
Baca Online Novel Kupu Kupu Salju
Wednesday, April 20, 2016
JUDUL : KUPU-KUPU SALJU
PENULIS : FELICE CAHYADI
Kupu-Kupu Salju
(Bab 1)
GO YOGHURT! KAMIS MALAM…
“Kita pulang aja yuk!” desak seseorang cewe pada cowo di hadapannya.
Vincentia Alice Artedja merasa tidak nyaman berada di tempat ini,
bersama orang-orang yang sama sekali tidak di kenalnya.
Hari ini hari pertama di bukanya Go Yoghurt! – kafe khusus yoghurt yang
di dirikan Nelia dan Frankie Djati (Sepasang kakak – beradik anak
pengusaha resto terkenal, Thomas Djati). Sampai saat ini Thomas Djati
sudah menggelar lima restoran, dua kafe dan sebuah coffe shop – beberapa
di antaranya bahkan di waralabakan dan menarik investor Singapura.
Pembukaan Go Yoghurt! Cukup ramai, di penuhi undangan yang merupakan
para kerabat dekat. Saat itu kafe ini di penuhi orang-orang yang tengah
berbincang, berkenalan, dan bersenda gurau sambil di temani yoghurt
pilihan masing-masing.
“Sabar.” Obet menyahut asal sambil mencomot sesendok yoghurt Alice.
“Sebentar lagi kita pulang.”
Alice memutar bola matanya yang cokelat. Sejak tadi Obet bilang
“sebentar lagi”, tapi kenyataannya mereka nggak pulang-pulang juga.
“Tunggu apa lagi sih?” Alice mengerang gemas.
Obet tersenyum simpul. “Tunggu, gue mau ketemu teman gue dulu, ya!” Obet
berkata sambil menatap adik tirinya itu.
“Temen lo? Siapa lagi?” Alice mengedarkan pandang ke seluruh ruangan,
seakan bisa menemukan orang yang di maksud Obet.
“Dia adik kelas gue di Virgina. Dulu kami sempat satu sekolah, tapi
tiba2 dia balik ke Jakarta waktu mau masuk SMA.” Obet mengedipkan mata
pada Alice. “Mau gue kenalin? Ganteng lho…”
Mendengar omongan kakak tirinya ini, Alice lagi2 hanya bisa memutar bola
matanya dengan jemu. “Kalau dari tadi lo nggak lihat temen lo itu di
sini, artinya dia nggak di sini. Pulang aja yuk…” Alice memelankan
suaranya.
“Pasti dia datang. Karena Nelia dan Frankie kan sepupunya, dan mereka
bilang…”
Alice sudah malas mendengar ocehan obet.
Mama Alice dan papa Obet – Fabio Dharmawan, seorang pengusaha berdarah
Italia – resmi menikah kurang – lebih satu setengah bulan yang lalu.
Pernikahan merekalah yang menjadi alasan Alice dan ibunya meninggalkan
Malang untuk memulai hidup baru di Jakarta.
Segalanya jadi benar-benar istimewa untuk Alice : memiliki ayah,
memiliki kakak laki-laki, tinggal di rumah besar, dan menetap di ibu
kota. Semuanya benar2 baru dan bertolak belakang dengan kehidupan
sebelumnya – ia di tinggalkan ayah kandungnya sejak sepuluh tahun lalu
dan selalu kesepian di rumah kontrakan kecil dengan perabotan seadanya.
Roberto Dharmawan – alias Obet – adalah kakak cowo yang menyenangkan
bagi Alice. Sama sekali bukan karena hidung mancung Obet yang khas cowo
Italia atau kulit kecoklatannya yang halus lho!
Setelah sebulan lebih tinggal serumah, hubungan mereka sudah dekat dan
nyaris tidak merasa canggung lagi.
Kembali pada suasana ramai di Go Yoghurt! Lagu-lagu morning musume
menamabah keceriaan, dan bagi Obet – yang menggemari cewek-cewek imut
asal Jepang itu – hal itu benar-benar poin plus.
Ugh! Gue udah nggak tahan! Alice cemberut.
Tepat saat itu Obet melihat seseorang menuju meja mereka sambil membawa
segelas Yoghurt. Seseorang yang di kenalnya. Mata Obet berbinar,
pertanda telah menemukan sosok yang ingin di temuinya sejak tadi. “Ah,
itu dia…”
“Gue mau ke toilet aja deh!” seru Alice, tidak memperhatikan kakaknya.
Cewe itu langsung berdiri dengan tampang kesal dan gerakan kasar. Lagi
pula Alice yakin Obet belum mau pulang entah sampai kapan.
Ketika Alice memutar tubuhnya untuk pergi menjauh, tiba2 saja…
BUUUKKK!!!
Ia menabrak seseorang yang tadi berjalan cepat kearah meja mereka dan
berada persis di belakangnya. Gadis itu menutup mulut, terkesiap
menyaksikan yoghurt berwarna ungu muda mengotori jaket denim Ralph
lauren yang di kenakan cowok itu.
“Ah, maaf…” Alice merasa wajahnya memanas. “Maaf!” ulang‟y lagi sambil
merogoh tasnya dengan cepat, mencari sapu tangan.
Cowok di depannya kelihatan kaget. Dia hanya memandang wajah panik Alice
yang kini sedang membersihkan tumpahan yoghurt pada jaketnya dengan
saputangan pink – merah bergambar hello kitty.
“It‟s okay. Sini… gue bersihin sendiri.” Cowo itu berkata pelan – sama
sekali tidak ada nada kesal apalagi marah dalam suaranya. Ketika si cowo
mengambil saputangan itu, jemari mereka bersentuhan sedikit, membuat
Alice dengan gugup menarik tangannya. Obet nyaris berdiri untuk memberi
sedikit bantuan – entah apa pun bentuknya. Namun ia malah membatalkan
niatnya.
Alice menatap wajah cowo yang di tabraknya dengan takut-takut. Seakan
menyadari penabrak mengamatinya, si cowo berhenti menyeka sejenak dan
balas menatap Alice tepat pada mata cokelat cowe itu.
Alice kontan mengalihkan pandangannya dengan perasaan campur aduk.
Seketika ia ingat kunci mobil Obet ada di dalam tasnya. “Gue ke mobil
duluan, Bet!” ujarnya sebelum berlalu cepat, meninggalkan cowo asing itu
berdiri di samping meja yang di tempati Obet.
Sementara itu, si cowok asing terperangah. Dengan tangan masih
menggenggam saputangan Hello Kitty milik Alice, sebentuk senyum terukir
di wajah cowo itu.
I‟ve got to know who she is…
Kalau saja tengah malam nanti ada bintang jatuh, cowok itu akan memohon
agar bisa bertemu lagi dengan Alice.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 2)
Empat hari kemudian…
Suatu pagi yang tenang.
Obet mengantar Alice ke sekolah barunya – San Cristoforo School – untuk
mengambil seragam dan buku-buku pelajaran yang akan di pakai minggu
depan ketika tahun ajaran baru di mulai.
Ini bukan pertama kalinya Alice masuk gedung sekolah berlantai 9 di
kawasan Jakarta Selatan itu. Gedung sekolah itu benar-benar besar dan
mewah, serta di lengkapi dengan fasilitas terbaik!
Alice senang sekali papa Fabi memilihkan sekolah terbaik untuknya. Alice
yakin masa SMAnya bakalan sangat menyenangkan.
Dengan wajah berseri-seri penuh semangat, Alice keluar dari ruang
administrasi sambil membawa tas karton besar berisi dua setel seragam
lengkap (Dengan blazer mungil khas SCS) dan dua setel seragam kasual
(dipakai hari selasa dan kamis) yang terdiri atas atasan linen berkerah
Nehru dengan potongan ramping warna putih tulang, yang di padu dengan
rok A-line warna krem.
Di tangan kanannya Alice menenteng tas plastik super berat berisi
buku-buku pelajarannya.Tadi petugas administrasi sekolah
memperingatkannya untuk berhati-hati karena tas plastik itu agak tipis.
Sambil menuruni escalator, Alice memeriksa tas plastiknya.
Setelah mengantar Alice ke SCS, Obet bilang mau mampir sebentar ke
bengkel modif temannya yang tidak jauh dari situ. Kata Obet, kalau Alice
bosan, ia bisa mampir ke BookField, Mucic & Me, atau The Big East
Café.
Ketiganya menarik.
Keika Alice berdiri persis di depan gerbang SCS, ia menjatuhkan
pilihannya pada BookField.
Jalan raya di depan sekolah cukup ramai. Alice menguatkan genggamannya
pada dua kantong besar di tangannya dan bersiap menyebrangi jalan.
Ketika hampir sampai di seberang, mendadak ia menyadari tangan kanannya
terasa enteng. Ia menoleh ke belakang dan mendapati tas plastiknya robek
dan buku-bukunya berceceran di jalan.
“Ya Tuhan!” Alice memekik sambil melihat ke arah datangnya mobil.
Kosong. Ia kembali dengan tergesa-gesa, lalu berjongkok untuk memunguti
buku-bukunya.
Tanpa ia sadari sebuah truk besar melaju kencang ke arahnya. Truk sudah
begitu dekat. Matanya membelalak dan ia berteriak.
Aku akan mati, serunya dalam hati.
Alice memejamkan mata, yakin bahwa sekalipun ia bergerak, ia tetap
terlambat.
Namun…
Tiba-tiba seseorang menariknya kuat sekali. Buku-buku dalam pelukannya –
yang tadi ia selamatkan hingga mempertaruhkan nyawa – kembali terjatuh
beserta tasnya.
Aku selamat.
Alice mengatur napas sementara ia masih belum sanggup bergerak, terlalu
syok untuk menyadari segala yang baru saja terjadi. Jarak mereka sangat
dekat, wajah Alice tersentuh lengan hoody hitam Bathing Ape yang di
kenakan cowo itu.
Alice mundur sedikit lalu mengangkat wajah, menatap pahlawannya pagi
ini.
“Terima kasih…” Alice bergumam pelan, nyaris tidak bersuara. Ia masih
sangat tegang, wajahnya pucat.
Cowok itu tidak menyahut. Ia malah menyodorkan tas plastid BookField
berisi komik-komik miliknya kepada Alice. Cowok itu dengan gesit
mengambil semua buku Alice dan tas seragam cewe itu.
“Ah… terima kasih!” Alice mengulangi ucapannya.
Dengan wajah tanpa ekspresi cowok itu menyerahkan tas seragam Alice lalu
membuka bagasi mobilnya yang di parkir di depan BookField.
“Mending ini daripada tas plastik yang gampang robek.” Cowok itu
menjejalkan buku-buku Alice ke tas serut.
Alice tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya menerima saja tas serut itu.
“Kok lo bisa bodoh banget sih…” cowok itu menggumam sambil memandang
wajah
Alice sepintas. Tanpa ba – bi – bu cowok itu menyalakan mesin dan
meninggalkan Alice. Alice kepingin memanggil dan sekali lagi mengucapkan
terima kasih, namun ia tak sanggup melakukannya. Dengan sikap
kepahlawanannya, ia telah menyelamatkan nyawa Alice dan dengan sigap
mengambil buku-buku Alice tanpa panik, lalu dengan santai memasukkan
buku-bukunya malang itu ke dalam tas bekas menyimpan sepatunya!!! Alice
merasakan gelenyar dalam perutnya ketika tadi tatapannya sempat ketemu
dengan cowok itu.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 3)
Seminggu kemudian…
“God! 20 menit lagi gerbang sekolah di tutup! Kenapa lo nggak bangunin
gue lebih awal???”
Michael Y. Chendra – known as Mickey – dengan kasar menyibak bed cover
dan berdiri cepat, sempoyongan menuju toilet.
“Ah, gue nggak tahu lo bakal kesiangan. Maksud gue nelepon bukannya mau
bangunin lo, cuma mau nyari tebengan aja.” Maxx menyahut kalem di
seberang.
“What?!?!” Mickey menyemburkan buih-buih pasta gigi dari mulutnya
“Genius people… They‟re just bunch of jerks.” Ucapnya nggak jelas sambil
sedikit menggeleng dan terus menyikat gigi.
Maxx mendesah kecil. “Tolong, Mickey. Jangan biarkan gue bolos di hari
pertama tahun ajaran baru.” Pinta‟y sambil mendengarkan Mickey berkumur.
“Ya, ya, ya… I‟ll pick you up as soon as possible.” Mickey menyahut
pasrah.
Tergesa-gesa Mickey mencuci wajah dengan sabun. Saat itulah HPnya
berbunyi lagi.
“Gah!” Mickey membasuh tangan, mengeringkannya dengan cara menyentuh
ujung piamanya secepat kilat, lalu meraba-raba benda mungil itu untuk
menggunakan fitur loudspeaker. “Ya?!?!” sapanya garang pada penelepon –
yang di kiranya Maxx lagi – dengan mata terpejam dan wajah bersabun.
“Mickey, my man!” terdengar seruan cowo. Ternyata bukan Maxx, batin
Mickey.
“Ada apa?”
“Jemput gue ya, Bro!”
Mickey mengusap wajahnya yang halus dan sudah di bilas bersih. “Kalau
lihat garasi lo yang kayak showroom mobil, gila aja lo masih sering
nebeng gue!”
“Aigo (Aduh)… Setiap kita hang out, gue lebih sering nebeng lo. Hampir
selalu, malah!
Seharusnya lo udah terbiasa.”
“Tapi sekarang gue baru bangun. Belum mandi, belum sarapan, belum jemput
Maxx juga!”
“Einstein kecil itu minta di jemput juga? Gini deh, lo bawa aja sarapan
lo dan makan di mobil.” Suara di seberang terkesan memaksa.
Mickey tertawa mengambang. “God damn it, I‟m not a school a school bus
driver!” “I know you‟re not, and your sexy car is way too hot to be a
school bus.”
***
San Cristoforo School (SCS) : sekolah nomor satu di Jakarta.
Sekolah itu mempunyai semua fasilitas yang di butuhkan tempat untuk
menuntut ilmu, mulai dari ruang kelas yang nyaman, laboratorium lengkap,
sarana olahraga, ruang musik dan seni, perpustakaan tiga lantai yang
tentunya well – reso – urced, kegiatan ekstrakurikuler yang luas dan
terbina sempurna, sampai food court asyik yang menyajikan aneka
hidangan, dan masih banyak lagi.
SMA SCS juga punya geng yang terdiri dari atas 5 sahabat.
Nggak mudah untuk jadi popular di SCS, karena hampir semua siswa yang
bersekolah di sana bisa di pastikan keturunan kalangan atas, pewaris
kerajaan bisnis, anak pejabat, sampai insan selebriti.
Masing-masing dari mereka memiliki karakter unik (inilah yang membuat
mereka saling melengkapi) namun juga sama menarik. Dan mereka sama
sekali tidak di anggap “biasa” di sekolah. Mereka memiliki karisma yang
mau nggak mau bikin semua orang percaya mereka memang di lahirkan untuk
menjadi “lebih”.
“Morning, guys! Selamat tahun ajaran baru!” Juno masuk ke mobil Mickey
(setelah untuk kesekian kali Mickey menyembunyikan klakson, hampir
jamuran menunggu sahabatnya yang satu itu keluar dari kediaman
Wirjadinata yang luar biasa besar dan indah bak mansion yang di bangun
dengan gaya mediterania – berkesan klasik)
Juventio Wirjadinata – alias Juno, cucu pengusaha terkenal pendiri dan
pemilik Wirjadinata Enterprise Group, yang profil dirinya maupun
perusahaan – perusahaannya sering kali menghiasi majalah-majalah bisnis
di Indonesia. Berbekal status itu, Juno pastinya mendapat kursi untuk
menjadi salah satu dari kelima pangeran SCS – atau dewa sekolah – atau
apa pun sebutan orang-orang untuk mereka.
“Morning, dan selamat tahun ajaran baru juga, Juno!” Maximillian Daniel,
alias Maxx menyahut dari jok belakang mobil.
Maxx cowo genius yang sudah dua kali loncat kelas, dan itu berarti ia
dua tahun lebih muda dari pada semua anak kelas XII di SCS.
Hingga kini Maxx yang polos dan lugu belum mendapat izin dari orangtua‟y
– sepasang dosen terkenal – untuk mengemudi sendiri ke sekolah. Sejauh
ini Maxx selalu di antar sopir.
Tidak ada alasan untuk tidak menjadikan Maxx salah satu pangeran
sekolah, dengan IQ 170 – nya dan jajaran prestasi yang tak terkalahkan
siapa pun.
“I don‟t have that new school year spirit.” Mickey berkata seraya
mengunyah sandwich kejunya sambil ngebut. “Dan masa bodoh dengan hal
itu!” lanjutnya cuek.
Mickey, sang dewa cinta. Entah anugerah apa yang di berikan Tuhan
padanya, namun yang pasti ia adalah the most charming boy ever. Hanya
saja ekspresi dan gerak – geriknya selalu menarik. Pastinya, baik secara
fisik maupun dengan pembawaan yang selalu tampak menikmati setiap detik
dalam hidupnya, ia selalu dapat memikat siapa pun. Meskipun kemampuan
akademiknya sangat pas – pasan, tidak ada yang beranggapan Mickey tidak
layak menjadi pangeran sekolah. Tidak jarang Mickey berkencan dengan
model atau aktris seksi yang bernaung di bawah C Entertainment.
Saat Mickey memacu mobilnya pada kecepatan tinggi demi mengejar waktu
yang mepet banget, sebuah Audi A3 Sportback hitam yang sangat di
kenalnya tampak berhenti di pinggir jalan – kira-kira 2 km menjelang
gedung SCS.
“Xian?” Juno menunjuk A3 hitam itu sambil menatap Mickey – di sela
keasyikannya bermain iPod.
“Lagi ngapain dia?” Mickey menepikan mobil, tepat di belakang mobil
Xian.
Maxx menyipitkan mata. “Firasat gue bilang ada yang nggak beres nih!”
gumamnya sambil pasang tampang bête.
Juno tidak turun. Maxx dengan resah mengawasi Mickey yang ngobrol dengan
Xian – yang barusan keluar dari mobil.
Saat itulah pintu kiri depan mobil Xian terbuka. Sosok Nero keluar.
Kehadiran Xian Kristian dan Nero Wijata melengkapi keberadaan kelima
pangeran SCS pagi ini.
Xian yang bermodalkan suara emas, wajah cute yang menjual, dan ekspresi
innocent yang senantiasa melekat pada dirinya, merupakan bintang muda
yang paling popular seantero negeri saat ini. Namun di tengah
kesibukannya sebagai penyanyi papan atas, prestasi akademiknya lumayan
dan ia menjadi andalan sekaligus wakil ketua klub sepak bola sekolah.
Nero cowo dengan wajah tak bercela. Kulitnya putih tanpa noda, kontras
sekaligus indah ketika berpadu dengan rambut hitam pekatnya yang
halus.Tipikal bishounen. Semua itu menjadi asset baginya untuk membuat
cewe manapun patah hati. Ia juga pakar memasak. Maxx bergeming,
tenggelam dalam jok mobil ketika Mickey membuka pintu mobil sambil
cengengesan. “Kita bolos hari ini, Guys!” katanya ringan sambil duduk di
belakang kemudi.
“APA?” Maxx membelakkan mata, seolah mendengar Mickey di angkat menjadi
presiden negara ini.
Juno mengangkat wajah dari iPodnya.
“Bokapnya Adhis buka cabang terbaru New Heaven. Kita main ke sana!” Xian
tersenyum, menampilkan wajah malaikatnya. “Mungkin waktu kita sampai
sana, tempat itu belum buka. Tapi Adhis justru mempersilakan kita datang
pagi-pagi begini, supaya bisa ngobrol-ngobrol dulu.”
“Adhis?” Juno mengeryitkan kening.
“Teman gue yang kuliah di Kanada itu lho.” Nero mengingatkan. “New
Heaven?” Maxx bertanya.
“Pool, kafe, karaoke, juga ada spa dan saunanya.” Xian menyahut lancar.
“Dan kita akan jadi pengunjung pertama! Gue juga baru tahu waktu Nero
dapat telepon dari Adhis beberapa menit lalu, makanya nggak sempat kasih
kabar dulu…”
“Oke. Ayo.” Juno tersenyum santai. “HEI! Gue nggak mau!” Maxx berteriak.
Nero berdecak lalu berkata. “Ayolah, Maxx! Sekali-kali lo bolos nggak
ada salahnya.” “Kenapa nggak nanti sore aja kalian ke sana? Sepulang
sekolah!” Maxx ngotot. “Nggak bisa.” Xian menjawab. “Gue ada pemotretan
untuk Corpis sepulang sekolah nanti.”
“Kenapa nggak besok sore aja?” Maxx masih memperjuangkan nasibnya.
Nero menghela napas. “Besok Adhis balik ke Ottawa, jadi hari ini gue
harus menemui dia.” Jelasnya.
“Kalau begitu kenapa nggak Nero sendiri aja yang ke sana? Kenapa
semuanya harus bolos dan cabut ke sana?”
Juno menoleh, menatap Maxx jemu. “Maxx, we‟re friends. We share bad and
good things together.” Gumamnya sambil menatap mata Maxx. “Kalau ada
yang asyik, kenapa nggak ngajak-ngajak teman? Betul, nggak?”
Nero tersenyum lebar. “Sharing is caring.” Imbuhnya.
Maxx memanggul ranselnya. “Bodo amat! Buat gue bolos nggak asyik. Kalau
kalian ngotot mau ke New Heaven, gue turun di sini dan naik taksi ke
sekolah!”
“Percuma, Maxx. Udah telat!” Mickey melirik arloji Bvlgarinya.
“Mendingan telat daripada bolos. Ini hari pertama tahun ajaran baru!”
“So what? We don‟t even care about that.” Nero bergumam.
“I do care.” Desis Maxx bersikeras.
Mickey berbalik, menatap Maxx. “Maxx, oke-oke aja sih kalau sekarang lo
kepingin turun dan nyegat taksi untuk ke sekolah. But… if the taxi
driver‟s a psycho, bagaimana? You couldn‟t do nothing but get molested
by him, my little friend.”
Maxx terpekur.
“Lo tahu, kan… bagaimana kejamnya kejahatan yang ada hubungannya sama
taksi yang marak belakangan ini?” Mickey menambahkan.
Sebelum Maxx menjawab, Juno berkata. “Maxx, kami hanya mau senang-senang
hari ini dan kami semua kepingin lo ikut bareng kami. Karena kita semua
teman. Nggak susah untuk dimengerti, kan? Lo nggak butuh waktu dua
tahun buat ngertiin kalimat gue, kan – secara lo udah paham semua teori
kuantum dan sampah-sampah yang lain?”
Maxx menunduk. “Oke. Gue ikut.” Putusnya lemah setelah termenung
beberapa saat. “Tapi teori kuntum bukan sampah…” ia menambahkan sambil
tetap menunduk.
Tak satu pun memperhatikan kalimat terakhir Maxx. Tentu saja Mickey
ngebut di belakang Xian dengan penuh semangat.
Hari pertama tahun ajaran baru di SCS kali ini tanpa kelima pangeran.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 4)
Alice benar-benar menikmati kehidupan barunya sebagai siswi SMA.
Hari pertama di sekolah ternyata sangat asyik. Mulai dari proses
pemilihan ketua kelas dan wakilnya (yaitu Ruben – cowo tinggi – kurus
dengan rambut jabrik – yang terpilih menjadi ketua kelas dan Seva – cewe
cantik yang di juluki Hillary Duff versi Asia – sebagai wakilnya)
Ivanna, Tobey, dan Freddie adalah rekan Alice dalam kelompok piket.
Mr. Darwis – wali kelas X – 2 – tadi mengatakan bulan depan akan di
adakan festival sekolah dan aneka perlombaan tahunan.
***
Di Food Court Sekolah…
Lunch time!
Hampir seluruh siswa SCS memenuhi food court sekolah untuk mengisi
perut. Alice duduk di meja kecil di ujung food court bersama Ivanna,
Tobey, dan Freddie.
“Pulang sekolah kita jalan yuk!” Ivanna mengajak dengan penuh semangat.
“Gimana kalau nonton?”
“Boleh aja!” Tobey menyahut.
Tadi pagi orangtua Alice memberikan kabar baik untuknya, yakni mendapat
pekerjaan yang di inginkannay!
Papa Fabi bilang atasan kenalannya ada yang mencari guru privat untuk
anaknya yang masih SD. Ia bisa mulai bekerja!
“Ngg… gue nggak bisa.” Alice kelihatan nggak kepingin mengecewakan
Ivanna. “Ada acara, ya?”
Alice mengangguk. “Mau ke rumah calon murid privat gue, untuk
berkenalan. Kalau semua lancar besok mulai ngajar.”
“Wah, gue juga suka tuh jadi guru privat.” Tobey nimbrung sambil
menyedot cakenya. “Dan gue sudah punya dua murid tetap di apartemen
Taman Anggrek.”
“Hebat ya kalian!” Ivanna meraih minumannya. “Hmm… kalau begitu, kita
nontonnya lain kali aja ya! Biar komplet berempat…”
Alice mengeluarkan dompet dari saku rok lipitnya.
Alice menghembuskan napas lega ketika mendapati kertas itu ada di
dompet. Alamatnya lengkap.
Sambil tersenyum tipis Alice membaca nama calon muridnya, dan langsung
berimajinasi : seorang anak perempuan cantik dan imut, dengan sepasang
mata jernih dan rambut hitam di kucir kuda.
Margareth Janice Wirjadinata, kelas 2 SD.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 5)
“Silakan duduk, mau minum teh atau jeruk?”
Alice menatap pelayan itu sambil tersenyum. “Jeruk saja, terima kasih.”
“Baik.” Pelayan berwajah ramah itu menjawab sopan, lalu sekali lagi
mempersilakan
Alice duduk di sofa putih besar di ruang tamu kediaman keluarga
Wirjadinata. Pelayan itu mengatakan Nyonya Wirjadinata alias Ibu Janice,
akan segera menemuinya.
Jantung Alice berdegup kencang, mata cokelatnya menjelajahi ruang di
sekitarnya.
“Silakan di minum, nyonya akan turun sebentar lagi.” Martha menyuguhkan
segelas jeruk segar pada Alice.
Alice mengangguk sopan. “Terima kasih.”
“Alice?” sebuah suara membuat Alice terlonjak kecil dan kontan menoleh.
Alice segera berdiri, setelah sejenak mengira bertemu bidadari.
“Teresa.” Wanita itu menjabat mantap tangan Alice, memperkenalkan diri.
Alice mengangguk pelan.
“Alice kemari sendirian?”
Alice mengangguk. “Ya, Tante…” pikirannya melayang.
“Sebenarnya saya memanggil Alice kemari sore ini untuk berkenalan. Saya
ingin berkenalan dengan Alice, begitu juga Janice. Kalau semuanya cocok
Alice bisa mulai bekerja besok, membantu Janice belajar di rumah.”
Teresa Wirjadinata mempersilakan
Alice meminum minumannya.
“Bukannya apa, tetapi kami tidak ingin mempekerjakan orang yang salah.”
Wanita itu melanjutkan sambil tersenyum. “Jadi di perlukan perkenalan
sebelum memutuskann apakah orang tersebut bisa bekerja di rumah ini.
Sebaliknya juga, kami tidak ingin memaksa orang yang kurang sreg dengan
kami untuk bekerja di sini.”
Alice mengangguk. “Ya, tentu saja.” Jawab‟y pelan.
Kemudian Teresa bertanya tentang pengalaman Alice mengajar. Setelah itu
berbincang – bincang sejenak mengenai keluarga Alice. Alice menyinggung
sedikit mengenai bisnis yang di geluti ayahnya.
“Ah, Rossopomodoro Café!” Teresa Wirjadinata tertawa anggun. “Saya suka
sekali spaghetti carbonara di sana lho.”
Lambat laun Alice merasa nyaman.
“Alice, ayo ke ruang belajar Janice. Di sanalah kamu akan mengajar putri
saya bila jadi bekerja di sini, dan itu berarti kamu perlu melihat
kondisinya, bukan?”
***
Dining Room…
Ketika selesai melihat – lihat suasana di ruang belajar Janice yang
sangat besar, Teresa Wirjadinata menawari Alice makan malam bersama
keluarga mereka karena jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
“Terima kasih banyak, Tante Teresa. Tapi lebih baik saya pulang saja dan
makan malam di rumah.” Alice menolak sopan.
Senyum tulus terukir di wajah cantik wanita itu. “Tante telepon mama
kamu, ya. Supaya beliau tidak khawatir, sekaligus minta izin mengajak
kamu dinner di sini…”
Alice tidak sanggup berkata apa-apa.
Selesai makan malam, Alice berpamitan pulang. Sudah jam 8 lewat.
“Oppa (kakak laki-laki di panggil oleh adik perempuan)!” Janice
tiba-tiba berteriak kesenangan lalu berlari menghambur, membuat Teresa
dan Alice terkejut dan menoleh. Janice memeluk seseorang cowo berseragam
sekolah, seragam SCS.
“How‟s your day, my little princess?” Tanya cowo itu lembut ketika ia
jongkok dan membalas pelukan adiknya. Setelah mengecup pipi Janice, ia
berdiri dan menyapa ibunya.
“Juno, kenalkan, ini Alice. Calon guru privat Janice yang baru.” Teresa
Wirjadinata berkata pada putranya setelah menyahuti sapaan cowo itu.
Saat itulah cowo itu mendekat dan Alice dapat melihat jelas. Wajah itu.
Ia benar-benar masih ingat wajah itu.
Alice membuka mulut, hendak menyapa. Nmaun tak satu pun kata meluncur
dari mulutnya, begitu juga dengan cwo di hadapannya.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 6)
Kenapa gue kaya begini sih? I was so rude!
Juno berbaring telungkup di tempat tidurnya, termenung menatap kosong
layar laptop yang menampilkan e-mail pendek kakeknya tadi siang.
Baris demi baris e-mail itu di baca Juno, semuanya menyiratkan kesehatan
kakeknya telah membaik dan beliau sangat merindukan Juno.
Pikiran Juno melayang ke mana-mana. Ia begitu kasar pada cewe bernama
Alice yang bakal jadi guru privat Janice mulai besok.
Jujur saja, ketika ibunya memperkenalkan mereka Juno kaget bukan main.
Juno sama sekali tidak tersenyum kepada cewek itu, apalagi menyodorkan
tangan sebagaimana mestinya orang berkenalan. Ia hanya mengucapkan “Hai”
singkat dan mengangkat alisnya dengan santai.
Cewek itu jadi rikuh dan tersenyum gugup.
“Juno, kalau kamu tidak keberatan, bisakah mengantar Alice pulang ke
rumahnya? Ini sudah cukup malam dan berbahaya untuk seorang perempuan
naik taksi sendirian.” Juno melepas jas seragamnya. “Pak Djamin lagi
nganggur di pos satpam kok, Ma.”
Jawabnya cuek. Dari ekor mata ia melihat Alice kelihatan serba salah.
“Tidak usah, saya pulang sendiri saja, Tante.” Kata gadis itu lembut.
“Jangan. Begini, biar Pak Djamin yang antar, ya…” Teresa Wirjadinata
meyakinkan Alice. “Ah, cham (Oh, ya)! Saya terlupa sesuatu. Jamkanman
gidaryeoyo (Tunggu sebentar)…” katanya sebelum berjalan ke dapur.
Juno melonggarkan dasinya.
Alice berdeham pelan. “Ehm… waktu itu, terima kasih sudah menolong.”
Ucapnya.
Juno diam saja. Buat apa sih di besar-besarkan? Waktu itu gue cuma
kebetulan lihat dia hampir terlindas mobil, jadi reflex
menyelamatkannya.
“Tas sepatunya, besok gue kembaliin di sekolah.” Alice menambahkan.
Sebelum Juno sempat bicara, ibunya keluar dari dapur. “Ini ada kimbap
special buatan Martha, untuk kamu dan keluarga.”
Alice menerima pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih.
“Kenapa kamu bersikap seperti itu padanya?” Teresa bertanya pada
putranya setelah Alice pulang di antar Pak Djamin. “Juno, kamu
seharusnya belajar bersikap baik pada semua orang, bukan hanya pada
keluargamu dan teman-teman dekatmu saja.” Wanita itu berkata dingin.
Kini Juno menarik napas panjang dan membuangnya dengan sekali embusan
cepat. Ia memang bukan tipe cowo yang banyak bicara dan mudah akrab.
Sejak pertemuan pertama mereka di BookField, Juno merasakan ada sesuatu
pada cewe itu yang membuat emosinya tidak stabil.
What‟s wrong with me?
Sambil mencoba tidak memikirkan hal itu ia mengklik REPLY button dan
membalas e-mail kakeknya.
***
DI KAMAR ALICE, PADA WAKTU YANG SAMA… Dasar cowok aneh!
Alice baru saja di telepon Teresa Wirjadinata melalui HP-nya. Wanita itu
memberitahukan bahwa besok Alice resmi jadi guru privat Janice.
Alice mengeluarkan tas sepatu Juno dari lemarinya.
Kini Alice terduduk lunglai di karpet tipis berbentuk beruang putih yang
sedang telungkup. Besok ia akan menemui Juno di sekolah dan
mengembalikan tas itu. Sosok Juno berkelabat di benak Alice.
Sesuatu berdesir dalam hati Alice.
Dengan pelan Alice melipat rapi tas serut Juno, kemudian memasukkannya
ke tas sekolahnya.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 7)
SCS…
Ivanna Tobing berlari kecil mengikuti Alice menyusuri koridor lantai
tiga, segera setelah keduanya selesai makan siang. “Mau ngapain sih? Lo
mau lihat kelima cowok itu, Lice?” “Lima cowok? Siapa?” Alice membalas
bodoh.
“Kata kakak gue yang alumni sekolah ini, lima cowok itu jarang ada di
kelas waktu makan siang. Mereka kecuali Maxx sering ngerokok diam-diam
di parkiran. Tapi kalau beruntung, kita bisa ketemu mereka lagi makan di
food court.” Ivanna menjelaskan. “Apaan sih?” Alice mengerutkan kening.
“Gue cuma mau ngembaliin tas ini ke pemiliknya!” serunya bête.
Ketika Alice dan Ivanna berjalan di depan kelas XII-4 seorang siswi yang
berjalan terburu-buru dari arah berlawanan sambil membawa kotak besar
warna merah bermotif hati kecil-kecil menyenggol Alice dengan keras
karena terlalu bersemangat mendekati pintu masuk ruang XII-4.
“Oops! Sori!” cewek itu berseru ketika menyadari Alice nyaris
terpelanting.
Alice tersenyum. “Nggak apa-apa.” Ketika sadar yang menabraknya ternyata
teman sekelasnya.
“Hei! Kita sekelas, kan?” cewek itu membesarkan mata. “Kalian Alice dan
Ivanna! Betul, kan?”
“Yup.” Alice dan Ivanna menjawab bersamaan.
Ia adalah Sevanya Angela Latif.
“Gue mau kasih blackforest buatan gue. Buat someone special.” Ia
mengedipkan mata. “Wah, romantis banget!” Ivanna menanggapi.
“Ehm, sori… Tas situ punya lo?” Seva bertanya pada Alice.
Alice memandang tas serut di tangannya. “Bukan.Ini…” ia menggantung
kalimatnya. “Lantas punya siapa?” Seva mengerutkan kening.
“Ehm… namanya Juno. Dia kelas dua belas, tapi gue nggak tahu di kelas
yang mana. Dia…” Alice menggigit bibirnya bingung.
“Juno???” Seva mengulangi dengan keras. “Ada apa?” terdengar suara
cowok.
“Juno!” Seva menjerit seakan bertemu Ashton Kutcher di sekolah ini. Seva
mengadu. “Alice bilang tas ini punya kamu. Kok bisa tas ini…”
“Bukan.” Juno menyahut singkat dengan muka cuek. “Bukan punya gue kok.”
Katanya, membuat Alice terbelalak.
“Ah…” Seva menghela napas lega. “Bagus deh!” ujarnya. WHAT? Alice
mengerutkan kening. “Hei…” ia buka suara.
“Aku bikin blackforest buat kamu! Cobain, ya!” Seva berseru manja,
suaranya menelan suara Alice.
“Yuk, aku kepingin lihat kelas kamu nih!” gadis itu menarik lengan Juno.
Juno tidak berkata apa-apa, namun juga tidak menyingkirkan tangan Seva.
***
Bisa ya, ada manusia kayak Juno? Bisa – bisanya dia menyangkal tas ini
punya dia.
Seva… Apakah gadis itu pacar Juno? Masa bodoh dengan cowok belagu itu!
Taruhan, Seva pasti mengira Alice sakit jiwa dan terobsesi pada Juno
Wirjadinata.
Who does he think he is? Being a heir doesn‟t mean you can treat others
like garbage! “Kenapa lo bilang tas itu punya Juno?” Ivanna bertanya
pada Alice saat mereka tiba di kelas. “Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Kenapa gue bilang tas ini punya Juno?” Alice mengulang pertanyaan
Ivanna. “Kenapa gue harus bilang tas ini bukan punya Juno kalau ini
memang punya Juno?” desis Alice sambil membanting tas itu ke meja.
Mendingan tas ini gue buang aja! Gerutu Alice dalam hati.
Alice beberapa kali menangkap basah Seva memandang ke arahnya. Here I
am, the psycho! Hah!
“Alice.” Ivanna merangkul pundak Alice ketika cewek itu hendak keluar
kelas. “Gue tahu, meskipun badung, Juno itu dambaan hampir semua cewek.
Ganteng, kaya banget, keren, dan salah satu pangeran SCS yang artinya
sulit banget untuk mendapatkannya.
Tapi lo nggak harus pakai cara aneh untuk menarik perhatiannya, kan?”
bisik Ivanna di telinga Alice.
Alice menatap Ivanna seolah ia sinting. “Tas itu benar-benar punya
Juno.” Bisik Alice tajam. “Ada ceritanya bagaimana tas itu ada sama
gue.”
Ivanna sungguh-sungguh berpikir Alice nggak waras.
Kemudian Alice melanjutkan. “Gue nggak tahu siapa lima pangeran sekolah
ini, dan gue nggak bermaksud nyari-nyari perhatian cowok aneh itu! Gue
Cuma mau mengembalikan barang yang bukan milik gue ke pemiliknya.”
“Alice…” Ivanna berkata pelan.
“Dan kalau lo mendambakan cowok aneh itu, silakan ikut gue ke istananya
setiap Rabu dan Jumat sore.” Alice mengangkat alis. “Karena gue guru
privat adiknya!”
Ivanna masih terpaku, menimbang-nimbang apakah Alice mengatakan yang
sebenarnya.
***
MUSIK & ME, SEPULANG SEKOLAH…
Alice memutuskan mampir ke suatu tempat sebelum pulang.
Matanya terpaku pada BookField. Alice berhenti. BookField terlalu
mengingatkannya pada Juno!
Alice menjatuhkan pilihannya pada Music & Me.
“Mencari sesuatu?” sebuah suara dari belakangnya mengejutkan Alice. Ia
mengalihkan mata dari CD dan menoleh ke sumber suara.
“Ah!” ujar Alice singkat setelah mengenali cowo berseragam SCS yang
berdiri di belakangnya.
“Masih ingat gue?” cowo itu mendekati Alice sambil tersenyum. Alice
belum pernah melihat senyum seperti itu.
Ikutan tersenyum, Alice mengangguk. “Ya, masih.”
Alice ingat benar, ini cowok yang di tabraknya di Go Yoghurt!
“Senang lo masih ingat gue.” Cowo itu membasahi bibirnya sekilas.
“Mickey.” Ia menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
“Alice.” Alice menjabat tangan cowo itu.
“Gue udah tahu nama lo. Obet ngasih tahu waktu itu.”
Alice tertawa pelan. “Ya, Obet juga ngasih tahu gue. Dia juga bilang lo
sekolah di SCS sama dengan gue. Obet bahkan bercerita sedikit tentang lo
dan masa-masa kalian sekolah bareng di Virgina.”
“Oh ya?” Mickey mengangkat alis. “Apa katanya tentang gue? Boleh tahu,
kan?” guraunya sambil mengiringi Alice menyusuri Music & Me.
“Hmm…” Alice mengingat-ingat sejenak. “Lo pemain piano yang hebat, murid
yang bandel banget dan suka berantem, tapi sangat setia kawan. Lo orang
yang sensitif dan sangat peduli sama keluarga.”
Mickey tersenyum sambil menunduk, seolah tersipu. “Terus apa lagi?”
“Hmm…” mata Alice melirik wajah Mickey, lalu berkata. “Lo buaya darat!”
ucapnya jujur. Obet memang bilang gitu.
Mickey kontan menatap Alice, mata sipitnya membesar sedikit. “Dia bilang
begitu?” “Yup.”
“ Dasar pembohong.” Mickey menggeleng tertawa. “Tentang piano, bandel,
setia kawan, dan yang lain sih benar. Tapi buaya darat… Obet bohong
besar tuh!”
Alice tertawa melihat ekspresi lucu cowo di sampingnya ini.
“Gimana sekolah hari ini?” Mickey tiba-tiba bertanya. “Asyik?” “Ehm…”
Alice menggeleng. “Bete!” jawabnya singkat.
Senyum kecil terukir di bibir Mickey. “Itu biasa. Apa lagi sih yang bisa
lo dapetin di sekolah selain bête? Hahaha!”
Alice ikut tertawa.
“Berminat jalan-jalan sebentar? Mungkin bisa ngilangin bête…” Mickey
memandang teduh Alice.
“Jalan-jalan?” Alice menipiskan bibir. “Gue nggak bisa pulang terlalu
sore, soalnya naik taksi.”
“Gue anter.” Mickey menjawab cepat. “Kalau lo nggak keberatan.”
Tambahnya. Jam tangan Alice menunjukkan setengah empat lewat. “Mau ke
mana?”
“Yayasan bokap gue lagi menggelar bazaar amal untuk menggalang dana. Lo
tahu kan, banyak bencana akhir-akhir ini.” Mickey bergumam pelan,
wajahnya lebih serius. “Ada banyak stan yang menarik di sana. Kita bisa
lihat-lihat.”
Alice berpikir sambil melirik diam-diam ke arah Mickey.
Bazar amal kedengaran asyik. Atau Mickeynya yang memang menarik? A
person is really fun to be with. Yang pasti akhirnya Alice menyetujui
ajakan cowok itu.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 8)
Mereka mengitari seluruh arena bazaar.
“Gue suka banget beli buku.” Mickey berkata ketika ia dan Alice
melihat-lihat stan buku kebudayaan.
“Cuma di beli?” Alice menggoda Mickey setengah mencibir.
Mickey mengangguk. “Gitu deh.” Cowok itu tersenyum lucu. “Setelah beli,
di susun di lemari buku.”
“Maksud gue nggak di baca?”
Mickey menggeleng.
“Yuk, jalan ke stan lain!” seru Alice ceria, sambil menyentuh ringan
lengan Mickey.
Mereka menyerbu stan kue dan roti.
“Ada sisa krim…” Alice memberitahu Mickey sambil menunjuk ujung mulutnya
sendiri.
Mickey mengusap-usap bibirnya. “Sudah?” ia bertanya pada Alice.
“Masih!” kata Alice sambil tertawa.
Agak panik, ia mengusap lagi hingga krim itu malah mengotori pipinya.
“Gimana? Sudah?”
Tawa Alice makin keras. “Masih!” sahutnya. “Malah sampai ke pipi lo!”
Mickey tersenyum malu, membuatnya sangat cute.
“Payah!” ujar Alice sambil mengeluarkan tisu dari tasnya. “Jangan
bergerak.” Gumam cewek itu sambil mendekati Mickey, membersihkan sisa
krim dengan tisu.
Matanya menatap Alice sementara cewe itu membersihkan wajahnya. Alice
begitu manis, pikir Mickey sambil memandangnya. Tatapan mereka bertemu,
sebelum Alice mengalihkan matanya ke sebuah stan aksesori.
“Ke sana yuk!” cewek itu menarik lengan kameja Mickey.
“Wah, bagus banget, ya!” Alice mengagumi kalung-kalung khas Thailand
yang di pajang di etolase mungil itu.
“Bagusnya! Cantik banget!” Alice meraih scraf cantik berwarna merah
keunguan. “Mahal, ya…” gumam Alice pelan sambil tersenyum kecil.
“Tetapi benar-benar cantik dan asli dari Thailand.” Jawab si penjaga.
“Dengan membelinya, berarti adik juga sudah berpartisipasi dalam aksi
amal.” Penjual itu tersenyum lembut.
“Tapi saya nggak bawa uang sebanyak itu.” Alice menjawab jujur. “Sayang
banget.”
Imbuhnya.
“Benar-benar kepingin scarf tadi, ya?” Mickey menggoda Alice dengan
tampang jail. Alice menonjok Mickey pelan. “Cari minum yuk! Haus!”
katanya, mengubah pembicaraan.
“”Eh, lihat ke sana yuk…” Mickey menyentuh jemari Alice ringan, lalu
segera melepaskannya sebelum gadis itu menyadarinya.
Alice mengikuti Mickey ke stan film yang menjual banyak DVD.
“Gue juga kepingin nonton film ini!” kata Alice ketika melihat Mickey
membeli film drama A Moment to Remember. “Lo suka drama ya? Bukannya
menurut cowok-cowok itu cengeng?”
Mickey tersenyum lebar. “Siapa bilang? Cowok-cowok suka nonton drama
kok.”
Sahutnya cuek sambil berjalan terus.
“Tapi drama yang barusan lo beli bakalan bikin penontonnya nangis!”
“Memangnya kenapa?” balas Mickey dengan wajah lugu. “Gue orang yang
sensitif,
gampang tersentuh. Dan jujur aja, gue kadang nangis kalau nonton drama
sedih. Air mata bukan cuma milik cewek kan?”
Alice tersenyum manis mendengar jawaban Mickey. Belum pernah ia bertemu
sosok seperti Mickey.
“Kok lo senyum-senyum sendiri?” Mickey menyenggol bahu Alice pelan.
“Nggak kok!” sangkal Alice. “Hmm… abis lo tonton, boleh kan gue pinjam?”
cewek itu menengadahkan wajah, menghadap wajah Mickey.
Mickey menatap Alice polos. “Nggak boleh.” “Hah? Pelit banget sih!
Kenapa?”
Mickey menunduk hingga matanya sejajar dengan mata Alice. “Karena lo
akan nonton drama ini bareng gue…” katanya lembut.
***
KAMAR ALICE, 21.25…
Setelah mandi dan makan malam bersama Mama dan Papa Fabi, Alice naik ke
kamar untuk mengerjakan PR.
Ketika hendak membuka buku, ia teringat pajangan berbentuk kucing yang
tadi di belinya di bazar amal.
Ketika meraih dan melihat isinya, Alice baru menyadari ada sesuatu di
situ. Alice menariknya keluar.
Ia membuka tutup kotak itu dan mendapati scraf merah keunguan pujaannya
di sana, terlipat rapi dan tampak cantik sekali.
Mickey…
Kupu-Kupu Salju
(Bab 9)
FOOD COURT SCS, TIGA HARI KEMUDIAN… Kelima pangeran ketahuan membolos.
Masing-masing mendapat sepuluh poin minus di catatan pribadi mereka
menurut peraturan, bila seorang siswa mengumpulkan dua puluh poin minus,
akan diskors empat hari.
“Lihat apa yang kalian perbuat terhadap gue!” seru Maxx menatap nanar
buku catatan pribadinya. “Kalian maksa gue bolos, dan gue dapat poin
minu...s!!!”
Mickey menghela napas, menatap Maxx. “Semuanya dapat poin minus kok.
Kenapa mesti ribut sih?” cowok itu bergumam santai, lalu menyenggol Nero
yang duduk di sebelahnya. “Yuk, pesan makanan!”
Di meja makan, Maxx duduk di antara Juno dan Xian. “Mungkin bagi kalian
dapat poin minus sudah kayak makanan sehari-hari. Tapi bagi gue, ini
malapetaka! Bencana yang merusak reputasi! Karena kalian…”
“Why do you blame us now? That was your own decision to skip the class.”
Juno mengerutkan kening, menatap temannya itu.
“My own decision?” Maxx melotot. “Kalian maksa gue! Dan sekarang nama
baik gue hancur karena poin minus sialan ini!” ia kelihatannya hampir
nangis.
Xian yang sedang menyantap seporsi nasi kari tuna pedas menoyor kepala
Maxx pelan.
“Jangan nangis, little Maxx. Kalau lain kali lo nggak mau bolos lagi,
gue setuju. Secara,
Mr. Penguin udah ngancem akan ngeluarin gue dari klub sepak bola sekolah
kalau gue bikin pelanggaran lagi.” Xian menarik napas. “Jadi, gue nggak
akan nambah poin minus di sini.” Ia mengangkat buku catatan pribadinya.
Maxx memandangi Xian seakan cowok itu dewa penyelamatnya. “Bagus! Kita
memang seharusnya berada di jalan yang benar…”
“Well!” Juno pura-pura cemberut. “Resolusi yang bagus.” Katanya sambil
melirik Xian.
HP Juno bergetar.
“Siapa?” Tanya Maxx lugu.
“Seva.” Jawab Juno malas. “Dia minta gue ke gazebo belakang sekolah
sekarang.” Nero tersenyum. “Wajar, kali, kalau calon istri lo kepingin
menghabiskan waktu lebih banyak bareng lo.” Gumamnya. “Benar, kan?”
cowok itu menyikut Mickey, meminta dukungan.
“Ya, tentu saja.” Sahut Mickey sambil asyik mengunyah makanan. “Gue
duluan, ya.” Kata Juno.
***
SALAH SATU GAZEBO, HALAMAN BELAKANG SCS… Seva dan Juno duduk
berdampingan.
“Ada apa?” Juno bertanya datar.
Seva tersenyum, lalu bergeser mendekat. “Nggak ada apa-apa.” Katanya
lembut. “Aku cuma kepingin berduaan aja sama kamu, kayak mereka.” Seva
menunjuk sepasang siswa yang sedang ngobrol di gazebo lain.
Juno mendengus kecil, agak sinis. “Ngapain? Memangnya lo nggak kepingin
main bareng teman-teman lo, kayak mereka?” gentian Juno menunjuk
segerombolan cewek yang lagi ketawa – ketiwi di gazebo yang sama dengan
sepasang kekasih tadi.
“Juno, kenapa sih susah banget ngabisin waktu bareng aku?” Seva
menggigit bibir. “Setiap pagi kamu berangkat sekolah bareng teman, waktu
istirahat dan makan siang kamu habiskan bareng teman, pulang sekolah
kamu main dan jalan bareng teman, malam‟y juga selalu masih main sama
teman, atau kadang keluar bareng keluarga, atau istirahat di rumah.”
Seva menarik napas. “Kapan aku bisa bareng kamu?”
Mendengar keluhan Seva, Juno diam saja. Ia justru lebih kepingin tanya,
kenapa gue harus bareng sama lo?
“Kalau kamu memang susah lepas dari teman-teman kamu, aku nggak apa-apa
kok pergi bareng mereka juga.” Seva menunduk. “Aku nggak keberatan kita
pergi berenam, atau mungkin teman-teman kamu mau ngajak pacarnya juga.”
Juno memandang Seva seolah cewek itu idiot total, lalu tertawa sinis. “I
won‟t be okay with that.” Katanya tajam.
Seva menyentuh lengan Juno. “Aku tahu kamu nggak bakalan mau. Maka itu
sediain waktu buat aku, sedikit aja.” Katanya.
Juno melirik arlojinya. “Waktu makan siang sudah hampir habis.” Ia
berkata. “Yuk, balik ke kelas!” ujarnya sambil bangkit berdiri.
Seva sebenarnya nggak puas, karena Juno nggak ngasih jawaban.
Seva mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya. “Juno! Lihat nih!” Juno
menoleh dan melihat dua pensil mekanik berwarna merah di tangan Seva.
“Kemarin temanku yang pulang dari liburan di Jepang memberikan pensil
ini sebagai oleh-oleh.” Seva tersenyum. “Satu untuk kamu!” seraya
mengulurkannya kepada Juno. “Aku pasti lebih semangat belajar kalau
pakai pensil yang sama dengan kamu!” kata Seva lagi.
“Trims.” Jawab Juno.
Setiba di lantai tiga Seva berkata. “Kamu nggak usah mengantar aku ke
kelas. Sampai ketemu nanti, dan pensilnya di pakai, ya!”
Juno mengangguk pelan.
“Oh iya.” Seva menatap Juno. “Tas sepatu yang di bawa Alice waktu itu,
benar-benar bukan punya kamu, kan?” Tanya cewek itu.
Ia terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Bukan.”
Seva tersenyum lebar namun tidak terlihat lega. “Baiklah kalau begitu.”
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju lantai 5.
Juno sempat terpaku. Jono menggigit bibir bawahnya sambil berpikir Alice
pasti kesal karena kejadian itu. Dia pasti marah sama gue…
***
Seva dan Juno di jodohkan kakek mereka.
Mereka bertemu pertama kali ketika Juno tiba di Perth saat usianya 12
tahun. Seva kecil selalu mengikuti Juno hampir ke mana pun cowok itu
pergi.
Saat Seva sakit dan tidak masuk sekolah, cowok itu mendampingi dan
membuatkan bubur juga sup ayam.
Dan pada hari ulang tahun Seva yang ke 12, Juno menghadiahi cewek itu
bed cover besar yang nyaman, dengan corak boneka beruang yang lucu.
Juno meninggalkan Perth dan melanjutkan SMA di Jakarta. Akhirnya Juno
pindah ke tanah air sesuai keinginannya.
Setiap kali Seva berada di sisi Juno, benaknya selalu bicara. “This is
where I belong…” dan Seva merasa hatinya tak mungkin keliru.
***
Bagi Juno, perjodohannya dengan Seva adalah sesuatu yang harus ia terima
suka atau tidak.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 10)
SUATU SORE, DI RUMAH XIAN…
“Ini saputangan lo?” Nero mengeluarkan saputangan Hello Kitty warna pink
dan merah dari ransel Mickey yang terbuka. Sore ini mereka berlima
berada di rumah Xian di daerah Tebet, untuk main biliar dan bersantai.
Sambil menyusun kelima belas bola biliar, Mickey menyempatkan menoleh
kea rah Nero, lalu tersenyum lebar. “Bukan punya gue.” Katanya.
“Terus?” Juno yang duduk santa di salah satu sofa sambil memangku stik
biliar ikutan bertanya.
Mickey menoleh ke Juno lalu menyahut. “Punya cewek yang belum gue
kembaliin.”
Kemudian cowo itu mengajak teman-temannya memulai permainan.
“Ayo mulai main, guys!” kata Xian. “Gue sama dia.” Ujarnya seraya
mengarahkan dagunya kepada Mickey.
Sedangkan Juno dan Nero.
Sedangkan Maxx seperti biasa, memilih nonton saja sambil membaca.
“Cewek yang mana lagi nih? Setelah bubaran sama cewek macam Tammie,
sekarang lo jalan bareng cewek penggemar Kitty?” Juno menggoda Mickey
yang bersiap menyodok bola solid warna biru.
“Kenapa cewek-cewek lo nggak pernah tipikal sih? Gue nggak pernah nemuin
benang merah antara satu cewek dengan cewek yang lain.” Nero bicara
sambil mengamati ujung stik Mickey.
“Gue nggak terpaku pada satu tipe, tapi lebih kechemistry dan kesan
pertama yang gue tangkep dari seseorang cewek.” Mickey menyahut kalem,
lalu membasahi bibir.
Bibir Xian mengerucut melihat kegagalan rekannya. “Konsentrasi, Mickey!”
ujarnya pelan sambil tertawa.
Juno berdeham pelan. “Jadi, cewe kayak gimana yang menarik perhatian lo
kali ini?” ia melirik Mickey, sahabatnya yang player itu. Sahabatnya
yang satu ini memang charming banget dan jago bikin cewe tergila-gila.
Bahkan Janice, adiknya yang masih kelas 2 SD itu naksir Mickey.
“Cewek yang bikin gue kepingin memilikinya saat ini.” Mickey menjawab.
Maxx mengangkat alis. “Begitu?” tanyanya tiba2.
Bahu Mickey terangkat sedikit. “Kurang lebih. Entahlah. Dia bikin gue
kepingin jadi orang yang selalu ngejagain dia. Mungkin gue kepingin jadi
yang terbaik untuk dia.”
Jawab Mickey.
Juno mengeksekusi freeball akibat keteledoran Xian. Sedangkan Mickey
malah tersenyum tipis sambil memikirkan sosok cewek yang kurang lebih
seminggu terakhir ini menarik perhatiannya.
Alice lucu banget, pikir cowok itu.
Mickey kemudian mengimbuh. “Dialah alasan kenapa besok gue nggak bisa
main go-kart bareng kalian. Gue udah ada janji.” Cowok itu tersenyum
penuh arti yang di sambung sorakan pendek teman-temannya.
Juno melirik Mickey, memperhatikan perubahan pada sahabatnya yang satu
ini.
“Pastinya nggak ada masalah untuk mendapatkan dia, kan?” ucap Nero.
“Bukan soal ada masalah atau nggak. Gue nggak kepingin salah langkah.
Makanya semua harus di perhitungkan.” Kata Mickey.
“Nggak biasanya.” Juno menyahut sambil berusaha meringkas si nomor 14,
namun malah foul. Cueball masuk.
Sambil meletakkan cueball di posisi yang menurutnya terbaik dan
memandang bola 8 bagaikan pemangsa, Mickey menjawab. “Kali ini memang
agak berbeda dari biasanya.” mata cowo itu berbinar. Lalu ia mengayunkan
stik pelan. Bola 8 masuk dengan sempurna. Menang. Game selesai.
***
Juno memasukkan mobilnya ke garasi lalu berjalan santai memasuki rumah
sambil melepaskan dasi, dan dari sudut mata ia melihat sesosok cewe
sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Alice.
“Belum pulang?” ujar Juno datar sambil berjalan mendekat.
Alice mendongak. Gadis itu menggeleng pelan. “Baru saja selesai mengajar
Janice.” sambungnya. Setelah itu HP di tangannya berbunyi nyaring.
Juno mengangkat alis. Mendadak ia merasa sesak dan tidak nyaman, namun
ia berusaha tampak tenang dan baik-baik saja.
“Ah, begitu?” suara Alice terdengar agak kecewa. “Nggak papa.”
Juno melangkah lebih dekat.
“Kakak lo nggak bisa jemput?” Juno bertanya cepat.
Alice menarik napas. “Iya, temannya baru saja masuk rumah sakit.” Cewek
itu berkata. “Gue pulang naik taksi aja.” Lalu ia berdiri.
“Hati-hati, lagi hujun deras tuh!” Juno bergumam cuek sambil berbalik.
Namun selang beberapa detik, cowok itu tiba-tiba berhenti. Dan menoleh
kearah Alice yang baru saja hendak pamit padanya. “Hmm, gue anterin
deh.” Gumamnya nggak jelas.
***
Alice sendiri masih bertanya-tanya, mengapa Juno yang super cuek
memutuskan mengantarnya pulang malam ini.
Diam-diam Alice melirik ke arah Juno yang sedang menyetir. Perutnya
seolah tergelitik.
“Sudah nelepon orangtua lo untuk kasih tahu lo bakal pulang agak
terlambat malam ini?”
Juno tiba-tiba bertanya pelan. Alice menoleh cepat.
“Sudah.” Sahut Alice.
Juno mengangguk.
“Rumah lo… sering sepi, ya?” Alice ganti bertanya.
“Haha…” Juno tertawa datar. “Bokap gue sama aja dengan kakek gue.
Orang-orang kayak mereka bekerja sekitar 14-15 jam sehari.” Katanya.
Kini wajahnya cukup serius. “11 jam waktu kerja produktif dan 3 jam
untuk yang lain such as kegitan berbau sosial atau menghadiri
undangan-undangan.”
“Nggak heran.” Alice tersenyum. “Tapi lo pasti sudah terbiasa sejak
kecil, kan? Seperti
Janice yang sangat memahami kesibukan ayahnya meskipun belum menyadari
siapa dirinya.”
“Maksud lo?” Juno memandang Alice sambil mengangkat alisnya yang tebal.
“Janice masih kecil dan polos, dia bahkan mungkin belum sadar dirinya
seorang
Wirjadinata mungkin dia juga belum mengerti arti nama Wirjadinata. Tapi…
gadis kecil itu paham benar betapa sibuk kakek dan ayahnya, karena dia
sudah begitu terbiasa dengan hal itu. Sori kalau gue terdengar seolah
mencampuri urusan keluarga lo.”
Juno menghela napas. “Ya, lo benar.” Ujarnya sambil membayangkan sosok
Janice beberapa tahun mendatang.
“Lo sendiri gimana?”
Pertanyaan Alice membuyarkan lamunan Juno. “Hmm…” cowok itu berpikir.
“Gue nggak yakin sejak kecil sudah terbiasa dengan hal itu.” Katanya
jujur.
“Oh ya?” Alice menoleh. “Kenapa?”
Juno mengernyitkan kening, ia merasa sedikit pusing. “Gue nggak ingat…”
sahutnya pelan.
“Nggak ingat?”
Juno tertawa datar. “Bukan begitu.” Ralatnya. “Gue sejak kecil tinggal
di Seoul, jauh dari bokap dan kakek gue meskipun kakek gue sering banget
mengunjungi gue di sana. Lalu, waktu umur 12 tahun, gue pindah ke
Australia.” Juno menjelaskan cepat. “Jadi gue kurang terbiasa dengan
keadaan di rumah.”
“Oh, begitu…” Alice mengangguk. “Hidup lo pasti menyenangkan dan seru,
ya… Berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain!”
“Nggak seseru itu kok.” Kata Juno. “Rasanya selalu ada yang hilang, dan
itu bikin gue memutuskan untuk ke Indonesia biarpun awalnya Opa dan Papa
kepingin gue tetap di
Perth sampai lulus SMA, lalu ke Kanada untuk kuliah nanti.”
“Sesuatu yang hilang? Maksud lo kehilangan teman-teman dan keluarga di
Indo, ya?”
Alice mencoba menerka.
“Apa?” Juno merespons pelan sambil membelokkan kemudi. “Ah!” ia nyaris
berbisik. “Iya, begitu maksud gue.”
Senyum Alice terulas. “Ternyata lo bisa di ajak ngobrol juga…” katanya.
Mendengar itu Juno kontan mengubah ekspresinya jadi lebih jutek.
Kenapa gue ngobrol kayak begini sama Alice? Dan kenapa dia ngomong
seperti itu barusan…
Juno merapatkan mobilnya ke tepi jalan dan perlahan membelokkannya,
membawanya masuk ke parkiran sempit sebuah minimarket yang cukup dekat
dengan kompleks rumah Alice.
“Beli rokok sebentar.” Gumam cowok itu kembali datar seperti biasa. “Mau
nunggu di sini?”
Alice menggeleng. “Mau beli minuman.”
Kemudian mereka memasuki minimarket beriringan, Alice gugup. Alice
tersenyum, ia senang bisa mengobrol dengan Juno, meskipun singkat.
Alice meraih sekaleng Pocari Sweat dan menutup pintu kulkas.
Kasir menyebutkan harga minuman kaleng itu, dan Alice merogoh tas
sekolahnya, mencari dompet. Tapi ia tidak menemukannya.
Astaga! Pasti terjatuh dan tertinggal di ruang tamu Juno!
“Kenapa?” cowo itu bertanya cuek.
“Ah.” Alice menarik napas. “Dompet gue hilang kayaknya jatuh di rumah
lo…”
Juno berdecak keras. “Parah banget. Babo (bodoh).” Gumamnya pelan,
sambil menatap
Alice agak jengkel. Namun Juno membayarkan Pocari Sweet Alice.
“Trims!” kata Alice.
Cowok itu tidak menyahut tapi langsung berjalan agak cepat menuju pintu.
Dari dalam minimarket Alice melihat Juno bicara dengan seseorang tepat
di depan pintu cowo dengan topi kupluk merah.
Alice keluar dari minimarket, bermaksud menghampiri Juno. Namun ekspresi
cowok itu membuat Alice mengurungkan niatnya.
“Gue dan teman-teman gue udah nggak ada urusan sama lo lagi, Kiev!” Juno
berkata tajam. “Semuanya udah lewat.”
Tawa cowok bertopi kupluk itu meledak. “Sudah lewat, kata lo?” cowok itu
mendengus keras. “Lo dan teman-teman lo yang sama munafik dan belagunya
sama lo itu pasti berpikir udah sukses menyingkirkan gue!” alis cowo
itu terangkat sebelah. “ Tapi semuanya belum selesai, Wirjadinata. Ingat
itu baik-baik!” suara‟y menyerupai desisan keras.
“Perkelahian di The Nine Ballz waktu itu adalah yang terakhir.” Gumam
Juno. “Selepas hari itu, kami udah nggak ada waktu meladeni sampah macam
lo!” Juno berjalan santai melewati Kiev. “Yuk, pergi.” Ajaknya pada
Alice.
Tiba-tiba tangan Kiev mencengkeram bahu Juno. “Dengar, Wirjadinata…
Sekali lagi lo meremehkan gue, you‟re a dead meat!” katanya sambil
membalikkan tubuh Juno.
Juno menyingkirkan tangan Kiev. “Terserah lo mau bilang apa.” Dagunya
menengadah. “Yang pasti gue nggak ada urusan lagi sama lo.”
Kiev terkekeh, matanya yang kemerahan beralih memandang Alice yang
berdiri ngeri di samping Juno. “Wow, senang mengetahui sekarang Juno
Wirjadinata udah bisa „melihat‟ cewek.” Gumam Kiev. “Selama ini gue kira
pangeran yang satu ini punya kelainan orientasi seksual.”
Juno mengawasi Kiev, yang makin mendekat.
“Boleh juga.” Ujar Kiev sambil menyentuh wajah Alice.
Sebelum Alice menyingkirkan tangan Kiev dari wajahnya. Tanpa berkata apa
pun Juno menghantam rahang Kiev keras. Dengan tangannya yang kuat, Juno
menarik tangan
Alice. “Ayo!” katanya tegas.
“Gue nggak akan diam, Wirjadinata! Ingat itu!” teriak Kiev saat Juno
masuk ke mobil.
Alice merasa ada yang nggak beres antara Juno dan cowo bernama Kiev
tadi.
Ketika mobil Juno tiba di depan pagar rumah Alice, cewek itu mengucapkan
terima kasih. Dan terima kasih karena sudah “peduli” ketika Kiev
menyentuhnya tadi.
Juno mengangkat alis seolah tidak mengerti. “Gue nonjok Kiev bukan
karena lo, tapi karena dia sudah menghina gue.” Ujarnya datar.
Juno tahu dirinya berbohong, ia hanya tak ingin mengakuinya.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 11)
SENIN, DI SEKOLAH…
Sudah berhari-hari Ivanna dan Alice tidak bicara, tepatnya saat ia
menuding Alice berbohong soal Juno.
Pagi ini Ivanna melihat Alice memasuki ruang kelas. Alice meletakkan
tasnya di meja, lalu mengeluarkan HP-nya yang berbunyi dari saku rok
lipit. Setelah membaca SMS, Alice tersenyum tipis.
Ivanna mendekati meja Alice. “Alice…” panggilnya pelan. Alice yang tidak
mendengarnya, sudah berjalan cepat keluar kelas.
Gue harus minta maaf hari ini, Ivanna memutuskan dalam hati. Ia
mengikuti Alice.
***
PERPUSTAKAAN SEKOLAH…
Alice menemukan Mickey berdiri di antara rak buku perpustakaan lantai 4.
Alice tersenyum.
“Pagiii…” Alice mendekati Mickey.
Mickey menyunggingkan senyum khas‟y. “Pagi, Alice…” sapanya santai. “Ada
apa?”
Mickey membasahi bibir sekilas, lalu mengangkat alisnya. “Ada yang perlu
gue kasih ke lo.” Cowok itu berkata lembut.
Mata Alice membesar sedikit, lalu ia bertanya apa yang akan di berikan
Mickey padanya lagi.
“Selama ini lo nggak merasa kehilangan sesuatu, ya?” Mickey tersenyum
jail.
Alice berpikir, lalu menggeleng pelan. Kehilangan sesuatu?
Mickey mengeluarkan saputangan Hello Kitty dari sakunya. “Masih nggak
merasa?”
Senyum lebar terlukis di wajah Alice.
“Kemarin sabtu kelupaan mau kasih ke lo.” Mickey memberitahu.
Alice menerima saputangannya. “Makasih.” Gumamnya. “Udah di cuci, ya?”
Ia mencium saputangan itu. Wangi.
Mickey tersenyum agak tersipu. “Sebentar lagi pelajaran di mulai. Lo
masuk ke kelas duluan aja.” Ia berkata. “Gue masih mau di sini sebentar,
cari buku untuk referensi tugas.” Sambungnya dengan ekspresi agak lesu.
Setelah mengucapkan “bye”, Alice meninggalkan Mickey. Alice berjalan
dengan cepat dan konstan, hingga ketika berbelok di ujung koridor menuju
ekslator, ia nyaris menabrak seseorang yang datang dari arah
berlawanan.
“Sori!” Alice mundur dan melangkah ke samping.
Ternyata Juno!
“Jalan aja nggak benar!” Juno bergumam tajam setelah berdecak kesal.
“Sori!” ulang Alice. “Lagi buru-buru.” Ia menambahkan pelan.
Juno sedikit mencibir. Ia memandangi Alice sepintas, dan matanya
langsung tertuju pada saputangan yang di pegang cewe itu. Ia memandang
saputangan itu selama beberapa detik, hanya untuk memastikan.
“Kenapa?” Alice menyadari Juno memperhatikan saputangannya.
Cowo itu menggeleng. “Nggak papa.” Sahutnya cuek. “Oh ya, ini dompet
lo.” Lalu ia mengeluarkan dompet Alice dari saku jas seragamnya.
“Ah, makasih!” Alice membuka dompetnya, bermaksud membayar uang minuman
kaleng semalaman. “Untuk Pocarinya…”
Juno mengangkat bahu. “Nggak usahlah.” Ujarnya ringan dengan snatai
melenggang pergi.
***
WAKTU ISTIRAHAT, DI TOILET CEWE…
“Maafin gue ya, Lice…” Ivanna menatapi Alice sendu. Alice menganggukan
kepala.
Mereka sedang di salah satu bilik cewek lantai 5.
“Dan maafin gue juga karena tadi pagi menguntit lo, Lice.” “Apa?” Alice
mengerutkan kening. “Menguntit?”
“Asli gue kaget banget waktu lihat siapa yang lo temuin di
perpustakaan.” Ivanna membulatkan matanya. “Mickey! God! Gimana cara lo
kenal dia?”
“Kalian kelihatan akrab.” Ivanna melanjutkan. “Dia naksir lo, ya? Lo
beruntung banget, Alice!”
“Nggak…” Alice kepingin mengelak, tapi Ivanna cuek.
“Terus si Juno!” Ivanna makin bersemangat. “Ternyata lo memang kenal
Juno, dan dia ngobrol sama lo!!!” cewek itu menarik napas. “Lo tahu,
kakak gue bilang, kelima cowo itu jaraaaaang banget mau ngomong sama
anak-anak lain. Selain karena anak-anak lain merasa „ciut‟ kalau
berhadapan sama mereka, mereka sendiri juga memang cuek banget di
sekolah! Benar-benar hoki kalau bisa ngobrol sama mereka!”
“Dia tadi nggak ngobrol sama gue. Iva.” Alice memutar bola matanya.
“Gue nyesel sempat nggak percaya sama lo, Lice! Ternyata lo keren
banget! Bisa kenal dan ngobrol sama mereka!”
“Iva, nggak segitunya…”
Di balik pintu mereka, Sevanya Latif mencerna semua yang barusan di
dengarnya.
***
18.05, DI RUMAH XIAN…
Seperti biasa, lima sahabat itu ngumpul bareng.
Sore itu Mickey dan Nero sedang seru memainkan 9 ball mereka yang
ketiga. Xian dan Maxx sedang adu kebolehan Balap F-1.
Juno menyendiri di balkon sambil menikmati angin yang cukup sejuk. Masih
segar dalam ingatan Juno, saputangan yang di pegang Alice tadi pagi.
Setelah Juno meninggalkan Alice di belokan koridor tadi, ia mendatangi
perpustakaan lantai 4, karena yakin Alice baru saja dari sana. Ia juga
melihat Mickey di sana.
Mereka memang habis ketemuan di sana, dan Mickey mengembalikkan
saputangan itu…
Juno menarik napas, mengingat perkataan Mickey jumat lalu.
“Cewek yang bikin gue kepingin memilikinya saat ini…” “Mungkin gue
kepingin menjadi yang terbaik untuk dia…” “Dialah alasan kenapa besok
gue nggak bisa maen go-kart bareng kalian, gue udah ada janji…” “Kali
ini memang agak berbeda dari biasanya…”
Ternyata, cewe itu Alice!
Alice memang imut yah, bisa di bilang lumayan cantiklah… tapi tetap
tidak sebanding dengan cewek-cewek gandengan Mickey sebelumnya, kan?!
Juno menundukkan kepala. Kenapa gue harus nggak suka?
“Lagi PMS, ya?” sebuah tangan menepuk pundak Juno ringan. Nero. “Sudah
mainnya?”
“Sudah.” Sahutnya. “Lo nggak mau cerita?” “Cerita?”
Tawa kecil Nero terdengar. “Jelas banget kelihatan lo lagi nggak oke.”
Katanya sambil menatap Juno dalam.
“Nggak.” Juno menyahut. “Na gwaenchana. Geokjeongma (Gue nggak papa.
Jangan khawatir)…”
“Geotjimal (Bohong lo)!” Nero menoyor kepala Juno pelan sambil tertawa
pelan.
Juno balas tertawa.
“Nero.” Juno menatap lekat sahabatnya yang satu ini yang bisa di bilang
paling dekat dengan Juno.
Nero mengangkat alis. “Ada apa?”
Juno berdeham pelan lalu bertanya pelan. “Kalau teman lo yang biasa naik
Porsche atau apalah.” Ia mengibaskan tangan lalu melanjutkan.
“Tiba-tiba naksir dan beli „mobil rakyat‟ yang di pakai hampir seluruh
orang di negeri ini, apakah lo akan setuju?”
Dahi Nero sedikit berkerut. “Nggak.” Sahutnya sambil tersenyum di kulum.
“Itu sedikit… konyol!?!” nada suaranya nggak terlalu yakin.
Juno menatap mata Nero. “A-jinjja (benarkah)?” tanyanya. “Dashi
saenggakhaebwa (pikirkan lagi)!”
Nero mengangkat bahu bingung lalu mengatakan jawabannya tetap sama.
Juno menghembuskan napas lega. Ternyata ia memang seharusnya nggak
setuju Mickey menyukai Alice. Nero juga memikirkan hal yang sama, kan?
Gue nggak perlu khawatir.
***
Saat yang di tunggu-tunggu seluruh siswa SMA SCS akhirnya tiba! Festival
sekolah tahun ini!
“Wah.” Ivanna menyenggol Alice, menyuruh cewe itu menoleh ke stan klub
fotografi. “David Toriyama!” serunya.
“Cakep, ya!” Alice tersenyum. Toriyama kurus tinggi, dengan rambut lurus
agak panjang di potong shaggy, dan kulit putih bersemu.
Freddie melengos lalu menoyor kepala Ivanna cukup keras. “Bisa nggak
sih, semeniiiiit aja nggak ngurusin cowok-cowok kece di sekolah!”
omelnya.
“Sirik!” balas Ivanna sambil menoyor kepala Freddie. “Dasar rese‟!”
“Eh, ke sana yuk!” kata Tobey antusias, menarik Freddie menuju stan klub
web designing. “Kalian mau ikut lihat-lihat ke sana nggak?” ia mengajak
Alice dan Ivanna. “Nggak ah!” Ivanna mencibir. “Malas bareng anak
rese.”
“Mau nyamperin stan forografi?” Alice menawarkan.
Ivanna menggeleng. “Nggak hobi.” Jawabnya. “Motret pake handphone aja
hasilnya kacau!” gadis itu tertawa renyah.
Suasana bazar ini mengingatkan Alice pada bazar amal C Foundation yang
di hadirinya bersama Mickey dulu.
Tiba-tiba Alice celingukan mencari sosok Mickey di keramaian. Mungkin
dia lagi keliling dengan teman-temannya, pikir Alice. Ivanna
menceritakan di sekolah ini ada lima cowo yang paling populer, sekaligus
paling keren, dan paling nakal kecuali salah satu dari mereka yang
ber-IQ 170.
Pantas aja sebelumnya Ivanna cukup sering menyebut-nyebut “kelima
pangeran” yang cuma bisa bikin gue bengong karena nggak tahu apa-apa.
Ternyata Mickey dan Juno bersahabat, pikir Alice.
Ivanna mencengkeram lengan Alice keras sambil berbisik di telinga cewe
itu. “Oh, my! Itu mereka!”
***
STAN KLUB TATA BOGA…
“Oke… berikutnya kita masukkan ayam fillet yang sudah di lapisi tepung
dan di goreng sebelumnya.” tangan Nero luwes memasukkan beberapa potong
ayam ke dalam wajan di hadapannya.
“Alice!” Mickey melihat Alice dan langsung memanggil cewek itu.
“Sudah mengelilingi semuanya?” Mickey bertanya setibanya di hadapan
Alice.
Alice menggeleng. “Belum.” Cewe itu tersenyum, membuat Mickey senang.
Cowo itu tahu senyumnya menawan, tapi ia sangat menyukai senyum Alice.
Mickey tertawa renyah. “Gue lagi nonton demo masaknya Nero sohib gue.”
Kata Mickey. “Dia ketua klub tata boga. Lo suka masak, nggak? Ikut lihat
yuk!” cowo itu mengandeng tangan Alice lembut.
“Oke…” dengan lebut Alice menarik tangannya dari genggaman Mickey
kemudian memperkenalkan Ivanna pada cowo itu.
Namun Ivanna merasa sedikit nggak nyaman.
“Lice.” Ivanna menowel pundak Alice. “Gue mau cari Freddie dan Tobey
dulu, ya!” gumamnya dan meninggalkan Alice di sana.
Alice berjalan bersama Mickey dan membaur dengan ketiga pangeran
lainnya.
“Guys, kenalin… ini Alice.” Kata Mickey, kemudian ia menyebutkan satu
per satu nama teman-temannya, memberitahu Alice.
“Halo, Alice…” sapa Xian sambil tersenyum, diikuti Maxx. Nero
melambaikan tangan.
Juno hanya menyapa datar sambil sedikit mengangkat alis.
“Guys, I have to go…” Xian tiba-tiba bersuara. “Sorry, Nero… hahaha I
cant watch you any longer, gue harus balik ke stan klub bola!” katanya.
Maxx ikutan meninggalkan stan tata boga. Katanya ia juga harus kembali
ke stan klub musik, di mana ia juga Mickey seharusnya bertugas.
“Sekarang, silakan di cicipi masakan ini, sebelum kita mencoba hidangan
lainnya!!!”
Nero berseru. Beberapa siswa langsung menyerbu. Alice, Mickey dan Juno
mundur sedikit.
“Lo nggak keberatan nunggu sebentar di sini?” Tanya Mickey kepada Alice.
“Gue mau ke toilet.”
“Ah.” Alice tersenyum. “Tapi…”
“Oke, tunggu di sini!” Mickey telah melangkah meninggalkannya. Alice
menatap lemas punggung Mickey.
Alice melirik gugup kea rah Juno.
“Ternyata lo pacar teman dekat gue.” Gumam Juno datar. “Sekolah ini
memang sempit banget, ya!” imbuhnya sambil menatap cewe itu sekilas.
“Ngg…” Alice menoleh. “Bukan kok. Gue dan Mickey…”
“Juno!” mendadak Sevanya Latif muncul dan menggandeng tangan Juno dengan
manja. “Aku nyariin kamu dari tadi, Juno! HP kamu kok nggak aktif?!”
Juno tersenyum paksa. “Baterai gue habis.” Sahutnya. Kenapa dia harus
ngejar gue terus sih? Nggak bisa ya dia bebasin gue dan baru memulai
segala tingkah anehnya ini bila kami sudah menikah nanti? Dasar
perempuan!
“Ah, ada Alice!” Seva berseru. “Kenapa kalian berdua bisa di sini
bersama-sama?” Seva bertanya pada Alice.
“Alice lagi nunggu Mickey.” Jawab Juno cepat.
“Mickey? Apakah ada sesuatu di antara kalian berdua?” gadis itu berkata
sambil mendekatkan tubuhnya pada Alice. “Kalau iya, lo harus bersyukur
banget, Alice!” Sebelum Alice sempat menanggapi, suara Juno terdengar
lagi. “Jangan campuri urusan orang lain, Seva.” Cowo itu bergumam pelan.
“Juno, aku nggak…” Seva berusaha membela diri.
“Back!” terdengar seruan Mickey. Cowok itu menyodorkan sekaleng Pocari
Sweat pada Alice ia juga membawa sekaleng yang sudah di bukanya.
“Kebetulan lewat penjual minuman tadi.” Ujarnya.
“Makasih.” Alice bergumam.
Juno mendengus. “Well, you didn‟t buy one for me…” candanya sambil
menatap
Mickey.
Mickey menyodorkan Pocari Sweat miliknya pada sahabatnya, dan Juno
meneguk minuman itu. “Hai, Seva! Lagi jagain Juno?” guraunya.
Seva hanya tersipu.
“Tenang aja, Juno itu mati rasa sama cewek-cewek dan nggak bakal berbuat
macam-macam.” Mickey berkata santai. “Lo nggak perlu nelepon setiap
satu jam.” Kemudian cowok itu tertawa.
Juno hanya tertawa kecil. Dalam hati ia berharap cewek itu benar2
menaati ucapan Mickey.
Mendengar perkataan Mickey, kelihatannya Seva agak kurang senang. Ia
berharap cowok itu mengatakan he‟s really okay with her every hour call,
tapi ternyata Juno diam saja. “Alice, kita jalan-jalan yuk!” Mickey
mengandeng tangan Alice lagi. Kali ini Alice tidak melepaskannya.
Juno menyadari gerakan cepat Mickey, dan matanya sempat melihat ke
tangan sahabatnya itu.
“Sampai ketemu sejam lagi, saat acara games di mulai!” Mickey berkata
riang pada Juno dan Seva.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 12)
“Sudah memutuskan mau ikut klub apa?” Mickey bertanya.
“Belum.” Cewek itu menggeleng. “Tapi kayaknya newsletter menarik, ya!”
Mickey tertawa pendek. “Masa?” katanya sebelum menggigit burger ayam.
“Gue kurang berminat sama dunia jurnalistik, tulis-menulis, dan
sebagainya.”
Alice menjawab. “Gue suka! Tapi… kayaknya semua klub di sini menarik.”
Ujarnya bimbang. Ia setengah melirik ke stan klub Taekwondo, karena
barusan ia sempat melihat Juno sedang di sana bersama Seva.
“Hmm, Sevanya itu… pacar Juno, ya?” Alice bertanya ringan.
“Iya.” Sahut Mickey. “Alice, istirahat dulu yuk! Capek juga dari tadi
keliling.” Cowok cakep itu meringis, terlihat lucu dan imut.
“Kaki lo pegal, ya?” Alice tertawa.
Mickey mengangguk.
“Sebentar lagi, ya…” Alice merayu. “Gue kepingin ke Tenda Ramalan dulu!”
“Tenda Ramalan? Ngapain?”
Alice memutar bola matanya. “Buat main kasti!” sahut‟y dengan ekspresi
kesal. “Ya buat di ramal lah! Memangnya mau apa lagi kalau ke Tenda
Ramalan?!?!” Kadang cowok bisa begutu bodoh.
Mickey tertawa lepas. “Tapi… ngapain ke Tenda Ramalan? Yang meramal di
sana Cuma cewek kelas XI yang kebetulan anggota klub Mandarin.” Mickey
memberitahu. “Sudah pasti nggak akurat.”
“Begitu, ya?” Alice membesarkan matanya. “Tapi nggak papa deh, cuma
coba-coba kok!” gadis itu tetap berkeras.
Alis Mickey mengerut. “Yakin? Gimana kalau dia cuma bohong dan ngomong
hal-hal buruk tentang lo?”
Tawa Alice berderai. “Biar aja!”
Mickey pasrah. Kenapa sih, cewek-cewek suka banget di ramal? Bahkan
Alice juga… “Yuk!” ajak Alice.
***
DI DALAM TENDA RAMALAN…
“Selamat datang di Tenda Ramalan…” sambut si peramal, begitu Alice dan
Mickey memasuki tenda.
“Silakan duduk…” si peramal berkata.
Alice dan Mickey duduk bersila di karpet.
“Ah!” si peramal membelalakkan mata. “Mickey!” serunya tak percaya.
Mickey hanya tersenyum lucu. “Iya. Gue Mickey!”
Si peramal menggeleng. “Nggak di sangka…” ujarnya pelan. “Sungguh
kehormatan bisa meramal salah satu pangeran SCS hari ini!”
“Hmm, sebenarnya… dia yang kepingin di ramal.” Mickey menunjuk Alice.
Si peramal menatap Alice. “Ah… aku mengertiiiii.” Peramal itu berkata
lambat sambil mengangguk-angguk beberapa kali, seolah telah berhasil
membaca sesuatu. “Tapi…” “Tapi apa?” Alice bertanya.
“Aku melihat gelombang yang kuat di antara kalian.” Kata peramal. “Jadi
ada baiknya aku meramalmu juga.” Mata‟y berailh pada wajah Mickey.
Mickey tertawa pasrah. “Nggak masalah.” Ujarnya.
Peramal menarik napas, lalu menatap Alice dan Mickey dengan sorot mata
dalam, agak suram, dan misterius.
“Hmm…” peramal memejamkan mata. “Ku beritahu, ya… Musim semi yang indah
dan menyenangkan takkan berlangsung lama.” Ujarnya. Kemudian menatap
Mickey. “Karena akan segera menjadi musim panas yang gelisah dan
menyesakkan, lalu menjadi musim gugur yang merontokkan semuanya, dan
apabila berakhir dengan musim dingin yang menusuk… kamu harus siap.”
Mickey mengerutkan kening.
“Sangat di sayangkan…” peramal itu menggelengkan kepala. “Tapi tak perlu
khawatir, karena takdirmu seterang dan sehangat mentari pagi.” Ia
tersenyum teduh kepada Mickey. “Kebahagiaan tak pernah jauh dari
jangkauanmu.”
Mickey mengambil sisi positif‟y saja. Paling tidak, kalimat Kebahagiaan
tak pernah jauh dari jangkauanmu‟ menurut‟nya pertanda bagus.
“Kamu…” peramal memandang Alice. “Ada satu hal yang perlu kamu ketahui.”
“Kupu-kupu yang hilang telah menemukan pasangannya.” peramal itu
memejamkan mata lalu melanjutkan. “Namun ia hadir dalam keadaan buta.”
Alice menggigit bibir. Apaan sih? Kupu-kupu buta? Huh…
Mickey berdeham. “Begini, gue…” lalu menunjuk Alice. “Dan mungkin juga
dia.” Tambahnya. “Sama sekali nggak ngerti apa yang…”
Peramal mengangkat tangan. “Bukan tidak mengerti, tapi belum.” Gumamnya.
“Jangan terlalu di pikirkan juga, ini hanya „ramalan‟, kan?” ia
tersenyum simpul.
Benar juga, piker Mickey. Ini hanya ramalan dan gue nggak benar-benar
kepingin tahu maksudnya. Ramalan hanya untuk fun, lagi pula sejak kapan
sih gue peduli ramalan? Hahaha!
“Sebagai suvenir, ini untuk kalian.” Peramal memberikan dua kalung
dengan liontin berbentuk cincin kecil. “Semoga membawa keberuntungan.”
Ujarnya lagi.
Alice dan Mickey keluar dari tenda ramalan. Dengan cuek Mickey
mengenakan kalung dari peramal tadi. Melihatnya, Alice ikutan
melingkarkan kalungnya di leher.
* **
Mereka menuju bangku kayu di taman ujung pelataran SCS untuk
mengistirahatkan kaki.
“Keluarga gue nggak percaya ramalan.” Mickey berkata. “Kata nyokap,
selama kita berusaha dan berdoa, nggak ada yang mustahil. Lo pasti bisa
meraih impian, walaupun semua peramal bilang lo nggak bakal mampu.”
Alice tersenyum. “Ya, gue setuju.” Kata cewek itu. “Tapi gue kepingin
bisa membuktikan apakah ramalan itu ada sebenarnya atau memang cuma
omong kosong…”
“Bagaimana lo bisa membuktikannya?” Mickey tertawa geli. “Lo aja nggak
ngerti ucapan si peramal tadi. Lo nggak tahu apa maksudnya sama sekali,
jadi apa yang akan lo buktikan?”
Alice bersandar pada sandaran bangku kayu. “Memang sih.” Ia cemberut.
“Apa coba maksudnya kupu-kupu buta? Kenapa sih dia nggak langsung aja
bilang maksudnya tanpa bertele-tele?!”
“Sudahlah, nggak usah di pikirin.” Mickey menatap Alice dalam.
“Ramalannya untuk gue juga aneh, kan? Masa dia ngomong panjang lebar
tentang empat musim? Mungkin dia nggak sadar di sini hanya ada dua
musim.” Cowok itu terkekeh pelan.
Alice tertawa. “Tapi kayaknya peramal itu cukup profesional.”
Mickey menghela napas. “Profesional bagaimana? Dia murid kelas XI. Tahun
lalu dia menguntit Xian selama beberapa bulan sebelum akhirnya Xian
marah dan mengancam akan melaporkannya ke Mr. Penguin.”
“Hahaha! Begitu, ya?” Alice tertawa kecil.
“Yup.” Mickey menipiskan bibir. “Lo mau lihat peramal profesional?” ia
bertanya sambil tersenyum lebar.
Alice mengangguk. Cowok itu menarik tangan Alice lembut namun kuat.
Mickey berlagak membaca telapak tangan Alice. Alice malah tertawa-tawa
melihat Mickey berakting sebagai peramal profesional.
“Hmm, terbaca jelas di sini…” cowok itu menyusuri telapak Alice dengan
telunjuknya. “Ada seseorang yang sangat memperhatikan lo. Bahkan… dia
mencintai lo, dan selalu kepingin melihat lo happy.” Mickey mengangkat
wajah menatap Alice sambil tersenyum tulus. “Orang itu berharap,
sekarang atau kapan pun ia bisa menjadi sosok yang paling membahagiakan
lo.” Mickey menatap Alice lembut. “Itu ramalannya. Mudah mengerti dan
nggak bertele-tele, kan?”
Alice merasa wajahnya memerah dan jantungnya berdegup luar biasa
kencang. Ia tersenyum. “Apakah ramalan itu benar dan bisa di pertanggung
jawabkan? Gue nggak yakin…”
Mickey tersenyum. “Tentu saja bisa. Mau taruhan sama gue?” “Apa
taruhannya?”
“Biar gue mikir sebentar.” Mickey menatap langit. “Begini…” cowok itu
berkata, lalu menghadap ke arah Alice.
Mickey memandang Alice. “Kalau lo benar, hati gue boleh buat lo. Tapi
kalau lo salah, hati lo buat gue…” katanya sangat lembut.
Cewek itu nggak tahu harus menjawab apa. Ia tahu persis maksud Mickey.
Tiba-tiba tangan Mickey mendekat, menyisihkan helai-helai rambut Alice
yang tertiup angin dengan lembut. Mereka hanya saling bertatapan dengan
jarak yang bisa di katakana sangat dekat. Alice hanya diam. Dan
tiba-tiba saja…
“Ehem!” terdengar suara cowok berdeham. “Maaf banget mengganggu…”
Baik Alice maupun Mickey kontan menoleh. Alice langsung ingat siapa
cowok itu. Ia cowok di minimarket yang berkelahi dengan Juno waktu
itu!!!
“Kiev…” desis Mickey tajam.
“Apa kabar, Mickey Mouse?” ia terkekeh. “Masih belum berubah rupanya…
Selalu cewek, cewek, dan cewek.” Kiev mengangkat alis.
“Mau apa lo ke sini?” Mickey bertanya dingin.
Kiev mendelik. “Lho, memangnya nggak boleh? Gue kangen sekolah sialan
ini. Kangen gedung raksasanya, lantainya yang mengilap, dan tentunya
festival tahunannya.”
“Apa mau lo?” Mickey bertanya garang. “Jangan bikin kericuhandi sini.”
“Hei… sabar, Mickey!” Kiev menepuk pundak Mickey. “Orang ganteng nggak
boleh gampang emosi!”
Mickey menyingkirkan tangan Kiev dengan kasar.
“Gue sengaja bolos demi datang ke festival ini, untuk bertemu siapa pun
dari kelima pangeran brengsek SCS, dan ngasih tahu bahwa urusan kalian
dengan Kiev Wardjono belum selesai.” Kiev mengertakkan gigi. “Ternyata
takdir mempertemukan kita…” tambahnya sambil nyengir.
Rahang Mickey tampak mengeras. “Semuanya sudah selesai. Silakan lo
pulang.”
“Lo sama aja dengan si Wirjadinata itu.” Kiev mencibir. “Dengan enteng
menganggap semuanya selesai. Kalian semua memang sama! Jangan kalian
pikir, karena kepopuleran kalian atau kehebatan nama moyang yang
nangkring di belakang nama kalian, lantas gue takut?”
Mickey menyipitkan mata. Apakah Kiev sudah pernah bertemu Juno setelah
kejadian di
The Nine Ballz? “Pergi, Kiev!” tegas Mickey.
“Gue nggak takut. Gue malah akan menghancurkan kalian.” Kiev
melanjutkan. “Ingat baik-baik!”
“Pergi!” Mickey berkata datar.
Kiev mengangkat bahu. “Oke.” Katanya sambil memandang Alice yang masih
duduk di bangku kayu. Tiba-tiba Kiev tersenyum dan mengedip penuh arti
pada Alice, sebelum akhirnya melangkah pergi.
Sebuah pemikiran muncul di otaknya. Kiev ingat betul siapa gadis yang
duduk bersama
Mickey tadi…
Kupu-Kupu Salju
(Bab 13)
Setiap orang pasti punya rahasia yang benar-benar sangat rahasia sampai
tak seorang pun akan di beritahu.
Juno mempunyai sebuah rahasia yang belum pernah ia beritahu, bahkan
kepada teman-teman terdekatnya.
Kenapa gue selalu merasa ada yang hilang dalam hidup gue?
Mana ada orang kayak gue? Yang nggak bisa ingat apa pun dari masa
kecilnya? Gue nggak ingat pertama kali gue bisa menulis nama gue, atau
pertama kali gue sukses mengikat tali sepatu. Di mana sekolah gue waktu
TK? Apakah gue ikut Kelompok
Bermain? Anehkah gue? Demi Tuhan, gue nggak mau jadi orang abnormal…
Teresa Wirjadinata pernah menunjukkan sebuah gedung sekolah TK kecil di
Seoul. Namun Juno hanya menatap hampa.
Mungkin gue bisa bilang, nama gue Juno. Tapi siapa Juno? Gue nggak tahu
siapa diri gue. Gue selalu merasa ada yang hilang dari hidup gue.
Gue nggak pernah terbebas dari rasa kehilangan ini.
Memang, gue belum punya keberanian untuk membiarkan seorang pun tahu
kayak apa diri gue.
Kalau gue udah tahu siapa gue, nggak akan ada rasa kehilangan rasa nggak
lengkap. Sebenarnya, Juno pernah satu kali mempertanyakan hal ini pada
kakeknya. Kakeknya menjawab bahwa Juno pernah mengalami kecelakaan jatuh
saat belajar bersepeda dan mungkin itu membuat sebagian memorinya
hilang dari ingatannya.
Dalam hati ia tahu sang kakek tidak sepenuhnya benar.
***
Kini rahasia Juno bertambah satu lagi. Entah mengapa ia sering
memikirkan Alice.
Ia kini jadi lebih nyaman bila berhadapan dengan Alice di bandingkan
sebelumnya. Malam ini ketika Juno baru saja tiba di rumah, ia melihat
Alice baru saja keluar dari ruang belajar Janice.
“Hai…” sapa cewek itu.
Juno tersenyum tipis. “Baru selesai ngajar?” Alice mengangguk. “Baru
pulang?”
“Ya.” Juno mendekati Alice. “Perlu di antar?”
“Ah… nggak usah.” Alice merapikan beberapa buku dan alat tulis di dalam
pelukannya. “Sekarang bokap gue memperkejakan sopir untuk antar jemput
gue mengingat kakak gue akan kembali ke Amerika sebentar lagi.”
“Oh, begitu?” Juno menanggapi datar.
Alice tersenyum. “Oke, gue pulang dulu. Sopirnya udah datang… Ouch!”
pensil dan bolpoin Alice terjatuh ketika ia mencoba memasukkannya ke
dalam tas.
Juno membantu Alice memungut pensil dan bolpoin. Pensilnya rusak.
“Rusak?” Juno bertanya.
Alice nyengir. “Iya. Nggak papa. Besok baru beli baru!” ujarnya.
Juno membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan pensil mekanik warna merah.
“Pakai dulu aja.” Katanya sambil menyodorkan pensilnya kepada Alice.
“Eh, nggak papa nih?” cewek itu tampak ragu. “Iya.” Juno mengangguk.
Akhirnya Alice mengambil pensil itu.
“Non Alice, sopirnya sudah menunggu di depan.” Kata pembantu keluarga
Wirjadinata. “Oke, gue pulang duluan, ya!” Alice berkata.
Juno tersenyum. Kemudian ia membayangkan ekspresi Alice yang cemberut
tadi. Juno tertawa pelan.
“Oppa, wasseyo?! (kakak, sudah datang?!)” Janice tiba-tiba keluar dari
ruang belajarnya. “Wae misonyaguyo? Kippaeujyo? (Kenapa tesenyum
sendiri? Lagi senang, ya?)” kata
Janice ceria.
Juno melenyapkan tawanya seketika. “Ah anni… (Ah nggak…)” Juno
memasukkan tangannya ke saku celana. “Bab meogeosseo? (Sudah makan?)”
Janice berjalan mendekati Juno. “Ajikyo… Opparang bab meoggo shipeoyo…
(Belum… Aku ingin makan bersama kakak…)” Janice merentangkan kedua
tangannya. Cowok itu pun berjongkok dan memeluk adiknya.
“Geurae… (Baiklah…)” cowok itu melepaskan pelukannya. “Oppa ke kamar
dulu untuk taruh tas-tas berat ini.”
Ia mengecup pipi Janice. “Setelah itu kita makan malam, ya…”
Janice mengangguk, kemudian berkata lagi. ”Oppa, Alice onnie neun
ippeujyo!? (Kakak, kak Alice itu cantik, ya!?)”
“Mwo? (Apa?)” Juno mengerutkan kening. “Aniya. (Nggak.)” sahutnya
cemberut. “Wae geureohke mudnyagu?! (Kenapa bertanya seperti itu?!)”
Tapi Janice hanya cekikikan melihat ekspresi lucu kakak tersayangnya.
***
SCS, KEESOKANNYA…
Bel waktu makan siang berbunyi.
“Lice, ngisi perut yuk!” Ivanna melirik Alice yang duduk di sebelahnya.
“Sudah lapar banget nih!”
Alice mengangguk. “Sebentar, lagi nanggung!” cewek itu menyelesaikan
mencatat materi pelajaran.
“Oke, gue tungguin. Cepetan!” Ivanna mengeluarkan HP dari saku rok.
Suara Sevanya Latif terdengar. “Wien, lo di panggil Mr. Darwis disuruh
bawa laporan keuangan kelas.” Kata gadis itu kepada Wienda yang duduk
satu bangku di depan Alice. “Alice…” Seva memanggil lembut namun
menusuk. “Gue kepingin bicara…” desisnya tajam.
Alice mengerutkan kening.
“Di koridor aja!” Seva mendesis lagi.
Sepertinya ada yang nggak beres, Ivanna membatin ikut berdiri.
“Ada apa?” Alice bertanya.
Seva tersenyum sinis. “Jawab aja pertanyaan gue dengan jujur.” Alis‟y
yang tipis terangkat sebelah. “Dari siapa lo dapatkan pensil merah itu?”
Oh my… Ini petaka. Bodoh banget sih gue mau nerima pesil itu kemarin!
“Hmm, papa gue yang beliin.” Alice menjawab cuek. “Memangnya kenapa?”
Seva menjiltai bibir sekilas. “Jujur aja deh, Alice!” ia mendesis lagi.
“Lo berharap gue jawab apa sih?” Alice menatap Seva lurus.
Tawa sinis Seva terdengar. “Gue udah tahu lo ngajar Janice di rumah
Juno. Dan itu artinya, lo punya banyak waktu untuk ketemu Juno.” Cewek
itu melotot. “Kenapa lo ngerayu dia supaya memberikan pensil itu ke lo?”
Ngerayu? Ia mendengus kecil. “Jangan sembarangan, Seva!”
“Benar, kan? Pensil itu bukan dari bokap lo.” Tantangnya. “Kebohongan lo
menandakan lo menyembunyikan sesuatu dari gue. Apa mau lo, Lice? Jangan
ganggu gue sama Juno!
Jangan pernah!”
“Gue nggak pernah ganggu kalian.” Alice berkata tegas. “Maaf kalau udah
bikin lo jealous!”
“Apa kata lo? Cewek sial!” Seva mengayunkan tangan, hendak menampar
Alice. Sok manis di depan, tapi perayu di belakang!
“Ada apa ini?” tangan seorang cowok menahan pergelangan tangan Seva.
Alice menarik napas. “Nggak papa, Mickey…” katanya pelan.
Mickey menatap Alice was-was. “Seva, ada apa?” ia melepaskan tangan
Seva.
“Nothing.” Seva mengatupkan rahang. “Jaga cewek lo baik-baik!” geramnya
sebelum melangkah cepat meninggalkan mereka.
Ivanna mengigit bibir bawahnya. Ia berpikir keras.
Kenapa jadi begini? Permainan apa yang sedang di lakukan Alice
sebenarnya?
***
THE BIG EAST CAFÉ, SEPULANG SEKOLAH…
“Seva nyerang lo lagi sepanjang sisa jam sekolah?” Mickey bertanya.
Alice menggeleng. “Nggak.” Ujarnya.
Mickey tersenyum.
“Jangan khawatir.” Alice mengaduk kopi susunya. “Gue bisa jaga diri.”
Mickey masih tersenyum. “Memangnya apa sih yang di permasalahkan Seva?”
cowok itu bertanya. “Kalau gue boleh tau…”
Alice menggigit bibir. “Seva… dia curiga. Curiga gue merayu Juno.” Cewek
itu berkata. “Dia tahu gue ngajar Janice. Padahal, nggak berarti gue
merayu Juno, kan?”
Perlahan-lahan senyum Mickey lenyap.
“Gue jarang ketemu Juno, meskipun seminggu dua kali gue ke rumahnya.”
Alice mengangkat bahu. “Sebagai teman dekat Juno, lo pasti tahu cowok
itu lebih sering pulang malam sama kayak lo. Ya, kan?” Alice tersenyum.
Mickey mengangguk diam.
“Tapi Seva mengira yang nggak-nggak.” Alice meneruskan. “Ah… sudahlah.
Mungkin hari ini Seva lagi bad mood aja, jadinya berpikir macam-macam.”
“Ya.” Kata Mickey. “Tapi… kalau ada siapa pun Seva maupun orang lain
yang menyerang lo atau pun bikin lo nggak nyaman, lo bisa cerita ke
gue.” Cowok itu berkata lembut tapi tegas. “Gue nggak mau sesuatu yang
buruk terjadi sama lo.”
Alice tersenyum.
“Ehm, gue punya sesuatu buat lo.” Mickey meraih tas sekolahnya.
Ah, baru aja mikirin segala kebaikannya, ternyata siang ini Mickey
menyiapkan kejutan untuk gue lagi. Mickey, you‟re too nice…
“Lagu yang gue ciptakan untuk lo.” Mickey menyerahkan sebuah CD pada
Alice. “Sudah pernah gue cerita, kan?”
Alice tak mampu berkata-kata. Mickey benar-benar menciptakan lagu untuk
Alice dengan keahliannya bermain piano, dan benar-benar merekamnya agar
ia bisa mendengarkannya.
“Gue nggak tahu harus bilang apa, Mickey.” Alice meraih CD yang di
berikan Mickey. “Gue… gue bersyukur banget bisa bertemu dan mengenal
lo…” ucapnya tulus.
Mickey memandang Alice dengan alis terangkat. “Semoga lo suka lagunya.”
ucap cowok itu. “Selain itu gue juga memasukkan lagu-lagu lain. Ada
beberapa lagu Brian McKnight yang gue mainkan juga.”
“Ah, lo hebat banget.” Alice kagum. “Gue pasti suka semuanya.” Alice
merasa terlalu senang menemukan sosok Mickey dalam hidupnya sampai
kepingin nangis rasanya. Jika ada pertanyaan “Siapakah orang yang paling
kamu inginkan untuk bahagia?” Alice akan menjawab “Mickey” meskipun ia
tahu cowok itu selalu berbahagia, selalu tersenyum.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 14)
Mbak Ratni mengetuk pintu kamar Alice. “Non, ada tamu nyari Non Alice…”
“Siapa, Mbak? Cewek atau cowok?” Alice mengalihkan wajah dari layar
komputernya. “Cowok.” Mbak Ratni menyahut. “Katanya sih namanya Juno.”
“Juno?” seru Alice nggak percaya.
Juno? Ke rumah gue? Pasti Mbak Ratni ngaco deh!
Namun ketika ia turun dan mendapati Juno duduk di sofa ruang tamu.
“Juno…” Alice ...menyapa. “Ada apa?” Alice duduk di hadapan Juno.
Juno menatap Alice. “Lo nggak tahu tujuan gue kemari?” ia bertanya.
Cewek itu menggeleng.
Dengan santai Juno melepas topi Von Dutch hitam yang di pakainya. “Gue
mau ngambil tas sepatu gue.” Katanya. “Masih ingat tas itu, nggak?”
cowok itu tersenyum sedikit. “Owww…” Alice melongo. “Masih kok.” Jawab
Alice cepat. “Sebentar, gue ambil.”
Ketika kembali ke ruang tamu, nggak hanya tas sepatu Juno saja yang di
bawanya.
“Pensil lo ini juga gue kembaliin.”
“Kenapa?” cowok itu menggigit bibir. Jangan2 Sevanya…
“Nggak papa, gue udah beli pensil baru.” Alice duduk. “Lagian, lo juga
pasti perlu pensil itu kan, untuk sekolah.” Cewek itu tersenyum kecil.
“Ya udah.” Juno menggumam. “Juno…”
“Ya?” cowok itu menyahut cuek.
Alice menipiskan bibir. “Kenapa waktu itu lo bilang tas itu bukan punya
lo?” Juno menghela napas. “Yah, gue nggak mau Seva mikir macam-macam.”
“Oh…” Alice mengangguk lemah. Udah ketebak. Karena Seva…
“Oke.” Juno mengangguk. “Gue cabut dulu.” Ia berdiri.
Alice menengadah, memandang Juno. Secepat itu dia mau pergi? Juno
berpikir…
Apa ini? Kenapa hari ini gue aneh banget? Tadi gue cuma kepingin ketemu
Alice tapi sayangnya ia nggak ada jadwal mengajar Janice jadi gue
memutuskan ke rumahnya dengan alasan mau mengambil tas sepatu. Tapi
sekarang, setelah bertemu dan mendapat tas sepatu itu, gue malah… belum
kepingin beranjak.
“Ada apa, Juno?” Alice bertanya. “Kok lo bengong?”
Juno berdecak keras. “Siapa yang bengong?” sangkanya judes. “Ehm, lo
keberatan nggak nemenin gue?” tanyanya datar.
“Hah?” Alice membulatkan mata. “Nemenin ke mana? Ngapain?”
Juno memutar otak. Pikir, Juno! Ia seketika mendapat ide cemerlang.
“Belanja…” Juno mengangkat bahu. “Bahan-bahan untuk masakan Italia.”
“Hah?” Alice semakin bingung. Cowok ini ngomong apa sih?
Juno menatap Alice dengan ekspresi bosan. “Nyokap minta gue belanja
untuk keperluan masak. Besok relasi bisnisnya dari kota Turin mau
datang, dan Nyokap kepingin menjamu mereka di rumah.”
“Begitu?” Alice mengernyitkan kening.
Alice setuju menemani Juno belanja.
Mereka masuk ke Nissan Juno yang di parkir di depan rumah, sama sekali
tidak menyadari bahwa…
Beberapa meter dari sana seseorang mengawasi mereka memasuki mobil dan
memulai kegiatan menguntitnya malam ini.
***
DI SEBUAH HYPERMARET, JAKARTA SELATAN…
Orang itu selalu menjaga jarak aman.
Juno mendorong troli dengan santai, sedangkan Alice kelihatannya membawa
catatan daftar barang yang perlu di beli. Melihat Alice dan Juno
tertawa-tawa sembari menunggu petugas menimbang kerang yang mereka beli,
orang itu mengeluarkan kamera dari
sakunya. Tak sampai semenit, Olympus mungil itu telah mengabadikan
beberapa momen yang terlihat “akrab” dan “hangat” di antara Alice dan
Juno.
Juno menyentuh kepala Alice lembut, di konter sayuran. Foto terakhir
itulah yang paling di sukai orang itu. Ia puas.
***
KAMAR ALICE, 23.01…
“Masuk aja, Bet!” seru Alice dari kamar, menanggapi ketukan pintu dan
suara Obet yang memanggilnya.
Sosok jangkung Obet masuk. “Apa kabar, adik manisku?” cowok itu
menggombal. Alice menutup legenda sekolahnya. “Ada apa?”
Obet menggeleng. “Kangen aja. Udah lama nggak ngobrol sama lo.” Katanya
ringan. Bibir Alice mengerucut. “Siapa suruh keluyuran terus? Jadinya
jarang ketemu sama gue, kan!”
“Hahaha!” Obet tertawa lepas. “Nggak kebalik tuh? Since that gorgeous
Mickey tries to get you, pastinyq kalian sering keluar bareng, kan?”
Alice menyikut pinggang Obet. “He doesn‟t try to get me.” Katanya sambil
tersipu. “Oh, yeah? Dan untuk apa CD berisi alunan piano itu? Bukankah
khusus di buat Mickey untuk lo?” Obet mengedip jail, lalu mencubit pipi
Alice dengan gemas. “Scuci, Signorina…(Maaf, nona…) Gue nemu CD itu
tersimpan di laci paling rahasia di kamar ini.” Ia setengah berbisik.
“Stop it, Obet! I‟m not an elementary school girl…” Alice menyingkirkan
tangan kakaknya. “Lo tega banget sih menggeledah kamar gue! Dan soal
Mickey… kayaknya dia bukan buaya darat kayak lo bilang.”
Obet memejamkan mata sejenak. “Mungkin aja dia udah berubah sekarang.”
Cowok itu tersenyum. “Memangnya, bagaimana perasaan lo terhadap dia?”
Alice menarik napas. “Entah, gue… senang bareng sama dia. He‟s really
fun to be with…” mata Alice menerawang. “Gue… kepingin dia bahagia
seperti dia selalu bikin gue dan orang lain di sekitarnya bahagia.”
“Itu artinya lo jatuh cinta sama dia?” Obet mengernyit.
Alice tidak menyahut.
Obet berdiri. “Sebaiknya lo pelajari dulu perasaan lo sendiri…” katanya
kemudian mengacak rambut adiknya. “Gue mau online dulu, ada janji sama
teman di Tokyo.” Alice mengangguk pelan. “Night, Bro…” ujarnya pelan.
***
Sebaiknya lo pelajari dulu perasaan lo sendiri…”
Apanya yang harus gue pelajari? Perasaan gue?
Seumur hidup Alice baru satu kali menentukan seseorang sebagai pangeran
di hatinya. Dan itu terjadi sudah lama sekali. Namun sejujurnya Alice
masih mengharapkan orang itu kembali memasuki kehidupannya (tapi lupakan
sejenak tentang cinta pertama Alice itu, karena mengharapkannya kembali
sama saja dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami).
Jatuh cinta…
Apakah itu sama dengan perasaan gue terhadap Mickey, perasaan bahwa gue
selalu kepingin dia mendapat yang terbaik… Selalu bahagia, tetap
bahagia. Gue nggak kepingin senyuman itu hilang dari dunia ini. Senyuman
hangat yang menenteramkan itu…
Atau…
Apakah itu seperti perasaan gue ke Juno? Perasaan seolah-olah gue selalu
merasa ada jutaan kupu-kupu kecil dalam perut gue berlompatan,
beterbangan? Jantung gue berdegup cepat dan tentu saja itu bikin gugup.
Alice menutupi wajahnya di dalam tumpukan bantal dan boneka.
Jatuh cinta… bolehkah aku jatuh cinta?
Alice berbalik dan menatap langit-langit kamarnya, teringat cinta
pertamanya.
***
KAMAR JUNO, 23.25
Di depan layar notebook, wajah Juno tanpa ekspresi. Sosok cewek bernama
Alice.
Rambut panjangnya yang lembut. Wajah oval dengan kulit seputih salju.
Sepasang mata kecokelatan jernih. Senyumnya… mencerminkan betapa polos
dirinya.
Juno menghembuskan napas. Ia merasa tolol banget hari ini.
Ada apa sebenarnya? Belum cukup anehkah gue yang nggak bisa mengingat
masa lalu, sehingga perlu di tambah dengan gue yang tiba-tiba punya
keinginan untuk menemui seorang cewek yang biasanya paling enggan gue
temui? Bahkan gue mulai merasa “bisa” berteman dengannya.
Sebuah suara muncul dari komputernya. Ternyata Mickey mengirimkan Juno
sebuah nudge (Fitur pada MSN messenger, fungsi‟y seperti BUZZ! Pada
Yahoo! Messenger).
.:Michael-C:. : dari mana aj lo? Dr td gw telp ga diangkat =(
Juno membasahi bibir. Ia memang tidak membawa HP saat pergi tadi.
Gue nggak mungkin bicara jujur, bilang gue ke rumah Alice lalu menculik
cewek itu untuk nemenin gue belanja. Ah! Kenapa Mickey mesti
mempertanyakan hal ini?! -u-know-who- : hmm… tadi nemenin sepupu ke
undangan di Mulia… hp ketinggalan :D lagian bentar doank koq… buktinya
skrg dah nangkring d kamar.
Juno merasa napasnya sesak. Ia tidak suka berbohong seperti ini kepada
sahabatnya sendiri-apalagi Mickey kayaknya percaya aja dengan kebohongan
Juno.
Hingga satu setengah jam berikut‟y ketika Juno, Mickey, dan Xian tengah
bermain Point
Blank bersama, Juno masih merasakan butir-butir perasaan bersalah
terhadap Mickey.
Sori, Mickey… Nggak akan terulang lagi. Sahabat nggak berbohong, kan
Kupu-Kupu Salju
(Bab 15)
BEBERAPA HARI KEMUDIAN, SELASA MALAM…
Malam ini Mickey mengantar Alice pulang setelah dinner di kafe.
“Bagaimana kabar Obet?” Mickey bertanya sambil memotong steak.
Alice menyuap sepotong kecil steak. “Baik.” Jawabnya. “Baru kemarin
balik ke AS.” “Oh…” Mickey mengangguk.
Sedikit mengangkat wajah, Mickey memperhatikan Alice yang malam ini
kelihatan cute. Mickey sendiri malam itu tampak semakin tampan.
Sudah dua bulan ia dekat dengan Alice yang berarti sudah selama itu ia
menyukai dan mendekati gadis itu. Ia bahkan semakin menyukai Alice, juga
semakin ingin memiliki cewek itu. Bahkan karena Alice, Mickey tak lagi
menanggapi cewek-cewek yang mendekatinya.
Malam ini adalah finalnya.
Sebenarnya Mickey telah menyiapkan sesuatu yang special.
Tolol, pikir Mickey. Sudah puluhan kali ia melakukan hal semacam ini.
Tapi kali ini ia merasa takut gagal.
“Oh, ya…” Alice menatap Mickey. “Lagu-lagu yang lo ciptakan semuanya
bagus!” cewek itu tersenyum.
“Trims.” Mickey tersenyum. “Senang lo suka.”
Alice menyingkirkan piringnya. “Kok malam ini lo makan lama banget?”
cewek itu menatap Mickey curiga. “Ada apa?” godanya.
Mickey menyipitkan mata dengan ekspresi jenaka. “Lo selalu mengganggu
pikiran gue.”
Katanya santai, terkesan bercanda.
“Maaf.” Akhirnya Alice menyahut sambil menghindari tatapan Mickey.
“Nggak masalah.” Mickey menggeser piringnya. “Oh ya, bagaimana kalau
sepotong strawberry cheese cake untuk pencuci mulut?” ia menawari Alice.
“Oke!” ia mengangguk.
Alice tahu Mickey memandangnya dengan tatapan berbeda. Tapi ada yang
berbeda dengan cake Alice.
GIRLFRIEND?
Itu kata yang tertulis di atas permukaan cake Alice.
Alice menatap Mickey. Cowok itu hanya tersenyum lembut sambil balas
memandang.
“Alice.” Mickey bicara setelah berdeham pelan. “Gue menunggu jawaban.”
Cowok itu menatap Alice lurus.
Alice hanya tersenyum dan tidak menjawab.
“Ehm.” Alice menggigit bibir. “Selama ini lo udah jadi orang yang
terbaik untuk gue.
Dalam waktu singkat lo telah menjadi sosok yang sangat penting untuk
gue. Seperti yang pernah gue katakana, Mickey…” Alice menarik napas.
“Gue sangat bersyukur mengenal lo dalam hidup gue. Tapi…”
Mickey memejamkan mata selama dua detik. Malam ini bukan malam
keberuntungan gue, rupanya…
“Tapi apa?” Mickey bertanya lembut. “Lo belum siap memasuki relationship
yang…” “Iya.” Alice mengangguk. “Makasih… lo bisa ngerti gue…” bibirnya
tersenyum kecil. Tentu saja gue bisa mengerti dia…
Mickey menunduk. Kemudian ia meraih lembut tangan Alice. “It‟s okay…”
ujarnya setengah berbisik. “Gue selalu akan ngerti lo. Dan kalo lo belum
siap, gue bisa menunggu.”
Alice mengerjapkan mata. Kenapa? Kenapa ada orang yang begitu sempurna
seperti Mickey? Ia nggak hanya sebatas apa yang pernah gue kira, karena
ternyata ia memiliki hati yang sangat besar…
“Mickey.” Alice menggeleng pelan. “Sepertinya ada yang salah. Gue nggak
pantas untuk lo…”
”Sssh!” Mickey mempererat genggamannya. “Jangan ngomong yang aneh-aneh
seperti itu.” Matanya menatap teduh. “I love you…” bisiknya tulus. “Lo
percaya sama gue, kan?” suara lembut Mickey masih berbisik.
Dengan senyum dan wajahnya yang tampak bahagia seperti biasa (tak ada
ekspresi terluka di sana meskipun hati Mickey terasa pilu dan nyeri
karena ia belum pernah
“ditolak” seperti ini). “Ayo makan cakenya!” serunya ringan.
Kini Mickey melirik Alice di samping kirinya. Gadis ini tertidur, larut
dalam kenyamanan mobil Mickey.
Mickey mengulurkan tangan, mengusap kepala Alice pelan. Lalu ia
mendekatkan kepalanya, mengecup ringan rambut Alice. Wangi.
Malam ini gue gagal. Tapi lain kali nggak akan lagi. Apa sebenarnya yang
bikin lo menolak gue? Apakah yang selama ini gue lakukan belum
meyakinkan lo tentang perasaan gue? Tentang semuanya?
Kenapa lo menolak gue malam ini?
Mickey menghela napas. Kemudian dengan lembut membangunkan Alice.
***
Selama hidupnya, baru kali ini Alice menetapkan seorang cowok sebagai
pangerannya. Pertama kali Alice masuk SD, kakak-kakak kelasnya tentunya
cowok selalu mengganggunya . Mereka mengejeknya dengan sebutan mayat
hidup lantaran kulitnya sangat putih.
Puncaknya ketika anak-anak cowok itu memaksa Alice membagi coklatnya.
Akhirnya ia membiarkan anak-anak itu merampas cokelatnya. Alice terisak.
Seorang anak cowok mendekat.
“Kalian memang jahat!” seru cowok itu. “Benar-benar payah, tujuh cowok
mengeroyok satu cewek!”
“Apa urusanmu?” salah satu anak nakal itu berbicara. “Kembalikan
cokelatnya!” si cowok itu memerintah. “Cepat!”
Mereka berkelahi.
Guru pun keluar dan membubarkan perkelahian. Si anak itu di antar ke
UKS.
“Terima kasih sudah menolongku.” Alice duduk di samping anak itu. “Maaf
sudah membuatmu terluka.”
“Tidak apa-apa.” Anak cowok itu menjawab.
Alice menyodorkan semua cokelatnya. “Semuanya buat kamu.” Anak itu
menggeleng. “Nggak, kamu kan suka banget cokelat itu?”
Senyum Alice mengembang. “Ya udah, kita bagi dua aja, ya.” Putusnya.
Anak itu ternyata bernama Remy dan selalu menjaga Alice. Setiap hari
mereka selalu bersama-sama.
Suatu saat, Remy menyerahkan buku harian pada Alice. Buku itu terkunci
dan Remy tidak memberikan kuncinya.
“Besok ulang tahunmu, kan?” Remy bertanya.
Alice mengangguk.
“Sebagai hadiah ulang tahun, aku akan memberikan kunci buku harian ini.”
Alice melebarkan matanya. “Jadi aku akan dapat kuncinya besok?”
“Iya.” Remy tertawa. “Karena kamu ulang tahun dan aku harus memberimu
kado.” “Bersabarlah sampai besok.” Remy mengingatkan.
“Oke!” Alice tertawa renyah.
Namun keesokannya, Remy tidak muncul.
Alice memberanikan diri menemui guru kelas Remy dan bertanya mengapa
anak laki-laki itu tidak muncul di sekolah kemarin.
“Remy? Oh, dia pindah keluar kota sejak kemarin.
***
Di mana Remy? Apakah dia masih hidup? Apakah dia masih ingat padaku?
Apakah dia masih menyayangiku sampai sekarang?
Apakah Remy tahu aku masih menunggunya?
Apakah baik jika aku menerima cinta orang lain padahal aku masih menanti
Remy kembali?
Aku tahu dia akan kembali. Aku yakin…
Alice masih menyimpan buku harian pemberian Alice. Masih haruskah aku
menginginkan Remy sekarang? Remy kamu di mana?
Apakah kamu keberatan bila kupu-kupu saljumu terbang ke hati lain?
Setetes air mata membasahi pipi putih Alice. Dalam benaknya terdengar
lagi ucapan
Remy…
“Aku sayang Alice. Kamu lucu, cantik, ceria, dan seputih salju… Alice
adalah… kupu-kupu saljuku!”
Kupu-Kupu Salju
(Bab 16)
Mickey mengemudikan BMW 320i sparkling graphite miliknya menuju Warung
Bandung. Di tempat itu seseorang sedang menunggunya.
“Cepat katakan apa mau lo, waktu gue nggak banyak.” Mickey berkata
angkuh. Kiev Wardjono menengadah. “Duduk dulu, Mickey Mouse. Jangan
buru-buru.”
Mickey menghela napas. Orang satu ini memang rajanya bertele-tele.
“Pesan makanan dulu. Gue yang traktir!”
“Jangan banyak omong, Kiev!” Mickey menggeram pelan. “Cepat ke inti
persoalan.” Kiev mengangkat alis. “Tenang! Sedikit waktu yang lo
korbankan untuk makan bareng gue akan mendapat imbalan layak.” Gumamnya
mantap. “Lo bakal suka melihat apa yang gue bawa untuk lo.”
“Sebelum gue mulai, perlu gue tekankan bahwa kita berhadapan di sini
sebagai…” Kiev menarik napas. “Teman.” Senyumnya mengembang.
“Teman?” Mickey mendengus. “Kenapa harus munafik begitu? Jelas-jelas lo
bukan teman gue.”
“Lantas, siapa teman lo?” Kiev menantang balik.
Mickey menatap Kiev dengan masa bodoh. Ia mengeluarkan sebatang Mild
Seven dari kotak dan menyalakannya.
“Lo bilang pangeran-pangeran brengsek itu teman lo?” kata Kiev. “Well,
lo memang salah satu dari mereka…” Kiev menggeleng pelan. “Tapi sore ini
gue akan bikin lo sadar.”
Mickey meniup asap rokok dengan jemu. “Gue udah bilang waktu gue nggak
banyak.” Kiev mendengus keras. “Oke.” Ia menatap Mickey lurus. “Sekarang
mata lo bisa melek dan bisa lihat kalau selama ini lo sudah memilih
orang yang salah sebagai teman lo!” “Hmm?” Mickey menyahut cuek.
“Jujur, gue memang muak dengan kalian berlima sejak kalian menginjak
gedung SCS.” Kiev mengeluarkan rokoknya. “Dan kebencian gue berlipat
ganda setelah kalian sukses membuat gue di keluarin dari sekolah bangsat
itu!”
Tahun lalu Kiev dan beberapa anggota gengnya berkelahi dengan kelima
pangeran SCS di The Nine Ballz. Perkelahian itu adalah lanjutan
perkelahian pertama mereka yang terjadi akibat Kiev mencari gara2 ingin
membuktikan dirinya penguasa sekolah. Pertarungan berlangsung panas dan
keesokannya semua siswa SCS yang berpartisipasi dalam perkelahian di
giring ke kantor kepala sekolah.
Hingga beberapa minggu kemudian, Juno mendapat bocoran bahwa Kiev
mengedarkan narkoba pada beberapa teman sekelas. Mereka berlima mengatur
siasat sehingga informasi tersebut sampai ke telinga kepala sekolah.
Beliau menggeledah Kiev. Barang bukti ditemukan: di tas sekolah Kiev
terdapat shabu-shabu. Ia pun dikeluarkan dari SCS.
Mickey tertawa sinis. “Ngapain ngomongin masa lalu? Lo nggak punya
kerjaan yang lebih penting?”
Kiev tersenyum. “Dengar, Mickey. Ketika resmi dikeluarkan dari SCS, gue
bersumpah bakal balas dendam pada kalian, terutama Wirjadinata belagu
itu. Tapi gue ngerti, dari kelima pangeran ada satu yang masih „waras‟
dan „normal‟.”
Mickey menghembuskan asap lagi.
“Dan orang itu adalah lo!” Alis Mickey mengerut. “Gue?”
Kiev mengeluarkan amplop cokelat dari ranselnya. “Gue yakin setelah
melihat ini, lo bakalan mikir normal. Dan tentu saja, barang lo ini akan
membisikkan.” Kiev menyipitkan mata penuh arti. “Siapa teman lo dan
siapa musuh lo.”
Mickey menerima amplop itu. Dan kenapa bajingan satu ini begitu
bersemangat? Mickey menarik keluar beberapa lembar foto dari amplop itu.
Ia tak sanggup berkata-kata.
Kiev memang membuat Mickey tidak menyesal telah datang menemuinya.
***
DUA JAM KEMUDIAN, DI APARTEMEN MICKEY… Sunyi senyap…
Mickey termenung sendirian di apartemennya, yang ditinggali berdua sang
ayah. Mickey membawa pulang foto-foto sialan itu.
Persahabat… Pengkhianatan…
Kedua kata itu membuatnya makin pening dan terluka.
Pengkhianatan… kesedihan… kehancuran…
Orangtua Mickey bercerai ketika ia masih berusia dua belas tahun. Ia
mempunyai adik laki-laki yang lima tahun lebih muda darinya.
Perceraian berlanjut dengan keberangkatan Mickey bersama ibu dan adiknya
ke Amerika. Menjelang masuk SMA, Mickey merasa perlu membina hubungan
baik dengan ayahnya. Di sekolah, Mickey mendapatkan sahabat-sahabat yang
semakin melengkapi hidupnya.
Ia menganggap keempat sahabatnya sebagai saudaranya sendiri. Paling
nggak, sampai siang tadi.
“Kapan foto-foto ini diambil?” Mickey menatap Kiev sambil berusaha
menenangkan diri. Kiev mengucapkan tanggal dan waktu‟y. “Gue sendiri
yang mengambil gambarnya.” ia menambahkan bangga.
Gue ingat betul malam itu. Juno bilang ia pergi ke Mulia bareng
sepupunya. Hati Mickey sesak. Juno berbohong padanya.
Bukankah kebohongan berarti menutupi sesuatu?
Kebohongan memang berarti menutupi sesuatu…
Mickey masih tidak percaya sahabatnya bisa mengkhianatinya.
Kalaupun Alice menyukai Juno… kalaupun cewek itu nolak gue karena Juno,
semuanya salah Juno…
Sahabat nggak berbohong, kan?
Perasaan sedih tak lagi mendominasi Mickey. Kini ia lebih merasa marah
ketimbang sedih.
Dengan jelas Mickey masih ingat tawaran Kiev tadi.
Dengan gerak lambat ia meraih HPnya dan menghubungi Kiev.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 17)
uno terbangun dengan napas agak terengah. Ia melirik jam digital di
samping tempat tidurnya.
02.52 AM.
Ia baru saja mimpi aneh.
Ia bermimpi ada wanita meronta sekuat tenaga namun tetap tak mampu
melawan kekuatan dua orang asing yang melawannya.
Wanita itu sempat memberontak dan berteriak. “Kembalikan! Kembalikan
dia!”
Siapa dia?
Ini bukan pertama kali gue mimpi kayak tadi… Wanita itu sudah pernah
hadir dalam mimpi gue sebelumnya.
HP Juno berbunyi.
Mickey yang menelepon Juno.
“Ya?”
Suara Mickey kedengaran pelan dan gugup. “Juno…” cowok itu tersengal
sedikit. “Ke sini, tolong gue!”
“Mickey?” Juno memanggil. “Bicara yang jelas!”
Mickey berdeham pelan di seberang. “Juno, tolong gue! Gawat!” sahabat
Juno itu masih bicara pelan.
“Ada apa?” Juno mengernyitkan dahi.
“Kiev…” kata Mickey. “Dia menjebak gue. Dia minta gue menemuinya,
ternyata gue dikepung habis-habisan.” Mickey menarik napas. “Juno, gue
benar-benar butuh lo. Kroni Kiev banyak banget…”
Kiev!
Juno sudah tahu bajingan itu suatu ketika bakal membalas dendam.
“Lo di mana?” Juno berusaha tenang.
Mickey mendesah pelan. “Di tempat yang sama waktu Kiev menantang kita,
tahun lalu.” “Pabrik bekas punya bokapnya?” Tanya Juno.
“Betul.”
“Gue segera ke sana.” Juno memutuskan. “Jangan khawatir, Mickey.” “Oke.”
Mickey masih terdengar panik. “Juno…”
“Apa lagi?”
Mickey berdeham pelan sekali. “Jangan ajak Nero dan yang lain. Cukup
kita berdua yang mengurus Kiev. Oke?”
“Ah, begitu? Tapi lo bilang Kiev bawa banyak orang.”
Mickey menghela napas. “Kita bisa mengatasi mereka. Gue… gue cuma nggak
kepingin melibatkan semuanya. Urusan dengan Kiev ini sebaiknya cepat
dituntaskan aja.”
Juno mengangguk mantap. “Oke kalau begitu.” Ia mengatupkan bibir. “Gue
berangkat sekarang.”
***
Ketika Juno tiba di area yang dimaksudkan Mickey jantungnya berdegup
kencang.
“Halo, jagoan!” Kiev menyapa lantang. Juno mengabaikannya.
“Bagus banget lo datang ke sini!” Kiev bergumam sambil maju. Ada lima
cowok berbadan besar di belakang Kiev.
“Mana Mickey?” Juno bertanya santai.
Tawa Kiev meledak. “Siapa yang lo cari?” ejeknya. “Dengar, Juno… inilah
saatnya gue melihat lo terkapar nggak berdaya!”
Kelima orang itu menyerang Juno dengan ganas.
Pada menit-menit awal Juno masih bisa bertahan dan membalas sedikit
serangan mereka yang bertubi-tubi. Tapi lama-kelamaan ia mulai
sempoyongan.
Perutnya baru saja ditendang hingga ia memuntahkan darah.
Juno merintih pelan. Ia hanya berpikir apakah Mickey baik-baik saja?
Juno berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dan ketika ia seperti mendengar
suara yang sangat dikenalnya.
Mickey?!
Apakah Mickey baik-baik saja? Juno berusaha melihat lebih jelas.
Mickey… kayaknya baik-baik saja…
“Lo sudah mengerti arti pengkhianatan, Juno?” kata Mickey dalam.
Juno nggak sanggup menjawab.
“Tadinya gue menganggap lo sahabat.” Mickey masih menatap Juno. “Tetapi
semua ini menunjukkan siapa lo sebenarnya.” Kemudian Mickey menyodorkan
beberapa lembar foto yang menjadi biang keladi semua kejadian ini.
Juno langsung mengerti. Ia mencerna segalanya dalam diam. Mickey
menghela napas panjang lalu berdiri.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 18)
DI GAZEBO SCS, SEBELUM BEL MASUK KELAS…
Sudah tiga menit Alice menunggu kemunculan Mickey di gazebo sekolah pagi
ini.
“Terlambat tiga menit!” Alice berseru pura2 cemberut.
Mickey tersenyum lalu duduk di samping Alice.
“Gue bikin untuk lo.” Alice mengangkat kotak tiramisu ke Mickey. “Semoga
lo suka!” “Gue senang dapat kejutan dari lo pagi-pagi begini.” Ujar
Mickey pelan.
Alice tertawa renyah. “Benar? Bagus deh kalau begitu. Selama ini cuma lo
yang selalu bikin gue senang. Gue kepingin bisa bikin lo senang juga.”
Cowok itu menatap Alice teduh. “Melihat lo tersenyum atau tertawa sudah
bikin gue senang.”
“Gue kepingin bisa berbuat lebih.” Alice menyahut pelan.
Mickey menunduk sejenak. Ia nggak bisa berhenti memikirkan Juno.
Seharusnya gue nggak berbuat seperti itu… Seharusnya gue nggak boleh
mencelakai Juno… Apapun yang terjadi, mestinya gue selesaikan dengan
jalan benar! Bukan seperti itu. Juno sahabat gue sendiri…
“Mikirin apa?” Alice bertanya.
Mickey hanya menatap Alice sekilas. “Nggak ada apa-apa.” Katanya
singkat. “Apa gue kelihatan nggak baik-baik saja?” cowok itu berusaha
bergurau.
“Sejujurnya, lo kelihatan agak berbeda dari biasanya.” Alice menjawab.
Mickey menggeleng pelan.
“Mickey, lo keberatan untuk cerita?” Alice memelankan suara. “Gue
benar-benar nggak apa-apa kok. Don‟t worry.”
“Kenapa lo bohong?” Alice kelihatan kecewa. “Lo nggak percaya sama gue?
Gue belum bisa jadi tempat lo berbagi cerita, ya?” suara cewek itu
memelas.
Mickey tertawa getir. “Alice, jangan ngomong begitu.” Cowok itu
membasahi bibirnya. “Gue kepingin bisa selalu berbagi sama lo, tapi…”
“Tapi apa?”
“Kali ini gue benar-benar nggak apa-apa.” Mickey tersenyum lebar.
“Bahkan gue senang karena lo ngasih tiramisu ini buat gue, jadi pagi ini
gue merasa spesial…”
Alice merasa Mickey menutupi sesuatu. “Mickey, kalau lo butuh teman
untuk berbagi cerita baik yang bagus atau buruk lo bisa andalkan gue.”
Cewek itu tersenyum. “Alice…” Mickey memanggil pelan.
“Hmm?”
“Would it kill you to be my girlfriend?” Mickey bertanya santai. Alice
tersenyum kecil. “Lo masih kepingin gue jadi cewek lo?”
“Kenapa lo mempertanyakan itu? Apa lo pikir gue cuma main-main malam
itu, waktu gue minta lo jadi cewek gue?” Mickey menatap lurus ke depan.
“Gue sama sekali nggak bercanda.” Ia menambahkan pelan.
“Sori.” Alice menipiskan bibirnya. “Gue nggak berpikir begitu kok.”
Cewek itu melirik Mickey sekilas. “Dan gue merasa salah kalau gue setuju
jadi cewek lo padahal gue masih menunggu orang lain untuk kembali.”
Mickey menoleh kearah Alice.
“Pastinya gue akan mengecewakan lo, kan?” Alice menundukkan wajah. “Lo
nunggu siapa?” Mickey bertanya singkat.
Alice kemudian menceritakan kisah masa kecilnya dengan Remy. “Dia cinta
pertama gue, sekaligus orang yang amat sangat gue sayang. Kini, meskipun
sudah bertahun-tahun dia meninggalkan gue, gue masih kepingin dia
kembali.”
Jadi itu alasannya? Karena cinta pertama‟y inikah Alice menolak gue?
Bukan karena Juno? Ah… entahlah!
“Bagaimana kalau dia sudah melupakan lo?” Tanya Mickey. “Bisa aja dia
sudah punya pacar sekarang dan cuma menganggap lo bagian kecil masa
lalunya.”
Alice tertawa hambar. “Nggak papa. Hanya dengan ketemu dia dan
mendapatkan kunci buku itu, gue udah senang.” Jawab gadis itu. “Memang,
cerita kami hanya masa lalu dan sangat mungkin Remy sudah melupakan
semuanya.” Alice menarik napas. “Tapi gue masih kepingin mengenangnya
dan meminta kunci itu. Gue kepingin melihat dia baik-baik saja. Dan
nggak mau terpisah lagi darinya.”
Mickey menggigit bibir. “Gue harap lo akan menemukan dia.” Cowok itu
tersenyum tulus. “Supaya lo bahagia.”
Alice merasa hatinya mencelos. “Mickey…”
“Bisakah lo sebutkan ciri-cirinya? Barangkali kalau suatu hari kelak gue
menemukan dia.” Mickey melebarkan mata sipitnya dengan jenaka. “Gue
akan langsung menghiasinya dengan pita dan mengantarnya ke depan rumah
lo.”
Alice tertawa kecil. “Mickey…” cewek itu nggak mampu berkata-kata.
“Hmm?”
“Gue benar-benar nggak pantas untuk lo.”
Mickey menyentuh kepala Alice lembut. “Jangan ngomong begitu lagi, ya?!”
katanya sambil membelai kepala Alice. “Apa pun yang lo harapkan dalam
hidup ini, gue akan selalu jadi orang pertama yang mendukung lo…”
Alice mengerjapkan mata.
“Makasih buat tiramisunya.” Mickey bangkit dari duduk. “Gue ke kelas
duluan, ya. Sebenarnya, pagi ini jadwal piket gue.” Cowok itu nyengir
lucu.
Alice mengamati sosok Mickey yang menjauh.
Ia tahu ia menyayangi Mickey dan ingin cowok itu bahagia. Alice hanya
tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Air mata Alice mulai mengalir dari kedua mata jernihnya, membasahi pipi
putihnya yang halus.
Kenapa sih kayaknya gue selalu bikin Mickey sedih? Cuma bisa bikin dia
sedih…
Kupu-Kupu Salju
(Bab 19)
Keempat pangeran SCS mengunjungi Juno di rumahnya sepulang sekolah.
Nero, Xian, dan Maxx sangat khawatir ketika tahu Juno tidak dapat masuk
sekolah lantaran terluka parah akibat perkelahian sengit dengan Kiev.
“Kenapa Juno nggak menghubungi kita?” Nero protes. Saat itu jam makan
siang dan mereka sedang nongkrong di pelataran parkir sekolah.
Mickey berusaha menenangkan diri. “Mungkin Juno nggak kepingin
melibatkan kita semua.”
“Payah!” Nero mengembuskan asap rokoknya. “Memangnya dia anggap kita
semua ini anak kemarin sore?”
“Sudahlah, guys.” Xian menggigit bibir. “Sepulang sekolah nanti kita
jenguk Juno. Dan jangan dipermasalahkan lagi soal dia nggak ngajak kita
membantai Kiev, oke?” cowok itu mengangkat alis.
Nero memandang cuek kea rah Xian. “Kalau saja kita semua ada di sana,
Juno nggak mungkin sampai kayak gini, kan?”
Dengan tatapan polos Maxx menanyakan kabar terakhir Juno.
“Juno masih bisa berjalan, meskipun tertatih-tatih. Wajahnya juga bisa
pulih, meskipun sekarang lebam.” Jawab Nero. “Tapi yang nggak bisa pulih
itu harga diri kita di depan Kiev brengsek itu. Kita semua sudah
tercoreng!”
“Itu nggak penting, Nero.” Maxx melirik Nero sepintas. “Lagi pula kita
sudah berjanji pada pihak sekolah untuk nggak berkelahi, kan?”
Xian mengangguk setuju.
Nero menggeleng. “Jadi nggak ada yang punya niat untuk membalas
perbuatan Kiev terhadap Juno?” katanya tegas. “Mickey, menurut lo
gimana?” Nero mengalihkan pandanganya pada Mickey.
“Hmm?” Mickey menghindari tatapan Nero. “Entah… gue…”
“Ada apa, Mickey?” Nero menyinggul Mickey dengan sikunya. “Biasanya lo
selalu bersemangat soal beginian… Tapi siang ini kok lo lebih banyak
diam, heh?”
Mickey berdeham beberapa kali. “Gue nggak bisa mikir. Gue…
mengkhawatirkan Juno.”
Sahut Mickey mengambang.
***
SORENYA, DI AREA KOLAM RENANG RUMAH JUNO…
Juno baru saja pulang dari rumah sakit.
Juno hanya bisa menunduk dan menerima hukuman. Ia tidak diperbolehkan
keluar rumah selama seminggu, termasuk ke sekolah.
Meskipun sudah tahu dirinya di jebak sahabatnya sendiri, Juno tidak
menceritakan hal itu kepada siapapun. Ia merasa Mickey punya alasan
untuk berbuat begitu terhadapnya.
“Muka lo nggak ganteng lagi.” Nero meninju lengan Juno. “Trims.” Juno
tertawa kaku.
“Untung nggak ada tulang yang retak.” Xian berkata sambil melahap
kimbap.
Juno masih beruntung karena hidung kebanggaannya tidak sampai patah
karena dihantam.
“Kita harus membunuh Kiev setelah lo sembuh.” Gumam Nero. “Jangan.”
Sergah Juno. “Kita mengalah untuk menang.” Imbuhnya.
Tawa Nero berderai renyah. “Tapi dia sudah bikin bibir lo sobek begitu.”
Ujarnya. “Mickey! Kok lo diam aja? Ayo makan kimbapnya!” seru Xian pada
Mickey. Mickey seolah tersadar dari lamunan. “Ah, gue nggak lapar.”
Sahutnya singkat.
Juno menatap Mickey, namun Mickey buru-buru berpaling. Mickey merasa
seperti pengkhianat yang memakai topeng.
Pengkhianat sejati…
Apalagi setelah melihat sikap Juno yang sama sekali tidak memusuhi‟y.
Gue nggak layak berada disini. Maafkan gue, Juno…
“Guys…” Mickey berdiri dari duduknya. “Gue cabut duluan, ya!” “Eh?” Maxx
menengadah. “Kok cepat banget?”
“Gue ada janji.” Mickey menyahut. “Nemenin bokap gue. Ada undangan
pesta.” “Pestanya jam berapa?” Juno bertanya santai. “Jangan buru2. Gue
akan suruh Martha bikin naengmyon kesukaan lo! Cuaca hari ini cukup
panas, bakal asyik banget kalau kita makan naengmyon. Gimana? Ide bagus,
kan?”
Mickey menghela napas. Kenapa ia nggak membenci gue?
“Makasih, nggak usah repot-repot.” Mickey mencoba tersenyum. “Gue
buru-buru banget.”
Mickey beranjak dan meninggalkan gazebo. Nero melirik Juno penuh arti.
“Menurut lo, Mickey baik-baik aja?” tanyanya sedikit berbisik.
Juno mengulaskan senyum. “Hmm, gue rasa nggak ada masalah.” “Tapi dia
kelihatannya beda.” Nero mengambil sepotong kimbap.
“Mungkin lagi ada problem pribadi. Semoga saja dia bisa menyelesaikannya
dengan baik.”
Kupu-Kupu Salju
(Bab 20)
DUA HARI KEMUDIAN…
Berada di rumah untuk waktu lama pasti sangat membosankan untuk pribadi
yang easy going kayak Juno.
Juno sudah bosan banget.
Sore ini, persis seperti sehari yang lalu, Juno duduk di belakang
rumahnya.
“Juno!” sebuah suara memanggil.
Alice berlari kecil menghampiri Juno.
“Kata Martha, lo lagi sakit dan butuh teman.” Alice duduk di samping
Juno. “Jadi gue kemari, mumpung masih ada waktu sebelum mulai mengajar.”
Juno tersenyum tipis.
“Apa yang terjadi?” Alice mendekat. “Lo berantem, ya? Siapa yang
melakukan ini.”
Juno lagi-lagi hanya tersenyum tipis melihat sikap Alice yang ingin
tahu.
“Hari ini ngajar Janice?” Juno mengubah topik pembicaraan.
“Ya.” Alice mengangguk sekali. “Tapi kenapa lo mengalihkan pembicaraan?
Lo belum jawab pertanyaan gue!”
Juno tertawa pelan. “Lo nggak perlu tahu.” Katanya. “Yang pasti, gue
jadi di hukum bokap. Nggak boleh keluar rumah seminggu.”
“Begitu?” Alice mengangkat alis. “Semua orang menutupi sesuatu dari gue.
Padahal gue cuma kepingin jadi teman berbagi.” Cewek itu menghela
napas.
“Nah, kenapa nggak lo aja yang cerita dan jadiin gue teman berbagi yang
bisa meringankan beban lo?” tantang Juno.
“Memangnya lo berminat mendengarkan masalah orang?” Juno mengangkat alis
sedikit. “Kenapa nggak?”
Alice tersenyum lebar. “Tapi gue nggak tahu harus cerita apa.”
“Bagaimana kalau tentang…” Juno pura-pura berpikir. “Hubungan lo dengan
Mickey?” “Kenapa lo nanya?”
“Memangnya nggak boleh?” Juno merespons dengan tatapan polos.
Alice menghela napas ingkat. “Bukan‟y begitu.” Lalu cewek itu menunduk.
“Sebenarnya, gue selalu khawatir.”
“Khawatir?” Juno bertanya.
“Ya, khawatir gue nggak bisa bikin Micky senang.” Alice memandang Juno.
“Mickey selalu membuat orang-orang di sekitarnya senang, kan? Begitu
juga gue. Dia selalu bikin gue bahagia dan merasa nyaman.” Alice
menipiskan bibirnya. “Dan itu membuat gue khawatir bahwa gue cuma bisa
menyusahkannya dan nggak pernah bisa buat dia bahagia.”
Juno memandang Alice teduh sambil tersenyum kecil. “Lo pasti bisa.”
Gumamnya. “Malahan, mungkin lo termasuk salah satu orang yang paling
bisa membuat dia senang.”
Sepasang mata cokelat Alice hanya menatap kosong.
“Kalau lo kepingin membahagiakan Mickey, turuti saja apa yang ingin
dilakukan hati lo.” Juno tersenyum lembut. “Ditambah dengan ketulusan,
pasti dia bisa merasakan niat lo dan merasa bahagia.”
Alice membalas senyuman Juno. “Akan gue ingat itu!” ucapnya. “Pengertian
yang sederhana, namun sering kali luput dari pemikiran gue.”
“Semoga berguna untuk lo…”
“Makasih ya!” Alice menyenggol lengan Juno dengan bahunya. “Ouch!!!”
terika Juno sambil meringis.
Alice langsung panik. “Apa gue nyentuh luka lo terlalu keras?” cewek itu
terlihat merasa bersalah. “Sori. Sori banget!”
Juno menahan senyum melihat wajah Alice.
“Nggak papa kok.” Ujarnya santai. “Cuma kesenggol sedikit.” Cowok itu
tertawa.
Tawa Alice ikut berderai. Alice senang bisa ngobrol dengan Juno.
“Juno…” Alice berhenti tertawa. “Hmm?”
“Sejujurnya.” Alice menarik napas. “Lo kelihatan tampan sore ini.”
Juno menatap Alice sambil pura-pura sewot. Ia yakin cewek ini mengejek
wajahnya yang bonyok.
“Jangan ngambek! Gue nggak bohong kok.” Alice menjelaskan. “Waktu lo
ketawa tadi, lo terlihat lebih tampan… meskipun wajah lo lagi nggak
oke.”
Mendengarnya Juno tersipu. “Masa sih?” tanya‟y dengan nada malas. “Lo
aja yang jarang liat gue ketawa!”
“Mungkin saja.” Alice menyahut cuek. Cewek itu mengeluarkan HPnya dari
saku seragam. “Boleh gue foto? Dengan syarat lo harus ketawa yang bagus
kayak tadi!” “Apaan sih!” Juno menghindar.
“Ah, pelit!” seru Alice. “Paling nggak, biarkan gue mempunyai foto teman
baru gue. Lo nggak tahu ya, gue senang banget bisa temenan sama lo?”
“Teman?” suara Juno nyaris berbisik.
Alice mengangguk. “Pertama kali kenal lo, lo orang yang paling
mengerikan. Tapi sekarang, gue mendapati lo cukup bijak dan menyenangkan
untuk dijadikan teman.” Katanya sambil tersenyum lebar. “Bagaimana? Now
we‟re friends?”
Juno menghela napas. Kenapa cewek ini begitu jujur?
Juno memutuskan untuk tertawa dan mengangguk. “We‟re friends! Tapi
ngambil fotonya bareng aja, ya!”
***
KAMAR ALICE, 23.07…
Seharusnya Alice sudah tidur malam ini. Tapi matanya masih nyalang.
Alice meraih HP yang ia letakkan di meja mungil di samping tempat tidur.
Dalam foto itu wajah Juno tertawa lepas. Sedangkan wajah Alice terlihat
lucu dengan pipi digembungkan dan tangan kanan membentuk symbol V.
Mereka berangkulan.
Foto yang lucu…
Alice memilih foto itu sebagai wallpaper HPnya saat ini. Teman…
Senyuman terukir di wajah Alice.
Suatu saat nanti aku kepingin menjadi lebih dari sekadar teman bagi
Juno…
Kupu-Kupu Salju
(Bab 21)
KEESOKANNYA… SCS, JAM PULANG SEKOLAH
Alice menyusuri pelataran sekolah. Alice harus pulang naik taksi.
Sore ini Alice keluar sedikit terlambat karena tadi ia ke perpustakaan
dulu.
“Alice!” seorang cewek memanggilnya.
Alice menghampiri Seva.
“Ada apa?” Alice bertanya singkat.
Seva menipiskan bibir. “Gue mau lihat HP lo!” tukas Seva tajam. “HP?”
Alice mengangkat dagu. “Untuk apa?”
Seva tersenyum sinis. “Pasti lo punya kejutan untuk gue di sana, kan?”
Alice segera menyadari arah pembicaraan Sevanya. Astaga! Ingatan Alice
melayang pada kejadian di kelasnya saat makan siang tadi…
Wienda yang duduk di depan Alice cekikikan sambil menutup mulut. “Trus
kata David, gue imut!” serunya tertahan.
Alice, Ivanna, dan Freddie mendengarkan cerita Wienda dengan saksama.
“Dan semalam David nelepon gue. Dia ngajak gue nonton sepulang sekolah
nanti!” Wienda memutar bola matanya. “Gue nggak percaya! Dia ngajak gue
nonton! Kencan!” “Ah, begitu?” Ivanna ikutan semangat. “Dan apa jawaban
lo?”
Wienda tersenyum penuh misteri. “Gue belum ngasih keputusan. Semalam gue
bilang akan SMS dia, jadi nonton atau nggak!”
“Halah!” Freddie menyibakkan tangannya dengan gemas. “Lo sok jual mahal,
tahu!” serunya.
“Dan sekarang waktunya mengirim SMS ke doi!” Wienda mengedip centil lalu
merogoh tasnya mencari HP. Namun berikutnya dia berteriak histeris.
“Ah, gawat! Gue nggak bawa HP!!!”
“Capek deh!” Freddie melengos sebal.
Kelihatannya Wienda kepingin menangis. “Nggak mungkin banget gue ke
kelasnya sekarang! Gue nggak mau cari gara-gara sama cewek-cewek senior
di kelasnya yang terkenal fanatik sama David!”
Ivanna mengernyit. “Sayang banget, gue juga nggak bawa HP. So, nggak
bisa minjemin lo…” ujarnya seraya angkat bahu.
Mendengar itu Wienda makin lemas. Alice langsung tersenyum dan
menyodorkan HP‟y. “Makasih, Alice!” Wienda berseru. “Lo dewi penolong
gue yang tercantik!!!”
Wienda pasti memberitahu Seva soal foto itu. “Nggak ada apa-apa di HP
gue. Dan yang jelas nggak ada urusannya sama lo.”
Seva merta-merta menahan bahu Alice. “Jangan kabur, Alice!!!” bentaknya
kasar. “Apa-apaan sih lo?!” Alice mendorong Seva kuat. “Lo mau HP gue?!”
Alice merogoh saku seragamnya dan menarik HPnya. “Ini yang lo incar?”
Seva langsung menyambar HP mungil itu. Dan ketika melihatnya, mata Seva
membulat dan mulutnya sedikit menganga. Alice bahkan lebih dulu
menjenguk Juno ketimbang dirinya.
“Puas?” Alice bertanya tajam. “Kembalikan HP gue sekarang. Gue mau
pulang!” tegasnya.
“Seharusnya gue yang bertanya begitu!” kata Seva. “Apa lo sudah puas
bikin gue sakit hati?”
“Kembalikan!” Alice menerjang Seva.
Seva berkelit. “Apa lo sudah puas bikin gue sakit hati???” ia mengulangi
pertanyaannya.
Ia membanting HP Alice, kemudian menginjak-injaknya. Alice terkesiap.
“Kenapa?” Alice berbisik. “Kenapa?”
Seva menatap Alice dengan mata basah. “Gue nggak percaya ada cewek kayak
lo!” gumamnya. “Dia hidup mati gue! Dan lo merampasnya! Dasar serigala
berbulu domba!” Alice menggeleng. “Kami cuma berteman.” Sahut‟y lirih.
Seva tertawa pedih. “Teman?” ulangnya sinis. “Nggak, Alice. Gue nggak
sebodoh itu untuk percaya omongan lo.”
“Terserah!” Alice menarik napas panjang.
Dengan cepat Alice memungut sisa-sisa HPnya. “Gue nggak peduli lo
percaya atau nggak, tapi gue cuma ngasih tahu, hubungan gue dengan Juno
nggak seperti yang lo kira.” Katanya datar.
Detik berikutnya Alice berlari kecil meninggal Sevanya.
Ia kepingin menangis. Ia kepingin bertemu seseorang yang bisa membuatnya
merasa lebih baik…
“Alice?” sebuah tangan menariknya lembut.
Alice melihat Mickey berdiri di depannya. “Ada apa?” cowok itu mengusap
rambut Alice lembut.
“Mickey…” Alice terengah. “Seva…” tangannya yang memegang HP gemetar.
“Apa yang terjadi?”
Alice menggeleng lemah. Matanya berkaca-kaca.
Mickey menyadari keadaan Alice. Mickey memeluk Alice kuat namun lembut
dan mengusap pundaknya pelan untuk menenangkannya.
Alice mempererat pelukannya, seakan tidak ingin Mickey beranjak menjauh
dan meninggalkannya.
Cowok itu melonggarkan pelukannya. “Gue ke dalam sebentar, ada urusan.”
Lalu ia mengeluarkan kunci mobil dari ranselnya. “Lo tunggu di mobil,
oke?” Ia menyerahkan kunci mobilnya ke Alice.
Setelah itu Mickey berlari ke arah gedung sekolah, mencari Seva.
***
“Kenapa lo lakukan itu?” Mickey menghampiri Seva.
Seva menyeka air matanya. “Oh, geez… Look who‟s talking…” ia berkata
sinis. “Kenapa lo masih belain dia? Dia nggak menyambut perasaan lo!
Bukannya dia udah bikin lo sedih?”
Mickey mematung sejenak mendengar pertanyaan Seva. “Nasib percintaan gue
sama sekali bukan urusan lo. Tapi kalau lo bikin Alice sedih, itu
urusan gue.” Sahut Mickey kalem.
“Sok pahlawan.” Desis Seva. “Apa pikir lo dengan bersikap begini, Alice
bakal jatuh cinta sama lo? Itu yang lo harapkan?”
“Gue nggak peduli! Dan sekali lagi gue bilang, itu bukan urusan lo.”
Mickey menatap lekat-lekat kedua mata Seva. “Jangan sakiti Alice lagi.
Oke?” cowok itu berpesan. Ekspresi Seva agak melunak. “Kenapa harus gue
yang disalahin? Udah jelas dia yang nyakitin gue duluan. Apakah
hubungannya dengan Juno nggak mengganggu lo, seandainay lo berada di
posisi gue?”
Mickey mengangkat bahu. “Mereka manusia.” Jawab Mickey. “Ketika
seseorang telah menentukan pilihan, nggak ada yang bisa berbuat apa-apa,
kan?” ujar cowok itu.
“Sekalipun itu berarti Juno mencintai Alice ataupun sebaliknya. Itu
pilihan mereka, dan gue nggak bisa berbuat apa-apa, kan?”
Seva terisak pelan.
“Gue duluan.” Pamit Mickey.
“Mickey, tunggu!” Seva menahan lengan seragam Mickey. “Andaikan gue bisa
berpikir kayak lo… Sehebat lo, Mickey.”
Mickey membalas memandang Seva.
“Seva.” Mickey menipiskan bibir. “Mencintai nggak selalu harus memliki,
kan?” gumam cowok itu sambil tersenyum lirih. “Lebih baik lagi kalau lo
bisa jadi orang yang selalu ada untuk orang yang lo cintai. Lebih baik
kalau lo bisa menjadi orang yang paling ia percaya.”
Seva menunduk.
“Begitu, kan?” kata Mickey. “Semoga lo bisa berpikir lebih jernih.”
Kupu-Kupu Salju
(Bab 22)
PADA WAKTU YANG SAMA, DI RUMAH JUNO…
“Ah, selamat sore, Mr. Beast…” Juno bergumam pelan, mengejek penampilan
wajahnya sendiri di depan cermin.
Juno meninggalkan cermin dan berjalan tanpa tujuan di rumahnya yang
luas.
Main internet… membosankan. Bermain piano dengan kondisi begini? Nggak
banget. Masak di dapur… ya Tuhan! Buat apa Martha ada di rumah ini kalau
gue masak sendiri? Gudang.
Juno membuka pintu gudang tanpa tujuan jelas.
Nggak satu pun barang-barang di sini pernah gue lihat sebelumnya. Senyum
getir terulas di wajah Juno.
Seoul-Perth-Jakarta…
Juno mengerutkan dahi. Apa yang bisa gue kenang mengenai kehidupan gue?
Seoul…
Musim gugur yang selalu menyenangkan… Pulau Jeju…
Merayakan tahun baru di Seongsan Sunrise Peak sekeluarga… Mysterious
road…
Juno mengela napas panjang. Namun kemudian menangkap bayangan sebuah
peti harta karun lainnya.
Di sisi depannya tertulis “Josh”.
Punya papa?
Sebuah buku harian berukuran sedang. Juno menarik buku harian itu.
Untuk Joseph…
Dengan cinta, Danissa
Alis Juno mengerut. Siapakah dia?
Ia menemukan foto lain. Ada seorang bayi laki2 mungil. Di bawah foto
dengan tulisan tangan rapi tertulis: “Konstantinus Jeremiah Wirjadinata,
dua bulan…”
Jantung Juno berdegup kencang.
***
Juno duduk sambil menghadap meja belajarnya di kamar tidurnya. Di
hadapannya tergeletak buku harian misterius yang baru saja ditemukannya
di gudang.
Secara acak Juno membuka halaman buku harian itu, membaca ulang cerita
yang tertuang di sana.
21 Juli 1996
Dear Joseph
Kini Jeremiah sudah berusia enam tahun. Setiap ia tertawa aku selalu
teringat kepadamu, karena tawa kalian sangat mirip. Oh ya, Jeremiah
merindukanmu. Ia bertanya mengapa kamu tidak pernah datang lagi ke
rumah. Aku hanya bisa memeluknya dan berkata kamu sibuk sekali…
Love,
Danis
15 September 1996
Dear Joseph…
Jeremiah untuk kesekian kali menanyakanmu.
Joseph, keberatankah kamu mengunjungi kami? Love,
Danis
Juno menghembuskan napas berat. 24 Juli 1998
Dear Joseph…
Tebak apa yang terjadi! Jeremiah membuatku pusing, hahaha…
Kemarin ia pulang dengan wajah penuh luka karena berkelahi di sekolah.
Aku sungguh khawatir, Josh. Katanya Jeremiah berkelahi untuk menolong
seorang gadis kecil dari gempuran anak-anak badung yang ingin merampas
cokelat.
Ternyata… Jeremiah kecil kita anak pemberani. Kamu senang mendengarnya,
Josh? Kuharap begitu…
Love,
Danis
27 Juli 1998
Dear Joseph…
Kurasa Jeremiah kesayangan kita sedang jatuh cinta. Ia ingin melakukan
hal yang sama seperti yang kulakukan untukmu, yakni menulis buku harian
seperti ini.
Ia akan menulisnya untuk gadis cilik yang ia tolong.
Jadi aku memberinya buku harian baru, persis buku ini. Dengan gambar
kupu-kupu cantik…
Josh, bolehkah aku memohon kepada Tuhan agar aku bisa memilikimu lagi?
Dosakah aku jika melakukannya?
Love,
Danis
1 Agustus 1998
Dear Joseph…
Jeremiah bertanya, apa yang seharusnya ia tuliskan pada buku harian itu?
Jadi ku jawab, tulislah apa saja yang ingin kamu ceritakan padanya.
Aku mengusulkan agar sehari sebelum ulang tahun gadis itu, Jeremiah
sebaiknya memberikan buku hariannya tanpa menyerahkan kuncinya.
Jeremiah setuju dan ia bilang besok ia akan menanyakan kapan hari ulang
tahun gadis kesayangannya itu… Ah, Josh, Jeremiah memberitahuku gadis
itu bagaikan kupu-kupu salju karena begitu lincah, cantik, dan seputih
salju.
Love,
Danis
3 Desember 1998
Dear Joseph…
Besok aku akan pergi ke Bali. Beberapa teman mengajakku jalan-jalan.
Kami akan menempuh perjalanan darat. Aku sih setuju saja…
Sedih juga meninggalkan Jeremiah dan Mama di rumah. Doakan aku
bersenang-senang di Bali, ya!
Bali, here I come!!! Love,
Danis
Juno menutup buku harian itu. Tidak ada lagi tertulis selepas tanggal 3
Desember 1998.
Ia memejamkan mata dan menarik kesimpulan dari keseluruhan cerita yang
ia baca.
Nanti malam gue harus bicara dengan Papa mengenai hal ini…
Kupu-Kupu Salju
(Bab 23)
RUMAH ALICE, 20.46…
Perlahan Alice membuka mata.
Sepulang sekolah tadi ia diantar pulang Mickey.
Ternyata hari sudah malam. Alice bangkit dari tempat tidur dan keluar
dari kamar. Di meja ruang tamu ia melihat sebuah kotak.
Alice menghampiri kotak itu. “Mbak Ratni!” Alice berseru memanggil
pembantunya. “Ada apa, Non?” Mbak Ratni tersenyum.
“Ini punya siapa, Mbak?”
Mbak Ratni menjawab. “Ah, itu. Tadi sore ada teman Non datang, dan saya
bilang Non lagi tidur. Jadi dia titip kotak itu untuk Non.”
“Oh, begitu?” Alice membolak-balik kotak itu. “Makasih ya, Mbak.”
Mbak Ratni mengangguk. “Oh ya, Non, kalau mau makan malam, sup buntutnya
sudah saya hangatkan.” Ujar‟y.
Alice tersenyum lebar. “Oke, nanti aku makan. Makasih, Mbak.”
Alice duduk di sofa dan membuka kotak itu.
Melihat isinya, Alice hanya bisa terkesiap. Di kotak itu tertempel kartu
kecil berbentuk kepala Mickey Mouse yang sedang tersenyum. Di atas
kartu kecil itu ada tulisan :
“Jangan sedih, ya… Gue selalu ada untuk lo…”
Gadis itu masih memandang dengan tak percaya kotak iPhone baru di
pangkuannya.
***
Alice segera menelepon Mickey untuk mengatakan ia akan mengganti uang HP
yang diberikan Mickey untuknya.
Mickey tak mengangkat telepon.
Apakah Mickey malas menerima teleponku? Apakah sesuatu yang buruk
terjadi padanya?
Ah, membayangkannya saja sudah membuat mata Alice berkaca-kaca.
Semoga kali ini gue beruntung… Alice berdoa dalam hati sambil mencoba
menghubungi
HP Mickey lagi.
Tersambung, batin Alice sambil berdoa.
“Halo?” suara cewek menyapa Alice di seberang.
Jantung Alice seakan berhenti. “Halo?” katanya berharap suara Mickey
yang akan merespons.
“Ya, halo?” suara cewek itu lagi. “Bisa kubantu?”
Alice menahan napas. Dengan cepat ia menjauhkan gagang telepon dan
menutupnya. Jantungnya berdegap cepat.
Kenapa? Kenapa suara perempuan… Apakah… Mickey sedang berkencan?
Apakah Mickey sedang berkencan sekarang? Kenapa ia membiarkan cewek itu
menerima teleponku?
Aku bukan siapa-siapa. Aku kan bukan ceweknya. Tapi kenapa aku khawatir?
Dan aku tidak rela mendengar suara perempuan itu… membayangkan‟y diberi
hak untuk “menguasai” HP Mickey… benar-benar tidak rela.
***
KEMANG FOOD FEST, PADA WAKTU YANG SAMA…
Mickey menatap tajam wajah cantik di hadapannya. Tammie Aprillia
Robinson.
“Kenapa lo lakukan itu?” Tanya cowok itu.
Tammie tersenyum lembut. “Hanya itu cara untuk tahu apakah dia suka sama
lo atau nggak.” katanya mantap.
Mickey tertawa singkat. “Dia nggak bakal peduli.”
“Siapa bilang?” sergah Tammie. “Kadang cewek memang perlu dipancing
saraf cemburunya untuk menyadari perasaannya sendiri, dan itu mudah
saja. Kalau dia cemburu, berarti memang suka.”
“Sudahlah.” Mickey mengibaskan tangan. “Gue udah cukup senang dengan
keadaan gue sekarang.”
Tammie mengangkat alis. “Ya, lo memang sudah cukup senang. Tapi lo belum
senang, kan?”
Mickey tertawa kecil. “Lo masih ngerti gue, ya…”
“Tentu saja.” Tammie mengedipkan mata. “Lo cowok yang paling gampang
dimengerti dibandingkan sederet cowok yang pernah jalan sama gue.”
Katanya. “Habis lo masih kecil dan nggak punya tendensi aneh2 dalam
hidup ini.”
Mickey diam saja.
“Tapi, Mickey… yang paling penting.” Tammie menatapnya lurus. “Lo cowok
yang paling fun yang pernah gue temui. I really like you…” cewek itu
berhenti sejenak. “Sungguh beruntung gadis kecil bernama Alice itu, ya…”
Mickey tersipu.
“Gue masih nggak percaya bulan depan lo bakalan menjadi seorang istri.”
Mickey mengaduk minumannya.
Tammie tertawa. “I‟m not as young as you are, kid! Sudah sepantasnya gue
menikah.” Katanya. “Meskipun agak tegang buat gue untuk memulai
kehidupan pernikahan… gue merasa sreg dengan keputusan ini.” Sambung
perempuan itu.
***
KAMAR ALICE, 22.55 PM…
Alice ingin tidur lelap dan tidak berpikir aneh-aneh tentang pemilik
suara yang menyapanya di HP Mickey.
Tapi mencoba tidur sangat sulit, apalagi tadi sore Alice sudah tidur
lama.
Ia meraba kalung yang melingkari lehernya. Suatu momen melintasi
benaknya… Suasana ramai festival sekolah… Aneka stan dalam bazar SCS…
Mickey… Tenda ramalan… Kalung ini… Mickey…
Alice menarik napas.
Alice menarik laci meja mungil di samping tempat tidurnya, lalu
mengeluarkan foto yang ia bingkai dengan pigura keperakan. Menatap foto
itu, senyum Alice mengembang tipis bersamaan dengan air mata yang mulai
membasahi mata cokelatnya dan mengaburkan pandangannya.
Itu foto Mickey bersamanya saat festival sekolah. Berpose sambil
membulatkan mata dan memajukan bibir.
Alice tersenyum melihat wajah Mickey yang lucu.
Senyuman Mickey yang selalu membuatnya merasa damai… Tawa mickey yang
membuat dunianya cerah… Kehadiran Mickey yang senantiasa menghangatkan
hari-harinya…
Mickey selalu ada untuknya dan datang tepat waktu…
Air mata Alice mengalir turun. Malam ini ia tersadar, ia mencintai
Mickey.
Kupu-Kupu Salju
(Bab 24)
RUANG KERJA JOSEPH WIRJADINATA, 23.05…
Walaupun sudah berusia 42 tahun, Joseph Wirjadinata masih tegap dan
bugar. Sorot matanya yang kuat dan tajam tidak berbeda jauh dengan
putranya, Juno.
“Ada apa?” lelaki itu menengadah ketika mendapati putranya memasuki
ruang kerjanya sesuatu yang jarang dilakukan Juno.
Juno mengangkat bahu sedikit. “Hanya kepingin ngobrol.” Cowok itu
menyahut pelan. “Kamu menikmati masa hukumanmu?” Joseph bertanya santai.
Juno meringis. “Bosan banget.” Gumamnya tanpa ekspresi.
“Papa tahu itu.” Joseph menatap wajah putranya. “Dan itu artinya kamu
harus paham, bahwa Papa tidak main-main melarang kamu berkelahi. Sudah
Papa katakan berulang kali, perbuatan macam itu merusak nama keluarga
kita dan namamu sendiri, tentu saja.”
Juno mengangguk.
“Papa sangat mencintai Mama?” pancingnya.
Joseph tersenyum. “Tidak perlu dipertanyakan, Juno. Kamu sudah bisa
menjawabnya, kan?”
“Waktu umurku tak lebih dari sebelas tahun, ketika masih tinggal di
Seoul dulu…” Juno melirik ayahnya sekilas. “Aku sering menemukan Mama
menangis sendirian, diam-diam.”
Perlahan ekspresi Joseph berubah.
Juno melanjutkan. “Kupikir akulah penyebabnya, karena semua sanak sudara
menyebutku anak paling nakal. Apakah menurut Papa akulah penyebab Mama
sering menangis?”
“Juno, Papa tidak tahu.” Joseph berkata. “Kadang ibumu sangat emosional
dan sulit ditebak.”
“Begitu?” Juno mengatupkan bibir. “Papa tidak pernah tahu kesedihan apa
yang dipendam Mama, hingga ia sering menangis?”
Mata Joseph mengerjap beberapa kali, kemudian ia berkata. “Juno,
kehidupan pernikahan sangat rumit, dan tidak mungkin kamu tidak
menemukan atau membuat masalah di dalamnya.” suaranya sedikit tertahan,
“Kelak kamu akan mengerti sendiri.”
Sepertinya Papa menghindar. “Bolehkah aku bertanya sesuatu yang… lebih
pribadi?” Alis Joseph terangkat. “Tentu saja.” Sahut Joseph pasrah.
“Selain Mama, apakah pernah ada wanita lain di hati Papa?” Juno bertanya
hati2. “Tentu saja ada.” Pria itu berusaha tertawa. “Tetapi semua itu
terjadi sebelum Papa menikah. Itu hal yang lumrah dialami setiap
manusia, kan?”
Papa berbohong! Setelah menikah pun Papa masih berhubungan dengan wanita
bernama Danissa itu! Terungkap dari tanggal-tanggal yang jelas tertera
di buku hariannya…
Joseph menyadari ekspresi aneh pada raut wajah putranya.
“Jadi… Papa tidak pernah membohongi Mama? Tidak pernah ada
perselingkuhan?”
Joseph menggeleng lemah.
Juno tertawa getir. “Mengapa Papa berbohong?” bisiknya. “Aku tahu
semuanya. Dan sekarang aku minta Papa menjelaskan dengan jujur.” Juno
menyodorkan buku harian kupu-kupu itu. Mata Joseph membesar dan
rahangnya mengeras.
“Maaf karena aku lancang memeriksa peti di gudang.” Juno menatap buku
harian itu. “Tapi aku benar-benar ingin mendengar semua dari Papa
sendiri.”
Helaan napas panjang terdengar. “Buku harian ini…” lelaki itu menghela
napas lagi. “Milik Danissa, mantan kekasih Papa.” Kedua mata Joseph
menerawang.
“Dan Papa masih berhubungan dengannya bahkan setelah menikahi Mama?”
“Ya.” Joseph tertahan. “Berat sekali meninggalkannya. Papa… sangat
mencintainya.” Juno menatap tajam. “Tapi itu bukan berarti Papa boleh
memiliki anak dengan Danissa itu. Papa telah mengkhianati pernikahan
Papa sendiri dan melukai perasaan Mama!” Juno berseru pelan. “Aku baru
tahu Papa dan Mama menikah karena dijodohkan.” Juno menggeleng. “Tapi
tetap saja tidak ada alasan yang menghalalkan Papa melakukan semua itu,
kan?”
Joseph balas memandang putranya. “Kamu takkan bisa mengerti, Nak.
Situasinya begitu rumit saat itu.”
“Membaca buku ini seperti menemukan sisi lain Papa. Sisi lain yang
sangat berbeda dengan Papa yang selalu kukenal selama ini. Papa pria
yang selalu penuh pertimbangan dan tegas dalam mengambil keputusan. Dan
Papa juga sangat menjaga nama baik keluarga, tentu saja. Kenapa bisa
melakukan ini? Apakah saat itu Papa tidak berpikir ini bisa merugikan
semua pihak? Termasuk Papa, Mama, wanita bernama Danissa dan anaknya.
Serta seluruh keluarga ini? Tidakkah Papa berpikir hal itu sangat bisa
merusak nama baik Wirjadinata?” Juno tidak bisa menahan diri.
“Juno!” Joseph bangkit dari duduknya. “Kamu sedang bicara dengan ayahmu.
Kamu tahu, perkataanmu terdengar seolah kamu sedang menggurui ayahmu.”
Juno mengatupkan bibir.
“Jauh sebelum detik ini kakekmu sudah nyaris membunuh Papa perihal yang
satu ini.” Joseph menandaskan. “Dan sekarang Papa meyakinkan kamu,
semuanya sudah usai.
Silakan keluar, kembali ke kamarmu, dan jangan bawa masalah ini lagi ke
permukaan!” suara Joseph tegas.
“Apa maksud Papa dengan „sudah usai‟?” “Keluar!” Joseph memerintahkan
dengan datar.
Juno berdiri, tapi tidak beranjak.
“Mengapa Papa bisa bilang semuanya sudah usai?”
Joseph mulai emosi. “Kalau kamu sudah membaca buku harian itu, kamu
pasti menyadari bahwa terakhir kali Danis menulis adalah tanggal 3
Desember, sehari sebelum ia pergi ke
Bali.” Pria itu menatap Juno dalam. “Danis meninggal dalam perjalan ke
Bali. Kecelakaan mobil.” Suara Joseph bergetar.
Hati Juno langsung mencelos.
“Apakah salah jika Papa katakan semuanya sudah usai?” Joseph berusaha
menenangkan diri. “Sekarang jangan bicara lagi. Keluarlah dan berhenti
berkutat dalam hal yang sudah berlalu. Apalagi ini bukan urusanmu.”
Juno merasa agak kesal. “Bukan urusanku? Tentu saja ini urusanku!”
tandas Juno. “Aku punya saudara tiri bernama Jeremiah di luar sana, yang
tidak jelas keberadaannya. Ibunya sudah meninggal sementara ayahnya
tidak peduli padanya!”
“Demi Tuhan, Juno.” Joseph seperti nyaris menampar putranya. “Dia
baik-baik saja dan Papa peduli dengannya. Sangat peduli! Tahu apa
kamu?!” bentaknya. “Keluar dari sini! Keluarlah!” pria itu menunjuk
pintu.
“Tidak.” Juno menyahut singkat. “Katakan, di mana anak itu sekarang?”
Joseph menarik napas dan melangkah ke sudut ruang kerja.
“Bukankah Papa selalu mengajari aku untuk menjadi lelaki yang
bertanggung jawab?” suara Juno sedikit melunak. “Namun kenyataan ini
sudah membuatku kecewa.” Cowok itu perlahan mendekati ayahnya.
“Jangan terus mendesak Papa.” Joseph memandang putranay. “Keluarlah!”
“Di mana Jeremiah?” Juno benar-benar mengabaikan pertanyaan Joseph. “Di
mana dia?” suara Juno terdengar dingin.
“God!” Joseph bergerak seakan kepalanya nyaris pecah.
“Di mana?!” Juno mengeraskan suaranya. “Katakan, Pa! Kenapa berat sekali
mengatakannya?”
Joseph terperangah. “Hentikan!!!” perintahnya. “Kamu memaksa Papa.”
Suara Joseph berkata lunak.
“Di mana anak itu?” Juno agak tersengal.
“Konstantinus Jeremiah Wirjadinata…” Joseph menarik napas. “Dia sedang
berdiri di hadapan Papa sekarang.”
***
BALKON KAMAR TIDUR JUNO, 01.27 DINI HARI…
Bernapas pun rasanya berat bagi Juno.
“Seharusnya ini tidak pernah boleh sampai ke telingamu. Kakekmu akan
membunuh Papa karena telah melakukannya. Bisakah kamu merahasiakannya
dari beliau?”
Juno hanya terkulai lemas dan tak mampu menjawab. Hatinya ingin
berteriak. “Siapa gue ini? Siapa gue ini?” Kini cerita ayahnya bagaikan
film di alam pikiran Juno.
James Wirjadinata adik kandung Joseph diminta ayahnya untuk mendatangi
sebuah rumah di Malang, sehari setelah kematian Danis. Ia akan membawa
pergi keponakannya dari rumah itu, menujun kediaman keluarganya di
Jakarta.
Wanita itu mengusir James dan beberapa anak buah yang ingin mengambil
Juno. Namun, wanita tua itu tak dapat berbuat apa-apa selain berteriak
agar mereka mengembalikan cucunya.
Juno langsung teringat mimpinya.
Penjelasan Joseph selanjutnya semakin membuat kepala Juno
berdenyut-denyut.
“Kamu selalu mencoba melarikan diri dari kami semua…”
“Kamu mengalami kecelakaan di Jakarta ketika berusaha untuk melarikan
diri…”
Juno syok, masih tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Namun ia tahu
mengapa ia selalu merasa ada yang hilang dari kehidupannya. Ternyata
dulu ia hilang ingatan saat kecelakaan itu terjadi.
Sang ayah melanjutkan cerita.
“Identitas baru diciptakan…”
“Teresa yang ketika itu sedang di Seoul bersedia menerima dan merawatmu.
Begitu pula keluarganya.”
“Meski kadang ia merasa sedih setiap kali menyadarimu adalah buah
pengkhianatan Papa terhadap dirinya.”
Jadi itulah penyebabnya, pikir Juno pahit.
Siapa gue ini, sebenarnya?
Sekarang gue merasa punya dua kehidupan yang sangat berbeda. Jeremiah
dan Juno. Papa tadi pesan untuk melupakan Jeremiah. Gue harus terus
melangkah jauh.
“Jeremiah sudah berakhir dan kini Juno yang berada di hadapan Papa. Juno
yang bertugas sebagai penerus kejayaan keluarga Wirjadinata.” Begitu
kata Papa sambil memeluk gue erat tadi.
Gue juga menginginkan hal yang sama.
Ah, sial… gue nangis lagi.
Perlukah gue minta maaf juga pada gadis “kupu-kupu salju” itu? Gue akan
merasa sangat bersalah kalau sampai saat ini gadis itu masih mencari
gue.
Mungkin kalau ada bintang jatuh, gue akan meminta agar bisa bertemu si
kupu-kupu salju itu.
Kupu-Kupu Salju (Bab 25)
SABTU, 09.02…
Mickey sedang menunggu Juno di gazebo belakang rumah sahabatnya itu.
Mickey ingin meminta maaf atas kesalahannya tempo hari.
“Hai.” Sapa Juno.
“Juno.” Mickey berdiri dan berusaha tersenyum. “Bagaimana keadaan lo?”
“Lumayan.” Juno menyahut.
Mickey memandang Juno dan berkata. “Sebenarnya kedatangan gue kemari
untuk minta maaf.”
“Minta maaf?”
“Ya.” Mickey mengatupkan bibir. “Benar-benar tolol, kalau dipikir lagi.
Keputusan yang idiot untuk menjebak lo dan membantu Kiev.”
Juno tertawa seadanya. “Sudahlah, Mickey.” Ujarnya. “Gue sudah
melupakan‟y kok. Dan kalau gue renungkan lagi, bukan cuma lo yang salah.
Kalau gue nggak bohong sama lo, nggak akan kejadian juga. Betul, kan?”
“Juno, pokoknya yang penting gue minta maaf atas kesalahan gue.” Mickey
tampak benar-benar bersalah. “I really have no idea about what the hell
was on my mind that day…” ucapnya. “Gue juga takut kejadian ini akan
merusak persahabatan kita berlima.” “Hei…” Juno menepuk bahu Mickey.
“Jangan dibesar-besarkan begitu. Kita melakukan kesalahan dan itu sudah
lewat. Itu bisa jadi pelajaran.”
Mickey tersenyum lalu mengangguk. “Jadi, bagaimana kabar lo?”
Juno termenung cukup lama.
“Nyokap lo bukan ibu kandung lo?!?!” Mickey setengah berseru ketika Juno
menyampaikan inti ceritanya.
“Ini rahasia, Mickey…” Juno berbisik. “Jadi bersikaplah seperti orang
yang lagi ngomongin rahasia!”
Mereka pindah ke kamar Juno.
Mickey menerima buku harian Danissa yang disodorkan Juno padanya. “Di
buku ini… hanya di buku ini gue bisa melihat wajah ibu kandung gue dan
mengetahui secuil masa lalu yang sama sekali nggak gue ingat.”
Mickey membuka buku itu dari belakang dan membacanya. “Tragis banget,
Juno.” Mickey duduk di sofa mungil di sudut kamar Juno. “Kupu-kupu
salju?” Rasanya ia familier dengan sebutan itu.
“Ya, itu sebutan gue maksud gue, Jeremiah untuk cewek yang di sukainya
di SD dulu.” Juno menyahut. “Bahkan Jeremiah menulis buku harian yang
sama untuk cewek itu.” Mata Mickey membesar dan ia meneruskan mencari
petunjuk selanjutnya…
Tiba-tiba saja semua terbaca jelas dalam benak Mickey.
Buku harian… kunci… berkelahi… cokelat… gadis kecil… Kota Malang…
Kupu-kupu salju… Jeremiah… Jeremiah… Remy…
Mickey merasa hatinya mencelos. Pikirannya lebih dari sekadar galau.
“Ada apa?” Juno menyadari perubahan sikap Mickey. “Kupu-kupu salju ini…
gue tahu siapa dia.”
***
SENIN PAGI DI PERPUSTAKAAN SCS…
Alice melihat sosok cowok yang sangat dikenalnya sedang duduk dan
membaca buku.
“Juno!” cewek itu berseru tertahan. Alice duduk disamping Juno. “Lo udah
masuk lagi!” Juno tersenyum sambil menoleh sebentar ke arah Alice.
“Muka gue masih hancur, ya?” candanya.
“Lagi sibuk?” Alice membuka buku matematika yang diharapkannya bisa
membantu‟y menyelesaikan tugas.
“Nggak juga.” Juno menyandarkan punggung. Cowok itu memandang Alice
lekat dengan cara yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Mata Alice membulat. “Ada apa sih?” cewek itu bertanya. “Lo kelihatan
nggak seceria biasanya.” cowok itu menjawab.
“Hmm…” Alice membalik halaman bukunya. “Lagi ada sedikit masalah.” “Ada
yang bisa gue bantu?” pandangan Juno menuju Alice.
Alice menggigit bibir. “Sebenarnya ada sesuatu yang kepingin gue tanya
sama lo.” Cewek itu menarik napas. “Mickey sudah punya pacar, ya?” ia
bertanya dengan bisikan. Alis Juno bertaut mendengar pertanyaan Alice.
“Nggak ada tuh.” Sahutnya. “Kenapa lo berpikir begitu?”
“Gue kira ia punya pacar baru.” Alice mengangkat bahu. Lalu gadis itu
menceritakan insiden HP Mickey yang dijawab suara perempuan. “Gue kira
ia lagi kencan saat itu.”
Alice menjatuhkan kepalanay ke atas buku Matematika tebal di depannya.
Juno setengah mengatupkan mulut, menahan tawa.
“Kok lo malah ketawa sih?”Alice menyikut Juno pelan.
Juno berdecak sambil agak membungkuk. “Menertawakan teman yang lagi
cemburu itu asyik, tahu!” Juno memasang wajah polos. “Lo sendiri yang
bilang sekarang kita teman!” “Cemburu?” Alice mengerutkan dahi.
“Kelihatan jelas di muka lo.” Juno menegakkan tubuh. “Lo khawatir Mickey
benar-benar punya pacar, kan?”
Alice menyikut Juno. “Mungkin aja.” Jawabnya.
Tawa Juno berhenti. “Gue dengar Mickey udah pernah nembak lo…” katanya
sambil melirik Alice. “Tapi lo nolak. Dan sekarang lo takut dia pacaran
sama cewek lain. Dasar aneh!”
“Gue punya alasan untuk itu.” Suara Alice pelan.
Juno mengangguk. “Gue tahu kok.” Ucap‟y. “Lo masih menunggu seseorang
dari masa lalu lo, kan?”
Mendengar ucapannya sendiri, jantung Juno berdegup lebih kencang.
“Ya, tapi sekarang gue menyesalinya.” Alice menggeleng. “Gue terlambat
menyadari bahwa perasaan gue untuk Remy dan Mickey adalah dua hal yang
sangat berbeda…
Mereka sama-sama berarti bagi gue, dalam posisi berbeda.” Senyuman Juno
terkembang saat nama Remy disebut.
“Sekarang gue takut semuanya sudah terlambat.” Alice melanjutkan. “Gue
sangat nggak kepingin kehilangan Mickey…”
Juno menepuk bahu Alice lembut. “Boleh nggak gue tahu, apa yang bakal lo
lakukan kalo lo ketemu cowok bernama Remy itu?”
“Remy sahabat terbaik yang pernah gue miliki.” Alice berkata. “Gue
kepingin dia tetap jadi sahabat gue seperti dulu ia bagaikan kakak yang
selalu melindungi dan menjaga gue.”
Juno terharu mendengar ny. Ia sudah bertekad untuk tidak membiarkan
Alice mengetahui apa yang terjaadi pada Remynya, bahwa sosok itu telah
lenyap dan berganti menjadi Juno.
Cowok itu menarik napas dan menghadap Aice. “Alice, dengerin gue…”
ujarnya lembut. “Semuanya belum terlambat.” Juno menatapnya mantap.
“Bagaimana kalau gue mengambil alih posisi Remy dalam hidup lo? Gue akan
jadi sahabat terbaik lo, melindungi dan menjaga lo…” kemudian terulas
di wajah Juno senyuman yang belum pernah dilihat Alice.
“Alice, lo dengerin gue nggak sih?” Juno mengibaskan tangannya di depan
Alice. “Juno…” panggilnya. “Sejujurnya, sejak pertama kali lo
menyelamatkan gue di depan BookField waktu itu.” Alice menipiskan bibir.
“Lo sudah memukau gue dan meninggalkan kesan yang dalam.”
“Benarkah?” wajah Juno bersemu kemerahan.
Alice mengangguk. “Itu sebabnya gue punya keinginan, agar suatu saat gue
bisa jadi orang yang dekat dengan lo. Menjadi sahabat lo.” Kata cewek
itu. “Sekarang lo menawarkan diri menjadi Remy untuk gue, itu hal yang
sangat indah.”
Juno tersenyum dalam hati. I was Remy, pikirnya.
“Satu lagi.” Alice menambahkan. “Senyuman lo yang tadi memang mirip
Remy.”
Ungkapnya jujur.
“Masa sih?” Juno menatap Alice sok cuek. “Well, karena lo sudah
mendapatkan Remy yang baru ini.” Cowok itu menunjuk dirinya. “Maka nggak
ada masalah lagi, kan? Lo sekarang bisa membuka buku harian itu,
kemudian melanjutkan hidup lo dengan hati ringan. Dan, mengenai Mickey,
lo harus terus terang padanya mengenai perasaan lo.” Alice menatap Juno
kagum. “Tentu saja.” Sahut Alice. “Gue akan memberitahu Mickey apa yang
gue rasakan. Gue nggak kepingin kehilangan dia dan nggak kepingin
terlambat mengakuinya.”
Kupu-Kupu Salju (Bab 26)
TOKYO-JEPANG, MENJELANG AKHIR OKTOBER…
Sekolah sedang libur seminggu dan kelima pangeran SCS tidak melewatkan
kesempatan untuk berlibur ke Jepang.
Saat ini mereka sedang berada di Fuji-Q High Land.
Mickey duduk sendiri di meja area Fuji-Q. Ia sedang menunggu keempat
temannya bermain Eejanaika.
Bunyi nyaring namun lembut mengagetkan Mickey. Cowok itu menoleh dan
mendapati kalungnya lepas dan jatuh.
Senyum Mickey terulas lembut mengingat ramalan itu.
Alice menunggunya suatu sore di depan ruang musik. Cewek itu menunggunya
selesai ekskul dan tentu saja itu mengagetkan Mickey. Namun yang lebih
mngagetkan lagi, cewek itu membawa sekotak tiramisu yang ukurannya tiga
kali lebih besar daripada yang pertama kali ia berikan pada Mickey. Dan
pada permukaan tiramisu itu tertulis sebuah kata, “BOYFRIEND?”
Sejak itu Alice resmi jadi miliknya, hingga kini.
Mickey memainkan kalungnya dengan pikiran mengembara. Begitu banyak
kejadian dan ia bersyukur semua berakhir dengan manis.
Seva meminta maaf kepada Alice setelah menemui Mickey di apartemen cowok
itu. Merasa dendamnya pada Juno sudah terbalaskan, Kiev tak pernah
mengganggu mereka berlima lagi.
What I want is really what I have got.
Mickey menyimpan kalungnya yang putus itu kesaku jaket Puma abu-abunya.
Sambil tertawa Mickey berdiri dan menyongsong keempat sahabatnya,
meskipun kelihatannya mereka belum berhasil mengumpulkan kesadaran penuh
setelah naik Eajanaika.