEMBUNUH??
" Di lab kimia itu ada cairan yang akan meledak bila kena api. Di
sebelah lab kimia ada 28 siswa kelas 3 yang sedang belajar. Kau mau
membunuh mereka semua?"
Di samping Sheila Tini dan Wenny menunduk. Tapi Bu Lia tidak
melampiaskan kemarahannya pada kedua anak itu, yang sebenarnya pencetus
ide menyalakan lilin itu. Bu Lia malah langsung memarahi Sheila seolah
Sheila lah yang bersalah.
"Jawab saya, Sheila! Jangan diam saja!"
"Ma... Maafkan saya, Bu."
Tiba- tiba Tini menyela. "Bukan salah Sheila, Bu. Saya yang menyalakan
lilin-lilin itu, berdua dengan Wenny. Kami berdua yang merencanakan
pesta kejutan untuk Sheila. Karena cuma lab kimia yabg kosong kami
meminjam ruangan itu."
"Tanpa seizin guru? Dan hampir menyebabkan kebakaran? Kalian bertiga
dapat saya keluarkan dari sekolah."
Sheila maju. "Bu, Tini dan Wenny tidak bersalah. Ini semua ide saya.
mereka cuma ikut-ikutan. Kalau ibu mau menghukum hukum saya saja,Bu.
Mereka tidak bersalah."
"Sheila..." gumam Wenny.
"Jangan ragu-ragu, bu. Hukum saya. Cuma saya yang bersalah. "Kata Sheila
sambil menatap Bu Lia tajam. Perempuan itu mundur satu langakah. Anak
ini...... Wataknya begitu keras.
DAN Bu Lia teringat kata-kata Ratna, "Emosi Sheila tidak stabil, bila
sedang emosi ia bisa gelap mata. Ia telah melukai anak saya tanpa sebab.
Anak ini tidak boleh mengintimidasinya...."
"Tinny, Wenny, kalian keluar dari sini...! Sheila kamu harus
bertanggungjawab atas kesalahanmu.!"
Beberapa saat kemudian Bu Lia duduk di meja guru sambil membaca,
sementara Sheila menggosok meja praktik yang dilapisi kramik dengan
cairan pemutih. Sheila harus membersihkan lab kimia yang hangus sebagian
akibat kabakaran itu. Ia harus mencuci botol-botol kotor yang ada di
dalam lab itu yang kelihatan sudah tak dipakai bertahun-tahun. Lab kimia
Mutiara Bunda ternyata sangat kotor, dan sudah lama sekali tak
tersentuh air sabun. Rupanya Bu Lia tak membiarkan siapa pun
membersihkannya, karena takut akan salah menempatkan zat-zat yang
berbahaya. Kali ini Sheila dihukum membersihkan ruangan ini, dibawah
pengawasannya. Satu kali tepuk, dua burung kena.
Sheila membersihkan Lab kimia selama enam jam, dan ia tak boleh berhenti
untuk makan. Setelah selesai tubuhnya sangat sakit dan tulang-tulangnya
serasa mau rontok. Tini, Wenny menyambutnya di kamar. Saat itu sudah
menunjukkan pukul tujuh malam, sudah lewat makan malam.
"Gimana, Sheila…??" tanya Wenny.
"Cuma disuruh ngebersihin Lab kimia." Jawab Sheila. Tak diceritakannya
bagaimana tangannya terkena cairan pembersih keramik, sehingga terasa
gatal atau ia yang harus membuang bangkai cicak yang sudah kering yang
ada di bawah sebuah botol bekas, atau ketika sebuah botol pecah, dan ia
mendapat hardikan dari Bu Lia.
Tini mendesah lega. "Aku kira kau dikuliti hidup-hidup."
terdengar suara asalnya dari perut Sheila, "Perutku laper nih...."
Wenny mengeluarkan sebuah bungkusan," ini kue lukis tadi aku beli di
depan."
"Wah jadi deh makan kue ulang tahun," seru Sheila yang langsung melahap
setu potong dalam sekali suap.
"Sheila aku mau minta maaf. Tadi kamu yang dihukum gara-gara...."
"Udah lah, Wen. Ini ulang tahun yang sangat berkesan buat aku."
"Bener???"
"Suer..."
Tapi keesokan harinya Sheila demam.
Rupanya Sheila demam karena tubuhnya basah oleh keringat selama berjam
jam saat mencuci dan membersihkan Lab kimia. Akibatnya ia masuk angin.
Wenny meminta obat turun panas pada Bu Susan yang bertugas di sebagai
seksi kesehatan. Sheila memutuskan tidak masuk sekolah hari ini.
setelah minum obat menjelang pukul sepuluh demamnya sudah turun. Sheila
pun merasa tubuhnya segar kembali. Ia merasa sangat bosan di asrama,
kamarnya yang sempit membuat perasaannya jadi sumpek. Akhirnya ia
memutuskan untuk jalan-jalan di belakang asrama.
Saat Sheila duduk di rumputan belakang asrama, ia mendengar alunan
denting piano. Ia menikmatinya sambil melihat rumah di belakang asrama.
Suara itu pasti datang dari sana, pikirnya. Beberapa lagu tak
dikenalnya, tapi Sheila menikmatinya sambil menggigit-gigit batang
rumput yang terasa sepat di lidah.
Lalu terdengarlah alunan lagi Fur Elise. Tubuh Sheila menegak. Air
matanya mengalir. Entah mengapa lagu ini membuat perasaanya tergerak
oleh rasa haru, padahal kenangan yang terkait dengan lagu ini adalah
saat Renny memainkannya waktu Sheila datang di rumah Omm Haryanto.
Sheila menghapus air matanya. Ia bangkit berdiri dan mendekati rumah
itu. Tak teringat olehnya bagimana ia lari dari kejaran anjing waktu
lalu. Ia cuma ingin mendengar lagu itu lebih jelas. Ucapan Mamanya
terngiang lagi di telinganya.
"Kenapa, Ma...?"
"Mama mau mengingat wajah kamu, mau Mama simpan di hati Mama."
"Kenapa…?"
"Karena.... Wajah kamu kan nanti bisa berubah. Sebentar lagi kamu akan
menjadi wanita dewasa."
"Memang kenapa..?"
"Sudahlah jangan nanya terus..."
Sheila menghapus lagi air matanya yang kembali mengalir. Entah mengapa
di saat seperti ini ia bisa mengingat Mamanya.
Ia sudah tiba di depan jendela rumah seram itu. Kali ini bukan jendela
yang kemarin, melainkan jendela yang ada di depan rumah, karena
kemungkinan besar ia dapat melihat orang yg memainkan piano di sana, di
dekat perapian.
Dugaanya benar, orang itu lagi.. Kali ini pria itu mengenakan kaus dan
celana pendek. Wajahnya terlihat dari samping kanan. Ia main piano
sambil memejamkan mata. Pianonya bukan berwarna coklat seperti kepunyaan
Renny. Piano ini berwarna putih.
Sheila memperhatikan si pria pemilik rumah . Waktu pertama kali
melihatnya, disangkanya pria itu masih muda, sekitar dua puluh tahunan.
Tapi sekarang setelah ia melihat lebih jelas ternyata pria itu lebih tua
dari sangkaanya. Mungkin sekitar tiga puluhan atau lebih.
Pria itu sangat tampan, dan pipi kirinya yang bekas luka tak terlihat.
Saat melihat ekspresi pria yang main piano itu, Sheila merasa sangat
terharu. Ekspresi itu begitu sedih, begitu memilukan. Mengapa saat Renny
yg memainkan Fur Elise bisa terdengar begitu romantis, sedangkan saat
pria ini memai.kannya jadi terdengar sedih?
Sheila berusaha melihat lebih jelas, dilihatnya di tanah ada kaleng
biskuit, dipijaknya kaleng itu supaya ia lebih tinggi, tapi kakinya
terpeleset dan ia terjatuh, juga kaleng itu. Terderngar bunyi kelontang.
Suara piano pun berhenti.
Sheila bangun lagi, dan mengintip ke jendela. Ruangan itu kini kosong.
Ia merasa kecewa dan bersiap -siap pergi dari tempat itu.
"Hei....! Siapa kamu...???"
Sheila menoleh dan melihat seorang kakek menghampirinya. Wajah kakek itu
sangat menyerampkan, penuh bopeng. Mungkin bekas cacar. Di sampingnya
ada anjing herder yang kemarin mengejar-ngejarnya. Anjing itu
menggeram-geram begitu melihat Sheila, tapi kakek itu memegangi kalung
di lehernya.
Sheila merasakan nyeri di lututnya, saat ia melihatnya ternyara lututnya
berdarah.
"Saya..... Saya cuma mau lihat.... Orang main piano." jawab Sheila.
"Kamu murid asrama itu…?"
Sheila mengangguk.
"Murid asrama dilarang kamari, kamu tidak dikasih tahu?"
"Ya, Tapi....."
"Ayo, pergi sekarang…! Kalo tidak saya lepas anjing ini!"
"Ba....baik."
"Tunggu!" kakek itu kembali je dalam rumah dan tak lama kemudian kembali
membawa perban dan plester. Sambil menyodorkan benda itu pada sheila,
ia berkata, "Untuk lukamu sekarang cepat pergi dari sini."
Sheila buru-buru melompati pagar dan kembali ke asrama.
Beberap jam kemudian Sheila dipanggil Bu Lia.
"ada apa, Bu...?"
"Hari ini kamu kemana??" tanya wanita itu.
"Saya sakit."
Bu Lia meneliti penampilan Sheila, "Tapi kelihatannya kamu sehat-sehat
saja."
"Sekarang sudah sembuh, Bu. Tapi tadi pagi panas jadi saya tidak masuk
kelas."
Bu Lia mendengus, sikapnya seolah tak percaya ucapan Sheila, "Tadi saya
menerima laporan dari penghuni belakang asrama. Ada murid yang mengintip
ketika ia main piano. Saya tanya jam berapa, ternyata itu jam saat
anak-anak sedang belajar. Lalu saat saya periksa siapa yang tidak masuk,
ternyata cuma kamu. Apa tadi kamu yang mengintip di rumah itu?"
"Ya,Bu. Tapi...."
"Apa kamu sudah tahu bahwa murid di sini dilarang ke rumah itu.?"
"Tahu, Bu. Tapi...."
"Kalau sudah tahu, kenapa di lakukan?" tukas Bu Lia dengan mata
menyipit. "Ya ampun, kamu ini sulit sekali diatur, Sheila. Kemarin kamu
hampir menyebabkan kebakaran di Lab, hari ini kamu pura-pura sakit dan
mengintip rumah yang sudah dilarang didekati. Kamu maunya apa sih...??"
"Saya benar-benar sakit."
"Apa kamu sengaja membuat saya marah, sehingga saya mengeluarkan kamu
dan bisa kembali ke rumah tantemu?"
Sheila diam, percuma bicara wanita ini berpikir semaunya dan tidak mau
mendengarkan alasannya.
"Apakah kamu tidak tahu kalau tantemu itu tidak suka kamu tinggal di
rumahnya? Ia juga punya anak, dua anak yang baik-baik, yang tidak
seperti kamu, tidak jelas didikannya bagaimana dulu. Kamu ingin kembali
ke rumah itu, kan? Dan merusak anak-anak yang tidak bersalah. Anak-anak
tantemu itu.…?"
Hati sheila terasa disiram air beku ketika mendengar wanita duhadapannya
menjelek-jelekan didikan orang tuanya. Tahu apa wanita ini tentang
orang tuanya?
"Ibu tidak tahu orang tua saya bagaimana. Jangan asal menuduh, Bu." ujar
Sheila dingin.
Bu Lia kaget mendengar kata-kata menantang gadis itu.
"Oh... Jadi kamu menantang saya. Tidak suka saya nasehati?"
"Saya...."
Percuma Sheila berbicara, kata-kata Bu Lia sudah keluar seperti air bah.
"Apa kamu tahu betapa besar deritanya tante kamu ketika tahu kamu
menganiyaya anak setelah apa yang sudah dia lakukan padamu? Apa kamu
tahu berapa banyak uang yang sudah tantemu keluarkan untuk memasukkan
kamu kemari? Berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan untuk membayar
pengacara untuk membela ayahmu? Apalagi diantara kalian tidak ada
hubungan darah, hatinya benar-benar mulia..."
"Bu...."
"Saya tak pernah menemukan orang seperti tantemu itu. Mendengar
ceritanya lantas saya mengerti anak macam apa kamu. Sheila, dengar
baik-baik, kamu harus mengubah sifatmu. Sifat jahat memang menurun dari
orang tua, tapi jangan sampai suatu saat kamu berbuat jahat. Bila kamu
ada dipersimpangan antara berbuat jahat dan baik, jangan sampai kamu
terdesak berbuat jahat, apalagi membunuh. Emosi dapat menyebabkan....."
Sheila tak mau lagi mendengarkan kata-kata Bu Lia yang menyakitkan. Ia
pergi dari ruangan itu dengan membanting pintu. Saat ini ia sudah tak
peduli lagi.
Melihat perubahan Sheila Bu Lia ternganga. Ia mengurut dada sambil
berkata, "Ya ampun....
Tobat aku!"
Suatu hari Sheila sedang duduk sendirian di rumputan belakang sekolah.
Wenny dan Tiny sedang ikut ulangan perbaikan untuk pljaran kesenian.
Kebetulan nilai Sheila sudah bagus, jadi tidak perlu perbaikan. Karena
sendirian , ia memutuskan duduk di sana. Siapa tahu ia dapat mendengar
suara piano lagi.
Ketika ia sedang melamun dan memandang rumah itu, dilihatnya kakek yang
tempo hari bertemu dengannya. Kakek itu sedang memberi makan anjing
herder yang galak itu. Sang kakek melemparkan daging berwarna merah yang
langsung dilahap habis oleh anjing itu. Sheila bingung bagaimana mereka
mendapatkan daging kalau penghuni rumah begitu tertutup. Dan apa
hubungannya penghuni rumah dengan Bu Lia? Kok mereka sampai mengadu ke
Bu Lia bila ada murid yang datang ke rumah itu? Sheila menduga ada
hubungan antara pemilik rumah itu dan asrama. Buktinya mereka tinggal di
area tanah yang sama, sebab rumah dan pekarangan itu terselip di sudut
tanah asrama, sedangkan tanah yg dipakai untuk asrama dan sekolah
berbenyuk L.
Lalu siapa pria tampan yang main piano itu? Ada apa di mukanya, di pipi
kirinya? Apa karena cacat itu ia jadi mengucilkan diri? Sheila terus
bertanya-tanya dalam hati. Ingin sekali ia mengetahui latar belakang
penghuni rumah itu. Dan itu terjadi setelah didengarnya sura piano tempo
hari itu. Ia ingin mengenal pria itu, pria yang bisa mainkan piano
dengan begitu indahnya dan memainkan Fur Elise dengan begitu sedih. Tapi
tentu saja, bila ia ketahuan melewati pagar dan masuk ke halaman rumah
itu, ia pasti dikeluarkan dari sekolah. Untung saja soal membanting
pintu di depan Bu Lia tidak dipersoalkan. Ia dipanggil lagi, dinasehati,
dan disuruh menulis, "Saya tidak akan melanggar peraturan sekolah lagi
dan kurang ajar pada guru." seratus lembar plus tanda tangan di setiap
halaman. Untung Tiny dan Wenny bisa meniru tulisan Sheila jadi Sheila
tidak terlalu capek.
Dilihatnya kakek itu mengangkat kayu bakar satu tumpukan penuh. Untuk
apa? Di jaman modern memang masih ada orang pakai kayu bakar untuk
memasak? Ah.... Tolol sekali aku! Runtuk Sheila. Tentu saja kayu bakar
itu untuk perapian di ruang tamu. Yang dilihatnya waktu ia mengintip
pria itu main piano.
Tinggal di rumah itu enak juga ya? Batinnya. Bisa lepas dari kehidupan
dunia luar, hidup terpencil dan terisolasi. Menanam ubi dan singkong di
kebun, kalau lapar tinggal mencabut dan merebusnya. Waktu di rumah
Haryanto, Sheila kerap diminta membuat biji salak, kue bola, talam
santan, semuanya dari bahan dasar ubi. Tentunya enak jika.......
Dilihatnya kakek itu terjatuh tumpukan kayu yang dibawanya berantakan di
tanah. Tanpa pikir panjang Sheila berlari ke rumah itu, melompati pagar
dan memapah kakek itu berdiri. Ketika didengarnya geraman anjing baru
disadarinya ada anjing galak di sana.
"Boy...!!! Diam..." perintah sang Kakek.
Anjing itu menurut.
"Terima kasih." kata kakek itu pada Sheila.
Sheila melepaskan tangan kakek dan memunguti kayu bakar yang berserakan.
"Kamu kenapa kemari lagi...?" tanya kakek itu, tapi kini nada suaranya
terdengar ramah.
"Eh, aku tadi duduk-duduk si sana."Sheila menunjuk tempat ia tadi duduk,
" lalu aku lihat kakek jatuh jadi aku lari kemari."
"Tidak takut anjing?"
"Tadi sih tidak terpikir tapi sebenarnya aku takut anjing." kakek itu
tersenyum. "Boy cuma senang menggonggong. Tukang gertak. Tapi kalau
tidak ada aku, kau pasti digigit."
"Digigit mungkin tidak separah dikejar, waktu dikejar jantungku hampir
copot."
"Siapa namamu...?"
"Sheila..."
"kau sekolah di asrama itu kan? Kelas berapa?"
"satu"
"Sudah tujuh belas tahun aku tinggal di sini. Selama ini tidak ada anak
yang berani ke sini. Apa kau tidak takut padaku?"
"takut kenapa?"
"kata orang mukaku jelek mirip hantu . Maka beredar kabar burung kalau
rumah ini berhantu."
Sheila tertawa."Muka kakek tidak jelek, cume kelihatan tua."
"Itu sih aku tahu." kata kakek sambil tertawa. Gadis ini lucu juga, dan
berani. Pikirnya.
Sheila teringat pada Ratna yang berwajah cantik, Renny, juga Reza yg
berwajah tampan. "Terus terang Kek. Aku sering bertemu dengan orang yang
berwajah cantik dan tampan, tapi hatinya busuk. Jadi lebih baik orang
berwajah buruk tapi baik hatinya."
"Kata siapa aku baik?"
"Siapa yang bilang kakek berwajah buruk tapi berhati baik?"
Kakek tertawa lagi, "kau pintar omong."
"Tapi aku tahu kakek baik, karena waktu aku jatuh tempo hari kakek
memberiku perban dan plester untuk membalut lukaku."
Kakek tertawa kemudian ia berhenti dan berkata, "Namaku Eman tidak ada
yang memanggilku kakek karena aku tidak punya cucu. Sekarang aku sadar
aku sudah tua, sudah pantas punya cucu. Baiklah aku menganggapmu sebagai
cucuku. Sebenarnya aku juga ingin mengajakmu kedalam, dingin-dingi
begini minum teh panas pasti enak. Tapi...."
"Apakah Omm yang di dalam tidak memperbolehkan ada orang yang masuk ke
sini.?"
Eman tidak menjawab. Ia cuma berkata. "Sebaiknya kau kembali ke asrama,
lain kali kalau ada kesempatan kita bisa bertemu lagi."
"Aku akan sering kemari Kek."
"Jangan!" cegah kakek Eman. "Jangan ke sini lagi nanti aku dimarahi."
Sheila merengut kecewa. " Ya sudah aku akan duduk di sana bersama
teman-temanku kalau kakek melihatku, kakek lambaikan tangan. Kalau aku
yang lebih dulu melihat kakek aku akan melambaikan tangan."
Eman tersenyum, "Baiklah kalau aku keluar rumah aku akan sering-sering
menengok ke sana."
Sheila pun melompati pagar dan pergi dari rumah itu. Eman memperhatikan
gadis itu semakin menjauh. Seumur hidupnya belum ada yang bilang ia
baik. Seumur hidup belum ada yang mau membantunya begitu tulus selain
majikannya. Orang-orang takut pada Eman yang buruk, bopengan.. Mereka
memanggilnya Si Bopeng dan tidak memperlakukannya seperti manusia. Gadis
itu baik, pikir Eman.
Sepeninggal Sheila, terdengar suara dari dalam rumah, "Eman...!!!"
"Ya, Tuan!" Eman bergegas masuk.
BAB 5
SETELAH peristiwa terbakarnya Lab dan mengintip rumah di belakang asrama
itu, Sheila dibenci guru-guru. Kalau sebelumnya sikap mereka segan dan
berusaha menghindarinya, kali ini mereka menganggapnya "Si Pembuat
Onar." Untuk setiap kesalahan yang dituduh Sheila duluan. Ini tentu
membuat Sheila merasa diperlakukan tidak adil.
Saat pagi-pagi ada tulisan "Pak Teguh Pak Tua tukang tidur." di papan
tulis di kelas Sheila, Pak Teguh langsung menghardik, "Sheila, apa-apaan
kamu nulis begini?"
Sheila yang tadinya cuma ikut tertawa jadi kesal. Sebenarnya yang nulis
adalah Linda, temannya yang jail. Setelah ketahuan yg nulis bukan
Sheila, sepatah kata maaf pun tak diucapkan Pak Teguh.
Ketika Bu Emmy sedang menuliskan catatan perubahan bentuk lampu
Irregular verbs, ada seorang murid yang iseng menimpuk gumpalan kertas,
Bu Emmy langsung menghampiri Sheila, dan memeriksa laci mejanya apakah
ada gumpalan kertas lain. Sheila tentu capek memberi tahu bahwa itu ulah
Indah , yang sedang timpuk-timpukan kertas dengan Tiwik. Akhirnya
Sheila diam saja dan membiarkan Bu Emmy mencari sendiru siapa pelakunya.
Memang ini membuat hati Sheila lelah. Tapi ia membiarkannya saja.
Lama-lama ia kebal dan menerima kenyataan sulit sekali melepaskan
predikat "Anak Pembunuh."
Satu hal yang menyita perhatiannya saat ini adalah Indah. Gadis itu
membencinya tanpa sebab. Pelototan dan dengusan hidung tiap kali ia
lewat, Sheila masih bisa mengabaikannya. Tapi semakin lama sikap anak
itu semakin sengak. Ia bergosip dengan anak-anak sekelas bahwa Sheila
mantan anak jalanan yang berprofesi sebagai perek alias perempuan
eksperimen yang bersedia dikencani dengan imbalan uang. Gosipnya semakin
lama semakin dahsyat. Kata Indah setiap malam Minggu Sheila selalu
keluar menjajakan diri untuk pria hidung belang di vila-vila.
Jelas saja Sheila marah karena itu tidak benar, tapi ia belum mendapat
momen yang tepat unuk melabrak Indah. Sayangnya teman-temannya percaya
saja. Akibatnya semua teman menjauhi Sheila. Teman Sheila tinggal Tini
dan Wenny. Sheila tak peduli dengan teman-temannya yang lain, ia tahu
yang tulus padanya cuma dua orang itu. Ia pernah mengalami masa tak
punya teman sama sekali. Kali ini masih ada teman, itu sudah cukup
untuknya. Lagi pula ada Pak Alex.
Suatu hari saat Sheila sedang mengobrol dengan Pak Alex, di ruang makan,
Pak Alex melihat ada kertas yang ditempel di punggung Sheila.
"Apa ini Sheila....?" tanya Pak Alex sambil menarik kertas itu dan
memberikannya pada Sheila.
Sheila membaca tulisan di kertas itu.
PEREK____GOCENG/JAM. Hati Sheila panas. Sejak tadi di belakangnya lalu
lalang beberapa para siswa. Mereka mengitari tempat ia duduk bersama Pak
Alex dan melontarkan tatapan sinis. Tadi Indah juga lewat, pasti ini
ulahnya.
"Siapa yang iseng padamu...?" tanya Alex.
Sheila cepat-cepat meremas kertas menjadi gumpalan-gumpalan kecil
"Biasa, pak. Teman."
"Kok bercandanya begitu..?" ucap Alex dengan wajah tak setuju.
"Saya....hmm.... Permisi dulu pak."
Sheila langsung berlari dari ruang makan untuk mencari Indah. Ia tahu
tempat nongkrong anak itu. Biasanya Indah duduk di bangku taman bersama
gengnya.: Linda, Tiwik, dan Donna.
Benar saja, keempat gadis itu sedang mengobrol sambil tertawa-tawa.
Sheila ragu. Mungkin saja ini bukan ulah Indah, melainkan ulah temannya
yang lain. Ia tak lekas menghampiri Indah.
"....... Pasti Pak Alex baca tuh, Ndah, tulisannya gede-gede gitu'" kata
Tiwik sambil cekikikan.
"Iya... Lah. Aku sengaja biar tuh anak tahu rasa, dan Pak Alex nggak
lagi deket sama dia."
Linda menyela, "Emangnya kenapa sih, kok kamu begitu bencinya cuma
gara-gara Pak Alex? Dia kan guru, Ndah. Nggak mungkin dia jadi pacar
murid."
"Aku benci aja sama sikapnya, sok menjilat Pak Alex. Dia pikir dia
kembang di kelas kita?"
"Emang sih lagaknya sengak gitu, sok cakep. Kalau lewat nggak pernah
melirik barang sebelah mata. Yang diperhatikannya cuma taman-temannya
doang. Tini dan Wenny."
"Mentang-mentang dari jakarta lagaknya udah kaya artis aja. Kaya
kecakepan!"
"Tapi sebentar lagi dia pasti tahu rasa. Teman-teman sekelas udah pada
kemakan gosip yang kamu sebarin, Ndah. Mereka bilang mau melapor ke Bu
Lia biar dia dikeluarin dari sekolah."
Tangan Sheila mengepal. Air matanya merembas keluar.
"Nggak kasihan, Ndah.?"
"Biarin aja! Anak kayak gitu sekali-kali mesti dikasih pelajaran!"
Tiba-tiba entah apa yang mampir di kepalanya, tubuh Sheila mendadak maju
menyerang Indah. Teman-teman Indah serentak menjerit. Sheila mendorong
tubuh Indah ke tanah, menjambaki rambutnya lalu menampari wajahnya.
Indah yang pertama-tama kaget tidak dapat melawan. Tubuh Sheila kini
sudah lenih tinggi. Tapi perawakannya masih kurus. Sedangkan tubuh Indah
besar dan tinggi. Jelas tenaganya lebih kuat.
Sebentar saja keadaan berbalik. Tubuh Sheila yang dijatuhkan ke tanah,
rambutnya dijambak dan wajahnya ditampari Indah.
Siswa yang berkerumun untuk melihat semakin banyak, dan beberapa anak
berinisiatif memanggil guru.
Sheila yang terpojok merasa tubuhnya kesakitan jarena dihimpit tubuh
Indah yang besar , dan rambutnya yang dijambak seakan mau lepas dari
kulit kepalanya. Tatapannya berkunang-kunang. Tangannya meraih apa saja
yang ada di dekatnya kebetulan di taman sedang dibangun pondokan dari
kayu. Sisa kayu yang tak terpakai berserakan begitu saja di rumput
taman. Sheila mengambil salah satunya kebetulan yang terambil oleh
tangannya adalah kayu yang berukuran besar.
"Dasar anak pembunuh. Bapakmu membunuh istrinya sendiri, jadi apa
anaknya?" teriak Indah sambil terus menampar.
Sheila gelap mata. Dengan sisa kekuatannya didorongnya tubuh indah dan
ia bangkit berdiri. Ia kemudian menghantam kepala Indah dengan sekuat
tenaga. Kali ini, Indah pingsan seketika dengan wajah bermandi darah.
Terdengar jeritan ketakutan dari para siswa yang berkerumun. Sheila
menatap tubuh Indah yang terkapar dengan nanar. Dahi Indah berdarah.
Sama seperi Reza dulu.
Sheila menatap kayu yang dipegangnya. Dilihatnya ada bercak darah di
kayu itu. Sheila melemparkan kayu itu seakan benda itu yang membuatnya
berbuat demikian.
Apa yang merasukinya? Apa ia benar-benar mewarisi darah pembunuh dari
ayahnya?
Tiba-tiba terdengar suara. "Ada apa ini? YA AMPUUUUNNNN....!!!!"
Sebelumnya jeritan teman-temannya membuat telinga Sheila berdengung dan
tak dapat mendengar apa-apa. Tapi teriakan Bu Lia langsung masuk ke
telinganya, membuatnya mundur beberapa langkah.
"Pak Teguh! Cepat telepon Ambulans! Bu Susan cepat telepon polisi!" seru
Bu Lia.
Mendengar 'Telepon polisi', Sheila ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi
ia langsung lari sekencang-kencangnya menyeruak kerumunan murid yang
menonton.
"Hei.. Jangan lari! Tangkap dia..!!"
Kaki Sheila berlari secepat mungkin. Ia tak tahu kemana tujuannya,
pokoknya ia tak mau ditangkap polisi. Ia tak mau dipenjara sepeti
ayahnya. Ia mesti kabur. Kemana saja.
Dan kakinya membawa ke rumah belakang asrama. Tanpa pikir panjang lagi,
ia melompati pagar dan masuk ke dalamnya.
Bram membuka tutup piano dan duduk di hadapannya. Tapi ia tak ingin
main. Ditutupnya lagi piano itu. Ia sudah menyelesaikan 105 halaman
novel detektif yang dibuatnya. Tinggal beberapa puluh halaman lagi
tuntas. Tapi ia bosan. Kalau sedang mandek seperti ini, moodnya hilang.
Lebih baik ia melakukan hal lain dari pada memhuat jovel yang hasilnya
jelek.
Sudah enam belas tahun ia menjadi novelis. Mula-mula pekerjaan ini
ditekuninya karena iseng, tapi lama-lama jadi suka. Mula-mula terasa
berat, apalagi jika idenya sedang mampet, tapi lama-lama jadi terbiasa.
Mula-mula ia ragu, bisakah ini menjadi profesi, tapi banyak surat
penggemar masuk melalui E-mail. Mereka bilang suka membaca novelnya,
rerinspirasi karena membaca novelnya. Lama-lama Bram jatuh cinta pada
profesinya ini.
Kalau ditelaah, novelis sebenarnya bukan profesi yang menjadi
cita-citanya. Dulu Bram pemain piano profesional, juga seorang aktor.
Karena ketampananya, wajahnya laku di film-film remaja tahun 80-an, dan
menjadi bintang iklan puluhan produk. Karena sibuk menjadi aktor,
profesi pianis ditinggalkannya, bermain piano hanya menjadi batu
loncatan. Lebih banyak dapet uang dari film atau iklan ketimbang main
piano.
Karier selama lima tahun yang dirintisnya tanpa susah payah, yang
melambungkannya ke puncak ketenaran, tiba-tiba hancur begitu saja ketika
ia mengalami kecelakaan enam belas tahun lalu. Mobil yang ditumpanginya
terbalik di jalan tol dan kaki kanannya terjepit pintu. Pipi kirinya
tertancap pecahan kaca mobil. Nyawanya selamat, tapi jiwanya tidak.
Saat sadar kakinya lumpuh sebelah, jalannya akan timpang, dan wajahnya
cacat, ia tak ingin hidup lagi. Keluarga dan teman yang menghiburnya tak
diindahkannya. Mereka semua cuma pengin numpang ngetop lewat
pemberitaan kecelakaan dan kondisi terakhirnya. Karena depresi, Bram
mencoba bunuh diri dengan menelan semua obat yang diberikan dokter
padanya, tapi nyawanya terselamatkan. Sejak bereda diantara hidup dan
mati itu, ia tak berani lagi bunuh diri. Ia memutuskan tetap hidup, tapi
memilih mengasingkan diri dari dunia luar.
Keluarganya mempunyai sebuah yayasan sosial di daerah ciloto, dibangun
oleh kakek buyutnya pada tahun 1938. Setelah kakek buyutnya meninggal
dunia, rumahnya kemudian digunakan sebagai mess guru. Rumah itulah yang
didiami Bram sekarang. Sejak itu, guru-guru tinggal di asrama tempat
tinggal anak-anak murid. Mereka melindungi Bram, dengan melarang murid
memasuki pekarangan dan tempat tinggalnya. Salah satu guru yang masih
bekerja sampai sekarang adalah Bu Lia yang menjabat sebagai kepala
sekolah saat ini. Bram merasa aman di situ, tidak ada yang
mengganggunya, baik masyarakat luas maupun keluarga. Perlahan-lahan
namanya pun tenggelam dan orang tak lagi mengenalnya. Nama Abraham
Mukti, aktor terkenal tahun delapan puluhan , lenyap begitu saja seperti
ditelan bumi. Dan tak ada yang menduga Bram Budiman yang novelnya sudah
berjumlah puluhan jilid, penulis detektif yabg terkenal itu, adalah
Abraham Mukti yang telah bertrasformasi.
Sejak kecelakaan itu, Bram merasa hidupnya sudah berakhir. Kini
keinginan satu-satunya adalah tetap eksis menjadi novelis sampai akhir
hayatnya.
Sebenarnya cacat di pipinya bisa dioprasi agar bekasnya tak terlalu
mengerikan, tapi Bram tak mau.
Sudah cukup penderitaannya masuk rumah sakit dan diekspos oleh nyamuk
pers. Ia tak mau menjalani pengobatan apapun. Lagi pula, seandainya
wajahnya dioprasi dan kembali seperti semula, kakinya tetap saja lumpuh.
Jalannya tetap saja pincang dan ia harus memakai bantuan tongkat. Ia
tak lagi bisa mengahadapi siapapun dalam keadaan seperti itu.
Ayahnya sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Saat itu Bram juga
tak datang ke pemakaman, hanya memberikan doa dari jauh. Ibunya datang
tiga bulan sekali, karena Bram menampakkan sifat tertutup dan
menyalahkan. Seolah salah ibunya sampai keadaannya menjadi seperti ini.
Tapi itu memang tipikal orang yang menjadi cacat. Mereka tidak bisa
kembali utuh, dan sebagai kompesasinya mereka menyalahkan orang di
sekitarnya.
Adik perempuan Bram pernah datang menemuinya, barsama suami dan dua
anaknya, tapi Bram mengusirnya, tak mau menerimanya. Sejak itu adiknya
tak pernah datang lagi.
Cuma Eman satu-satunya orang yang mau ditemuinya. Pembantu tua itu
mantan pesuruh sekolah yang konon sempat melihat kakek buyut Bram di
tahun-tahun akhir kehidupnya. Dulu Eman sibuk mengurus mess guru, dan
setelah Bram pindah ke situ, Emab melayani Bram saja. Eman yang memasak,
membersihkan rumah, mencuci, menanam sayur di kebun, belanja ke pasar,
dan mengurus anjing, Boy adalah generasi ke tiga dari anjing yang
dipelihara Bram selama enam belas tahun itu. Anjing diperlukannya untuk
membuat orang-orang yang ingin masuk ke rumahnya menjadi enggan.
Kebanyakan orang takut anjing, dan herder adalah salah satu anjing yang
ditakuti.
Satu hal yang belakangan ini mengganggu pikirannya adalah , semakin lama
usianya semakin tua. Sekarang ia sudah 36 tahun . Usia Eman 65, tidak
ada yang tahu sampai kapan pembantunya itu bisa melayaninya. Ia
menyadari ia membutuhkan Eman lebih dari yang dikiranya. Tanpa Eman ia
tak punya tameng untuk mengisolasi kehidupannya dari luar. Mungkin sudah
waktunya ia memikirkan pengganti Eman. Pria itu sudah sakit-sakitan,
belakangan ini batuknya sering terdengar kala cuaca betambah dingin.
Lagian kasihan juga, berulang kali Eman terjatuh karena membawa barang
berat. Tapi kalau diberhentikan sekarang pasti Eman tidak mau. Pria itu
pernah berkata pada Bram bahwa dia akan mengabdi pada Bram seumur
hidupnya Bram pun pasrah, walau ia takut Eman akan mati di rumah ini. Ia
akan tinggal sendirian, dan walau terbiasa, sebenarnya kesendirian ini
menakutkannya.
Ibunya pernah bilang sebaiknya ia menikah saja. Wajahnya tdk buruk untuk
ukuran pria. Apalagi ia punya harta dan profesi. Sambil menutup mata
pun Akan banyak wanita yang setuju
"Lagian kau bukannya lumpuh, Bram!! Kau mesih bisa berjalan! Dan lihat
wajahmu masih tampan."
Kalau ibunya bicara seperti itu, Bram pasti marah. Padahal ucapan itu
ada benarnya. Tapi tak ada hal apa pun Yang bisa mengembalikan seorang
Bram menjadi Abraham Mukti yang dulu! Nama besar Bram Budiman pun tidak.
Ia cuma Bram yang cacat, dan tidak bisa kembali seperti dulu. Lagi pula
ia tak berminat mencari istri.
Ibunya berkata begitu pasti untuk menghiburnya, supaya akhirnya ia
setuju untuk menikah. Dengan begitu nama keluarga mereka akan diteruskan
olah anak laki-lakinya, dan ibu bisa tenang menghadapi ayah di alam
baka. Tidak, Bram benci ibunya dengan alasan yang tidak jelas. Pokoknya
ia tak mau menyenangkan satu orang pun.. Semua orang dibencinya dan
tidak ada satu orang pun yang boleh bahagia. Akan ditariknya semua orang
ikut dalam kejatuhannya.
Sifat Bram berubah menjadi tetutup, egois, pendiam, pemurung, dan
negatif thinking. Di rumah ini tidak ada televisi. Eman pun dilarang
menyalakan radio. Eman cuma boleh menyetel kaset. Bram tak pernah
membaca koran, apalagi berlangganan. Eman yang sering membaca koran,
tapi koran itu tak pernah tergeletak sehingga bisa dilihat Bram. Eman
membaca di kamarnya sendiri.
Bram hidup di dunianya sendiri, dunia yang tak pernah tersentuh
kehidupan dunia raya, dunia yang mirip dunia novel yang dibuatnya, tak
tekontaminasi berita-berita masa kini.
Bram tak tahu mengapa ia begitu, tapi langkah itu diambilnya setelah ia
mendengar berita tentang aktor muda yang baru muncul dan hal itu
menimbulkan kepedihan di hatinya. Bila ia mengganti chanel televisi, ia
akan melihat sinetron terbaru dan teringat dunia film yang tak mungkin
dikunjungi lagi. Bahkan berita kelaparan yg terjadi di Afrika pun
membuat hatinya kesal, karena mengingatkannya bahwa Tuhan telah
menciptakan begitu banyak kesedihan di dunia ini.
Braaakk....!!!!
Suara keras itu membuat Bram tersentak. Ia menoleh ke jendela dan
melihat keluar. Dihihatnya seorang gadis kurus berambut panjang terjatuh
di bagian dalam pagarnya. Ia mengenali gadis itu sebagai gadis yang
tempo hari masuk ke rumahnya dan mengobrol dg Eman. Mungkin juga gadis
yang mengintip pada saat ia main piano waktu itu ia tak sempat melihat
wajahnya. Bram merasa kesal mengapa ada anak murid seperti ini,
terus-terusan mengganggunya? Ini tak pernah terjadi sejak dua belas
tahun lalu, ketika seorang murid ke sini untuk memetik bunga matahari
yang ditanamnya. Anak itu digigit oleh Dobby, anjing yang sekarang sudah
mati. Anak itu lalu dihukum olah Bu Lia. Dan sejak itu Bram memerintah
Eman untuk tdk menanam bunga yg terlalu bagus. Cukup bugenvil dan bunga
rumput.
Bram buru-buru masuk ke kamar. Ia tak mau gadis itu melihatnya.
Paling-paling sebentar lagi Eman mengusirnya. Eman sedah tahu majikannya
tak suka hal seperti ini.
"Sheila!" panggil Eman terkejut. "Kenapa kakimu?"
Gadis itu terpincang-pincang menghampiri Eman. "Tolong sembunyikan saya,
Kek. Saya mau ditangkap polisi?"
"Ditangkap polisi? Memang ada apa?"
Tapi Sheila tiba-tiba terkulai pingsan dan jatuh menimpa Eman. Buru-buru
Eman memapahnya masuk ke rumah.
"Tuan! Tuan Bram!" serunya.
Bram keluar dan melihat Eman memapah gadis itu. Bram segera membantu
membaringkan Sheila di sofa ruang tamu.
"Siapa dia? Kenapa dia?" tanya Bram.
"Saya tidak tahu, Tuan. Kelihatannya murid dari asrama."
"Kenapa pingsan?"
"Tahu-tahu dia pingsan di depan,Tuan. Mungkin karena ketakutan. Dia
bilang dia mau ditangkap polisi, makanya dia minta tolong pada saya."
"Kenapa minta tolong sama kamu? Memang kamu kenal dia?"
Eman tersipu-sipu. "Kami sudah bertemu beberapa kali, Tuan. Ini....
Sudah pertemuan ketiga.
Anaknya baik, Tuan. Dia pernah menolong saya pada saat saya jatuh....."
"Sudah saya bilang tidak boleh ada yang datang kemari!" hardik Bram.
Eman langsung diam. "Setelah dia sadar, kamu harus mengusirnya pergi!"
Bram lalu menyuruh Eman melepaskan sepatu Sheila dan membuatkan teh,
semetara itu ia memijat kaki gadis itu untuk melancarkan peredaran
darah.
Sheila merasakan sentuhan pada kakinya. Ia membuka mata dan ia melihat
tempat yang tidak dikenalnya. Ia sedang berbaring di sofa, dan seorang
pria sedang memegang kakinya. Ia pun melompat dari sofa.
"Kau mau apa?" tanyanya garang untuk menutupi rasa takutnya. Tapi
kumudian ia melihat pria itu lebih jelas. Pria di hadapannya itu tampan,
dan bertubuh kekar. Wajahnya memang tampan,
tapi.... Di pipi kirinya ada bekas luka yang cukup mengganggu
pemandangan. Sheila kemudian berseru. "Oh.... Kau pria yang main piano
itu.!"
Bram memandang gadis di hadapannya dg jengkel. Sudah masuk rumahnya
tanpa izin, menuduh dirinya hendak mengapa- apakan dia, ternyata anak
ini juga yg mengintipnya main piano. Bram berdiri dan mengambil
tongkatnya, lalu dengan langkah tertatih-tatih, tapi cukup gesit, ia
masuk ke kamarnya. Biar saja Eman yang mengurus semuanya, batinnya.
Sheila menatap kaki pria itu dengan terkejut. Kakinya..... Ternyata pria
itu timpang! Sayang
sekali, mungkin itu sebabnya ia mengucilkan diri di sini. Tapi......
"Tunggu, Omm. Mau kemana?"
Bram berhenti melangkah. Serta-merta ia merasa dirinya sangat tua. Ya
benar gadis itu memang pantas memanggilnya "OMM" .Gadis itu masih SMA,
pasti usianya belasan tahun. Sedangkan ia sudah 36 tahun. Mengapa ia
tidak merasa dirinya sudah tua? Pastilah karena ia jarang bertemu orang
selama belasan tahun ini. Sekarang ia sadar, mengucilkan diri tidak akan
mengubah kenyataan bahwa ia sudah pantas memiliki ponakan sebesar gadis
itu.
"Kalau perlu apa-apa panggil Eman saja. Kalau sudah baikan kembalilah ke
asrama. Apakah kau tak tahu kalau aku tak suka menerima tamu?"
"Aku tidak mau balik ke asrama!" seru gadis itu. Ia buru-buru
menghampiri Bram dan menatapnya dengan pandangan memohon. "Tolong saya,
Omm. Mereka akan menjebloskan saya ke penjara."
"Kenapa?"
Sheila menunduk dan menjawab ragu "Saya.... Saya memukul teman saya
hingga berdarah. Saya tidak tahu saat ini ia masih hidup apa tidak."
"Kenapa kamu melakukan itu?"
"Eh..." Sheila teringat perasaan yang muncul begitu tiba-tiba dalam
hatinya waktu ia memutuskan menghantam Indah dg balok kayu itu, sama
persis ketika ia ingin memukul Renny dg botol beling. "Saya tidak tahu."
"Kenapa kamu berpikir kalau saya akan membantu orang yang bersalah
seperti kamu?"
"Kelihatannya Oom berhati baik. Saya tahu itu. Tolong sembunyikan saya,
Oom. Mereka pasti mengejar saya kemari."
"Kenapa kamu berpikir kalau mereka akan mengejar kemari?"
"Ini tempat terdekat dari asrama. Lagi pula.... Saya rasa Oom punya
hubungan dengan Bu Lia."
Bram tediam. Ia mengamati wajah muda di depannya. Gadis bertubuh kurus
ini pasti usianya tidak lebih dari tujuh belas tahun. Wajahnya begitu
belia dan omongannya sembrono, tapi Bram bisa menarik kesimpulan bahwa
otaknya cerdas.
"Saya tidak akan menyembunyikan orang yang bersalah di rumah saya."
mendengar itu Sheila mengeluh kecewa. "… tapi saya akan lihat apa yang
bisa bantu sebisa saya." senyum Sheila mengembang.
"Makasih Oom."
"Panggil saja saya Bram."
"Makasih Oom Bram."
"Bram."
"Oh, iya Bram." ulang Sheila. Ia berpikir tentu pria ini tidak mau
dipanggil 'Oom' olehnya karena masuh muda. Berapa usianya kira-kira? Ia
menebak kira-kira tiga puluh tahun lebih . Berapa lebihnya?
Eman muncul dari dapur dengan membawa secangkir teh manis. Ia tersenyum
melihat Sheila sudah siuman. Gadis itu balas tersenyum, walau wajahnya
jelas terbias pucat.
TOK! TOK! TOK!
Sheila langsung melompat mendengar ketukan di pintu. Ia berembunyi di
belakang tubuh Bram.
"Man, buka pintunya." suruh Bram.
Eman buru-buru membuka pintu. Dua orang wanita masuk. Sheila
mengenalinya sebagai Bu Lia dan bu Susan, gurunya.
Buru- buru ia bersembunyi lagi di belakang tubuh Bram.
Bu Lia angkat bicara. "Ma..... Maaf kami datang kemari Pak Bram. Tapi
kami....."
"Silahkan duduk." ucap Bram tegas. Kedua guru itu langsung duduk di
sofa. Sheila membatin, kenapa gurunya bisa begitu hormat pada Bram?
"Kami mencari gadis itu." tunjuk Bu Lia pada Sheila.
"Saya tahu ia memukul temannya hingga berdarah, kan? Sekarang bagaiman
keadaan temannya?"
Susan memandang pria di depanya dengan terpesona. Sudah lama ia
mendengar cerita mengenai Bram dari Bu Lia, tapi baru kali ini ia
melihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia sudah tahu mengapa pria itu
mengucilkan diri, tapi kini ia ragu kenapa alasannya. Bram merupakan
salah satu pria tertampan yang pernah dilihatnya. Mengapa cacat di
wajahnya dan ketimpangannya mengganggu batinya hingga ia hidup
terisolasi?
"Keadaanya. . Ia sudah sadar... Tapi.."
"Berati ia tidak mati. Apakah ia gagar otak?"
"Tadi ia sudah sadar, dan kelihatannya tidak...."
"Berarti ia tidak gagar otak, apa lukanya parah?"
Bu lia terdiam. Bram terkesan membela Sheila, dan hal ini membuatnya
bingung. Mengapa hanya karena urusan gadis yang melanggar peraturan ini,
Bram rela menemani 'Orang luar' dan bukan pembantunya? Begitu
pentingkah gadis ini? Menurut Bu Lia tidak. Dia tahu betul, Bram tidak
mungkin tertarik pada anak ingusan ini.
"Tidak."
"Kalau tidak saya harap ibu bisa memaafkan kesalahan Sheila."
Bu Lia terdiam. Masalah Sheila semakin meresahkannya. Kalau dibiarkan
tentu kelakuannya semakin menjadi-jadi. Dan Sheila masih bersekolah lama
di tempat ini. Kalau dari sekarang tidak dibina.....
"Saya berjanji tidak akan mengeluarkannya dari sekolah. Tapi dia tetap
harus dihukum atas kesalahan yang diperbuatnya." ujar Bu Lia tegas.
Bram menoleh pada Sheila, "Bagaimana? Sudah cukup adil kan, Shaila?"
Tiba-tiba Sheila berlutut dan memeluk lutut Bram, "Tidak! Saya tidak mau
kembali ke sana! Saya tidak mau kembali ke asrama!"
Bram mengerutkan keningnya, "Kalau kau tidak mau kembali ke asrama
berarti kau mau di keluarkan?"
"Tidak! Saya tidak bisa kembali ke asrama, bila dikeluarkan pun saya
tidak punya tempat untuk pergi! Izinkan saya tetap tinggal di sini!"
isaknya.
"APA???!" Seru Bram, Bu Lia, dan Susan bebarengan.
Susan yang dari tadi diam saja angkat bicara, "Sheila kenapa kau tak mau
kembali ke asrama? Kamu tahu kami tidak mungkin berbuat sesuatu yang
buruk terhadapmu, kan?"
Sheila memandang Susan, seingatnya guru itu tidak pernah peduli
terhadapnya. Sementara guru yang lain membenci dan memvonisnya sebagai
"pembuat onar" Susan selalu menganggapnya tak ada, tak berharga, tak
eksis.
"Aku nggak mau kembali."
"Tapi kau tak bisa menyusahkan Pak Bram, tahu kah kau beliau siapa?"
Sheila teringat perlakuan guru-gurunya terhadapnya sejak ia tiba di
tempat itu. Mereka dan Ratna setali tiga uang.
"Dia orang baik, kalian jahat padaku!"
"Sheila dia pemilik sekolah Mutiara Bunda!" seru Susan.
Sheila terkejut mendengarnya, ia menatap Bram, lalu bergantian menatap
Bu Lia dan Susan. "Baik, aku tinggal saja di sini. Walaupun jadi
pembantu tidak apa-apa!"
Susan menatap Bu Lia, lalu berusaha membujuk Sheila lagi, "Sheila kalau
masih bisa melanjutkan sekolah, kenapa kau ingin menjadi pembantu?"
"Aku tidak mau sekolah lagi, aku mau tinggal di sini saja." serunya
keras kepala.
Bu Lia ikut membujuk, "Tapikan kau punya teman di asrama, siapa namanya?
Ti....."
Sheila tertawa sinis, "Jangan pura-pura perhatian, Bu Lia. Kalaupun saya
tidak diizinkan tinggal di sini, biarpun tidak ada tempat untuk pergi
saya akan tetap keluar dari sekolah itu!"
Bu Lia memandang Bram seolah meminta bantuan.
"Sheila ...." panggilnya lembut, "Kembalilah ke sana. Di sini saya tidak
memerlukan pembantu, sudah ada Eman."
Sheila menatap Bram, "Tapi Oom… eh, Bram..... Kakek Eman kan sudah tua.
Waktu itu ia membawa setumpukan kayu bakar dan terjatuh. Kalau tidak ada
aku, mungkin ia sulit bangun sendiri. Coba pikirkan, dari pada aku
menggelandang di jalan, lebih baik aku di sini, aku dapat pekerjaan, dan
kau dapat pembantu!"
Sedari tadi Eman mondar-mandir lewat ruang tamu itu, berlagak menaruh
minum untuk tamu, bolak-balik mengambil ini, menaruh itu, padahal ia
cuma ingin menguping.
"Di jakarta aku juga dijadikan pembantu olah tante Ratna. Padahal
suaminya yang menjadi walinya begitu baik. Dan aku sudah tidak tahan
lagi tinggal di rumahnya sampai aku sudah tujuh belas tahun, sampai aku
sudah dianggap dewasa...."
Bu Lia tersentak kaget, "Sheila jangan menjelek-jelekan tantemu yang
begitu baik..."
Sheila tidak peduli, ia melanjutkan, " Mereka bilang aku tidak boleh
hidup sendiri sebelum aku dianggap dewasa. Tapi aku malah dijadikan
pembantu. Lebih baik aku di sini. Kau mau memberiku gaji, kan?"
"Tentu saja." Bram teringat, "Tapi bukan itu masalahnya, aku ingin
bertanya...."
"Sama saja. Selama ini aku sering melakukan tugas rumah tangga. Semuanya
tidak sulit. Aku lebih baik bekerja gratis di sini dari pada
dipekerjakan olah orang yang menganggap dirinya telah berbuat baik,
padahal sebaliknya."
Sekarang Bram ingat apa yang ingin ditanyakannya. "Memangnya orangtuamu
di mana?"
Tanpa diminta Susan menjawab, " Ayahnya dipenjara karena membunuh
ibunya."
Sekarang ruang tamu itu hening. Tak ada yang berbicara, bahkan Sheila
memandang kedua gurunya dengan penuh kebencian, tapi tak berkata
apa-apa.
"Nah, Bram kau lihatkan? Aku rasa bekerja untuk orang baik sepertimu
jauh lebih baik dari pada di asrama, rumah tanteku, atau tempat lain
dimana pun. Mereka tidak memandang sebelah mata pada anak seorang
pembunuh. Terlebih anak dari seorang suami yang membunuh istrinya." kata
Sheila sinis. Suaranya bergetar, napasnya memburu, matanya
berkaca-kaca.
Eman menyela, "Saya butuh orang untuk membantu saya, Tuan."
Semua menoleh padanya.
"Saya sudah tua dan sakit-sakitan, dan saya rasa Sheila sangat cocok
membantu di sini."
Bram terdiam, berpikir sejenak lalu berbicara, " Saya rasa untuk
sementara ini saya akan menampung Sheila di sini."
Bu Lia dan Susan ternganga.
BAB 6
AKHIRNYA Bram memutuskan Sheila akan tinggal di rumahnya, sebagai
pembantu yg digaji sesuai standar yang berlaku. Tapi status Sheila tetap
murid SMA Mutiara Bunda, jadi gadis itu belajar sendiri dan mengikuti
setiap ulangan dan ujian yang diadakan sekolah. Bedanya ia tidak belajar
di kelas bersama teman-temannya di kelas. Bram khusus meminta Bu Susan
datang ke rumahnya setiap akhir minggu untuk memberikan soal ulangan
untuk Sheila. Awalnya Bu Lia tidak setuju, tapi karena Bram bersikeras,
akhirnya Bu Lia menyerah dg berat hati.
Tidak jelas alasan Bram mengizinkan Sheila tinggal di situ. Ia pun
bertanya-tanya kenapa ia menyetujui keinginan Sheila. Lalu diingatnya,
hatinya tergerak saat Bu Lia kengucapkan latar belakang Sheila dengan
begitu gamlangnya.
"Ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya!"
Saat itulah Bram sadar bahwa Sheila telah diperlakukan dg tidak adil dan
tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia yang punya perasaan dan
pikiran. Ia punya firasat Sheila tidak mengada-ada. Dan akhirnya, ia
menilai bahwa nasib Sheila sama seperti dirinya. Dunia tidak menerima
mereka, dan mereka harus bertahan hidup sendirian di dunia ini, lepas
dari manusia lainnya.
Eman sendiri yang mengambilkan barang-barang Sheila di asrama. Sheila
diberi kamar yang tadinya berfungsi untuk menyimpan barang-barang yang
jarang dipakai Bram. Kini barang-barangnya diletakkan di gudang dan
ruangannya menjadi kamar Sheila.
Sheila merasa sangat bahagia. Baru kali ini ia mendapatkan kamar yang
besar untuk dirinya sendiri. Sebenarnya kamar di rumah Ratna juga
lumayan, tapi Sheila masih ingat kamar iu memang kamar pembantu,
sehingga dari jendela kamarnya ia dapat melihat dapur dan kamar mandi.
Kini kamarnya benar-benar sebuah kamar, dengan ranjang besi yang
ditemuakan Eman di gudang. Diatasnya dihamparkannya matras gulung, dan
setelah dilapisi seprai, ranjang itu mirip ranjang sungguhan.
Eman juga memasukan lemari untuk diisi dengan barang-barang Sheila.
Lamari kecil itu tadinya tempat menyimpan buku-buku Bram, tapi pria itu
menyeruh Eman menyimpan buku-bukunya di kardus dan ditaruh di gudang.
Sheila juga diberikan bangku dan meja untuk belajar. Sheila menganggap
itu terlalu banyak. Bram benar-benar baik padanya.
"Aku hanya bisa menampungmu di sini sampai usiamu tujuh belas tahun. Kau
bilang saat itu kau sudah dianggap dewasa dan bisa hidup sendiri."
"Ya.... Itu pun aku sudah berterima kasih pada Oom, eh Bram."
"Berapa lama lagi itu..?"
"Setahun lagi, tujuh belas desember tahun depan."
Bram mengangguk-angguk, "Selama itu kau ku gaji standar saja, tidak
melebihi gaji Eman, tapi kau harus bekerja lebih banyak dari dia,
mengarti?"
"Mengerti. Tenang saja , aku akan berusaha sekuat tenaga."
"Kemudian aku juga mau memberitahu, kau jangan lagi mengatakan aku baik.
Aku sama sekali tidak baik. Lama-lama kau akan melihat sifat asliku.
Saat itu lebih baik kau jauhi aku dan jangan membantah. Aku akan cepat
baik kembali."
"Oke."
"Dan aku suka sendirian. Aku tidak suka diganggu. Letak kamarmu dekat
dengan kamar Eman , jauh dari kamarku. Itu bagus, karena aku suka
mengetik sampai malam dan tidurmu pasti terganggu kalau dekat dg
kamarku. Kalau aku tidak keluar dari kamar jangan mengetuk pintu
kamarku. Kalau makanan sudah matang, tidak usah memberitahu aku. Kalau
lapar aku akan mengambil sendiri. Kalau ada surat letakkan saja di meja
makan, nanti aku pasti lihat. Kalau tidak ada hal yang penting-penting
amat, tidak usah menggangguku. Tanya saja pada Eman, dia tahu aku mau
bagaimana."
Sheila mengangguk.
"Kurasa soal pembagian tugas yang harus dilakukan tanya Eman saja. Ia
tentu lebih mengerti. Aku tahunya semua hal sudah beres."
"Kakek Eman sudah kasih tahu. Aku yang mencuci, menyetrika, mengepel. Ia
mengurus kebun, memasak, dan membersihkan barang-barang. Tapi aku juga
minta diajarkan memasak, soalnya......"
"Satu hal lagi Sheila." Sheila berhenti bicara dab menatap Bram. "Aku
tidak ingin trlalu dekat dengan seseorang. Jagalah jarak. Aku tidak suka
kau teralu banyak bicara."
Hari kedua Sheila di rumah Bram, Tini dan Wenny datang berkunjung. Saat
itu Bram sedang di kamarnya. Sheila ragu apakah ia bisa memasukkan
temannya ke dalam rumah lalu setelah berpikir panjang, ia mengajak
temannya untuk mengobrol di luar pagar. Bram pasti tidak suka kalau
terlu banyak orang datang.
"Sheila kau yakin ingin terus tinggal di sini?" tanya Tini sambil terus
mengusap matanya. Sheila tersenyum, baru sadar ternyata temannya itu
cengeng.
"Ya. Lebih baik aku tinggal di sini dari pada di asrama. Kalian pasti
ngiri sama aku, kan?"
"Kau memang enak." ujar Wenny dengan tatapan iri. "Kalau aku bisa
digorok orangtuaku kalau aku kabur dari asrama "
"Tapi statusku masih murid, kok.aku juga tetap ikut ulangan juga seperti
kalian."
Tini menyela," Eh bagaiman kalau aku mencatatkan soal ulangan untukmu?
Kau kan ulangannya setelah kami ulangan, jadi kau bisa dapat bocoran."
Sheila tertawa, "Nggak usah, di sini aku malah punya semangat belajar.
Nggak percaya? Ayo kita adu nilai di akhir semester!"
"Kau sudah dengar kabar terbaru Indah? Orangtuanya akan memindahkannya
ke sekolah leguler di jakarta. Mereka marah sekali anaknya dipukul teman
di sekolah." ujar Wenny.
"Keadaanya bagaimana?" tanya Sheila.
"Yang kudengar dari Tiwik sih sudah membaik. Cuma ada tiga jahitan di
kening, lalu boleh pulang dari rumah sakit. Tapi lukanya akan membekas
jadi harus ditutupi poni."
Tini cekikikan. "Dia nggak bisa ikut lomba jidat nonong, dong..."
"Kau beruntung Sheila orangtua Indah tidak melaporkan ke polisi.
Kabarnya Bu Lia telah memberikan uang damai untuk mereka. Ini pasti dari
pemilik rumah ini." kata Wenny. Lalu ia
mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada Sheila, "Memangnya yang tinggal
di sini mantan aktor terkenal ya?"
"Ngaco kamu!" sembur Sheila. "Yang ku tahu sih dia pengarang, soalnya
tiap malam ketak-ketik terus, kayaknya sibuk banget ya jadi pengarang?"
"Mukanya kayak gimana sih?" tanya Wenny penasaran.
"Uh, ganteng banget...! Kau suka Rano Karno kan? Rano Karno mah......
lewat!" jawab Sheila
seenaknya.
"Terus kau naksir dia?" tanya tini.
"Eh. .. Pikiranmu jangan kotor ya? Umurnya sudah tua! Kata kakek Eman
umurnya sudah tiga puluh enam! Tadinya ku pikir masih tuga puluh, habis
masih kelihatan muda sih. Ternyata beda dua puluh tahun dari aku."
"Yeeee. Nggak pa-pa lagi. Kalau ceweknya yang lebih tua itu yang nggak
bagus!"
Sheila jadi risi. "Eh jangan ngomongin itu lagi, deh. Bercanda yang
serius dong!"
"Bercanda yang serius gimana?"
Tawa mereka pun berderai.
Sheila bertanya lagi, "Teman-teman di sekolah ada yang ngegosipin aku
nggak?"
"Nggak. Nggak ada yang tahu kau tinggal di sini. Mereka pikir kau
dikeluarkan, soalnya Bu Lia ngomong gitu. Cuma Bu Susan yang memanggil
kami berdua dan menceritakan yang sebenarnya. Kata mereka berita ini
jangan dibocorkan ke anak-anak lain.
Sheila manggut-manggut. Itu pasti permintaan Bram juga. Pria itu pasti
terganggu dengan kehadirannya di sini, padahal ia ingin mengasingkan
diri. Sheila bersyukur karena hati Bram baik, mengizinkannya mengganggu
kehidupannya.
Setelah mengobrol sebentar tentang situasi sekolah. Tini dan Wenny
akhirnya pamit. Mereka berjanji akan sering-sering menjenguk Sheila.
Tentunya di tempat yang sama, di luar pagar rumah itu.
Namun, tentu saja Bu Lia tidak bisa tinggal diam. Ia tak mau disalahnkan
belakangan. Masalah sheila adalah masalah yang cukup pelik. Anak itu
bukan anak biasa, karena hak perwaliannya hampir jatuh ke tangan negara
kalau tidak ada Haryanto. Ia masih dianggap di bawah umur dan belum bisa
mengambil keputusan. Maka Bu Lia menghubungi Ratna dan Haryanto sebagai
wali yang berhak.
Haryanto kaget luar biasa. Pada hari yang sama dengan pemberitahuan
tersebut ia datang ke Mutiara Bunda, Bu Lia pun mengantarkannya ke rumah
Bram.
"Jadi anda wali Sheila?" tanya Bram. Kali ini ia mulai ragu,
bijaksanakah ia menerima Sheila di sini, sebab akhir-akhir ini
ketengannya terganggu dan ia mesti menerima beberapa orang masuk ke
rumahnya.
"Ya, saya saudara angkat ayah Sheila. Orangtua ayahnya yang mengangkat
saya sebagai anak. Walau kami jarang bertemu hubungan kami cukup dekat.
Sheila kan terhitung keponakan saya juga. Sejak ayahnya dipenjara, saya
bertanggung jawab atas dia. Masalah ini sangat mengejutkan saya. Saya
pikir Sheila baik-baik saja di sini. Kalau tahu ia tidak betah, biar
saya bawa pulang lagi saja. Nanti saya pindahkan ke sekolah lain." tutur
Haryanto sambil terus celingak -celinguk ke belakang tubuh Bram,
mencari-cari sosok Sheila.
"Tapi katanya Sheila tidak mau kembali ke asrama dan tidak mau pulang."
Haryanto mengerutkan keningnya. "Tidak mau pulang? Oh mungkin ia masih
merasa bersalah sama Reza. Tidak! Reza tidak marah padanya. Anak itu
sudah lupa soal tempo hari. Biasalah.....
Anak-anak, mudah bertengkar, mudah pula baiknya."
"Katanya Sheila tidak mau pulang karena dijadikan pembantu oleh istri
anda."
Haryanto terdiam dengan wajah terkejut. Ia tak bisa bicara beberapa
saat.
"Dia.... Bilang begitu?" tanyanya lirih.
Bram mengangguk. " Makanya saya kasihan dan menerimanya di sini. Melihat
keterkejutan anda, saya mulai paham masalah ini. Anda memang
menyayanginya, tapi tampaknya ia tak diperlakukan adil oleh istri
anda.."
Haryanto diam lagi, ia tampak terpukul.
"Kalau begitu, sekarang Sheila mana?"
Bram mengangguk, lalu memanggil Eman. "Eman! Tolong panggilkan Sheila."
Eman yang sejak tadi mondar mandir di situ, buru-buru pergi ke belakang,
ke kamar Sheila. Tapi beberapa saat kemudian ia kembali lagi.
"Tuan, Sheila bilang ia tidak mau ketemu Oomnya. Ia bilang Oomnya suru
pulang saja, Sheila tidak mau ikut pulang." kata pembantu tua itu, lalu
menbahkan, "Dia bilang tidak akan keluar kamar sebelum Oomnya pulang."
Bram berpandangan dengan Haryanto, "Lebih baik kita ke kamarnya saja."
Haryanto mengangguk dan mengikuti Bram menuju kamar Sheila. Ketika
dilihatnya Bram meraih tongkat dan jalan tertati-tatih, hatinya lantas
bertanya-tanya siapa pria ini,? Kenapa Bu Lia yang notabennya kepala
sekolah kelihatan begitu segan pada Bram dan tak mampu mengambil Sheila
begitu saja? Bu Lia juga langsung pulang ke asrama begitu mengantarkan
Haryanto kamari. Katanya Haryanto bicarakan saja hasilnya setelah
urusannya selesai.
Rumah itu mungil. Modelnya biasa saja, tapi interiornya begitu menarik.
Barang-baranya berwarna polos, tapi tampak menonjol dan indah. Ini pasti
barang mahal, pikir Haryanto. Walaupun tempat ini sederhana, Haryanto
mrnduga Bram bukan orang susah. Buktinya ia bisa tinggal di sini tanpa
bekerja.
Meraka tiba di sebuah kamar yang bertuliskan KAMAR SHEILA dengan kertas
putih dan tulisan spidol warna-warni. Pasti itu baru dibuat. Melihat
itu, Haryanyo berpikir Sheila betah di sini. Sheila tidak pernah
menuliskan ini di ramahnya.
Bram menoleh pada Haryanto, dan memberi tanda dengan tangannya bahwa ini
kamar Sheila.
Haryanto mengangguk paham bahwa Bram menyerahkan semua ini padanya, dan
akhirnya tergantung pada keputusan Sheila.
Haryanto mendekat ke pintu, lalu mengetuk perlahan.
"Sheila..."
Tidak ada jawaban.
" Sheila ini Oom Haryanto. Oom datang kemari untuk mengajakmu pulang."
Tetap tak ada jawaban.
"Sheila, Oom tidak marah. Kau tahu, Oom sayang padamu dan peduli padamu,
makanya Oom langsung kemari begitu tahu kau ada masalah."
Di dalam Sheila duduk di tempat tidur, mendengar kata-kata lembut
Oomnya, air matanya mengalir tabpa bisa ia tahan.
"Reny, Reza, dan tante menunggu kepulanganmu."
"Tidak! " terdengar suara Sheila dari dalam kamar. "Tante benci padaku .
Renny dan Reza juga tidak menyukaiku. Di sana cuma Oom yang baik
padaku. Tapi di sini Oom Bram dan kakek Eman baik padaku."
"Pak Bram baik. Tapi oom seharusnya bertanggung jawab atas hisaup kamu.
Jangan membuat orang lain repot, Sheila pulanlah dengan Oom." Bijuk
Haryanto.
"Oom jangan khawatir, karena di sini aku bekerja sebagi pembantu. Saya
dapat gaji dan masih bisa bersekolah. Oom tidak usah khawatir lagi pada
saya menetap di sini adalah keputusan saya sendiri?"
Haryanto kaget ia belum mendengar masalah ini dari Bu Lia.
"Kamu di sini jadi pembantu...."
" Nggak apa-apa Oom. Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Dulu
di Jakarta tante Ratna juga suka menyuruh-nyuruh saya. Sama saja ,Oom.
Maaf kalo Oom tersinggung, tapi saya bekerja di sini atas kemauan saya
sendiri, tidak ada yang menyuruh-nyuruh. Saya tidak dianggap sebagai
pembantu oleh Oom Bram. Saya bebas melakukan apa saja. Di Jakarta....."
Sheila tidak melanjutkan ucapannya, sadar bahwa ia mungkin akan
menyinggung Haryanto.
Haryanto terpaku menatap pintu kamar Sheila. Matanya berkunang-kunang.
"Tante....
Menjadikan kamu pembantu?"
Sheila terdiam.
Mata Haryanto berkaca-kaca. "Maafkan Oom Sheila. Oom mau membantu kamu,
malah menyusahkanmu."
Sheila mendekati pintu dan berkata lirih, "Satu-satunya hal yang saya
sesali adalah Tante tidak mengajari saya bermain piano, sehingga saya
tidak bisa memainkan lagu di hari ulang tahun Oom."
Kini Haryanto menangis. Lama ia terdiam di situ, lalu menoleh pada Bram.
"Baiklah, saya akan tinggalkan Sheila di sini. Saya menyesal tidak bisa
membahagiakan dia, malah menyusahkannya." ia menolah ke pintu. "Sheila,
Oom pulang dulu. Baik-baiklah di sini kalau sempat mampir ke Jakarta,
rumah Oom terbuka untuk mu kapan saja. Bahkan kalau kau tidak betah di
sini, kau boleh tinggal lagi bersama Oom."
Tiba-tiba terdengar gerendel pintu di buka. Begitu pintu terbuka, Sheila
menghambur ke pelukan Haryanto. Gadis itu menangis di sana. Haryanto
juga memeluk ponakannya erat-erat. Bertahun-tahun Haryanto merasa rindu
pada kedua orangtua angkatnya yang sudah meninggal, yang telah
menyekolahkannya hingga berhasil. Ia juga rindu pada Charles, saudara
angkatnya yang bandel, yang tidak mau sekolah sehingga hidupnya jadi
susah.
Charles tak pernah mau menemuinya. Haryanto tahu mungkin Charles merasa
iri pada Haryanto karena orangtuanya selalu memuji Haryanto yang rajin,
dan memarahi Charles yang bandel.
Akhirnya Haryanto mendapatkan kesempatan itu, kesempatan untuk membalas
budi orangtua angkatnya, yaitu dengan menjadi wali Sheila. Tapi kini
pupus sudah. Baru ia tahu istrinya begitu kejam, telah membuat Sheila
menderita. Kini ia merasa bersalah karena keponakannya harus tinggal dg
orang lain. Mudah-mudahan Bram baik pada Sheila.
"Sheila jaga dirimu baik-baik."
"Oom juga!" seru Sheila sesenggukan.
Haryanto melepaskan pelukannya. Ia berpaling pada Bram yang bersandar di
dinding memperhatikan mereka.
"Saya titip Sheila, pak Bram. Mohon bimbingannya."
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya, Pak haryanto." jawab Bram.
Haryanto pun pulang dengab tubuh lunglai. Ia cuma berharap , Sheila bisa
mendapatkan kebahagiaan yang telah lama hilang.
Sheila sungguh-sungguh bahagia tinggal di rumah itu. Baru kali ini ia
merasa benar-benar tinggal di sebuah rumah, walau penghuninya cuma
sedikit.
Tugasnya tidak sulit. Bangun tidur pukul lima pagi ia langsung mencuci
baju, lalu menjemurnya di luar. kemudian ia mengepel seluruh rumah,
setelah selesai ia membantu Eman menyiapkan sarapan, kemudian ia sarapan
bersama Eman.
Bram tidak pernah sarapan. Pagi-pagi ia biasanya berolahraga dengan
peralatan gym di kamarnya, lalu mandi dan mengetik sampai siang. Bila
lapar ia akan keluar kamar lalu makan sendirian, kemudian masuk kamar
lagi sampai sore. Menjelang pukul tujuh ia makan malam sendirian, lalu
masuk kamar lagi. Sungguh hidup yang membosankan, pikir Sheila. Ia
merasa beruntung masih bisa menghirup udara segar di luar, berhenti
sebentar untuk melihat rimbunya bunga bugenvil, dan menatap langit yang
biru bila matahari menutup awan.
Sehabis sarapan Sheila belajar sendiri di kamarnya sampai pukul sepuluh.
Kadang-kadang ia tidak belajar dan ikut Enan ke pasar untuk membeli
kebutuhan sehari-hari tiga atau empat hari sekalian. Pukul sepuluh ia
membantu Eman menyiapkan makan siang, lalu makan siang bersama Eman
sekitar pukul dua siang. Lalu ia mengangkat jemuran yang saat itu sudah
kering dan menyetrikanya, lalu menaruhnya di tempat pakaian luar kamar
mandi, yang akan diambil sendiri oleh Bram bila ia akan memakai pakaian
itu. Sesudah itu Sheila mandi sore dan belajar lagi. Biasanya ia tidak
makan malam karena pukul delapan saja ia sudah ngantuk. Keesokan harinya
ia bangun lagi pagi-pagi untuk mencuci. Begitulah rutinitasnya di rumah
itu.
Kadang Sheila memperhatikan pintu kamar Bram hingga lama, seolah
perbuatannya bisa menyebabkan pria itu keluar dan berbincang-bincang
dengannya, tapi Bram jarang keluar kamar. Paling kalau ia ingin makan
malam, makan siang, makan pagi. Dan mandi sore. Itu pun kalau bertemu
Sheila, ia cuma tersenyum tanpa bicara apa-apa. Sheila berusaha
menyenangkan pria itu dengan membuatkan makanan, tentu saja diajari
Eman. Eman lah yang akan memberitahu Bram kalau itu buatan Sheila.
"Ini sayur terong buatan Sheila, Tuan."
Sheila yang mendengar itu di balik dinding ruang makan, sambil pura-pura
membereskan taplak, girang luar biasa. Seolah ia bisa melihat Bram
menyukai masakannya, lalu bersyukur karena sudah mengizinkan Sheila
tinggal di rumahnya.
Setiap jumat pagi Bu Susan akan datang menemui Sheila. Ia membawakan
beberapa soal ulangan yang diujukan minggu sebelumnya. Ia menyeruh
Sheila mengerjakannya, lalu kembali ke asrama. Pulang sekolah Bu Susan
datang lagi untuk mengambil jawabannya. Sebenarnya Sheila bisa saja
mencontek dari buku teks atau catatan. Tapi ia tidak mau. Ia tahu kali
ini tidak ada lagi batasan baginya untuk menjadi murid SMA. Ia berharap
walau tak belajar di kelas, ia menguasai pelajaran yang sama, bahkan
lebih, dari murid yang belajar di kelas. Untuk itu ia mesti menjadi
pengawas bagi dirinya sendiri.
Ibu Susan yang cantik itu kelihatan naksir Bram, pikir Sheila. Sebab
berkali-kali Bu Susan berlama-lama di rumah itu sambil berpura-pura
mengobrol dengan Sheila yang kakinya gatal ingin keluar rumah. Lalu
sekitar pulul empat sore, Bram akan keluar sebentar. Saat itu lah Bu
Susan mengajak Bram mengobrol. Mereka bisa mengobrol selama satu hingga
dua jam, dan saat itu Sheila sudah melesat seperti panah keluar rumah.
Sejak dulu ia tak suka Bu Susan. Sampai kini pun ia tetap tak suka,
walaupun wanita itu kini lebih memperhatikannya.
Ada satu hal yang membuat Sheila bingung. Sudah sebulan ia tinggal di
sini, tapi belum pernah Bram memainkan piano yang ada di ruang tamu.
Ketika ia tanya pada Eman, pria tua itu menjawab bahwa tuan biasanya
main dua atau tiga hari sekali. Sheila pikir tentu pria itu malu
padanya. tapi ia tak mau pria itu merasa tak nyaman karena kehadirannya.
Ia masih lama tinggal di sini, masih setahun lagi. Ia ingin sekali Bram
merasa kehadirannya menguntungkan, bukannya mengganggu. Karena itu
sheila girang luar biasa ketika suatu hari Bram bermain piano.
Sesuai permintaan Sheila tidak akan mengganggu atau mengajak bicara
kalau tidak diminta. Jadi ia pun tidak mengganggu. Ia duduk di dapur
sambil pura-pura membereskan sesuatu. Dari situ denting piano Bram
terdengar jelas.
Bram memainkan beberapa lagu yang tak dikenal Sheila. Gadis itu
menikmatinya sambil duduk di lantai dapur. Eman yang masuk dapur dan
melihat sheila jadi kebingungan. Sheila menaruh telunjuknya di bibir
sebagai isyarat agar Eman tudak bicara apa-apa. Eman cuma geleng-geleng
kepala. Ketika Bram memainkan lagu Fur Elise sebagai lagu terakhir,
Sheila menangis. Bram memainkan lagu ini dengan begitu sedihnya. Menilik
judulnya, apa berkaitan dengan cinta Bram yang telah lalu? Pria
setampan dia pasti pernah menjalin cinta, pikir sheila.
Musik berhenti
Terdengar suara orang mengenakan jaket, Bram berseru, "Man, aku pergi ke
supermaket dulu!"
Sheila menunggu beberapa menit, lalu keluar dari dapur. ia langsung
menghampiri piano. Dielusnya piano putih itu. Piano itu sama persis
dengan miniatur piano dalam kotak kaca milik ibunya. Sheila membuka
tutup piano itu, lalu duduk di hadapannya.
Ting..!
Denting pianio itu terdengar indah di telinganya. Bila satu nada saja
terdengar begitu indah, apalagi banyak, pikirnya. lalu ditekan-tekannya
tuts piano itu. Bunyinya terdengar berisik dan tidak enak. Ia menghela
napas, dan kembali menutup piano. Bunyi seindah yang dihasilkan Bram
atau renny saat memainkan piano ini pasti hasil latihan selama
bertahun-tahun. Orang biasa tidak akan bisa.
"Suka piano?"
Suara itu membuat Sheila tersentak. Ia menoleh dan melihat Bram duduk di
sofa, mengenakan sweter dengan bahan wol. Ternyara pria itu belum
berangkat. Betapa malunya Sheila! Pasti tontonan tadi lucu sekali. Ia
menekan tuts piano asal-asalan, tapi dengan gaya bak pianis kawakan.
"Bram!" seru Sheila.
Bram tertawa. "Aku melihatmu main piano tadi. Gayamu boleh juga."
Wajah Sheila memanas. "Kau tidak pergi ke supermarket?"
"Mau ikut?"
BAB 7
SUPERMARKET langganan Bram tidak jauh dari jalan raya dekat asrama. Bram
memakai sweter gombrong berwarna abu-abu yang menyembunyikan bentuk
tubuhnya, kaca mata hitam, serta topi ber-cap panjang yang menutupi mata
dan hidungnya. Sheila pikir pria itu pasti ingin menutupi wajahnya agar
tak dikenali orang. Menurut Eman mereka telah tinggal di situ selama
empat belas tahun, waktu yang tidak sebentar. Apa yang ingin dihindarkan
Bram dengan mengasingkan dirinya? Dan dari siapa?
Rupanya Bram pergi ke supermarket seminggu atau dua minggu sekali, untuk
membeli rokok, silet cukur, serta beberapa keperluan mandi, dan melihat
koleksi buku baru yang ada di toko buku dekat supermarket itu. Koleksi
bukunya cukup lengkap, dan rupanya karena memiliki langganan seperti
Bram, mereka menyediakan beberapa judul buku baru, walau jumlahnya hanya
satu-satu.
Memasuki toko itu, seorang petugas tersenyum pada Bram. Rupanya mereka
mengenali pelanggan setia mereka.
"Katanya..... Kau penulis novel detektif, ya?" tanya Sheila pada Bram.
"Eman memberiku satu buah buku untuk dibaca. Aku senang banget pada
karakter detektif Richard. Sudah pintar, misterius pula. Sayangnya tidak
diceritakan apa dia punya istri apa tidak." celoteh gadis itu. Biasanya
ia tidak berani mengajak Bram bicara di dalam rumah, takut ptia itu
terganggu. Sekarang keluar lagi bawelnya.
"Richard tidak punya hubungan asmara. Dia mengabdikan diri untuk
menyelidiki kasus-kasus pembunuhan." jawab Bram.
"Tapi dia pinter banget! Bisa nebak orang lain dari mana hanya dari debu
yang menempel pada pakaiannya yang sebelah mana, atau ciri-ciri lain
yang berubah pada orang itu. Tapi aku juga bingung, kata Eman, kau sudah
mengarang puluhan novel. Bagaiman ada ide kalau televisi dan koran saja
tidak ada di rumahmu? Di koran kan banyak kasus pembunuhan, itu bisa
menambah ide, kan?"
Bram telihat tidak suka. "cara orang membunuh memang makin canggih.
Mereka tidak perlu meniru berita di koran atau televisi untuk melakukan
pembunuhan. Mereka berpikir dengan otak mereka. Akupun juga."
"Jadi kau berpikir seolah kau seorang pembunuh? Kau juga memikirkan cara
membunuh korban yang diincar?"
"Ya, dari situ aku mendapatkan ide-ide untuk ceritaku."
"Woow, hebat!" puji Sheila. "Bagaiman caranya kita membunuh orang yang
ada di dalam rumah kita, tapi tidak ketahuan orang lain? Walau kita
gampang membunuhnya, tentu sulit menyembunyikan pembunuhan itu."
"Gampang. Bunuh lalu sembunyika mayatnya. Bisa saja dikubur di belakang
rumah, atau dubuang ke tempat lain, atau dipotong-potong lalu dibuang ke
tempat sampah...." saat melihat ekspresi wajah Sheila yang murung, Bram
sadar gadis itu sedang membicarakan orangtuanya.. Ayahnya telah
membunuh ibunya, dan menurut cerita Bu Lia, jenazah Ibu Sheila sampai
saat ini belum ditemukan. Tentulah Sheila masih penasaran bagaiman
ayahnya membunuh ibunya. "Sudahlah, jangan bucarakan pembunuhan. Aku
sudah bosan. Oh ya, kau suka piano?"
"Suka sekali." mata Sheila menerawang. "Aku ingin sekali bisa bermain
piano. tapi itu sepertinya tidak mungkin lagi. Kudengar paling bagus
belajar piano diusia tujuh sampai sepuluh tahun.
Lebih dari itu, bakal sulit sekali,”
"kata siapa?" tanya Bram. "Lalu kau pikir, apakah pencipta piano sudah
pasti bisa bermain piano?"
"Maksudmu, orang yang pertama kali membuat piano?"
Bram mengangguk.
"Pasti bisa dong. Masa yang menciptakan tidak bisa memainkan."
"Lalu apakah dia masih berusia tujuh sampai sepuluh tahun waktu
menciptakan piano?"
"Ya nggaklah. Pasti sudah dewasa umurnya."
"Nah, dia belajar piano setelah dewasa, kan?"
Sheila terdiam sesaat, lalu tertawa. "Ya ampun benar! Kenapa selama ini
aku begitu bodoh, ya?"
"Makanya jangan mengikuti opini umun, punya opini sendiri saja sudah
cukup."
"Berarti aku masih bisa belajar piano?"
"Kau mau?"
"Tentu saja mau!" seru Sheila antusias. "Aku ingin sekali bisa memainkan
Fur Elise, seperti yang kau mainkan tadi. Ehmmmm.... Sebenarnya aku
juga pernah mendengar lagu itu waktu kita belum saling kenal." kata
gadis itu malu-malu.
Bram tersenyum. "Fur Elise itu dikarang oleh Beethoven. Lagu itu tak
sesulit karyanya yang lain seperti Moon ligh sonata yang terkenal, tapi
anehnya Fur Elise malah paling dikenal orang."
"Rasanya aku pernah mendengar tentang Beethoven itu."
"Ya , dia memang sangat terkenal. Dan kisah hidupnya juga unik.
Telinganya tuli saat karirnya sedang menanjak. Kalau tidak salah saat
usianya 30 tahun. Tapi ia tak pernah menyerah. Lagu Fur Elise
dikarangnya pada saat usianya 40 tahun."
"Berarti setelah ia tuli? Hebat dong!"
"Ya semangat berkarya patut ditiru. Dan uniknya lagu ini tentang lagu
ini, partiturnya ditemukan di catatan milik Therese vin Brunswick.
Kabarnya wanita itu adalah wanita yang dicintai Beethoven selama
hidupnya."
"Oh ya, lalu apakah mereka menikah?"
"Sayangnya tidak."
"Jangan-jangan lagu itu adalah ungkapan cintanya pada wanita itu?"
"Mungkin saja, lagu itu kan tidak ada liriknya, jadi kita tidak tahu apa
isinya, paling-paling menebak dari nadanya yang lembut dan romantis."
Sheila terdiam, ia sudah tak sabar ingin memainkan sendiri lagu yang
kini sudah menjadi lagu favoritnya itu. "Jadi apakah aku boleh belajar
piano?"
"Tentu saja."
Sheila mengira Bram sendiri yang akan mengajarnya. Tapi ternyata Bram
sibuk. Bram pernah mengobrol dengan Bu Susan, dan wanita itu memberitahu
bahwa ia menguasai bbeberapa alat musik, termasuk piano. Maka pada
kedatangan Bu Susan berikutnya ke rumah itu, Bram memintanya untuk
memberi Sheila les piano. Tentu saja Bram akan membayar biayanya. Tak
terduga Bu Susan langsung setuju, bahkan sangat antusias. Dia bersedia
datang setiap sabtu dan minggu untuk memberikan Sheila les piano selama 1
jam setiap kali datang.
Tadinya ia ingin menolak, ia teringat kejadian di rumah Haryanto sewaktu
Ratna berkata akan mengajarnya. Ternyata malah membohongi dan
mempermalukannya. Ia tidak suka pada Susan. Siapa tahu firasatnya itu
berati Susan akan seperti Ratna, tidak mau mengajarinya piano. Tapi
Sheila tidak enak bila menolak kebaikan hati Bram. Dengan berat hati ia
menyetujui. Dengan syarat Bram tidak boleh terlalu berharap padanya.
Begitulah Sheila mendapatkan les piano dari Bu susan. Wanita itu satang
sebanyak tiga kali dalam seminggu. Jumat untuk memberikan ulangan, sabtu
dan minggu untuk les piano. Setiap kali datang ia pasti mengajak Bram
mengobrol. Sheila tak suka hal itu, entah mengapa. Baginya Susan datang
membawa tali untuk menjerat leher Bram dan mengikatnya. Tapi tali itu
dikalungkannya pelan-pelan setiap kali datang. Nanti bila tiba waktunya
untuk menjerat, talinya tinggal ditarik. Terjeratlah hati sang pria,
tanpa tahu selama ini dirinya diincar. Ketika Sheila menceritakan hal
ini pada Tini dan Wenny yang kebetulan mengunjunginya, kedua gadis itu
langsung tertawa teebahak-bahak.
"Aku bisa membayangkan! Ya ampun! Aku bisa membayangkannya!" seru Wenny.
"Tapi Bu susan nggak jelek-jelek banget loh.!" kata Tini
Sheila mengangguk. Itulah yang ditakutkannya. Sepertinya ia takut
kehilangan kasih sayang Bram. Baginya Bram adalah pengganti Haryanto
yang dulu menggantikan ayahnya. Senang rasanya memiliki seseorang yang
selalu siap melindunginya jika ia perlu dan memberikannya bila ia butuh
sesuatu. Apa jadinya kalau Bram jadian dengan Bu susan? Bagaimana
nasibnya kalak?
"Belajar piano tidak segampang belajar alat musik lain." jelas Susan
pada saat mengajarkan teori-teori dasar pada Sheila. "Kalau gitar
tinggal ditekan pada tempat-tempat yang tepat, lalu digenjreng, langsung
bisa terdengar enak. Kalau piano, jika kau tekan bagian chordnya
bersama-sama malah terdengar tidak enak. Seperti ini...." Susan
mencontohkan dan Sheila mengangguk-angguk paham. "Jauh lebih enak kalau
kau menekannya bergantian seperti ini...." Susan mencontohkan lagi. Kali
ini Sheila kagum pada keahlian Susan. Baru ia tahu ternyata Susan
pandai main piano.
"Tapi itu sulit butuh latihan lama untuk bisa memainkan jari-jarimu di
piano. Ini soal ketrampilan. Bila kau sudah memainkan irama apa saja,
tinggal bakat mu yang menentukan. Bila bakatmu besar kau akan bisa
memainkan lagu yang baru kau dengar tanpa partitur."
"Semua lagu?"
Susan mengangguk.
"Semua lagu." Susan memainkan lagu yang sedang populer saat ini dan
Sheila terpesona. Tapi karena Susan memainkannya satu lagu penuh, Shaila
agak jengkel. Jangan-jangan wanita ini hanya mau pamer, soalnya suara
piano kan bisa terdengar sampai kamar Bram..
Setelah selesai, Sheila berkata tegas, "Saya cuma mau bisa bermain satu
lagu saja, boleh tidak, Bu?"
Susan tampak terkejut. "Kenapa? Saya tidak akan kasih lagu yang
susah-susah, kok. Kamu tahu lagu Twinke- Twinkel little star, kan? Lagu
itu kan....."
"bukan itu maksud saya,Bu. Saya mau belajar lagu Fur Elisa saja.
Kira-kira berapa lama saya bisa memainkan lagu itu?" pinta Sheila.
"Lagu itu cukup susah, lho. Kamu mesti belajar lagu-lagu pendek dulu,
melatih jari-jarimu. Nggak bisa langsung lagu susah itu."
"Kalau saya tetap mau lagu itu, berapa lama saya bisa?"
Susan menjawab jengkel."Ya sekitar enam bulan sampai satu tahun."
"Bisa lebih cepat, Bu."
"Tergantung bagaimana kamu latihan. Mungkin kalau tiap hari latihan,
sebulan dua bulan juga bisa. Tapi saya ingatkan, karena dasar kamu belum
cukup kuat, mungkin lagu itu tidak terdengar bagus kalau kamu mainkan.
jadi sebaiknya....."
"saya berjanji akan mempelajarinya selama satu bulan." tekad Sheila.
Sheila bingung darimana Bram mendapatkan uang untuk membayar
tagihan-tagihan dan kebutuhan sehari-hari. Ia sudah tahu Bram pemilik
asrama, tapi itukan milik keluarganya, lagi pula Sheila tak pernah
melihat Bu Lia datang mengantarkan uang. Jadi dugaanya itu tidak masuk
akal. Kalau dari novel, bagaimana caranya pria itu memperoleh uang?
Sheila pernah dengar kehidupan penulis susah karena uang yang didapat
sedikit. Tapi Bram kelihatannya selalu punya uang untuk berbagai
kebutuhan mereka. Lagi pula, bagaimana Bram menerbitkan novel detektif,
kalau Bram tak pernah kemana-mana selain ke supermarket?
Suatu hari pertanyaan Sheila terjawab dengan datangnya pria bernama
Frans. Pria itu editor dari salah satu penerbit terkenal di jakarta.
Sejak pagi Bram sudah mengingatkan Eman untuk menyiapkan makan siang
yang cukup istimewa untuk menyambut pria itu. Sebab pria itu sedah
datang jauh-jauh dan datang di waktu makan siang. Sudah sepantasnya
dijamu. Tapi Bram sudah mengingatkan bahwa ia tak akan menemui pria itu,
seperti biasanya. Sheila paham, Bram ingin tetap menjaga namanya agar
tetap tak dikenal, seperti sikapnya yang selama ini mengucilkan diri.
Itu enaknya jadi pengarang terkenal, tapi tak dikenal, pikir Sheila.
Bram menyerahkan sejilid print out komputer tebal lengkap dengan
disketnya kepada Eman. "Serahkan saja ke dia, lalu kalau ada
berkas-berkas yang mesti ditandatangani bawa saja ke kamar."
"Aku saja." seru Sheila mengambil jilid tebal itu.
Bram memandanya,"Kau sudah tahu aku tak ingin bertemu dengannya, kan?"
Shaila mengangguk, "Tenang saja!"
"Jadi tak usah membicarakan aku, mengarti?"
"Tentu saja aku tak akan membicarakan dirimu dengannya." protes Sheila.
"Kau tidak tahu, Sheila. Mereka biasanya ingin tahu identitas pengarang,
jadi pasti ditanya -tanya seperti apa aku, kalau kau ditanya olehnya
tentang aku, jangan dijawab."
Sheila mengerti sekarang,
" Beres, Bos!"
Frans datang pukul dua belas siang. Frans Samudra adalah pria berumur
empat puluh tahun dan bertubuh gempal. Ia sudah lama bekerja di Graha
Pustka Jakarta, dan sudah lama tahu tipikal sifat pemgarang. Mereka
inginnya duperhatikan, dipujinya, dan diberi servis yang baik. Bila
melakukan ini pada mereka, naskah bagus mengalir deras dan uang pun akan
mengalir deras ke pundi-pundi perusahaan.
Biasanya perasaan pengarang sensitif. Sedikit kritikan saja akan membuat
mereka down. Mereka cuma butuh sanjungan, bukan kritikan. Frans sudah
tahu semua itu, maka ia yang berinisiatif mengambil naskah ke rumah
Bram. Dengan begitu Bram akan tersanjung dan merasa dibutuhkan. Cuma
sidikit yang diberikan pada tempat yang tepat, keuntunganpun akan
berkali lipat. Cuma keluar ongkos dan waktu seharian, pikirnya.
Frans tidak tahu bagaimana rupa Bram. Naskah pertama Bram tiba di
penerbit melalui pos, dan setelah diterbitkan naskah itu mendapatkan
sambutan luar biasa. Setelah itu naskah demi naskah pun mengalir, dan
Frans berinisiatif mengambil sendiri naskah, agar terjalin hubungan baik
antara pengarang dan perusahaan. Tapi sudah bertahun-tahun datang ke
rumah Bram, ia tak pernah bertemu langsung dengan pengarangnya. Ia cuma
diterima oleh seorang pembantu, dan memberikan makan siang setiap ia
datang.
Frans tahu Bram ada di rumah tapi tak pernah bersedia menemuinya.
Pengarang memang aneh, apa susahnya sih keluar sebentar, menyalami
tangannya dan masuk lagi? Pikirnya. Tapi memang pengarang biasanya
eksentrik, punya gaya yang aneh-aneh dan sifat yang tidak normal. Maklum
mereka seniman intelek. Frans tetap datang mengambil naskah
selanjutnya, meski ia cuma
diterima oleh Eman. Ini menunjukan ketulusan hatinya memberikan servis
yang baik pada pengarang, lagi pula makan siangnya enak.
Hari ini Frans bertemu dengan gadis kurus berusia belasan tahun,
wajahnya cantik dan ceria. kulitnya putih, tapi pipinya kemerah-merahan,
kontras dengan rambutnya yang hitam legam dan panjang. Mungkin gadis
yang tinggal di daerah dingin begitu semua, pikirnya.
"Ini naskahnya, Oom." kata Sheila ramah sambil menyerahkan satu jilid
tebal naskah baru. Frans menerima dengan hati-hati lalu memasukan ke
dalam tas. Bagi orang yang berkecimpung di dunia penerbitan, sebuah
naskah sangat berharga.
"Pak Bramnya, ada?" tanya Frans.
"Ada tapi sedang tidak enak badan, jadi biar saya saja yang menemui
Oom," jawab Sheila. "Oh iya, sebentar lagi makan sianya siap, Pak Bram
berpesan agar Oom makan siang di sini."
Frans tersenyum, "Wah baik sekali. kalau begitu saya bisa datang tiap
hari ke sini. Kamu......
Keponakanya pak Bram?"
"Ehm..... Bukan, saya tinggal di sini untuk membantu pak Bram."
"Memangnya...... " mata Frans melongok ke dalam, seolah dengan begitu ia
bisa melihat dimana Bram berada, "Pak Bram umurnya berapa, sih?"
Sheila ingat untuk merahasiakan identitas Bram. "Kita ke ruang makan aja
yuk, Oom. Makan sianya pasti sudah siap."
Saat menuju ruang makan. Frans melihat-lihat hiasan di dinding rumah
itu. "Kok di sini tidak ada foto? Saya penasaran dengan wajah pak Bram
seperti apa sih?"
"Maaf Oom, saya dipesan tidak boleh membicarakan Pak Bram. Oh ya, oom
bawa berkas yang perlu ditandatangani?"
Frans teringat dan mengeluarkan sebuah map dari tasnya.
"Ini berkas kontras novel yang baru, tolong ditandatangani ,juga
kuitansi pembayaran beserta ceknya. Tolong kuitansinya juga
ditandatangani. Oh ya, saya juga membawa nomor bukti untuk pengarang....
Buku terbarunya sebanyak sepuluh buah."
Sheila memberikan map itu kepada Eman yang langsung memawanya ke dalam.
Ia sendiri mempersilakan Frans duduk dan menyendokan nasi.
"Kamu nggak ikut makan?" tanya Frans.
"Nggak usah Oom, saya cuma melayani."
"Lho, kamu kan bukan pembantu? Jangan melayani saya, biar saya ambil
sendiri." cegah Frans tidak enak.
"Saya memang pembantu di sini, Oom."
Frans kaget, "Apa? Gadis secantik kamu jadi pembantu? Wah, saya juga mau
dong, kerja sama saya aja."
Sheila tertawa mendengar gurauan Frans.
"Nama kamu siapa?"
"Sheila."
"Sheila, kamu sudah makan?"
Sheila menggeleng.
"Kalau begitu, ayo temani saya makan."
Sheila akhirnya menurut. Ia mengambil piring dan duduk di depan Frans.
Sambil makan mereka ngobrol. Karena Sheila sudah mengatakan tidak mau
membicarakan Bram, Frans menanyakan perihal diri Sheila. Sheila
bercerita saat ini ia masih berstatus siswa di sekolah yang ada di area
tanah tersebut, dan bekerja di rumah Bram sambil mencari uang dan
mendapatkan tempat tinggal. Selebihnya ia tak menceritakan masalah
pribadinya atau mengapa ia sampai menjadi pembantu di tempat itu.
Frans juga menceritakan suka dukanya menkadi editor. Sheila mendengar
cerita-cerita Frans tentang beberapa pengarang yang dikenalnya.
".... Kalau tidak pakai dupa, tidak bisa mengarang! Mungkin bau dupa
bisa merangsang otaknya supaya bisa bikin cerita bagus, ya?" tutur
Frans.
Sheila tersenyum, "Tapi memang betul, karya -karya Sarah Farani memang
bagus-bagus. Seandainya ada dupa di sini , jangan-jangan saya bisa ikut
mengarang."
"Kenapa kamu tidak coba mengarang saja? Sekarang banyak lho remaja yang
sudah jadi pengarang."
Sheila menggeleng, "Ah, saya nggak bisa Oom. Itu kan mesti punya bakat.
Saya nggak berbakat nulis."
"Lalu kamu bakatnya apa?"
Sheila menggeleng.
"Tapi kamu punya hobi dong?"
Mata Sheila langsung berbinar. "Saya suka main piano."
"Nah, kamu bisa jadi pianis."
Sheila bengong. Tak pernah terpikir olehnya cita-cita seperti itu. Apa
seorang pianis bisa menghasilkan uang? Tapi ia baru menyadari, sampai
saat ini ia brlum punya cita-cita. Apa cita-citanya? Ia tidak tahu. Ia
cuma ingin menjalani hidupnya ini sampai tujuh belas tahun, sampai ia
dianggap dewasa dan hidup sendiri. Lalu setelah itu apa? Wajahnya
mendadak murung. Apa seorang anak pembunuh bisa mempunyai masa depan?
Bisakah ia menjadi dokter, atau insinyur, atau cita-cita setinggi langit
yang dimiliki teman-temannya? Menjadi pianis, apakah aku bisa?
"Saya...... belum begitu bisa main piano, Oom. Baru belajar beberapa
kali." ujar Sheila.
"Ah, lama-lama kan bisa. Pokoknya kalau sudah cita-cita, biarpun
mustahil, hati-hati deh."
"kenapa?"
"Karena.... Bisa tercapai."
Sheila tertawa, "Ah, Oom bisa saja. Oom kok begitu yakin setiap orang
bisa mencapai cita-citanya? Emang dulu cita-cita Oom apa?"
Frans berkata serius, "Dulu Oom suka sekali membaca buku. Oom sering
berpikir betapa hebatnya seorang pengarang. Mereka bisa membuat karya
yang butuh proses panjang untuk membuatnya. Sama seperti patung, satu
patung membutuhkan kesabaran yang cukup panjang untuk membuatnya, dan
memolesnya sehingga menjadi suatu karya yang indah."
"Terus?"
"Belakangan Oom tahu bahwa di balik seorang pengarang, masih ada orang
yang berjasa dalam pembentukan sebuah karya, yaitu editor. Oom suka
menganalisis pengarang ini dan anu, kenapa karyanya begini, kenapa
kayanya begitu. Ketika Oom melamar menjadi editor sepuluh tahun yang
lalu, Oom nggak tahu kalau Oom bakal suka banget."
"Jadi Oom bahagia?"
"Jalas dong, tidak ada yang lebih membahagiakan selain mengerjakan
sesuatu yang kita sukai. Udah senang, dibayar lagi!"
"Oom nggak mencoba jadi pengarang?"
"Kayaknya nggak deh, Oom lebih bahagia begini. Oom mencintai pekerjaan
Oom. Nggak semya profesi bisa membuat kita bahagia Lho! Seperti
pengarang yang mengucilkan diri untuk serius bikin novel, waktunya untuk
bertemu orang lain pasti tidak banyak. Kalau Oom yang begitu pasti
tidak betah!"
Sheila sadar, Frans menyinggung Bram lagi. Frans juga menyadarinya.
"Eh, Oom nggak bermaksud menyinggung siapa-siapa lho!" sergah Frans.
Tapi Sheila berpikir, kata-kata Frans ada benarnya juga, "Emang kalau
kita punya cita-cita tinggi nggak bikin stres Oom?"
"Stres sih lain lagi, itu sih soal bagaimana kita mengaturnya, kalau
sudah punya cita-cita yang kuat, secara alam bawah sadar manusia akan
berusaha memcapai cita-cita itu."
"Masa sih, Oom?"
"iya benar, makanya suatu hari kalau kamu sudah jadi pianis terkenal,
jangan lupakan Oom ya."
Sheila bersenandung sambil menjemur pakaian yang baru dicucinya. Hari
masih gelap, masih pukul 05.15. Karena bangun kepagian, gelap-gelap ia
sudah selesai mencuci. Mendekati tempat Boy dirantai, sejak tadi anjing
itu menggeram-geram.
"Diam." bisiknya.
Setelah sebulan Sheila tinggal di sini, masa Boy masih saja
menggonggongnya. Bram menyuruh Eman merantai Boy di depan rumah karena
Sheila takut anjing. Apa gara-gara iti sikap Boy bermusuhan terus dengan
Sheila?
Boy menggeram lagi.
"Anjing jelek." bisik Sheila lagi. Ia bingung karena Bram sangat
menyayangi anjing ini. Boy sama sekali tidak cantik seperti anjing
pundel yang bisa diberi pita. Ini anjing yang sangat buruk, dan sangat
menyeramkan.
Guk! Boy malah menggonggong.
"Diam, nanti pada bangun semua!" rutuk Sheila jengkel, Boy terus
menggonggong. Akhirnya Sheila menghampirinya dan membuka rantai di leher
Boy. Anjing itu menggoyang-goyangkan ekornya kesenangan. Sheila
langsung mundur, siapa tahu tiba-tiba Boy menerkamnya.
Sheila clingak-clinguk kakek Eman tidak ada. Sepagi ini ia pasti sedang
memasak air di dapur sambil menyetel kast keroncong kesukaanya. Sheila
mandang anjing itu lagi, lalu membuka pintu pagar. "Boy, Tsk, Tsk, Tsk!
Boy! Ayo keluar!"bisiknya sambil menjentikan jarinya. Anjing itu
menggoyang-goyangkan ekornya lalu mengikuti Sheila keluar pagar., Sheila
buru-buru masuk lagi ke dalam pagar lalu menutupnya. Ia pun masuk ke
dalam rumah sambil membawa ember bekas tepat pakaian tadi.
"Man! Eman!" panggil Bram. Eman buru-buru menghampiri majikannya. "Boy
mana? Ada sisa daging ayam nih, coba pangil!"
Eman ke depan rumah, ke tempat Boy dirantai, tapi ajing itu tidak ada .
Rantainya masih ada di tempatnya, tapi sudah terbuka. Buru-buru Eman
kembali ke dalam. "Tuan, Boy hilang . Dicuri orang, kali!"
"Apa?" Bram mengerutkan kening. Kalau di Jakarta mungkin saja kalau
anjing herder dicuri orang. Tapi di kampung seperti ini?
"Masa tidak ada, mungkin ia lompat pagar!"
"Tapi dari pagi saya belum bula rantainya, Tuan."
Bram memeriksa ke depan dan mencari-cari Boy. Benar anjing itu tidak ada
dimana-man. "Coba panggil Sheila, mungkin ia tahu Boy dimana." Sheila
yang dipanggil berkata bahwa ia tak tahu Boy kemana.
Bram berkata, "Man, coba kamu cari Boy di luar, jangan-jangan ia keluar
sendiri dan tersesat. Sekalian tanya-tanya ke tetangga siapa tahu mereka
melihat." Eman pun keluar rumah mencari Boy, lima belas menit kemudian
ia kembali dan mengetuk pintu kamar Bram. Bram menyuruh pembantu
kepercayaannya itu masuk.
"Sudah ketemu?" Bram berhenti mengetik dari komputernya.
Eman menggeleng, "Tidak ada yang melihat, Tuan. Tapi kata Bu Tati
tetangga sebelah kita, ia melihat pintu pagar dibukakan seseorang
sehingga Boy keluar."
Bram mengerutkan kening, "Siapa yang buka?"
"Sheila."
Hujan deras turun membasahi bumi. Musim hujan sudah datang, walau tak
tepat pada waktunya. Bram menemui Sheila dengan wajah merah karena
marah. Urat-urat di pelipisnya menonjol dan ia terlihat berusaha keras
menekan kemarahannya. "Apa kau tahu sejak lahir ia tak pernah keluar
dari rumah ini, bagaiman kalau ia tersesat?"
Sheila terdiam, tidak bisa menjawab. Ia menunduk, padahal diamnya itu
malah menunjukan ia sudah mengaku bahwa itu perbuatannya. ia tak kuasa
berbohong seperti rencananya semula.
"Bukan hanya itu yang ku sesali. Aku tak mengira kau membalas semua
kebaikanku dengan ini! Kau biarkan anjingku keluar rumah begitu saja.
Bagaimana aku bisa mempercayaimu lagi.?"
"A... Aku..."
"Kau begitu kejam pada binatang yang tak berdosa! Kau begitu kejam!"
sembur Bram, kemudian meninggalkan Sheila. Tiba-tiba ia membalikan
tubuhnya, "Kalau anjing itu mati, kau yang membunuhnya!" lalu ia berlalu
dan memanggil Eman.
Sepeninggal Bram, Sheila tertegun. Ia kejam? Benarkah ia kejam? Tapi ia
benar -bemar menyeaal telah mengeluarkan Boy tadi pagi. kini disadarinya
ia memang kejam. Boy belum makan sejak pagi, dan anjing itu pasti
kesulitan menemukan rumah ini lagi. Sekarang sedang hujan, pasti bulunya
basah dan ia kedinginan. Sheila memukul keramik dengan tangannya dan ia
menangis tanpa suara.
Ia memang kejam. Cuma karena anjing itu lebih disayang Bram daripada
dirinya, lebih sering ditemui Bram ketimbang dirinya, lebih punya arti
bagi Bram ketimbang dirinya. Ia telah mengusir anjing itu. Kejam! Ia
kejam seperti ayahnya yang tega membunuh istrinya sendiri! Kalau ajing
itu mati.....。
Tiba-tiba Sheila berlari keluar tanpa memedulikan hujan yang saat ini
sangat lebat dan petir yang memyambar-nyambar. penduduk di sana tidak
ada yang keluar jika hujan, sebab mereka tinggal di daratan tinggi yang
beresiko tersambar petir. Aku mesti menemukan Boy sekarang juga, tekad
Sheila.
"Sheila...!" panggil Eman yang telah membawa payung ingin keluar rumah.
Rupanya ia juga ingin mencari Boy. Tapi Sheila tak menjawab panggilan
pria tua itu. Ia terus berlari di tengah hujan yang lebat dan sebentar
saja tubuhnya sudah tak terlihat lagi ditelan kabut .
"Boy..! Boy....'" teriak Sheila di tengah hujan. Suaranya bagai ditelan
bumi yang basah, tidak bergema sama sekali. Ia berharap mendengar
salakan anjing yang menyahuti panggilannya, tapi alam tetap sunyi.
"Boy....! Boy...!" Sheila menyusuri pinggir kali kecil tempat air gunung
mengalir ke tempat yang lebih rendah. Diperiksanya setiap celah siapa
tahu boy disana. Diceknya setiap air yang mengalir siapa tahu Boy hanyut
di sana. Ditanyainya setiap orang yang ditemuinya, barangkali mereka
merlihat Boy. Tapi Boy tak juga ditemukan, anjing itu seperti tertelan
bumi.
Dua jam kemudian, hujan masih belum berhenti. Sheila terjatuh di tanah
becek. Ia menangis, dan membiarkan wajahnya bermandikan lumpur. Apa Boy
benar-benar hilang? Apa anjing itu mati? Apa ia benar-benar kehilangan
kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya?
Lalu lambat-lambat didengarnya suara anjing. Sheila menegakkan tubuhnya.
Dipasangnya telinga baik-baik. Tidak terdengar apa-apa. Tapi
didengarnya lagi salakan anjing bercampur suara gemericik hujan. Apa ia
sedang berhalusinasi!
Guk..! Guk...!
Sheila melihat gubuk di tengah sawah tak jauh darinya. Di sana seekor
anjing herder sedang menyalak ke arahnya.
"Boy....! " seru Sheila bergembira. Buru-buru ia berlari ke arah pondok
itu, sampai terjatuh lagi, dan terjerembab ke sawah yang becek. Boy
menyalak lagi seolah menertawakannya. Sheila pun tertawa. Gembira sekali
rasanya bisa menemukan anjing itu. Anehnya Boy sendirian di pondok itu,
entah bagaimana bisa sampai ke sana.
Sheila memeluk dan menciumi Boy, anjing itu pun menjilati wajah Sheila
seolah ia pun mengenalinya.
"Kau sudah mengenali aku, Boy!" tawa Sheila. Ia memeluk anjing itu lagi.
"Maafkan aku, tadi pagi kau menyebalkan, sih." katanya pura-pura
menggerutu. "Tapi yang penting, kau sudah ku temukan. Ayo kita pulang!"
Sheila tak menunggu hujan reda. Ia menarik ikat leher Boy dan menuntun
anjing itu pulang. Tiba di rumah, hujan tiba-tiba berhenti. Langit
benderang tiba-tiba, seakan tercuci bersih oleh hujan.
"Kek! Kakek Eman!" seru Sheila. Ia masuk ruang tamu. Tapi langkahnya
tiba-tiba berhenti begitu melihat Bram di sana. Wajahnya tampak kaku.
Dan di lantai, terletak sebuah tas yang sangat dikenalnya, tas besarnya.
Wajah Sheila memucat, apa Bram akan mengusirnya?
"Bram." panggil Sheila lirih. Ia menuntun Boy masuk, tak peduli tetes
air yang berjatuhan dari tubuh mereka membuat lantai sangat kotor. "Aku
sudah menemukan Boy."
"Bawa ke Eman. Suruh dimandikan."
Sheila tidak bergerak, ia menunjuk tasnya. "Tasku, kenapa ada di sini?"
"Aku sudah memutuskan, Boy hari ini ditemukan atau tidak, kau tak bisa
lagi tinggal di sini."
Kata-kata itu terdengar seperti petir di telinga Sheila. Gadis itu
terpana sesaat, kakinya bagai terpaku di lantai.
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri dan memeluk lutut Bram. "Bram, maafkan
aku. Aku memang salah, tapi tolong beri aku kesempatan lagi! Aku tidak
akan menyia-nyiakanya, aku akan merawat dan menyayangi Boy. Aku mau
tetap di sini..."
Bram berkata lembut, " Eman akan mengantarmu ke rumah Oommu. Jangan
sedih, Sheila. Mungkin kita tidak berjodoh. Tapi aku yakin semua
peristiwa yang telah terjadi akan membuatmu semakin dewasa."
Sheila menangis tersedu-sedu, tubuhnya jatuh lemas ke lantai. Bram tak
kuasa menahan harunya. Ia tak bisa menyaksikan hal ini. Tapi ia
sungguh-su.gguh tak dapat mengubah keputusannya. Baginya yang terpenting
adalah kepercayaan, ia sadar dirinya seorang perfeksionis. Jika ia
menyayangi ia rela memberikan seluruh hidupnya, tapi sekali ia
dihianati, seumur hidup ia tak akan percaya lagi. Ia begitu percaya pada
Sheila, tapi gadis itu telah berdusta padanya. Bukan hanya berdusta,
Sheila juga telah melakukan hal yang membuatnya bersedih. Boy tidak
bersalah apa-apa. Kenapa sheila mengeluarkan anjing itu? Baginya,
pepatah. "Anjing adalah sahabat terbaik manusia." itu benar. Anjing tak
mungkin menghianati, anjing tak mungkin berdusta. Sedangkan manusia, tak
ada satu pun yang bisa dipercayainya. Bram bangkit berdiri dan menuju
kamarnya.
Tangis Sheila tak terdengar lagi, Bram tahu gadis itu lambat-laun akan
melupakannya. Hal ini hanya kerikil kecil dalam perjalanannya menuju
dewasa. Sheila mesti melanjutkan hidupnya, ia juga.
"Sheila.....! Sheila.....!!!" terdengar suara Eman yang panik, Bram
menoleh. Gadis itu berbaring tak sadarkan diri di lantai. Pakaiannya
yang basah, berlumpur membuat lantai jadi sangat kotor. Eman
mengguncang-guncang tubuh gadis itu, mencoba menyadarkannya.
Bram buru-buru menghampiri sheila, dipengangnya hidung gadis itu, masih
bernapas.
"Naikan ke sofa." suruhnya pada Eman. Eman menggotong tubuh Sheila dan
Bram membantu mengangkan kaki Sheila, ia terkaget. Tubuh gadis itu
panas, Sheila rupanya demam. Mungkin karena kehujanan setelah mencari
Boy.
"Ambil air hangat dan handuk, juga pakaian bersihnya." suruh Bram. Eman
cepat-cepat melakukan perintah majikannya.
Bram membuka seluruh pakaian Sheila yang basah dan berlumpur. Gadis itu
telanjang, dihadapannya dan juga Eman, yang sudah datang membawakan air
hangat dalam baskom dan juga handuk kecil. Bram berusaha tak melihat
tubuh gadis kurus yang sudah menampakkan bentuk tubuh wanita dewasanya
itu. Eman sengaja disuruhnya mengambil es batu untuk mengompres supaya
Sheila tak malu nantinya, mengetahui tubuhnya sudah dilihat dua orang.
Bram berusaha bekarja cepat, Bram menyeka tubuh gadis itu dengan handuk
kecil yang sudah dicelupkan ke air hangat. Tubuh Sheila terasa panas.
Tidak mengukurpun Bram tahu panasnya lebih dari 38 derajat celcius.
Setelah menyeka tubuh Sheila dengan handuk bersih, Bram mamakaikan
pakaian kering ke tubuh gadis itu.
Eman membawakanair yang berisi es batu untuk mengompres. Bram meletakkan
handuk dingin di dahi gadis itu. Dan mendekatkan mulut botol minyak
kayu putih ke hidunya agar Sheila cepat siuman. Tapi terdengar dengkuran
halus dari mulut Sheila.
"Kelihatannya ia terlalu lelah, jadi tertidur." ujar Bram. "tolong
sipakan obat penurun panas dan air minum, Man. Biar ia bisa minum obat
kalau ia sudah siuman nanti."
Eman mengangguk dan pergi ke dapur.
Tinggal Bram sendirian bersama Sheila. Ditatapnya wajah belia gadis itu.
Apakah ia mesti membatalakn keputusannya untuk menyuruh Sheila pergi?
Gadis itu tak punya siapa-siapa selain Oomnya yang baik itu. Tapi dalam
pengawasan Oomnya yang baik itu pun Sheila telah ditindas oleh tantenya.
Sejak awal Bram memang kasihan pada gadis itu. Diusia remaja Sheila
sudah harus sendirian. Orangtuanya tak ada, bukan karena meninggal,
melainkan yang satu membunuh yang lainnya, ia paham betapa besar
penderitaan yang dialami Sheila.
Tiba-tiba didengarnya Sheila mengigau, " Boy..... Boy.... Boy....!
Dimana kau ? Aku harus
mencarimu Boy...."
Bram menggelengkan kepalanya, Sheila pasti terlalu dalam memikirkan
kemana Boy tadi, sampai mencarinya hampir tiga jam.
"Bram lebih menyukaimu ...... Boy, Bram sering bersamamu..... Bram lebih
suka anjing dari pada
manusia. ..... "
Bram menatap wajah Sheila yang tampak gelisah. Bulir-bulir keringat
menetes dari dahinya yang dikompres. Bram terpaku memandang gadis itu.
Apa Sheila sengaja membiarkan Boy keluar dari pagar kerena ingin
menyingkirkannya? Karena ia iri pada Boy yang lebih diperhatikan oleh
Bram!
Mata Bram terbuka sekarang, ia sekarang paham. Sheila melakukan ini
hanya karena iri. Seekor
anjing lebih diperhatikan oleh Bram dibanding dirinya, berarti......
"Kelihatannya Sheila khilaf."
Bram menoleh dan melihat Eman di belakangnya. Rupanya pria tua itu juga
mendengar igauan Sheila.
"Kasihan ia, Tuan. Susah payah ia ingin tinggal di sini, masa baru
sebulah tuan sudah mengusirnya pergi?"
Bram bangkit dengan kasar dan menyeret kakinya terseok-seok ke arah
kamar. "Kalau ia bangun, kasih obat." ucapnya dingin, Bram pun masuk ke
kamarnya.
BAB 8
SHEILA terbangun karena guncangan di bahunya.. Ia membuka mata dan
melihat Eman di sampingnya. "Bangun, Sheila. Panasmu masih tinggi, ayo
minum obat dulu."
Sheila merasa tubuhnyq amat lemah. Ia bingung mengapa ia terbaring di
sofa. Lalu diingatnya, hujan deras yang mengguyur tubuhnya, dan Boy ada
di sebuah pondok di tengah-tengah sawah. Lalu.....
"Aku akan diusir!" ia memegang tangan Eman erat-erat. "Kakek, aku akan
diusir dari sini oleh Bram!" rengeknya. "Bagaimana ini! Tolong aku,Kek.
Bujuk Bram!"
Eman tersenyum. "Tenang, nanti Kakek bantu membujuknya. Sekarang kamu
minum obat dulu."
Sheila agak tenang dan ia meminum satu tablet yang disodorkan Eman
dengan segelas air. Lalu ia merasa sangat mengantuk. "Kek, aku tidur
lagi,ya?"
Sebenarnya ada satu pertanyaan yang menggantung di benak Sheila. Tapi ia
lupa mau bertanya apa.
Esok harinya Sheila bangun dengan tubuh segar. Ia sudah di tempat
tidurnya sendiri. Ia lalu teringat, dalam keadaan setengah sadar dirinya
dipapah Eman ke tempat tidur. Kemudian Eman menyelimutinya, masih
diingatnya kata-kata pria tua itu.
"Pindah tidur di sini saja, kalau di sana nanti kamu tidak nyenyak. Di
sana dingin."
Sheila tersenyum, tapi seketika senyumnya hilang setelah menyadari apa
yang terjadi. Ia akan
diusir dari rumah ini! Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, tapi.....
Lalu dilihatnya tumpukan barang-barangnya yang telah diletakkan di
tempatnya semula. Tasnya pun sudah kempis, tanda barang-barangnya sudah
dikeluarkan. Apa artinya ini? Apakah ..... ia boleh tetap tinggal...?
Batinya gembira.
Ia keluar kamar dan menemukan Eman di dapur.
"Kek, aku boleh tetap tinggal di sini?"
Eman diam saja, lalu berkata,"Kalau kau tidak ada, lalu siapa yang
membantuku mencuci pakaian?"
Sheila terdiam, lalu ia melompat dan bersorak, "Horeeee, cihuy...!!!"
Eman tertawa.
"Tapi ada syarat dari tuan."
"Syarat apa?"
"Kamu harus bersikap dewasa, jangan seperti anak-anak. Jangan minta
diperhatika terus."
"Maksudnya, perhatian dari siapa?"
"Pikir saja sendiri."
"Dari Kakek?" ujar Sheila nakal, "Ya sudah, aku nggak akan ajak Kakek
ngomong lagi, nggak akan perhatiin Kakek lagi!"
Eman pura-pura marah, "Awas ya kamu, nanti tidak kuajarkan membuat bolu
nanas."
"Ya, jangan dong.... Janji harus ditepati!" rengak Sheila, pura-pura
takut.
Eman pun tertawa gembira. Sesungguhnya belum pernah ia merasa sebahagia
ini.
Waktu terus berlalu. Semenjak kejadian itu Bram semakin jarang keluar.
Bahkan ia pun tak terlalu dekat dengan Boy. Kini malah Sheila yang dekat
dengan anjing itu. Boy tak lagi dirantai, ia bebas berkeliaran dalam
rumah karena Sheila sudah memandikan bersih-bersih satu minggu sekali.
Sheila pun tahu diri, ia tak perbah mengganggu Bram. Ia membuat
kehadirannya di rumah ibu tidak dirasakan oleh Bram. Bila Bram keluar,
ia tahu diri, dan masuk ke dalam kamar. Bahkan Bram tak pernah lagi
mengajaknya ke supermarket. Bila mereka kebetulan berpapasan secara tak
sengaja, mereka akan saling melempar senyum, tapi cuma sampai di situ.
Sheila tak tahu mengapa Bram seperti itu, sengaja menjaga jarak
dengannya. Tapi ia menduga mungkin Bram tak ingin diganggu, jadi ia pun
berusaha agar pria itu tidak terganggu.
Tanpa terasa waktu terus berlalu. Sudah enam bulan Sheila tinggal di
rumah Bram. Bu Susan datang tiga kali dalam seminggu. Dan bila pada
bulan pertama Bram selalu keluar untuk mengobrol, kini tidak lagi.
Sheila yang capek menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
gurunya itu. Dari alasan yang ia buat sendiri, separti Bram yang sedang
kurang enak badan, sedang mengerjakan novel yang dikejar deadline,
sedang malas keluar, hingga Sheila menjawab tidak tahu....
Lama kelamaan Susan jadi kurang bersemangat. Bila dulu ia bisa beberapa
jam di rumah itu, lama kelamaan, cuma seperluanya saja. Kalau sudah
selasai urusannya, ia akan pulang ke asrama. terus terang Sheila lebuh
suka seperti itu. Ia toh cuma butuh ulangan dan pelajaran piano.
Sebenarnya terkesan tak menghargai, tapi sudah dikatakan sejak awal ia
tak menyukai Susan. Gurunya itu selalu menganggapnya tak ada., alias tak
pedulu padanya. Tak pernah sekalipun Susan menanyakan kabarnya. Bila ia
berbicara yang dibicarakan hanya dirinya sendiri atau situasi di
sekolah. Makanya, dalam enam bulan hubungan mereka, mereka tidak
bertambah dekat. Seperti ikatan tanpa emosional yang didasarkan saling
menguntungkan.. Susan dapat uang, Sheila dapat ilmu.
Beda dengan perasaan Sheila terjadap Bram. Walaupun mereka jarang
bicara, bahkan hampir tidak pernah, pria itu menempati hampir seluruh
hatinya. Sisa hatinya yang lain Sheila berikan pada almarhum mamanya,
Haryanto dan Eman, juga Wenny, Tini, dan Pak Alex. Mereka orang-orang
yang penting baginya, dan peduli padanya.
Pelajaran piano Sheila mengalami banyak kamajuan, walau tak seperti
rencana semula, menguasai lagu Fur Elise dalam waktu satu bulan.
Ternyata benar kata Susan tidak bisa seperti itu. Bagian depan lagu itu
mudah tapi di tengah-tengahnya ada yang sulit. Akhirnya Sheila menuruti
kata Susan untuk nelatih beberpa irama dan membuat tangannya terampil
terlebih dahulu. Kini Sheila sudah lancar memainkan Fur Elise, bahkan
tanpa melihat partitur.
Akhirnya tiba juga saat kenaikan kelas. Sheila menunggu dengan
harap-harap cemas Susan mengantarkan rapornya, setelah membagikan rapor
siswa-siswa lain. Sejak pagi Sheila sudah gelisah. Satu pakaian sampai
dicucinya dua kali, dan jemurannya jatuh ke tanah hingga ia harus
mencuci ulang saking gemetarannya tangannya.
"Sudahlah, naik nggak naik kelas sama saja. Nggak naik toh kau tetap tak
melanjutkan sekolah, naik juga tetap tak sekolah." goda Eman.
"Duh... Kek. Jangan ngomong begitu dong. Aku nggak mau ngulang, walaupun
tidak harus sekolah!"
Eman menunjuk, "Lihat.... Ada yang datang. Tapi kok bukan Bu Susan?"
Sheila menoleh ke pagar dan terpekik kaget, "Pak Alex…!" Buru-buru ia
berlari menghampiri Pak Alex dan menyongsong pria itu. Alex tersenyum
sambil mengangkat buku bersampul biru yang dikenali Sheila sebagai buku
rapor.
"Kok, Pak Alex yang mengantarka rapor, Bu Susan mana?"
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Eman membuatkan minuman.
"Bu Susan sakit. Saya disuruh Bu Lia kemari. Ternyata kau tinggal di
sini, Sheila. Kok nggak bilang-bilang?"
"Jadi, Pak Alex tidak tahu?"
"Saya kira sejak kejadian..... Ehm....... Tempo hari, kamu sudah pindah
ke sekolah lain, baru tadi
pagi saya tahu."
"Cuma Wenny dan Tini yang tahu, Pak. Diantara para guru, cuma Bu Lia dan
Bu Susan yang tahu. Mereka sudah berpesan supaya kedua teman saya tidak
membocorkan hal ini, takut menimbulakan kecemburuan anak-anak lain."
Alex memandangi Sheila. "Ya ampun, baru satu smester saya tidak melihat
kamu. Kamu sudah tumbuh dewasa."
Sheila melihat dirinya sendiri, "Masa sih Pak? Berubah apanya?"
"Kamu tambah tinggi, gemukan sedikit, lalu......" Alex menatap gadis itu
lagi, ia tak bisa berkata bahwa sekarang Sheila sudah tampak seperti
gadis dewasa sepenuhnya.
"Yah..... Masa saya gemuk sih, Pak.!" Protes Sheila.
Tentu saja Alex tak bisa bilang bahwa Sheila gemuk di bagian-bagian
tertentu. Wajahnya memanas, dan ia mengalihkan dengan membicarakan hasil
rapor Sheila.
" Ini hasil belajarmu."
Sheila buru-buru merebut rapornya. "Naik kelas nggak, Pak?"
"Nggak,"
Sheila terdiam, lalu ia tersenyum tidak percaya, pasti Alex menggodanya.
Ia membuka rapor halaman pertama. Di situ tertulis dengan jelas, ia
naik ke kelas dua. Dan tidak ada angka merah.
Sheila melompat kegirangan."Aku naik kelas! Aku naik kelas!
Horeeeee...!!!!"
Alex cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu.
lagi-lagi sheila membuat ia teringat adiknya yang sudah meninggal. Kalau
masih hidup, pasti adiknya sudah seperti ini, pikirnya. Sudah tumbuh
seperti gadis dewasa sepenuhnya.
Mereka ngobrol sambil berjalan-jalan di sekitar situ. Beberapa tetangga
memperhatikan mereka. Sheila menyapa mereka satu per satu dengan ramah.
Rupanya gadis itu mengenal tetangga di sekitar ramah.
"Enak tinggal di sini?"tanya Alex.
"Kalo tidak enak, saya nggak akan betah, Pak." jawab Sheila.
"Kadang saya berpikir, Sheila dengan sifatmu yang luar biasa itu, kamu
juga akan mengalami hidup yqng luar biasa. Ternyata saya benar."
"Sifat saya yang laur biasa mana, Pak? Saya kan biasa-biasa saja!" jawab
Sheila.
Alex tersenyum, "Kamu tidak bisa melihat duri kamu sendiri, tapi orang
lain bisa."
Wajah Sheila berubah murung. "Bapak bilang begitu karena saya anak
pembunuh, kan? Saya punya sifat kejam dalam diri saya, makanya
berkali-kali saya mendapatkan masalah."
"Lho, bukan Sheila. kenpa kamu berpikiran seperti itu?"
"Lalu?"
"Bukan itu yang saya maksud dengan sifat. Kamu punya banyak sifat
istimewa. Kamu perhatian dengan orang lain, kamu kecenderungan untuk
terlibat secara emosional dengan orang lain. Singkatnya, kamu sensitif
dan perhatian pada orang lain. Tapi orang-orang yang memiliki sifat
seperti itu punya kelemahan."
"Apa kelemahannya?"
"Jika orang lain kurang peduli padanya, ia akan membenci orang itu."
Sheila merenung. Benarkah itu? Ia punya sifat yang seperti ayahnya?.
Apakah papa membunuh mama karena benci, akibat mama kurang perhatian dan
selalu merendahkan Papa? lalu waktu Sheila memukul Reza dengan botol,
apakah karena dua saudara itu selalu menghinanya? Lalu terhadap Indah,
memang jelas perlakuan Indah buruk padanya, tapi ia toh tak perlu sampai
menghantamkan balok, kan? Lalu, ia melepaskan Boy agar Bram lebih
memperhatikannya.
Tiba-tiba Sheila berhenti berjalan. Ia berjongkok dan tangannya memegang
kepalanya.
"Kenapa Sheila?" tanya Alex kaget.
Sheila menangis, "Saya jahat, Pak. Saya kejam! Saya tidak pantas hidup!
Orang seperti saya tidak pantas hidup, bagi orang-orang di sekitar saya ,
saya berbahaya!"
Alex ikut berjongkok, "Sheila apa kamu tersinggung dengan kata-kata saya
barusan? Saya tidak bermaksud menghakimi kamu. Saya tidak bermaksud
berkata dahwa kamu jahat. Itu saya katakan karena....." kata-kata Alex
terhenti, Sheila memandang gurunya itu, menunggu kelanjutannya, "……
sifat kamu…… murip dengan.... Saya."
Sheila berhenti menangis, "Bapak…… mirip dengan saya?"
"Ya. Apa kamu tidak tahu mengapa kita berdua meresa cocok satu sama
lain? Karena sifat kita sama, kita selalu memperhatikan orang lain, dan
bila orang itu tidak menaruh perhatian dengan intensitas yang sama, saya
akan tersinggung. tapi karena saya sudah dewasa, saya tidak
melampiaskannya seperti kamu. Kamu mengumbar emosimu yang terkadang
muncul begitu saja. Kemarahanmu bisa muncul tiba-tiba karena egomu
dilanggar orang lain. Itu sebabnya kamu menyerang indah ketika ia
mempermalukanmu di depan saya. Mungkin juga ada pemicu lain sebagai
tambahannya."
Sheila terdiam, mencerna kata-kata Alex. "Lalu bagaimana saya bisa
mengendalikan diri saya, Pak.?"
Alex tertawa. "Itulah sebabnya, semakin bertambah umur kita, semakin
dewasalah sikap kita, semakin bisa kita menutupi kekurangan yang ada
pada diri kita.
"Bagaimana kalau semakin bertambah umur saya, sikap saya tidak bertambah
dewasa?"
Alex menghela napas, " Saya pikir itulah yang terjadi pada..... Ehm...
Maaf ya, ayah kamu."
Tanpa sadar, mereka telah berbincang-bincang selama dua jam. Dan ketika
tiba kembali ke rumah, hari sudah sore. Sheila teringat, ia belum sempat
makan siang dan kini perutnya terasa lapar.
"Pak Alex mau makan di sini, Pak?" katanya menawarkan.
"Tidak usah, saya kembali ke Asrama saja, sebentar lagi jam makan malam.
Kalau saya tidak kembali nanti orang-orang khawatir."
Shrila melepas kepergian alex sampai tubuh pria itu hilang dari
pandangannya. Ia pun masuk dan menutup pintu pagar. Masih diingatnya
peecakapan dengan Alex mengenai ayahnya.
"Apa kamu pernah bertemu lagi dengan ayahmu, Sheila?"
"Saya sudah tidak bertemu dengan Papa semenjak ia ditangkap. Itulah
terakhir kali saya melihatnya."
"Lalu kenapa kau tidak menjenguknya di penjara?"
Sheila menyipitkan matanya dan pandangannya menerawang jauh, "Saya
membencinya, Pak. Ia sudah menghancurkan hidup saya. Saya tidak mau
bertemu dengannya lagi untuk selamanya."
"Yang tadi gurumu, Sheila?" suara itu membuat sheila tersentak dari
lamunannya. Ia mendapati Bram berdiri di hadapannya.
"Ehm... Iya." Lalu Sheila buru-buru menjelaskan, "Maaf tadi aku
berjalan-jalan sampai lupa waktu, aku belum membereskan...."
"Tidak apa-apa. Tidak usah bingung begitu." senyum Bram. "Kudengar kau
naik kelas dengan nilai yang bagus, selamat ya."
Senyum Sheila mengembang, "Terima kasih."
"Kau mau hadiah apa?"
Sheila tertegun, "Apa?"
"Kau mau hadiah apa? Kau kan sudah naik kelas, sepatutnya dapat hadiah."
"Tidak! Tidak usah, Bram. Kau sudah begitu baik padaku, tidak usah
memberikan hadiah untukku. Aku bukan anak kecil."
"Aku juga tidak bulang kau masih kecil, kau sudah dewasa."
Wajah Sheila memerah. Ia sangat senang Bram mau bicara padanya, walaupun
mungkin hanya untuk hari ini saja.
"Ya sudah. Bagaimana kalau kita makan malam sama-sama." pinta Sheila.
Bram mengusulkan untuk makan malam diudara terbuka. Eman menyiapkan
masakan istimewa andalannya, dan menyuruh Sheila menata meja di kebun.
Sheila sangat gembira. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum. Dipetiknya
bunga bugenvil yang rimbun dan diletakkanya di dalam vas bunga. Tak
lupa dinyalakannya dua lilin untuk mengusir lalat. Pekarangan rumah Bram
cukup besar. Dari luar pagar orang tak akan bisa melihat mereka makan
malam di kebun. Ini sangat sempurna.
Eman menyajikan msakanan yang dulu ia pelajari ketika ia bekerja pada
orang belanda. Steak daging sapi dan sayur-sayuran pelengkap. Juga
Hotspot, sup kental dengan macam-macam isi yang bergizi di dalamnya. Ini
sangat sempurna. ketika Sheila mengajak makan bersama, pria tua itu
tidak mau.
"Aku sudah kenyang. Lagipula lidahku tidak cocok makan makanan Belanda."
katanya.
Maka Sheila berdua dengan Bram di bawah cahaya bintang-bintang yang
malam itu memenuhi langit yang cerah tak berawan.
"Hmmmm....... Enak sekali." ucap Sheila yang merasa dirinya agak gugup.
Maklum lah selama ini Bram selalu menjaga jarak dan selalu tertutup
padanya. Ia jadi takut kali pria itu akan menyesal karena telah
memutuskan untuk makan malam dengannya.
"Sudah lama aku ingin makan malam di langit yang terbuka. Ternyata baru
kali ini kesampaian. Untung ada kau, Sheila. Kalau tidak aku sendirian
makan malam begini..... Tentu mirip orang gila." ucap Bram.
Sheila tertawa, "Aku juga senang sekali! Sungguh! Pengalaman ini tak
akan kulupankan selamanya. bagaiman kalau kita lakukan ini setiap tahun?
Setiap aku naik kelas?" Sheila ingat tahu depan mungkin ia tak ada di
sini lagi sebab usianya sudah lewat tujuh belas tahun. "Lupakan apa yang
aku katakan barusan." tambahnya.
Bram sadar apa yang dipikirkan gadis itu."Apa setelah kau berusia tujuh
belas tahu kau akan kembali ke rumah Haryanto?
Sheila menggeleng kuat-kuat. "Tidak. aku sudah mengumpulkan uang dari
gaji yang kau berikan padaku. Aku akan mencari tempat ringgal sendiri,
lalu menyelesaikan SMA ku di sana. Setelah lulus mungkin aku akan
bekerja."
"Jadi, kau tidak akan menamatkan SMA mu di sini?
"Aku tidak mau kembali ke asrama." jawab Sheila.
Bram terdiam. ia pura-pura menikmati makanannya. Gaji yang ia bayarkan
kepada Sheila tidak seberapa. Bila dikalikan dua belas masih belum cukup
untuk membayar tempat tinggal, apalagi untuk biaya sekolah. Sebenarnya
jalan keluarnya mudah saja. Biarkan Sheila tinggal di sini sampai tamat
SMA. Saat itu mungkin uang gadis itu sudah terkumpul cukup banyak, dan
Sheila bisa bekerja. Tapi Bram tidak bisa, semakin lama Sheila di sini
semakin ia terikat pada gadis itu. Ia tak mau hal itu terjadi. Sheila
akan pergi darinya, itu sudah pasti. Gadis itu akan menemukan hal-hal
yang baru, kehidupan yang baru. Sedangkan ia akan tetap di sini. ia tak
mau merasa lebih kesepian dibandingkan sebelum Sheila datang. Makanya ia
selalu menghindar dari gadis itu. ia tak mau terlibat terlalu dalam
dengan Sheila.
Bram mengalihkan pembicaraan. "Bagaimana kemajuan les pianomu dengan bu
Susan?"
Wajah Sheila berseri-seri. " Aku sudah bisa memainkan lagu Fur Eluse!"
Bram tersenyum, "Ya, aku sudah dengar peemainanmu ketika les."
"Suaranya kedengaran sampai kamar, ya?"
"Tentu saja, saat les aku tak bisa mengetik karena suaranya berisik
sekali."
"Maaf, ya." ujar Sheila memelas.
Bram tertawa, "Yang penting ada hasilnya. Punya keterampilan sangat baik
untuk masa sekarang. Kalau cuma mengandalkan ijasah SMA belum tentu
kita bisa mendapatkan perkejaan. Tapi kalau kau bisa main piano , kau
punya lebih banyak pilihan. Kau bisa menjadi guru les piano, bisa jadi
pianis,bisa men...."
Sheila lama ingin menanyakan hal itu, "apa menjadi pianis bisa hidup?"
"Tentu saja bisa. ku dengar bayaran main piano di kafe-kafe atau
restoran cukup tinggi. Sekarang malah sudah menjamur permainan piano di
pesta pernikahan. Orang semakin peduli terhadap mutu dan mereka lebih
suka memakai tenaga profesional ketimbang maminta teman main piano di
pestanya."
"Mahal?"
"Kalau dihitung-hitung penghasilannya bisa beberapa kalilipat dari gaji
karyawan kantor."
"Masa?" tanya Sheila tak percaya.
"Makanya rajin-rajin latihan piano. Tapi jangan main piano di waktu
subuh atau malam-malam, ya."
Sheila meringis, "Mengganggu, ya?"
"Sudah tahu jangan nanya."
Sheila merasa sangat gembira. Mereka ngobrol ngalor ngidul sampai larut
malam . Baru sekarang ia menyadari ucapan Alex ada benarnya. Bram juga
punya sifat yang sama dengannya, makanya mereka cocok. Mereka bisa
terlibat secara emosional dan dalam, serta mengharapkan intensitas yang
sama dari orang lain.
BAB 9
KALAU biasanya Sheila sibuk belajar setiap hari, kini ia harus libur
selama sebulan. Ini malah membuatnya bosan. Ia tidak tahu harus
melakukan apa. Setiap hati pekerjaannya bermain dengan Boy, mengajak
anjing itu berkeliling kampung, memasak semua bahan makanan sampai enek
menghabiskannya, sambil terkantuk-kantuk mendengarkan kaset keroncong
milik Eman. Tini dan Wenny tidak datang berkunjung seperti biasanya.
Mereka sedang pulang ke rumah masing-masing. Bu Susan pun pulang ke
rumah orangtuanya, jadi tidak datang mengajar les piano.
Ketika Sheila hampir mati bosan, Eman berkata bahwa tanggal 25 juni Bram
ulang tahun. Berarti tak lama lagi. Mendadak Sheila kegirangan. Ia bisa
mengisi waktu luang dengan mempersiapkan pesta untuk pria itu!
Eman setuju untuk membantu Sheila menyiapkan makanan untuk pesta. Cuma
kue tart yang ia tak bisa, jadi kue ulang tahunnya berupa bolu yang
dilapisi margarine dan ditaburi meisyes.
"Kek, bagaimana kalau kita mrngundang orang-orang agar pestanya ramai.!"
Eman mrngerutkan kening, "Mrngundang siapa? Tuan pasti nggak suka."
"Jangan bilang-bilang! Pesta kujutan kalau tidak banyak tamunya nggak
seru!" Saat itu alasan Sheila adalah Bram memang tidak suka bertemu
orang-orang seperti penghini asrama atau orang dari Jakarta semacam
Frans. Tapi pria itu masih sering ke Supermarket dan mengenal beberapa
orang di sana. Bram tidak anti pada penduduk desa di sini. Jadi, Sheila
berencana mengundang beberapa tetangga untuk menghadiri pesta Bram.
Selain bisa menjalin hubungan baik, mengenal tetangga ada untungnya
juga. Hidup di dunia sendirian sangan sulit. Tapi bila kenal beberapa
orang, sewaktu-waktu mereka bisa menolong kita.
Eman menjawab, " Pokoknya kalu ada apa-apa, saya tidak mau tanggung
jawab, ya. Sheila yang mesti tanggung jawab ke Tuan sendiri."
"Beres deh... Yang penying Kakek mau kan, bantuin masak."
Jadi, sehari sebelum 25 juni, Sheila sibuk mengundang dua puluh orang
tetangga terdekat mereka, termasuk pemilik Supermatket yang dikenal
Bram. Ternyata mereka mau datang, malah antusias. Belum ada yang
mengundang mereka ke pesta ulang tahun, terlebih usia mereka sudah
dewasa. Mereka jadi ingin tahu seperti apa rumah Bram.
Hari H tiba. Sheila berencana ingin membelikan Bram saputangan.
Saputangan yang dimiliki Bram cuma sedikit, padahal setiap hari harus
dipakai. Sheila membeli dengan uangnya sendiri. Selain itu, bahan
makanan untuk pesta juga biayanya sendiri, plus sedikit persediaan
makanan yang sudah ada di kulkas.
Pesta rencananya akan diadakan pukul dua belas siang, tepat saat makan
siang. Eman sengaja tidak mempersiapkan makanan di meja, sebab kadang
Bram keluar kamar pada pukul setengah dua belas. Untuk kemungkinan itu
Sheila sudah menyiapkan jawabannya. Ia bilang Eman harus mengatakan
bahwa makan belum siap.
Pukul dua belas orang-orang mulai berdatangan. Ada bapak-bapak, ibu-ibu,
juga ada yang membawa anak. Sheila menyuruh mereka berkumpul di
pekarangan. Ia sudah menyiapkan tikar di sana, untuk tempat duduk. Hal
ini supaya Bram tidak tahu sudah ada banyak tamu di rumahnya.
Tak lama kemudian semua tamu sudah hadir. Sheila meminta mereka
siap-siap menyambut. Ia pergi ke kamar Bram dan mengetuknya.
"Ya" terdengar suara dari dalam.
"Bram makan siangnya sudah siap. Pakai baju yang rapi ya, ini makan
siang istimewa. Hari ini ulang tahunmu, kan?" ujar Sheila di depan
pintu.
Bram diam saja. Tapi lima menit kemudian ia membuka pintu.
"KEJUTAN...!!!!" Serentak dua puluh orang tamu berteriak. Bram terkejut.
Ia menatap Sheila seolah bertanya. Sheila menatapnya dengan wajah
berseri-seri.
"Selamat ulang tahun, Bram. Mereka semua datang ke sini untuk merayakan
ulang tahunmu!"
"Happy bithday to you! Happy birthday to you! Happy birthday to you!
Happy birthday to you!…" para tamu bernyanyi dipandu Sheila.
Selesai bernyanyi , semua orang maju untuk memberikan selamat untuk
Bram. Beberapa diantaranya membawa kado. Bram terpaksa menyalami mereka
dengan senyum yang dipaksakan. Sheila tahu kalau setelah ini Bram akan
marah, tapi Sheila akan menjelaskan.
Salah seorang tamu yang menyalami Bram rupanya agak bawel. ia berkata,
"Selamat ulang tahun ya. Selama ini saya mengira rumah ini tidk ada
penghuninya. Baru kali ini saya bisa kenal pemiliknya." ia lalu
mengamati wajah Bran dengan seksama. "Tunggu dulu! Wajah anda kok
Familier ya? Apa anda artis atau semacamnya?"
Wajah Bram memucat.
"Tidak, saya cuma orang biasa," jawabnya.
"Tapi wajah anda mirip....... Aktor terkenal tahun delapan puluhan
favotit saya! Namanya.........
Aduh, siapa ya? Kok saya jadi lupa begini?" Ia terus berpikir sementara
tamu lain di belakangnya sudah tak sabar dan mendorong tubuhnya.
Tiba-tiba ia berseru, "Abraham Mukti! Ya benar, Abraham mukti namanya!"
Bram menggeleng, "Bukan. anda pasti salah."
Tamu itu mengerutkan kening, lalu menggelengkan kepalanya, "Tapi anda
mirip sekali. Sumpah deh. Seperti pinang dibelah dua." ia pun bergeser
dan digantikan tamu lainnya.
Sheila mempersilakan tamu yang sudah memberikan selamat untuk makan
siang di pekarangan. di tikar yang sudah disediakan. Saat semua tamu
sudah menyalaminya, Bram menarik tangan Sheila ke dalam.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, Sheila?" desis Bram marah.
Sheila sudah menyiapkan segalanya, " Begini, Bram. Aku tahu kau tidak
seka acara seperti ini. Kau tidak seka bertemu orang. Tapi ada baiknya
kau mengenal tetangga. Jika sesuatu terjadi padamu, mereka bisa
menolongmu. Lagi pula....."
Tiba-tiba Bram mencekal tangan Sheila hingga gadis itu kesakitan ,
"Adduuuuhhhh......"
"Tak usah mencampuri urusanku, Sheila. Aku tak tahu setan apa yang
merasukimu hari ini. Lama-kelamaan kau semakin mengganggu di rumah ini.
Bagimana kalu kau pindah saja ke tempat lain, agar kau bisa melakukan
apa saja yang kau inginkan.?"
Sheila langsung ketakutan. "Jangan!!!! Jangan usir aku Bram, aku cuma
mau......."
"Kau cuma mau mencampuri urusanku." desis Bram marah.
"Ak........akuu akan menyuruh mereka pulang."
"Bagus! Suruh mereka pulang sekarang, atau kau yang pulang!" Bram pun
meninggalkan Sheila dengan langkah tertatih menuju kamarnya.
Sheila terpaksa membatalkan acara permainan yang sudah disiapkannya.
Setelah para tamu selesai makan, ia minta maaf dan berkata bahwa Bram
kurang sehat, jadi tidak bisa menemani mereka. Mereka pungucapkan terima
kasih dan pulang ke rumah masing-masing.
Selasai pesta, Sheila dan Eman duduok termenung di ruang tamu, sambil
memandangi kado di meja ruang tamu.
"Tuan marah, ya?" tanya Emab.
"He-eh.." jawab Sheila lemah.
"Sudah ku duga. Lain kali kau mesti kendengar kata-kataku."
"Tapi aku bermaksud baik, Kek."
"Sheila, ada kalanya baik menurut kita, belum tentu baik menurut orang
lain, jangan menyuruh orang memakai sepatu kita, ukurannya belum tentu
sama."
Sheila terdiam, lalu ia mengambil metafora yang sama, "Kalau sepatunya
kubelikan untuk dia? Dan kubelikan ukuran yang cocok buat dia?"
"Tetap saja belum tentu cocok. Siapa tahu modelnya tidak cocok.
Sheila terdiam lagi, "Ya sudah lah, berarti kali ini aku salah lagi.
Lain kali tidak akan ada lagi pesta kejutan ultah untuk Bram."
Lalu ia berpikir, ini ulang tahun Bram yang terakhir yang dirayakannya.
Tahun depan ia sudah tak ada lagi di sini. Bahunya pun lunglai dan
wajahnya muram. Bram mengapa aku tak bisa mengerti dirimu? Apa
sebenarnya yang telah terjadi sehingga kau begitu menutup diri?
Liburan akhirnya berlalu. Tahun ajaran baru dimulai. Sheila kini kelas 2
SMA. Pertama kali datang ke rumah itu setelah liburan panjang, Bu Susan
membawakannya setumpuk buku pelajaran kelas dua, "Ini milik kelas dua
yang sudah naik ke kelas tiga. Ia bilang berikan saja semuanya,dia sudah
tidak mau pakai lagi."
Saking gembiranya, Sheila memeluk Bu Susan. Kini baru disadarinya bahwa
Bu Susan baik. Wanita itu hanya tidak biasa memperlihatkan perasaannya.
Tadinya Sheila juga bingung bagaimana mendapatkan buku-buku pelajaran.
Minta pada Bram tidak enak, beli sendiri juga harganya sangat mahal.
Saat sekolah, waktu lebih cepat berlalu karena Sheila punya kesibukan.
Ia barusaha mendapatkan nilai baik disetiap ulangan yang diujukan Bu
Susan. Ia tak mau main-main. Belajar di kelas tentu berbeda dengan
belajar sendiri. Maka ia berjuang mati-matian, dan setiap hal yang tidak
dimengertinya ditanyakannya pada Bu Susan atau Tini dan Wenny yang
datang secara teratur beberapa hari sekali.
Adapun Bram, sejak pesta ulang tahun kejutan yang dibuat Sheila tidak
pernah lagi bicara dengan gadis itu. Sheila sangat menyesal. Mestinya ia
tak sembrono seperti itu. Padahal hubungannya dengan Bram sudah mulai
membaik sejak makan malam untuk merayakan kenaikan kelasnya. Kini sudah
tercipta lagi jarak yang memisahkan mereka.. Akhirnya Sheila lebih
menyibukan diri dengan belajar, baik belajar pelajaran maupun berlatih
piano. Semakin pilu hatinya, semakin besar tekadnya, dan semakin keras
perjuangannya.
Suatu malam Sheila terbangun dan terbatuk-batuk. Di sekelilingnya banyak
sekali asap. Buru-buru ia keluar dan berusaha mencari udara segar.
"Kek…!!! Kakek...!"
Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya dipapah dan dibawa keluar. Karena
langkah penolongnya tertatih-tatih, ia segera tahu bahwa Bram yang
menolongnya.
Tak lama kemudian ia sudah tiba di luar dan melihat bahwa api berasal
dari kamar Bram. Ia pun berseru panik. "Kakek!! Kakek Eman masih di
dalam"
"Sudah, sudah keluar. Ia sedang mengambil air." sergah Bram. "Ayo kita
ke tempat aman dulu."
Sheila merasa jantungnya hampir melompat keluar menyaksikan api yang
begitu besar menjilat-jilat dan berkobar. Hawa panasnya serasa menjilat
wajahnya juga. Ia ingin sekalu membantu memadamkab api, tapi kakinya
begitu lrmas dan tak bisa bergerak. "KEBAKARAN...!!!!
KEBAKARAN…!!!! TOLONG... KEBAKARAN...!!!!"
Suaranya bergema dalam kesunyian. Dalam waktu singkat salah seorang
tetangga terbangun dan melihat apa yang terjadi. Orang itu juga
berteriak menyerukan. Dalam sekejap tetangga -tetangga berdatangan,
membawa ember dan slang untuk membantu memadamkan api. Untunglah ada
keran air di depan rumah Bram, dan dari sana penduduk mengambil air dan
menyiramkannya ke api yang menyala.
Belasan orang datang, dan beberapa saat kemudian api berhasil
dipadamkan. Bram mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Para
tetengga itulah yang sebagian datang waktu pesta ulang tahun yabg
diadakan Sheila.
Saat para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Sheila melihat
kerusakan yang terjadi. Rupanya hanya kamar Bram dan gudang yang
terbakar. Ternyata semalam mati lampu. Karena Bram tidak bisa tidur ia
menyalakan lilin dan membaca. Tapi lalu ia ketiduran, dan lilin itu
jatuh ke atas kertas, dan api semakin membesar. Ketika Bram bangun, api
sudah sulit dipadamkan.
"Bram, kamarmu terbakar separuhnya, lalu bagaimana?" tanya Sheila.
Bram, yang juga sedang melihat-lihat tersenyum, "Untunglah komputer dan
buku-bukunya selamat. Tempat tidur yang terbakar tidak apa-apa, masih
bisa diperbaiki. Komputerku berisi data penting. File novelku ada di
sana semua!" tuturnya.
"Sudah tertimpa musibah, masih bilang untung.!" gerutu Sheila sambil
membantu memunguti barang-barang Bram yang berantakan akibat belasan
orang masuk ke tempat itu untuk memadamkan api.
"Yaaa.... Dari setiap musibah kan harus mengambil hikmahnya." senyum
Bram. Ia lalu menghapiri Sheila, " Dan aku juga mau minta maaf."
Sheila menatap Bram, "Untuk apa?"
"Dua bulan yang lalu kau telah mengundang tetangga, dan aku marah-marah.
Padahal kalau tidak ada mereka semalam, api akan melahap semua isi
rumah ini."
Sheila tersenyum. "Aku juga tidak tahu mengapa aku melakukan itu dan
membuat kau marah padaku. Tapi sekarang aku tahu kenapa, rupanya aku
takut hal seperti tadi terjadi."
"Hal seperti apa?"
"Aku berpikir, bahwa kau hanya tinggal sendirian bersama kakek Eman yang
sudah tua. Dan sebentar lagi usiaku tujuh belas tahun. Aku sudah harus
meninggalkan tempat ini. Bila kau tidak kenal siapa-siapa di sini
bagaimana kalau terjadi apa-apa? Siapa yang akan menolongmu kalau kau
tak kenal tetangga?"
Bram terdiam, tenggorokannya tercekat karena haru. Sheila ternyata telah
berpikir sejauh itu.
"Ter.... Terima kasih.." gumamnya, lalu tangannya sibuk membenahi
barang-barangnya.
Sheila mengangkat selembar foto. Yang pria berwajah mirip dengan Bram,
tapi lebih tua. Yang wanita terlihat sangat cantik, kira-kira berusia
empat puluh tahun.
"Ini orangtuamu?"
"Ya. itu foto mereka saat ayahku belum meninggal. Waktu itu....." Bram
tidak jadi melanjutkan, foto itu dibuat saat Bram berada di puncak
ketenaran, belum cacat seperti sekarang.
Sheila melihat wajah Bram yang berubah murung. "Kau teringat pada
almarhum ayahmu?"
"Ya, kadang-kadang. Kadang-kadang aku rindu padanya, dan teringat ia
sudah tak ada lagi, dan tak bisa ku temui lagi." tak lama kemudian Bram
berkata, "Apakah kau masih sering mengingat tentang ayahmu, Sheila?"
"Tidak....!"
"Apa kau tak rindu padanya?"
"Tidak...."
Bram mendekati Sheila dan memegang pundak gadis itu, lalu menghadapkan
wajah gadis itu padanya. " Sheila akan jauh lebih baik bila kau
memaafkan ayahmu. Kebencian yang kau simpan di hatimu semakin lama akan
membuatmu makin menderita."
Mata Sheila berkaca-kaca. Tak dipungkurinya hatinya terkadang rindu pada
ayahnya bila ia membayangkan betapa ayahnya begitu mengasihinya. Waktu
ayahnya mengajaknya berdua saja ke Taman Ria, atau ke pantai ancol
bermain pasir. Atau waktu ayahnya membelikannya kembang api pulang dari
bekerja, atau...... Banyak sekali hal-hal tiba-tiba teringat, yang
membuat hatinya sangat sedih.
Tiba-tiba tangisnya meledak dan ia memeluk tubuh Bram. Ia menangis
tersedu-sedu. Bram membiarkan gadis itu menangis, melepas semua beban
yang menghimpit di dadanya.
"Sheila, kalau kau merindukan ayahmu, temuilah dia. Jenguklah ia di
penjara."
Sheila menangis lama sekali, lalu ia menjawab, "Tidak Bram, aku tak mau
bertemu dengannya lagi..."
Bulan oktober tiba, musim hujan tiba. Sheila berpikir, betapa cepatnya
waktu berlalu. Sheila teringat besok ulang tahun Haryanto. Ia tidak akan
lupa ulang tahun Haryanto, sebab di hari itu Ratna menghina dan
mempermalukannya. Haryanto ingin ia memainkan piano, tapi ia tak bisa
sedikitpun. Sekarang ia sudah bisa main piano. Ingin sekali ia main di
depan Oomnya itu, tapi tentu saja tidak bisa. Ia enggan bertemu Ratna
dan kedua anaknya. Seandainya waktu bisa diputar kembali ke tahun lalu
ia ingin memainkan lagu Fur Elise kesukaan Oomnya itu dengan
kemampuannya sekarang.. Tentu saja itu hanya ada di cerita-cerita. Ini
kehidupan nyata dan segala sesuatu tidak selalu sesuai dengan apa yang
kita harapkan.
Eman masuk ke dapur dengan membawa beberapa batang singkong yang diambil
di kebun.
"Mau dimasak apa, Kek? Dikolak, digoreng, atau direbus?" tanya Sheila,
ia sendiri sedang memotong-motong wortel untuk membuat sup kacang merah.
"Dibuat getuk saja."
"Emang bisa?"
"Apasih yang Kakek nggak bisa?" gurau Eman.
Sheila mengambil emping mentah yang disimpan di laci bahan-bahan makanan
kering. "Empingnya kugoreng saja ya Kek, cocok kalau dimakan dengan sup
kacang merah."
"Ya sudah, jangan hangus-hangus, tuan senangnya emping yang masih
putih."
"Ada koran brkas nggak, Kek, buat tirisan minyaknya?"
"Ambil sendiri di kamar Kakek."
Sheila pergi ke kamar Eman. Kamar itu berbau balsam gosok, karena Eman
bisa memakainya sepanjang waktu. Rasanya tidak enak kalau tidak pakai
balsam, katanya. Tupukan koran bekas ada di sudut kamar. Sheila
mengambil koran yang paling atas dan memeriksa tanggalnya. Sudah tiga
hari yang lalu, berarti bisa dipakai, pikirnya.
Matanya membaca headline yang ditulis besar-besar di koran. RAMPOK
MENYERGAP KELUARGA FURNITUR____ Sudah jatuh tertimpa tangga. Habis
bangkrut, kemalingan. Seratus juta amblas.
Sheila jadi ingat, Haryanto juga pengusaha furnitur. Ia membuat mebel
dari kayu dan memasarkannya ke toko-toko furniture. Sheila jadi tertarik
untuk membaca. Ia tak keluar dari kamar Eman, melainkan duduk di lantai
dan membaca berita tersebut.
Nasib Har (42) sungguh malang. Baru saja perusahaannya bangrut akibat
krisis moneter, hartanya pun digasak rampok. Har beserta istri dan dua
anaknya disekap oleh lima orang permpok bersenjata api, di perumahan
Kencana Makmur Blok C-7 kelurahan kedoya, Jakarta Barat. Usai
mengobrak-abrik seisi ruangan, kawanan rampok kabur menggasak uang
kontan seratus juta dan perhiasan emas senilai sepuluh juta rupiah,
barang elektronik senilai puluhan juta rupiah, dan sebuah mobil panther
milik korban.
Perampokan.yang terjadi di rumah Har ini berjalan sangat cepat. Kelima
perampok datang mengendarai mobil kijang. Pengusaha furnitur ini pasrah
ketika pelaku mengancam akan menembak putra sulungnya, Reza (18) dan
istrinya Ratna (37) setelah melumpuhkan seisi rumah, kawanan garong
menyeret suami-istri dan anak mereka ke kamar tidur di lantai dasar.
Lalu pintu dikunci dari luar. Dengan leluasa para garong mengobrak-abrik
rumah, menjarah uang dan perhiasan emas di laci lemari kamar tidur Har
di lantai dua. Sedangkan di lantai dasar perampok menggasak tiga
handphone, radio, tape, serta DVD.
Kawanan garong ini meninggalkan korban yang dikurung di kamar dengan
membawa kabur mobil panther milik Har setelah sebelumnya meminta kunci
pada putra korban. Kasus perampokan ini dilaporkan Har ke Polsekta
Jakarta Barat. Kepada petugas yqng datang ke lokasi kejadian, Har
menjelaskan bahwa lima perampok masuk ke rumah setelah mereka menyantap
makan malam, pukul 20.15. Ketika beraksi kelima pelaku menutup wajah
dengan sarung.
Har meminta polisi segera menangkap pelaku dan mengembalikan uangnya,
karena uang itu adalah uang pinjaman korban yang akan dipakai untuk
membangun kembali usaha furniturnya yang baru saja bangkrut.
Sheila terkejut sekali membaca berita itu. Alamat yang tertera adalah
alamat rumah Haryanto, Oomnya. Sedangkan Reza dan Ratna yang
disebut-sebut dalam berita ini sudah pasti menunjukkan bahwa ini
keluarga Oomnya. Sheila langsung berlari keluar dari kamar Eman.
"Sheila...! Sheila...! Mau kemana?" seru Eman melihat gadis itu berlari
tanpa menutup pintu kamarnya lagi.
Sheila langsung mengetuk pintu kamar Bram, padahal selama ini ia belum
pernah melakukan hal itu.
"Bram.... Bram...."
"Masuklah, tidak dikunci!" terdengar suara dari dalam, Sheila langsung
menerjang masuk dan memberikan koran itu pada Bram.
"Bram, baca ini!"
Bram membaca bagian yang ditunjuk Sheila. Selesai membaca ia menatap
Sheila bingung, "Ada apa dengan berita ini?"
"Ini Oomku yang tempo hari datang kemari, Bram. Oom Haryanto! Ia
kerampokan. Uang untuk mambangun kembali usahanya yang bangkrut
dirampok!"
Bram merenung dan membaca lagi berita itu. "Kasihan sekali. Benar-benar
sudah jatuh tertimpa tangga."
Sheila menangis, "Aku tak tahu Oomku bangkrut. Sekarang setelah
kerampokan, ia pasti tak punya apa-apa."
Bram menatap Sheila, "Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Aku ingin ke Jakarta, aku ingin melihat sendiri bagaimana keadaannya."
Bram mengangguk, "Pergilah, lihat ia butuh apa"
"Tapi aku tak punya apa-apa untuk membantunya. Kedatanganku pasti hanya
akan membuatnya tambah sedih. Bila aku tak datang padahal sudah
mengetahui hal ini, bukankan itu berarti aku tak menunjukkan perhatianku
padanya?"
Bram berkata lembut, "Sheila kau membenci mereka, kan?"
Sheila mengangkat wajahnya dan menatap Bram. "Tantemu itu, bukannya dia
yang menyiksamu, lalu anak-anaknya kau bilang mereka selalu mengejekmu
dan tak pernah menganggapmu sebagai sepupu mereka."
"Tapi Oom Haryanto baik padaku, Bram. Dan di dunia ini hanya ada dua
orang yang benar-benar tulus mengulurkan bantuan saat aku susah. Dua
orang itu adalah kau dan Oom Haryanto...." mata Sheila menerawang. "Dia
mengasuhku saat papa ditangkap dan dipenjara. Dia telah mengeluarkan
uang cukup banyak untuk menyewa pengacara yang membela kasus papa. Dia
menyekolahkanku, lalu ingin membiayaiku les, walau tante Ratna tidak
setuju. Lalu setelah aku membuat masalah, dia memindahkan aku ke sekolah
asrama. itu semua membutuhkan uang yang tidak sedikit. Kali ini yang
dibutuhkannya adalah uang seratus juta yang dibawa lari perampok itu.
Itu pasti untuk membangun usahanya dan menyekolahkan Renny dan Reza.
Tapi aku tak punya uang sebanyak itu. Aku sungguh sedih tidak bisa
membantunya!" Sheila pun menangis.
Bram meraih tangan Sheila, "Kau benar-benar ingin membantunya?"
"Lebih dari pada menginginkan apa pun di dunia ini." jawab Sheila.
"Kalau begitu....." Bram mengambil buku cek dan menuliskan sesuatu, lalu
memberikannya pada Sheila, "Berikan ini padanya."
Sheila mengambil cek itu ragu-ragu, lalu ia membaca angka seratus juta
rupiah yang dituliskan Bram. Ia kaget dan memandang Bram. " Kau tak
perlu melakukan ini, aku tak bermaksud....."
"Sheila, apalah artinya uang jika kau punya banyak dan seseorang sangat
membutuhkannya saat ini? Pergilah ke rumah Oommu dan berikan cek ini
padanya."
"Tapi...."
"Hanya satu yang kuminta darimu"
Sheila menatap Bram, "Apa?"
"Pargilah, jenguk ayahmu di penjara."
Sheila terdiam. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia memeluk Bram
erat-erat. Pria itu sampai terkejut, tak mengira Sheila akan memeluknya.
Lalu gadis itu keluar dari kamar sambil membawa cek pemberian Bram.
BAB 10
KEESOKAN harinya Sheila mengenakan pakaian terbaiknya, baju yang
dibelinya di pasar ketika ia baru saja gajian. Baju itu berwarna putih
dan berlengan pendek, dipadu dengan rok sepanjang betis. Dipakai juga
sepatu putihnya yang baru, berhak lima sentimeter. Ia terlihat tinggi
dan dewasa. Ia tak pernah punya kesempatan untuk memakai baju baru dan
sepatunya. Saat ini walaupun tujuannya datang ke rumah Haryanto adalah
untuk melihat Oomnya yang tertimpa musibah, ia tak mau datang dengan
penampilan buruk di depan tante dan dua sepupunya. Mereka harus tahu
bahwa setelah ia pindah dari rumah itu, hidupnya bahagia.
Eman mengantarkannya ke jalan raya dan menunggunya sampai ia naik bus
menuju Jakarta. Dari jendela dilambaikannya tangannya pada Kakek tua
itu. Wajah Eman semakin jauh dan mendadak Sheila merasa gamang, separti
akan pergi jauh dari rumah dan tak akan kembali lagi. Rencananya ia akan
menginap satu hari di rumah Haryanto, karena setelah itu ia berniat
menjenguk ayahnya di penjara. Berat rasa hatinya meninggalkan rumah
Bram. Ia baru tinggal sepuluh bulan di tempat itu, tapi baginya rumah
itu lebih berarti dari pada sekedar tempat tinggal. Kau cuma pergi satu
hari Sheila, batinnya. Bagaimana bila dua bulan lagi usiamu genap tujuh
belas tahun dan kau harus meninggalkan tempat itu? Tapi sebenarnya
Sheila berpikir, saat itu hati Bram yang baik pasti akan melunak dan
mengizinkannya tinggal lebih lama lagi. Ya, saat itu aku akan
membujuknya dengan segala cara, pikirnya.
Bus itu kemudian membawanya sampai kampung rambutan. Dari situ ia naik
Bus jurusan Grogol. Dari terminal Grogol ia naik ojek hingga sampai
rumah Haryanto. Rumah itu masih sama seperti yang diingatnya dalam
memori otaknya. Tapi ada sesuatu yang berubah. Bila dulu Sheila melihat
rumah itu besar, kini rumah itu tampak kecil. Apakah ia yang berubah
menjadi besar dan melihat rumah menjadi kecil, atau sebenarnya sama
saja, hanya orientasi pikirannya saja yang berubah? Ya benar aku sudah
dewasa, dan segala hal yang kutemui kini terlihat biasa-biasa saja dan
tak menakutkan seperti dulu, pikirnya.
Sheila menatap rumah itu ragu-ragu. Setelah empat jam perjalanan
tubuhnya terasa lelah, tapi ia tak ingin melepaskan lelahnya di rumah
ini. Rasanya ia ingin segera kembali ke Ciloto dan tidur di kamarnya
sendiri yang cuma beralaskan matras gulung. Lalu diingatnya ia datang ke
sini untuk satu tujuan, bertemu Haryanto yang sedang tertimpa musibah
dan memberikan bantuan dari Bram.
Ditekannya bel tapi tak ada yang keluar. Rupanya bel ini mati.
Dilihatnya selot pagar, tidak digembok. Rupanya keluarga ini benar-benar
habis-habisan sehingga tak takut rampok masuk untuk kedua kalinya.
Sheila membuka pintu pagar itu dan masuk ke pekarangan.
Baru saja kakinya akan melangkah masuk ke rumah, seseorang keluar dari
rumah itu, "Cari siapa, ya?"
Gadis yang baru keluar rumah itu berseru kaget, "Sheila....!!" Sheila
melihat seorang gadis yang cantik dengan rambut panjang yang dikeriting.
Tubuhnya tinggi langsing dan kakinya yang hanya berbalut celana pendek
tampak indah. Ia mengenali gadis itu sebagai Renny. Renny telah berubah.
Rupanya gadis itu juga berubah, sama seperti dirinya.
Bukannya menyuruhnya masuk atau menanyakan kabar, Renny langsung masuk
lagi ke rumah sambil berteriak, "Mamaaaa!!"
Sheila membatin rupanya yang dewasa hanya penampilannya saja, sikapnya
tidak.
Tak lama kemudia seorang wanita muncul. Walau cuma mengenakan daster
batik, Ratna masih tetap cantik. Wajahnya masih sama seperti yang
diingat Sheila. Tidak ada kerut-merut sedikitpun di wajahnya, diusianya
yang menjelang empat puluh tahun. Bahkan seperti wanita yang tak pernah
punya anak gadis.
"Mau apa kau kemari? Kami sudah tak ada uang, tak bisa membantumu lagi.
Sekarang kau urus saja dirimu sendiri!" cetusnya tajam.
Lidah tajam wanita itu pun tak berubah, batin Sheila.
Sheila menguatkan diri, tujuannya belum selesai, ia kesini berniat
menemui Haryanto, bukan yang lainnya. "Saya datang jauh-jauh dari
Ciloto, tante. Lebih baik saya masuk dulu."
Ratna menganga melihat gadis itu melewatinya dan Renny, masuk ke
rumahnya. Buru-buru Ratna ikut masuk.
"Ku dengar kau sudah dikeluarkan dari asrama kerena memukul orang. Apa
benar?" desak Ratna.
"Saya masih sekolah di situ, Tante. Sekarang saya sudah kelas dua."
jawab Sheila sabar.
Ratna mendengus, "Sifatmu belum berubah. Berani pada orang lain, sudah
memukul orang dua kali, sampai-sampai Reza yang badannya lebih besar
darimu pun kau pukul."
"Itu memang kekhilafan saya, Tante. Tapi sekarang saya sudah dewasa, itu
tak akan terjadi lagi."
Ratna segera mengeluarkan pertanyaan utamanya. "Kau mau apa ke sini
lagi? Bukannya sudah kubilang tak usah ke sini lagi?"
"Saya mendengar bahwa rumah ibi kemasukan maling....."
Ratna membelakakan mata, "Jadi kau kenal maling-maling itu.Astaga! Sudah
kuduga ada orang dalam yang memberikan informasi...."
Emosi Sheila mendadak naik ke kepala. ia sedah berusaha tapi Ratna
memang keterlaluan. "Tante jangan asal tuduh saja!" lalu setelah menahan
amarahnya, Sheila memelankan suaranya. "Sebenarnya saya kemari ingin
bertemu Oom, dan menginap di sini satu hari."
"Oommu belum pulang, sebaiknya jangan kau ganggu dia lagi. Dia sedang
banyak masalah. Lagi pula untuk apa kau menginap di sini? Sekarang masih
siang. kalau kau langsung pulang ke Ciloto kau tidak akan kemalaman."
"Saya..... Ingin menjenguk papa di penjara, Tante. Jadi saya mohon,
kalau Tante mau berbaik hati, saya menginap satu malam di sini."
Ratna mendengus lagi. Dasar anak tak tahu malu, sudah disindir masih
tidak mau mengerti juga, pikirnya. "Ya sudah. Masuk saja ke kamarmu
sana. Tapi barang-barangnya sudah dikeluarkan, apa kau mau tidur di
lantai?"
Sheila mengangguk. "Dilantai juga tidak apa-apa." ia lalu berlalu menuju
kamarnya.
Sepeninggal Sheila. Renny berkata pada ibunya. "Ma, kenapa dikasih?
Bagaimana kalau dia memukul Reza lagi seperti dulu? Atau kali ini malah
giliran aku?"
"Ia takkan berani!" cibir Ratna.
"Lalu bagaimana kalau ia tidak hanya tidur satu malam, tapi malah minta
tinggal di sini?"
Ratna melotot. "Sudah jangan bicara yang tidak-tidak! Mama heran, kamu
ini sudah dewasa bukannya berpikir sendiri malah terus merengek-rengek
dan mengeluh pada Mama! Dewasa sedikit dong!" Ratna lalu meninggalkan
anaknya. Renny merengut kesal memandangi kepergian Mamanya.
Di dapur Sheila bertemu Reza. Pemuda itu sedang membuka tudung saji dan
mengunyah sesuatu. Ketika ia melihat Sheila, ia ternganga dan tempe
goreng yang sedang digigitnya jatuh ke lantai.
"Sheila...!!" serunya.
Sheila tersenyum menatap Reza, "Apa kabar, Rez?"
Pemuda itu tertawa, "Kau masih hidup!"
Sheila ingat, saat pertama datang ke rumah ini, ia sangat takut pada
Reza. Pemuda itu dua tahun lebih tua darinya dan tubuhnya tinggi besar,
terlihat sangat dewasa. Kini dilihatnya Reza tak lebih dari remaja yang
biasa-biasa saja.
"Tentu saja aku masih hidup!" jawab Sheila enteng menanggapi gurauan
Reza. "Justru aku yang terus bertanya-tanya, bagaimana kabarmu setaelah
terkana botol yang kuarahkan pada Renny." Ia menambahkan, "Aku minta
maaf, Rez. Tulus. Aku nggak menyangka kau bakal pingsan."
"Ya ampun, itu sih pukulan kecil buatku! Tapi memang ada bekasnya sih,
lihat!" Reza menyibakkan rambutnya, dan Sheila melihat bekas luka di
kening Reza. " Tapi cowok udah sepantasnya punya bekas luka, jauh lebih
keren dari pada yang mulus. Iya nggak?"
Sheila tertawa, ternyata sekarang Reza ramah terhadapnya. Mungkin cowok
ini mewarisi sifat ayahnya.
"Kau sudah lulus SMA dong?"
"Ya ampun itu sih sudah lewat. Sekarang aku mahasiswa ekonomi! Hebat,
kan? Kau sedang berhadapan dengan mahasiswa sekarang!" tutur Reza
bangga. Tapi wajahnya berubah murung, "Tapi sekarang..... Nggak tahu
deh. Keluarga kami baru kerampokan, dan papa masih bingung mencari biaya
kuliahku. Satu-satunya jalan..... mungkin menjual rumah ini. Tapi terus
kami tinggal di mana?"
Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Kau datang kemari mau apa? Apa mau
tinggal di sini lagi?"
Sheila menggeleng, "Aku mau ketemu ayahmu."
Reza mengamati Sheila dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Kau cantik
sekarang," katanya.
Wajah Sheila memanas, ia diam saja. "A........aku ke kamar dulu. Mau
numpang nginap semalam
di sini."
"Hei di dalam tidak ada apa-apanya. Pembantu bulan lalu diberhentikan
lagi oleh Mama. Tahu, tuh Mama selalu nggak cocok sama pembantu!"
" Nggak apa-apa. Aku tidur di lantai saja."
"Masa di lantai. Di kamarku ada matras gulung, pakai itu saja, ya."
Sebelum Sheila sempat bilang tidak usah, puda itu sudah berlari ke kamar
mengambil matras. Sheila terseyum. Ternyata Reza sudah banyak berubah.
Banyak sekali. Dan itu membuat hatinya tersa sejuk."
Sheila ingat, hari itu adalah hari ulang tahun Haryanto. Maka ia sudah
membelikan hadiah. Sebuah dasi yang bercorak eksklusif. Ia ingat
Haryanto suka sekali memakai dasi, berganti-ganyi setiap hari. Dan
ketika sore itu ia keluar kamar, ia melihat Ratna sedang sibuk memasak.
Ia pun turun tangan membantu. Ratna diam saja melihat itu, dan mereka
bekerja dalam diam.Sheila sudah tahu masakan apa yang suka dimasak
Ratna. Ia pun sudah bisa memasak karena diajari Eman, maka bantuan
Sheila sangat berarti bagi Ratna. Sheila tahu itu meski Ratna tak bilang
apa-apa.
Pukul enam kurang seperempat, Haryanto pulang. Sheila yang sedang
mengatur meja makan menyambutnya.
"Oom....!"
Haryanto yang pulang dengan wajah kuyu dan lesu tertawa melihat
kehadiran Sheila, "Sheila kok kamu datang kemari?"
Sheila pura-pura marah, "Memangnya aku nggak boleh datang kemari, Oom?"
"Nggak dong, Oom nalah seneng. Kau kesini dalam rangka ulang tahun Oom,
kan?" Sheila mengangguk, "Tapi...." lanjut Haryanto ragu. Ia memandang
ke meja makan, "Hidangannya
mungkin tak seperti biasanya." ia tersenyum, "Sekarang Oom jarang makan
daging, mau hidup sehat!"
Sheila tahu itu tidak benar. Ia paham kondisi keuangan keluarga ini.
Tapi Ratna memasak sayur asem dengan kuah kuning kesukaan Haryanto.
Biasanya pakai air rebusan daging, sekarang tak ada dagingnya. Lauknya
hanya tempe dan tahu yang direndam bumbu ketumbar lalu digoreng, serta
bakwan jagung dan lalapan. Lalu sambal dan krupuk. Serta pisang ambon.
Benar-benar sederhana. Padahal dulu keluarga ini selalu makan ayam,
daging, atau ikan setiap hari.
Renny juga menggelayut manja pada ayahnya, "Pa, hari ini aku nggak kasih
kado ke papa, lain kali aja, ya?"
Haryanto mencubit ujung hidung anaknya, "Nggak apa-apa yang penting kamu
rajin belajar, jangan sampai rapormu kebakaran lagi, oke?"
Sheila menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada Haryanto, "Oom, ini
dari saya. Selamat ulang tahun Oom. Dan ini........ titipan dari Pak
Bram." ia memberikan sehelai amplop.
Haryanto membuka hadiah dari Sheila, dan tersenyum gembira, "Wah.... Ini
bagus sekali, Sheila. Akan Omm pakai semoga membawa keberuntungan buat
Oom. " Lalu ia membuka amplop dan mengeluarkan cek pemberian Bram.
Matanya membelalak membaca tulisan yang tertera. Dengan wajah serius ia
menatap Sheila.
"Sheila, ini apa?"
"Bram.... Hmmm Pak Bram bilang, ia mau membantu Oom, karena dulu Oom
sangat banyak membantu saya," Jawab Sheila.
Renny yang ikut melihat ikut berseru, "Woow! Seratus juta!" Ratna jadi
penasaran dan ia ikut melihat. Diambilnya cek itu dari tangan suaminya.
Lalu ia menatap Sheila. "Kau tidak membohongi kami kan, Sheila?"
Sheila menggeleng, "Tidak tante, Cek itu benar-benar bisa diuangkan di
Bank. Saya membaca berita Oom di koran dan Bram bilang ia tulus
membantu."
Haryanto mengambil cek itu dari tangan Ratna, dan memasukkannya kembali
ke amplop. Ia menyodorkannya kembali pada Sheila. "Kembalikan padanya."
Ratna langsung menyikut suaminya,"Pah, kenapa dikembalikan? Kau kan
memang pernah membantu Sheila dan ayahnya dulu? Kini kita sedang
membutuhkan uang, kenapa dikembalikan." bisiknya.
"Kalau uang Sheila aku mau, tapi aku tak mengenal orang itu sama sekali.
Aku tak mau berhutang budi pada orang yang tidak aku kenal." jawab
Haryanto.
Ratna merebut amplop itu dari tangan Haryanto, karena Sheila belum
mengambilnya.
"Ma...!" tegur pria itu.
Ratna melotot dan memegangi erat-erat amplop itu. Kemudian ia tersenyum
manis pada Sheila, "Kau benar-benar anak baik, Sheila. Tante tidak
menyesal telah membantumu selama ini. Kau ingat kan, Tante selalu
membantumu? Sampai-sampai Tante sendiri yang mengantarkanmu ke asrama.
Ingat, kan?"
Sheila diam saja. Ia teringat sampai ke detail-detailnya, betapa Ratna
telah memberitahukan masa lalu Sheila pada semua guru dengan tambahan
yang memojokkannya. Ia tak akan pernah lupa, tapi ia berkata, "Ingat,
Tante."
"Nah, sampaikan itu pada pak Bram, ya? Bilang tante mengucapkan
terimakasih banyak. Semoga semakin murah rezeki dan dibalas Tuhan, ya?"
"Ma..." sela Haryanto, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Ratna sudah masuk ke kamar tanpa menghiraukan tatapan memelas suaminya.
Sheila kasihan. Pria itu benar-benar takluk pada istrinya. Tapi
bagaimanapun, ia juga tak mau kembali ke rumah Bram dengan membawa cek
itu. Keluarga Haryanto memang butuh uang.
"Oom ingat tidak waktu ulang tahun Oom tahun lalu, Oom meminta saya main
piano tapi saya tidak bisa?" tanya Sheila.
Haryanto yang sedang memandang kepergian istrinya tersentak. "Ya? Apa?
Piano?"
"Oom, sekarang aku sudah bisa main piano. Oom mau dengar aku main?"
Renny mendengus, "Aku mau dengar."
"Tentu saja. Ayo kamu mainkan sebuah lagu untuk Oom. Nggak usah yang
susah-susah, yang gampang saja."
"Asyik, Sheila mau main piano…!" Seru Reza.
Sheila tersenyum dan menghampiri piano di ruang tamu. Ia membukanya dan
duduk di hadapannya. ia menoleh dan melihat ketiga orang itu duduk di
sofa, menantikannya main kebetulan Ratna sudah keluar dari kamarnya.
Reza menaruh telunjuknya di bibir dan Ratna ikut duduk di situ. Sheila
melihat, ini persis seperti tahun lalu. ia merasa mengalami deja vu.
Sheila perlahan-lahan menyentuh tuts piano dan mulai memainkan Fur
Elise. Tubuhnya terasa melambung ke awang-awang. Mereka pasti terpana
melihat kemampuannya, tidak menyangka si Sheila anak pembunuh yang
dipenjara itu bisa main piano!
Lagu Fur Elise mengalun, persis sama dengan permainan Renny, penuh
keindahan dan nuansa kebahagiaan, tidak sedih seperti lantunan permainan
Bram. Ketika selasai Sheila menutup kembali piano itu dan menghampiri
Haryanto. Keempat orang itu memandanginya sambil ternganga.
"Itu lagu kesukaan Oom,kan?"
"Ya ampun Sheila, itu bagus sekali kenapa sekarang kau mendadak bisa
main piano?" tanya Haryanto.
"Gileee, lebih bagus dari permainan Renny!" cetus Reza. Renny langsung
menyikut kakanya sambil cemberut.
Ratna berdiri dan menghampiri Sheila. Ia menepuk bahu gadis itu, "
Selamat ya, cita-citamu untuk bisa bermain piano tercapai. Tante ikut
senang, mudah-mudahan kamu sukses selalu. Masa lalu jangan jadi hambatan
untuk masa depan."
Sheila menatapnya, wanita itu terlihat tulus, walau sheila ragu apakah
Ratna akan bersikap begini kalau ia tak membawa cek itu. Sheila berdiri
terpaku. Sudah selesai. Mereka akhirnya bisa mengakui bahwa ia bisa
meraih sesuatu, meski cuma bisa bermain piano. Haryanto sudah
melihatnya. Renny sudah nelihatnya. Reza sudah melihatnya. Bahkan Ratna
memujinya. Lalu apakah hatinya puas?
Sheila menyadari hal ini tidak membuatnya puas. Bahkan hatinya kini
terasa kosong.
Bram merasakan kehampaan. ia heran akan perasaan ini. Lagi pula,
andaikan Sheila ada di rumahnya, ia juga tak pernah menghabiskan waktu
bersama gadis itu. Ia berada dalam kamar dan keluar sewaktu-waktu
seperti biasa. Mereka hampir tak pernah bertemu. Sheila mengerjakan
urusannya sendiri. Ia mengerjakan urusannya sendiri. Tapi mengapa,
ketika malam ini Sheila tak ada di rumah, hatinya terasa sepi?
Lalu ia sadar, jika Sheila ada di rumah, pasti terdengar olehnya suara
gadis itu. Suara tawanya ketika bercanda dengan Eman, suara langkah
kakinya yang selalu diseret-seret karena sendalnya sudah tipis, suara
permainan pianonya yang kadang membuat Bram kesal karena beberapa kali
salah dan diulang-ulang, atau keheningan yang membuat Bram tenang karena
tahu gadis itu sedang belajar di kamarnya.
Bram takut ia mereindukan kehadiran Sheila. Sepuluh bulan yang lalu,
ketika ia mengizinkan gadis itu tinggal di sini, ia sudah berjanji pada
dirinya sendiri untuk menjaga jarak. Ia cuma membantu gadis malang itu
sampai usianya sudah dianggap dewasa untuk menentukan hidupnya
sendiri. Ia sudah betekad untuk sedapat mungkin tak menghabiskan waktu
bersama Sheila, karena nanti gadis itu akan pergi meninggalnya.
Tapi apa yang terjadi? Baru sehari Sheila meninggalkannya ia sudah panas
dingin seperti ayam sakit. Sudah pukul sepuluh malam, dan ia tak bisa
tidur. Mau mengetik juga tidak bisa. Idenya mandek dan cerita yang
dihasilkan jari-jarinya tersendat-sendat seperti tersumbat sampah.
Karena itu ia keluar dari kamarnya dan mondar-mandir di ruang tamu,
nerharap udara segar bisa membangkitkan semangatnya.
Tanpa sadar kakinya melangkah ke kamar Sheila dan membuka pintunya. Ia
masuk ke kamar itu. Kamar Sheila wangi kain bersih. Gadis itu tak pernah
memakai pewangi, karena Bram tahu Sheila jarang belanja alat kecantikan
seperti ABG lainnya. Cuma sekali Sheila belanja, yaitu belanja baju dan
sepatu yang akhirnya dipakainya ke Jakarta pagi tadi.
Sheila tampak manis dengan baju itu. Rambutnya yang hitam dan panjang
tampak kontras dengan bajunya yang putih, membuat gadis itu
tampak........ Ah, apa yang kupikirkan! Batin Bram menghalau pikiran
yang mampir ke benak Bram.
Pandangannya jatuh ke sebuah benda, benda yang selalu menggugah rasa
ingin tahunya, kenapa Sheila masih menyimpannya padahal sudah rusak.
Diangkatnya benda itu. Sebuah piano di kotak kaca yang sudah disolatip
di sana-sini. Ia pernah bertanya pada Sheila, satu hari setelah kejadian
gadis itu mengeluarkan Boy dan ia memutuskan untuk mengusirnya. Waktu
itu Bram membenahi barang-barang Sheila.
"Apa sih itu?"
"Itu piano di kotak kaca. Satu-satunya benda peninggalan terakhir
mamaku. Tapi sudah pecah karena dibanting Renny, anak Oom Haryanto."
"Oh, yang menyebabkan kau memukul kepalanya hingga berdarah dan
dipindahkan kemari?" ingat Bram.
"Bukan, yang berdarah itu kepalanya Reza, kakanya. Aku salah pukul. Tapi
benar, gara-gara itu aku dipindahkan ke asrama."
"Cuma gara-gara ini kau terkena masalah besar. Apa segitu pentingnya
benda ini."
Sheila mengangguk dan menceritakan bahwa itu adalah benda peninggalan
terakhir Mamanya, sehari sebelum ibunya meninggal karena dibunuh
ayahnya. " Aku tak bisa mengingat wajah terakhir Mama karena jenasahnya
tidak ada. Tapi setiap kali kuliahat kotak ini, tersenyum saat ia
mengamati wajahku baik-baik. Seolah ia akan pergi jauh dan tak akan
kembali lagi. Dan ternyata memang benar." Sheila mengusap kedua matanya
dengan tangan.
Bram mengangkat benda itu. "Kelihatannya akan susah diperbaiki kalau
cuma pakai solatip. coba nanti aku carikan lem yang bagus untuk
membetulkannya."
"Nggak usah, Bram. Biar begitu saja. untuk mengingatkan aku untuk lain
kali jangan sembrono lagi. Main pukul kepala orang sembarangan saja."
Bram tersenyum, "tapi tetap saja kan, kau memukul temanmu di asrama
setelah kejadian ini?"
Sheila jadi tertawa, "Astaga! Aku lupa. Ia juga ya?" ia merebut benda
itu dari tangan Bram dengan wajah memerah. Ia memperhatikan benda itu,
"Kalau dipikir-pikir aku sama seperti benda ini."
"Kenapa?"
"Walau dari luar kelihatan baik-baik saja, sebenarnya aku sangat rapuh.
Dibanting sekali saja langsung hancur, tak bisa diperbaiki lagi.
Bram memandang piano itu sekarang. Kotak akriliknya bergoyang-goyang
ketika dipegang karena hanya direkatkan dengan selotip. ia membawa benda
itu keluar dari kamar Sheila, lalu menutup pintu.
Sheila memandang langit yang penuh bintang, Haryanto ada di sampingnya.
Mereka berdua sedang duduk di teras. Mereka sudah lama tidak bertemu,
jadi Haryanto ingin berbincang-bincang dengan keponakannya, ingin tahu
selama ini kehidupannya bagaimana.
"Langit cerah ya, kebetulan hari ini tidak hujan." ucap Sheila.
Haryanto ikut melihat ke atas. Ia mengambil toples berisi biskuit dan
menyodorkannya pada Sheila. "Biskuit kelapa?"
Sheila menggeleng. "Seandainya aku bisa menjadi bintang itu, memancarkan
cahayanya dari jauh dan membuat orang-orqng yang melihatnya ikut
bahagia...."
"Kenapa tidak bisa? Kau sudah membuat orang sekelilingmu bahagia.
Contohnya Oom, Oom bahagia punya keponakan sepertimu. Oom bangga."
"Makasih, Oom."
"Besok apa perlu Oom antarkan kamu ketemu papamu?"
"Nggak usah." kata Sheila cepat. "Biar aku sendiri saja."
"Oom pergi ke sana sebulan sekali. Terakhir Oom ka sana, papamu tampak
lebih baik. Katanya tanggal17 Agustus kemarin temannya banyak yang
mendapatkan remisi karena berkelakuan baik. Ia juga aktif dalam
kegiatan, katanya ia juga ingin mendapatkan pengurangan hukuman dan
ingin cepat-cepat bertemu denganmu."
Sheila pura-pura menoleh ke samping, padahal ia menyembunyikan matanya
yang berkaca-kaca karena haru.
"Dan anehnya Sheila.... ia bilang ia tidak bersalah. katanya ia minta
maaf padamu...."
Sheila menoleh cepat. Wajahnya beku, "Papa nggak punya perasaan, Oom.
Apa dia bilang begitu agar mendapatkan belas kasihan orang lain? Lalu
kalau Papa tidak bersalah, Mama mati dibunuh siapa?"
Haryanto menghela napas, "Papamu memang salah, Sheila. Oom juga
menyasali mengapa ia melakukan hal itu. Tapi sejak remaja, Papamu memang
selalu bermasalah. Kakek dan nenekmu sudah angkat tangan. Mereka sudah
tidak tahu harus bersikap bagaimana. Oom cuma menyesali, dan Oom
bertanya-tanya apa sikap membangkangnya itu karena ia iri pada Oom? Ia
meresa kasih sayang yang mestinya hanya diberikan padanya harus terbagi
untuk Oom juga. Oom juga meresa bersalah karenanya."
Sheila berkata dingin, "Sebenarnya aku mau menjenguk Papa besok karena
permintaan Pak Bram. Ia yang memintaku untuk datang ke sana."
Haryanto memegang tangan Sheila, "Sheila ucapkan terimakasih Oom untuk
Pak Bram. ia orang yang sangat baik."
Sheila mengangguk, "Ia memang orang yang sangat baik,Oom."
Di ruang tunggu lembaga permasyarakatan, Sheila menunggu kemunculan
ayahnya dengan hati berdebar. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana ia
harus bersikap? Apa keputusannya kali ini sudah benar? Apakah tidak
sebaiknya ia pulang saja dan tidak usah mebemui ayahnya? Tapi....
Akhirnya ia menmutuskan, ia melakukan semua ini demi Haryanto. Ia sudah
berjanji pada Bram bahwa ia akan menemui ayahnya. Dan sekarang ia sudah
di sini. Apa salahnya menunggu sebentar, tak perlu berkata apa-apa cuma
menjenguk saja. Apa susahnya sih?
Dua orang polisi masuk ruangan, mengantarkan pria berusia empat puluhan
dalam baju penjara berwarna biru tua. Sheila terkejut melihat pria itu.
Ayahnya, kenapa ayahnya tampak begitu tua? Sudah berapa tahunkan mereka
tidak bertemu? Apakah waktu bisa membuat rambut ayahnya memutih secepat
itu?
Pria itu duduk di hadapannya. Sheila menatap pria di hadapannya dengan
terbelalak. Kulit yang hitam dan kisut. Seingatnya, ayahnya masih gagah,
sama dengan Haryanto. kenapa sekarang ayahnya tampak seperti berusia
lima puluh tahun?
"Sheila...." Panggil pria itu.
Sheila diam saja. ia menghapus air matanya cepat-cepat dengan tangannya.
"Akhirnya kau datang juga,Sheila. Papa rindu padamu. " Mengapa air mata
ini seolah-olah berlomba-lomba membanjiri wajahnya? Ia tak bisa
memnenagkan diri. sebentar saja ia sudah terisak-isak.
"Sheila maafkan Papa. Bagaimana kehidupanmu sekarang, Nak. kata Haryanto
ia sudah menyekolahkanmu. Sekarang kau sudah kelas 2 SMA. Papa berutang
budi padanya.
Sheila tak bisa menjawab, air mata terus membasahi wajahnya.
"Kau mesti sekolah baik-baik, kau mesti kuliah, tidak boleh seperti
Papa. Sheila apa tante Ratna baik padamu?"
Sheila masih sulit bernapas, ia masih sesenggukan.
"Papa sudah bilang pada Haryanto, bahwa saat mendaftarkanmu ke sekolah,
dia jangan memberi tahu bahwa kau anak Papa. Kalau teman-temanmu tahu
Papa dipenjara mereka bisa mengejekmu. Tapi untunglah tidak ada yang
tahu, kan?"
Tadinya sheila ingin bilang bahwa ia datang ke sini karena permintaan
seseorang, bahwa ia tidak benar-benar peduli pada ayahnya. Tapi
kata-kata yang sudah disiapkannya tersangkut entah dimana. Ia cuma bisa
menangis dan tak bisa bicara apa-apa.
"Sedahlah jangan menangis lagi. Pulanglah, tak usah jenguk Papa lagi.
Jangan sampai ada yang tahu kau anak nara pidana. Mengerti? Tinggalah
baik-baik di rumah Oom Haryanto. Bila papa keluar nanti, Papa akan
membayar utang Papa padanya."
Sheila terus menangis. Akhirnya ia keluar dari ruangan itu, meninggalkan
ayahnya begitu saja. Seorang polisi menanyainya, apa ia masih ingin
berbicara pada ayahnya. Sheila menggeleng kuat-kuat, lalu meninggalkan
tepat itu.
BAB 11
SHEILA langsung naik bus pulang ke Ciloto. Pada Haryanto ia sudah bilang
akan langsung pulang. Haryanto menasehati Sheila agar ia manjaga diri
baik-baik, dan rumahnya akan selalu terbuka untuk gadis itu. Sheila
tidak menceritakan bahwa Bram hanya menampungnya sampai ia berumur tujuh
belas tahun, yang tinggal dua bulan lagi. Sheila percaya ia tak perlu
kembali ke rumah Haryanto dan meninggalkan semua kepahitannya di sana.
Tiga jam kemudian, ketika ia tiba di rumah Bram, dilihatnya pria itu
duduk di depan piano, sambil memainkan lagu Fur Elise. Sheila langsung
memeluk Bram dan menangis di bahu pria itu.
Bram berbalik menghadap Sheila. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya
memeluk Sheila dan mengelus punggungnya. Mententramkannya.
Menenangkannya. Sedikit banyak ia tahu kegelisahan yang ada di dalam
diri gadis itu.
"Sudahlah, Sheila. Sudahlah. Semua akan berlalu. Saat semua belalu,
semua ini hanya tinggal kenangan, baik pahit maupun manis dalam
kehidupanmu."
Sudah lama Sheila ingin tahu mengapa ibu Bram sudah lama tak menjenguk
anaknya. Seberapa sulitpun hubungan orangtua dan anak, pastilah orangtua
akan selalu mengingat anaknya.
Tapi di akhir bulan Oktober, keingintahuan Sheila terjawab. Hubungan
mereka rupanya masih baik. Buktinya ibu Bram datang bersama seorang
wanita bernama Marisa. Usianya sekitar tiga puluh tahun, rambutnya
sebahu, dan di-rebonding. Wajahnya cantik seperti bintang iklan sebun
mandi.
Bram menyambut ibunya seadanya. Karena datang dari Jakarta ibu Bram dan
Marisa akan menginap satu malam. Bram menyediakan kamar tamu yang selama
ini kosong dan tak pernah dibuka. Sheila baru tahu ada kamar tamu di
rumah itu. Ada ranjang besar untuk ukuran tidur dua
orang. Buru-buru ia membereskannya dan mengganti sepreinya dengan yang
baru. Sang sopir akan tidur di mobil saja karena tidak ada tempat lagi.
Ibu Bram sudah berusia 58 tahun. Namanya Emma. Ia masih energik dan
tampak lebih muda dari usianya. Kelihatannya ia tak pernah mengenal kata
susah. bila kita bertemu dengannya pertama kali, kita pasti sadar
sedang berhadapan dengan orang yang tak pernah menderita. Dan tentu
saja, Emma bingung melihat Sheila di rumah itu.
"Siapa dia?" tanyanya langsung pada Bram. Mereka sedang mengobrol di
ruang tamu, ditemani Marisa. Saat itu Sheila sedang menghidangkan tiga
gelas es jeruk yang dibuatnya.
"Oh.... Dia." tampaknya Bram sulit menceritakan perihal Sheila, "……
murid di asrama kita.
Karena .....ehm... Aku buyuh orang untuk membantu Eman dan kebetulan dia
bersedia, jadi..."
"Oh.... Jadi dia pembantu baru di sini?" sambar Emma. kelihatannya
wanita itu orang yang ceria dan bersifat terbuka. "Lalu bagaimana
sekolahnya?"
"Ehm... Dia madih sekolah tapi belajar sendiri?"
"Lho... Kok gitu?"
"Sudahlah memang agak rumit. Nanti akan ku jelaskan lagi pada Mama.
Ehm... Mama kemari ada apa?"
"Jadi kamu nggak suka ya, kalau Mama kemari? kamu itu gimana sih? Sudah
nggak pernah jenguk Mama di Jakarta, dijenguk saja masih protes. Untung
Mama punya anak dua. Kalau tidak ada cucu dari Brenda, Mama mungkin
sudah mati kesepian." gerutu Emma. "Mama kesini sekalian lihat asrama.
Tadi Mama sudah ketemu Bu Lia, katanya asrama butuh tambahan ruang baru,
supaya bisa menerima siswa yang akan mendaftar tapi tertunda karena
ruangannya tak ada."
Bram memandang wanita di samping Mamanya. Ia hendak bertanya tapi
sungkan. Tapi Emma melihat lirikan Bram dan tersenyum senang.
"Oh iya, Bram. Ini Marisa." Marisa tersenyum dan menyalami pria itu.
"Bram."
"Marisa ini sudah S2 lho! Hebat ya? Dia baru diwisuda jadi notaris,
sekarang mau buka praktik di Jakarta. Mama kenal orangtuanya,
orang-orang yang hebat juga." tutur Emma ceria. "Waktu mama cerita
tentang novel kamu. Ternyata ia penggemar kamu, Bram! Coba , bisa
kebetulan seperti ini. Mungkin ini yang namanya jodoh, ya?"
Wajah Bram berubah keruh.
Marisa menatap Bram. "Aku mengoleksi novelmu ,Bram. Aku suka sekali
jalan ceritanya. Benar-benar mengungkapkan intelektualitas pengarangnya.
teman-temanku yang masih sekolah hukum menganggap novelmu selingan yang
pas unuk mereka, karena isinya aktual, dan selalu relevan."
"Terima kasih." jawab Bram.
"Nah, Bram. Marisa ini sudah tiga puluh tahun ,lho. Tapi belum punya
pacar, benar-benar luar biasa, ya? Sulit lho menemukan wanita secantik
dan secerdas ini yang belum ada gandengannya."
Bram kini tahu arah pembicaraan ibunya, ia mulai gelisah.
"Mama terus terang saja, Bram. Marisa ini bersedia melakukan penjajakan
dengan kamu. Kamu kan sudah dewasa, dan dia bukan gadis remaja lagi.
Kalau kalian tidak cocok, ya tidak jadi. Begitu saja, supaya hemat
waktu.. Dia bisa cari yang lain, dan kamu juga bisa cari yang lain.
Jadi...."
"Ma..!" seru Bram menyela. "Aku tidak sedang dalam proses mencari istri.
Aku tidak mau menikah." ia bangkit berdiri dan jalan tertatih-tatih ke
kamarnya.
"Bram…!" kejar Emma. Ia berbisik, " Bram coba dulu. Jangan buat Mama
malu. Lagi pula kamu sehat lahir batin, kan? Maksud Mama, dulu Mama
pernah tanya dokter. Katanya kamu bisa menikah secara normal dan bisa
punya keturunan. Jadi..."
"Ma..! Kalau Mama masih mau diterima olehku, tolong.... Mengertilah aku
sedikit, Ma."
Emma menggerutu. "Ya sudah! Mama nggak maksa kok. Lagian Marisa juga
cuma pengen berteman sama kamu. Karena tempat praktiknya sedang
direnovasi, jadi dia punya banyak waktu luang. Ia mau tinggal di sini
satu minggu, boleh kan?"
"Terserah Mama saja deh!" seru Bram ketus. Ia pun masuk ke kamarnya dan
membanting pintu.
Emma tersenyum ceria seolah tidak terjari apa-apa. Ia berkata riang pada
Marisa. "Ayo Marisa, kita lihat kamar yang sudah disiapkan. Oke…?"
Ibu Bram pulang hari ini, tapi Marisa akan tinggal di rumah itu lima
malam lagi. Marisa sangat suka rumah mungil milik Bram yang berlatarkan
pedesaan, namun tetap ditata mewah seperti vila. Sayangnya di situ tidak
ada televisi ataupun alat elektronik hiburan lainnya. Tapi suasananya
sangat damai, dan..... Ada pria tampan di sana.
Benar kata Tante Emma, anaknya sebenarnya cukup tampan, tapi sikapnya
sangat murung dan ucapannya sangat ketus, pikir Marisa. Begitu juga soal
cacat di pipi kirinya. Kata Tante Emma, sudah lama ia memaksa Bram
untuk menjalani operasi plasik, tapi Bram tidak mau. Benar-benar seperti
intan yang tak terasah.
Marisa juga menyukai gadis kurus yang membantu Bram. Namanya Sheila.
Gadis itu pintar bikin kue dan main piano. Sheila enak diajak bicara,
senang pula mendengarkan orang bicara.
Pokoknya kalau Marisa harus tinggal di situ sebagai istri Bram,
melepaskan kariernya di Jakarta pun, ia bersedia. Lagi pula Bram pasti
tak pernah kekurangan apa pun. Royali yang didapatkannya dari novel
detektifnya yang terkenal pasti bukan cuma puluhan juta dalam setahun.
Marisa mendambakan dua anak, laki-laki dan perempun. Kalau bisa kembar.
Ia tak pernah pacaran. Kata orang jodohnya berat. Makanya, walaupun
berwajah cantik dan berotak cerdas, jodoh akan menjauh darinya. Tapi
kali ini ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Bram.
Mudah-mudahan kali ini ia berhasil meraih kursi pelaminan.
"Mulungnya jangan seperti itu, Mbak Marisa. Nih, seperti ini, jangan
dikepal-kepal nanti kuenya keras." ujar Sheila, ia sedang mengajari
Marisa memulung kue.
"Oh..... Jadi begitu, kalau dikepal-kepal terus kuenya bisa keras?"
"Iya kata Kakek Eman begitu. Tapi aku sih tidak pernah mendapat kue yang
keras. Ya sudah kita kepal-kepal saja,yuk? Mau tahu kue keras seperti
apa?" ucap Sheila jail.
Marisa tertawa lagi, " Kamu lucu."
Sheila hening, sejenak Sheila bertanya, "Mbak, memang benar kata Kakek
Eman? katanya Mbak datang ke sini untuk menjadi istri Bram.......
Ehm.... .. Maksud saya.. Om Bram?" Sheila tidak berani menyebut Bram
dengan namanya saja di depan Marisa. Ia takut Marisa mengadu pada Emma.
Sejak pagi saja, ia sudah dimarahi Emma terus soal dapur yang katanya
kurang teratur penempatan barang-barangnya.
Wajah Marisa tersipu-sipu, "Cuma penjajakan. Tapi sepertinya sih Bram
belum tentu mau. Dia bilang ia tidak akan menikah."
Sheila manggut-manggut.
"Manurut kamu kenapa ia tidak mau menikah, Sheila? Apa selama kamu di
sini Bram tidak pernah berhubungan dengan siapa-siapa?"
"Tidak pernah. Tapi saya di sini baru beberapa bulan. Coba saja tanya
Kakek Eman, dia pasti lebih tahu dari pada saya."
Marisa berkata, "Pasti tidak. Yang diceritakan Tante Emma sih begitu.
Sejak kecelakaan yang menimpanya Bram tidak pernah lagi berhubungan
dengan wanita."
"Kecelakaan?"
"Memangnya kamu tidak tahu? Kaki dan wajah Bram cacat kan karena
kecelakaan. Saat itu mobil yang ditumpanginya bersama kekasihnya
terbalik di jalan tol."
"Oh, ya?" Sheila baru tahu hal itu. "Lalu kekasihnya sekarang di mana?"
"Sudah meninggal. Sejak itu ia tak pernah berhubungan dengan wanita
lagi."
Sheila terdiam, jadi itu sebabnya. Pantas saja Bram mengucilkan diri.
Lalu apakah lagu Fur Elise yang dimainkannya dengan sedih adalah untuk
mengenang kekasihnya?
"Kok kamu diam saja, Sheila?"
Sheila tersentak, "Nggak apa-apa, Mbak."
Marisa berkata lagi, "Sebenarnya Bram tidak perlu seperti itu. Cacat
satu kaki lebih baik dari pada lumpuh semuanya. Dia masih bisa berjalan,
menikah, dan punya keturunan. Masih baik, kan?"
Sheila diam saja.
"Lalu soal wajahnya, cuma cacat di pipi. Kata Tante Emma masih bisa di
operasi dan pipinya bisa mulus seperti semula. Tapi ia tak pernah mau di
operasi sejak kecelakaan itu. Kalo dipikir-pikir tidak masuk akal, ya?"
"Mungkin yang terluka bukan cuma fisik, Mbak. Tapi juga hatinya. Ia
merasa dirinya sudah tak utuh lagi seperti dulu, jadi memilih
mengasingkan diri dari dunia ramai. Dia memutuskan menjadi penulis
novel, tidak perlu ketemu dengan orang lain."
Marisa terpana, "Woow, kamu kecil-kecil pintar juga, ya? Bisa
menganalisis sampai sejauh itu."
Sheila jadi tersenyum, "Sudahlah, Mbak , jangan menggosip terus. Ayo
cepat bantu mulung kuenya, nanti tidak selesai-selasai."
Bram mau melayani obrolan Marisa hanya bila ada Emma. Tapi begitu ibunya
pulang. Bram langsung mewanti-wanti Eman dan Sheila agar tidak
mengganggunya kalau tidak ada hal yang sangat penting. Ia mau
menyelesaikan cerita yang sudah deadline, katanya. Ia pun mendekam di
kamar dan tak keluar-keluar lagi. Entah kapan ia menyempatkan diri untuk
keluar makan.
Itu tentu saja membuat Marisa penasaran. Sampai kapan pria itu mau
menghindarinya? Seminggu bukan waktu sebentar. Ada tujuh hari di
antaranya. Masa sih ia tak mendapatkan kesempatan sekali pun untuk
menunjukan bahwa dia ada?
Suatu kali saat Bram pergi ke supermarket, Marisa masuk ke kamar pria
itu. Sheila yang melihat langsung melaranya, "Jangan, Mbak. Nanti Oom
Bram marah."
Marisa mengedipkan satu matanya, "Tenang saja, aku tak akan mencuri satu
helai rambut pun dari sana. Aku cuma mau menata barang-barangnya."
Sheila memandang dengan ngeri saat Marisa masuk juga ke kamar itu.
Buru-buru ia pergi, pura-pura tak melihat apa yang terjadi.
Marisa melihat kamar Bram yang berantakan. Ia menggeleng-gelengkan
kepala. Berapa menit waktu yang kupunya? Lima belas menit? Setengah jam?
Satu jam? Pikirnya. Ah, peduli setan, yang penting kukerjakan
secepatnya dan Bram akan angat topi untuk apa yang kulakukan.
Marisa merapikan tempat tidur, menganti seprei dengan seprei bersih yang
ditemukannya di lemari. Disusunya bantal dan guling secara teratur dan
simetris. Ditumuknya buku-buku yang berserakan di lantai dan di meja.
Diletakkanya tumpukan buku di sudut meja sehingga ada banyak ruang untuk
menulis. Ditumpuknya semua kertas dan dirapikannya lalu disatukan dalam
sebuah map kosong. Setelah itu ia mengalap sampai bersih monitor
komputer yang berdebu, juga CPU dan printernya. Terakhir ia menyapu dan
mengepel lantai kamar Bram. Sebelum Bram pulang ia buru-buru keluar dari
kamar itu.
Setengah jam kemudian, terdengan teriakan Bram yang membahana di rumah
itu.
"EMAAAAAAAAAN…!!!!"
Eman terpogoh-pogoh mendatangi Bram, "Ada apa, Tuan?"
"Kamu yang membereskan kamar saya?"
"Tidak, Tuan."
Sheila yang sedang membaca koran dipanggilnya, "Kamu membereskan
kamarku, Sheila?"
Sheila tampak gugup, ia tahu bahwa Marisalah yang membereskan kamar
Bram. "Tidak, Bram. Aku..... Aku kan sudah tahu kalau kau tidak suka
kamarmu dimasuki."
"Lantas siapa?"
Sheila dan Eman menunduk, tak berani menjawab. Marisa yang mendengar
ribut-ribut muncul di ruang tamu. Ia masih mengenakan celemek dan
memegang sodet
"Ada apa, Bram?"
Bram memandang wanita itu, "Marisa, apa kau yang membereskan kamarku?"
"Ya. Tadi waktu kau pergi aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada.
Kulihat kamar itu berantakan, jadi aku......"
Bram mendekatinya, "Dengar Marisa. Aku tidak akan tertarik dengan
penawaran apa pun yang kau berikan, aku tidak butuh istri, aku tidak
butuh kamarku dibereskan, aku tidak butuh seseorang mengatur ulang
kehidupanku…!!!" Marisa mundur beberapa langkah. " Mengarti?"
Marisa tergagap, "Y..... Ya. Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau....."
Bram meninggalkan Marisa, melewati Eman dan Sheila yang menunduk. "Dan
kalian berdua, sudah tahu aturan jangan berlagak tidak tahu, ya. Sekali
lagi terjadi, kalian juga menanggung akibatnya!"
Bram pun masuk kamar dengan membanting pintu.
Marisa menatap Sheila. Matanya berkaca-kaca. Sheila mengampiri dan
menepuk-nepuk punggung wanita itu, "Sudahlah, Mbak. Dia kalu marah
memang begitu, tapi sebentar lagi juga baik lagi."
"Tapi aku cuma mencoba menarik perhatiannya! Dia seperti manusia es
saja, tidak peduli sekelilingnya. Aku....."
"Sudahlah, Mbak. Saya tahu. Saya tahu itu."
Sheila kasihan pada Marisa. Ia sadar sangat sulit meluluhkan hati Bram.
Ia saja hampir diusir dua kali. Pertama gara-gara Boy, kedua gara-gara
pesta ulang tahun. Tapi itu sudah lama berlalu. Dan setelah lama tinggal
bersama, Sheila mulai mengarti watak pria itu. Setelah tembok diantara
mereka runtuh, Bram akan rela mengonrbankan apa saja untuk orang lain.
Buktinya adalah cek senilai seratus juta untuk Haryanto. Itu
dilakukannya demi Sheila. Dan itu bukan jumlah yang sedikit, bukan
pengorbanan yang kecil. Itulah Bram.
Di hari keenam Marisa tinggal di rumah itu, sikap Bram sama saja. Sheila
mulai menghibur Marisa bahwa akan ada pria lain yang jauh lebih lembut,
jauh lebih perhatian, dan jauh lebih baik dari Bram untuk wanita itu.
"Tapi aku sudah jatuh cinta padanya, Sheila." demikian kata Marisa saat
mereka berdua saling curhat.
"Sia-sia deh, Mbak, mencintai pria seperti dia. Mbak bisa sakit hati.
Dari pada mrmbuang-buang waktu, lebih baik Mbak menyerah saja."
"Sheila, sampai kapan kau tinggal di sini? Maksudku.... Kalau saja aku
bisa tinggal lebih lama lagi sepertimu, aku yakin pasti bisa meluluhkan
hatinya."
Sheila tersenyum, "Saya tinggal di sini sampai bulan Desember, Mbak.
Saat itu usia saya sudah tujuh belas tahun dan saya bisa tinggal
sendiri, Mbak."
Marisa terkejut, "Lho, kok gitu. Tapi kan di sini enak, Sheila. Kenap
mesti pergi? Kenpa tidak nanti saja saat kau tamat SMA?"
Sheila mengangkat bahu. Ia juga maunya begitu, tapi ini keputusan Bram.
Sedahlah, ia juga tidak mau menceritakan seluruh masalahnya pada wanita
yang hanya tinggal seminggu bersamanya.
Marisa bertanya lagi, "Sheila, apa kau tahu rasanya jatuh cinta?"
Sheila menggeleng. Ia tak tahu rasanya jatuh cinta. Mendengar dati orang
lain pun tidak. Ia tinggal di asrama putri. Makhluk berjenis kelamin
pria hanya Pak Teguh dan Pak Alex, itu pun guru yang tak bisa dijadikan
sasaran. Tini dan Wenny sering menceritakan pengalaman mereka jatuh
cinta saat SMP, tapi itu juga cinta monyet.
"Memanya seperti apa sih, Mbak?"
Mata Marisa menerawang. "Rasanya seperti terbang ke langit. Di depan
mata kita cuma ada satu orang itu. Di telinga cuma mendengar suaranya.
Kita ingin selalu bersamanya. Ingin selalu di dekatnya. Wajahnya selalu
terbayang, harum tubuhnya, kebiasaanya, semuanya akan selalu teringat
oleh kita, sepanjang hari. Tidak enak makan, tidak enak tidur...."
"Itu yang Mbak rasakan terhadap dia?" tanya Sheila sambil mengarutkan
kening. "Bagaimana kalu badannya bau, Mbak. Apa terbayang baunya terus?"
Marisa tertawa dan mendorong lengan Sheila, "Kamu itu bercanda terus."
"Saya serius, Mbak. Saya nggak bisa membayangkan, kita nggak bisa makan
nggak bisa tidur cuma karena mikirin cowok. Gimana kalau lapar? Gimana
kalau ngantuk?"
Marisa menggeleng," Rasa lapar tieak ada, rasa kantuk pun hilang begitu
saja. Ini sangat menyakitkan, Sheila. Jadi...... Kurasa kau tak akan
mengerti sebelum kau merasakannya."
"Lalu kapan saya mengalaminya, Mbak?"
Marisa tertawa, "Ya, kalau kau sudah jatuh cinta."
Sheila tidak habis pikir seperti apa perasaan yang dialami Marisa.
Itukah sebabnya Marisa tak sakit hati selalu "Dicueki" Bram? Marisa juga
tetap ingin tinggal di situ, bahkan kalau bisa menginap lebih lama.
Terus terang Sheila ingin Marisa cepat pulang, karena situasi seperti
ini sangat tidak enak. Yang satunya jatuh cinta sampai lupa daratan,
yang satunya membentengi diri.
Saat Bram keluar makan siang, Bran berkata pada Eman, "Man, kulihat
Cempedak di kebun sudah berbuah. Kau ambil satu, lalu digoreng pake
tepung ya? Jangan lupa buat saus gula merahnya."
Mendengar itu Marisa berkata, "Cempedak goreng, aku juga suka."
Bram diam saja.
Sheila menyela, " Kayaknya buahnya tinggi banget tuh, biar aku saja yang
panjat."
"Memangnya kau bisa?" tanya Eman. "Nanti kalau jatuh bagaimana? Sudah
biar Kakek saja yang ambil."
"Duh... . ...... Tulang sudah pada bungkuk gitu mau manjat pohon? Jatuh
langsung hancur berkeping-keping, Kek. Sudah biar aku saja yang manjat."
Akhirnya diputuskan, tugas kehormatan itu dijatuhkan pada Sheila. Ketiga
orang lainnya memperhatikan gadis itu memanjat pohon. Perlahan-lahan
dengan mata tertuju pada buah cempedak, Sheila merambat naik.
Konsentrasinya tinggi. Sebelunnya ia sudah menganti pakaiannya dengan
celana panjang supaya bebas bergerak.
"Hati-hati, Sheila!" teriak Marisa.
"Lewat situ, Sheila!. Jangan lewat dahan yang kecil!" Teriak Eman.
"Awas jatuh!!" seru Bram.
Sheila dengan semangat '45 pun memanjat pohon Cempedak yang lumayan
tinggi. Usia pohon itu pasti sudah puluhan tahun, pikir Sheila. Ia sudah
tiba di atas. Ia berusaha meraih buah Cempedak yang diinginkannya, tapi
tidak sampai. Akhirnya ia maju sedikit, dia ia mendapati tubuhnya sudah
memeluk dahan yang cukup ramping. Tapi tiba-tiba dahan itu berbunyi.
Kreeeek...!!!! Gawat..!! Ini bisa patah…!! Pikir gadis itu. Tapi ia
pikir mundur pun percuma.
Dahannya tetap bisa patah juga.
"Awas, Sheila. Dahannya mau patah…!!" Teriak Bram.
Sheila tetap nekat, dirahnya buah Cempedak dengan tangan yang diulurkan
jauh-jauh. Tanganya berhasil menjangkau buah itu, tapi dahannya patah.
"AAAaaaaa…!!!!" Sheila jatuh. Ia teriak sekuat tenaga, mudah-mudahan
rumput di bawah cukup tebal untuk menahan tubuhnya.
Sheila tajuh dengan wajah menghadap ke tanah.
Bugh...!!! Rumpunya benar-benar empuk, pikirnya. Lalu ia menyadari bukan
rumput yang ia
jatuhi, melainkan tubuh manusia. Ia melihat lebih jelas lagi dan.....
"Bram...?"
Ternyata Bram yang menangkap tubuh Sheila. Karena tubuh Sheila berat,
Bram tejatuh dan tubuh Sheila menindih tubuhnya.
Sheila terbelalak menatap Bram. Wajah mereka berdua begitu dekat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar cepat dan aliran darahnya meningkat.
Jiwanya terasa melayang ke langit. Apa yang terjadi dengan diriku? Pikir
gadis itu.
Bram juga menatap Sheila. Lama mereka bertatapan tanpa ada seorang pun
yang berinisiatif untuk bankit berdiri.
"Sheila...!! Tuan....!! kalian tidak apa-apa?! " teriak Eman
. Mendengar teriakan Eman Sheila langsung sadar ia bangkit berdiri dan
membantu Bram berdiri. Ketika ia memandang sekeliling, ia tak meliahat
Marisa di tempat itu.
Sheila mencari Marisa, wanita itu ternyata ada di kamarnya.
"Mbak...!! Mbak...!! Katanya mau buat Cempedak goreng sama sa ...."
kata-kata Sheila terhenti ketika ia melihat Marisa membereskan
pakainnya. " Mbak Marisa mau kemana?"
"Aku mau pulang." kata Maria dingin.
Sheila mengerutkan kening, "Bukannya Mbak pulang besok?"
"Apa bedanya pulang sekarang atau besok."
"Bukannya besok Mbak akan dijemput supir Tante Emma?"
"Tidak usah, saya bisa pulang sendiri. Banyak bis yang ke Jakarta."
Sheila sungguh bingung, ada apa dengan Marisa? Mengapa suaranya begitu
dingin dan terkesan marah? Kenapa ia marah? Sheila mendekati Marisa
perlahan, " Mbak.... Mbak marah pada saya? Saya menyinggung Mbak ya?" ia
menyentuh lengan Marisa, "Kalau saya memang membuat Mbak marah atau
tersinggung bilang saya Mbak, jangan seperti ini. Nanti bagaimana saya
mempertanggungjawabkaannya pada Oom Bram? Dia tentu bingung kalau Mbak
pulang begitu saja sebelum waktunya."
Marisa menepis tangan Sheila, " Jangan sentuh aku! Aku baru tahu ada
gadis munafik seperti kamu."
"Munafik?"
"Ya. Aku tidak menyangka harus saingan dengan gadis ingusan macam kamu!"
"Mbak, Mbak bicara apa sih?"
"Kamu jangan berlagak polos, Sheila! Kamu sengaja kan? Peristiwa tadi
sengaja, kan? Pantas saja kau selalu jadi penghalang saat aku
mendekatinya. Rupanya kamu lebih pintar dari aku. Kamu tahu cara
mendekati laki-laki!"
" Mbak saya jadi bingung, maksud Mbak apa?"
Marisa mendekatkan wajahnya pada wajah Sheila dan menatap gadis itu
lurus-lurus, "Jujur saya kamu mencintai Bram , kan?"
Sheila terenyak, apa maksud Marisa mengatakan seperti itu? Aku.......
Aku mencintai Bram?
Batin Sheila bertanya-tanya.
"Mbak! Kenapa Mbak mengatakan seperti itu, Oom Bram kan 20 tahun lebih
tua dari saya, dan saya sama sekali tak pernah berpikir ke sana, Mbak!"
Lalu Sheila teringat kejadian barusan, pasti Marisa salah menduga.
Ketika Sheila jatuh dan menimpa tubuh Bram, mereka berdua saling
berpandangan saking kagetnya.
"Mbak pasti salah sangka, hubungan kami tidak seperti apa yang Mbak
kira."
Marisa mendengus, "Aku jelas-jelas melihat tatapannya pada dirimu,
Sheila. Juga tatapanmu padanya." ia mengangkat tasnya yang sudah selesai
dipak dan malangkah keluar pintu, ia menoleh pada Sheila, "Kamu sudah
menyakiti saya, Sheila. Kamu telah menodai kepercayaanku. Kau telah
berbohong tentang jatuh cinta itu, kan? Kamu jelas tahu bagaimana
perasaan itu?"
Marisa keluar, Sheila mengejarnya. Di ruang tamu Marisa berpapasan
dengan Bram. Mereka bertatapan sejenak. Bram tak berkata apa-apa. Marisa
membuang muka dan pergi dari rumah itu.
BAB 12
SHEILA sangat terpukul atas pernyataan Marisa. Marisa sudah salah duga.
Tidak ada hubungan seperti itu di antara Bram dan Sheila. Lagi pula
tidak mungkin…!! Usianya belum lagi genap tujuh belas tahun dan Bram dua
puluh tahun lebih tua darinya. Bram hampir setua ayahnya dan
Oom Haryanto. Mana mungkin ia bisa jatuh cinta pada pria setua itu…??
Tapi Sheila jadi takut pada perasaannya sendiri. Lalu bagaimana dengan
getar-getar yang dirasakannya saat ia jatuh menimpa tubuh Bram? Saat
wajah mereka begitu berdekatan sehingga ia bisa mencium aroma tubuh pria
itu? Bagaimana dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat dan jiwanya
yang terasa melayang ke awan?
Apa benar ia jatuh cinta pada Bram...???
Dibentur-benturkannya kepalanya ke tempat tidur. Tapi karena matrasnya
tipis, kepalanya jadi sakit. Lebih baik sakit kepala dari pada sakit
jiwa. Ia pasti sakit jiwa kalau ucapan Marisa benar. Tidak mungkin ia
jatuh cinta dengan orang yang jadi pelindungnya selama ini. Itu tidak
pantas. Bram pantas jadi ayahnya.
Tidak...!!! Bran jauh lebih muda dari ayahnya. Dan lebih tampan. Pria
itu juga belum menikah. Lagi pula perbedaan umur Papa dan Mama juga
jauh, pikir Sheila.
Kau gila, Sheila…!!! Kenapa kau berpikiran begitu.... ?? Singkirkan
pikiran itu dari kepalamu,
cepat.....!!!! Betinnya. Dipukul-pukulnya kepalanya dengan tangan
hingga terasa sakit. Aku
harus menghilangkan pikuran seperti itu. Aku tak mau menodai hubunganku
dengan Bram. Lagi pula, apa pria itu menaruh perasaan yang sama
dengannya...???
Sheila menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak mungkin, Bram sangat anti
dengan pernikahan. Ia bahkan mengucilkan diri di sini, seperti kata
ibunya, ia tidak dalam proses mencari istri. Dan bila ia mau mencari
istripun, apakah mungkin ia jatuh cinta pada Sheila…?? Anak remaja yabg
belum genap tujuh belas tahun...?? Anak seorang pembunuh...?? anak yang
tak bisa membantunya, bahkan harus terus dibantu. Mana mungkin Bram
mempertaruhkan hidupnya hanya demi Sheila…??
Sheila memukul kepalanya lagi. Ya ampun, bahkan ia sudah perpikir
tentang pernikahan…!!! Ini harus dihentikan..!!!
Tok....!! Tok...!! Tok....!!
Sheila memandang pintu, ada yang mengetuk pintunya. Siapa ya...???
"Sheila, kau belum tidur…?? Ehm...... Masih pukul enam sore, kau pasti
belum tidur. Aku ingin
bicara sebentar. Boleh. .???"
Itu suara Bram. Bahkan suaranya saja sudah membuat tubuhnya bergetar dan
panas dingin. Sheila buru-buru membuka pintu dengan sikap sewajar
mungkin. Dipasangnya senyum lebar.
"Ada apa, Bram? Kau hutuh sesuatu??"
Bran tanpak bingung, "Kita bicara di depan."
Sambil mengkuti Bram ke depan rumah, Sheila memukul kepalanya berulang
kali karena sikap bodohnya di depan Bram tadi.
"Ada apa dengan Marisa tadi?" tanya Bram saat mereka sudah di udara
terbuka.
"Hmmm...... Aku...???" Sheila garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Aku
tidak tahu, tapi sepertinya dia marah."
"Marah pada siapa…??"
"Mungkin...... Padamu.....?" katanya sambil menatap Bram, tapi begitu
mata mereka bertatapan, dada Sheila mendadak berdesir hangat dan
bergemuruh. Sheila merasa bingung dengan persaaannya sendiri, ada apa
denganku…?? Kenapa aku tak bisa bersikap wajar di depan Bram seperti
biasanya...!!! Ia manunduk dan menatap sendalnya.
"Padaku.... Tidak mungkin."
"Kanapa tidak mungkin..? Kau sudah bersikap kurang baik padanya. Kau
marah saat ia membereskan kamarmu dab kau tak pernah memedulikannya sama
sekali." jawab Sheila.
"Ya, aku tahu. Tapu itu terjadi dihari kedu dan ketiga ia ada di sini.
Masa ia menahab marahnya sampai sekarang...? Itu tidak logis. Pasti ada
sesuatu yang baru terjadi yang membuat ia memutuskan untuk pergi dari
sini."
Kaki Sheila gerak-gerak gelisah.
"Sheila...?" Bram bertanya lembut, tapi ketika gadis itu diam saja, ia
berseru, "Sheila....!!!"
"Dia cemburu pada kita." jawab Sheila yang kaget karena panggilan itu.
Bram terdiam, "Apa...???"
Sheila lalu menceritakan kecemburuan Marisa gara-gara ia jatuh dan
menimpa tubuh Bram, juga pernyataan wanita itu bahwa ia mencintai Bram.
Tapi Sheila tak menceritakan bahwa Marisa menduga Sheila mencintai Bram.
"Itu yang kutakutkan." kata Bram setelah diam beberapa saat.
"Apa..??" tanya Sheila yang tidak mengeti. Sambil berbicara, diamatinya
wajah Bram. Benar, baru disadarinya Bram tampan sekali. Bibirnya merah,
kulitnya putih, alis yang tebal menaungi matanya yabg lebar. Rahangnya
kokoh, hidunya mancung, dan wajahnya bersih dari kumis. Rambutnya......
"Sheila...!!!!"
Sheila tersentak lagi.
"Sejak tadi kau bengong dan tak mendengarkan aku. Kenapa…?!" bentak
Bram.
"Maaf, apa katamu tadi…?"
" Marisa akan mengadu pada Mamaku bahwa ada hubungan tidak wajar antara
kau dan aku. Padahal tidak ada."
"Ya betul padahal tidak ada." ulang Sheila.
"Ya, kau sudah lihat bagaimana Mamaku, kan? Dia akan mencari cara untuk
mengusirmu dari sini."
Sheila kaget. "Apa…? Jangan..!!"
"Nah, karena itu kau harus bekerja sama denganku. Tak mungkin ada hal
seperti itu diantara kita..."
"Tidak mungkin."Sheila membeo.
"Jadi, mulai sekarang, kau harus benyak-banyak bergaul di luar, jangan
cuma aku yang kau lihat di rumah ini, mengerti..??"
"Tapi.... Di rumah ini kan tidak hanya ada kau. Kakek Eman juga ada."
Bram memutar bola matanya, betapa polosnya Sheila, pikirnya. "Maksudku,
kau sudah akil balig. Bergaulah dengan banyak pria, jangan hanya aku
saja. Mengerti?"
Sheila mengangguk ragu.
"Kalau ada perasaan ganjil yang kau rasakan, lawan saja dan jangan
berpikir macam-macam. Kau dan aku tinggal serumah. jadi,… Bram memutar
otaknya, bingung bagaimana menjelaskannya pada Sheila, bahwa munkin saja
jatuh cinta, karena itu mereka harus hati-hati agar itu tidak terjadi.
"… jadi....."
Sheila menatap Bram, " Bram, aku mengerti."
"Sungguh...??"
"Ya, aku mengerti. Tapi aku cuma bingung satu hal."
"Apa?"
"Di sini dimana lagi aku harus mencari pria lain selain kau dan Kakek
Eman?"
Sejak perbincanagn ganjil antara ia dan Bram, gadis itu merasa Bran
semakin menjaga jarak. Wlaupun pura-pura tak mengerti, sebenarnya Sheila
amat paham dengan maksud Bram. Pria itu cuma ingin berkata apapun yang
ia rasakan pada diri Bram, itu karena selama ini Sheila belum pernah
bertemu dengan laki-laki lain selain Bram. Mereka tinggal satu rumah.
Bagaimanapun individualnya sikap Bram, pasti mereka bertemu minimal satu
kali sehari . Dari kerapnya pertemuan mereka, mungkin Bram mengira
Sheila bisa jatuh cinta padanya, dan Bran tidak menginginkan hal itu
terjadi.
Sheila mendengus, dasar kegeeran, gerutu Sheila. Apa Bram pikir Sheila
menginginkan hal itu. Sheila harus mengalihkan pikirannya dari Bram ke
pria lain. Tapi kemana ia garus mencari? Tetangganya sudah dikenalnya
semua, dan satu pun tak ada yang seusia dengannya. Yang paling
dekat Risky, tapi pemuda itu baru lima belas tahun. Masabia mesti
mencari "Daun muda" seperti istilah Tini?
Entah Tuhan mengabulkan doanya, entah memang sudah takdir, hari sabtu
itu Reza datang.
"Sheila, ada yang mencarimu di depan." kata Eman, ketika Sheila sedang
mencuci piring di dapur.
"Siapa?" tanya Sheila sambil mengerutkan kening, Tini dan Wenby baru
datang kemarin, masa datang lagi?
"Laki-laki." Eman memberitahu.
Apakah Pak Alex, pikir Sheila. Ia memcuci tangan dan mengelapnya hingga
kering, lalu pergi ke depan dan mendapati Reza berdiri di sana,
tersenyum lebar melihat Sheila.
"Astaga…!!! Ternyata alamat ini tidak salah." ucap pemuda itu, "Tahu
nggak, aku sampai nyasar ke asrama depan situ. Mereka bilang Sheila si
pemunuh sudah tidak tinggal di sini lagi."
Sheila kebingungan sehingga tidak sempat tertawa dengan julukan yang
diberikan penghuni asrama untuknya. Sheila si pembunuh...? Ya ampun,
boleh juga. " Mau apa kau kemari...???"
"Huh, nggak adil. Kau boleh datang ke rumahku tapi aku tak boleh datang
ke tempatmu. Hei, supaya adil, kau menginap di rumahku satu malam, aku
juga menginap di sini satu malam..!!" Sheila bengong hingga lupa
mempersilakan pemuda itu masuk. Mereka masih berbincang di pagar. "Hei,
aku dicuikin nih..??"
Sheila tersadar, "Oh,ya.... Ehm... Masuklah."
"Wah, aku kan datang dari jauh. Pantasnya disambut jus jeruk atau es
teler nih."
Lima menit kemudian, Reza asyik menyeruput jus jeruknya sambil
duduk di sofa. "Hm....
Seger." ujarnya sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling. "Tempat
tinggalmu enak juga, ya. Tapi kok aku nggak lihat teve?"
"Di sini nggak ada teve, nggak ada DVD, nggak ada Playstation. Dan di
sini tak bisa disamakan dengan vila. Nggak ada kolam mancing, nggak ada
kolam renang, nggak ada......."
"Stop.... Stop.... Stop.... Aku ke sini cuma nyari kamu kok!"
"Nyari aku..??"
"Ya, aku ke sini naik bus, tahu nggak? Seumur-umur aku belum pernah naik
bus, baru kali ini aku naik bus berdiri dari kampung rambutan sampai
Ciloto!"
Mau tak mau Sheila tertawa membayangkan Reza menahan pegal di dalam bus
antarkota. "Serius, Rez. Kamu ke sini mau apa? Disuruh Papamu?"
Wajah Reza kini berubah serius, "Tidak, aku ke sini mau bertemu
denganmu, Suer!"
Tatapan Reza membuat Sheila tersipu. Gadis itu menunduk. "Ini bukan
rumahku, jadi aku tak tahu kau boleh menginap atau tidak. Coba
kutanyakan pada Bram dulu."
Tapi belum sempat Sheila berdiri mencari Bram, pria itu sudah muncul di
ruang tamu. Rupanya ia mendengar suara Reza yang berisik dan ingin tahu
suara siapakah itu. Ternyata Bram sudah lama berdiri di situ.
"Kau bisa menyiapkan kamar tamu untuk temanmu, Sheila." ujar Bram.
"Oh,… iya." Sheila buru-buru pergi ke kamar tamu, sayup-sayup
didengarnya suara Bram yang bertanya pada Reza tentang latar
belakangnya.
Sambil memasang seprei, dalam hati Sheila bertanya-tanya mengapa sikap
Bram sangat ramah pada Reza. Kalau Reza berkata ia anak Haryanto, Bram
pasti tahu Reza pernah bersikap buruk pada Sheila. Untuk apa Bram
berbaik-baik padanya? Tapi, … Reza sekarang sudah banyak berubah, pikir
Sheila lagi. Pemuda itu bukan lagi anak manja, yang mengancam akan
memperkosa Sheila waktu Sheila memergoki Reza sedang menontoh film
porno. Reza sudah dewasa, tubuhnya menunjukkan ia kini pria dewasa,
perilakunya juga. Sheila duduk di tempat tidur di kamar tamu tersebut.
Lalu untuk apa Reza datang kemari?
Mungkin Reza menyesali perbuatannya dulu terhadap Sheila dan kini ingin
memperbaiki kesalahan, pikir Sheila. Baik ia akan memberikan kesempatan.
Lagi pula ia kan sedang mencari teman laki-laki? Ya ampun...!!! Sheila
memukul kepalanya. Tapi , masa Reza? Mereka pernah tinggal satu atap dan
ia sudah tahu semua kelakuan pemuda itu sampil sekecil-kecilnya.
Dari luar didengarnya sayup-sayup suara tawa Reza dan Bram.
Sudahlah, Sheila. Masa Reza ingin kuincar sebagai calon buruan? Bisik
hati Sheila. Meskipun tidak ada hubungan darah dengan pemuda itu, kau
kan tak seputus asa itu? Tapi lihat Bram, sikap baik nya mencurigakan…!!
Tidak pernah ia usil seperti ini, ikut ngbrol dengan tamu Sheila.
Tampaknya.......
"Sheila...!"
Buru-buru Sheila keluar mendengar panggilan Bram.
"Sheila, reza sudah datang jauh -jauh ke sini. Lebih baik kau antarkan
ia ke taman safari. Dari sini tinggal naik angkot satu kali sampai
gerbangnya, lalu dari gerbang ke dalamnya satu kali lagi." ucap Bram. Ia
merogoh kantong sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang
diterima Sheila ragu-ragu. "Dia pasti ingin tahu tempat wisata di sini."
Sheila terpaku. Dulu ia memang pernah ke taman Safari bersama
teman-teman SMP-nya. Tapi ia tak tahu jalan menuju ke sana dari rumah
Bram.
"A...aku tidak tahu cara pergi ke sana."
"Aku tahu...!" jawab Reza riang.
AKHIRNYA Sheila pergi ke taman Safari bersama Reza. Eman ikut-ikutan
menyiapkan bekal minum dan roti yang diterima Reza dengan gembira. Dalam
hati Sheila menggerutu, dasar semuanya sama saja! Bram dan Kakek Eman
tampaknya senang Sheila punya teman laki-laki, seakan gadis itu sudah
cukup umur buat kawin saja!
Sepanjang perjalanan Reza menceritakan betapa senangnya ia lulus SMA dan
sudah kuliah, karena kuliah jauh lebih santai, tidak ada ulangan, tidak
ada PR, tidak harus belajar tiap hari. Pokoknya kuliah lebih sesuai
buat dia, katanya.
Sheila cuma manggut-manggut seperti kambing berjanggut makan rumput.
Reza juga menanyakan bagaimana Sheila sampai tinggal di rumah Bram.
Gadis itu pun menceritakannya "perjalanannya" dari ia tinggal di asrama
sampai ia tinggal di rumah Bram. Reza juga menanyakan apakah ia betah
tinggal di rumah Bram. Sheila mengangguk. Ketika Reza bertanya lebih
betah mana tinggal di rumah Bram atau di rumahnya, Sheila diam saja.
"Aku tahu, kau pasti tidak suka tinggal di rumahku karena sikap Mama dan
Renny, " katanya.
Sheila masih diam, ia sungguh tak ingin membicarakan hal ini dengan
Reza.
Reza menoleh pada Sheila dan tersenyum, "Kalau begitu aku wakilli mereka
untuk minta maaf."
"Sudahlah, Rez. Aku nggak mau ngomongin hal itu." kata Sheila.
"Ya sudah, kita ngomongin hal lain saja. Oh ya, Om Bram yang tinggal
sama kamu umurnya berapa sih?"
"Tiga puluh tujuh tahun, memangnya kenapa?"
"Wah..... Sudah tua banget, ya? Tapi tampangnya seperti masih tiga
puluhan. Dia.... Dia baik sama kamu?"
"Baik, memangnya kenapa?"
"Tentu saja dia baik, kamu kan membantu pekerjaan di rumahnya. Dapat
dari mana lagi pembantu yang begitu rajin?"
Sheila memukul lengan Reza, pura-pura marah, Reza tertawa.
"Tapi.... Hati-hati, lho," lanjut pemuda itu. "Kenapa?"
"Hati-hati jangan sampai ia jatuh cinta sama kamu! Atau kepikiran
ngapa-ngapain kamu di rumah itu!"
Sheila melotot. "Lama nggak ketemu, ternyata otakmu masih ngeres seperti
gerobak sampah!"
"Sori, tapi aku serius." ekspresi wajah Reza berubah. " kalian tinggal
berdua di satu atap. Yang satu pria dewasa, kau pun sudah dewasa
sekarang, maksudku hampir dewasa," kata Reza karena Sheila mencubit
perutnya.
"Pria dan wanita yang tak punya hubungan darah, kalau sudah lama tinggal
bersama, nanti akan muncul perasaan..."
"Aku nggak mau ngomongin itu lagi,"
"Eit... Jangan marah dong, cantik…"
Mendengar panggilan Reza, mau tak mau Sheila tersenyum. "Kau sudah
pintar merayu sekarang?"
"Dari dulu juga kok. Cuma kamu saja yang baru menyadari sekarang, tapi
ucapanku benar, kan?"
"Aku tinggal di sini sampai bulan depan aja, kok." jawab Sheila
kelepasan. Ketika ia sadar sudah tak ada gunanya ia meralat.
"Oh ya, Kenapa?"
"Karena itu memang perjanjiannya. Ia menampungku hanya sampai usiaku
tujuh belas tahun, karena di saat itu aku sudah tak perlu diawasi
seorang wali lagi."
Reza terdiam, ia mencerna kata-kata Sheila.
"Jadi, kau tinggal bersamanya karena kau tidak ingin tinggal di rumah
kami?"
Sheila menatap Reza, "Maaf, tapi sejujurnya iya. Aku tak tahan tinggal
bersama Mamamu. Maafkan aku bicara begitu tentang Mamamu."
"Tidak apa-apa." jawab Reza cepat. "Lalu kau mau tinggal dimana bulan
depan?"
"Tadinya aku ingin membujuk Bram agar diizinkan bisa tinggal lebih lama,
tapi lama-lama....
Seperti kau bilang, aku sadar memang tak baik aku tinggal di situ. Ya
sudah aku akan pindah, aku punya sedikit uang mungkin cukup. Kalau
tidak, aku bisa mencari pekerjaan."
"Tinggal saja di rumahku lagi."
Sheila memandang Reza, "Tadi kau bilang, aku tidak boleh tinggal seatap
dengan laki-laki, kalau tak punya hubungan darah denganku, lalu kau apa?
Bukan laki-laki?"
"Lho, memangnya di rumahku cuma ada aku?" kata Reza sambil menunjuk
dirinya sendiri. "Ada Mama, Renny, ada Papa. Aku bisa ngapain?"
Sheila tertawa. Tentu saja bukan Reza yang ditakutinya, tapi yang
lainnya.
Hari itu Sheila gembira sekali.. Tidak seperti diduganya semula,
ternyata sekali-kali pergi berwisata perlu juga. Di taman Safari mereka
naik bus khusus untuk melihat binatang yang ada. Mereka juga sempat
menikmati arena permainan, meraka main sampai puas. Sheila tidak
menyesal datang kemari. Selesai main, mereka makan Mi ayam di restoran
samping Taman Safari. Tanpa terasa hari sudah sore, sudah waktunya
mereka pulang kalau tak mau kemalaman.
Tapi ketika mereka tiba di rumah Bram, hari sudah gelap. Lampu
pekarangan belum dinyalakan. Pasti Eman lupa menyalakannya, karena
biasanya itu tugas Sheila. Bram pasti ada di dalam jadi tak tahu
pekarangan begitu galap.
"Sheila." Reza menahan tubuh gadis itu yang baru saja mau membuka pagar.
"Ada apa?"
"Tunggu dulu. Aku mau mengatakan sesuatu padamu." bisik Reza. Sheila
menurut. Ia menunggu. Tapi lama Reza diam saja. Sheila jadi tak sabar.
"Apa?"
"stt...... Tunggu dong. Aku kan perlu konsentrasi mengatakannya." bisik
Reza.
"Ehm..... Begini.... Sheila.....aku.... Aku mau bilang sesuatu padamu."
"Iya, dari tadi kan aku sudah menunggu."
"Sabar dong, aku kan lagi serius."ucap Reza kesal.
"Ya sudah. Cepetan, sudah malam nih, masih banyak tugas yang mesti aku
kerjakan."
"Aku... Aku menyukaimu."
"Apa?"
"Stttt!" ujar Reza lagi.
Sheila terpaku. Reza mengatakan ia menyukai Sheila, apa maksudnya?
Apakah Reza..... Jatuh cinta padanya? Tapi.... Ya ampun!! Masa Reza si
"anak aneh" julukan itu diberikan Sheila karena dulu Reza cukup aneh dan
menakutkan baginya, dan sekarang jatuh cinta padanya? Tapi memang masuk
akal, buktinya ia datang jauh-jauh dari Jakarta cuma untuk menginap
satu malam di rumah yang hampir tak ada peralatan elektronik!
Tiba-tiba Sheila tertawa.
"Sheila...!!" bisik Reza kesal.
Sheila memegangi perutnya yang sakit akibat tawanya yang terbahak-bahak .
Tiba-tiba Sheila merasa tubuhnya dipeluk kuat-kuat dan wajahnya di
pegang erat-erat. Reza memegang pipi Sheila dan mendekatkan wajah gadis
itu ke wajahnya. Ia mendekatkan bibir
mereka dan menciumnya. Sheila terpaku sampai tak sempat berontak.
Dirasakannya Reza mengulum bibirnya lembut. Bibir itu terasa basah dan
hangat.
Sheila melepaskan dirinya sekuat tenaga, kemudian......
PLAAAAKKK...!!!!
Ditamparnya pipi Reza sekuat tenaga.
Reza memegangi pipinya, dan memandang Sheila dengan tatapan terkejut,
"Kenapa kau tampar aku?" tanyanya.
"Kenapa kau cium aku?" balasnya.
"Karena aku menyukaimu. aku serius. Aku ingin menunjukan bahwa aku
sungguh-sungguh menyukaimu. Ini bukan bercanda. Aku ingin kau jadi
pacarku, Sheila…!!!" ujar Reza bertubi-tubi.
"Aku nggak berpikir sejauh itu. Aku nggak mau jadi pacar kamu, Rez! Aku
cuma menganggapmu sebagai Kakak."
Reza memegang bahu Sheila dan mengarahkannya padanya. "Aku nggak perlu
adik. Adik aku sudah punya. Aku ingin kamu jadi pacarku."
"Tapi, aku.... Sudahlah, Rez."Kata Sheila lemah.
"Ya sudah. Kamu jangan jawab sekarang. Kamu sekarang belum punya pacar,
kan? Kamu perlu berpikir-pikir dulu. Kamu perlu waktu berapa? Satu bulan
? Dua bulan?"
Sheila memandang Reza, "Jawabanku tidak akan berubah walaupun dikasih
waktu satu tahun."
"Kenapa? Kamu udah naksir cowok lain? Ada cowok lain yang kamu suka?"
Sheila tak menjawab, ia membuka pagar dan masuk ke rumah melewati
pekarangan yang gelap. Di depan pintu ditekannya saklar untuk menerangi
pekarangan yang gelap. Tapi ia kaget, di situ dilihatnya Bram sedang
duduk di kursi teras. Rupanya pria itu sudah lama di situ tanpa
sepengetahuan Sheila dan Reza. Sheila cuma memandang Bram sekejap lalu
buru-buru masuk ke kamarnya.
"Maafkan aku atas kejadian semalam, Sheila." kata Reza keesokan paginya,
saat Sheila sedang memberi makan Si Boy daging mentah di pekarangan,
"Aku terlalu terburu-buru. Aku pasti membuatmu kaget."
"Tapi lain kali jangan begitu lagi." kata Sheila setelah diam beberapa
saat.
"Tidak. Lain kali aku pasti begitu lagi…!!"
Sheila kaget, "Apa? Kau mau menciumku tanpa izin lagi?!!"
Reza tersipu. "Bukan. Aku pasti akan selalu menyukaimu. Hatiku tak akan
berubah. Aku akan menanyakan hal yang sama, satu bulan lagi, dua bulan
lagi, atau satu tahun lagi. Aku akan menunggu sampai kau menyukaiku
juga."
Sheila terdiam.
"Baik. Kau boleh tetap menyukaiku. Walau saat ini aku belum menyukaimu
dan sepertinya, kemungkinan untuk itu hampir tak ada, tapi sifat manusia
bisa berubah. Tidak apa kan kujadikan kau cadangan?"
"Tidak apa-apa." Jawab Reza cepat. "asal jangan menolakku sekarang "
"Oke. Siapa tahu sebulan lagi, atau satu tahun lagi aku berubah pikiran.
Tapi sampai saat otu tiba, aku melarang keras kau mencimku. Mengerti?"
Senyum Reza mengembang, "Oke, Bos...!!"
Minggu siang itu Reza pulang meninggalkan satu kenangan manis di hati
Sheila. Ternyata ada juga cowok yang menaruh hati padanya. Itu prestasi
yang bagus, kan? Setidaknya ia punya cadangan. Saat teringat kejadian ia
menampar Reza, Sheila kembali ingin tertawa sampai sakit perut.
BAB 13
APALAH artinya waktu sebulan, bila puluhan tahun saja berlalu seperti
sekejap mata? Tanpa terasa besok tanggal 7 Desember, hari ulang tahun
Sheila. Gadis itu merasa sangat sedih. Apakah ini akhir masa tinggalnya
di rumah Bram?
Mendekati hari ulang tahunnya, hati Sheila diliputi rasa keraguan.
Mampukah ia tinggal sendiri? Mampukah ia bertahan dan tak kembali ke
rumah Haryanto? Jawabannya selalu sama: Tak mampu. Ia tak mampu hidup
sendirian, ia tak bisa hidup tanpa orang-orang di sekelilingnya. Masih
diingatnya perasaan waktu ayahnya baru ditangkap polisi dan selama
beberapa hari ia harus tinggal sendirian. Tiap malam ia bergelung di
dalam selimut sambil ketakutan. Tiap siang ia mendekam di rumah seperti
orang penyakitan tak boleh kena sinar matahari. Rasanya tak tertahankan
sampai Haryanto datang menjemputnya. Saat itulah ia merasa Haryanto
sebagai penolong dan penyelamat. Tidak, ia tak akan mau tinggal
sendirian lagi.
Tapi, kembali ke rumah Haryanto? Di sana ada dua orang yang
menyayanginya dan dua orang yang membencinya. Ia teringat perlakuan
Ratna terhadapnya, juga dusta wanita itu terhadap Haryanto. Tidak, ia
tidak mau mengalami hal itu lagi.
Satu-satunya tempat yang tersisa baginya adalah di sini. Ia dapat
menamatkan SMAnya , ia dapat melalui hari-harinya tanpa adanya tekanan.
Ia dapat terus belajar berbagai masakan dari Eman. Tapi bagaimana dengan
Bram? Ia tahu...!! Ia dapat memohon, kalau perlu berlutut agar Bram
sudi membiarkannya tinggal di sini. Ya, itu satu-satunya hal yang dapat
ia lakukan! Pikir Sheila.
"Eman, hari ini siapkan makan malam di kebun. Aku ingin makan malam
berdua Sheila." kata Bram malam itu.
Jantung Sheila langsung berdugub kencang. Pria itu tahu...!! Pria itu
tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirnya ia tinggal! Makanya ia ingin
disiapkan makan malam. Apakah sebagai makan malam terakhir mareka
bersama? Tubuh Sheila lemas. Bagaimana ini?
Makan malam sudah siap, Bram sudah mengganti bajunya dengan baju
berwarna biru dongker. Sheila tahu, itu baju kesayangan Bram. Pria itu
selalu memakainya dalam kesempatan khusus, seperti hari ulang tahunnya
dan saat-saat seperti ini. Sheila duduk ragu-ragu di hadapan Bram.
"Kakek Eman tidak diajak? Keeek..!!! Kakeeekkk...!!" panggil Sheila.
Bram memegang tangan Sheila, "Tidak usah. Aku ingin bicara berdua saja
denganmu."
Sheila terdiam, wajahnya menunduk. Ia memainkan sendok dan garpu di
hadapannya.
Bram menyendokan nasi ke piring Sheila, lalu menuangkan sayur asem ke
mangkuk kecil.
"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok."
"Tidak apa-apa. Kau selalu melayaniku makan. Jarang dapat kesempatan aku
yang melayanimu, kan?"
Hati Sheila serasa disiram air es. Ia akan diusir. Ini malam terakhir,
bagaimana ini?
Ia menyendok nasinya dan makan perlahan-lahan.
"Besok kau ulang tahun." kata Bram
UHUK..! Sheila tersedak nasi. Buru-buru ia mengambil air putih san
meminumnya.
"Ya." katanya dengan tenggorokan sakit.
Bram tersenyum, "Kau ingin minta apa sebagai hadiah ulang tahunmu?"
Sheila menatap Bram terkejut, "Kau ingin memberiku hadiah?"
"Ya. Waktu ulang tahuku tempo hari, kau sudah memberiku pesta kejutan
untukku.. Sudah sepatutnya , aku juga memberimu hadiah istimewa. Tapi
aku tidak tahu kau mau apa. Kalau kuberikan begitu saja, takut nanti kau
tidak suka. Kau mau minta apa?"
Sheila berpikir sejenak. Sekarang saatnya! Bilang saja kau ingin tetap
tinggal di sini! Namun Sheila takut Bram menolaknya mentah-mentah, dan
ia akan merusak suasana bahagia yang kini sedang berlangsung. "Ehm....
apa ya? Ehm...." lalu ia menatap Bram. "Aku tahu, makan malam mewah di
restoran di Jakarta…!"
"Cuma itu?" tanya Bram. Ia mengharapkan jawaban "Komputer", atau "Sebuah
laptop", atau "Handphone" atau barang-barang mahal bergengsi lainnya
untuk remaja seusia Sheila. Tapi ia memang tak tahu benda apa yang
disukai gadis remaja masa kini. Rupanya Sheila ingin ulang tahunnya
dirayakan di restoran mewah. Bram tersenyum, "Kau ingin mengundang teman
juga?"
"Tidak. Cuma kau dan aku. Boleh, kan?" pinta Sheila. ia pikir ia bisa
memohon pada bram untuk mengizinkannya tetap tinggal saat itu. Saat itu
untung-unrungan saja, kalau Bram menolak ia masih punya harga diri. Itu
kan ulang tahunnya, jadi ia bebas berkata apa saja, kan?"
Bram agak ragu, berarti ia harus muncul di tempat umum. Tapi hanya satu
malam, lagipula sudah tujuh belas tahun ia tak muncul di muka umum,
wajahnya sudah berubah, bisa dipastikan tak ada yang mengenalinya. Kalau
ada, ia bisa bilang seperti yang dikatakannya pada tetangganya waktu
itu, "Anda pasti salah orang." dan orang itu pasti akan berpikir ia cuma
mirip dengan bintang film yang dikatakannya. Lagian ini cuma satu kali,
demi Sheila. Akhirnya Bram menyanggupinya. "Boleh. terus hadiahnya
apa?"
"Masih ada hadiah juga?" tanya Sheila polos. Makan malam mewah pasti
tidak murah biayanya. Sebenarnya ini sudah cukup baginya.
"Ya. Makan malam sudah oke, terus kau mau hadiahnya apa?" ulang Bram.
"Begini saja, nanti pada saat makan malam itu aku akan katakan padamu,
oke?"
Bram tersenyum sambil mengerutkan kening, "Kenapa tak kau ucapkan
sekarang saja? Aku bukan pesulap yang bisa memberikan barang yang kau
inginkan begitu saja. Aku kan butuh waktu untuk mempersiapkannya?"
"Tidak usah. Benda itu ada pada dirimu." jawab Sheila.
"Baiklah. malam ini juga aku akan membooking tempat untuk besok malam."
jawab Bram
Bram tahu, Sheila sudah lama menderita. Gadis itu tidak pernah merasakan
kebahagiaan. Lagi pula sweet seventeen bagi seorang gadis remaja sangat
besar artinya. Ulang tahun gadis-gadis lain mungkin dirayakan secara
meriah di hotel berbintang dan mengundang teman-teman. Tapi Sheila cuma
ingin makan malam. Berdua saja dengannya, tidak minta apa-apa lagi. Ini
menunjukan bahwa gadis itu tahu diri, dan tidak memanfaatkan kesemparan
yang diberikan padanya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bram menyukai sifat Sheila itu. Dan mungkin itu lah yang mendorongnya
memberikan kejutan pada Sheila. Bukan hanya makan malam, pagi harinya
gadis itu akan dijemput limusin mewah yang disewanya, lengkap dengan
sopirnya menuju salon ternama. Sheila juga dibolehkan memilih baju pesta
dan didandani sesuai keinginannya. Lalu ia akan dibawa ke sebuah kamar
yang sudah dipesan Bram di hotel bintang lima untuk menginap malam itu
dan beristirahat hingga saatnya makan malam bersama Bram. Malamnya Bram
akan menjemputnya untuk makan malam di hotel iu juga, dengan membawa
hadiah seuntai kalung berinisail huruf "S" yang sudah disiapkannya
sebagi hadiah ulang tahun.
Setelah makan malam, mereka akan menginap di hotel itu, dan pagi harinya
Sheila akan teringat ia sudah mengalami peristiwa yang sangat
menyenangkan di hari ulang tahunnya yang ke rujuh
belas. Pengalaman manis yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya. Itu
dilakukan Bram untuk membalas budi gadis itu, yang sudah menbuat
hidupnya setahun belakangan ini menjadi lebih berarti. Walau hanya
terjadi dibagian kecil hidupnya, semua ini juga akan dikenangnya sebagai
pengalaman manis dalam kehidupannya.
Pagi hari itu Sheila terbangun dengan tubuh segar. Walau tadi malam ia
sedikit tidak bisa tidur karena akan mengalami hal yang menyenangkan
keesokan harinya, pagi harinya ia langsung melompat dari tempat tidur
dan langsung ke dapur.
"Kek..!! Kakek...!!! Akilu sudah tujuh belas tahun, Kek! Aku sudah
dewasa!"
Eman yang sedang memasak air menoleh, begitu ia melihat Sheila, ia
tersenyum.
"Oh iya, Kakek juga sudah menyiapkan hadiah buat kamu." buru-buru ia
masuk kamar dan keluar membawa kotak yang sudah dibungkus kertas kado.
Sheila terharu, "Ya ampun, Kakek. Nggak usah nyiapin kado buat aku!" ia
buru-buru membukanya. "Ini pasti gara-gara aku terlalu bawel sampai
Kakek tahu hari ulang tahunku..." Matanya terbeliak meliat apa yang ada
di dalamnya. Sebuah patung piano kecil berwarna cokelat. Ukurannya lebih
besar dari pada miniatur yang ia miliki di kotak kaca. Tapi hadiah itu
membuat Sheila terharu. Ia jadi teringat pada miniatur itu, juga
teringat pada mamanya.
"Ini...." Sheila menatap Eman dengan berkaca-kaca.
"Waktu itu kan punyamu rusak, tapi kau selalu menyimpannya. Kupikir kau
sangat suka piano dan kebetulan aku melihat ini di supermarket. Jadi
kubeli saja. Baru kali ini aku punya kesempatan memberikannya padamu."
Sheila tak dapat menahan tangisnya. Dipeluknya Eman erat-erat.
"Makasih, Kek. Makasih...!! Kakek begiu parhatian padaku."
Eman pun berkata parau, "Aku juga bertarima kasih padamu, Sheila. Karena
kau bersedia memanggilku "Kakek", menjadi cucu yang tak pernah
kumiliki.
Sheila menghapus air matanya. Ia tersenyum, masih dengan mata berair.
"Ya ampun, aku sebenarnya tak ingin menangis di hari bahagiaku."
Tapi ketika sebuah limusin tiba di depan rumah untuk menjemputnya, ia
menangis lagi.
Sheila sangat bahagia. Di balik jendela mobil ia memperhatikan kesibukan
kota Jakarta yang begitu cepat berubah semenjak ditinggalkannya. Ia
meminum coke dingin yang ditemukannya di dalam kulkas di bagian belakang
mobil. Kata sopir ia bebas boleh meminum apa saja, kecuali minuman
keras. Bukan karena usianya masih kecil, ia sudah tujuh belas tahun
sekarang, melainkan ia harus menikmati kebahagiaan hari itu.
Ia duduk sendirian dan boleh melakukan apa saja di dalam mobil mewah
yang nyaman dan sejuk itu. Tadi waktu mau berangkat, ia sempat memeluk
Bram dan mengucapkan terima kasih. Bram bilang nanti malam ia akan
menjemput Sheila di kamar hotelnya.
Sheila rasanya ingin teriak saking girangnya, tapi ia takut. Walau
antara dirinya dan sopir ada kaca pembatas, sopir itu dapat mendengarnya
dan ia jadi malu. Beberapa jam kemudian ia tiba di sebuah butik.
Sopir itu membukakan pintu untuknya.
"Katanya mau ke salon?" tanya Sheila bingung.
"Ya, tapi kata tuan Bram, Mbak Sheila harus kemari dulu dan memilih baju
yang akan dipakai nanti malam."
Sheila menganga, "Wow… asyik!" desahnya kemudian.
Sheila mepihat koleksi baju yang ada di butik itu. Ketika ia menanyakan
harga baju yang bermodel sederhana, jawaban pramuniaga yang melayaninya
hampir membuatnya pingsan.
"Baju ini memang mahal, Mbak. Soalnya bukan buatan dalam negeri. Semua
diimpor dan buatan perancang ternama dari paris." jelas wanita yang
melayaninya itu. "Tapi Mbak nggak usah khawatir, tuan Bram sudah
telepon, agar Mbak mengambil beberapa potong, jangan cuma satu, sehingga
kalau kurang cocok masih ada lainnya." ia tersenyum manis. " kata Tuan
Bram, Mbak ulang tahun ke tujuh belas ya? Kebanyakan kalau sweet
seventeen ngambil baju yang kayak gini Mbak."
Ia mengajak Sheila ke sebuah ruangan yang berisi deretan baju pesta
berwarna hitam, pink, dan warna-warna menawan lainnya. Modelnya
kebanyakan longdress dan anggun.
Sheila menggeleng.
Wanita itu kecewa. "Nggak suka, ya. Mbak sukanya model apa?"
Sheila memandang berkeliling. "Ada tidak, baju yang membuat tampilan
saya tampak lebih tua?"
"Oh, maksudnya, seperti wanita umur dua puluh tahunan yang dewasa?"
tanya wanita itu.
Sheila menggeleng, "Bukan. Seperti umur tiga puluhan."
Wanita itu cuma bisa melongo.
Akhirnya Sheila mengambil dua potong baju. Yang satu gaun bermodel
ketat, mini, terbuat dari sifon transparan, bercorak mawar warna merah
tua berlatar hijau gelap. Bahunya terbuka dan ujung bagian bawahnya
berbentuk garis miring dengan beberapa kerutan yang menjuntai hingga
lutut. Gaun itu limited edition, dan sebenarnya sudah dipesan artis
wanita berusia tiga puluh
tahun. Tapi setelah memesannya dua minggu lalu, artis itu tidak datang.
Sheila langsung suka gaun itu karena membuatnya tampak dewasa dan
anggun.
Gaun yang satunya lagi model long dress berwarna pink, dengan rok
menggembung hingga menutup kaki. Pramuniaga itu yang mendesak Sheila
untuk mengambilnya juga, walau Sheila kurang tertarik dengan gaun itu.
Sheila juga mengambil sepatu hak terbuka berwarna hitam. Tinggi haknya
sembilan sentimeter sehingga ia harus belajar jalan dulu agar bisa
mengenakannya tanpa terhuyung. Pramuniaga itu mengajarinya agar berjalan
pada satu garis lurus dan menumpukan berat badannya pada ujung jari
kaki, bukan pada haknya agar Sheila tidak jatuh. Dari butik itu kemudian
Sheila berlanjut ke sebuah salon.
Di dalam limusin yang disewa Bram, sudah tersedia makanan untuk Sheila
agar gadis itu tidak lapar lagi hingga makan malam tiba. Rupanya semua
sudah dipikirkan Bram hingga hal sekecil-kecilnya.
Sheila memasuki salon oleh seorang pria yang bertubuh sangat langsing
dan berambut terlalu panjang untuk ukuran seorang pria.
"Hallooo.... Kenalkan nama saya Andre..." katanya dengan suara lembut
dan mengulurkan tangan dengan gerakan gemulai. Sheila hampir tak dapat
menahan tawa mendengar nada bicara pria itu.
"Hai juga. Saya Sheila.."
"Duh, Sheila nama yang bagus sekali.cantik, seperti orangnya. Ayo
silakan duduk.."
Sheila duduk di bangku yang disediakan Andre. Pria itu melihat bungkusan
yang dibawa Sheila. "Itu bajunya, ya? Coba saya lihat seperti apa."
Andre menarik gaun peata berwarna pink dengan bahu terbuka dan rok lebar
yang menyentuh lantai. "Wow.... Bagus sekali. Ini pasti baju mahal.
Bagaimana kalau rambut kamu digerai saja. Lalu bagain atasnya dipasang
bunga kecil-kecil berwarna pink sehingga cantik seperti bidadari.
Sweet seventeen kan, Sheila? Kamu pasti kelihatan Sweet deh…!!"
Sheila menggeleng, "Bukan itu yang akan saya pakai nanti." ia
mengeluarkan baju satunya, "Yang ini."
Andre membentangkan baju itu dan menggelengkan kepalanya. Ia mengerutkan
kening. " Ini baju yang bagus sekali. Tapi… apa tidak terlalu tua buat
kamu…?"
Sheila tersenyum, "Nggak apa-apa. Saya justru mau bilang sama omm Andre,
tolong rambut saya ditata tidak seperti remaja tujuh belas tahun, tapi
seperti sudah dewasa."
Andre cemberut, "Jangan panggil ekke begitu ah..... Panggil aja Andre.
Tapi jij mau model gimana? kayak Krisdayanti? Di vedio klipnya yang
terbaru dia pake baju bunga-bunga dan rambutnya dihiasi bunga-bunga itu,
begitu?"
"Jangan! Jangan pake bunga-bunga, kayak anak-anak. Saya nggak mau.
Dandani saya seperti orang berusia tiga puluhan. Bisa...?"
Andre melongo dan menutupi mulutnya dengan tangan.
"Oh my God....!!!"
Sheila menikmati perawatan mewah salon itu. Tubuhnya dilulur, dipijat
hingga ia tertidur. Kuku tangan dan kakinya dimanikur hingga bersih dan
mengkilat dengan cat kuku transparan. Rambut panjangnya digulung dan
dipanaskan dengan alat yang dalamnya keluar asap panas yang hampir
membuatnya tak tahan. Wajahnya di make up seperti permintaanya, membuat
ia terlihat lebih dewasa.
Andre lepas tangan, Andre menyerahkan Sheila ke tangan Anne, rekannya
yang dianggap lebih bisa memoles wajah Sheila.
"Doi mau dibuat tua, Ne. Tuh kerjaan buat elo deh." katanya ketus dengan
gaya bicara yang membuat Sheila menahan senyum lagi.
Sheila bersyukur Anne yang mendandani wajahnya, bukan Andre, sebab
hasilnya sangat bagus. Ketika Anne selesai mendandaninya, Sheila hampir
tak percaya bahwa yang dilihatnya di cermin adalah dirinya. Alisnya
tipis dan berbentuk bulan sabit. Tulang pipinya terlihat cekung san
lebih tinggi, begitu pula dengan bibirnya yang dicat merah. Apalagi
setelah rambut panjangnya diikal besar-besar hingga ke pinggang, ia
memang tak seperti wanita tiga puluh tahun, tapi setidaknya ia tak
seperti baru tujuh belas tahun…!!
"Gimana…?" tanya Anne.
"Bagus sekali…!" desah Sheila.
Anne menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membereskan alat make upnya. "
Sayang sekali gadis remaja seperti kamu mau kelihatan lebih tua dari
umur sebenarnya. Saya benar- bener tak mengerti tujuan kamu. Tapi
untungnya kamu cantik. Mau didandani bagaimanapun tetap cantik."
Sheila mengucapkan terima kasih pada Anne dan berjalan keluar salon
untuk diantarkan menuju hotel. Masih ada waktu dua jam untuk istirahat,
dan setelah itu tiba waktunya Bram menjemputnya di sana.
Sheila terpana mendapati hotel yang akan ditempatinya. Seorang petugas
mengantarkannya ke kamar yang sudah dipesankan untuknya..
"Mas, mas.... Menginap di sini satu malam berapa, ya?" tanya Sheila
iseng sambil mengikuti berjalan di belakang petugas.
"Nggak tahu, Mbak. Tapi dengar-dengar sekitar satu atau dua."
"Satu atau dua apa?"
"Juta."
Sheila terpaku. Alangkah mahal biaya yang harus dikeluarkan Bram hari
ini. Ini pemborosan…!
Lebih baik uangnya saja berikan pada Sheila. Tapi...... Sheila tak akan
mau menukar kebahagian yang dirasakannya dengan uang.
Mereka masuk ke lift untuk menuju kamarnya dilantai lima. Beraamaan
dengan mereka, masuklah dua pria yang asyik mengobrol. Sheila kaget, ia
mengenali salah satunya sebagai Frans Samudra.
"Omm Frans...!!" panggilnya.
Frans menoleh, ia tak mengenali wanita yang memanggilnya itu.
"Saya Sheila, Omm. Masih inget? Ciloto!"
Frans ternganga,"Ya ampun, Sheila. Penampilan kamu sangat berbeda. Kamu
cantik banget."
Sheila tersipu, "Kok bisa kebetulan begini ya, Omm mau kemana?"
"Oh, di hotel ini sedang diselenggarakan pertemuan penerbit seluruh
Indonesia, Sheila. Sebenarnya tempatnya di ballroom di lantai dasar,
tapi saya mau menemani teman saya ke kamar tempat ia menginap. Ayo
kenalkan dulu, ini Iwan Adiputra."
Sheila menyalami pria yang ada di samping Frans.
"Iwan ini wartawan terkenal dari majalah Bintang dan Film. kamu pernah
baca?"
Sheila mengangguk," pernah, Omm, hebat dong."
"Ya begitulah. Saudara Iwan ini memang hebat."
Iwan tertawa mendengar gurauan Frans, kemudian ia berkata pada Sheila,
"Anda kenal Frans di......"
"Oh, dia tinggal di rumah Bram Budiman. Penulis novel itu lho..."
"Apa? Bram Budiman? Hebat dong. Aku baca terus tuh cerita dia. Yang
terakhir baru beli belum sempat kubaca." kata Iwan antusias. "Sebenarnya
orangnya kaya apa sih? Kok nggak pernah ada fotonya?"
"Aku nggak tahu." kata Frans. "Tuh tanya saja sama Sheila, dia kan
tinggal dengan beliau. Oh ya, Sheila. Kau di sini sedang apa?"
"saya mau merayakan pesta ulang tahu saya, Omm. Yang ke tujuh belas."
"Wah. Selamat ulang tahun ya? Ngundang-ngundang, dong?"
"Nggak, Omm. Saya cuma berdua dengan Pak Bram."
"Oh, berarti nanti malam Pak Bram dateng ke sini ya?"
Sheila menyesal mengatakan itu, Bram pasti tidak suka orang lain
mengetahui ia akn datang ke sini. Tapi melihat Wajah Sheila Frans segera
berkata, "Tenang saja, Sheila. Saya sudah tahu Pak Bram tidak mau
identitasnya diketahui. Bisa saja sih, saya nanti malam datang sendiri
karena penasaran dengan dia. Tapi saya bukan orang yang begitu. Ia kan,
Wan?"
Iwan cuma nyengir.
Sheila tersenyum lagi. Ia sudah tiba di lantai yang ditujunya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu Omm. Sampai ketemu lagi."
Frans melambaikan tangannya pada Sheila, kala pintu lift akan tertutup,
sheila membalasnya dengan riang.
Di dalam lift Iwan bertanya, " frans, kau yakin tidak ingin melihat
seperti apa wajah Bram?"
Frans melotot, "Kamu nggak serius kan, Wan?"
"Siapa bilang. Aku serius kok."
Frans lalu marah dan berkata bahwa ia sudah berjanji pada Sheila agar ia
tak mengganggu privasi Bram. Lagi pula ini ada kaitannya dengan
penerbit tempat ia bekerja yang masih membutuhkan naskah Bram. Iwan lalu
berkata bahwa ia bercanda , dan Frans pun jadi tenang. Tapi dalam hati
ia bertegad, ia ingin melihat seprti apa Bram Budiman itu. Toh ia juga
menginap si hotel ini.
Bram terpana. Ia terpesona. Lama ia berdiri memandang wanita di depannya
tanpa berkedip dan tanpa berkata-kata, Sheila sangat cantik dan
terkesan...... Dewasa. Tak ada kata-kata yang dapat melukiskan keindahan
yang ada di depannya. Rambut gadis itu yang biasanya lurus, kini ikal
sepinggang. Wajah dimake up tipis namun menampilkan sosok yang berbeda,
lebih dewasa. Baju yang mini dan ketat memperlihatkan lekuk liku
tubuhnya yang telah terbentuk separti seorang wanita sepenuhnya. Dan
gadis ini bertambah tinggi. Astaga, ia memakai sepatu hak runcing yang
memerlihatkan keindahan kakinya.
"Apa kau bisa berjalan pakai sepatu itu?" itulah kata pertama yang
terucap oleh Bram. Dan ia memaki dirinya sendiri. Mengapa ia tak
mengungkapkan kalimat pujian yang sudah terlintas di benaknya?
Sheila tersenyum lebar. Ia kelihatan sangat gembira. Kalau saja Bram
tidak menjaga jarak, pasti ia sudah melompat memeluk pria itu. Sheila
maju sedikit ke bagian yang lebih terang dan cahaya lampu menerpa
wajahnya. Bram bisa melihat pipi mulus tanpa jerawat milik gadis itu.
Sekarang baru terlihat bahwa ini Sheila yang biasa, Sheila yang masih
belia. Di tempat gelap make up hasil tangan yang sangat ahli bisa
menipu. Tapi kulit muda gadis ini tetap menampilkan Sheila sebagaimana
mestinya. Sheila yabg hari ini baru menginjak tujuh belas tahun.
"Kau suka...?" tanya Sheila penuh harap.
Bram tersenyum lembut. "Kau tampak cantik. Selamat ulang tahun, ya?"
Sheila mengapit lengan Bram yang hari ini tampak tampan dengan jas
hitamnya. "Kukira kau tidak datang. Aku sudah kelaparan sejak tadi."
selorohnya.
Bram sudah memesan hidangan sebelum ia datang. Ketika mereka tiba di
meja untuk dua orang di pojok restoran, pelayan langsung menghidangkan
sup dan salad sebagai hidangan pembuka. Walau katanya tadi lapar, Sheila
makan dengan hati-hati. Bram melihat Sheila berusaha keras
tampil dewasa. Sebenarnya Bram ingin gadis itu bersikap seperti
biasanya. Menghadapi Sheila dewasa malah membuatnya canggung.
"Steaknya enak, empuk." kata Sheila sambil berusaha memotong daging itu
dengan pisau di tangan kananny dan garpu di tangan kirinya, lalu memakan
daging itu dengan tangan kiri. Itu yang susah, sebab biasanya kita
makan dengan sendok di tangan kanan, kali ini di tangan kanan malah ada
pisau yang cuma berfungsi untuk memotong. Tapi ia berhasil, dan meniru
makan dengan sopan.
"Itu daging kijang muda. Rasanya enak, kan?"
"mirip daging sapi, cuma lebih empuk."
Bram tertawa, "Makan yang banyak, "
"Bram aku ingin tanya sesuatu, tapi kau jangan marah, ya?"
"Apa?"
"Benarkah kekasihmu sudah meninggal?"
Garpu Bram berhenti di udara, lalu diletakkannya kembali ke piring. "Kau
dengar dari siapa?"
"Mbak Marisa. Dia bilang kekasihmu meninggal saat kecelakaan yang.....
Yang...." Sheila tak bisa berkata bahwa itu kecelakaan yang membuat
fisik Bram cacat.
"Namanya Ella," jawab Bram. "Dan kami baru berhubungan enam bulan saat
kecelakaan itu terjadi."
"Apakah kau sangat mencintainya? Kau masih mengingatnya?"
"Dulu kukira aku mencintainya. Tapi waktu itu aku sangat muda.
Sepertinya yang paling kucintai saat itu adalah diriku sendiri.
Sejujurnya, aku lebih sedih karena kecelakaan yang menimpaku, bukan
karena kehilangan dia. Aku malah berharap posisi kita ditukar saja. Dia
yang hidup, aku yang mati. Memangnya yang hidup lebih enak daripada yang
mati?"
Sheila terdiam. Rupanya Bram tidak mengingat kekasihnya itu separti yang
disangkanya.
"Bram, aku mau tanya lagi. Kenapa kau bersikap dingin terhadap Marisa?
Padahal ia cantik dan baik hati. Padahal ia sudah mengatakan siap
penjajakan denganmu, tapi kenapa kau selalu bersikap ketus padanya?"
Bram mengunyah habis daging di mulutnya, lalu ia mengelap bibirnya
dengan serbet. "Aku tak mau hidupku jadi susah hanya karena ingin
membahagiakan satu wanita!"
"Kenapa susah?"
"Kaupikir untuk apa wanita menikah? Mereka ingin bahagia, kan? Nah, aku
tak bisa menjamin kebahagiaan wanita yang jadi istriku. Karena itu,
sejak awal aku sudah bersikap begitu, supaya ia mundur saja, daripada
menyesal belakangan."
"Kalau wanita itu tak butuh dibahagiakan? Kalau ia sudah bahagia hanya
bisa tinggal bersamamu?" tanya Sheila lagi.
"Tetap saja aku tak ingin menikah, kalau dengan begini saja aku sudah
cukup, untuk apa aku cari-cari masalah dengan menikah."
"Lalu, apakah kau sekarang bahagia?"
Bram terdiam, "Sheila, ini ulang tahumu. Kenapa kau menanyakan masalah
Marisa?"
Sheila tersenyum, "Oh,,,, Maaf kalau begitu.... Aku mau tanya soal
perjanjian kita, boleh kan?"
"Ehm.... Kamu harus pindah rumah saat usiamu ujuh belas tahun, begitu?"
"Rupanya kau masih ingat," keluh Sheila. "Berarti kau sudah berniat
mengusirku. Bram. Apakah aku boleh tetap tinggal di rumahmu sampai aku
lulus SMA?"
"Apakah ini permintaanmu yang kau bilang akan minta pada saat makan
malam?" Bram bertanya balik.
"Tidak. Itu lain lagi. Akan ku katakan nanti kalau sudah selesai makan."
Bram mengerutkan keningnya. Tadinya ia pikir Sheila akan minta tetap
tinggal. Sungguh ia tak bisa menduga maksud hati gadis ini. "Soal itu,
Sheila..... Aku terpaksa mengatakan tidak. Kali ini maaf. Aku tak bisa
mengubah keputusanku. Kau tetap arus pergi, tentu saja tidak harus
sekarang. Kau bisa cari-cari rumah beberapa hari ini, baru pindah."
Wajah Sheila berubah murung, "Aku sudah menduga kau akan memutuskan
begitu."
"Kau tak usah sedih, Sheila. Aku sudah menyuruh Eman mencarikan rumah
kontrakan yang dekat dengan asrama. Bu Susan masih bisa datang ke sana
untuk membawakanmu soal ulangan. Aku juga akan menanggung semua biaya
hidupmu sampai kau lulus nanti. Kau bisa datang sering-sering untuk
mejenguk Eman dan aku, itu bagus kan?"
Sheila ternganga. Bram sudah mencarikan rumah baginya? Tapi mengapa tak
tinggal saja di rumah Bram? Bukankah itu bisa menghemat biaya yang harus
dikeluarkan pria itu? Tapi kemudian Sheila mendapatkan jawabannya. Bram
pasti tidak mau lagi diganggu olehnya.
Akhirnya ia tahu, ia tak bisa memaksa terus. "Baiklah, Bram. Terima
kasih. Semua yang kau lakukan untukku hanya Tuhan yang bisa membalasnya.
Aku tahu, aku tak dapat memaksamu. Ku doakan semoga kau selalu
bahagia."
Bram mentap wajah Sheila yang terlihat sedih. ia juga sangat sedih, tapi
mau diapakan lagi? Ia dan Sheila tak bisa terus tinggal seatap.
Baru-baru ini Bram dengar dari Eman bahwa diantara para tetangga
berhembus gosip ada hubungan yang tak wajar antara dirinya dengan
Sheila. Mereka menanyakan pada Eman, dan Eman membantah keras gosip itu.
Tapi tentu saja Eman memberitahukan hal itu pada Bram.
"Sheila, setelah lulus nanti kau mau melanjutkan kemana?"
Sheila menggeleng, "Aku tak tahu Bram, mungkin aku akan mencari
pekerjaan."
"Tidak usah khawatir soal kuliah Sheila, aku pasti akan mengngkosi uang
kuliahmu..."
"Tidak usah Bram. Mungkin aku akan menjadi pianis. Kedengarannya hebat
dan aku tak usah kuliah lama-lama. Enak kan?"
"Kau pasti jadi pianis yang hebat, Sheila. Tapi ingat Sheila, kalau kau
perlu uang untuk kuliah atau keperluan lainnya, kau harus bilang
padaku."
Mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba pemain piano yang tadinya
memainkan lagu-lagu mellow romantis berganti memainkan lagu Happy
Birthday. Sheila kontan menoleh. Ia melihat pelayan membawa ke tart
dengan hiasan lilin yang menyala. Seluruh tamu restoran itu memberikan
tepukannya untuk Sheila dan memandangnya. Sheilapun tersipu malu.
"Astaga, tatapan mereka semua tertuju padaku." bisiknya pada Bram
Ketika kue tart tiba di hadapannya, lagupun berhenti. Bram berkata,
"Ucapkan keinginanmu Sheila, lalu tiup lilinnya!"
Sheila memejamkan mata, ia minta ia dan Bram diberi umur panjang dan
kebahagiaan disepanjang hidup mereka. Dalam sekali tiup lilinpun padam.
Para tamu bertepuk tangan lagi dan pelayan meninggalkan kue tart di
meja.
Sheila memotong kue tart itu dan memberikan potongan pertamanya untuk
Bram, dan satu lagi untuknya. Tapi Bram tidak memakan kue itu, ia
merogoh sakunya.
"Aku punya hadiah untukmu, Sheila." katanya.
Sheila terbelalak, "Tapi.... Ini semua kan sudah hadiah untukku?
Memangnya masih ada lagi? Sheila menambahkan. "Ingat, Bram aku belum
minta sesuatu darimu, ingat?"
"Ya. Aku masih ingat itu tenang saja." Bram membuka kotak berlapis
beludru itu lalu mengeluarkan kalung berliontin "S". Sheila terbeliak
melihatnya. Kalung ini pasti bukan cuma empat atau lima gram seperti
punya ibunya yang sampai saat ini masih tersimpan di tasnya. Ini pasti
berapa kali lipatnya.
Setelah beranjak dari tempat duduk dan berdiri di belakang kursi Sheila,
Bram meminta gadis itu menunduk dan melingkarkan kalung itu di leher
Sheila.
"Masih ada lagi." kata Bram, kembali ia duduk dan menarik bungkusan di
bawah meja.
"Ada lagi?"
Bram memberikan miniatur piano di kotak kaca. Milik Sheila yang sudah
dibetulkan. Sheila
langsung mengambil dan mengamatinya, lalu air matanya berderai,
"Bram....... Kau sudah
memperbaikinya. Ini bagus sekali... Oh... Aku..... "
"Sekarang sudah tak rapuh lagi, Sheila. Kata tukangnya ia sudah
mengganti kotaknya dengan arkalik yang lebih tebal. Bila jatuhpun tidak
akan pecah, begitupun dengan miniatur di dalamnya. Tapi kalau bisa sih
jangan sengaja dijatuhkan, ya?"
Sheila ingat, bahwa ia pernah mengatakan miniatur piano itu melambangkan
dirinya, terlihat baik-baik saja padahal begitu rapuh. Dan Bram telah
memperbaikinya agar tak rapuh lagi. Ini mengandung arti yang sangat
dalam untuknya.
"Bram aku tak tahu harus mengatakan apa."
Bram tersenyum, "untung maskaramu tidak mudah luntur." Sheila tertawa
dalam tangisnya dan menghapus air matanya dengan tisu. Kemudian ia
bangkit berdiri, "Aku juga ingin memberikan hadiah untukmu."
"Sheila, kau mau kemana?"
Gadis itu cuma melambaikan tangan dan berlalu menuju piano yabg sedang
dimainkan pianis di atas panggung. Ia berkata sebentar kepada pianisnya,
lalu pemain itu membungkukkan badannya dan mempersilakan Sheila duduk
di bangkunya.
Di depan corong mikrofon di atas piano itu Sheila berkata, "Kepada para
pengunjung yang terhormat, terima kasih karena anda bersedian berbagi
kebahagiaan di hari ulang tahun saya. Karena itu aku akan memainkan
piano yang saya persembahkan untuk Bram, yang juga hadir di ruangan ini.
Untuk Bram, aku juga ingin menyampaikan bahwa permainan pianoku ini
tidak akan bisa membalas semua kebaikanmu, tapi lagu ini tulus dari
dasar hatiku, para pengunjung mohon tepuk tangannya!"
Para pengunjung restoranpun bertepuk tangan untuk Sheila. Gadis itu
memandang Bram yang terlihat malu dan menunduk saja. Tangan Sheila
sedikit gemetar. Baru kali ini ia main piano di hadapan umum. Ini pun
hanya spontanitas dan kini ia mulai menyesal naik ke atas panggung. Tapi
dikuatkannya hatinya. Apapun yang terjadi, anggap saja ia sedang main
di hadapan keluarga Haryanto seperti tempo hari.
Ia pun mulai memainkan Fur Elise dengan penih perasaan . Restoran yang
tadinya dipenuhi percakapan kini sunyi senyap. Mereka terpaku
memperhatikan Sheila yang memainkan lagunya dengan penuh perasaan.
Selesai bermain, Sheila mengangkat tangannya lalu berdiri. Tepukan
meriahpun terdengar lagi. Bahkan ada yang berteriak, "More...!!
More....!!!"
Sheila sangat gembira mendengarnya. Ia membungkukan badan tanda terima
kasih atas sambutan mereka. Ia pun kembali ke mejanya, di sambut
senyuman Bram.
"Itu bagus sekali. Kau membuatku bangga." kata Bram.
"Kupikir kau akan marah, karena perhatian jadi tertuju pada kita. Kau
kan tidak suka....."
Bram menggeleng, "Sudah lama sekali, sekarang tidak ada lagi orang yabg
mengenalku di Jakarta. Aku bersyukur padamu, Sheila. Kalau tidak ada kau
mungkin sekarang aku masih bersembunyi di rumah itu dan tak pernah lagi
ke tempat umum."
"Jadi sekarang kau akan sering muncul di tempat umum?"
Bram menggeleng, "Kalau tidak ada kau, untuk apa aku kemari?"
Sheila mengedipkan mata nakal. "kalau begitu kita kemari lagi tahun
depan, atau enam bulan lagi, pas ulang tahunmu!"
Bram tertawa, "Bisa bangkrut aku!" Mereka tertawa, "Oh ya, kau bilang
akan minta sesuatu saat makan malam. Aku orang yang memegang janji. Apa
yang kau minta?"
Sheila berhenti tertawa, ia memandang Bram, "Bram..... Aku.... Aku sudah
dewasa, kan?"
"Ya." jawab Bram bingung.
"Aku ingin dicium olehmu."
Bram terpaku dengan ekspresi terkejut, tapi kemudian ia tertawa sumbang,
"Baik nanti di depan kamarmu aku akan mencium pipimu anak manis."
Sheila memegang tangan Bram, "Bukan di pipi. Tapi di bibir."
Bram terdiam.
Di depan kamar Sheila, mereka berdua berhenti. Bram memandang gadis itu
lalu berkata, "Aku tak bisa melakukan ini."
"Kau bilang akan mengabulkan semua permintaanku."
"Tapi aku bukan kekasihmu, Sheila. Lagipula aku tak mungkin jadi
kekasihmu. Kau masih tujuh belas, dan aku pantas menjadi ayahmu. Kau
masih muda."
Sheila menatap Bram jauh ke dalam mata pria itu. "Tapi Bram, untuk malam
ini bisakah kau lupakan aku sebagai Sheila, gadis yang menjadi pembantu
di rumahmu, dan menganggap aku wanita dewasa? Kau telah membuat hari
ini begitu indah, Bram. Sebagai pengalaman yang manis dalam hidupku. Apa
salahnya menjadikan semuanya sempurna? Seperti yang kuinginkan?"
"Tapi……"
Parlahan-lahan Sheila melingkarkan tangannya ke leher Bram. "Bram,
mamaku menikah dengan papaku saat usianya tujuh belas tahun, dan
menurutmu aku terlalu muda untuk meminta sebuah ciuman di bibir?"
Bram ingin mengelak lagi, tapi Sheila memejamkan matanya. Gadis itu
berdiri pasrah di hadapannya, sambil memeluk lehernya. Sebenarnya dalam
hati Bram menolak mengabulkan permintaan Sheila, tapi bibirnya tak mau
berkompromi. Sekali saja, Bram....... Apa salahnya sekali saja untuk
yang terakhir kali? Begitu bisikan yang terdengar di telinganya.
Kau mencintainya, Bram. Kau telah membohongi dirimu dengan menyuruh dia
pergi dan berlagak baik dengan memberikan pesta ulang tahun yang begitu
mengesankan. Kau tahu penyebabnya kau melakukan ini semua, kau sudah
jatuh cinta padanya. Dan ia sama sekali tidak terlihat seperti remaja
ingusan yang baru berusia belasan tahun.......
Bram mendekatkan bibirnya pada bibir Sheila dan memagut perlahan. Sheila
membalas ciuman Bram, lalu mereka berciuman dengan mesra. Tangan Bram
melingkari pinggang gadis itu dan menariknya lebih dekat. Tangan Sheila
merengkuh leher Bram makin erat.
Oh,, betapa Bram mencintainya, betapa ia telah membohongi dirinya
sendiri selama ini. Sejak Sheila hadir di hidupnya, semuanya berubah.
Yang dulunya begitu suram, sekarang bagai diterpa sinar matahari hingga
terang bendarang. Ia tak bisa melihat Sheila sabagai gadis belasan
tahun, kalau gadis itu telah mebembus hatinya yang telah mati rasa.
Perasaanya pada Sheila melebihi cintanya pada Ella, kekasihnya yang
telah meninggal.
Jujur Bram mengakui, ia telah jatuh cinta pada Sheila, mencintai dengan
segenap jiwa dan raganya. Ia tak tahu kapan hal itu terjadi, mungkin
ketika Sheila perlahan-lahan menghancurkan kebekuan yang mengendap lama
di hatinya. Mungkin ketika Sheila membuktikan bahwa ia melihat Bram apa
adanya, bukan dari fisiknya, profesinya, atau kekayaannya.
Bram rela menyerahkan hidup dan miliknya demi Sheila. Gadis yang telah
membuka matanya, membuka hatinya bahwa masih ada hal yang lebih penting
dari sekedar cacat fisik. Gadis yang melihat jauh ke dalam hatinya, dan
tidak peduli bagaimana dirinya.
Sheila juga mencintai Bram, pria yang pertama kali mengisi hatinya
begitu penuh sehingga tak tersisa lagi tempat untuk pria lain. Orang
yang muncul pada saat yang tepat dan memberikan perlindungan padanya.
Bukan hanya bantuan dari Bram, melainkan kebaikan hati dan ketulusan
pria itu. Ia bisa saja membohongi sdirinya sendiri dengan mencari pria
lain, seperti yang diperintahkan Bram. Tapi kali ini, ia ingin mendengar
kata hatinya sendiri. Apa salahnya perbedaan umur 20 tahun bila mereka
tetap bisa bahagia? Ia harus membuat Bram mengerti bahwa tidak ada,
tidak ada satupun yang bisa menggantikan kedudukan Bram di hatinya.
Tidak Reza, tidak juga pria lain yang datang kemudian. Hanya Bram.
Kejadian dengan Marisa telah membuat Sheila mengerti bahwa selama ini
dirinya mencintai pria itu, sejak pertama kali pria itu main piano
dengan lagu yang menyayat hati.
Mereka berpelukan dan berciuman begitu mesra. Lupa diri bahwa mereka ada
di tempat umum, lupa bahwa perbedaan usia mereka sangat jauh, lupa
bahwa ciuman mereka harus dipertanggungjawabkan keesokan harinya, ketika
mereka terbangun dari mimpi yang telah dirajut dengan indah.
Mereka tidak tahu bahwa ciuman mereka telah diabadikan dalam sebuah
kamera digital milik Iwan Adiputra yang bersembunyi di balik dinding
yang menjorok ke lorong.
BAB 14
KESIBUKAN di kantor redaksi tabloid BINTANG dan FILM memang membuat
stes. Masalahnya, tabloid ini beroplah tertinggi. Makanya kadang berita
ditambahkan menjelang Dead line. Tentu saja berita yabg masuk adalah
gosip terbaru tentang artis terkanal. Tapi beritanya yang agak miring
sedikit, misalnya perselingkuhan, perceraian, kawin lagi, atau hamil di
luar nikah.
"Wan, tumben datang malam-malam. Ada berita baru?" tanya Fauzi bagian
pracetak.
"Iya nih. Dua lembar masih bisa, kan?"
"Gimana sih? Udah mau naik cetak nih. Kenapa nggak tadi sore." gerutu
Ahmad. "Sudah acc bos? Ya sudah sini mana!"
"Belum di Acc. Beritanya juga belum ditulis." kata Iwan.
"Sebentar lagi Bos datang. Aku mau ngetik beritanya dulu. Pokoknya kau
siapkan saja berita tambahan satu lembar bolak-balik."
"Waduh.... Bos sampai rela datang pasti beritanya sip punya nih! Berarti
ada tambahan oplah, tambah kerjaan." gerutu Ahmad lagi.
Iwan cuma tersenyum dan bergegas masuk kantor. Ia langsung menyalakan
komputer dan mulai mengetik dengan serius. Berkat keahlian mengetiknya
dua puluh menit kemudian berita itu selesai.
Iwan tak menyangka, jalan menuju pemimpin redaksi begitu mulus. Tadi
siang begitu ia mendengar Bram Budiaman akan muncul malam ini, Iwan
langsung berharap pembaca puas dengan melihat tampang pengarang idola
yang sampai sekarang menutup dirinya itu terjepretan
kamera miliknya. Ia sudah menunggu gadis yang bernama Sheila turun
debgan seseorang yang sudah pasti Bram Budiman, sang penulis detektif
yang melahirkan karakter detektif Ricard Buwono, detektif mengesankan
yang misterius. Dan yang didapatkan Iwan lebih dari apa yang
diharapkannya.
Siapa yang tak mengenal Abraham Mukti? Bahkan ketika ia kecelakaan, ada
remaja putri yang gantung diri karena mengira aktor itu meninggal.
Ternyata selama belasan tahun sang pengarang mengucilkan diri dan
menjadi penulis novel. Kalau berita ini tak jadi berita utama, Iwan
berani iris kuping.
Belum lagi foto Abraham Mukti yang sedang ciuman dengan gadis berusia
tujuh belas tahun pasti akan membuat fenomena baru dalam jumlah oprah
tabloid gosip.
Dari komputer Iwan langsung mencetak berita itu dalam beberapa lembar
film tembus pandang, yang langsung dibuat pelatnya untuk langsung
dicetak, dan beredar besok pagi.
Hari ini Haryanto bangun kepagian. Entah mengapa semalam ia memimpikan
Sheila. Gadis itu dikroyok orang dan kepalanya bersimbah darah. Itu
pasti karena ia terlalu memikirkan gadis itu. Kemarin Sheila ulang
tahun, dan Haryanto meneleponnya untuk memberikan ucapan selamat, tapi
kata pria tua pembantu di sana, Sheila sedang main ke Jakarta. Lalu
Haryanto mengira Sheila akan datang ke rumahnya, tapi setelah
ditunggu-tunggu sampai sore tidak datang juga.
"Koraan…!"
Haryanto bangkit dan mengambil koran kompas, pos kota, majalah gadis
milik Renny, dan tabloid Bintang dan Film langganan Ratna.
"Terima kasih ya....!" katanya pada tukang koran.
"Eh tunggu pak. Ini ada yang ketinggalan. Ini ada lembar tambahan dari
tabloid Bintang dan Film." kata tukang koran itu.
Harryanto menerima lembaran sisipan yang ketinggalan itu lalu
mengucapkan terima kasih lagi. Ia pun masuk rumah sambil melihat-lihat
headline koran kompas. Ia duduk lagi di bangku teras. Sisipan yang tadi
jatuh ke lantai. Karena tertarik membaca judulnya, Haryanto mengambilnya
dan membacanya.
Aktor Abraham Mukti Muncul Lagi Setelah MENGHILANG Selama Tujuh Belas
Tahun
* Pacar barunya seorang gadis berumur 17 tahun yang dua puluh tahun
lebih muda darinya.
* Nama barunya adalah Bram Budiman, penulis novel detektif
Dunia film akan geger karena bangkitnya aktor film terkenal tahun
delapan puluhan Abraham Mukti (37), dari liang kubur. Setelah mengalami
kecelakaan 17 tahun lalu dan tak ada kabar berita yang dapat dikorek
dari keluarganya, pecinta film menyangka ia mengalami kelumpuhan total
atau sudah meninggal. Ternyata tabloid tercinta kita ini melihat ia
dalam keadaan segar bugar di sebuah hotel bintang lima di Jakarta,
sedang merayakan ulang tahun kekasihnya, seorang gadis bernama Sheila
(foto 1)
Hal yang mengenaskan adalah salah satu kaki Abraham lumpuh dan ia
berjalan dengan bantuan tongkat, juga ada sedikit cacat di pipi kirinya
(foto 2), tapi Abraham Mukti masih gagah dan tampan. Buktinya ia masih
bisa menggaet seorang gadis cantik yang masih sangat belia. Hal ini
dapat diketahui dari kemesraan mereka berdua di depan kamar sang gadis (
foto 3).
Dari penyelidikan BINTANG dan FILM diketahui bahwa selama 17 tahun aktor
tersebut mengucilkan diri di daerah Ciloto, dan berprofesi sebagai
penulis novel detektif yang juga sangat terkenal dikalangan pecinta
buku, dengan nama samaran Bram Budiman. Patut diketahui bahwa editor
yang selama ini mengambil naskah Bram Budiman di rumah itu, Frans
Samudra, berkata bahwa Bram sangat tertutup dan identitasnya tak ingin
diketahui orang. Ia tak pernah melihat wajah Bram Budiman yang
sebenarnya, dan semua naskah dipindah tangankan melalui pembantu Bram.
Untunglah dari mulut Sheila, kekasih Bram yang masih belia itu, akhirnya
terbongkar rahasia yang selama ini ditutup rapat-rapat. Abraham Mukti
masih hidup dan ia masih terkenal di masyarakat dengan nama Bram
Budiman.
Penemuan ini pasti akan membuat pecinta Film dan buku bersuka cita, baik
karena Abraham Mukti masih hidup, maupun Bram Budiman, pengarang
kesayangan mereka ternyata pribadi yang tegar dan tangguh mengalami
cobaan yang menimpanya.
Mata Haryanto terbelalak menatap foto pertama, yaitu foto Sheila dalam
balutan busana dan make up yang membuatnya tampak dewasa. Dan foto
kedua, foto orang yang sangat dikenalnya, Bram, pemilik rumah yang
ditinggali Sheila. Dan foto ketiga walau ditutupi dengan blok hitam,
Haryanto sadar di foto itu Bram sedang mencium Sheila. Tangan Haryanto
bergetar dan kertas itu jatuh dari tangannya.
Frans Samudra menatap berita di tangannya dengan mata terbelalak.
Ponselnya berdering dan segera diangkatnya.
"Halo.."
"Frans, kenapa kau ada di berita tentang Bram Budiman di tabloid Bintang
dan Film? Bagaimana sih? Bos marah-marah lho…!! Dia bilang, kalau Bram
tidak mengirim naskahnya lagi kemari, lehermu akan digorok…!!!" kata
Tuti sang sekretaris Bos.
"Eh..... Tut, bilangin sama bos, aku nggak tahu apa-apa soal berita itu.
Ini semua gara-gara Iwan Adiputra, wartawan yang meliput berita ini!!"
"Tapi kok namamu ada di situ?" tanya Tuti ketus.
"Kemarin aku ketemu Sheila, gadis yabg tinggal di rumah Bram itu.
Rupanya Iwan penasaran, jadi ia membuntuti mereka dan mengambil foto
tanpa seizin mereka. Tak kusangka pembicaraan yang kukira hanya diantara
kami berdua saja, malah dicetak di tabloid, brengsek....!!!"
"Ya sudah, nanti diselidiki lagi. Tenang saja, kalau kau tak merasa
salah tak usah takut."
"Eh Tut, tolong aku ya.." ujar Frans ketakutan.
"Lihat saja nanti."
Sheila bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan segar. Ia
merentangkan tangan dan tersenyum. Ah, pagi yang indah! Buru-buru ia
turun dari tempat tidur dan ingin bertemu Bram. Tapi ketika ia membuka
pintu, ia berteriak kaget melihat sorot lampu kamera yang membuat
matanya silau. Buru-buru ia menutup pintu kembali.
Astaga, apa itu? Pikirnya. Firasatnya tidak enak, ia mesti menghubungi
Bram.
Diputarnya nomor kamar Bram, tapi tidak ada yang mengangkat. Ia
menghubungi front desk di bawah. Mereka bilang tidak melihat Bram
meninggalkan hotel, pasti masih ada di kamarnya. Tapi semua tagihan
sudah dilunasi dengan kartu kredit pada saat membooking.
Sheila tidak mandi lagi. Ia mengambil baju putih yang dipakainya pada
saat datang ke Jakarta. Ketika ia membuka pintu, jepretan blitz hampir
membuatnya buta.
Tubuhnya terdorong masuk lagi ke kamarnya, karena belasan bahkan puluhan
wartawan ada di depan kamarnya. Ternyata mereka sudah menunggu sejak
tadi, beberapa kamera disodorkan ke wajahnya.
"Saudara Sheila, sudah berapa lama anda mengenal Abraham Mukti?"
"Kanapa anda mau menjadi kekasihnya? Apa karena ketenarannya atau
kekayaannya?"
"Benarkah usia anda baru tujuh belas tahun?"
"Kapan kalian memutuskan untuk menikah? Atau ini cuma hubungan main-main
saja?"
Sheila pucat pasi. Ia mendorong wartawan yang paling dekat dengannya.
"Bram mana? Aku mau cari Bram!" teriaknya, tapi suaranya kalah debgan
suara nyamuk pers yang berebutan bicara.
"Jadi anda memanggil Abraham Mukti dengan panggilan Bram. Nama
sebenarnya siapa?"
"Apa kalian tinggal satu kamar atau dua kamar?"
Tak tahan lagi akhirnya Sheila menjerit, "DIAMMMM......!!!!" tapi
percuma saja, ia tak digubris sama sekali. Akhirnya ia memutuskan
kaluar, "Tolong beri jalan, saya, mau keluar."
Tiba-tiba ia merasa tubuhnya ditarik dari arah wartawan itu. Ia ingin
melawan, tapi tarikannya terlalu kuat. Sheila pun pasrah, membiarkan
tubuhnya ditarik, lalu ia lari mengikuti orang yang menariknya itu.
Rupanya orang itu sopir limusin sewaan kemarin. Apakah orang itu tahu
dimana Bram berada? Pikiran itu membuat semangat Sheila timbul. Ia
berlari makin cepat agar bisa meninggalkan wartawan yang mengejarnya.
Mereka masuk lift, dan seorang wartawan berhasil masuk. Namun karena
sendirian, Sheila pura-pura tak mendengar ketika orang itu mengajukan
pertanyaan.
Tiba di lantai bawah, keluar dari lift sudah ada wartawan yang
menunggunya lagi. Sheila mengikuti sopir itu lari ke lobi dan halaman
perkir depan, lalu langsung masuk ke sebuah sedan yang sudah siap di
depan pintu masuk. Mobil langsung dijalankan, diiringi kejaran para
wartawan yang masih bandel dan berusaha mengambil gambar. Di dalam mobil
Sheila melihat Bram.
"Ah syukurlah kau ada di sini..!!" ujar Sheila sambil memeluk Bram dan
menyerukkan wajahnya ke dada pria itu. Gadis itu menangis terisak-isak,
"Aku takut sekali, mereka mengejarku. Aku tak tahu apa mau mereka!" lalu
merasa aneh karena Bram diam saja, Sheila mengangkat wajah dan menatap
Bram.
Pria itu tersenyum lembut, "Yang merekabinginkan adalah berita tentang
aku, Sheila." Bram menyodorkan tabloid Bintang dan Film.
Sheila buru-buru membaca berita itu. Matanya terbelalak melihat berita
yabg ditulis begitu kejam. Apakah semua yang tertulis itu benar? Apakah
benar Bram aktor terkenal? Pantas Sheila begitu familiar dengan
wajahnya, rupanya ia pernah melihat film-film lama Bram yang diputar
ulang.
Dan mereka menulis bahwa ia kekasih Bram! Penggambaran mereka begitu
memuakan, seolah Bram pemikat daun muda yang haus seks, mencium gadis
belia di depan kamar hotel. Identitas Sheila juga masih samar dan
berkonotasi negatif. Air mata Sheila mengambang di pelupuknya.
Sheila juga membaca berita tentang Frans Samudra.
"Omm Frans apa dia yang menulis semua ini? Aku bertemu dia di hotel, dan
tanpa sadar........ Oh
bodohnya aku…!!!!! Dan semalam aku bilang akan makan malam denganmu. Ya
ampun.......
Tak kusangka dia tega membocorkan...."
Sheila menatap Bram, wajah pria itu terlihat teduh dan tenang.
"Bram kenapa kau tak menelepon kantor tabloid ini? Bilang supaya mereka
tak menyebarkan fitnah!"
"Tidak Sheila, apa yang ditulis di situ benar adanya. Walau terlihat
lebih buruk daripada kenyataannya, tapi mereka sudah menulis kebenaran."
ia memandang Sheila. "Sekarang kau tahu kanapa aku mengucilkan diri di
rumah itu."
Sheila menangis, "Lalu bagaimana? Sekarang alamatmu sudah ketahuan orang
dan mereka akan mengejarmu ke situ. Kau tak bisa beesembunyi di sana
lagi!"
Bram mengangguk perlahan, "Aku tak akan tinggal disana lagi."
Sheila bingung, "Lalu?"
Mobil itu berhenti, Sheila memandang keluar. Ia mengenali tempat itu.
Ini adalah..
Ia menatap Bram, "Mengapa kita kemari? Mengapa kita ke umah Oom
Haryanto?"
Bram tersenyum dan memandang Sheila, tangan kanannya mengelus kepala
gadis itu.
Sheila berkata, "Ya aku tahu, kau benar! Kita bisa tinggal sementara di
rumah Oom Haryanto. Tidak akan ada yang tahu kita tinggal di sini. Ini
keputusan yang tepat."
Bram mengangguk, "Benar Sheila, rumah oom mu adalah tempat teraman
dibandingkan tempat lainnya."
Sheila menarik tangan Bram, mengajaknya turun. "Kalau begitu, ayo cepat
turun sebelum para tetangga melihat mobil mewah ini dan berpikiran yang
tidak-tidak, Ayo..!" Sheila memandang keheranan karena Bram bergeming.
"Ayo...!!"
Bram menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ikut, Sheila"
Sheila menatap Bram lama sekali, lalu ia terisak dan histeris "Kau mau
meninggalkan aku sendirian di sini, kau mau pergi!!!!" ia memukul-mukul
dada Bram dengan kepalannya.
"Sheila, kalau ada kesempatan kita pasti akan bertemu lagi." ia memegang
pipi Sheila dan mengarahkannya ke hadapannya. Gadis itu masih menangis
tersedu-sedu. "Diamlah jangan menangis, jangan biarkan aku mengenang
wajahmu yang penuh air mata. Kau sudah dewasa, kan?"
Tangis Sheila makin keras.
"Jangan tinggalkan aku disini, aku tak mau pisah darimu. ... kita cari
tempat lain saja, lalu tinggal berdua seperti biasanya."
"Sheila, kau harus melupakanku, jangan mengharapkan aku lagi. Jalanmu
masuh panjang.......
Kau harus mandiri...."
Sheila menggelengkan kepalanya," Tidak....!! Tidak...!!"
Pintu di samping tempat duduk Sheila terbuka. Sang sopir memapah gadis
itu turun. Pertama Sheila menurut, tapi kemudian ia histeris dan masuk
mobil lagi. Sopir itu langsung mengangkat tubuh Sheila keluar dan
langsung menutup pintu, lalu menguncinya dengan remote. Sheila tang
sudah di luar mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan tangannya.
"Bram.....!!! Bram.......!!! Bram.....!!!"
Bram menatap arah lain, tak mau melihat Sheila, juga tak mau Sheila
melihat air matanya.
Sang sopir dengan gesit masuk kembali ke kursi pengemudi, lalu
menjalankan mobil. Sheila berteriak-teriak dan mengejar mobil itu. Tapi
tentu saja mobil melesat jauh meninggalkannya. Sheila terjatuh dan
menangis.
Seseorang menghampirinya dan memapahnya berdiri. "Sheila..... Sheila
..." kata Haryanto. " Ayo kita masuk, Nak.."
Sepanjang perjalanan menuju ke Ciloto, Bram menetap ke luar jendela
sambil sesekali tangannya mengusap matanya yang memerah karena air mata.
Masih diingatnya kejadian tadi pagi. Ia baru bangun dan memikirkan
bagaimana harus bersikap setelah ciuman tadi malam, saat pintu kamar
hotelnya diketuk.
Setelah ia membuka pintu, sebuah pukulan telak menjotos rahangnya hingga
ia terdorong ke belakang. Ia bangkit berdiri dan melihat siapa yang
melakukan itu. Betapa kagetnya ia bahwa pria yang menjotosnya adalah
Haryanto.
"Jadi inikah arti bantuan dana seratus juta yang kau berikan?" seru
Haryanto sambil merangsek maju. "Untuk membeli Sheila, begitu?"
Bram ternganga. Haryanto memperlihatkan foto di tabloid yang dibawanya.
"Dan kau memperlakukan keponakanku seenaknya karena meresa telah
membelinya?!"
Bram merebut tabloid itu dan melahap habis berita yang tertulis dalam
sekejap mata.
BUGH...!! Haryanto memukulnya lagi. Kali ini Bram tak berniat membalas.
Ia merasa sangat malu dan menyesal karena telah mencium Sheila. Semalam
ia memang terhanyut perasaan. Tak tahu bahwa ada yang mengabadikan
kejadian itu dan membuat berita tentang dia.
"Dengar...!! Aku akan mengembalikan semua uangmu secepatnya! Tapi bila
kau berani menyentuh Sheila lagi, aku akan membunuhmu dengan kedua
tanganku...!!!"
"Pak Haryanto.... Saya...." belum sempat Bram menjelaskan, Haryanto
menyela.
"Sheila akan kuambil, lebih baik ia tinggal denganku daripada dengan
srigala berbulu domba sepertimu!"
Bram berkata, "Saya akan mengantarkan Sheila ke rumah anda..."
Kejadian itulah yang menyebabkan Bram mengantarkan Sheila ke rumah
Haryanto. Tapi sejujurnya Bram senang dengan penyelesaian seperti ini.
Sheila memang butuh tempat tinggal baru. Mereka tak bisa tinggal di
Ciloto lagi, ia pun harus pindah. Melihat sikap paman Sheila, Bram tahu
Haryanto akan menjaga Sheila meski nyawa taruhannya. Bram bisa tenang
sekarang.
Tidak ada penyesalan di hati Bram. Semua diterimanya dengan hati lapang.
Ia tak pernah menyesal telah bertemu Sheila, kalaupun harus berpisah
itu takdir Tuhan. Jalan hidup gadis itu masih panjang. Tak mungkin
membiarkan gadis itu tetep bersamanya dan menghambat masa depannya.
Benar, Bram tidak menyesal sama sekali. Ini adalah satu tahun terindah
di dalam kehidupannya, lebih dari saat ia berada di puncak ketenarannya
dulu.
Berkat Sheila ia menyadari bahwa cacat fisiknya tidak perlu menjadi
penghalang prestasi yang dulu diraihnya dari film, kini telah
tergantikan dengan profesi menulis yang digelutinya. Herannya, sebelum
kejadian ini ia tak pernah menghargai hal ini. Terima kasih kepada
penulis berita itu, membuat ia sadar tepat pada waktunya, sebelum ia
berjalan terlalu jauh menuju jurang.
Ia akan memulai hidup baru. Dan bila saatnya tiba, ia akan sadar bahwa
ini semua hanyalah kerikil-kerikil tajam yang terserak di jalannya yang
penjang. Kerikil itu akan semakin halus bila sering dipijaknya. Selamat
tinggal, Sheila. Semoga semua ini berarti bagimu juga.
Sheila berjalan dengan langkah gontai. Jiwanya seakan lepas dari
raganya. Hatinya hampa. Mengapa ia tak menyadari betapa berartinya Bram
sebelum mereka berpisah? Mengapa ia tak menyampaikan isi hatinya sejak
kemarin-kemarin? Tidak usah menunggu di hotel? Di tempat umum? Kau bodoh
Sheila, kau telah menghancurkan hidup Bram! Kau mengahancurkan hidupmu
juga!
Sheila masuk ke ruang tamu rumah Haryanto. Di sana ia bertemu Reza yang
memandangnya dengan wajah keruh. Melihat Sheila, pemuda itu membuang
muka. Sheila tahu Reza pasti sudah
membaca berita itu. Pasti ia sangat muak membayangkan bahwa Sheila
menolaknya kerena telah jatuh cinta pada Bram.
Tak sengaja ia menyenggol Renny yang sedang berdiri menonton televisi.
Renny langsung menoleh, "Nggak punya mata, ya? Heh... Inget ya…!! Kalau
mau tinggal di sini lagi, awas kalau macem-macem.!!"
Haryanto menghardik anaknya, "Renny..!"
Renny menatap ayahnya, "Kenapa sih, Pa? Dua mau tinggal di sini kan?
Kasih aturan yang jelas dong. Nanti kalau aku digebug sampai mati
memangnya papa nggak sedih?"
PLAK..!! Haryanto menampar Renny, Renny terkejut menatap ayahnya sambil
memegang pipinya yang merah. Matanya berkaca-kaca.
"Papa..!!" teriak Ratna.
"Papa mngebelain dia daripada aku?" isak Renny.
Sheila melihat kejadian itu, tapi hatinya mati rasa. Tidak ada gairah
untuk ikut campur.
"Sheila, ayo ikut tante," kata Ratna. "Tante sudah menyiapkan kamarmu."
Sheila merasa tangannya dituntun Ratna. ia menurut saja. Ratna
membawanya ke kamar yang dulu. Tapi kali in kamarnya sudah berisi
ranjang dan perabotan lain yang kelihatannya masih baru.
"Bagaimana, bagus kan? Ini ide Oom. Katanya kau akan tinggal di sini
lagi." ia mendekatkan wajahnya pada Sheila dan berbisik, "Sheila, coba
kau tolong tante ya?"
Sheila menoleh dan menatap Ratna.
"Tolong bilang ke Bram, tidak usah minta uang yang seratus juta itu
kembali." Sheila terpaku dan tidak menjawab, tapi Ratna tak
memperhatikan air muka keponakannya itu. Ia tak berhenti bicara,
"Sekarang zamannya lagi susah. Baru saja Oom mau bangkit dengan uang
itu. Kau kan tahu sifat Oommu, ia pasti pinjam sana sini untuk bayar
utang pada Bram. Nanti bisa payah bayarnya, Sheila..??? Sheila...??"
Sheila menoleh pada Tantenya lagi.
"Jadi tolong Tante ya, tolong bilang sama Bram, bayar utangnya nanti
saja. Ditunda dulu. Kalau keuangan Oom sudah membaik , baru
dikembalikan, dicicil pelan-pelan.
Sheila mengangguk, Ratna keluar. Sheila menghempaskan tubuhnya ke tempat
tidaur dan menangis. Batinnya terasa lelah, sangat lelah.
Semalaman Sheila tak bisa tidur. Ia terus memikirkan cara agar bisa
ketemu Bram lagi. Saat ini Bram pasti masih di Ciloto. Tidak mungkin ia
meninggalkan barang-barangnya begitu saja. Berdasarkan pemikiran seperti
itu, saat hari belum terang Sheila telah keluar dari rumah Haryanto
menuju rumah Bram.
Dulu ibunya menikah dengan ayahnya pada saat usianya tujuh belas tahun.
Sama dengan umurnya sekarang. Ya ia bisa menikah dengan Bram. Lalu
mereka pergi ke tempat yang sangat jauh. Mereka bisa mengucilkan diri
sama dengan yang dilakukan Bram selama tujuh belas tahun. Tapi kali ini
Bram tak akan sendirian. Aku akan menemaninya, dan kami akan menikah
lalu memiliki anak-anak yang lucu-lucu. Eman akan ikut kami, tekad
Sheila.
Sheila tahu, kalau ia bertemu Bram, ia pasti bisa membujuk Bram. Sama
seperti ketika ia membujuk pria itu untuk menciumnya. Bram tidak akan
bisa membohongi dirinya lagi. Sheila tahu pria itu mencintainya. Tapi
Bram mesti ada di sana. Harus ada di Ciloto. Mereka harus ketemu.
Lalu bagaimana kalau Bram tak ada di sana? Bagaimana kalau Bram suah tak
ada di sana? Bagaimana kalau Bram tidak pulang ke Ciloto?
Aku akan menunggunya, tekad Sheila. Suatu saat Bram pasti akan ke sana.
Aku akan menunggunya di sana, aku tak akan kembali lagi ke rumah
Haryanto. Aku akan tinggal di rumah itu bersama kakek Eman. Ya, Eman
pasti ada di sana, aku akan tinggal bersamanya. Menunggu Bram.
Ketika Bus tiba di depan asrama, Sheila langsung berlari sekuat tenaga
ke rumah Bram. Tidak, Sheila .... Tenang, cuma beda beberapa menit ridak
akan merubah keadaan. Bran pasti masih ada di sana. Tenanglah.... Bisik
hatinya.
Rumah Bram masih sama seperti terakhir kali Sheila meninggalkannya. Tapi
walaupun baru meninggalkan rumah itu kemarin lusa, rasanya seperti
sudah bertahun-tahun. Betapa anehnya perasaan manusia. Apa yang dirasa
tidak selalu sama dengan kenyataan.
"Bram.... Bram....." Sheila membuka pagar dan masuk ke rumah. "Kakek...?
Kakek Eman!"
Di ruang tamu Sheila melihat Eman sedang mengepak barang dan
memasukannya ke dalam kardus-kardus.
"Kek, mana Bram...? Mana Bram, Kek…!!" tanyanya.
Eman melihatnya, "Sheila kau datang."
"Kek, Bram mana?"desak Sheila.
Eman menggeleng. "Tuan tidak ada di sini, Sheila. Kemarin malam ia
langsung pergi, tidak bilang mau kemana.
Sheila terdiam, "Bohong.... Kakek Bohong." Sheila menunjuk
kardus-kardus, "Itu apa? Barang-barangnya saja masih dipak, tidak
mungkin orangnya sudah pergi."
"Kakek tidak bohong, sudah setua ini buat apa bohong. Tuan tidak ada di
sini." katanya tersinggung.
Sheila menangis,"Maafkan aku, kek. Tapi Bram kemana? Akankah ia kembali
lagi ke sini?"
Eman menggeleng, " Rumah ini akan dihancurkan Sheila, begitu permintaan
Bram, di sini akan dibangun tambahan asrama sesuai dengan permintaan Bu
Lia, kepala sekolah Mutiara Ibunda."
Tubuh Sheila lemas dan ia terduduk di lantai. "Lalu Kakek? Nanti kakek
akan tinggal dimana?"
"Aku akan pulang ke Garut. Disana aku punya rumah dan tanah. Rumahku
kecil, tapi cukuplah untukku. Mungkin aku akan menghabiskan masa tuaku
di sana."
Sheila menangis sejadi-jadinya. Tak diduganya begini akhirnya. Kalau
saja ia tahu akan mendatangkan banyak kepedihan untuk semua orang, akan
tiputarnya waktu, ia tak akan lari ke sini swtelah memukul Indah. Ia
akan tetap tinggal di asrama, hidup baik-baik sampai ia lulus SMA. Ia
telah menyusahkan banyak orang.
"Sheila, tuan menitipkan surat untukmu." kata Eman.
Sheila buru-buru menbacanya,
Dear Sheila,
Bila kau membaca surat ini berati aku sudah pergi. Aku sangat sedih tak
bisa bertemu denganmu, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu
mengingatmu. Tinggallah baik-baik di rua Haryanto dan railah
cita-citamu. Jangan harapkan bertemu danganku lagi, karena akupun
begitu. Tempuhlah jalan kita masing-masing, dan mudah-mudahan bila kelak
kita akan bertemu lagi, kita berdua akan teringat pahit manisnya
kenangan yang telah kita alami. Hiduplah tegar, jangan rapuh seperti
piano di kotak kaca milikmu. Aku yakin kau akan tumbuh menjadi gadis
dewasa yang regar dalam menghadapi kehidupan ini. Lupakanlah masa lalu,
songsonglah masa depan.
Love, Bram
Sheila bersimpuh di lantai dan menangis. Emab menghampirinya dan
mengelus punggungnya. "sudahlah, nak jangan menangis terus nanti kau
Sakit."
Aku akan menjadi gadis yang tegar, Bram. Tapi aku tak yakin seberapa
kuat aku? Dan seberapa lemah aku? Aku tak tahu. Namun jika kau
menyuruhku tegar, aku akan coba tegar. Sheila berhenti menangis, dan
bangkit berdiri. Ia memandang sekeliling. Dan pandangannya tertumbuk
pada piano putih milik Bram.
Dihampirinya piano itu, ia duduk dan dimainkannya lagu Fur Elise. Aneh,
mengapa sekarang ia memainkannya dengan nada sedih, seperti yang biasa
dimainkan Bram? Air matanya menetes. Ia menyelesikan lagunya, bangkit
berdiri dan menutup piano.
Ia melangkah gontai keluar rumah. Ketika tiba di luar pagar ia menoleh
lagi, melihat rumah itu untuk terakhir kalinya dan pergi dari situ.
Di dalam rumah Eman menghampiri Bram di kamarnya, "Sudah pergi, Man?"
tanyanya dengan suara yang sangat letih.
"Sudah tuan. Oh ya, barang-barangnya mau diapakan?"
Bram diam saja. Eman pun keluar meninggalkan pria itu sendirian.
BAB 15
Lima tahun kemudian.....
SHEILA menutup piano muridnya dan bangkit berdiri. Ia menepuk kepala
Clara, gadis berusia enam tahun yang diajarnya seminggu sekali.
"Clara pintar, Kakak Sheila lihat kamu sudah banyak kemajuan. Nanti
jangan lupa berlatih lagu yang tadi, ya? Minggu depan Kakak datang
lagi." katanya lembut.
Clara mengangguk, "Kok udahan, Kak. Memangnya pacar Kakak sudah jemput,
ya?"
Wajah Sheila tersipu.
Clara lari ke depan dan mengintip lewat jendela. Ia berteriak, "Kak
Sheila, pacarnya sudah datang!"
Sheila mengangkat tasnya dan memberi salam pada mama Clara yabg
membawakannya segelas air putih dan potongan biskuit di piring kecil.
"Saya pulang dulu, Tante."
"Aduh, Maaf…! Saya lupa, baru mengeluarkan minumannya sekarang! Ayo,
diminum dulu, Sheila. Dimakan dulu biskuitnya." kata wanita berisia tiga
puluhan bertubuh subur itu.
Karena tidak enak Sheila buru-buru meminum air yang masih di nampan di
tangan wanita itu, lalu menelan biskuit cepat-cepat. "Terima kasih,
Tante. Minggu depan saya datang lagi." kemudian ia berlari ke luar.
Di luar dilihatnya Reza dusuk di motor kesayangannya. Motor itu
dimodifikasi seperti motor balap, yang menjadi obsesi pemuda seusianya.
Reza tersenyum dan menyodorkan helm pada Sheila
"Udah lama, Rez?" tanya Sheila.
"Ya, sepuluh menitan lah... Sori pakai motor soalnya Tini dan Wenny
sudah menunggu dari tadi. Jadi harus ngejar waktu." melihat muka Sheila
yang keruh, ia bertanya, "Hari ini apa lagi?"
Sheila mendaratkan bokongnya ke jok di belakang Reza. Layaknya motor
balap, jok motor ini agak nungging. Jadi kalau naik di boncengan motor
ini, pinggang Sheila bisa pegal-pegal.
"Anaknya nanya-nanya terus di menit terakhir, dan mamanya baru ngeluarin
air minum pas aku mau keluar!" jawab Sheila.
"Beruntung banget kamu dapet murid cerewet, eh ibunya pelit. Sengaja
nggak ngeluarin makanan sampai les berakhir. Ogah rugi waktu...''
komebtar Reza.
Reza pun menjalankan motornya kencang-kencang, Sheila pun terpaksa
memeluk pemuda itu erat-erat.
"Iya sih, tapi anaknya rajin latihan, Rez. Aku maklum kalau sifat mereka
kayak gitu. Ekonomi ibunya pas-pasan, tapi kepengin anaknya pinter."
memang ibu anak itu banyak akalnya. Ada saja akalnya, seperti
melambatkan jam dinding di dekat piano, atau minta tambahan waktu dengan
alasan karena anaknya belum mengerti.
"Cita-cita mulia sih boleh aja, kepengin anaknya pinter, tapi jangan
korupsi waktu orang dong."
Sheila tertawa, "Sudahlah itung-itung amal. Hari ini ada rapat?"
"Ya ada pengantin yang minta diurus pestanya, dan persiapan hanya satu
bulan."
"Apa? Cepet banget..! Apa keburu? Bukannya biasanya paling cepat dua
bulan?"
"Wenny sudah menyanggupi. Ya sudah, dia kan pinter. Kita serahkan saja
pada dia."
Sheila tersenyum, Reza memang sudah lulus dari fakultas Ekonomi, tapi
pemuda itu memutuskan untuk berwiraswasta. Katanya ia malas bekerja
dibawah perintah orang lain, karena sudah cukup punya satu bos di rumah,
alias ibunya.
Tiny dan Wenny yang selama ini terus berhubungan dengan Sheila tertarik
untuk ikutan. Wenny yang keadaan ekonomi keluarganya lumayan patungan
dengan Reza yang dibiayai oleh Ratna. Mereka berdua merintis usaha
Wedding Organizer.
Mula-mula usaha mereka sepi. Tapi dari job mereka yang pertama dan
ditangani dengan sungguh-sungguh dan dengan harga yang miring pula,
akhirnya nama mereka pun tersebar dari mulut ke mulut. Di tahun kedua
usaha ini, fondasi usaha mereka sudah cukup kuat dan relasi mereka pun
sudah cukup banyak. Tini yang sedang menganggur ikut membantu. Sheilapun
jadi salah satu pegawai mereka, yaitu menjadi pianis yang siap bertugas
di hari Sabtu dan Minggu, hari dimana banyak orang menyelenggarakan
pesta pernikahan.
Sheila tak menyangka cita-citanya akhirnya tercapai. Ia tak menamatkan
SMAnya setelah ulang tahunnya yang ke tujuh belas, tapi ia giat berlatih
piano di bawah bimbingan seorang guru profesional, atas biaya Haryanto.
Saat teman-temannya kuliah, ia pun kuliah di kehidupan nyata. Ia
memberi les piano pada anak-anak, tak kurang dari lima belas rumah
dikunjunginya setiap minggu. Dari memberikan les piano Sheila bisa
mandiri dan punya penghasilan sendiri.
Saat ia membantu usaha Wedding Organizer milik Reza dan Wenny, tanpa
sadar ia telah menjadi pianis yang permainanya didengar banyak orang,
walau mereka hanya tamu yang diundang dalam pernikahan. Tapi Sheila
bangga bisa menghibur banyak orang. Ia sudah membuat hidupnya berarti.
Motor Reza sudah memasuki sebuah ruko berlantai dua yang disewa pemuda
itu sebagai kantor. Wenny malah sering tidak pulang, dan tidur di lantai
atas. Ia tipe orang Workaholic, suka bekerja sampai lupa waktu. Tini
pun kadang setia menemaninya. Sheila bingung bagaimana kehidupan Wenny
tanpa Tini, dan Tini tanpa Wenny. Kedua temannya itu sudah seperti
sendok dan garpu, kemana-mana berdua walaupun selalu ribut.
Sheila memandang papan nama yang bertuliskan 'The Glass Slipper', nama
yang dipilih Wenny yang awalnya ditolak mati-matian oleh Reza. Bagi
Wenny ia ingin menciptakan dunia Cinderella dan sepatu kacanya bagi para
pengantin yang akan mengawali hidup baru dengan sebuah pesta pernikahan
yang mengesankan. Menurut Reza, nama itu tidak pantas untuk sebuah
Wedsing Organizer yang lebih pantas dinamai 'Bridal Link', 'One Stop
Marrige', atau ' Wedding Compass', dan bukan nama yang nggak nyambung
yang artinya sepatu kaca. Tapi dengan berjalannya waktu, Reza mengakui
keunikan The Glass Slipper yang ternyata banyak menarik pelanggan wanita
yang ingin bahagia seperti Cinderella.
Sheila menggelengkan kepalanya, itu cuma satu dari seribu masalah yang
ditimbulkan bila Reza dan Wenny disatukan dalam rapat. Dan hari ini akan
jadi salah satunya.
"Hai bos, Audinya masuk garasi nih?" tegur Wenny yang melihat kedatangan
Reza.
"Nih, ngebelain jemput Sheila dan ngejar waktu ke sini." jawab Reza.
"Waktu kok dikejar, emang lari kemana?" sahut Tini cuek.
"Hai, Sheila..."
"Hai, Wen. Hai, Tin."
Tubuh Sheila terasa segar setelah masuk ke ruangan ber Ac sehabis
berpanas-panasan di motir Reza. Ia menghempaskan bokongnya ke sofa empuk
yang diperuntukan bagi pasangan pengantin yang melihat-ligat portofolio
The Glass Slipper. Ruangan The Glass Slipper ditata unik, menurut
selera Wenny yang high class. Dinding ruang tamu di lantai satu dilapisi
wallpaper bernuansa cokelat dan merah bit dan dibeberapa bagian
dipasang cermin. Karpetnya sangat tebal dan buatan luar negeri. Belum
lagi barang-barang antik yang dipajang. Tapi menurut Sheila, hasil
akhirnya bagus dan ia menyukainya. Lagi pula utu sangat berpengaruh
dalam meningkatkan prestige agar clien memutuskan memakai The Glass
Slipper sebagai Wedsing organizer pernikahan mereka.
Wenny membagi-bagikan ketas fotokopi yang berisi catatan yang sudah
dibuatnya.
"Waktu kita tinggal 27 hari lagi, dan aku sudah memesan tempat di
ballroom Hotel Kintamani untuk acara pernikahannya. Kateringnya aku
pakai yang biasa saja, karena mereka bilang terserah. Untuk undangan dan
kue, mereka belum memilih, tapi aku bilang akhir minggu ini
harus sudah final. Sedangkan gaun pengantin, ia yang cari sendiri."
tutur Wenny tanpa jeda untuk bernapas.
"Ini yang katanya akan menikah dalam waktu satu bulan, Wen?" tanya
Sheila mempelajari fotokopian tersebut.
Tini yang menjawab, "Iya, katanya tadi mereka ke sini ya?"
Wenny mengangguk.
"Yaahhhh....! Aku nggak lihat pengantin perempuannya kayak gimana. Oh
ya, kau sudah perhatikan bentuk perutnya, wen?" tanya Tini jail.
"Sudah, dan nggak hamil! Heran, kenapa sih kamu penasaran banget?"
gerutu Wenny. Tini cuma memonyong-monyongkan mulutnya mengikuti gerakan
mulut Wenny, sehingga Sheila tak bisa menahan tawa.
"Siapa sih mereka?" tanya Sheila.
"Aku sebutin juga percuma, kamu nggak bakal kenal. Cowoknya sih
kelihatannya kaya, ceweknya cantik, tapi yakin dadanya silikon." senyum
Wenny.
"Nama prianya.... Harry Prakoso, novelis terkenal. Nama calon istrinya
Varenia Candra." jawab Wenny.
"Cowoknya cakep?"
"Ganteng, pokonya bikin aku ngiri."
Mendengar kata 'Novelis' , Sheila lantas teringat pada Bram. Bram juga
novelis terkenal. Tapi sejak kejadian lima tahun lalu, tampaknya pria
itu sudah berhenti menulis, Sheila sudah berusaha mencarinya melalui
penerbit, dan mereka bilang Bram sudah tak mengirimkan naskah lagi lewat
pos maupun minta diambil. Sheila juga mendengar kabar dari Bu Susan di
asrama Mutiara Ibunda bahwa Bram ikut keluarganya ke Jerman. Setelah
mencoba berbulan-bulan tanpa hasil, Sheilapun pasrah. Mereka kehilangan
kontak, atau Bram yang sengaja tidak mau berhubungan lagi dengannya.
Sheila merasakan tangannya digenggam. Ia menoleh dan melihat Reza
tersenyum padanya. Reza pasti tahu Sheila sedang melamunkan Bram. Sheila
membalas senyuman Reza, tapi tangannya melepaskan genggaman pria itu
perlahan-lahan. Wenny dan Tini berhanti bicara dan memperhatikan mereka.
"Hei.... Pacaran jangan waktu rapat, dong!" sergah Tini.
Sheila tersipu. Ia memandang ke arah Wenny yang menundukkan kepala dan
pura-pura memeriksa beberapa berkas. Sheila tahu, Wenny pasti cemburu
melihat adegan ini. Sudah lama ia tahu Wenny jatuh hati pada Reza, tapi
Reza mencintai dirinya. Sheila mengeluh, kenapa kadang-kadang joeoh tak
pas jatuhnya, atau bersilang-silang, atau bahkan punya beberapa
pasangan, seperti pria yang berpoligami? Banyak kesedihan di dunia ini
yang bermula dari cinta, seperti cintanya pada Bram yang harus putus di
tengah jalan. Lalu buat apa cinta ada di dunia ini?
"Oke." sergah Reza, kembali konsentrasi ke rapat. "Menurutku, karena
waktunya mepet, beritahu mereka untuk menyiapkan mental untuk
mendapatkan segala sesuatu seadanya. Dan suruh mereka bayar DP lima
puluh persen."
"Mereka sedah bayar lunas." ujar Wenny.
"Apa?!" Reza terkejut.
"Siapa dulu dong yang bicara? Wenny!" sahut Wenny bangga.
Otomatis Reza, Sheila, dan Tini meninggalkan sofa. Candaan mereka yang
biasa kalau Wenny mulai narsis.
Sheila membuka pagar rumah Haryanto. Ia pulang lebih dulu karena Reza
masih harus mengurus perkerjaan, sedangkan ia sudah lelah karena sudah
keliling sejak pulul sepuluh pagi. Sekarang sudah pukul lima sore, ia
ingin mandi dan istirahat, rileks di penghujung hari untuk
mengistirahatkan jiwanya.
Sheila memang masih tinggal di rumah Haryanto, tidak seperti rencananya
semula yang ingin pindah dari rumah itu. Rencana itu terus mulur karena
beberapa kejadian yang terjadi. Akhirnya ia mendapati dirinya masih
tinggal di rumah itu lima tahun kemudian, setelah peristiwa yang membuat
dirinya terpaksa berpisah dengan Bram.
"Aku pulang...!" serunya saat ia melewati ruang tamu. Tapi tak ada yang
menyauti panggilannya. Apa semua orang belum pulang? Pikirnya.
Langahnya terhenti melihat sepasang manusia yang asyik bercengrama di
sofa ruang tamu. Mereka berciuman dengan mesra tanpa tahu kehadiran
Sheila. Sheila menggelengkan kepalanya karena ia mengenali bahwa itu
adalah Renny dan pacar playboynya Nathan.
Brak...!!! Sheila sengaja menjatuhkan tasnya ke meja. Dua insan itupun
melepaskan diri dengan wajah tersipu.
"Eh, Sheila? sudah pulang?" Tanya Renny sambil membenahi bajunya yang
kusut. Sang pria berlagak mengambil minum di meja dan meminumnya.
"He-eh. Ren. Oom sedah makan?" tanya Sheila.
"Tau tuh. Sudah kali. Si Marni kan sudah tahu tugasnya."
Sheila menghela napas, "Aku kan sudah bilang, aku akan bantu mengecek
pekeejaan Marni, kau kan tahu Marni bagaimana."
Reni cuma diam saja sambil cemberut. Ia tahu kalau kata-kata Sheila
benar, tapi ia tak suka bila ditegur.
"Renny……!! Renny....!" terdengar suara teriakan dari pagar.
Sheila mendongak ke depan dan berkata pada Renny, "Ada yang byariin tuh,
Ren!"
Renny menghentakkan kakinya kesal, "Si jelekitu lagi?" ia pun keluar
dari rumah dengan langkah perajurit yang siap membasmi musuh.
Sheila menahan senyum, Renny paling tidak suka bila Rico tetangga mereka
yang sudah tiga tahun menginnya datang. Rico memang bisa diacungi
jempol. Demi cintanya pada Renny, ia rela pasang muka tebal. Kalau
setiap hari tidak bertemu Renny, kepalanya jadi pusing tujuh keliling.
Dan walaupun ia tahu Renny sudah punya pacar yaitu Nathan, Rico tidak
peduli.
"Hallo, Sheila." bisik seseorang di belakang telinga Sheila. Sheila yang
sedang menuang air dari dispenser kaget. Ketika ia menoleh, dilihatnya
Nathan berdiri terlalu dekat di belakangnya.
"Nathan, kau mau apa?" belalaknya. Sudah lama ia tahu kalau Nathan bukan
cowok setia. Bila tak ada Renny, Nathan suka curi-curi pandang ke
Sheila.
"Cuma mau nyapa calon ipar, boleh kan?"
"Oh, begitu? Nggak salah nih, kamu berhubungan dengan Renny? Sikapmu
saja kayak gini...." sindir Sheila
"Sikap apa? " elak Nathan. "Boleh minta minum?" tanyanya.
"Nih!" Sheila memberika gelas yang tadinya untuk dirinya sendiri. Lalu
buru-buru ke ruang tamu meninggalkan tempat itu. Sheila tak mau nelihat
Nathan, dan akhirnya menyalahkan Sheila yang menggoda pacarnya.
Renny ternyata tidak lama. Ia cuma keluar untuk mengusir Rico, laku
kembalu ke ruang tamu. Sheila pura-pura melihat tumpukan surat, padahal
Sheila menghindari berdekatan dengan Nathan.
"Ren, jadi makan Kentucy, nggak?" tanya Rico.
"ayo."
Renny bangkit, dan mencari-cari sepatunya. "Sheila, aku keluar dulu,
kalau Mama pulang, bilang aku makan di luar saja.
" Nggak bilang papamu dulu?!"
"Kau ajah Deh yang bilang!" Renny pun melesat menyusun Nathan yang sudah
keluar duluan. Tak lama kemudian suara mobil kijang menunggalkan rumah
Haryanto. Sheila memberesi gelas bekas Nathan minum lalu masuk ke kamar
Haryanto.
Kamar itu berbau pengap. Sheila sudah bilang ke Reza untuk membujuk
Tante Ratna agar mau bertukar kamar dengan Haryanto. Kamar yang dipakai
Ratna punya ventilasi yang baik, karena ada jendela besar di depannya.
Kamar Haryanto tidak berjendela. Tenth saja Reza tak berani, apalagi
Sheila. Akhirnya ia menyuruh si Marni, pembantu keluarga itu untuk
sering-sering membuka pintu. Dan kali ini pintu ditutup lagi. Sheila
jadi tambah kesal pada Marni.
Haryanto berbaring di ranjang berukuran single.. Di bawahnya Marni tidu
pulas eir liurnya menetes ke lantai.. Sheila terbelwlak kesal dan
mengguncang tubuh pembantu berusia tujuh belas tahun
" Marni?" bisiknya
Marni terbangun dan melompat begitu tahu Sheila yang membangunkannya.
"Eh....Non Sheila."
"Tuan sudah dikasih makan belum...?" tanya Sheila sambil menahan kesal.
Mendengar itu, Marni langsung melompat dan lari ke arah dapur. Hmmm...
Berarti Marni belum memberi Haryanto makan siang, pikir Sheila.
Keterlaluan...!!! Sheila menghampiri tempat tidur Ommnya, dan duduk di
bangku sampingnya.
"Maafkan saya,Oom. Saya baru pulang. Hari ini ada rapat di kantor Reza.
Ternyata Marni lupa lagi ya menyuapi Oom." katanya sambil memegang
tangan pria itu.
Mata Haryanto menatap Sheila, tapi bibir pria patuh baya itu tetap
tertutup, tidak mengeluarkan suara apa-apa. Sudah lama Sheila tidak
menangis melihat keadaan Oomnya, karena sudah terbiasa.
Tiga tahun yang lalu Haryanto mengalami stroke dan lumpuh. Kata dokter,
stroke bisa terjadi karena pola makan yang tidak sehat dan stres.
Haryanto terjatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri beberapa hari.
Pembuluh darah di otaknya pecah. Haryanto pun menderita lumpuh dari
pinggang ke bawah, karena jaringan otaknya rusak. Bicarapun tidak jelas,
organ tubuhnya
bisa sehat separti semula untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi
untuk apa umur panjang bila kradaannya seperti ini? Pikir Sheila.
Haryanto makan, minum, dan buang air di tempat tidur. Setiap pagi ia
dipindahkan ke kursi roda dan berjemur di teras.
Sheila sangat sedih Oomnya menderita seperti ini. Ia tidak jadi pindah
dari rumah Haryanto juga karena memikirkan hal ini. Haryanto cuma
dirawat oleh Marni, pembantu bodoh yang sudah bekerja di rumah itu
selama dua tahun. Bodoh dan malasnya luar biasa. Marni memberi makan
Haryanto, mamandikannya setiap hari, dan membersihkan kotorannya. Sheila
kesak dengan sifat malas Marni yang sering lupa memberi Haryanto makan
atau mendiamkan bila Haryanto buang air di tempat tidur. Tapi cuma gadis
itu yang betah bekerja seperti itu. Jadi seberapa kesalnya Sheila pada
pembantu itu, ia tak pernah berpikir untuk memecatnya.
Yang membuat Sheila tambah sedih, Ratna yang tak bisa menerima penyakit
suaminya jadi menjauhkan diri. Wanita itu tidak mau tidur sekamar dengan
suaminya, ia juga jarang menjenguk Haryanto di kamar ini. Mungkin ia
terpukul dengan musibah ini. Untungnya Ratna punya adik yang melanjutkan
usaha furniture milik Haryanto. Usaha itu lumayan berhasil walaupun tak
semaju dulu, dan mereka masih bisa makan dengan cukup.
Dua tahun lalu Reza mulai merintis usahanya sendiri yang kini mulai
menampakkan hasil. Renny pun semester depan sudah lulus dan akan
diwisuda. Sheila bersyukur keluarga ini tak mengalami kesulitan keuangan
setelah Haryanto lumpuh.
"Ini Non, sudah saya ambilkan buburnya." kata Marni takut-takut sambil
menyodorkan piring itu pada Sheila. "Mau Non yang nyuapi atau saya?"
"Mau saya potong gajimu bulan ini? " delik Sheila. Marni tersipu-sipu.
Ia segera menyendok bubur dan menyuapkan ke bibir Haryanto. Sheila tak
tega melihat Oomnya makan seperti ini.
"Oom, Sheila ke kamar dulu. Oom makan yang banyak, ya." Haryanto cuma
mengangguk.
Sheila pun meninggalkan kamar itu dan masuk ke kamarnya. Sheila terduduk
di ranjang. Kasihan Oom Haryanto, batinnya Sheila. Susah payah pria itu
membanting tulang untuk keluarganya, ternyata akhir hidupnya cuma
begini saja.
Sheila jadi teringat pada ayahnya. Sampai sekarang ia tak pernah lagi
menjenguk ayahnya di penjara. Cuma sekali ia pernah menjenguk ayahnya,
itupun sudah lima tahun yang lalu dan atas suruhan Bram. Sheila kadang
menangis bila teringat ayahnya, tapi kebenciannya tak pernah hilang.
Seandainya papa begitu menyayangi keluarganya seperti Oom Haryanto,
pastilah ia sudah menjadi anak yang paling bahagia di dunia ini, pikir
Sheila.
Pandangannya tertubruk pada piano di koat kaca yang ada di atas meja.
Diambilnya benda itu dan dielusnya. Mama, ternyata kehidupan tak
selamanya lebih enak dari pada kematian. Yang hidup masih melihat banyak
sekalu persoalan, sedangkan yang mati akab meninggalkan semua itu.
Mama, saat ini kau pasti sudah bahagia di surga sana.
,
Restoran itu terletak di pinggir jalan raya. Tapi entah karena letaknya
atau fengsuinya yang kurang bagus, tempat itu hanya ramai kalau hari
Sabtu dan Minggu. Akhirnya pemiliknya memutuskan bahwa hari-hari biasa
tempat itu disewakan untuk seminar, pertemuan, dan arisan. Pemasukan
yang didapat lebih lumayan daripada menunggu tamu.
Hari ini restoran itu ramai oleh gelak tawa dan obrolan nyonya-nyonya
kaya yang punya banyak waktu untuk berkumpul dan mengadakan arisan.
Barang yang dijadikan arisan adalah emas seratus gram, modelnya bisa
dipilih apa saja. Bisa perhiasan, bisa juga batangan. Ratna juga ikut.
Ini sudah pertemuan keempat dan namanya sudah keluar dipertemuan kedua.
Tidak apa-apa. Toh ia datang bukan karena emasnya, melainkan karena
pergaulan dan bersenang-senang menghilangkan suntuk di rumah.
Haryanto sudah tiga tahun lumpuh setengah badan. Suami yang dulu tak
pernah dibanggakannya, namun masih bisa bergerak dan mencari uang kini
terbaring tak berdaya. Dan tak tahu kapan akan sembuhnya. Ratna sungguh
sangat kecewa akan kehidupan ini. Dulu ia berusaha mati-matian menghemat
biaya rumah tangga, supaya kelak bisa hidup enak, tapi sejak usaha
Haryanto bangkrut dan mereka dirampok, ia mulai patah arang. Apalagi
ditambah Haryanto Stroke, Ratna jadi stres berat.
Akhirnya Ratna menyimpulkan hidup enak bukan dari penghematan. Ia harus
melepaskan semua beban, dan mulai menikmati hidup. Apalagi sejak usaha
furniturenya dikelola oleh adiknya, pendapatannya masih lumayan untuk
biaya hidup sehari-hari. Anak-anak pun sudah lulus kuliah,
dan Reza sudah punya penghasilan sendiri. Kini Ratnapun tak mau
membuang-buang waktunya untuk menjadi ibu rumah tangga, pengorbananya,
tak sebanding dengan hasilnya.
Dua tahun lalu Ratna diajak Anastasia temannya untuk menjadi anggota
perkumpulan ini, grup ibu-ibu rumah tangga yang kaya , namun kesepian.
Usia mereka berkisar 30 sampai 45 tahun. Arisan diadakan hanya sebagai
sarana. Bukan barang yang mereka kejar, namun pergaulan. Pelopornya
adalah Nyonya Dewinta Tutik. Ia menyelenggarakan arisan gaya baru dengan
tambahan beberapa variasi pertemuan yang diadakan dua atau tiga kali
seminggu. Anggota tetapnya memang ubu-ibu itu, tapi sebagai tambahan ,
beberapa pria muda ikut arisan tersebut.
Kata Anastasia, pria-pria itu mereka menyebutnya berondong, bisa
'dipakai'. Tentu saja dengan imbalan uang, tapi ratna tak pernah
mencoba. Diperkumpulan ini, ia hanya ingin menghilangkan stres, daripada
terus memperhatikan kondisi Haryanti di rumah. Lagi pula menurut Ratna,
mengobrol dengan para berondong itu bukanlah dosa. Ia tak harus keluar
uang pula. Ini sudah termasuk fasilitas dari uang iuran yang ia bayarkan
pada Nyonya Dewinta Tutik.
Hari ini ada pria tampan yang sepertinya baru bergabung. Ia sedang
meneguk minuman sambil menatap keluar restoran. Ratna mengira-ira umur
pria itu baru tiga puluh lima, atau mungkin lebih, dilihat dari wajahnya
yang berwibawa. Biasanya Ratna tak pernah begitu tertarik dengan
pria-pria muda di situ. Tapi kali ini entah mengapa ia merasa pria itu
berbeda. Ia memutuskan mendekati pria itu. Cuma mengobrol tidak apa-apa,
pikir Ratna.
"Hai..." ia duduk du hadapan pria itu.
Pria itu menoleh dan membalas senyumanya. Alisnya terangkat, seolah-olah
ingin tahu apa keperluan Ratna mendekatinya.
"Namaku Ratna, namamu..?"
Pria itu menjawab ragu, "Harry."
"Orang baru di sini, ya?"
Pria itu memandang Ratna dengan muka bingung. Tiba-tiba seseorang datang
dan memegang bahu pria itu.
"Hallo Ratna, kau sudah berkenalan dengan calon adik iparku?"
Ratna menatap Anastasia dengan bingung. Adik ipar? Jadi..... Dia
bukan.... Astaga..!!! Untung tadi aku belum bilang apa-apa, batin Ratna.
Bagaimana kalau ia salah sebut, kalau dia berondongnya Bu Dewinta? Tapi
sayang sekali.... Setampan ini....
"Namanya Harry Prakoso. Dia novelis terkenal, itu lho, yang novelnya
pernah aku pinjamkan kepadamu. Kau sudah baca, kan?"
Ratna teringat dengan novel roman misteri yang dipinjamkan Anastasia
kepadanya. Walau agak tebal, tapi ceritanya bagus. "Jadi ini
pengarangnya?"
Anastasia tersenyum, "Dia memang kupaksa kemari untuk aku perkenalkan
pada orang-orang. Karena aku calon kakak iparnya, jadi ia tak bisa
nolak, iya kan Har?"
Pria itu cuma tersenyum lalu melirik jam tangannya. Ratna ingat temannya
yang janda cantik itu memang punya adik yang beda usianya tujuh tahun
dengannya. Namanya Varenia, panggilannya Vania. Ternyata pria itu calon
suami Vania?
Ratna tersenyum menggoda, "Hati-hati, Har. Punya calon kakak ipar
seperti ini, bisa-bisa kau dilahapnya."
Anastasia pengibaskan tangannya."Ah, nggak mungkin aku begitu sama
adikku sendiri."
"Memangnya kapan nikahnya?"
"Sebulan lagi."
Tak lama kemudian Harry pamit pada Anastasia. Ratna memandangi pria itu
berjalan meninggalkan mereka.
"Memangnya berapa umurnya, Nas?"
Anastasia tersenyum, "penasaran, ya? Tapi ganteng banget, kan? Masih
kelihatan muda,lagi. Aku kaget waktu tahu ternyata dia dua tahun lebih
tua dari kita. Dia sudah 42 tahun, lho!"
Anastasia mendekat dan berbisik pada Ratna," Dan kau tahu? Jangan
bilang-bilang pada siapa-siapa ya. Kaki kanannya itu kaki palsu, lho.
Karena adikku cinta setengah mati padanya, kaki palsu pun tak jadi
masalah."
BAB 16
BRAM membuka pintu apartemennya. Kakinya sudah pegal ingin segera
istirahat. Memakai kaki palsu memang lebih baik dari pada memakai
tongkat, tapi ia tak tahan capeknya kalau terlalu lama berjalan.
Lima tahun yang lalu setelah berpisah dengan Sheila, hidupnya jadi
berantakan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ingin melupakan
Sheila dengan menyibukkan diri, ia memutuskan mengarang. Tapi kalimat
yang biasanya mengalir lewat ketikan tangannya, kini tersendat-sendat.
Ia tak tahu mau menulis apa, tak tahu mau mengarang apa. Hidupnya jauh
lebih hancur ketimbang waktu ia mengalami kecelakaan dulu. Ia hampir tak
dapat menahan diri untuk pergi ke rumah Haryanto dan menemui Sheila.
Tapi ia sadar itu tak mungkin ia lakukan. Jalan hidup Sheila masih
panjang, dan ia tak mau menghancurkan jalan hidup gadis itu. Pikirannya
jadi buntu, sampai-sampai ia hampir memutuskan untuk bunuh diri lagi.
Untung ia ditemani ibunya, yang heran melihat begitu besar cinta anaknya
pada sorang gadis tujuh belas tahun yang masih bau kencur.
Emma memutuskan untuk membawa Bram ke Jerman. Ia membujuk anaknya itu
untuk operasi plastik di wajahnya, "Kalau penampilan kita baik, maka
perasaan kita jauh lehih baik." katanya.
Bram menyetujui saran ibunya, bukan karena ingin berpenampilan lebuh
baik, melainkan karena ia ingin melakukan apa saja asal tidak mengingat
Sheila.
Di Jerman ia menjalani operasi plastik untuk menghilangkan bekas luka di
pipi kirinya. Saat melihat kakinya yang timpang, dokter juga
menyarankan untuk memeriksa kakinya juga. Ilmu kedokteran sudah makin
canggih, Bram pasti bisa berjalan normal lagi.
Sebenarnya Bram ragu, tapi Emma langsung setuju. Setelah diperiksa,
menurut dokter kaki Bram tak bisa pulih seperti sedia kala, tapi bisa
dipasang kaki palsu agar ia bisa berjalan karena beberapa otot gerak di
kaki kanannya masih berfungsi dengan baik. Bram merasa dipermainkan
kehidupan. Dulu, ketika hatinya hancur karena kecacatannya, tidak ada
yang bilang bahwa ia bisa normal kembali. Kini, ketika ia tak
membutuhkan semua ini ia kembali normal, yang bisa berjalan tegak, bisa
tampil di depan umum tanpa rendah diri.
Bram memulai kembali hidup barunya dengan rasa percaya diri yang mulai
tumbuh. Ia tinggal di sebuah apartemen di Jakarta. Jakarta begitu luas,
ia yakin takkan bertemu Sheila. Bram kembali
memulai kariernya di bidang menulis. Tapi ia tak mau lagi memakai nama
Bram Budiman. Kini ia memakai nama aslinya, nama yang diberikan
orangtuanya saat ia lahir, Harry Abraham Prakoso.
Ketika Bram akan kembali ke kamarnya, ia merasakan seseorang menutup
matanya dari belakang.
"Vania…?" gumamnya
Vania membuka tangannya dan tertawa pada Bram.
"Kok nggak kaget...?" tanyanya
"Selain kau, siapa lagi yang punya kunci masuk ke apartemen ini?" tanya
Bram.
Vania tersenyum manis. Wajahnya jadi tambah cantik. Pertemuan Bram dan
Vania cukup unik. Ia bertemu Vania ketika melakukan Cek up kaki palsunya
di Jerman dua tahun lalu. Kebetulah status yang mereka bawa tertukar.
Karena warna map yang sama, ketika mereka betabrakan dan terjatuh di
rumah sakit, map mereka tertukar. Bram mesti menghabiskan waktu satu jam
untuk menemukan dimana gadis itu berada. Ketika mereka bertemu, dengan
santainya Vania mengajaknya makan malam. Saat itulah hubungan mereka
dimulai.
Vania bukan jenis gadis yang manja dan ingin diperhatikan. Ia peduli
terhadap orang lain, dewasa, dan mau mendengarkan lawan bicara. Dalam
waktu singkat saja Bram menyukai sebagai lawan bicara, begitupun Emma.
Tapi ketika ia sampai di Jakarta dan Vania menemuinya lagi, tanpa
direncanakan hubungan ini terjadi begitu saja. Bram tidak tahu ia
mencintai Vania atau tidak, karena sejujurnya cuma satu orang yang ia
cintai seumur hidupnya yaitu Sheila. Tapi ia menyayangi Vania. Ia tak
sanggup menyakiti hati gadis itu.
Vania pun tahu masalah kaku palsu dan kelumpuhan kaki kanan Bram, tapi
ia tak pernah memedulikan hal itu. Tanpa terasa sudah dua tahun hubungan
mereka. Dan bulan depan mereka akan menikah.
Dengan kondisi yang kini sudah jauh berubah, sebenarnya Bram ingin
menemui Sheila, tapi ia tak punya keberanian. Lagi pula, ia takut
perasaan gadis itu sudah berubah. Bram akan merasa malu pada dirinya
sendiri. Usia mereka pun terpaut terlampau jauh, betapa ironisnya.
Akhirnya Bram memutuskan melupakan Sheila selama-lamanya. Ia akan
menutup pintu yang menjadi penghubung hidupnya sekarang dengan masa
lalu. Vania dikirim Tuhan untuknya, ia yakin itu. Sudah saatnya ia
melanjutkan hidupnya dan melupakan masa lalunya.
"Aku sudah melunasi semua biaya pesta kita, Bram." Vania memang tak
memanggilnya dengan panggilan 'Harry' melainkan tetap dengan nama kecil
pria itu. "Mereka bilang, mereka akan membuat pesta pernikahan kita
menjadi pesta yang tak terlupakan, asyik kan?" ujar Vania sambil
bergelayut manja di lengan Bram yang sedang duduk di sofa. " Tapi kue
pengantinnya dan undangannya sudah harus dipilih akhir Minggu ini."
"Apa kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi?" tanya Bram.
"Kanapa? Apa kau tidak yakin?"
"Bukan begitu. Apa tidak lebih baik kalau persiapannya agak lama,
seperti dua atau tiga bulan lagi. Kan hasilnya pasti lebih bagus. Kita
pun jadi lebih mantap, tidak terburu-buru seperti ini."
"Tidak. Sejak mimpiku bulan lalu hatiku jadi tidak tenang. Aku ingin
buru-buru menikah saja, biar tidak kehilanganmu." Sahut Vania. Ia memang
pernah bermimpi ia dan Bram memakai baju berkabung, dan Bram
meninggalkannya. Itu mimpi buruknya yang pertama kali sejak dua tahun
hubungan mereka.
"Mimpi itu bunga tidur, Vania. Karena kau takut kita berpisah jadi kau
mimpi begitu."
"Wajar dong aku takut berpisah denganmu... Aku kan sangat mencintaimu."
Ujar Vania manja.
Sewaktu bertemu Bram di Jerman, Vania juga sesang menjalani cek up. Ia
ingin memeriksa apakah payudaranya yang disuntik silikon enam tahun lalu
baik-baik saja, soalnya ia mendengar berita menakutkan tentang seorang
wanita yang meninggal karena payudaranya disuntik silikon, dan itu
membuatnya takut. Payudara Vania dulu memang datar. Wanita itu merasa
penampilannya ada yang kurang, maka ia memutuskan melakukan operasi.
Tapi ia sudah berterus terang pada Bram tentang hal ini, dan Bram bilang
tidak apa-apa. Ia tak akan mempermasalahkan masa laku Vania. Itulah
salah satu hal yang membuat Vania cinta setengah mati padanya.
Bram adalah pria terbaik yang pernah dimilikinya. Selain baik hati,
tampan, dan cerdas, Bram juga romantis. Dan yang terpenting, Vania cinta
padanya. Selama ini Vania tak pernah mencintai seseorang seperti ia
mencintai Bram. Beberapa kali Vania pacaran dan selalu gagal. Kali ini
ia tak mau gagal lagi . Maka ia ingin mereka segera menikah. Mula-mula
Bram tidak setuju, tapi
berkat bujukannya akhirnya pria itu luluh juga. Lagi pula Vania mendapat
dukungan penuh dari Emma. Emma bilang usia mereka lebih dari cukup
untuk menikah. Vania 29 tahun, dan Bram 42 tahun. Menurutnya ini waktu
yang tepat.
"Jadi satu-satunya yang belum beres adalah gaun pengantinku dan jas
untukmu. Besok kita mencoba sama-sama, ya?" ujar Vania.
Bram cuma mengangguk, laku termenung. Ia melihat kalender di dinding.
Tanggal itu menunjukan bahwa sekarang tanggal 7 Desember. Ia ingat, hari
ini ulang tahun Sheila.
"Surprise......!!!!!!!!"
Sheila terkejut. Ia sudah menduga bahwa ia dikerjai. Pintu tertutup,
tirai tertutup rapat, dan lampu dimatikan.. Dan benar saja ada pesta
kejutan dibaliknya. Ia baru ingat, hari ini ia ulang tahun. Ya ampun,
ini pasti kerjaan Reza, Wenny, dan Tini.
Ketiga orang itu sedang sibuk menyanyika lagu Happy Birthday. Dibelakang
mereka Marni sedang tertawa lebar sambil memegangi pegangan kursi roda
di depannya. Haryanto duduk di kursi roda dan kepalanya bersandar di
sandarannya. Ia menatap Sheila seolah ikut merayakan pesta kejutan ini..
Di ruang tamu Haryanto itu, mereka hanya berlima, Ratna dan Renny belum
pulang.
Sheila sangat gembira, ia meniup 22 lilin kecil di atas kue black forest
yang dipegang Tini. Sebelumnya Sheila telah mengucapkan doanya, yaitu
semoga dirinya, Reza, Wenny, Tini, keluarga Haryanto, dan Bram selalu
sehat dan bahagia.
"Lho, katanya kantor sedang banyak pekerjaan? Kenapa kalian repot-repot
bikin pesta segala?" kata Sheila.
"Alahhhhh sesibuk apapun masa kita lupa ulang tahunmu?" ujar Wenny.
"Yahhhhhh.... Kalau begitu, aku mesti repot mengingat hari ulang tahumu
nanti." gurau Sheila. Rasa haru mengganjal di tenggorokannya dan ia
ingin menangis. Teman-temannya begitu perhatian padanya.
"Buka kado....! Buka kado...!"
Sheila membuka kado pertama, Wenny memberinya sehelai syal yang
kelihatan mahal. Pasti benda bermerk. Temannya itu memang borju. Tini
memberinya dompet kulit berwarna krem. Sedangkan Reza tak memberinya
apa-apa.
"Nanti malam aku akan mengajakmu makan malam, saat itu akan aku kasih
hadiahnya." bisik Reza pada Sheila.
Sheila melirik Wenny. Sahabatnya itu sesang memperhatikan mereka berdua.
Wenny langsung menghindar. Terlihat sinar cemburu di mata gadis itu.
Perasaan Sheila jadi tidak enak, ia tak suka melukai hati siapa pun.
"Piano....!! Piano...!! Ayo main piano untuk kita, Sheila!" seru Tini
yang sedang memotong-motong Black forest.
Sheila tersenyum dan melangkah menuju piano. Ketika ia sudah duduk di
depan piano, ingatannya kembali ke lima tahun yang lalu, saat ia juga
main piano untuk Bram, di depan pengunjung restoran.
Ia mulai memainkan Moonlight sonata, bukan Fur Elise, karena ia sudah
lama tak memainkan lagu itu. Sambil memainkan piano, lamunan Sheila
melayang jauh.
Bram, dimana kau sekarang...? Di belahan bumi mana kau bersembunyi
dariku? Batinnya sedih. Baru disadarinya, ia salah memilih lagu.
Moonlight sonata terlalu sedih untuk dimainkan saat ini.
Charles memandang dinding penjara yang tak lagi terasa membelenggunya
setelah enam setengah tahun berlalu. Waktu pertama datang kemari,
keempat dinding itu terasa menghimpitnya. Cuma lewat jeruji besi ia bisa
memandang dunia luar, itupun hanya terbatas pada sel lainnya.
Sel. Unsur terkecil dari tubuh manusia. Jutaan sel mati setiap harinya,
tapi sang empunya akan tetap hidup. Sepertinya arti kata itu sama bagi
sel penjara ini. Tempat tinggalnya hanya sebuah sel. Dan tak akan ada
yang peduli apakah ia akan hidup atau mati.
Charles terbatuk. Batuknya tak bisa berhenti. Ia terus terbatuk sampai
rasanya mau muntah. Perutnya tertarik dan ototnya terasa nyeri. Dokter
telah memeriksanya, dan memberitahu bahwa ia terkena TBC, salah satu
penyakit yang kerap diderita penghuni penjara akibat penularannya yang
cepat. Charles ingat teman satu selnya dulu juga batuk seperti ini. Lalu
karena lembabnya dinding penjara atau karena usia tua, ia meninggal.
Charles curiga dirinya juga mengidap kuman tuberkulotis yang ganas itu.
"Mat hari ini tanggal berapa?" tanya Charles setelah batuknya mereda.
"Kenapa abang nanyain tanggal, abang bebas masih lama, kan?"
Charles tidak menjawab. Ia teringat hari ini ulang tahun Sheila.
Ia sangat rindu pada putrinya. Terakhir mereka bertemu, Charles berkata
bahwa Sheila tak usah datang lagi ke tempat itu. Tapi sejak itu, ia
terus berharap kedatangan anaknya. Hatinya penuh tanda tanya. Marahkah
Sheila padanya? Marahkah anak itu karena ia telah meninggalkannya?
Bagaimana hidup anak itu sekarang? Baik-baik sajakah?
Sejak tiga tahun yang lalu Haryanto tak pernah lagi datang
mengunjunginya. Sejak itulah Charles kehilangan kontak dengan
satu-satunya orang yang peduli padanya. Semua kawannya menghibur dengan
suara yang pahit dan getir, agar Charles tak memikirkan dunia luar.
Sudah jadi berita umum bahwa sanak saudara menghilang dan tak
datang-datang. Dan kalau masih punya hati, mereka datang pada saat
mendekati hari pembebasan.
Charles termenung. Dadanya terasa sakit. Ia sangat ingin bertemu
putrinya. Sheila, papa belum sempat bercerita padamu, Nak. Banyak yang
ingin papa ceritakan, tapi kau tak pernah mengunjungi papa. Charles
mengusut air matanya. Tidak apa-apa yang penting sekarang kau bahagia,
Nak. Dan selamat ulang tahun.
Sheila turun dari mobil Audi milik Reza. Ia tersenyum dan melihat
restoran yang baru pertama kali dikunjunginya.
"Kok sepi, Rez?" tanya Sheila memandang sekeliling saat memasuki
restoran.
Reza tersenyum penuh rahasia. "Restoran ini ku booking khusus untukmu,
Sheila."
Sheila menatap Reza tak percaya. Tapi melihat sebuah meja du
tengah-tengah ruangan yang diatasnya ada lilin menyala dan hidangan yang
tertata rapi, ia jadi tahu pria itu tidak bohong.
"Rez… untuk apa…?"
Sheila tak melanjutkannya, karena merasakan tangan Reza yang menyentuh
lengan yang telanjang. Pria itu mempersilakan Sheila duduk. Sheila
merasakan wajahnya memanas. Perlakuan Reza membuatnya malu. Ia biaa
merasakan perasaan pria itu begitu dalam untuknya. Tapi sayangnya ia tak
bisa membalas perasaan itu.
"Tak usah protes, Sheila. Pokoknya duduk dan nikmati makan malam ini,
Oke?" ujar Reza, "Soalnya aku tahu, kau akan mengoceh soal buang-buang
duit dan sebagainya. Kau kan sudah hampir terkana ' virus Mama'."
"Hei...." protes Sheila, "Tante Ratna sudah berubah, Kok. Sekarang ia
sudah tak pelit lagi."
"Malah sebaliknya, Boros. Buang-buang duit setiap hari, arisan dengan
nyonya-nyonya kaya kesepian."
"Reza..!!!!" tegur Sheila, "Tak baik ngomong seperti itu tentang Mamamu
sendiri."
Reza berkata pedih, "Sheila.... Kadang aku ingin berada di posisimu. Kau
tak punya ibu yang menghindari ayahmu sendiri karena ia lumpuh...."
"Reza...." Sheila menatap Reza sambil tersenyum lembut, seakan bicara
lewat matanya bahwa ia tak ingin membicarakan tentang Tante Ratna lagi.
Reza tersenyum, "Oke. Mari kita lupakan masalah rumah, mari kita makan
sebelum makanannya dingin."
Sheila memakan daging ayamnya perlahan-lahan. Makanannya cukup enak,
tapi ia tak begitu lapar. Sambil makan, mereka ngobrol tentang masalah
kantor dan murid-murid Sheila yang lucu-lucu.
"Thanks ya, Rez....... Makanannya lezat sekali. Aku pernah makan
yang....."
Kalimat Sheila terhenti. Ia hanya bisa terpaku saat Reza mengeluarkan
kotak beludru kecil berwarna biru dari saku bajunya.
Saat Reza membuka kotak itu, Sheila melihat sebentuk cincin berkilauan.
Reza menatap Sheila sambil tersenyum.
"Apa, itu?" tanya Sheila.
"Untukmu." kata Reza sambil mengeluarkan cincin itu dari kotaknya."Aku
ingin hubungan kita lebih serius, Sheila."
"Mak... Maksudmu..?" tentu saja Sheila tahu arti sebuah cincin yang
diberikan pada seorang wanita oleh pria yang mencintainya. Tapi otaknya
berpikir keras agar ia menjawab tanpa menyinggung perasaan Reza. Ia cuma
sekadar mengulur waktu.
"Sheila, kau sudah tahu aku bagaimana" ujar Reza serius. "Kau tahu aku
tulus mencintaimu. Aku tak pernah berpaling ke wanita lain selama lima
tahun ini. Kau juga tahu aku telah menolak Wenny yang menyatakan
perasaanya padaku."
Mata Sheila berkaca-kaca. Wanita mana yang tak terharu melihat pria yang
begitu tulus mencintainya? Reza telah membooking restoran, menyiapkan
cincin.... Ayolah, Sheila, kau bukan orang yang tak punya hati.
"Tapi, Rez....."
Reza menggenggam tangan Sheila di atas meja."Sheila, aku tahu kau tak
akan membuka hatimu untuk pria lain setelah kejadian lima tahun lalu.
Tapi aku tak percaya itu karena kau terlalh mencintai Bram! Kurasa itu
hanya karena kau tak pernah mencoba membuka hatimu. Bukalah hatimu,
Sheila. Lihatlah dengan mata hatimu. Tidak usah jauh-jauh, pria yang kau
tunggu-tunggu selama ini ada di hadapanmu."
Air mata yang sudah merebak di mata Sheila jatuh di pipinya. Sheila
berkata dengan suara yang bergetar, "Rez, kenapa kau tak pernah
melupakanku?"
"Karena aku mencintaimu, bodoh." Reza tersenyum.
"Walaupun selama ini aku menolakmu, kau tetap mencintaiku?"
"Tentu saja."
"Nah, aku juga merasakan hal yang sama pada Bram. Meskipun ia telah
menolakku selama lima tahun ini aku tetap mencintainya.
Reza terdiam. Sheila terdiam. Suasana.menjadi canggung.
"Rez, berikan cincin itu pada wanita yang kau cintai"
"Aku sudah melakukannya." Reza meraih tangan Sheila dan memasukkannya ke
jari manis Sheila tanpa sempat dicegah oleh gadis itu." Ini hanya
cincin biasa, pakailah. Dengan cincin ini kau akan selalu ingat bahwa
aku mencintaimu."
Sheila terdiam. Ia menatap cincin di jari manis tangan kirinya. Benar,
ini cuma cincin biasa. Bermatakan batu mungil berwarna merah yang
berkilauan. Ini cuma cincin tanda ketulusan, bukan pengikat. Lagipula ia
tak tega mengecewakan hati pria yang pasti telah merencanakan hal ini
sejak jauh-jauh hari. Akhirnya Sheila mengangguk.
Sheila tidak tahu mimpi apa ia semalam sehingga harus menemani Nathan
hari ini. Tadi pagi Renny meminta tolong agar Sheila mengantarkan Nathan
mencari baju pesta untuk dipakai malam harinya.
"Kok aku? Kenapa tidak kau saja?" tanya Sheila bingung.
"Aku tidak bisa Sheila, ada sidang skripsi di kampus. Aku nggak tahu
kelar jam berapa, padahal Nathan belum punya baju. Kubilang suruh cari
sendiri, eh dia bilang katanya minta diantarkan kamu. Katanya cewek
punya selera yang bagus dalam memilih, sedangkan dia selalu salah pilih
kalau belanja sendiri. Biasanya sih mamanya yang menemani, tapi Mamanya
sedang pergi ke Singapur."
Sheila membatin, tidak ada yang salah dalam selera Nathan berpakaian.
Kenapa harus ditemani?
"Tapi aku juga nggak tahu harus milih baju yang mana, Ren!"
"Tenang aja, Nathan cuma akan memilih beberapa baju, lalu kau beri saran
baju mana yang terbaik. Gampang kan?"
"Aku nggak tahu Nathan segitu manjanya. Beli baju aja minta ditemani."
sindir Sheila. Tapi Renny tak tahu apa maksudnya.
"Yah, itu baru soal baju. kau tak akan membayangkan apa yang harus
kualami dengan hal-hal lainnya." kata Renny riang. "By the way makasih,
ya." Renny menepuk bahu Sheila, lalu berangkat kuliah dengan kijang
milik Haryanto.
Jadi di sinalah Sheila sekarang, di sebuah konter pakaian yang ada di
mal. Nathan sedang sibuk memilih baju, dan Sheila duduk di kursi yang
disediakan sambil memandang keluar dengan wajah bosan. Para pembeli
berlaku lalang dengan wajah berseri. Daripada berpanas-panas di luar,
memnag lebih baik ngadem di mal.
"Bagus mana warna biru apa warna putih?" Tanya Nathan sambil membawa dua
kemeja yang masih terpasang di gantungannya.
"Hmm... Yang biru kesannya sportif. Yang putih kesannya modis. Yang biru
sih lebih bagus, tapi kesannya kurang cocok kalau dipakai ke pesta."
ujar Sheila ragu-ragu.
"Aku ambil yang biru." Sergah Nathan cepat. Ia pun membayar kemeja biru
itu di kasir. Sheila mengangkat bahu. Kalau segitu mudah memilih antara
biru dan putih, buat apa Nathan repot-repot mengajaknya kemari? Dasar
manja. Bagaimana pula kalau manusia seperti itu tersesat di pedalaman
Afrika? Sheila tak bisa membayangkannya.
Selesai membayar Nathan mengajak Sheila makan siang.
"Aku lapar nih, kita makan siang yuk?"
"Kenapa nggak di rumah aja, sekarang kan baru jam setengah dua belas..
Setengah jam lagi kita nyampe rumah." elak Sheila.
"Tapi aku laper banget. Lagi pula di rumah nggak ada Mama, pasti nggak
ada makanan.
Makan mi instan kan bisa? Oh pasti nggak bisa masaknya, takut kena air
panas. Beli makanan terus dimakan di rumah? Kayaknya nggak level deh.
Sheila mencibir, begini nasibnya mengantarkan Nathan. Padahal jam satu
nanti Sheila harus mengajar Piano.
"Ya sudah. Makan apa?"
Nathan tersenyum. "Aku tahu tempat yang enak." Nathan membawanya ke
restoran jepang yang letaknya tak jauh dari mal tersebut. Restoran itu
cukup unik. Pengunjung bisa memilih mau pakai meja biasa atau sebuah
ruangan tertutup yang menjaga privasi. Nathan memilih yang kedua.
"Kamu mau pesan apa, Sheila?" tanya Nathan saat pelayan datang untuk
mencatat pesanan.
"Terserah. Kan kau yang lapar."Sahut Sheila.
Nathan memutuskan untuk memesan yukiniku dan shabu-shabu. Disitu tak ada
bangku untuk duduk. Mereka dusuk di lantai yang dilapisi tikar bambu.
Di hadapan mereka ada beja pendek. Nathan yang duduk di samping sheila
berkata." Rasanya enak pergi sama kamu, Sheila. Kamu sama sekali nggak
bawel seperti Renny."
"Aku juga bawel kok." Sahut Sheila sambil mengamati kalender jepang di
hadapannya. Ia sebenarnya tidak lapar. Ia merasa terpaksa makan dengan
Nathan. Dan posisi duduk mereka terlalu rapat. Sheila mau bergeser, tapi
nggak enak, takut Nathan tersinggung. Tapi, kalau didiamkan saja ia
merasa tidak nyaman.
"Kalau Renny ikut pasti minta dibelikan macam-macam."
"Wajar dong, Nath. Dia kan pacar kamu...."
"Kata siapa kita pacaran?"
Sheila menoleh terkejut, "Lho, kalian berdua pacaran kan? Kalian
kemana-mana berdua, sering pergi sama-sama..."
"Itu bukan berarti pacaran, Sheila. Aku memang sering mebghabiskan waktu
berdua dengannya, tapi itu karena dia mengejar-ngejarku terus."
Sheila bengong, sepertinya hubungan mereka tidak begitu. Apa maksud
Nathan bilang begitu padanya?
"Kalau kau tak suka pada Renny, kenapa kau tanggapi?" kata Sheila dengan
mimik tak setuju. Ia tak suka pria yang menjelek-jelekan pasangannya di
hadapan wanita lain, walaupun pria itu tidak benar-benar mencintai
pasangannya.
"Sebenarnya...... Aku menerima dia karena... Karena aku menyukaimu,
Sheila."
Sheila langsung bangkit berdiri dan menjauh, "APA...??!!!"
"Benar Sheila, aku jatuh cinta padamu sejak enam bulan lalu kita
bertemu, saat kau pergi ke kampus Renny."
Sheila ingat, enam bulan lalu Sheila memang ikut Renny ke kampusnya,
karena di kapusnya sedang ada bazar dan Renny meminta Sheila membantunya
menjaga stannya. Ia ingat bertemu Nathan saat itu. Tapi kalau memang
Nathan menyukainya, mengapa pria itu berhubungan dengan Renny? Bukankah
itu akan menyakiti hati Renny kalau sampai ia tahu?
"Jadi kau cuma mempermainkan Renny?" tanya Sheila marah. Bagaimanapun
Renny anak oom Haryanto, dan adik dari Reza. Sheila telah menganggapnya
seperti saudara sendiri, walau kadang-kadang gadis itu menyebalkan.
"Aku cuma ingin lebih sering bertemu denganmu."
"Kalau kau memang benar menyukaiku, kenapa mesti dengan cara seperti
ini!"
"Jangan khawatir Sheila, aku akan mengatakan hal ini secepatnya pada
Renny."
"Bukan itu maksudku. Aku sama sekali tidak tertarik padamu, Nathan. Aku
cuma kasihan pada Renny!" seru Sheila.
Nathan terdiam.
"Kau benar-benar sombong, Sheila." Desisnya kemudian, "Kau pikir akan
ada yang sudi menikahimu setelah tahu latar belakangmu? Mereka pasti
akan takut menikah denganmu, siapa tahu kau punya kecenderungan membunuh
pasanganmu sendiri...."
Mata Sheila terbelalak. Dari mana Nathan tahu latar belakangnya? melihat
ekspresi Sheila, Nathan makin berani, ia menyeringai.
"Tapi aku bersedia memberimu kesempatan, Sheila. Kurang apa aku sebagai
laki-laki? Wajahku sama sekali tidak buruk. aku dari keluarga baik-baik
dan sukses. Kau mungkin tak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi
seumur hidupmu." langkahnya mendekati Sheila dan gadis itu berjalan
mundur.
"Andaikan kau bukan pacar Renny , aku tetap tak mau menjadi kekasihmu.
Apalagi sekarang aku tak mau menyakiti hati Renny."
"Puihh, jangan sok baik, Sheila. Apa kau tahu Renny sangat membencimu?
Dan sekarang karena kau terlalu sombong dan menolakku, bertambah lagi
satu orang yang membencimu, kecuali..."
Nathan memeluk tubuh sheila dan menciuminya dengan paksa. Gadis itu
meronta dan berusaha melepaskan diri. Tepat pada saat itu pintu dibuka
dan pelayan masuk dengan membawa dua nampan besar berisi makanan. Sheila
berlari keluar dan menabrak pelayan itu hingga makanan yang dibawanya
berceceran dilantai.
"Sheila...!!!!" panggil Nathan. Tapi gadis itu berlari
sekencang-kencangnya keluar restoran. Sheila langsung mencegat taksi
yang lewat dan langsung masuk. Taksi itupun meluncur meninggalkan
restoran itu.
Di dalam taksi Sheila menangis. Bukan hanya perbuatan Nathan yang
membuatnya sakit hati. Kata-kata pemuda itupun masih terasa menoeeh
jiwanya.
"Kau pikir akan ada yang mau menikahimu jika tahu latar belakangmu?"
Sheila baru sadar kalau kata-kata Nathan ada benarnya. Tidak ada satu
orangtuapun yang akan mengizinkan putranya menikahi anak seorang
pembunuh yang membunuh istrinya sendiri. Kalau begitu, pantaskah Sheila
menyia-nyiakan uluran kasih Reza yang menerimanya tanpa melihat latar
belakangnya? Ratna memang terkesan tak setuju berhubungan dengan Sheila,
tapi tak pernah melarang secara langsung. Kelihatannya ia mulai
menerima diri Sheila.
Sheila memandang cincin emas di jari kirinya. Lalu apakah ini sebuah
pertanda bahwa aku harus menerima Reza? Tanya hati Sheila.
BAB 17
SHEILA turun dari taksi. Ia sudah menelepon murid lesnya lewat handphone
bahwa ia hari ini tidak datang. Ia masuk ke rumah dan menuju kamar
Haryanto. Di sana dilihatnya Haryanto terbaring sambil menatap
langit-langit. Haryanto tidak tidur.
"Aku ingin bicara dengan Oom..." kata Sheila perlahan. Digenggamnya
tangan Haryanto. Tubuh pria itu semakin kurus. Selain karena sakitnya,
ia juga menjalani diet khusus dari dokter.
Sheila menatap mata Oomnya. Haryanto balas menatapnya, tapi Sheila tidak
tahu bahwa Oomnya bisa mengerti perkataannya atau tidak. Kata dokter,
sebagian jaringan otak Haryanto tak berfungsi, yang berarti banyak
sekali memori otak yang hilang. Apakah ia masih mengingat Sheila? Sheila
menganggap Oomnya masih mengenalnya, karena ia tak sanggup menganggap
Oomnya hanya jasad bernyawa yang tak berjiwa.
"Oom, apa yang harus kulakukan?" tanya Sheila. Air matanya mulai
membasahi wajahnya. "Reza mencintaiku, tapi aku cuma menganggapnya
kakak. Apakah aku mesti menerima cinta Reza?"
Bola mata Haryanto bergerak-gerak, Sheila tahu Oomnya mendengarkannya.
"Oom, apakah Oom ingin aku menikah dengan Reza?"
Perlahan-lahan Haryanto mengangguk.
Sheila menghela napas panjang. "Baiklah Oom, aku ingin sekali hidupku
berarti untuk orang lain. Bila itu akan membahagiakan Reza dan Oom, apa
salahnya aku menerima cinta seorang pria yang begitu tulus?"
Sheila melepaskan tangan Oomnya. Ia perlahan-lahan bangkit dan
meninggalkan kamar itu. Ia tidak tahu, sepeninggal dirinya, sebutir air
mata jatuh dari mata Haryanto.
Ketika Sheila keluar dari kamar Haryanto, dilihatnya Marni yang sedang
mempersilakan dua orang berseragam polisi untuk masuk ke ruang tamu.
Kejengkelan Sheila bangkit lagi. Ia sudah berkali-kali mengingatkan
Marni agar tak sembarang memasukan orang ke dalam rumah. Padahal Sheila
sedang di ramah, tapi Marni seenaknya membuka pintu. Bagaimana kalau
tidak ada orang?
"Ehm..... Anda berdua mencari siapa, ya?" tanya Sheila.
Kedua polisi itu mengulurkan tangan. "Kami berdua dari LP tempat Pak
Charles di tahan. Apakah Mbak yang bernama Sheila?"
Sheila mengangguk. Jantungnya berdegub cepat mendengar nama ayahnya
disebut. Apa yang terjadi? Apakah terjadi seauatu dengan ayahnya?
"Ada apa, Pak?"
"Begini, Mbak Sheila. Pak Charles termasuk narapidana yang berkelakuan
baik dan aktif dalam berbagai kegiatan di LP. Kami sangat menghormati
beliau. Pak Charles sekarang sedang sakit parah. Ia ingin bertemu anda.
Apakah sudah lama keluarga Pak Charles tak menjenguknya, kami merelakan
diri kemari untuk memberitahukan, supaya jangan ada penyesalan di
kemudian hari."
Sheila tersentak, papa sakit parah?
"Ayah saya.... Sakit apa.... Pak?"
"TBC."
Sheila tersentak. Walaupun masih ada rasa marah pada ayahnya, tak urung
Sheila sedih juga mendengar berita itu.
"Apakah..... Papa saya sudah mendekati ajalnya?"
"Tubuhnya sudah sangat lemah, Mbak. Saya sarankan agar Mbak
menjenguknya. Siapa tahu dengan kedatangan anda, penyakitnya akan
sembuh."
Sheila menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi saya tidak mau bertemu
dengannya lagi."
Kedua polisi itu berpandangan, "Mbak, saya tahu kenapa Anda seperti ini.
Pak Charles telah membunuh Ibu Anda. Tapi, apa Mbak tidak mau
menanyakan alasan mengapa ia melakukan itu?"
"Ya, kabarnya Mbak belum pernah menjenguknya."
Kedua polisi itu salah. Sheila pernah menjenguk Charles sekali, tapi
memeng mereka tidak pernah terlibat pembicaraan apa-apa.
Sheila bangkit berdiri, "Saya tidak mau bertemu dengannya!" kedua polisi
itu pun tak membujuknya lagi. Setelah pamit, merekapun pergi.
Charles menatap bungkusan yang dibawa Letnan Syarif. Buru-buru ia
membukanya, dan mengeluarkan sebungkus nasi padang lenkap dengan rendang
dan sambal cabai hijau kesukaannya.
"Ini benar dari dia?" tanyanya. Ia sedang berbaring di ranjang rawat di
unit kesehatan rutan. Tubuhnya sudah mulai membaik, tapi ia masih harus
beristirahat di situ sampai pulih, baru ia diperbolehkan kembali ke
selnya.
Letnan Syarif mengangguk. "Ya. Dia bilang dia tak bisa datang karena ada
urusan. Tapi ia menyempatkan diri membeli ini. Katanya ini kesukaan Pak
Charles."
Mata Charles berkaca-kaca. "Ya benar. Ia masih ingat kesukaan saya, ia
masih ingat!" katanya pada polisi muda itu.
"Bararti ia masih perhatian pada Anda, itu bagus kan?"
Charles menangis tersedu-sedu, tapi bibirnya membentuk senyum. Ia
menangis sambil tertawa, "Ia masih ingat pada saya!"
Sheila yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup rapat tak dapat
menahan rasa harunya. Ia memang akhirnya datang ke LP dengan membawa
nasi padang itu, tapi ia tak mau bertemu. Ia cuma minta izin pada Letnan
Syarif. Kini sudah cukup, ia sudah melihat ayahnya baik-baik saja.
Sheilapun pulang dengan air mata berderai.
Tiga hari lagi pasangan Harry Prakoso dan Varenia akan menikah. Hari ini
akan diadakan gladi resik prosesi pernikahan mereka di gereja. Sheila
yang di hari pernikahan nanti akan bermain piano, hari ini juga hadir di
acara gladi resik. Sebetulnya Sheila tak wajib datang. Tapi karena
Wenny yang bertanggung jawab penuh berhalangan hadir hari ini, maka
Sheila dan Reza yang menggantikannya.
Sheila mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Tempat yang bagus untuk menikah. Gereja ini klasik sekali."
"Betul...." jawab Reza.
Sheila menduga sejak tadi ada yang ingin dikatakan Reza, tapi pria itu
tampaknya ragu.
Terdengar pemberitahuan dari pembaca acara, bahwa sebentar lagi kedua
mempelai akan memasuki ruangan.
"Eh, nanti di hari pernikahan waktu mereka masuk aku main, kan?"
"Iya seperti biasa, eh... Itu pengantinnya datang!" kata Reza
memberitahu.
Sheila menoleh ke arah yang ditunjuk Reza. Ia melihat pengantin wanita
yang cantik sekali.
"Cantik ya, dia…" ujar Sheila. Matanya tertuju pada mempelai pria yang
berdiri disamping mempelai wanita. Pria itu sedang berbicara dengan
mempelai wanita yang berdiri di belakangnya. Dari belakang tubuh pria
utu tampak tegap berisi, seperti bintang iklan susu di televisi. Sheila
tiba-tiba teringat pada Bram. Tubuh Bram juga tegap seperti itu.....
"Sheila...."
Sheila menoleh dan menatap Reza.
"kenapa, Rez?" tanya Sheila.
Reza memandang Sheila dengan penuh kasih. "aku sudah menerima suratmu
tadi pagi."
Sheila tersipu. Ia memang tak bisa mengungkapkan perasaanya di hadapan
Reza, jadi ia menulis surat. Intinya, ia mau mencoba menjalin hubungan
dengan Reza, tapi ia meminta pria itu bersabar. Ia akan mencintai Reza
pelan-pelan.
"lalu menurutmu?" tanya Sheila.
Reza mendekat dan mencium pipi Sheila. Gadis itu kaget dan memegang
pipinya. "Reza, ini tempat umum,tau!"
Reza tersenyum, "Ini sebagai jawabannya. Tentu saja aku bersedia."
Sheila kembali menoleh untuk melihat wajah kedua mempelai. Wanita yang
bernama Varenia itu memang benar-benar cantik. Untuk acara gladi reaik
ini ia hanya memakai celana panjang dan bluse bernuansa pastel,
rambutnya dibiarkan terurai, tapi kecantikannya tetap menonjol. Wajahnya
tersenyum bahagia sambil menatap calon suaminya.
Sheila melihat sang pria. Tubuh tegap pria itu telah mencuri
perhatiannya sejak melihat pertama
kali, tapi ia tak pernah melihat bagaimana wajahnya. Kini pria itu
tengah menatap Varenia, lalu
menoleh ke arah Sheila sehingga gadis itu bisa melihatnya. Dan wajah
Sheila memucat. Tidak.....
Tidak.... Tidak mungkin.....
Bram ternganga.....
Ketika pendangan Bram bertemu dengan pandangan Sheila, gadis itu
menggeleng dengan ekspresi tak percaya. Bram? Sungguhkah Bram yang ada
di situ? Kenapa semua ini bisa terjadi pada dirinya?
Setelah kenangan lima tahun berkelebat di benaknya, seperti memutar
balik sebuah pita kaset....
Sheila dan Bram makan di restoran...
Sheila mempersembahkan lagu untuk Bram...
Bram mencium bibir Sheila.....
Sheila menjerit tertahan, lalu terkulai pingsan.
Perhatian semua orang yang hadir di gereja itu serentak beralih ke
Sheila.
Waktunya hanya beberapa detik sejak Bram melihat Sheila terkulai jatuh
sampai pria itu menghampiri Sheila. Kakinya yang memakai kaki palsu
terasa sakit saat ia memaksakan kaki itu bergerak secepat mungkin. Tubuh
Sheila yang ditahan oleh Reza diambil alih oleh Bram. Dibopongnya gadis
itu, dan tertatih-tatih dilangkahkannya kakinya menuju ruangan di
samping gereja itu.
Saat melihat wajah sang mempelai pria, Reza wajah itu terkesan familiar.
Tapi ia sama sekali tak menduga itu Bram. Kini, saat sudah mengingatnya
dengan jelas, Reza masih mencerna kenapa luka di pipi kiri Bram sudah
tak ada lagi dan dia sudah tidak pincang, tidak memakai tongkat,
melainkan bisa berjalan seperti biasanya. Hatinya mendadak gelisah dan
geram, kenapa Bram muncul lagi di saat seperti ini? Di saat Sheila baru
saja menerimanya?
Vania shock. Salah satu pegawai WO yang disewanya tiba-tiba pingsan.
Tapi yang lebih mengherankan lagi, Bram langsung lari dan membopongnya.
Ada apa ini? Kenapa bisa jadi begini? Siapa gadis itu? Apa Bram
mengenalnya? Ia sama sekali tak suka ini.
"Ada apa sih Van, kenapa Bram pergi?" tanya Anastasia, kakak Vania ,
yang datang mendekat. "Mestinya Bram tak usah membopong wanita itu, kan
ada temannya yang bisa membantu." ujarnya dengan wajah tak senang.
Ibunda Bram juga datang. Anastasia langsung bertanya, "Apa Bram kenal
dengan gadis itu?"
Emma menjawab dengan wajah pucat, "Ti....tidak, kok Jeng. Sepertinya sih
tidak." tapi ia sendiri juga ragu. Apa benar gadis itu Sheila? Gadis
yang bekerja di rumah anaknya lima tahun lalu? Kalau ia bisa repot
semuanya.
Reza segera mendekati mereka, "Maafkan kami atas interupsi ini, Bu..."
Anastasia merengut dan menyela, "Kamu panggilkan mempelai prianya, kita
lanjutkan gladi resik ini."
Reza tergagap, "Ba.... Baik bu."
Sheila merasa kepalanya pusing. Ia membuka mata dan melihat Bram di
hadapannya. Ia mengerjap-nerjapkan mata seolah takut ini hanya mimpi.
Tapi Bram masih tetap mentapnya dengan mimik khawatir.
"Bram, apa benar ini kau?" tanyanya. Ia berbaring di sofa di ruang
serbaguna, dan Bram duduk di sofa itu juga..
Bram berkata parau, "Benar, Sheila. Ini aku."
Sheila menyentuh pipi Bram, "Wajahmu…"
"Aku melakukan operasi."
Sheila melihat ke bawah, "Dan kakimu....." "Palsu, Sheila. Aku memakai
kaki palsu."
Tiba-tiba tangis Sheila meledak, "Kau kejam, Bram...!!! Kejam.....!!"
"Sheila..."
"Lima tahun ini kau kemana saja, Bram? Kenapa kau pergi begitu saja? Kau
sengaja tak mau bertemu denganku lagi?"
"Sheila, Aku......"
"Aku selalu menunggumu, aku selalu mencarimu. Tapi kau lenyap seolah
tertelan bumi. Tidakkah kau tahu aku begitu menderita?"
Bram terdiam. Ia sadar ia memang salah, karena Bram tahu dimana Sheila
tinggal dan diam-diam ia pernah melihat gadis itu. Tiga tahun lalu Bram
sembunyi di mobilnya dan ia melihat Sheila pulang sendirian. Ia melihat
Sheila baik-baik saja. Lalu sebulan kemudian, ketika ia melihat gadis
itu pulang bersama Reza naik motor, wajah mereka begitu bahagia sambil
bercengkrama. Diam-diam Bram meninggalkan tempat itu dan tak pernah
datang lagi. Saat itu ia mengubur
Sheila dalam ingatannya, berusaha melupakan gadis itu. Sheila sudah
melanjutkan hidupnya, pikirnya waktu itu. Siapa sangka Sheila masih
mengingatnya selama lima tahun ini, dan mereka bertemu saat gladi resik
pernikahan?
Tiba-tiba Bram teringat, ia meninggalkan Vania di dalam.
"Bram...." terdengar suara dari arah pintu.
Mendengar panggilan itu Bram menoleh, dan melihat Vania berdiri
dibelakangnya dengan wajah terluka. Tampaknya Vania sudah lama berdiri
di situ dan mendengar percakapan mereka.
Bram kembali berpaling pada Sheila. "Tunggulah di sini. Selasai acara
aku mau bicara dengamu." katanya, Lalu menggandeng tangan Vania keluar
dari ruangan itu.
Satu jam kemudian, Sheila sudah berada di dalam mobil Bram. Acara gladi
resik itu sedah selesai. Bram pulang sebelum gladi resik itu berakhir.
Tadinya Sheila sempat menolak, apalagi ia juga tak enak hati pada Reza.
Kebetulah Reza juga cuma membawa motor, dan Bram bersikeras ingin
mengantar Sheila karena kondisi gadis itu masih lemah dan terguncang.
Sheila tak lagi sempat melihat Vania. Tapi ia yakin wanita cantik itu
pasti marah padanya.
Hati kecilnya menyahut nakal, biarlah, toh wanita itu akan memiliki Bram
seumur hidupnya, dan Sheila mungkin hanya punya satu kesempatan ini. Ya
benar, Bram akan menikah sebentar lagi. Dan Sheila kembali merasa
sedih. Rasanya seperti mau mati saja.
Di mobil mereka berbicara tentang keadaan mereka selama lima tahun ini.
"Aku mencarimu, Bram. Aku bertanya pada Bu Susan, katanya kau sekeluarga
pindah ke Jerman."
"Ya. Aku melakukan operasi di sana."
"Aku juga Ke Ciloto, rumahmu. Mungkin sekarang rumahmu sudah rata dan
diganti dengan gedung asrama baru."
"Rumah Cilito masih ada."
"APA?!"
"Rumah itu tidak dirobohkan. Memang bebar ada gedung baru asrama, tapi
itu dibangun di atas tanah kosong diantara gedung lama dan rumahku. Jadi
sekarang rumah itu tertutup gedung asrama, tidak kelihatan."
Mata Sheila terbelalak. "Jadi, masih ada Kakek Eman di sana?"
Bram mengangguk, "Ya, masih ada. Ia tak jadi pulang ke Garut. Ia minta
izin tinggal di sana."
"lalu kau...?"
"Aku sudah tak tinggal di sana lagi sejak lima tahun lalu, aku tinggal
di Jakarta."
Sheila terdiam, berarti Bram sudah meninggalkan tempat itu juga, tapi
tempat itu. ....masih ada.
Bram melirik jari tangan Sheila, " Cincin di jarimu itu.... Cincin
tunangan?" tanyanya.
Reflaks Sheila menyembunyikan tangan kirinya. Tapi ia kemudian sadar
telah bertindak bodoh. Lagipula, sebenarnya antara Bram dan dirinya tak
terjalin hubungan apapun. Mulai sekarang ia harus melupakan pria itu.
Bram akan menjadi suami orang. Tiga hari lagi.
"Cincin ini dari Reza, tapi bukan cincin tunangan. Mungkin sebagai tanda
bahwa ia mengharapkan kami bersama." katanya jujur.
"Aku tahu ia mencintaimu. Aku bisa melihat dengan jelas tadi." kata
Bram, mengenang pertemuannya dengan
Reza saat akan mengantarkan Sheila pulang..
"Dan...... kau akan segera menikah dengan Vania. dia.... Cantik."
"meskipun bukan itu pertimbangan utamaku untuk menikah dengannya. Tapi,
kau benar, ia cantik."
"Dimana kau bertemu dengannya?"
"Di Jerman, saat aku menjalani operasi kaki dan wajahku."
"Tapi itu bagus Bram, kau bisa berjalan seperti manusia normal....
Ehm.... Maksudku tak ada yang tahu itu kaki palsu, kan? Bahkan kau bisa
menyetir mobil."
"Ini mobil otomatis. Mudah kok menyetirnya. Dan aku bisa mengendarai
kemanapun. Walaupun mesti pelan-pelan."
"Bagus sekali kalau begitu. Aku turut senang. Dan wajahmu.... Sekarang
kau tampak....
Ganteng."
Bram tertawa, " Terimakasih. Sejujurnya aku juga merasa begitu."
"Huh, Ge-er."
Mereka berdua tertawa, seolah tak pernah berpisah selama lima tahun ini.
Sheila termenung, tapi keadaan sudah jauh berbeda sekarang. Kini mereka
berdua tak lagi bisa bersatu, sudah ada orang lain di sisi mereka, yang
sudah tak bisa mereka abaikan begitu saja.
"Pamanmu ada di rumah ?" tanya Bram.
"Bram apa kau tahu Oom terserang stroke dan lumpuh?"
"Apa?"
Sheila pun menceritaka apa yang terjadi. Semua, termasuk tentang
keputusannya untuk tinggal di rumah itu dan merawat Haryanto. Ia juga
menceritakan bahwa ia juga mendapatkan penghasilan tambahan dari
memberikan les piano.
"Jadi cita-citamu untuk menjadi pianis telah tercapai. Kuucapkan
selamat, ya." kata Bram.
"Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih banyak, Bram. Tanpa kau
aku tak bisa mencapai semua ini"
Bram melirik Sheila lewat sudut matanya. Gadis itu sudah dewasa
sekarang. Wajahnya tak jauh berubah, tapi sikapnya jelas tak lagi
kekanak-kanakan sepeti dulu. Sheila menoleh, dan melihat Bram
memandangnya. Ia tersipu.
"Kapan-kapan aku ingin pergi ke Ciloto untuk menemui Kakek Eman. Kau tak
usah menemaniku, Bram. Nanti calon istrimu marah."
Mobil sudah berhenti di depan rumah Haryanto. Sheila turun. "Kau mau
menjenguk Oom , Bram?"
"Lain kali saja Sheila, aku mesti kembali, Vania pasti menungguku."
Sheila mengangguk maklum. Mobil Bram meluncur dalam kegelapam malam,
meninggalkan Sheila sendirian. Gadis itu teringat kejadian lima tahun
silam, saat ia mengejar mobil yang ditumpangi Bram dan terjatuh.
Perasaannya saat itu dan sekarang masih sama. Ia mencintai pria itu.
Kali ini, ia tak lagi mengejar Bram. Percuma, semuanya sudah terlambat
sekarang.
BAB 18
MATAHARI menyorotkan sinarnya dari jendela, membuat ruang makan jadi
hangat. Sheila menyapa Haryanto yang duduk di kursi roda dan sedang
disuapi bubur oleh Marni. Semalam Sheila baru bisa tidur pukul dua.
Semua gara-gara pertemuannya dengan Bram.
"Pagi Oom, nyenyak tidurnya?"
Haryanto mengangguk. Sheila tersenyum. Tak lama kemudian meja makan
sudah penuh terisi. Ratna, Renny, dan Reza bergabung. Sheila jadi ingat
masa lalu, bedanya sekarang Haryanto duduk di kursi roda.
"Pagi Tante…" sapa Sheila pada Ratna.
"Emmmm...." gumam Tantenya, masih tampak mengantuk dengan bekas make up
semalam yang masih tersisa. Waktu Sheila pulang pukul sembilan tadi
malam, tantenya belum pulang. Entah pulang jam berapa. Belakangan ini
tantenya selalu begitu.
Ratna mengambil selembar roti dan sebotol selai. Ia memang selalu
menyempatkan diri untuk sarapan walau tetap menjaga berat badannya. Ia
pernah mengatakan bahwa sarapan jauh lebih bermanfaat dari pada makan
malam.
Ratna menguap dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia sama sekali tak
melihat pada Haryanto yang sedang disuapi. Sheila tak pernah ingin
menghakimi tantenya. Ia sadar Ratna pasti merasa terpukul karena kondisi
suaminya. Tapi mestinya Tantenya itu tak harus mengabaikan Haryanto
pada saat suaminya ada di dekatnya. Apa salahnya sebuah sapaan tanda
perhatian, walau tak benar-benar memperhatikan?
"Tante, sekarang Oom makannya sudah tak susah lagi seperti dulu.
Sekarang setiap kali makan selalu habis." kata Sheila.
Ratna memandang Sheila, karena matanya besar dan tajam, maka terkesan
melotot, tapi wanita itu cuma berkata, "Kau tak perlu melaporkan seperti
itu, Sheila. Aku bisa bertanya pada Marni."
Reza yang dari tadi diam saja, membela Sheila, "Maksud Sheila, Mama
perhatian sedikit lah pada papa, tanya-tanya kondisi lah, apalah......"
Kini Ratna marah, "Hai, Rez. Jangan mentang-mentang kamu bisa cari duit
sendiri jadi bebas tingkah laku Mama, ya? Mama nggak butuh dinasehati.
Lagipula, kalau Mama tanya, apa Papamu bisa menjawab?"
Rasa nyeri tiba-tiba menyerang dada Ratna. Rasa nyeri yang kerap muncul
belakangan ini. Ratna mendekap dadanya dengan tangan. Biasanya kalau
sudah ditekan, rasa nyeri akan hilang. Ini pasti gara-gara Reza. Bikin
emosi orang saja.
Reza tahu gelagat. Ia diam saja. Meja makan itupun sunyi, sekarang semua
orang makan perlahan-lahan.
Sheila memegang roti dengan dua tangan, lalu menggigitnya. Reza yang
duduk di sampingnya memperhatikan jari manis gadis itu. Tidak ada cincin
di sana.
"Sheila, cincinmu mana?" tanyanya.
Sheila melihat jarinya, dan betapa kagetnya ia menyadari bahwa cincinnya
tak ada. "Oh...!!!
Kemana ya, aku juga tidak tahu. Coba kucari sebentar, mungkin
ketinggalan di kamar."
Ia pergi ke kamar sambil mengingat-ingat. Semalam saat ia tak bisa tidur
karena memikirkan Bram, Sheila memain-mainkan cincin iu dan
melepaskannya. Mungkin saat itu cincinnya terjatuh du tempat, ia
mengangkat bantal dan menemukan cincinnya di sana.
Sementara di ruang makan. Ratna bertanya pada Reza, "Cincin apa, Rez?"
"Ehm.... Cincin yang aku kasih ke dia."
Ratna mendengus, "Kalau cincin itu punya arti yang penting buat dia, tak
mungkin dia lepas, kan?"
Reza berkata memelas, "Sudahlah, Ma...." Reza tau mamanya tak suka
mereka berhubungan, walaupun tak mengatakannya terang-terangan.
"Mama cuma pengin kasih nasehat, kamu sudah dewasa, tapi kamu belum tahu
banyak tentang wanita, Rez. Itulah kenapa Mama dari dulu selalu bilang
coba cari wanita lain, jangan cuma melihat Sheila saja."
"Ma...."
"Mama kasih tahu ya, Rez. Kalau kamu pacaran sama Sheila, Mama kasihan
sama kamu. Saat menikah nanti kamu akan selalu dirugikan karena takut
kehilangan dia. Kamu siap sakit hati?"
"Ma....!"
"Lupakan dia. Cari wanita lain mumpung kamu masih muda. Kalau menyesal
nanti, sudah terlambat."
Saat itu Sheila keluar dari kamarnya, dan duduk lagi di kursinya. Jari
manisnya sudah mengenakan cincin lagi.
Reza diam saja, tapi air mukanya tampak keruh.
Renny berkata takut-takut, "Ma.... Uang jajanku buat bulan depan, bisa
minta sekarang nggak....
Ma?"
"Mau beli apa?" tanya Ratna.
"Buku, ma."
"Mama pikir, kalau sudah skripsi sudah tak butuh buku lagi. ya sudah,
ambil sendiri di tas Mama."
Renny tak menghabiskan sarapannya. Ia bangkit berdiri dan permisi dari
situ, tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Haryanto. Sheila tidak
bingung melihatnya. Ratna sebagai Ibu sudah memberi contoh, salahkah
Renny bila mengikuti jejak ibunya?
Ratna bangkit berdiri. Ia berkata pada Marni, "Mar, kalau nanti ada
teman saya yang datang, kasih tahu saya di kamar, ya?"
"Baik, Nyah."Marnipun permisi untuk membawa Haryanto kembali ke
kamarnya.
"Sheila, hari ini kau mau kemana?" tanya Reza yang tinggal berdua di
meja makan itu dengan Sheila.
"Aku mau ke suatu tempat, kenapa?"
"Biar kuantar."
"Nggak usah. Biar aku pergi sendiri saja." jawab gadis itu.
Reza pun terdiam dengan kening berkerut.
Sheila turun dari bus dan memandang gedung asrama Mutiara Ibunda yang
berdiri megah tak jauh darinya. Sudah lama sekali ia tak kemari, dan
segala sesuatunya telah banyak berubah. Gedung asrama yang dulunya dicat
pitih kni dicat dengan warna yang lebih ceria. Tamannya masih ada, tapi
landskapnya sudah jauh berbeda. Lebih sesuai dengan trend masa kini.
Sambil berjalan di jalan setapak menuju rumah Bram, ia terkenang masa
lalunya. Walaupun sedah lama berlalu, semua kejadian itu serasa baru
kemarin terjadi. Betapa anehnya perasaan manusia ketika meraba waktu.
Sheila teringat saat pertama kali datang kemari dan diantarkan oleh
Ratna. Ia teringat tatapan tajam Bu Lia saat memandangnya dengan
antipati, akibat latar
belakangnya yang sudah dilaporkan Ratna. Ia teringat pertemuannya dengan
Wenny dan Tini. Ia teringat Indah, yang kepalanya dihantam dengan balok
kayu hingga pingsan. Ia teringat Pak Alex yang selalu baik padanya. Ia
teringat segalanya yang terjadi sebelum ia tinggal di rumah Bram dan
memulai hari-hari bahagianya.
Kini, semuanya sudah berlalu. Dan benar kata Bram. Saat sudah lewat,
segala hal akan menjadi kenangan pahit dan manis dalam kehidupan kita.
Setelah Bram mengatakan bahwa rumah Ciloto masih ada, Sheila tak dapat
menunggu lagi untuk menemui Eman. Selama ini Sheila mengira Orangtua itu
sudah pindah ke Garut.
Sheila sudah tiba di depan pekarangan rumah Bram yang teduh karena
tertutup gedung asrama baru yang tinggi. Ttenggorokannya tercekat. Rumah
itu masih sama seperti waktu ditinggalkannya lima tahun silam. Ia
melihat pagar bambu, pohon nangka yang ia pernah jatuh dari atasnya.
Lalu pekarangan belakang.
Apakah Boy masih hidup?
Tiba-tiba ada salakan anjing seolah menjawab apa yang ada di pikiran
Sheila.
Sheila menghambur masuk, "Boy..."
Boy menghampiri Sheila dan ekornya bergoyang-goyang. Awalnya anjing itu
ragu-ragu sejenak, tapi begitu tangan Sheila menyentuh kepalanya dan
mengelusnya, ekornya bergoyang-goyang makin cepat. Sheila tertawa
gembira dan memeluk anjing itu.
"Boy, kau masih ingat padaku?" benar kata orang bahwa anjing adalah
makhluk yang paling setia, pikir Sheila.
"Sheila...." terdengar suara seorang pria.
Sheila menoleh dan melihat Eman. Ia pun berlari ke arah pria tua itu dan
tanpa malu-malu memeluknya. "Kakek...!!"
Eman yang terkejut melihat Sheila langsung menaruh tampah berisi krupuk
kering yang dijemurnya, dan memeluk Sheila sambil menangis. "Ya Tuhan...
Aku masih diberi umur panjang untuk bisa bertemu denganmu lagi,
Sheila."
Sheila menangis, "Aku pikir Kakek sudah pulang ke Garut."
"Maafkan Kakek, Sheila. Kakek berbohong."
Sheila melepaskan pelukannya. "Berbohong, tidak Kek. Aku tak bilang
Kakek berbohong."
"Waktu itu Kakek memang bohong padamu. Kakek tak pulang ke Garut dan
rumah ini tak dirobohkan."
"Sheila mengerti, Kek. Itu bukan salah Kakek..."
"Soalnya waktu kau ke sini, aku bilang Tuan Bram tidak ada, padahal Tuan
Bram ada di dalam."
Sheila terpaku. Waktu itu.. Waktu terakhir kali aku kemari, pikirnya.
Eman menangis. "Maafkan aku, Sheila. Mungkin kalau kalian bertemu saat
itu, hidupku takkan sesepi ini dan aku tak dihantui rasa bersalah..."
Jadi Bram ada di dalam saat Sheila membaca surat yang mengatakan
seolah-olah Bram telah pergi dari situ? Sheila merasa sangat kecewa.
Bagaimana kejadiannya kalau saat itu mereka bertemu? Tentu lain
ceritanya. Mungkin Sheila akan membujuk Bram untuk menikahinya saja,
walau saat itu ia baru tujuh belas tahun. Mungkin kini mereka telah
menikah. Tapi bagaimanapun, Sheila tak bisa menyalakahkan Eman.
"Sudahlah, Kek. Aku tahu Kakek pasti disuruh Bram."
Eman tersenyum, "kau tak menyalahkan aku?"
"Tidak, Kek. Banyak di dunia ini yang terjadi diluar kendali kita . Ini
semua sudah takdir."
Eman mengajak Sheila masuk ke rumah. Keadaan di dalam rumah itu tidak
berubah. Setiap benda tepat berada di tempat yang sama. Mungkin karena
Eman yang sudah tak sanggup memindahkan letak perabotan, mungkin pula
karena ia ingin mempertahankan rumah ini seperti sedia kala.
"Kamarmu masih ada, Sheila. apa kau mau beristirahat di sana?" tanya
Eman.
Sheila terlihat gembira, "kamarku masih ada?"
"semua perabotan masih lengkap, Sheila. Beberapa barangmu yang dulu tak
dikirimkan ke Jakarta juga masih ada di sana." Sheila ingat sehari
setelah ia pulang ke rumah Haryanto, seseorang mengantarkan paket berisi
pakaian dan barang-barang pribadinya. Berarti Eman yang mengirimkannya.
"jadi aku boleh menginap di sini?"
Emanpun mengangguk.
Mira menatap ke luar jendela apartemennya yang menghadap Kwong Ming
Street di Hongkong. Seperti Jakarta, Hongkong adalah kota yang tak
pernah tidur. Setelah enam setengah tahun di sini, telinga Mira sudah
terbiasa mendengar seruan-seruan melengking dalam dalam bahasa kanton.
Dulu Mira cuma bisa bahasa Mandarin, itupun sepatah patah. Tapi karena
teman hidupnya yang sekarang sangat memperhatikannya, Mira pun ikut les
privat mempelajari bahasa Kanton. Ingatan Mira melayang ke tujuh tahun
lalu di Jakarta, saat temannya, Fang Fang menawarinya ide gila.
"Kenapa kau masih betah jadi istri Charles kalau kau sudah tak cinta,
Mir?" tanya Fang Fang saat itu.
"Habis mau ginama lagi? Dengannya kan aku sudah punya anak, walaupun dia
kasar dan penghasilannya tidak tetap, dia suamiku." kata Mira.
"Umurmu berapa, sih?"
"Tahun ini tiga puluh dua, kenapa?"
"Kalau dilihat dari usia hidup orang Indonesia yang rata-rata 65 tahun,
kau baru mencapai setengah, Mir. Apa kau sanggup melewati separuhnya
lagi?" tanya Fang Fang. Setiap kali habis bertengkar san dipukuli, Mira
selalu curhat padanya. Fang fang cuma kasihan. Mira wanita yang cantik
dan cukup terpelajar, walaupun terpaksa kawin muda dan tak lulus SMA.
Tapi perilaku suaminya yang kasar, penjudi, pemabuk harus ditelannya
setiap hari.
Mira termenung. Kalau dipikir, ia memang tak sanggup . Ia menikah dengan
Charles karena hamil diluar nikah. Waktu itu usia Charles 26 tahun dan
punya pekerjaan tetap. Jadi walaupun Mira baru berusia 17 tahun, mereka
akhirnya menikah.
Ternyata berumah tangga tak semudah apa yang dipirkannya. Sejak Charles
kehilangan pekerjaannya karena di PHK, rumah tangga mereka berubah jadi
neraka.
"Yah.... Mau gimana lagi, Fang." keluhnya. Fang Fang adalah teman
SMAnya, waktu itu ia mengelola panti pijat. Berkali-kali Mira berpikir
untuk jadi pemijat di sana, gajinya lumayan tinggi dan tips yang didapat
bisa dua kali lipat dari gaji orang kantoran. Tapi pasti Charles tidak
setuju.
Tiba-tiba Fang Fang berkata, "Bagaimana kalau kau cerai saja dari
Charles, Mir? Kebetulah ada orang Hongkong, langganan pijatku yang
mencari istri. Ia sering datang ke Jakarta, untuk urusan bisnis. Dia
kaya banget, Lho..."
Saat itu Mira cuma bilang," Gila kamu! Sheila mau dikemanakan?"
Tapi enam bulan kemudian, saat rumah tangga Mira hampir guncang karena
perlakuan Charles, Fang Fang mempertemukan Mira dengan langganannya itu.
Graham Lee namanya. Pria Hongkong itu berusia 33 tahun,tampan, kaya,
terpelajar, dan tampaknya sangat baik. Mira langsung tertarik pada
Graham Lee.
Fang Fang bilang, Mira hanya perlu ikut Graham ke Hongkong, bila Mira
sudah resmi cerai dengan Charles, ia akan dinikahi secara sah dan
surat-suratnya diurus oleh Graham. Sheila akan diberikan tunjangan
sebesar 10.000 dolar Hongkong per tahun oleh Graham secara teratur
dengan syarat Mira tak menjumpai anaknya lagi.
Saat itu Mira cuma lihat satu hal, Graham adalah jalan keluar dari
masalahnnya. Ia tak sanggup hidup dengan Charles, walau cuma sati hari
lagi. Perasaan cintanya sudah menguap entah kapan dan hatinya sudah
membeku. Cuma satu yang jadi beban pikirannya, yaitu Sheila. Tapi Sheila
akan dapat tunjangan itu. Dia berpikir bila Sheila mendapatkan
tunjangan itu, tentulah Charles bisa hidup enak. Sejujurnya Mira tak
benar-benar membenci Charles, walau bagaimanapun pria itu sudah lima
belas tahun lebih menjadi suaminya. Tapi saat harus meninggalkan Sheila,
ia sangat sedih. Ia cuma punya satu anak, dan Sheila adalah seluruh
hidupnya.
Fang Fang terus membujuk Mira. Fang Fang berjanji akan ikut menjaga
Sheila dan akan memperhatikannya. Mira sangat percaya pada Fang Fang,
karena wanita itu adalah sahabatnya paling dekat, sudah seperti saudara.
Akhirnya, saat suatu hari Charles memukuli Mira hingga babak belur cuma
gara-gara Mira enggan melayani Charles. Mira memutuskan kabur dari
rumah. Ia tahu, kalau ia bilang minta cerai, bisa dibunuh ia oleh
Charles. Ia berencana menjenguk Sheila sesegera mungkin setelah
urusannya beres. Kalau perlu dibujuknya suaminya itu untuk mengajak
Sheila tinggal bersamanya. Tekad Mira sudah bulat, ia akan ikut Graham
Lee ke Hongkong.
Pertama-tama Graham sangat baik. Ia benar-benar tak peduli dengan masa
lalu Mira di Jakarta. Ia menempatkan Mira di apartemen. Memenuhi semua
kebutuhan wanita itu. Mira bersyukur ia tak perlu hidup seatap dengan
keluarga Graham. Tapi setelah beberapa hari tinggal di sana, barulah
Mira tahu bahwa Graham sudah beristri, dari istrinya itu Graham tak
memeroleh anak.
Setelah setahun tinggal di apartemen Graham, Mira menagih janji Graham
yang akan memeberikan tunjangan pada Sheila. Rasa rindunya pada Sheila
tak tertahankan lagi. Mira pernah menelpon Fang Fang dan wanita itu
berkata, sebaiknya ia melupakan Sheila, karena gadis itu sudah hidup
bahagia dan sudah melupakan Mira yang pernah meninggalkannya. Kepergian
Mira sama sekali tak menghasilkan dampak apa-apa. Mirapun tenang.
Namun menginjak tahun kedua, Graham semakin jarang menemuinya, tadinya
Mira mengira Graham ke rumah istrinya, tapi lama-lama Mira mengetahui
bahwa Graham punya wanita lain lagi. Graham sudah membeli satu apartemen
di bawah apartemen Mira untuk tempat tinggal simpanannya itu. Mira
kecewa dan kesepian, ia jadi semakin rindu pada Sheila. Setiap malam ia
hanya bisa menangis sambil memandangi foto Sheila.
Tapi, bagaimanapun Graham masih memperhatika Mira, ia masih mengunjungi
Mira sedikitnya dua kali dalam seminggu.
Suatu hari, tepat di tahun keempat kedatanganny ke Hongkong, Mira
berkata pada Graham bahwa ia hendak ke Jakarta untuk menjenguk Sheila.
Ia berharap Graham mau membiayai perjalanannya. Mira mendapati kenyataan
pahit, Graham menolak mentah-mentah. Ia berkata walaupun mereka tidak
menikah tapi pria itu sudah menganggap Mira sebagai istinya, dan Mira
harus melupakan masa lalunya di Indonesia. Ketika Mira bertanya apakah
ia memberikan tunjangan pada Sheila, melalui Fang Fang. Graham menjawab
bahwa ia memnag memberika sejumlah uang pada Fang Fang untuk mendapatkan
Mira, tapi ia tak pernah berjanji akan memberikan tunjangan untuk anak
Mira.
Mira kaget. Ternyata Fang Fang menipunya. Ketika Mura berusaha
menghubunginya dan menuntut pertanggung jawaban, Fang Fang langsung
mematikan teleponnya dan sejak itu Mira tak bisa menghubunginya. Mira
terguncang. Berarti Sheila terlantar sejak ia meninggalkannya empat
tahun lalu. Dan ia putus hubungan dengan anaknya itu. Mira tidak tahu
bagaimana nasib Sheila sekarang.
Anehnya, sejak Mira berkata ingin pulang ke Indonesia, Graham semakin
sering datang mengunjunginya. Tampaknya ia takut Mira akan kabur. Segala
keperluannya sipenuhi oleh pria itu. Mirapun tak boleh kemana-mana
sendirian, hanya boleh kalau ditemani pembantu dan sopir. Mira sadar ia
terkurung dan terpenjara, walaupun tak ada terali besi di depan
pintunya.
Mira semakin nelangsa. Ia terus memikirkan Sheila. Ia mesti menemui
anaknya itu dan menceritakan segalanya. Ia mesti pulang ke Jakarta
secepatnya. Ia mulai menyiaihkan uang bulanan pemberian Graham.
Perlahan-lahan ia mulai menabung untuk ongkos pulang ke Indonesia.
Sheila mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak bosan-bosannya ia
melihat suasana rumah ini. Pandangannya tertuju pada piano putih milik
Bram. Ia menghampirinya perlahan-lahan. Segala kenangan masa lalunya
berkelebat dan menggumpal di dadanya.
Dentingan piano inilah yang pertama kali menggugah keinginannya untuk
tinggal di rumah ini. Lewat suara ini lah ia merasa begitu akrab dengan
penghuni rumah ini, yaitu Bram. Piano ini begiu mirip dengan miniatur
piano miliknya, yang membuatnya bisa mengingat dengan jelas wajah
ibunya.
Sheila duduk dihadapan piano itu. Selama lima tahun ini ia tak pernah
memainkan lagu Fur Elise lagi. tapi sekarang keinginan untuk memainkan
lagu itu begitu kuat dalam dirinya. Perlahan-lahan jarinya mulai menari
di atas tuts piano, ingin tahu apakah kali ini nada gembira atau sedih
yang keluar.
Lagu itu mulai mengalun lembut lewat jemarinya. Kali ini bukan nada
sedih yang keluar, gembira juga tidak. Sheila sadar mungkin kini ia
telah merelakan Bram. Pria itu akan menikah dan Sheila sadar ia tak bisa
bersatu dengannya. Hati Sheila sudah tenang. Amat tenang.
Saat jemarinya berhenti memainkan lagu, ia tak langsung beranjak dari
kursi. ia termenung dan menatap ke depan tanpa fokus.
"Sheila...."
Ada yang memanggil namanya. Sheila menoleh dangan amat terkejut.
"Bram....?"
Wajah Bram basah. Sheila tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di
belakangnya. Tanpa disadarinya air matanyapun jatuh. Ketika melihat
Bram, hati Sheila berantakan lagi. Ketenangan pikiran yang tadi
didapatkannya mendadak buyar entah kemana. Di sini dulu mereka hidup
bersama, dan kenangan yang kental kembali mencul ke permukaan.
"Kenapa.... kau bisa kemari?" tanya Sheila tergagap.
"Kau juga, kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Bram heran.
"Aku..... Aku menjenguk Kakek Eman."
"Aku juga begitu. Sudah lama aku tak menjenguk Eman. Aneh juga melihat
niat kita sama. Mungkin ada telepati diantara kita."
Sheila tertawa canggung. "Mungkin juga karena kemarin kau baru saja
memberitahu bahwa rumah ini masih ada. Kau juga teringat rumah ini, jadi
kau datang kemari?…… Ehm... Kenapa kau tak bersama Varenia, Bram?"
Sheila sengaja menyinggung Varenia, kalau mengikuti kata hatinya, ingin
rasanya ia berlari dan memeluk Bram.
Ucapan Sheila terbukti efektif. Kini seakan ada jarak antara dirinya dan
Bram.
Bram terdiam.
"Varenia sesang mengepas baju pengantin."
"Oh...."
Mereka terdiam lagi.
"Ehmm.... Aku mau ke kamar dulu. Nanti malam aku akan menginap di sini."
kata Bram.
"Aku juga.." ucap Sheila gembira dan berkata, "Bagaimana kalau nanti
malam kita makan sama-sama di kebun?"
Bram tersenyum, "Boleh."
"Kalau begitu aku akan memberitahu Kakek Eman agar memasak makanan yang
enak."
"Nathan....!!! Tunggu...!!"
Renny mengejar kekasihnya yang jalan sangat cepat itu. Ia sudah mencari
Nathan selama seminggu dan tak bisa menemuinya. Baru hari ini ia
berhasil melihat Nathan di kampus san ia takkan menyia-nyiakan
kesempatan ini.
"Ada apa?" tanya Nathan sambil bertolak pinggang. Kaca matanya tak
dilepaskan dan sepertinya ia merasa terganggu.
"Nathan, aku mau bicara."
"Tapi cepat, ya. Lima menit lagi aku ada kelas, dan aku tak mau
terlambat."
"Tapi, aku mau berbicara banyak, Nath. Apakah...." Renny mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Dilihatnya mahasiswa hilir mudik. Dan
beberapa orang sepertinya sedang memperhatikan mereka ".... Kita bisa
cari tempat untuk bicara?"
"Nanti aja deh, Ren. Aku mau kuliah." elak Nathan. Ia hendak pergi namun
tangan Renny menahannya.
"Nathan kenapa kau menghindariku, sudah seminggu kita tak ketemu."
Nathan berhenti dan menatap arah lain dengan bosan.
"Kau mau bicara apa, ayo sekarang saja. Cepat.."
Renny berbisik, "Aku hamil, Nath."
"Hah?!!!!"
Nathan menarik gadis itu ke mobilnya. Mereka lalu duduk berdua di bangku
depan. Untuk mobilnya diparkir di tempat yang agak teduh..
"apa maksudmu kau hamil...??" ucap Nathan sewot.
"A-aku.... Kita selalu melakukannya, kan? Kau bilang tidak akan ada
apa-apa...."
"Maksudku, tidak apa-apa kalau kau pakai pengaman, Ren!!!!"
"Pe.... Pengaman apa? Maksudmu kontrasepsi? Ku kira kau yang
memakainya." ujar Renny memelas. Tangisnya hampir tumpah. Ia positif
hamil. Ia mengetes sendiri dengan alat untuk kehamilan yang dibelinya di
supermarket. Ia sudah curiga, belakangan ini kepalanya sering pening,
dan haidnya sudah tak datang dua bulan. Sekarang bagaimana ia bisa
memberitahukan ini pada orangtuanya? Apalagi sikap Nathan yang seperti
mau lari dari tanggung jawab.
"Aku kan tidak pakai kondom. Kau lihat sendiri, kan? kupikir kau sudah
dewasa dan tahu harus melakukan apa. Kalau kau minum pil atau semacamnya
pasti kau tidak hamil."
Renny menggigit bibirnya, "Jadi.... Sekarang bagaimana...?"
Nathan menonjok setir mobil dengan tinjunya, suara klakson mobilpun
langsung terdengar, membuat mereka berdua kaget.
"Aku tidak tahu. Ini urusanmu sendiri." Nathan berkata dengan suara
rendah.
"Tapi, kau ayah dari bayi ini, Nath. Kau tak boleh lari dari tanggung
jawab.!!!" teriak Renny histeris.
"ya...!!!ya...!! Ya...!!" bentak Nathan kesal. " biar kutanya temanku
dimana tempat untuk aborsi…!"
Renny menatap Nathan tidak percaya, "Aku tak mau aborsi…!"
"Lantas kau mau apa..?!!!"
"Aku mau dinikahi."
Suasana hening seketika.
Renny membujuk lagi, "Aku sudah lulus semester ini. Kuliahmu juga hampir
selesai, kan?"
"Tapi aku tak akan diijinkan menikah oleh Mama Papa, kalau mereka tahu
kau sudah hamil..!!"
"Jangan bilang-bilang aku sudah hamil. Bilang saja kau mau menikah
cepat-cepat…!"
Nathan menggelengkan kepalanya. Orangtuanya tidak akan percaya. Mereka
berdua adalah orang terpandang di masyarakat. Mereka sudah bilang, kalau
Nathan menikah kelak di kartu undangannya harus tertera gelar minimal
S1.
Ia berkata pada Renny, " Coba kupikirkan dulu apa yang harus kita
lakukan nanti."
Renny terdiam sesaat, lalu bertanya,
"Nathan kenapa akhir-akhir ini kau jarang datang ke rumah ?"
Nathan mendengus, "Semua ini gara-gara saudaramu itu.…?"
"Saudaraku, maksudmu Reza?"
"Bukan... ! Yang perempuan"
Renny bingung, "Yang perempuan...? Maksudmu... Sheila? Memangnya dia
kenapa?"
"Dia menggoda dan merayuku. Dia mendekatiku terus, aku tak suka pada
kelakuannya, makanya aku jadi malas datang ke rumahmu."
Renny terkejut. Tangannya mengepal. Ia sudah tahu sejak dulu kalau
Sheila itu brengsek…! Tapi ia tak menyangka gadis itu tega melakukan hal
seperti ini.
BAB 19
MALAM itu langit cerah. Sheila sangat bahagia.. Eman sudah menyiapkan
makanan kesukaan Bram, ia pernah dua kali makan malam di kebun seperti
ini. Semuanya masih tampak sama, hanya kebun yang terlihat agak sempit
karena bangunan baru yang menjulang di sebelah rumah tersebut.
Meja lipat yang dulu digunakan makan malam sudah rusak, dan Eman
mengantinya dengan tikar.
"Seperti piknik saja.." kata Sheila yang melihat berbagai macam makanan
sudah terhidang ditengah-tengah tikar.
"Hmmm.... Sayur pare kesukaanku. Sudah lama aku tak makan ini." ujar
Bram.
"Ya, Kakek Eman benar-benar memanjakan kita. Lihat saja, ada sup kambing
bening, aku kan paling suka!" kata Sheila membuka sebuah mangkuk dan
menghirup aromanya.
"Aku masih ingat kau suka makanan apa saja. Kau suka tempe goreng
tepung, ikan tongkol masak kemangi, empal goreng, sayur asem, dan sayur
bening, iya kan?"
Sheila menatap Bram terharu, "Kau masih ingat makanan yang aku suka.
Padahal dulu kita jarang makan bersama. Bagaimana bisa begitu, Bram?"
"Eman berkali-kali masak makanan itu hingga aku tahu bahwa itu makanan
kesukaanmu."
Sheila tertawa, "Kakek memang baiiiiikkkk banget."
"Tak heran ia menyayangimu. Kurasa belum terlambat untuk bilang, aku
juga menyayangimu, Sheila."
Sheila terharu, "Aku juga.."
Mereka makan sambil menceritakan pengalaman mereka selama lima tahun
belakangan.
"Kenapa kau tak melanjutkan SMA?"
"Aku tidak tahu. Rasanya aku tidak ingin sekolah. Selama ini aku tak
pernah mendapatkan pengalaman yang baik di sekolah, mungkin itu
penyebabnya."
"Tapi, sekarang kau sudah berhasil. Pendapatanmu mungkin lebih besar
dari temanmu yang tamatan SMA."
"Hei,,,!! Aku juga setengah mati belajar piano, Bram!"
Mereka tertawa...
Kemudian Sheila bertanya, "Bram kenapa kau memutuskan mengoperasi
wajahmu, Bram?"
"Hei,,, waktu itu aku du disuruh ibuku. Lagipula...." Bram tidak mau
bilang kalau ia melakukan itu agar punya kesibukan, supaya bisa
melupakan Sheila, "..... Wajahku lebih baik begini, kan?"
"Ya. Aku suka. Kau kelihatan lebih tampan." Sheila tersipu saat
mengatakannya.
"Ng.... Ngomong-ngomong, kau dan Reza kapan menikah?"
"Kalian berpacaran, kan? Usiamu sudah cukup untuk menikah. Jangan
seperti aku, ketuaan."
Sheila menggeleng, "Mungkin masih lama. Sekarang aku belum memikirkan
tentang pernikahan."
Mereka sudah selesai makan. Eman keluar dan membereskan piring-piring
makan. Ketika Sheila ingin membantunya, pria tua itu bilang tidak usah.
Emanpun menghidangkan dua cangkir wedang jahe, lalu masuk ke rumah.
"Bintang saat ini indah, ya?" ujar Sheila sambil mendongak menatap
langit. Ia lalu menaruh cangkirnya di rumputan dan membaringkan tubuhnya
di tikar.
"Kau sedang apa, Sheila?" tanya Bram tersenyum bingung.
"Dulu waktu SMP aku pernah ke planetarium di Jakarta. Enak lho tiduran
sambil melihat bintang, kau pernah?"
Bram menggeleng. "Belum, tapi aku mau mencoba." ia pun membaringkan
dirinya di samping Sheila, berbantalkan lengan menatap langit. Langit
seperti kain beludru berwarna hitam yang ditempeli butir-butir berlian.
"Melihat langit yang begitu luas, aku merasa sangat kecil dan tak
berati." ucap Sheila. "Pernah kukatakan pada Oomku bahwa aku ingin
menjadi salah satu bintang itu memancarkan cahayanya dari jauh dan
membuat orang-orang yang melihatnya ikut bahagia.."
"Kurasa sekarang cita-citamu sudah terwujud. Kau sudah membuat
orang-orang disekitarmu bahagia."
"Itu sanjungan atau hiburan?" tanya Sheila sambil tersenyum.
"Aku serius, Sheila. Kurasa Reza akan sangat bahagia kalau ia bisa
menikahimu."
"Sudah kubilang, aku tak ingin menikah. Memang sih aku pernah berniat
menikah, tapi itu dulu....."
"Oh ya?"
"Ya. Saat aku berusia tujuh belas tahun, aku pernah berpikir untuk
menikah, seperti mamaku dulu, yang menikah diusia tujuh belas tahun.
Bila kuingat-ingat lagi, kalau dulu aku jadi menikah waktu itu, sekarang
aku pasti sudah punya anak dan mungkin tak menjadi guru piano."
"Sheila....."
Sheila menoleh menatap Bram.
"Waktu itu kau mau menikah dengan siapa?" tanya Bram dengan suara pelan.
Wajah Sheila muram sesaat, " Ya, seseorang sih. Tapi, waktu aku
mencarinya untuk mengajak menikah, orang itu sudah pergi."
"Sheila, apakah orang itu...."
"Kau tahu jawabannya, Bram. Sudahlah tak usah membahas tentang
pernikahan lagi."
Tiba-tiba Sheila merasa tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Bram. Dan
belum sempat ia mengatak sesuatu, Bram sudah melumat bibirnya,
menciumnya dengan sepenuh hati. Sheila tidak berontak. Ia malah membalas
pernyataan kasih pria itu. Teringat olehnya ciuman mereka lima tahun
yang lalu....
Ia mencintai pria ini dengan segenap hatinya. Perasaan tidak akn
berbohong. Dulu, ia sempat ragu apakah ia hanya mengalami cinta monyet
saja. Kali ini ia yakin bahwa ia takkan bisa mencintai pria lain selain
Bram. Dan ia tahu bahwa Brampun sama seperti dirinya.
Mengapa pria itu baru akan menikah sekarang? Bisa saja ia menikah
setahun, dua tahun , atau lima tahun yang lalu. Dan kenapa pria itu bisa
datang bersamaan dengan Sheila ke tempat ini? Perasan mereka pasti
sudah menyatu begitu kuatnya sehingga bila yang satu memikirkan yang
lainnya, yang lain akan merasakan hal yang sama. Kalau tidak begitu,
mengapa Sheila selama lima tahun ini tak bisa melupakan Bram?
Bram melepaskan pelukannya. Ia menatap Sheila. Dihadapannya kini masih
terlihat wajah yang sama, tapi dengan emosi yang tak lagi meledak-ledak
seperti dulu. Wajah itu kini tampak matang. Sheila sudah dewasa. Dan tak
ada yang perlu ditakutkan lagi. Ia tak mencium gadis dibawah umur.
Sheila bukan lagi gadis remaja, ia wanita dewasa. Tapi........
"Sheila, apa yang kita lakukan?"
Sheila merasakan jantungnya berdetak cepat. Terbesit perasaan bahagia,
tapi juga bingung memikirkan apa yang baru saja terjadi " aku tidak
tahu, Bram."
"Kurasa aku telah berbuat bodoh."
"Tidak..!!! " seru Sheila, "Kau jangan membohongi perasaanmu lagi, Bram.
Kau mencintai aku, sama seperti aku mencintaimu. kau tahu itu."
"Tapi, bagaimana dengan Vania…?"
Merekapun terdiam. keduanya tahu, kali ini tidak ada jalan keluar. Sama
seperti sebelum-sebelumnya.
Sheila membuka pintu pagar. Rumah itu tampak lenggang. Entah mengapa
saat ini ia merasa rumah Oomnya bukanlah tempat yang dikunjunginya bila
ia ingin pulang. Ia tak merasa pulang di sini. Sheila tahu apa sebabnya.
Hatinya telah tertinggal di sana. Di rumah Bram.
Sheila melirik jam tangannya. Sudah pukul dua belas siang. Pagi tadi
saat terbangun, betapa kecewanya ia saat Eman memberitahu bahwa Bram
sudah pergi.
Sheila teringat kejadian tadi malam saat Bram menciumnya. Sheila
mencintai Bram dan ia yakin pria itu juga mencintainya. Mereka tak bisa
menyembunyikan perasaan masing-masing. Tapi, mereka tak tahu mau dibawa
kemana hubungan ini.
Sheila kecewa karena Bram pergi tanpa pamit, padahal entah kapan mereka
bisa ketemu lagi. Tapi ia teringat, bahwa ia mesti pulang. Reza pasti
mengkhatirkannya.
Marni keluar dengan membawa seember cucian. Ia melihat Sheila dan
tersenyum.
"Baru pulang, Non?"
"Di rumah ada siapa saja, mar?"
"Cuma Nyonya sama Non Renny, dan Tuan. kayak biasa." Marni nyengir
lebar, "kalau mas Reza sudah pergi dari pagi."
Sheila termenung. Reza, ia baru ingat pria itu. Dua hari yang lalu ia
berkata akan belajar mencintai Reza. Tapi kini setelah bertemu Bram, ia
tak yakin lagi akan bisa melakukannya. Apa yang harus dikatakannya pada
Reza?
Sheila memasuki rumah dan bertemu dengan Renny yang sedang duduk di
ruang tamu. Kelihatannya Renny sedang kesal.
"Ren..." sapa Sheila.
"Kamu dari mana?" dengus gadis itu. "Kamu pikir rumah ini terminal? Bisa
datang dan pergi sesukamu? Huh, kalau kau menginap dengan sembarang
lelaki kan keluarga ini yang malu."
Sheila berhenti melangkah. Ia membalikan tubuhnya dan menatap Renny.
"Ren, apa maksudmu?"
Renny mencibir, "Mana aku tahu, yang tahu kan kau sendiri."
Sheila meletakkan tasnya. "Kalau ngomong yang jelas dong. Maksudmu apa?"
Renny bangkit berdiri dan bertolak pinggang. "Kau tahu kan kalau Reza
mencintaimu, tapi kau selalu menggoda pria lain. Kau nggak pernah puas
mendapatkan satu laki-laki ya, Sheila?"
Wajah Sheila memucat, apa Renny tahu semalam ia menginap di rumah Bram?
Apa Reza yang memberitahu? "Jangan asal ngomong, Ren. Laki-laki siapa
maksudmu?"
"Jelasnya aku nggak tahu. Tapi yang pasti aku nggak mau kamu menggoda
Nathan!"
"Nathan?" ucap Sheila bingung. apa Renny tahu ia dianjak ke restoran
jepang oleh Nathan tempo hari.
"Ya. Nathan! Dia yang bilang sendiri padaku. Kau menggodanya, sehingga
ia jadi malas datang kemari. Kau keterlaluan, Sheila. Apa kau belum puas
membuat keluarga ini berantakan?!"
Kali ini Sheila sangat marah. Pertama, bukan dia yang menggoda Nathan
melainkan pria itu. Kedua, apa yang yang dimaksud ia membuat keluarga
ini berantakan?
"Berantakan apa yang kau maksud?"
"Gara-gara melihatmu, Mama jadi nggak betah di rumah, sejujurnya aku
juga. kau pura-pura baik merawat papa, padahal kau hanya ingin numpang
gratis di sini!"
Sheila terdiam. Ia terenyak. Tuduhan Renny begitu kejam. Ia bukannya sok
baik. Ia malah lebih suka kalau Ratna menjadi lebih memperhatikan
suaminya dan Renny lebih memperhatikan ayahnya. Dan soal menumpang, ia
tak senaif itu. Ia sudah berusaha mengembalikan uang yang seharusnya ia
keluarkan bila ia menyewa rumah dengan membeli bahan-bahan makanan.
Belakangan, Ratna mendiamkannya sehingga Sheila pikir Ratna turut senang
sengan perbuatannya. Tapi sekarang Sheila tahu, perhuatannya tak
mendatangkan ucapan terima kasih , malah caci maki.
"Baik...!!" kata Sheila dingin. "Aku akan keluar dari rumah ini. Sudah
lama aku ingin pindah, aku cuma tidak tega pada Oom."
"Bagus! Bagus sekali. memang itu yang aku mau. Aku tak ingin kau
menghancurkan masa depan ku!" Seru Renny. Ia menginginkan Nathan. Dan
dengan kehadiran Sheila di sini, berarti Nathan tak akan datang lagi.
Renny memang ingin Sheila hengkang saja.
"Ada apa ribut-ribut?" Ratna keluar kamar masih mengenakan daster dan
rol rambut.
"Ma, Sheila mau pindah dari sini!" kata Renny.
Ratna hanya menoleh saja, "Benar, Sheila?"
Hati Sheila terasa tertohok, ternyata Ratna juga mengharapkan
kepergiannya. Sheila merasa sama sekali tak dibutuhkan.
"Benar, Tante. Secepatnya saya akan mencari tempat tinggal. Hanya saya
minta, tolong Tante perhatikan Oom...."
"Kau sudah memberitahu Reza?"
Sheila menatap Tantenya dengan pandangan bertanya.
"Kau mesti memberitahu dia. Dan jangan bilang bahwa Renny yang
mengusirmu, mengerti?"
Tanpa berkata-kata lagi, Sheila masuk ke kamarnya. Ternyata ia di sini
dianggap tak lebih dari benalu.
Reza membuka pintu kamar Sheila, begitu tiba-tiba sehingga Sheila yang
sedang mengepak barang-barangnya terkejut.
"Kata Renny kau akan pergi. Apakah itu benar, Sheila?"
"Ya." ucap Sheila tanpa mengangkat wajahnya.
" kau mau pindah kemana?"
"Aku akan kos di rumah salah satu muridku. Kebetulah orangtuanya
menyewakan kamar, dan masih ada satu kamar yang kosong."
Reza memegang lengan Sheila, "Apa ini ada hubungannya dengan kau yang
tak pulang semalam?"
"Reza lepaskan. Lenganku sakit!"
Reza melepaskan lengan Sheila, "Semalam kau menginap dimana, Sheila?
Lalu setelah kau sampai disini, mengapa kau langsung ingin pindah?!"
"Rez, tak ada apa-apa." Sheila tak berani menatap mata Reza.
"Sejak bertemu Bram sikapmu jadi aneh. Kalau tahu dia si pengantin
prianya, aku akan menolak mengurusi pernikahan mereka! Sheila, jujur
saja padaku. Apakah kau kemarin bersama Bram? Iya..? Benar..?" desak
Reza
Sheila bingung bagaimana menjelakan bahwa kepindahannya tak ada sangkut
pautnya dengan Bram, tapi secara tidak sengaja ia bertemu Bram di
Ciloto. Ia sama sekali tidak ingin membuat Reza sedih.
"Rez, aku pindah dari sini tak ada hubungannya dengan Bram. Aku hanya
merasa aku sudah terlalu lama tinggal di sini. Sudah waktunya aku
pindah. Aku bisa hidup sendi....."
"Dan kau baru menyadarinya hari ini? Di saat kau baru bertemu Bram? Dia
akan menikah, Sheila. Sadarlah! Benar kau pergi bersama Bram kemarin?"
Sheila terdiam. "Rez, kemarin aku pergi ke Ciloto. Di sana aku memang
bertemu Bram. Tapi itu cuma kebetulan. Kami memang menginap di sana.
Tapi tidak seperti apa yang kau pikirkan. Aku tahu dia akan menikah,
dan....."
Ekspresi wajah Reza perlahan membeku. "Jadi benar, kau pergi dengan
Bram?"
Sheila menghela napas, "Tapi bukan itu yang membuat aku ingin pindah."
Sheila mendekati Reza dan memegang lengannya. "Aku kan cuma pindah
rumah, bukan berhenti dari The Glass Slipper atau berhenti jadi temanmu.
Dan percayalah, tidak ada yang lebih berat daripada meninggalkan rumah
yang sudah aku huni lebih dari lima tahun."
"Apa kau tidak kasihan pada Papa?"
"Aku yakin kau akan menjaganya dengan baik."
"Bagaimana dengan janjimu untuk belajar mencintaiku?"
Sheila memutuskan, lebih baik membuat Reza mengerti setahap demi
setahap. "Aku cuma minta padamu untuk tak terlalu banyak berharap."
Reza memandang Sheila dengan sorot mata memelas. "Sheila, aku tahu kau
sudah tidak sabar untuk pindah. Tapi, demi aku, jangan pindah dulu.
Bersabarlah hingga beberapa hari lagi...."
Bram termenung melihat jalan raya di hadapannya. Kedua tangannya
terkepal erat memegang kemudi. Vania duduk di sisinya. Namun pikirannya
lebih banyak tersita untuk lamunannya dari pada konsentrasi saat
menyetir.
Ia tak tahu setan apa yang sesang merasukinya, tapi ada dorongan yang
sangat kuat dari dalam dirinya untuk meninggalkan Vania. Ia sangat
mencintai Sheila dan tak bisa hidup tanpa gadis itu. Tapi batinnya
melarangnya, karena ia tak mungkin membatalkan pernikahannya yang
tinggal dua hari lagi. Apa yang harus dikatakannya kepada keluarga Vania
dan keluarganya sendiri?
Di matanya terbayang wajah Sheila yang sedang tersenyum kepadanya.
Teringat gadis itu, hatinya jadi sangat sedih. Tadinya ia pikir Sheila
juga akan menikah dengan Reza. Ternyata Sheila berkata bahwa ia tak
pernah berpikir untuk menikah. Kesedihan menghimpit jiwa Bram hingga
terasa sesak.
"Bram....!!! Bram....!!! Bram...!!! Bram awas! Kau bakal menabrak anak
itu...!!!" teriakan Vania membuyarkan lamunan Bram.
Bram mengerem mendadak. Kemudian terdengar pula klakson dari belakang
mobil mereka.
"Ya ampun...!!! Hampir saja!" desah Vania. "Apa kau melamun tadi, Bram?"
"Maaf"
Vania menghela napas. Walaupun ia bisa menyetir jauh dan lebih piawai
daripada Bram yang berkaki palsu, ia selalu membiarkan pria itu menyetir
karena takut menyinggung ego pria itu. Barusan ia berpikir, setelah
menikah nanti. Baiknya ia saja yang menyetir kalau pergi kemana-mana.
Masalahnya taruhannya nyawa. ia tak mau mati konyol.
Vania melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul satu. Mereka bilang
pertemuannya pukul satu."
"Apa sih yang ingin mereka bicarakan?" tanya Bram.
"Katanya sih soal urutan acara pesta. Padahal aku sudah bilang terserah
mereka saja. Kau kan tidak suka kalau diganggu untuk urusan beginian.
Tapi kupikir, mereka berbuat begini untukkepentingan kita juga. Kalau
acaranya kurang bagus nanti, kan kita juga yang menyesal…"
Bram diam saja. Vania jadi teringat, belakangan ini sikap Bram agak
aneh. Ia ingin menanyakan perihal gadis yang jatuh pingsan saat galdi
resik, tapi selalu tidak sempat.
"Bram, tentang gadis dari WO itu, apakah dia temanmu?" tanya Vania,
"tapi usianya baru dua puluhan tak mungkin kau punya teman semuda itu."
"Bukan. Dia bukan temanku."
"Lalu mengapa kau mengenal dia?"
"Dia bekas anak asuhku."
"Oh... Anak asuh! Pantas kau kelihatan begitu peduli padanya. Ya ampun,
ternyata ia anak asuhmu." Vania tertawa mengingat rasa cemburunya yang
tak beralasan.
"Memang pantas sih, Bram. Walaupun kau terlihat muda, umurmu kan sudah
empat puluh tahun. kau sebenarnya sudah pantas punya anak sebesar dia.
Ha....ha......"
Ketika Vania tak melihat Bram tertawa, ia biru-buru menyudahi
tertawanya." Aku cuma bercanda lho, Bram. Kau tidak marah kan?"
Tidak, aku tidak marah. Aku cuma sadar kata-latamu benar. Sheila pantas
jadi anakku, batin Bram. Hatinya pedih, mengapa ia begitu bodoh, jatuh
cinta pada seorang gadis yang usianya dua puluh tahun lebih muda?
Mengapa ia tak mencintai Vania saja? Dan baru sekarang ia menyadari
bahwa ia tak mencintai Vania. Ia cuma peduli dan sayang pada gadis itu,
tidak lebih.
"Kau tahu tidak, Bram? Aku sempet cemburu, Lho. Bayangkan saja kau
meninggalkan aku sendirian diacara gladi resik pernikahan kita. Kupikir
dia bekas pacarmu! Bram..? Bram...? Kok diam saja sih? Belakangan ini
kau aneh."
"kita sudah sampai." kata Bram..
Vania sadar mereka sudah sampai di depan kantor The Glass Slipper. Ia
pun turun dari mobil itu, sehingga percakapan mereka terputus di situ.
"Sebenarnya hari ini ada rapat apa, Rez? Kok mendadak banget sih? Aku
terpaksa membatalkan les satu murid lho! Nanti kau bayar ya uang les ku
yang hilang!" gerutu Sheila setengah bercanda. Ia mengikuti tuntunan
tangan Reza menuju salah satu ruang rapat untuk membicarakan rencana
pernikahan klien mereka.
Dan ketika memesuki ruangan itu, Sheila kaget luar biasa. Ia melihat
Bram dan Vania sudah duduk di dua kursi dari empat kursi yang tersedia.
Sheila perlahan-lahan duduk dengan canggung.
Vania tersenyum, "Hei... Kau yang waktu itu pingsan, kan? Bram sudah
cerita bahwa kau bekas anak asuhnya. Pantas saja kalian kaget sekali
bertemu di gereja kemarin."
Sheila tertegun. Ia memandang Bram, tapi pria itu pura-pura memandang
vas bunga di atas meja. Bram memberitahu Vania, bahwa Sheila anak
asuhnya? Apa supaya Vania tidak curiga? Tapi....
Memang seharusnya begitu sih, pikir Sheila, toh sebentar lagi Bram dan
Vania akan menikah.
"Oh ya, siapa namamu?"
"Sheila."
"Oh, Sheila. Baik akan kuingat-ingat. Sheila. Sheila." gumam Vania
seolah Sheila adalah orang yang sangat penting dalam kehidupannya yang
harus selalu diingatnya.
Sheila tidak tahu apa rencana Reza mempertemukan mereka berempat seperti
ink. Tapi, dugaan Sheila adalah Reza ingin ia mematikan perasaannya,
supaya ia tak berharap lagi pada Bram. Pria itu kini menjadi klien
mereka dan sebentar lagi akan menikah dengan wanita cantik dihadapannya.
Reza berdehem," Ehm... Maaf mengganggu anda Pak Bram. Tentu anda masih
ingat saya, Reza, teman Sheila yang pernah menginap...."
"Saya ingat."
"Ya. Kebetulan WO ini milik saya. Kebetulan yang menggembirakan, bukan?
Selama ini anda berurusan dengan Wenny, jadi mungkin anda tak pernah
bertemu dengan saya. Oh iya, ini Sheila. Dia yang nanti akan bermain
piano di hari pernikahan anda."
Sheila tersenyum agar suasana tidak kaku. Kemudian Reza melanjutkan.
"Hari ini saya mengundang Pak Bram dan Mbak Vania untuk mengonfirmasi
acara pesta. Ini sudah saya fotokopikan daftar acarannya." Reza memberi
Bram, Vania, dan Sheila masing-masing selembar kertas dan mereka
membacanya.
"Cuma satu yang jadi masalah. Ada sedikit perubahan. Anda ingin musik
apa Band atau piano?" tanya Reza.
"Kelihatannya Band asyik juga." kemudian ia memandang Sheila. " Tapi,
aku jadi nggak enak sama Sheila."
"Tidak apa-apa. Belakangan ini saya juga sangat sibuk. Mungkin sebaiknya
saya istirahat."
Reza menggenggam tangan Sheila terang-terangan. Sheila berusahan melepas
genggaman Reza perlahan-lahan, tapi genggaman Reza terlalu kuat.
Vania menoleh pada Bram, "Bagaimana Bram? Band saja ya? Biar lebih
ramai."
Tiba-tiba Bram bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Semua orang
terpaku, termasuk Sheila.
"Bram? BRAM.....!!!" Panggil Vania, kemudian ia menatap Sheila
tajam-tajam tanpa bicara sedikit pun. Reza masih menggenggam tangan
Sheila mencegah gadis itu mengejar Bram. Vania pun keluar dari ruangan
itu diikuti pandangan resah Sheila.
"Bram... Bram.... Bram....!!! Tunggu aku."
Vania berlari mengejar Bram. Itu bukan hal yang sulit, sebentar saja ia
bisa mengejar Bram, mengingat Bram tidak bisa berjalan cepat karena
memakai kaki palsu.
"Bram, kenapa kau keluar begitu saja?"
Bram masuk mobil. Vania ikut masuk.
"Bram, kenapa sih?"
Bram terdiam.
"Vania...... Maaf...." ucap Bram perlahan.
"Ya. Aku juga kesal. Reza mengundang kita cuma untuk menanyakan apakah
mau Band apa piano." sahut Vania ketus. "Kau jadi tidak enak pada
Sheila, kan? Lagi pula untuk apa ia menyia-nyiakan waktu kita hanya
untuk urusan itu? Aku sih curiga dia pacarnya anak asuhmu itu, jadi dia
mempertemukan kita berempat untuk mempertegas bahwa Sheila itu
pacarnya....." Vania tersenyum dan menatap Bram.
"Kau tidak marah kan, Bram? Namanya juga anak muda....." "Vania....
Aku..... Aku... Aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini...."
Vania terpana, seakan tak mempercayai pendengarannya. Ia menatap Bram,
"APA?!!!"
"Kau boleh melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalanmu, Vania.
Tapi aku sungguh-sungguh tidak bisa.…"
"Kau.... Kau.... Kau bilang kau tak bisa melanjutkan pernikahan ini?!"
ulang Vania. Ucapan
Bram seperti petir di siang hari. Mendadak Vania merasakan tubuhnya
seperti mati rasa.
"Maaf...."
Vania menangis. "Tapi kenapa, Bram? Tinggal dua hari lagi?!" ia
memukul-mukul lengan Bram yang diam terpaku. "Kau tidak bisa berbuat
begini padaku!"
Bram tetap diam. Hati Vania semakin panas. " Kenapa?! Kenapa?!" lalu
tiba-tiba Vania ingat sesuatu, "Oh.... Aku tahu sekarang. Apa karena
gadis itu? Sheila?!" melihat Bram tidak menyanggah, hati Vania semakin
terbakar. "Benar kan, Bram? Dia bukan anak asuhmu, melainkan cinta
lamamu, kan?!"
"Vania....."
"Pantas saja si Reza begiu ketakutan! Rupanya kau mau merebut pacarnya?
Kau tidak tahu malu Bram! Perempuan itu juga tidak tahu malu!"
"Vania! Jangan bawa-bawa Sheila!"
"lalu kenapa, Bram?! Jelaskan padaku... Aku tak mau kau bodohi begitu
saja!"
Sepanjang hubungannya dengan Bram, tak pernah Vania memaki Bram sekeras
itu. Bram merasa bersalah. Ia telah melukai hati wanita itu.
"Aku akan mengantarkan kau ke rumah." Bram pun menstarter mobilnya.
"Tidak usah!!" Vania keluar dari mobil. Sebelum menutup pintunya ia
berseru, "Ingat! Aku tak bersedia membatalkan pernikahan. Pokoknya, dua
hari lagi kau harus sudah siap menikah denganku. Aku tidak mau tahu!!!"
dibantingnya pintu mobil hingga menutup, kemudian ditinggalkannya Bram
yang duduk terenyak.
BAB 20
SHEILA membasuh wajahnya dengan air di washtafel di toilet kantor The
Glass Slipper. Ia memandang cermin di hadapannya. Ditatapnya kelopak
matanya yang cekung akibat tak bisa tidur semalam. Ada bayangan hitam di
bawah matanya, dan ia sudah berusaha mengopresnya dengan es batu, tapi
nampaknya tak terlalu berhasil.
Sheila sangat terguncang melihat sikap Bram tadi. Ia juga marah pada
Reza yang telah membuat mereka terjepit di situasi yang tidak
mengenakkan. Mestinya Reza bilang dulu padanya. Ia sudah bertekad untuk
tak menemui Bram lagi sebelum hari pernikahan pria itu. Sebenarnya hal
seperti ini lah yang ia takutkan. Mereka berdua sangat rapuh, dan
sedikit saja tekanan akan membuat mereka meledak seperti popcorn di
dalam panci tertutup.
Apa maksud Bram meninggalkan ruangan tadi? Apakah karena ia cemburu pada
Reza yang menggenggam tangannya? Atau karena tak senang mendengar
Sheila takkan bermain piano di hari pernikahannya karena Vania lebih
menyukai Band? Atau karena tak suka dengan sikap Reza yang mempertemukan
mereka berempat?
Seingat Sheila, Bram belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya, tidak
pula ketika mereka masih tinggal bersama. Kecuali, saat Mama Bram
datang dan menjodohkannya dengan Marisa. Bram terlihat marah kerena
terlalu ditekan. Apa yang membuat pria itu merasa ditekan saat ini?
Sheila mengambil tisu gulung dan melap wajahnya hingga kering. Ia tak
peduli dengan penampilannya hari ini. Bedak yang dipakainya tadi pagi
sudah hilang terbawa air, lipstiknya sudah memudar karena seringnya ia
menggigiti bibirnya. Ia pun keluar toilet.
"MANA…??? MANA... DIA??!!"
Sheila melihat Vania yang mengamuk dan degahan oleh Tini dan Wenny.
"Sabar, mbak..." kata Wenny.
"Ada apa ini?" tanya Sheila.
Vania langsung menudingnya, "Jadi kau yang mau menghancurkan
pernikahanku? Perempuan tak tahu malu…!! Sejak pertama aku melihatmu,
aku sudah tak menyukaimu…!"
Sheila tercengang. Tiba-tiba saja Vania menghinanya di depan orang
banyak. Sheila menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada Tini, Wenny, dan
beberapa pagawai The Glass Slipper.
"Kau memang pintar, sengaja merebut Bram pelan-pelan, sampai ia jadi
memikirkanmu terus-menarus. Kau pakai guna-guna apa, Hah...?!!! Sekarang
ia tak mau menikah denganku, itu pasti karena ulahmu…!!"
Bram... Tidak mau.... Menikah? Sheila tercenung.
Mendadak Vania mendorong Sheila. Karena kehilangan keseimbangan, Sheila
jatuh. Wenny buru-buru memapahnya berdiri lagi. Begitu Sheila berdiri,
Vania menamparnya. Tamparan itu begitu keras hingga membuat kepala
Sheila pusing dan tubuhnya terhuyung.
Sheila merasakan pendanganny gelap. Rasanya ia ingin mengambil sesuatu
dan melemparkanny ke kepala Vania. Ia mengambil Vas bunga. Tini dan
Wenny serentak menjerit.
"Sheila... Jangan!!"
Sheila tak jadi melempar vas bungai itu. Hatinya terguncang. Ia segera
sadar, masa ia tak bisa mengendalikan emosinya untuk membunuh seseorang?
Tapi, memang baru kali ini ada orang yang menyerangnya lagi, sejak
kejadian Reza dan Indah dulu. Menurut Sheila, Vania memnag sudah
keterlaluan.
"Aaaaaaa....!!!" Sheila berteiak dan menerjang Vania, ia menjambak
rambut wanita itu.
Tini dan Wenny memegangi tangannya.
"Sheila....! Sheila..!! Sheila sadar, Sheila...!"
Sheila tersentak, mundur dan terduduk di lantai. Ia menangis
tersedu-sedu. Vania sendiri tampak terguncang, tak tahu kalau Sheila
akan melawan. Ia juga menangis, dan seorang pegawau memapabnya keluar
ruangan.
Wenny menyuruh Tini membubarkan semua irang. Kini tinggal ia dan sheila
di ruangan itu. Sheila masih terduduk di lantai dan menangis. Wenny
mengambil segelas air putih dan menyodorkannya pada Sheila. Sheila pun
meneguknya.
"Astaga Sheila, apa yang terjadi padamu?" tanya Wenny.
Sheilapun terisak...
"Aku bingung dengan semua ini, Sheila terus terang aku bingung. Pertama,
tiba-tiba Vania datang dan menyerangmu san berkata kau yang mengacaukan
pernikahannya. Kedua, kau melawannya. Aku takut, jangan-jangan kau akan
memukulnya seperti kejadian dengan Indah di sekolah dulu."
Sheila menangis sesenggukan...
Wenny membelai punggung sahabatnya.
"Sheila, sudahlah jangan menangis terus. Memang vania yang salah, ia tak
bisa menuduhmu yang bukan-bukan."
Sheila memnadang Wenny,
"Tapi,,, kata-katanya benar, Wen..."
Wenny kaget, "Apa..?!!"
"Bram membatalkan pernikahanya. Itu semua pasti gara-gara aku."
"Bram? Bram siapa?"
"Calon suaminya."
"Oh, Pak Harry?"
"Namanya Bram, Wen. Kau ingat tidak pemilik rumah di belakang asrama
kita? Yang cacat itu?"
Wenny membekap mulutnya, "Astaga... Jadi, dia..."
Sheila mengangguk, "Ya, Harry adalah Bram. Harry nama aslinya."
"Tapi, kakinya..."
"Kaki palsu. Wajahny juga sudah dioperasi."
Wenny tampak kaget. Ia berusaha mencerna berita yang baru disampaikan
Sheila. Ia tahu sekali apa yang terjadi pada Sheila lima tahun lalu. Ia
turut membaca berita tersebut dan membantu pemulihab Sheila yang waktu
itu mengalami depresi. Tapi tak disangkanya, Harry yang calon suaminya
Vania ternyata sama dengan Bram! Pantas saja dua hari yang lalu Reza
memberitahukan bahwa Sheila pingsan wakgu melihat mempelai pria saat
gladi resik.
Astaga! Betapa anehnya takdir yang meliputi kehidupan Sheila. Mengapa
mereka dipertemukan kembali dalam keadaan seperti ini?
Wenny memegang bahu Sheila dan menghadapkan wajah gadis itu padanya.
"Sheila, dengarkan aku. kau tak boleh membuat Bram batal menikahi
Vania!"
Sheila menatap wajah sahabatnya.
"Kau akan mengecewakan banyak orang." lanjut Wenny.
"Vania itu baru satu orang, juga jeluarga kedua belah pihak. Dan Reza,
itu yang terpenting, Reza sangat mencintaimu! Kau tak boleh
menghianatinya!"
Brakkk...!! Tiba-tiba pintu terbuka dan Reza masuk dengan napas
terengah-engah. "Sheila, kau baik-baik saja?" tanyanya.
Melihat wajah Sheila yang sembap, Reza langsung menghampiri dan memeluk
Sheila erat-erat. " Baguslah kau tidak apa-apa." katanya. Sheilapun
menangis melihat kata-kata Wenny benar. Ia tak bisa menghianati Reza.
Sheila menunduk. di depannya duduk ibunda Bram. Di usianya yang sudah
memasuki usia enam puluh tahun, Emma masih tampak energik seperti dulu.
Penampilannya mengingatkan ia pada titik puspa.
Emma dan Sheila sudah janjian ketemu di sebuah kafe, tak jauh dari rumah
Haryanto. Dari vanialah Emma mendapatkan nomor telepon The Glass
Slipper, dan dari seorang karyawan di sana, Emma mendapatkan nomor telp
Sheila. Yang pasti kini Emma ingin berbicara dengannya, empat mata.
Sheila memegangi cangkir coffee lattenya sambil menunduk. sedikit banyak
ia sudah menunda apa yang ingin dibicarakan wanita itu.
"Sheila, lama sekali kita tak bertemu." sapa Emma dengan senyum ramah.
"I... Iya Tante."
"Sharusnya ku memabggilku 'Oma' tapi ' Tante' juga tak apa malah bikin
aku awet muda....
haaaa..."
Sheila tetap menunduk, sambil memaikan buih di minumannya dengan sendok.
"Oh iya, bagaimana kabarmu selama lima tahun ini?"
"Baik, Tante."
Emma menghela napas. "Yah.... Begini Sheila. kau pasti bingung kenapa
aku ingin bertemu dengamu. Ehm, kemarin Vania kerumah, ia bicara banyak
tentangmu."
Sheila menatap Emma
"Sheila, sejak Marisa bercerita bahwa antara kau dan Bram ada hubungan
cinta, aku sudah tahu kalau ini akan menjadi masalah besar. Entah kenapa
aku tak terlalu suka dengan perbedaan umur kalian yang begitu jauh. Kau
tahu maksudku? Kalau cuma sembilan-sepuluh tahun tidak masalah. Tapi,
sampai dua puluh tahun? Kau pantas menjadi anaknya Bram, Sheila."
"Tante, Aku...."
"Tunggu dulu! Jangan potong ucapan ku dulu. Lalu ada kejadian yang
menggemparkan itu, yang membuat kalian terpisah. kukira jodoh kalian
sudah berakhie sampai di situ. Tapi tak disangka, sekarang saat Bram
akan menikah kalian bertemu. Ya ampun..!!! Tante sudah mengenalimu saat
kau pingsan waktu itu."
Emma menghela napas. "Seandainya waktu itu kau lebih dewasa sedikit,
mungkin aku wudah merestui kalian. atau seandainya kalian lebih awal
dari ini, mungkin sudah kunikahkan saja kalian, karena kulihat Bram tak
bisa melupakanmu. Tapi....." ia menghela napas lagi, " Ya ampun…!!
Pusing aku! Vania bilang Bram mau membatalkan pernikahan. Saat itu
pikiranku langsung melayang padamu. pasti gara-gara bertemu denganmu
lagi, pasti itu.!"
Sheila buru-buru menyela. "Tante, aku tak bermaksud merusak pernikahan
Bram. Lebih baik aku menghilang saja. .... Sampai pernikahan sudah
dilaksanakan."
"Bagus, Sheila. Sebenarnya itulah yang kuinginkan darimu." Emma menepuk
tangan Sheila di atas meja. " Begini, aku bukannya menghalangi hubungan
kalian, tapi perjalannan cintamu dengan Bram memang banyak sekali
halangannya. Kalian mungkin tidak berjodoh. Aku sih mau- mau saja Bram
menikah dengan siapa saja yang ia cintai, tapi sepertinya..... Vanialah
yang lebih berhak." Emma lalu terdiam. Ia sudah selaesai menyampaikan
maksudnya.
Sheila terdiam, "Tante.. Sebenarnya.... Seandainya saat saya masih tujuh
belas tahun..... Lalu saya ingin menikah dengan Bram, apakah Tante akan
menyetujuinya? Tante akan meretui kami?"
Emma berpikir sejenak...
"Ya, Sheila. Aku akan merestui kalian." katanya kemudian.
Malam kian larut. Biasanya Bram sedang sibuk menulis pada pukul delapan
malam seperti ini. Tapi satu kalimat pun tak diselesaikannya sejak tadi.
Pikirannya seolah buntu, tak ada ide untuk berkarya. Ia pun mematikan
dan menutup laptopnya.
Ia tahu pasti apa penyebabnya. Hatinya begitu mendamba Sheila sehingga
ia hampir kehilangan akal dan seluruh fungsi tubuhnya untuk bekerja.
Ingin sekali ia meninggalkan semuanya dan pergi berdua dengan gadis itu,
ke mana aja asal mereka bisa bersama. Ia tidak tahu mengapa takdir
begitu kejam memisahkan mereka berdua, hingga berkali-kali mereka
bertemu tanpa bisa bersatu.
Bram merasa terjebak. Ia sadar selama ini ia tidak mencintai Vania. Ia
mau menikah dengan wanita itu karena sudah putus asa terhadap kehidupan
ini. Selama ini ia merasa kehidupannya amat kosong dan hampa. Bila ia
bisa membahagiakan orang lain-terutama Vania dan Emma-mengapa tidak?
Tapi setelah ia bertemu Sheila, ia sadar apa yang kurang dalam hidupnya.
Ia sadar apa yang selama ini menghilang dan muncul lagi ke dalam
pangkuannya. Tapi semua itu tak bisa direngkuhnya.
Kemarin ibunya datang untuk membujuknya tetap menikah dengan Vania. Bram
berpikir ia memang tidak bisa meninggalkan Vania begitu saja di saat
pernikahan mereka sudah sangat dekat. Akhirnya ia menurut, ia akan tetap
menikah.
Bram berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya malah semakin liar
mengembara. Akhirnya, kesal kareba bolak-balik di tempat tidur tanpa
hasil, Bram bangkit berdiri dan mengenakan sweternya. Ia memutuskan
untuk menemui Sheila dan membicarakan semua ini.
Anastasia memeluk adiknya.
"Sudahlah, Vania. Laki-laki memang tidak bisa dipercaya. Tapi sekarang
mestinya kau sudah tenang. Dia tetap jadi menikah denganmu, kan?"
Vania masih terus terisak dalam pelukan kakaknya. Selama ini hubungannya
dengan Anastasia sangat dekat. Anastasia selalu menyayangi dan
melindunginya. "Tapi sekarang hatiku sangat sakit. Selama ini kupikir
aku telah menemukan seseorang yang bisa berbagi hidup denganku hingga
hari tua, tapi sekarang..."
Anastasia mengusap-usap punggung Vania. "Tenang saja. Yang penting kau
yang mendapatkan dia, kan? Setelah menikah nanti, pelan-pelan kau rebut
hatinya. Batu saja jika ditetesi air terus-menerus bisa terkikis,
apalagi hati manusia?"
Vania berhenti menangis. Ia menatap kakaknya. "Benar begitu?"
Anastasia mengangguk. "Yang penting kau bisa bersikap dewasa dan memakai
otakmu. Kau mesti cerdik dalam menghadapi laki-laki. Apalagi tipe
seperti Bram. Sebenarnya dia bukan tidak setia. Dia cuma sedang
bimbang..."
"Bukannya kata orang, lelaki yang setia jika selingkuh lebih parah
daripada yang tidak setia?"
"Percayalah padaku. Aku akan membantumu sekuat tenaga untuk mendapatkan
hati Bram kembali."
Anastasia memegang kedua bahu Vania. "Sekarang kau tenang saja.
Pernikahanmu sudah dekat!"
Vania tersenyum dan mengangguk.
"Aku mau pergi dengan temanku Ratna ke kafe dekat Kemang. Mau ikut?"
Vania menggeleng.
"Ayolah, ikut saja! Kau mesti melupakan masalahmu! Kita refreshing.
Oke?"
Akhirnya Vania mengiyakan ajakan kakaknya. Ia pun berganti pakaian.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Bram menghentika
mobilnya di depan rumah Haryanto. Dari dalam mobilnya yang gelap, ia
memerhatikan rumah paman Sheila itu. Apakah ia mesti mengganggu
ketenangan Sheila? Melalui Emma ia sudah mendengar bahwa Sheila akan
menghilang darinya sampai pernikahannya selesai. Hatinya terasa seperti
ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Mengapa Sheila dan Bram harus
berkorban demi banyak orang walaupun hati seperti sudah mau mati
rasanya?
Keragu-raguan Bram sirna ketika seorang gadis keluar dari dalam rumah
dan duduk di teras. Melihat Sheila, hati Bram seperti disiram air sejuk.
Tapi seiring dengan kegembiraannya melihat gadis itu, kerinduannya pun
membuncah.
Tanpa pikir panjang, Bram keluar dari mobilnya dan memanggil, "Sheila!"
Sheila menoleh. Ia sangat terkejut melihat Bram.
"Bram?"
Mereka mendekat ke pagar rumah, saling memandang tanpa tahu harus
bagaimana melepaskan kerinduan yang mengimpit jiwa mereka.
"Sheila, aku ingin bicara," kata Bram.
Lima belas menit kemudian mereka sudah tiba di sebuah kafe di daerah
Kemang. Mereka memesan tempat duduk paling pojok. Pelayan menghidangkan
minuman yang mereka pesan.
Sheila memandang wajah Bram. Wajah itu tampak lesu dan tidak bergairah.
"Sheila..., aku... aku tidak sanggup membohongi hatiku. Kita... kita
menikah saja."
Sheila terperanjat. "Bram...! Kita tidak bisa begitu."
"Kenapa? Aku dan kau sama-sama menderita. Kita saling mencintai."
Sheila menangis. "Aku tahu sekali perasaanmu, tapi aku tak bisa
menghancurkan hidup begitu banyak orang, Bram. Mungkin...," ia menatap
Bram, "kita memang tidak ditakdirkan bersatu."
Bram menatap Sheila dengan pandangan putus asa.
Anastasia menatap adiknya dengan perasaan yang teramat pedih. Di depan
Vania sudah ada satu botol bir yang sudah kosong. Ia tidak tahu
bagaimana cara menghentikan semua ini. Menghentikan minum tentu tidak
sulit, tapi menghentikan kesedihan adiknya ia tidak mampu, dan ia merasa
tersiksa.
"Vania,jangan minum terus. Kau sudah mabuk," kata Ratna yang juga ikut
di antara mereka. Ia menahan gelas yang dipegang Vania.
"Aku memang mau ma...buk!" seru Vania sambil menarik gelas itu. Bir yang
ada di dalamnya tumpah sebagian, tapi ia tak peduli.
Ratna menyerah. Sudahlah, Anastasia saja tidak protes, pikirnya. Ia
meneguk minumannya sendiri sambil memandang berkeliling. Hari biasa
seperti ini kafe sedang sepi, tidak seperti malam minggu waktu ia biasa
kesini. Ia sedang bosan. Renny entah pergi ke mana, belum pulang sejak
kemarin. Reza juga sedang ada di kantornya, mungkin lembur. Di rumah
rasanya sumpek, jadi ia setuju waktu diajak Anastasia. Tapi melihat
keadaan adik temannya yang katanya sedang punya masalah dengan calon
suaminya, Ratna jadi kesal. Bukannya dapat hiburan, ia malah harus
mendengarkan keluhan orang lain. Seakan ia sendiri tidak punya masalah
saja.
Pandangan Ratna tertumbuk pada sosok yang sangat dikenalnya. Rambutnya
yang dikucir satu, kaus warna hijau muda yang sering dipakainya di
rumah. Sheila! Sedang apa gadis itu di sini? pikir Ratna.
Dan gadis itu tidak sendirian. Ia bersama seorang pria! Kurang ajar!
pikir Ratna. Di belakang Reza ternyata gadis itu berselingkuh.
Malam-malam begini berduaan dengan seorang pria di
pojokan sebuah kafe? Tidak mungkin mereka melakukan perbincangan bisnis
atau sekedar mengobrol!
"Ada apa, Rat?" tanya Anastasia saat melihat air muka sahabatnya.
Ratna mendengus ke arah tempat duduk Sheila. "Masih ingat gadis yang
tinggal di rumahku dan kuceritakan padamu?"
"Yang namanya Sheila itu? Yang katamu ayahnya pembunuh ibunya dan
sekarang sedang di penjara?"
"Ya. Aku kan sudah cerita bahwa aku resah karena hubungannya dengan
anakku. Masalahnya, aku tidak menyukainya. Rasanya sejak ia masuk ke
rumahku hidupku selalu diterpa masalah."
"Lalu kenapa?"
"Dia ada di kafe ini, bersama seorang pria. Huh! Kalau saja dia bukan
anak saudara angkat suamiku yang keluarganya sudah berjasa membesarkan
suamiku, sudah kulabrak dia!"
Anastasia menoleh. Ia melihat seorang gadis dengan dandanan sederhana.
Wajah pria itu tidak jelas karena membelakanginya. Anastasia ikut
mencibir.
"Namanya anak muda. Libido mereka masih tinggi. Tapi tak kusangka, gadis
yang kelihatan alim seperti dia ternyata mau saja diajak keluar malam
oleh laki-laki."
Ratna mengangkat gelasnya dan meneguk isinya pelan-pelan. "Lihat saja
nanti! Aku tak akan membiarkan hal ini! Aku tidak akan menyerahkan Reza
padanya...."
Prang!!! Tak sengaja, Ratna menyenggol gelas Anastasia. Para tamu jadi
menoleh ke arah mereka. Tak terkecuali Sheila dan Bram.
Ratna melihat wajah pria yang bersama Sheila itu. Ia tahu pria itu calon
adik ipar Anastasia. Mengapa Sheila bisa bersqma calon suami Vania?
Lalu ia teringat, beberapa kali Vania menyebut nama Bram. Apakah pria
tampan bernama Harry yang sempat memikat hatinya itu adalah Bram? Bram
yang sama dengan skandal yang terjadi pada Sheila lima tahun yang lalu?
Yang mantan aktor terkenal itu? Astaga... betapa sempitnya dunia ini,
pikir Ratna.
Anastasia buru-buru mengelap isi gelas yang tumpah ke meja dengan tisu
yang tersedia di meja. Tapi ia melihat ekspresi kaget temannya dan ikut
menoleh. Ia juga kaget karena mengenali Bram!
Anastasia bangkit dengan geram. "B*ngs*t!" serunya. Ia menghampiri
Sheila dan Bram, lalu menggebrak meja mereka.
"Besok kalian akan menikah, dan ini yang kau lakukan, Harry?" bentaknya.
"Bagaimana jika kalian sudah menikah nanti? Bisa-bisa dia kau ambil
jadi istri muda!" tunjuknya pada Sheila.
Bram dan Sheila terenyak. Mereka tak menyangka mendapat perlakuan
seperti ini. Bram buru-buru menarik tangan Sheila dan kabur dari kafe
itu. Sheila kaget hingga tak sempat menarik tangannya. Sekilas
dilihatnya Ratna yang sedang mendekati wanita yang marah-marah tadi.
"Tante..." Sheila sempat menyapa Ratna, namun Ratna membalasnya dengan
tatapan penuh kebencian.
Sheila tak sempat menjelaskan apa-apa lagi. Bram sudah mengajaknya
keluar kafe dan masuk ke mobil. Dan begitu mereka masuk mobil, Bram
langsung menstarter mobilnya.
Anastasia sempat mengejar mereka, tapi Ratna menahannya. "Sudahlah, Nas,
mereka berdua bukan pasangan baru."
"Apa maksudmu?" tanya Anastasia geram.
"Ayo ke dalam, aku akan menceritakan semuanya."
Keesokan harinya, Anastasia yang sangat marah menceritakan kejadian
semalam pada Vania. Karena mabuk, begitu pulang dari kafe Vania langsung
ambruk. Mendengar semuanya,Vania juga marah. Ia sadar, pernikahannya
lebih baik dibatalkan. Tapi Anastasia tetap ngotot. Ia tak mau lagi
mengorbankan kebahagiaan adiknya demi pasangan laknat itu. Ia berniat
membalas dendam.
Ratna sudah bercerita padanya tentang latar belakang hubungan Sheila dan
Bram lima tahun yang lalu. Anastasia punya gagasan untuk melakukan hal
yang sama. Menyebarkan skandal ini pada masyarakat. Harry Abraham
Prakoso alias Bram Budiman alias Abraham Mukti kini muncul lagi,
membatalkan pernikahannya secara sepihak karena kepincut seorang anak
pembunuh yang masih mendekam di penjara. Ini pasti akan menjadi berita
yang menggparkan, yang akan menghancurkan karier dan hidup kedua orang
itu.
Kebetulan ia mempunyai teman wartawan infotainment yang pasti sangat
senang mendapatkan berita ini. Namanya Iwan Adiputra.
Iwan Adiputra tak bisa berhenti tersenyum. Baru kali ini ia merasa hidup
begitu adil. Lima tahun yang lalu, kariernya jatuh dengan cepat ketika
Frans Samudra, seorang editor yang bekerja di penerbitan, menuntutnya
akibat pencantuman nama tanpa izin. Akibat pemberitaan yang dilakukan
Iwan, Frans dipecat dari kantornya bekerja. Frans pun menuntut ganti
rugi pada Iwan. Dan akibat penuntutan itu, Iwan diminta untuk
mengundurkan diri dari tabloid Bintang dan Film.
Iwan sempat menganggur selama dua tahun sebelum akhirnya mendapatkan
pekerjaan di redaksi infotainment salah satu televisi swasta yang saat
itu sangat diminati masyarakat. Iwan pun
bersungguh-sungguh menjalankan pekerjaannya. Ia mengejar berita para
artis terkenal, dengan sedikit kecerdikan. Entah dari sopir atau
pembantu artis yang disuapnya, Iwan mendapatkan bocoran tentang rahasia
sang artis. Dan setelah tiga tahun bekerja, ia mulai merasa mantap.
Trauma masa lalu akibat penuntutan Frans pun perlahan-lahan mulai sirna.
Sekarang Iwan mendapatkan kesempatan untuk mengembalikan harga dirinya
lewat berita ini, berita yang didapatkannya dari Anastasia Chandra,
salah seorang teman yang dikenalnya lewat pergaulan kelas tinggi. Iwan
pun mulai bekerja. Berita sudah didapatkannya, tinggal mendapatkan
rekaman gambar mutakhir wajah Sheila dan Bram. Itu cuma soal mudah.
Mira tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan penuh haru. Setelah enam
setengah tahun, ia baru bisa menapakkan kakinya lagi di Indonesia. Lalu
lalang orang membuat hatinya terasa hangat. Ini kampung halamannya.
Bahasa yang didengarnya pun bukan lagi bahasa Kanton, melainkan bahasa
Indonesia. Oh, betapa ia sudah tak sabar ingin bertemu teman-temannya.
Mira datang ke sini tanpa izin Graham. Kebetulan pria itu sedang sibuk
mengurusi kelahiran anaknya. Mira berhasil mengumpulkan cukup banyak
uang selama dua tahun, cukup baginya untuk membelu tiket pulang ke
Jakarta dan bekal hidup selama beberapa bulan di sini. Kerinduannya pada
Sheila sudah tak tertahankan lagi. Ia sudah tak sabar ingin melihat
wajah anaknya.
Mira tak tahu apakah setelah ini ia akan kembali padq Graham atau tidak.
Hatinya masih bimbang. Masalahnya, walaupun Graham mengurungnya di
Hongkong, pria itu masih memperlakukannya dengan baik. Segala kebutuhan
hidup Mira terpenuhi. Mira memutuskan akan memikirkannya lagi setelah ia
menemui Sheila.
Soal Charles, Mira tidak mau peduli. Walaupun secara hukum ia masih
istri sag Charled, Mira menganggap pria itu sudah mati.
Pertama-tama ia akan mencari Sheila di kontrakan mereka dulu. Walau
kecil kemungkinannya Sheila dan Charles masih tinggal di sana, pasti ia
bisa mendapatkan kabar tentang Sheila.
Mira mampir di gerai fast food untuk membeli burger dan memakannya di
ruang tunggu. Ia melihat sambil lalu ke arah televisi di sudut ruangan.
Seorang presenter sedang membacakan gosip terbaru.
"...pemirsa, Anda yang menjadi penggemar film tahun delapan puluhan
tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama Abraham Mukti. Sejak
kecelakaan yang dialaminya pada tahun 1985, Abraham Mukti menghilang.
Sejak itu kabar beritanya tidak diketahui lagi. Tapi lima tahun yang
lalu, terdengar skandal yang cukup menghebohkan antara Abraham Mukti
yang sudah berganti profesi menjadi penulis cerita detektif bernama Bram
Budiman, dengan seorang gadis berusia tujuh belas tahun bernama
Sheila..."
Mendengar nama Sheila disebut-sebut, Mira mencoba melihat lebih jelas
pada layar kaca di atasnya. Ia tersenyum. Nama Sheila bukan nama
pasaran, tapi rupanya cukup banyak juga orang yang memakainya.
Dilihatnya wajah seorang pria yang dikenalinya sebagai aktor tampan
tahun delapan puluhan, walaupun kini wajahnya sudah agak berubah karena
usia. Dulu Mira sangat mengidolakan aktor itu. Ia pun masih ingat
kecelakaan yang dialami Abraham Mukti, sebab diberitakan besar-besaran
di media masa.
"... nama Bram Budiman pun tenggelam. Kabar terakhir menyebutkan, Bram
sudah tak lagi mengirimkan naskahnya ke penerbit yang menerbitkan
bukunya selama ini. Tapi sekarang, reporter kami mendapatkan berita
bahwa Bram sudah berganti nama menjadi Harry Prakoso dan menulis novel
misteri. Baru-baru ini ia akan menikah dengan seorang gadis bernama
Varenia Chandra, tapi tiga hari sebelum pernikahan ia membatalkannya
secara sepihak. Rupanya Bram kembali pada cinta lamanya, gadis bernama
Sheila yang kini sudah berusia dua puluh tahun..."
Burger yang sedang dipegang Mira menggelinding jatuh ketika dilihatnya
wajah yang sangat dikenalnya di televisi. Itu Sheila, tak salah lagi.
Sheila anaknya. Walau
bertambah dewasa,wajah putrinya itu tak berubah. Mira masih
mengingatnya.
"Sheila...," seru Mira kaget.
"... dan kembali kami mendapatkan berita yang bakal membuat para
penggemar Abraham Mukti alias Bram Budiman, alias Harry
Prakoso,terkejut. Saat ini, Sheila pun sudah mempunyai seorang kekasih
bernama Reza. Ternyata gadis bernama Sheila itu adalah anak seorang
pembunuh yang saat ini masih mendekam di penjara dan baru akan bebas
tahun 2013 nanti. Yang dibunuh oleh ayah Sheila adalah ibu kandung
Sheila sendiri. Ini benar-benar skandal yang..."
Mira menjerit," Tidaaakkk...!!!"
BAB 21
Halaman rumah Haryanto dipenuhi wartawan. Di dalam rumah itu berkumpul
semua penghuninya, termasuk Sheila. Sheila sedang duduk di ruang tamu
yang tirainya ditutup, di bangku lainnya Ratna dan Renny, lalu Reza
berdiri tak jauh dari situ, dan Haryanto di kursi roda.
Hari ini seharusnya Bram dan Varenia menikah. Tapi tadi pagi Reza
mendapat telpon dari Varenia. Wanita itu batal menikah. Otomatis jadwal
acara dan semua pemesanan yang ditangani The Glass Slipper berantakan.
Tapi Reza tidak mengalami kerugian berarti, karena Bram dan Varenia
sudah membayar lunas.
Reza juga mendengar kabar bahwa Sheila-lah yang membuat Bram batal
menikah.
"Kenapa kau melakukan ini, Sheila?" tanya Reza dengan sorot mata
terluka.
Sheila tak bisa menjawab. Ia telah mendengar semua berita dari
infotainment. Isi beritanya senada. Ia pun resah karena berita itu
membawa-bawa nama Reza, almarhumah ibunya, dan ayahnya yang ada di
penjara. Dan Bram, di manakah pria itu sekarang? Kasihan, Bram pasti
bingung...
"Sudah mama bilang, kau tidak pantas memberikan cintamu pada dia,Rez!"
seru Ratna lantang. Ia menoleh pada Sheila, "Dan kau, Sheila, kau
benar-benar keterlaluan. Selama ini aku sudah menahan sabar, tapi kau
terus membuat masalah!"
Reza berkata, "Ma...!"
"Diam dulu, Rez! Mama sedang ngomong! Sheila,kalau bukan demi suamiku,
sudah lama kau kuusir dari rumah ini! Aku sudah sabar selama tujuh
tahun! Entah sampai kapan cobaan ini berakhir. Waktu kau memukul Reza
hingga pingsan, aku sudah tak dapat menahan sabar. Tapi lagi-lagi demi
om-mu, aku masih baik padamu. Tapi kau semakin keterlalan! Kini kau
telah mengganggu kehidupan keluargaku. Kau menggoda Reza kemudian
mencampakkannya, kau menggoda kekasih Renny hingga Nathan tidak mau lagi
datang kemari..."
Sheila terbelalak. Sejak kapan ia menggoda Nathan? Ia mau membela diri,
tapi Ratna terus mencerocos.
"... sekarang kau membuat nama Reza dibawa-bawa dalam gosip yang sangat
menjatuhkan nama keluarga kami!"
Sheila menangis. "Tante, aku minta maaf..."
"Saat ini aku tidak butuh maaf! Kau mesti pergi dari sini!" bentak
Ratna.
"Baik, Tante. Aku akan pergi secepatnya."
"Makin cepat makin baik, sebelum kau membuat keluarga kami makin
hancur!"
"Ma!" tegur Reza. "Sudahlah, Ma. Sheila kan sudah seperti keluarga kita
sendiri..."
"Reza, Mama benar-benar kecewa padamu! Mata hatimu sudah dibutakan oleh
kecantikannya!"
"Ma, jangan begitu. Sheila akan menjadi manantu Mama."
"Apa?" Ratna merasakan nyeri di dadanya lagi. Ini pasti akibat ia
terlalu emosi. Didekapnya dadanya.
Reza menatap mamanya serius. "Benar, Ma, aku akan memulihkan nama baik
Sheila dan juga keluarga kita... Aku akan menikahi Sheila."
Dada Ratna terasa semakin nyeri.
"Halo? Pak Harry Prakoso?"
"Ya, benar. Saya sendiri."
"Maaf, Pak, ini dari penerbit Mediasuka. Saya Anton."
"Oh ya, Pak Anton. Ada apa ya?"
"Maaf, Pak. Saya disuruh atasan saya untuk menyampaikan bahwa kontrak
buku terakhir anda akan ditunda sementara. Begitu pula cetak ulang dua
buku yang sudah dikonfirmasikan, untuk sementara kami tunda dulu."
Bram tidak merasa perlu bertanya mengapa. Ia tahu penyebabnya. "Baiklah,
Pak Anton. Senang bekerja sama dengan anda."
"Baik, Pak. Good luck."
Telepon diputuskan. Semoga sukses, pikir Bram pahit. Ia sama sekali
tidak peduli dengan bagaimana buku dan penghasilannya kelak. Ia cuma
memikirkan satu hal. Sheila. Setelah pemberitaan yang memojokkan mereka
berdua, bagaimana kabar gadis itu sekarang?
Terdengar bel di pintu. Bram berpikir, itu pasti wartawan. Mengapa
satpam apartemennya tidak mengusir mereka seperti yang diperintahkannya?
pikirnya kesal. Ia mendiamkan saja, tapi bel itu terus berbunyi.
Akhirnya ia bangkit berdiri dan melihat lewat lubang pengintip.
Dilihatnya seorang wanita. Wajahnya tampak familier, tapi ia tidak
mengenalnya. Dibukanya pintu itu.
Wanita itu kira-kira berusia akhir empat puluhan. Bajunya cukup rapi dan
wajahnya cantik. Penampilannya sopan dan anggun.
"Pak Bram?" tanya wanita itu. Ia mengulurkan tangannya pada Bram.
"Kenalkan, nama saya Mira, saya ibunya Sheila..."
Bram ternganga.
Sheila memutuskan untuk pindah dari rumah Haryanto secepatnya. Ia
membereskan barang-barangnya. Begitu kumpulan wartawan di depan rumah
berkurang, ia akan segera keluar dari rumah itu. Berita ini sudah
membuatnya shock berat, karena setelah infotainment menayangkan berita
tentang Bram, majalah dan tabloid pun ikut meliputnya. Bram dan Sheila
mendadak menjadi sorotan, terkenal dalam arti negatif.
Entah bagaimana Bram menyikapi berita ini. Bagaumana pula dengan
pernikahannya? Kariernya? Sheila merasa sangat bersalah telah membuat
nama baik pria itu ikut buruk. Entah siapa yang membocorkan berita ini
kepada wartawan. Tapu Sheila sudah memutuskan untuk menjauh dari Bram.
Pria itu akan menderita kalau bersama Sheila terus. Semua orang akan
menudingnya sebagai pria tak punya hati yang berselungkuh dengan anak
pembunuh.
Reza sudah pergi ke kantor. Sheila berpikir akan pergi tanpa pamit
padanya, walau Reza sudah wanti-wanti agar ia jangan ke mana-mana. Nanti
kalau sudah pindah, baru ia mencari Reza.
"Non mau ke mana?" ujar Marni terisak. "Jangan pergi, Non. Kalau Non
pergi, saya ikut."
Sheila berusaha menahan harunya. Tak disangkanya Marni akan berat
melepaskannya. "Kalau kamu ikut saya, nanti Oom Har siapa yang ngurus?"
"Nanti mereka akan cari pembantu lagi, Non. Saya jadi pembantunya Non
Sheila saja. Atau...
kita ajak saja Tuan?"
"Ngaco kamu!"kata Sheila pura-pura marah. "Sudahlah, Mar, saya akan
sering-sering menjenguk Oom kemari. Tenang saja."
"Tapi... saya takut sama Nyonya, Non."
"Takut apa? Sudah, tenang saja. Kalau Nyonya memecat kamu, biar kamu
ikut saya saja."
Sheila masuk ke kamar Haryanto. Ia ingin pamitan. Dilihatnya Haryanto
sedang duduk di kursi roda dengan kepala bersandar pada sandarannya.
Sheila menghampiri oomnya itu.
"Oom, aku mau pergi dari sini. Tapi aku janji akan sering-sering datang
menjenguk Oom. Oom tidak usah mengkhawatirkan aku." Dilihatnya air muka
Haryanto berubah sedih. "Aku mau...
berterima kasih atas kebaikan Oom selama ini..." Sheila tak
dapat menahan rasa harunya,
mengingat Haryanto selalu membela dan melindunginya, lebih dari ayah
kandungnya sendiri. "Aku sudah menganggap Oom sebagai ayahku sendiri.
Kebaikan Oom ini hanya Tuhan-lah yang akan membalasnya."
Sheila menguatkan hatinya dan meninggalkan Haryanto sendirian. Mulut
Haryanto komat-kamit seolah akan menahan gadis itu, tapi tidak ada suara
yang keluar. Seperempat jam berlalu tanpa suara di kamar itu.
Haryanto hanya bisa duduk sambil memandang langit-langit. Lalu tiba-tiba
Marni masuk kamar.
"Tuan, di luar ada orang!" katanya. "Dia mau ketemu Tuan, tapi... gimana
ya?" Marni menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Ekspresinya tampak
bingung. "Di rumah nggak ada siapa-siapa, lagi." Tiba-tiba ia tersenyum
dan mendorong kursi roda Haryanto ke depan. "Ah, sudahlah, Tuan langsung
temui saja dia. Biar dia lihat sendiri kondisi Tuan kayak gimana."
Di ruang tamu, duduk seorang wanita. Saat melihat Marni mendorong kursi
roda berisi Haryanto yang sedang duduk, wanita itu menutup mulutnya
karena kaget.
"Kak Har...? Kak Har kenapa?"
"Tuan Haryanto sudah lama begini, Bu! Sudah tigatahun." jelas Marni.
"Dia sih nggak bisa ngapa-ngapain, Bu. Semuanya saya yang urus. Makan,
buang air, mandi, ganti baju, pokoknya semuanya dia nggak bisa sendiri
deh. Kalau Ibu mau ngobrol, ya ngobrol aja. Kayaknya Tuan ngerti,
tapi... nggak tahu deh. Saya ke dapur dulu ambil minum." Marni pun
meninggalkan Haryanto berdua sang tamu.
Mira menangis melihat kondisi kakak angkat suaminya. Seingatnya dulu
Haryanto sangat gagah dan berwibawa. Mengapa sekarang keadaannya seperti
ini? Duduk di kursi roda seperti mayat hidup?
Usia Haryanto cuma selisih beberapa bulan dari Charles, tapi karena
bukan saudara kandung, Charles sangat membenci Haryanto. Katanya
Haryanto orang yang sok baik dan selalu ingin membuatnya tampak buruk di
mata orangtua mereka.
Mira teringat masa-masa sulit pernikahannya dengan Charles. Saat itu,
karena mertuanya sudah meninggal, Mira cuma bisa menemui Haryanto bila
butuh uang mendesak. Haryanto selalu menerimanya dengan ramah dan
memberinya lebih dari yang ia minta. Bahkan tiga tahun terakhir sebelum
ia meninggalkan Charles, saat suaminya itu sudah gila judi dan minum,
seluruh biaya sekolah Sheila dibayari Haryanto. Charles tak tahu. Dia
tak mautahu Mira dapat duit darimana.
Setelah menonton infotainment, Mira tahu bahwa Bram tinggal di apartemen
di daerah Menteng. Mira nekat ingin menemui Bram. Walaupun
untung-untungan, Mira akhirnya mendatangi apartemen lelaki itu dan
bertanya pada resepsionis, dan syukurlah akhirnya Mira bisa menemui
Bram. Dan tadi saat ia menemui Bram, pria itu memberi informasi bahwa
Sheila tinggal di sini, di rumah Haryanto.
Mira memang sudah mencari Sheila di rumah kontrakan mereka dulu, tapi
tidak ada yang tahu di mana putrinya itu sejak Charles ditangkap polisi.
Menurut Pak RT, sejak Charles dipenjara, Sheila tidak pernah keluar
rumah. Suatu hari saat pemilik kontrakan memeriksa, Sheila sudah tidak
ada di sana. Gadis itu pergi tanpa pamit padanya.
Bram lalu bercerita banyak tentang Sheila. Mira sampai menangis
mendengarkan penderitaan anaknya saat ia sedang enak-enak di Hongkong.
Tapi Mira juga merasa sedikit lega, karena Sheila sudah menjadi guru
piano dan pianis di acara pernikahan. Sheila sudah dewasa dan sudah bisa
mandiri tanpa bantuannya.
Waktu pertama kali melihat Bram yang hampir separo baya, Mira merasa
pria itu bukan orang yang tepat untuk Sheila. Tapi melihat kebaikan hati
Bram dan karisma yang dipancarkannya, Mira dapat mengerti mengapa
Sheila bisa jatuh hati padanya. Bagi Mira, sebenarnya hubungan Sheila
dan Bram tidak terlalu penting. Masalah utamanya sekarang adalah
menemukan Sheila secepatnya, lalu mengurus masalah Charles di penjara.
Charles dipenjara karena dituduh membunuh Mira, padahal Mira sendiri
yang kabur ke Hongkong. Ini semua salahnya. Tak disangkanya semuanya
akan jadi begini. Mira bersimpuh di samping kursi roda Haryanto.
"Kak Har, aku ingin minta maaf karena telah merepotkanmu. Kau sudah
begitu baik, mau menampung Sheila di rumah ini. Sungguh, aku tak mampu
membalas kebaikanmu."
Haryanto memandangi Mira tanpa mengucap apa-apa. Tapi tanganny perlahan
bergerak, menyentuh tangan Mira.
"Kak, sekarang aku ingin bertemu Sheila, di mana dia?"
"Oh, jadi Ibu mencari Non Sheila?" Marni sudah keluar lagi sambil
membawa segelas sirop jeruk. Ia menaruhnya di meja. "Silakan minum, Bu."
"Mbak tahu dimana Sheila?" tanya Mira penuh harap.
"Non Sheila baru saja pergi dari sini, Bu."
"Kapan pulangnya?"
Marni tersenyum seolah Mira yang bodoh. "Ya nggak pulang, Bu. Wong dia
sudah pindah, baju-bajunya semua dibawa!"
Mira terpana. "Sheila... sudah pergi? Ke mana, mbak?
"Saya tidaktahu, Bu. Tapi tenang saja, dia bilang dia akan sering-sering
kemari kok,"senyum Marni.
Mira terduduk lemas di sofa. Lenyaplah harapannya untuk bertemu
putrinya. Tadinya dikiranya ia akan dapat melepas kerinduannya dan juga
membereskan masalah Charles.
"Bu? Kenapa, Bu?"
Mira menatap Marni. "Boleh saya melihat kamarnya?"
Mira mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang sempit itu. Kamar
itu di dekat dapur. Isinya cuma sebuah dipan, rak rotan, sebuah meja,
dan sebuah bangku. Di dinding ditempeli beberapa poster bergambar bunga,
dan ada gambar seorang ibu tengah menggendong bayi.
Mira tak dapat menahan rasa harunya. Apakah kau sering kagen pada Mama,
Nak? batinnya.
Pandangan Mira tertumbuk pada sesuatu yang sangat dikenalnya. Sebuah
miniatur piano putih di dalam kotak kaca. Ia ingat, itu benda yang
diberikannya pada Sheila di hari terakhir ia berada di rumah kontrakan
mereka, sebagai hadiah perpisahan. Buru-buru ia mengambil benda itu dan
memeluknya. Oh, Sheila, Mama ingin sekali bertemu denganmu.
Bug! Suara keras seperti benda jatuh itu membuat Mira kaget dan
berpaling. Di belakangnya, berdiri Sheila yang barusan menjatuhkan
tasnya karena kaget melihat mamanya ada di hadapannya.
"Sheila!" Mira segera menghambur ke pelukan anaknya. Tapi Sheila
melangkah mundur. Tadinya ia hanya ingin mengambil miniatur pianonya
yang tertinggal, sampai ia harus naik ojek untuk kembali ke rumah
Haryanto. Tak disangkanya...
"Ma... Mama sudah mati, jangan ganggu Sheila, Ma!"
"Sheila! Mama bukan hantu! Ini Mama, Nak! Ini benar-benar Mama!" seru
Mira. "Mama belum mati!"
Sheila merasa pandangannya berkunang-kunang. Berita yangdi dengarnya
barusan membuat otaknya sangat kacau. Ia memegangi kepalanya. "Tid...
tidak... Tidak!" Dan pandangannya pun menjadi gelap.
"Sheila, Papa pulang! Papa bawa apel kesukaanmu!"
"Papa! Papa!"
Kaki kecil itu berlari dan menghambur ke dalam pelukan Charles. Charles
mengangkat anak itu tinggi-tinggi dan melemparkannya ke udara, lalu
menangkapnya lagi. Ia menciumi pipi putrinya. "Sheila sayang! Sheila
sayang Papa, nggak?"
"Sayang!"
"Sayangan mana sama Mama?"
Sheila mengerutkan keningnya yang mungil, lalu ia tersenyum.
"Dua-duanya!"
Charles mencubit hidung Sheila, "Kamu memang pintar!"
Sheila menangis. Itu mimpi yang sering sekali muncul dalam tidurnya,
mimpi tentang ayahnya yang membelikan apel di saat Sheila berusia tujuh
tahun. Kenangan paling manis yang pernah dirasakannya. Mimpi yang sering
ia halau ketika terbangun
dari tidur, mencoba untuk meresapi bahwa ayahnya tak sayang padanya,
ayahnya tak memedulikannya.
Kini ia tahu semua itu tidak benar. Ayahnya bukan pembunuh. Ayahnya
tidak membunuh ibunya. Ayahnya tidak melakukan sesuatu yang membuatnya
sedih. Ayahnya bukan tak peduli padanya.
Sheila menangis keras. Ia sangat menyesal. Ia yang salah. Ia telah salah
menduga.
Mira memeluk anaknya. "Sheila, maafkan Mama, Sheila! Selama ini Mama
begitu rindu padamu..."
Sheila mengelak dari pelukan itu. Mira menangis, tak menyangka anaknya
begitu marah padanya. "Sheila..."
Sheila mengangkat wajahnya. "Mama... ke mana Mama pergi selama ini?"
tudingnya.
"Sheila..." Mira bingung mesti mulai dari mana. "Mama pergi ke
Hongkong..."
"Hongkong? Mama meninggalkan aku dan Papa begitu saja? Apakah Mama tidak
tahu Papa ditangkap karena dituduh membunuh Mama? Dan aku mesti tinggal
sendiria?
"Justru Mama baru tahu papamu dipenjara, Sheila. Mama mau mengajakmu ke
kantor polisi untuk membebaskannya."
Sheila mendengus. "Setelah hampir tujuh tahun, Ma? Mama tega sekali,
tega pada aku dan Papa. Apakah..." Sheila hampir tak sanggup bicara
karena emosi yang menggelegak di dadanya. "Apakah Mama tidak tahu bahwa
aku jadi membenci Papa dan tak pernah menjenguknya di penjara?" Ia
menangis sejadinya. "Mama telah membuat aku berdosa karena perlakuanku
terhadap Papa...!"
"Sheila, maafkan Mama. Mama tak bisa pulang. Ada orang yang mengurung
Mama di sana...
Mama tidak boleh pulang ke jakarta. Mama... kabur dari sana, Nak..."
Sheila terenyak. "Orang? Siapa?"
Mira bersimpuh di kaki anaknya. "Sheila, maafkan Mama, Nak. Mama kabur
ke Hongkong dan tinggal bersama seseorang bernama Graham Lee. Itulah
sebabnya Mama tidak mengetahui apa yang terjadi padq dirimu dan
papamu..."
Sheila menggeleng-gelengkan kepala. Ia sangat menyesal tujuh tahun ini
telah terbuang sia-sia bersama dendamnya. Betapa ia sangat berdosa pada
ayahnya!
"Mama tega sekali meninggalkan kami begitu saja, dan tinggal bersama
pria lain!"
"Kau tidak mengerti, Nak. Bukannya Mama ingin membela diri. Mama tahu
Mama salah, Sheila. Tapi saat itu pikiran Mama sudah buntu. Mama ingin
lepas dari papamu. Mama tidak tahu kalau akhirnya jadi begini..."
Sheila lemas. Tak ada gunanya ia terus menyesali ini. Nasi telah menjadi
bubur.
"Ma, sekarang kita mesti membebaskan Papa."
Mira mengangguk. "Mama sudah cerita semuanya pada Bram,temanmu itu. Dia
bilang akan membantu mencarikan pengacara untuk menuntut balik pada
Negara. Mereka telah menghukum orang yang tak bersalah."
Sheila kaget. "Mama sudah bilang pada Bram?"
"Ya. Sekarang dia menunggu kita di kantor polisi."
Kantor polisi menjadi gempar saat Mira dan Sheila datang ke sana untuk
melaporkan hal ini. Kebetulan yang saat ini menjabat pimpinan di polres
Jakarta Barat adalah Agung Wijaya yang dulu masih berpangkat letnan dan
ikut mengurus kasus ini.
"Jadi, ini benar Ibu Mira istri Bapak Charle?" tanyanya dengan nada tak
percaya. Bisa saja ini cuma orang yang mengaku-aku agar Charles
dibebaskan.
Mira mengeluarkan semua dokumen miliknya yang menunjukkan identitasnya.
"Ini, Pak. Silakan diperiksa dulu."
Agung memeriksa berkas-berkas itu dengan keringat dingin yang menjalari
tubuhnya. Kasus ini salah satu batu loncatan yang digunakannya untuk
menempati posisinya yang sekarang ini. Tapi jika mereka terbukti salah
menangkap, tentulah ia yang harus bertanggung jawab.
"Bagaimana, Pak?" tanya Sheila
"Apakah ayah saya boleh dibebaskan sekarang?"
"Tidak bisa seperti itu, mbak. Ini harus diselidiki dulu. Jika benar
ayah anda terbukti tidak bersalah, tentu ia akan dibebaskan."
"Dan bagaimana kalau kami mau menuntut balik, Pak Agung?" tanya Bram,
yang sejak tadi sudah mendampingi Sheila dan Mira.
"Ehm... dalam hal ini berarti Negara ya, Pak. Hal seperti itu memang
diperbolehkan, tapi kalau bisa kasus ini
diselesaikan dengan cara damai saja, Pak. Tapi kalau memang Bapak
berkeras..."
"Kami mau menuntut balik, Pak," ujar Sheila tegas.
"Hoek...! Hoek...!" Renny muntah-muntah di kamar mandi. Ratna yang
kebetulan lewat menghampirinya.
"Kenapa, Ren? Masuk angin?" Ia memijit-mijit punggung anaknya.
Renny menggeleng. Dengan napas terengah-engah ia mencuci tangannya di
wastafel. "Kayaknya perutku lagi nggak enak aja, Ma." dustanya. Ia tahu
bahwa mual dan muntahnya itu akibat hamil. Biasanya tidak begini, tapi
ia ingat bahwa hari ini sejak pagi ia belum makan apa-apa.
Ratna merasa aneh. Sejak kecil Renny jarang muntah. Ia jadi teringat
cerita kawanmya yang pernah punya anak yang hamil saat SMA, mendadak
muntah-muntah padahal tidak sakit. Begitu pula cerita yang ada di
film-film atau sinetron. Tidak mungkin itu terjadi pada Renny, tapi
Ratnacuma ingin memastikan.
"Kayaknya dua bulan ini kamu belum dapat haid. Pembalut yang Mama
belikan Mama lihat masih belum dibuka di atas meja belajarmu..."
"Ehm... sudahkom, Ma! Renny pakai yang lama. Kan masih sisa banyak..."
Ratna medesah lega,"Baguslah. Mama paling takut kalau kamu sampai hamil
diluar nikah. Saudara kita kan banyak, dan kamu tahu sendiri, mereka itu
sombong-sombong. Kalau sampai hamil sebelum nikah, pasti kita
digunjingkan, ngerti?" Ia berkata lembut, "Mama sih yakin, kamu juga
nggak sebodoh itu. Nathan juga kelihatannya pemuda yang baik. Iya, kan?"
Renny terdiam. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuannya dengan Nathan
yang terakhir, dan pemuda itu tidak bisa ditemuinya. Apakah Nathan mau
kabur dari tanggung jawab? Sekarang bagaimana? Apakah ia mesti
menanggung kehamilan ini sendirian? Ia sudah dewasa, ia tahu
kehamilan ini semakin lama akan semakin kelihatan, sukar untuk
menutupinya, apalagi dari ibunya.
"Ma..." Renny menangis. "Jangan marah sama aku aku ya, Ma. Tapi... aku
memang hamil..."
"AP?!" teriak Ratna. "KAMU APA?!"
Ratna tak memercayai pendengarannya. Renny... hamil?
Ya ampun, hal yang ditakutkannya terjadi! Ia pernah membicarakan masalah
kontrasepsi pada Renny. Katanya anak itu sudah tahu semua. Ratna juga
tak menutup mata, pergaulan remaja sekarang kian berani. Pikir Ratna,
asalkan bertanggung jawab tidak apa-apa. Tapi sekarang...
Renny hamil? Apakah ini kesalahannya yang tidak memerhatikan pergaulan
Renny?
"Aku... hamil, Ma," ulang Renny.
Ratna merasa dadanya nyeri. Tubuhnya terhuyung dan ia jatuh pingsan.
Renny memegangi mamanya, dan berteriak, "Tolong! Tolong! Marniiii!!!!"
Tak lama Marni membantu Renny menggotong tubuh Ratna ke kamar. Mereka
berusaha menyadarkan Ratna dengan aroma minyak kayu putih, tapi Ratna
tak kunjung sadar. "Kita mesti bawa ke rumah sakit. Mar, panggil taksi,
cepat!"
Marni buru-buru berlari keluar. Di luar, ia bertemu dengan Rico, pemuda
tetangga sebelah.
"Renny ada, Mbak?" tanya pria itu.
"Aduh, lagi repot, Mas! Saya mau cepat-cepat cari taksi. Mau ngantar
Nyonya ke rumah sakit," kata Marni.
"Lho, kenapa?"
"Saya juga nggak tahu, sekarang saya mau cari taksi dulu."
"Biar saya yang antar saja! Kebetulan mobil oom saya ada di rumah! Saya
ambil dulu mobilnya, Mbak!"
Marni tersenyum. "Wah, bagus itu. Biar saya bilang ke Non Renny dulu."
Renny yang sebenarnya tak suka Rico membantunya, tak bisa berbuat
apa-apa. Dibantu Marni dan Rico ia menggotong tubuh Ratna yang masih
pingsan ke mobil Kijang milik paman Rico. Mereka pun berangkat ke rumah
sakit.
Agung Wijaya mengusap-usap wajahnya dengan kalut. Masih segar di
ingatannya kasus yang membuat kariernya menanjak kurang-lebih tujuh
tahun yang lalu. Waktu itu tidak ada kasus
sama sekali, padahal dengan menyelesaikan kasus baru pangkat bisa
dinaikkan. Polisi seangkatan Agung getol berlomba-lomba untuk meniti
karier di kepolisian, karena usia mereka sebaya. Masih muda-muda dan
semangat pun masih tinggi.
Lalu ada laporan masuk bahwa istri Charles menghilang,dan diduga
suaminya yang suka menganiaya istrinyalah pembunuhnya. Agung melihat ini
sebagai suatu kesempatan. Walau tak ada penuntutnya, kasus ini bisa
dibuka dengan Negara sebagai penuntutnya. Kasus ini sangat mudah. Motif
ada, alibi tak ada, saksi banyak. Dengan demikian,tak perlu bukti. Dari
pengakuan itu saja sudah cukup untuk memenjarakan Charles.
Agung pun mulai menginterogasi tersangka. Ia tahu agak sulit membuat
seseorang mengaku, tapi ia punya trik yang didapatkannya dari pengalaman
para senior. "Gebukin aja, pasti ngaku!" begitu kata mereka. Agung pun
mulai mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan, tapi Charles tak kunjung
mengaku. Charles cuma bilang bahwa karung yang dibawanya dan
ditenggelamkan ke kali adalah bangkai kucing. Kucing itu kerap
mengganggu tidurnya sehingga ia habis sabar dan membunuhnya. Karena
takut ada yang punya, ia memasukkannya ke karung dan membuangnya ke
kali. Tentu saja Agung tak percaya. Apakah ia begitu mudah dibohongi
oleh seorang tersangka?
Agung mulai memukuli Charles. Sekali, Charles tak mengaku. Dua kali,
tiga kali, berkali-kali, akhirnya Charles mengaku dialah yang membunuh
istrinya, memasukkan jenazahnya ke karung dan membuangnya ke kali.
Charles menandatangani pernyataan bahwa ia mengaku bersalah, pengadilan
pun memutuskan 15 tahun penjara walau jenazah tak ditemukan.
Anggapannya, jenazah itu telah hanyut atau hancur dimakan ikan.
Tak lama kemudian, pangkat Agung naik pesat seiring kasus-kasus lain
yang dipecahkannya, hingga ia menjadi pimpinan polres Jakarta Barat saat
ini.
Tak disangka istri Charles muncul sekarang ini. Agung bukan saja merasa
bersalah pada Charles, melainkan ia tahu kariernya pun terancam. Saat
ini posisinya bagaikan telur di ujung tanduk. Ia putus asa.
Ratna membuka matanya. Ia melihat wajah Renny yang bersimbah air mata.
Di sampingnya ada Reza dan Rico.
"Mama! Mama sudah siuman!" teriak Renny.
Ratna pun teringat bahwa... Renny hamil!
"Renny, bagaimana..." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
dadanya terasa nyeri. Nyeri yang sudah dirasakannya berbulan-bulan tapi
kali ini lebih terasa menyakitkan.
"Agh..."
"Mama! Mama!" panggil Renny. "Dokter! Panggil Dokter! Cepat, Rez!"
Ratna menggeleng. Ia ingin berkata bahwa dirinya baik-baik saja, tapi
ketiga orang di depannya begitu paniknya memanggil dokter. Tak lama
kemudian seorang dokter masuk ke ruangan itu. Ratna membiarkan dokter
itu memeriksanya. Ia sendiri memejamkan mata, berusaha melawan rasa
sakit yang masih terasa di dadanya.
Tak lama dokter pun selesai.
"Bagaimana, Dokter? Ini semua gara-gara saya terlalu banyak
pikiran,"ujar Ratna. Ia berpikir, bagaimana seandainya ia minta rujukan
dokter ini dimana tempat aborsi yang aman untuk Renny.
Dokter itu setengah baya. Air mukany tampak prihatin.
"Ada yang salah, Dok?" tanya Ratna bingung. "Apa saya punya penyakit?
Dada saya memang sering nyeri, tapi.. bykan jantung, kan?"
"Bukan," jawab dokter.
Ratna mendesah lega. Ia bangkit berdiri dan duduk di pinggiran tempat
tidur. "Untunglah. Memang kolesterol saya di ambang batas, Dok, tapi
masih normal kok. Saya takut kalau sampai stroke seperti suami saya."
"Bu ratna, ehm... saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda. Empat
mata."
Renny dan Reza mengerti. Bersama Rico mereka keluar ruangan.
Ratna mengangguk ragu. Ada apa ini? Seperti ada firasat buruk yang
mampir di benaknya.
Dokter menyalakan sebuah lampu dan sebuah plastik bening dengan beberapa
bayangan hitam pun terlihat jelas. "Saat Anda pingsan, saya sempat
merontgen dada Anda."
"Ad... ada apa, Dok?"
"Saya juga tidak tahu pasti, tapi Anda mesti menjalani biopsi."
"Bi... biopsi? Bukankah itu untuk... kanker?"
Dokter mengangguk. Ia menunjuk ke sebuah bayangan hitam. "Di payudara
Anda yang sebelah kanan, terdapat benjolan. Saya menduga itu kanker."
Ratna tersentak kaget.
BAB 22
Sheila terbelalak menatap berita yang dibacanya di koran.
KAPOLRES JAKARTA BARAT BUNUH DIRI KARENA SALAH MEMENJARAKANORANG
Kapolres Jakarta Barat, Agung Wijaya, Senin malam bunuh diri dengan cara
menenggak racun pembunuh serangga. Ini dilakukan di ruangan pribadi di
kantornya. Ia ditemukan tadi malam oleh rekannya yang ingin mematikan
lampu ruangan yang menyala. Menurut beberapa sumber yang tidak mau
disebutkan namanya, hal ini kemungkinan besar karena kasus yang
dipegangnya enam setengah tahun yang lalu. Ia telah salah menuduh
Charles membunuh istrinya, padahal sang istri masih hidup. Charles
dipaksa mengaku bersalah sehingga divonis 15 tahun penjara. Tapi sang
istri yang ternyata pergi ke Hongkong dan baru pulang ke Jakarta
beberapa hari yang lalu mengetahui hal ini dan minta agar suaminya
dibebaskan. Diduga, Agung Wijaya merasa terpukul akibat kesalahannya
yang mengakibatkan orang yang tak bersalah dipenjara selama
bertahun-tahun.
Saat itu Sheila sedang menginap di hotel bersama Mira. Sheila tak lagi
menyalahkan ibunya atas kejadian ini. Ia sudah paham bahwa banyak hal
terjadi karena memang sudah suratan takdir. Menyalahkan orang lain lebih
banyak keburukan daripada kebaikannya.
Sheila memutuskan untuk memberitahukan hal tersebut pada Mira dan Bram.
Saat itu bel pintu berbunyi. Ah, itu mungkin Bram, pikir Sheila. Mereka
sudah bertemu beberapa kali sejak kasus Charles kembali dibuka. Pria itu
banyak menolongnya, terutama dalam mencarikan pengacara yang bagus.
Tentang hubungan mereka, walau belum dibicarakan, Sheila tak ingin
terlalu banyak berharap.
Ia beranjak dan membuka pintu.
"Hai."
Yang berdiri di depan pintu ternyata Reza. Sudah dua hari Sheila tak
bertemu dengannya, sejak Ratna mengusirnya dan Reza menyuruhnya
menunggu, tapi Sheila malah pergi tanpa pamit.
"Rez..."
"Boleh aku masuk?"
"Tentu saja."
Mereka duduk di sofa. Mira yang baru keluar dari kamar hotel
diperkenalkan ke Reza oleh Sheila, "Rez, ini mamaku. Kau pasti belum
pernah bertemu dengannya."
"Halo, Tante...," sapa Reza sambil menyalami tangan Mira yang terulur.
Kemudian Reza kembali bicara pada Sheila, "Aku juga sudah mendengar dari
Marni soal mamamu. Mulanya aku terkejut, tapi akhirnya aku malah turut
senang. Sebentar lagi kau akan berkumpul bersama keluargamu, Sheila,"
ucapnya dengan wajah murung.
Mira yang melihat kedua anak muda itu bicara dengan serius, meninggalkan
mereka.
"Waktu itu, Rez..., maaf aku pergi tanpa pamit."
Reza mengibaskan tangannya. "Sudahlah, justru aku yang mesti minta maaf
atas perlakuan Mama."
"Tidak apa, Rez. Kau mesti memahami Tante Ratna, dia berbuat begini demi
keutuhan keluarga."
"Lalu apa kau bukan keluarga, Sheila?"
Sheila tersenyum. "Tentu saja bukan, walau kalian sudah kuanggap
keluargaku sendiri. Sebentar lagi aku berkumpul bersama orangtuaku,
ingat?"
"Oh ya, aku sudah baca koran hari ini."
Sheila teringat masalah itu. "Iya.! Aku lupa mau memberitahu Mama dan
Bram." Ia bangkit berdiri.
Reza menahan tangan Sheila. "Tunggu, Sheila. Belakangan ini sulit sekali
menemuimu. Aku mau bicara... tentang hubungan kita."
Sheila tertegun. Ia lalu pura-pura tidak mengerti. "Hubungan kita? Tentu
saja aku akan selalu menjadi sahabat terbaikmu, Rez! Kau sudah kuanggap
sebagai kakakku sendiri."
Reza tersenyum pahit. "Kakak?" Ia menggelengkan kepala. "Oke, kau memang
menganggapku kakak, tapi aku..."
"Maafkan aku, Rez. Aku tahu maksudmu, tapi kita tak akan mengarah ke
hubungan seperti itu. Kau tahu aku mencintai Bram, dan hubungan kami
tidak hanya terjalin hanya belakangan ini, tapi jauh lebih lama dari
itu."
"Jadi... kau dan Bram akan..."
Sheila tersenyum. "Sampai sejauh ini, aku sudah sangat bersyukur atas
rahmat Tuhan. Sekarang aku belum berpikir ke sana. Tapi jika Tuhan
mengijinkan, aku ingin bersamanya."
Reza berusaha bebesar hati. "Memang sudah sepantasnya kau menerima
kebahagiaan yang belum kau alami selama ini, Sheila."
Sheila memeluk Reza hingga pria itu tertawa. "Sejak dulu aku ingin
dipeluk olehmu. Tapi ketika aku sudah tidak mengharapkannya, kau malah
memelukku!" Reza mengembuskan napas berat, seakan menahan luka di hati.
"Oh ya, Sheila... aku mau pamit sekarang, mau menjemput Mama di rumah
sakit."
"Ada apa Tante ke rumah sakit?"
Reza menjawab sedih, "Sepertinya saat ini dokter sudah memberitahunya
bahwa dia positif terkena kanker payudara."
"Apa?"
"Ya. Maafkan segala kesalahan mamaku, Sheila. Hidup Mama sudah tak lama
lagi."
Ratna menekap mulutnya mendengar kata-kata dokter. "Jadi... penyakit
saya sudah tak dapat diobati lagi, Dok?"
"Saya cuma berusaha, Bu Ratna. Tuhan-lah yang menentukan. Kankernya
sudah menyebar ke organ tubuh lain. Saya minta maaf. Saya hanya ingin
mengatakan, tetaplah semangat, terus berusaha sembuh, habiskanlah sisa
waktu Anda bersama orang-orang yang Anda sayangi."
Ratna ingin menangis, tapi ia tahu itu sia-sia saja. Tak disangkanya
rasa nyeri yang kerap dirasakannya beberapa bulan ini karena tubuhnya
sudah mengidap kanker! Ia berkata dengan tabah, "Berapa lama lagi,
Dokter?"
"Kira-kira enam bulan lagi."
Ratna terdiam. Apakah penyakitnya... adalah hukuman dari Tuhan? Selama
ini ia tahu ia telah menelantarkan keluarganya, terutama Haryanto. Ia
tak pernah memerhatikan hidup Reza, anak itu berusaha keras bekerja.
Belum lagi Renny, yang karena kurang pengawasan darinya, kini telah
hamil.
Ratna menangis terisak-isak. Bukan karena penyakitnya, melainkan karena
menyesali seluruh hidup yang telah dijalaninya.
"Tabah ya, Bu. Waktu enam bulan itu bukan harga mati. Lama atau tidaknya
bergantung dari kemauan hidup Ibu. Dan cobalah untuk selalu bersikap
positif, itu akan memperpanjang usia Ibu.
Banyak pasien yang sudah divonis seperti itu tapi mereka menjalani
pengobatan sesuai anjuran dan hidup lebih lama."
"Dokter," tanya Ratna lirih, "apa yang saya alami setelah mati?"
Dokter itu tersenyum penuh pengertian. "Hidup yang penuh keindahan, Bu
Ratna. Kita akan bertemu dengan pencipta kita, kembali ke pangkuanNya."
Ratna menangis di hadapan Haryanto yang duduk di kursi roda. Ia
bersimpuh dan memeluk lutut suaminya.
"Papa... kata dokter, aku mengidap kanker payudara. Hidupku... tinggal
enam bulan lagi. Maafkan aku, Pa. Dosaku sudah terlalu besar pada Papa.
Sekarang...," Ratna tak kuasq melanjutkan kata-katanya, "mungkin aku
yang akan mati lebih dulu, meninggalkanmu dan anak-anak.
"Banyak sekali kesalahan yang telah kulakukan. Sebagai istri, aku tidak
mengurusmu dengan baik, dan sebagai ibu, aku tidak mampu mendidik Reza
dan Renny dengan baik. Renny... dia hamil, Pa. Nam keluarga kita sudah
hancur. Sebagai istrimu, aku malu..." Ratna menangis lagi. "Aku minta
maaf, Pa..."
"Ratna..."
Ratna berhenti menangis. Ia menatap Haryanto dengan pandangan kaget.
"Ma... Papa memaafkan Mama..."
"Papa...?! Papa bisa bicara?!" seru Ratna.
Selama ini Haryanto tidak mampu bicara. Dokter bilang saraf di bagian
bibirnya tidak bisa dikendalikan dari otak karena otaknya rusak
sebagian. Kini Ratna melihat bibir suaminya bergerak sedikit, tapi
kata-kata yang keluar jelas terdengar walau diucapkan perlahan-lahan.
Ratna bangkit berdiri. "Apa... Pap sebenarnya bisa jala juga?"
"Tidak. Aku cuma... bisa bicara."
"Lalu kenapa selama ini Papa tidak mau bicara?"
Air mata menetes dari mata Haryanto. "Papa... ingin menjaga perasaan
Mama. Papa ingin Mama menganggap Papa sudah mati saja, sehingga Mama
bisa menemukan kebahagiaan Mama sendiri..."
Tangis Ratna meledak. Haryanto begitu mulia. Ia mengerti semuanya.
Haryanto berpura-pura tidak bisa bicara sehingga Ratna mengira suaminya
itu sudah seperti mayat hidup. Tubuhnya saja yang masih bernyawa tapi
orangnya sudah tidak bisa apa-apa. Hal ini dilakukannya supaya hati
Ratna tidak gundah melihat kondisinya.
"Ma... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada diri kita esok.
Mama jangan khawatir. Mama masih beruntung, masih mengetahui berapa lama
sisa hidup Mama. Banyak orang yang terlena dengan kehidupan, lalu
tiba-tiba saja meninggal tanpa sempat melakukan kebaikan..."
Ratna terisak, "Selama sisa hidup Mama, Mama akan merawat Papa. Mama
juga akan memerhatikan anak-anak. Tapi... bagaimana dengan Renny?"
Haryanto mengejapkan mata. "Apalah artinya nama baik? Hidup ini cuma
sebentar..."
Ratna mengangguk. Tuhan sudah begitu baik padanya, menegurnya agar dalam
sisa hidupnya ini ia dapat melakukan kebaikan semampunya.
Ratna mengumpulkan kedua anaknya. Ia berbicara dengan mereka dari hati
ke hati. Haryanto juga ada di ruangan yang sama.
Reza, Renny,kalian sudah tahu kondisi Mama, kan?"
Reza mengangguk. Renny mulai menangis. Sejak dokter memberitahu perihal
penyakit Ratna, mereka berdua sudah berusaha mencari literatur tentang
cara pengobatan aternatif untuk kanker. Pokoknya segala cara akan mereka
tempuh untuk menyembuhkan atau setidaknya memperpanjang usia Ratna.
"Kalian jangan sedih. Setiap manusia suatu saat akan mati. Mama masih
beruntung," Ratna tersenyum, "sudah diberitahu dan diberi peringatan
lebih dulu..." Tangis Renny makin keras. Reza memeluk adiknya dan
menepuk-nepuk punggungnya.
Ratna melanjutkan kalimatnya, "Mama jadi punya kesempatan untuk
bertobat. Reza, kau anak Mama yangpaling tua. Kau akan meneruskan
keluarga ini. Carilah wanita yang baik untuk menjadi istrimu. Kelak
mungkin Mama tak sempat melihat anakmu, tapi Mama yakin, kau tidak akan
salah pilih. Dan... soal Sheila, Mama terus terang saja... kalian berdua
tidak cocok."
Melihat Reza mau membantah, "Ratna melanjutkan, "Bukan karena Mama
tidakmenyukai Sheila. Pikiran Mama tentang Sheila sudah tak seperti dulu
kok. Cuma...dia akan lebih bahagia dengan pria yang dicintainya.
Demikian juga kamu, dengan wanita yang kamu cintai dan mencintai kamu."
"Ma..."
"Dan bilang padanya bahwa Mama minta maaf atas semua kesalahan Mama
selama ini. Dia sudah begitu baik pada Papa, merawatnya selama tiga
tahun ini, tapi bukannya berterima kasih, Mama malah mengusirnya. Mama
malu bertemu dengannya lagi."
"Aku akan mengatakannya pada Sheila, Ma," jawab Reza.
Ratna menoleh pada Renny.
"Renny,kau jangan menangis terus. Kau mesti tegar! Mesti bersikap
dewasa!" seru Ratna. Renny mendadak terdiam.
"Kau yang paling Mama khawatirkan. Keadaanmu yang seperti ini...," Ratna
menghela napas, "Mama tak tahu harus bagaimana lagi. Kehamilanmu lambat
laun sulit disembunyikan, jadi lebih baik kau cepat menikah..."
Reza seperti disambar petir. "Apa? Renny hamil?!"
Ratna mengangguk. "Jadi kau belum tahu adikmu hamil?"
"Siapa yang menghamilimu, Ren?" geram Reza.
"Siapa lagi? Pastilah Nathan, mereka berdua-duaan terus," jawab Ratna.
Tiba-tiba Renny menangis. "Maafkan aku, Ma, Pa...Aku yang salah...
tapi aku tak bisa
menikah..."
Ratna mengerutkan keningnya. "Kenapa tidak bisa?"
"Nathan... Nathan... dia selalu menghindar. Dia bilang aku harus
mangurus sendiri, mengaborsi anak ini sendiri."
Haryanto yang sedari tadi di saja berkata, "Tidak boleh... aborsi. Papa
tidak setuju!"
Renny dan Reza melotot kaget mendengar ayah mereka bisa bicara. "Sejak
kapan Papa bisa bicara?" tanya Reza.
"Papamu sebenarnya bisa bicara, tapi karena Mama mengabaikannya, ia
pura-pura tidak bisa bicara untuk menjaga nama baik Mama yang tidak
mengurus suami dengan baik," jelas Ratna dengan wajah pedih. "Dan
sekarang, Renny hamil. Ini salah Mama juga yang tidak mengawasinya..."
Reza menggebrak meja.
"Aku tidak bisa membiarkan b*j*ng*n itu berbuat seenaknya!" Ia mengambil
kunci motornya dan keluar dari rumah.
"Reza! Reza!" panggil Ratna. "Kau mau ka mana?"
Tapi pemuda itu keburu melesat pergi dengan motornya. Percuma saja Ratna
dan Renny mengejarnya. Di depan pagar, Rico muncul dari rumah sebelah.
"Tante, Renny, tumben semua ada di rumah nih," senyum Rico.
"Mau apa?!" tanya Renny ketus.
Ratna menahannya dan menarik Renny agakjauh. "Ren, kau tidak boleh
begitu. Sebenarnya daripada Nathan, Mama lebih setuju laki-laki seperti
Rico menjadi suamimu."
"Ma!"
"Ini serius. Laki-laki seperti Nathan tak bisa kau harapkan jadi
pendamping yang baik. Seandainya kau belum..."
"Ma!"
"Seandainya kau belum hamil, Mama akan merestui Rico!" tegas Ratna. Ia
kembali ke pagar dan mempersilakan Rico masuk.
Suasana pertemuan antara Sheila dan ayahnya berlangsung penuh keharuan.
Sidang penggugatan balik yang diatur oleh Bram sudah berakhir.
Diputuskan bahwa Negara akan memberikan ganti rugi pada Charles untuk
kesalahan penangkapan, pemaksaan untuk mengaku bersalah oleh oknum Agung
Wijaya yang sekarang sudah almarhum, hukuman penjara yang sudah
dijalani selama enam setengah tahun, serta penyakit TBC kronis yang
diderita pria itu selama berada dalam penjara. Selain itu, nama baik
Charles juga dipulihkan dengan mengumumkan kasus ini ke media massa.
Sheila menghambur ke pelukan Charles.
"Papa! Maafkan aku, Pa! Aku telah salah menuduh Papa," tangis gadis itu.
Charles mengelus punggung anaknya. "Sheila, sudahlah. Semua yang sudah
terjadi tidak usah dipermasalahkan lagi. Yang penting akhirnya kau tahu
Papa tidak membunuh mamamu."
"Tapi, Pa, dosaku pada Papa begitu besar. Selama enam setengah tahun ini
Papa menderita di penjara, aku tak pernah menjenguk Papa."
Charles memegang bahu anaknya dan berkata serius, "Papa tahu, kau juga
banyak menderita selama ini, Sheila. Kuta berdua sama."
Mira ikut bergabung."Maafkan aku, Charles. Seharusnya aku tidak pergi."
Charles menggeleng. "Aku bukan orang yang bersih dari dosa, Mira. Aku
tahu aku telah banyak berbuat kesalahan padamu. Kurasa Tuhan sudah
menghukumku dengan ini. Seharusnya aku bersyukur, masih memiliki waktu
untuk bertobat."
Seorang petugas memanggil Charles untuk menandatangani beberapa berkas.
Tinggal Mira dan Sheila berdua.
"Ma, aku senang akhirnya kita bertiga bisa berkumpul seperti dulu."
Mira menggeleng. "Tidak, Sheila. Mama akan kembali ke Hongkong."
Sheila ternganga. "Tapi Mama bilang pria itu sudah punya istri dan ia
mengurung Mama! Apa Mama may kembali padanya?"
"Mama tidak tahu, Sheila. Hmm... sebenarnya..."
Sebenarnya Mira merasa sangat malu kalau kembali lagi tinggal bersama
Charles. Ia merasa sangat bersalah telah menyebabkan Charles dan Sheila
mengalami semua ini. Lebih baik ia kembali ke Hongkong, setidaknya di
sana ia bisa memulai hidup baru.
"Kenapa kita tidak berkumpul lagi seperti dulu? Mama lihat sendiri, Papa
sudah berubah. Dan Mama kan belum bercerai dari Papa..."
Tiba-tiba Charles meraih tangan Mira dan menggenggamnya.
"Mira... aku minta dengan sangat, tinggalah bersamaku. Maafkan
kesalahanku yang dulu... Aku mohon..." Mata Charles berkaca-kaca.
Mira menarik napas panjang. Dia tidak berkata apa-apa, tapi ia tidak
melepaskan genggaman tangan Charles.
Kemudian Mira tersenyum. Ia menunjuk ke belakang tubuh Sheila. Sheila
menengok dan melihat Bram ada di sana, cukup jauh dari mereka, tapi
Sheila sadar pria itu menunggunya. "Ia sudah lama menantimu, Sheila. Kau
juga mesti meraih kebahagiaanmu,oke?"
Sheila menatap Bram dengan raut bahagia. Kini tak ada lagi yang menjadi
penghalang bagi mereka untuk bersatu. Ayah Sheila juga sudah dibebaskan.
Mereka pun sudah mendapatkan restu dari Charles dan Mira. Vania sudah
membatalkan pernikahan. Sudah terbukti pula bahwa pemberitaan mereka di
media massa tempo hari adalah ulah Anastasia, kakak Vania. Tapi Sheila
tidak marah. Akibat pemberitaan itu ia malah menemukan kebenaran.
"Aku bukan anak pembunuh, Bram," kata Sheila dengan suara serak.
"Seandainya kau memang anak pembunuh pun, apa salahnya?" Bram balik
bertanya.
"Itu masalah yang cukup berat bagiku. Selama ini aku sangat tertekan.
Kupikir ada darah pembunuh yang mengalir di tubuhku, karena berulang
kali aku memiliki nafsu untuk menghabisi nyawa orang."
"Yang kau rasakan itu sangat manusiawi. Tanpa emosi, manusia seperti
tubuh tanpa jiwa. Hanya saja, tinggal bagaimana kau mengendalikan emosi
itu."
Sheila tersenyum. "Bram... kau sangat baik. Aku mesti berterima kasih
padamu karena semua ini. Tanpa bantuanmu, Papa tidak akan mendapat ganti
rugi. Walaupun orientasi penggugatan kita bukan uang, kurasa uang akan
sangat bermanfaat bagi sisa hidup Papa, juga untuk mengobati
penyakitnya."
Sheila gembira karena selain keluarganya kini utuh kembali, keluarga
Haryanto juga demikian. Walaupun sedikit diterpa kesedihan akibat
penyakit Ratna dan kehamilan Renny, Sheila senang akhirnya kedua wanita
itu bisa sadar. Renny memutuskan akan menikah dengan Rico, yang dengan
lapang dada menerima kehamilan Renny dan akan menganggap anak itu
sebagai anak kandungnya sendiri.
Adapun soal Nathan, pria itu kini masih dirawat di rumah sakit karena
babak belur dihajar Reza. Tadinya Reza akan dilaporkan ke polisi, tapi
setelah diancam akan dituntut karena menghamili Renny, Nathan pun
mundur.
-End-
EPILOG
Enam bulan kemudian, di taman pemakaman umum, mereka semua berkumpul.
Terlihat wajah-wajah muram. Sheila, Bram, Charles, Mira, Reza, Wenny,
dan Tini.
"Usia manusia sungguh tidak terduga," ujar Wenny.
"Dari tanah, akan kembali ke tanah. Sepertinya itulah daur ulang
kehidupan. Memberi tempat pada yang baru lahir," ujar Tini. "Oh ya,
Rez... adikmu sudah melahirkan?" bisik Tini.
"Sudah. Barusan aku terima SMS dari dia. Anaknya laki-laki..."
Yang hadir di pemakaman itu kembali merenung membaca doa.
Charles menaburkan sisa bunga yang ada di tangannya. "Selamat jalan, di
dunia yang baru."
Bram tak dapat menahan rasa harunya. "Semoga diterima di sisi Tuhan..."
Sheila tak kuasa menahan tangis. "Selamat jalan, Kakek..."
Memang itu adalah pemakaman Eman. Pria tua itu meninggal di usia tujuh
puluh tahun. Tanpa sakit apa-apa. Kata orang, orang yang meninggalnya
tidak susah, selama hidupnya pasti baik.
Reza menatap tanah merah di hadapannya. Sudah enam bulan berlalu sejak
vonis dokter, tapi kondisi Ratna tidak menunjukkan tanda-tanda
kemunduran. Berkat semangat hidup dan pengobatan alternatif yang
dilakukannya, sepertinya umurnya masih bisa bertahan beberapa bulan
lagi.
Menyambut kelahiran anak Renny, Ratna sangat antusias. Ia yang repot
membeli pernak-pernik perlengkapan bayi. Terlihat sekali ia menerima
hari-harinya penuh rasa syukur dan menjalaninya dengan bahagia.
Ratna mengurus keluarganya dengan baik, terutama Haryanto. Kondisi pria
itu juga semakin baik setelah Ratna merawatnya. Ia masih seperti dulu,
lumpuh setengah badan, tapi sekarang ia lancar berbicara.
Reza bersyukur, belakangan ini The Glass Slipper semakin maju. Ini semua
tak lepas dari kerja keras yang dilakukan Wenny. Reza merasa bersalah
tak bisa menerima cinta gadis itu. Tapi siapa tahu suatu hari ia akan
membuka hatinya. Manusia tak pernah tahu apa takdir yang terbentang di
hadapannya.
Reza juga bahagia akhirnya Renny menikah dengan Rico. Adiknya itu sudah
jauh berubah. Ia sangat menghormati suaminya, tidak lagi manja seperti
dulu. Reza berharap rah tangga adiknya itu akan selalu bahagia.
Reza menoleh pada Sheila. Gadis itu masih membungkuk di hadapan nisan
Eman. Bram sedang mengambil sesuatu di mobil. Reza mengulurkan tangan
dan memapah Sheila berdiri.
"Jangan
terlalu bersedih, tidak baik untuk kehamilanmu," katanya.
Sheila tersenyum. Ia memang sedang hamil. Kehamilannya baru menginjak
bulan keempat. "Kakek Eman orang yang paling baik padaku selain Oom Har
dan Bram..."
"Aku tidak dihitung nih?"
Sheila jadi tertawa. "Tentu saja, tapi kau kan datang belakangan.
Pertama-tamanya sih, uuh! Nyebelin banget!"
Reza tertawa. Lalu ia berhenti tertawa dan menatap Sheila serius. "Kau
bahagia dengan Bram, Sheila?"
Sheila mengangguk. "Aku sangat bahagia, Rez..."
"Aku turut gembira."
Selama enam bulan ini, Charles dan Mira tinggal bersama Sheila dan Bram.
Hubungan Sheila dan ayahnya kini semakin baik. Charles telah mengakui
bahwa dulu ia kurang memerhatikan istri dan anaknya, dan sepertinya
hukuman penjara adalah teguran Tuhan atas kesalahannya.
Hubungan Charles dan Haryanto pun sangat baik. Charles sangat berterima
kasih pada Haryanto atas perhatiannya pada Sheila. Tanpa Haryanto, entah
bagaimana nasib putrinya itu. Charles juga meminta maaf atas sikapnya
dulu pada saudara angkatnya itu. Itu semata-mata dilakukannya karena
rasa iri karena Haryanto lebih berprestasi dan lebih membanggakan
orangtua mereka.
Charles tersenyum pada putrinya dan Sheila membalasnya. Sheila lalu
menoleh ke arah ibunya. Mira juga tersenyum bahagia.
Dari kejauhan, Bram melambaikan tangannya yang memegang sebuah benda.
Sheila tahu benda apa itu. Miniatur piano di kotak kaca miliknya. Sheila
memutuskan untuk mengubur benda itu di samping makam Eman. Dulu benda
itu disimpannya untuk mengenang ibunya yang dikiranya sudah meninggal.
Sekarang benda itu melambangkan segala kepahitan yang telah dialaminya.
Biarlah miniatur piano itu menjadi kenangan. Kenangan pahit dan manis
yang pernah dialaminya. Karena ia tahu, kedua hal itu sama berharganya.
-End-