
Novel A Romantic Story About Serena
Monday, April 18, 2016
1 Comment
A Romantic Story About Serena
Santhy Agatha
Sinopsis:
"Dalam hidupnya, Impian Serena hanyalah ingin menjadi
perempuan yang biasa- biasa saja. Dia ingin menikah dengan Rafi
kekasihnya, membentuk keluarga kecil yang bahagia, lalu seperti akhir
kisah klise lainnya: bergandengan tangan di usia senja, melangkah menuju
matahari terbenam.
Tetapi ternyata apa yang dia inginkan meskipun
sederhana, tidak semudah itu menjadi kenyataan. Kecelakaan itu telah
merenggut semua yang diimpikannya, orang tuanya, merenggut rencana
pernikahannya dengan Rafi yang kemudian tak berdaya dan membuatnya harus
berjuang sendirian, dan menghancurkan semua mimpi-mimpinya yang sebelumnya terbungkus dalam rencana masa depan yang telah tersusun rapi. Semuanya hancur.
Dalam perjuangannya untuk bangkit itulah dia harus
berhubungan dengan Damian, seorang taipan kaya yang sombong, arogan,
suka memaksakan kehendak, dan...
Punya obsesi seksual terpendam terhadap dirinya.
Serena membutuhkan Damian lebih demi menyelamatkan Rafi, sedangkan
Damian membutuhkan Serena untuk memuaskan hasrat obsesif yang terus
menerus menyiksanya terhadap Serena.
Dua manusia yang seharusnya tidak pernah bersilang
jalan inipun dipertemukan oleh keadaan. Dua manusia yang saling membenci
satu sama lain tetapi dikalahkan oleh hasrat dan kebutuhan. Hubungan
mereka panas membara, luar biasa sampai mereka bisa terbakar habis di
dalamnya. Mereka menjalin hubungan karena keterpaksaan, yang lama
kelamaan menjadi hubungan saling membutuhkan, saling merindukan dan
saling memuaskan dan….. akhirnya menyerah untuk saling mencintai.
Sampai kemudian tiba saatnya Serena harus memilih
antara Hasratnya pada Damian, lelaki arogan yang terus menerus
menyakitinya tetapi berhasil merenggut hatinya, atau cintanya kepada
Rafi, lelaki yang baik, yang pernah meninggalkannya untuk berjuang
sendirian, tetapi tetap menjaga janjinya dalam sebentuk cincin
pertunangan di jari manisnya."
Kenapa dia harus repot-repot menyuruhku menemuinya sendiri hanya untuk
mengambil payung? Dia kan bisa menyuruh office boy
untuk mengembalikannya, atau jika dia tak sempat, dia kan bisa menyuruh
sekertarisnya untuk mengurus payung itu. Apalagi Serena tahu bosnya itu
sangat sibuk,
Gosip yang terdengar mengatakan Mr.Damian adalah workaholic sejati yang menghabiskan waktu 20 jam sehari untuk bekerja.
Atau, kenapa tidak dia buang saja payung itu? Toh aku
juga tak akan berani menagihnya, pikir Serena sambil mengerutkan kening
di dalam lift yang mengarah ke lantai 14, lantai khusus CEO mereka. Ini
kali kedua dia ke ruangan ini, sungguh tak disangka, dua tahun bekerja
disini dia hampir tak pernah bertatapan langsung dengan sang pemimpin
tertinggi yang diagung-agungkan itu, tetapi sekarang, dua hari berturut-turut dia dipanggil menghadap Mr. Damian.
Lift terbuka dan dia dihadapkan pada ruang tunggu yang
nyaman dan mewah. Sekertaris yang sama, wanita setengah baya yang
terlihat kaku dan efisien itu menatap Serena dengan skeptis, sepertinya
dia juga bertanya-tanya kenapa pegawai rendahan macam ini
sampai dua kali dipanggil menghadap langsung ke sang CEO, padahal
setahunya Mr.Damian hanya berkomunikasi dengan anggota direksi, manajer
dan kepala bagian unit perusahaannya, itupun lewat meeting resmi
perusahaan dan melalui seleksi janji temu yang rumit.
"Mr. Damian sudah ada di dalam, beliau sudah menunggu
anda, saya sudah menginformasikan kedatangan anda lewat intercom dan
beliau mempersilahkan anda langsung masuk", gumam sekertaris itu dingin.
***
Damian baru saja menyelesaikan meeting penting dan dengan segera kembali
ke ruangannya. Mengingat alasan yang membuat dia begitu terburu-buru
kembali, membuatnya mengerutkan dahi, dia sudah menelpon atasan Serena
tadi pagi, menjelaskan alasan keterlambatan gadis itu. Dan atasan Serena
begitu kegirangan karena teleponnya, hingga seolah-olah tak peduli lagi kenapa Serena sampai terlambat.
Yah mungkin setidaknya gadis itu akan berterimakasih
padaku,...atau malah jengkel? Damian tersenyum sinis, menilik sifat
gadis itu, sepertinya Serena akan tambah jengkel dengannya.
Setelah dengan serius mempelajari berkas-berkas yang diantarkan bagian personalia padanya, Damian termenung.
Gadis itu tidak bohong, kedua orang tuanya memang
telah meninggal, dan alamat tempat tinggalnya memang terdaftar sebagai
rumah kost, bahkan gadis itu tidak mengisi nama saudara atau kerabat
dekat yang bisa dihubungi,
'Saya tinggal sendirian', begitu ucapnya tadi. Apakah gadis itu benar-benar
sebatang kara seperti ceritanya. Kalau dia tanpa keluarga dan hanya
tinggal di kamar kost, untuk apa dia meminjam uang sebesar 40 juta ke
perusahaan yang harus dilunasi dengan memotong gajinya selama bertahun-tahun?
Apakah dia sakit? Memikirkan kemungkinan itu, Dada Damian langsung merasa nyeri,
Tidak! Putusnya setelah termenung sejenak, gadis itu
sehat, kalau tidak dia pasti tidak akan lolos seleksi test kesehatan
yang sangat ketat untuk masuk ke perusahaan ini.
Kalau begitu, dia pasti gadis yang suka menghambur-hamburkan
uang, Damian menyimpulkan. Yeah, segalanya akan menjadi lebih mudah.
Damian rela memberikan uang sebanyak yang Serena mau asal Serena mau
melayaninya.
Ia sangat kaya, dan memiliki gadis seperti Serena yang benar-benar memacu hasratnya memang layak diberi sedikit pengorbanan.
Lamunannya terhenti ketika intercom berbunyi memberitahukan kedatangan Serena.
Damian menunggu penuh antisipasi, seperti seekor singa
yang menanti mangsanya, Dia punya penawaran bagus, dan jika gadis itu
seperti yang diduganya, Serena pasti tak akan mampu menolaknya.
***
"Kata Pak Edwin anda
memanggil saya untuk mengambil payung saya yang tadi tertinggal", gumam
Serena sopan ketika Damian mempersilahkannya duduk.
Damian tidak menjawab hingga Serena menatap Damian
bingung, lelaki itu sedang menatapnya dalam seolah sedang berkonsentrasi
pada sesuatu tetapi pikirannya seolah tak ada di situ.
"Mr. Damian?",
Lelaki itu mengerjap.
"Oh! Payung" gumamnya seolah baru teringat akan hal itu, "ada di meja sekertarisku, kau bisa memintanya padanya",
Lalu kenapa sang CEO ini, yang katanya sangat sibuk menyuruhku menghadapnya? Serena mengerutkan kening,
Ketika Mr. Damian sepertinya tidak akan berkata apa-apa lagi, Serena segera bangkit dari kursinya,
"Kalau begitu saya akan segera mengambilnya, terimakasih sudah merepotkan anda, permisi Mr. Damian", gumamnya setengah berbalik,
"Tunggu Serena",
Suara lelaki itu terdengar lembut, dan dengan enggan Serena membalikkan tubuh,
Lelaki itu ternyata sudah bangkit dari kursinya, memutari meja dan berdiri berhadap-hadapan dengan Serena,
"Aku meralat ucapanku tadi pagi",gumamnya misterius.
Serena mengerutkan keningnya,
"Tentang...?"
"Tentang kau bukan tipeku dan aku tidak mungkin
tertarik padamu, sebenarnya selama ini aku memperhatikanmu karena tak
tahu kenapa, kau membuatku sangat bergairah",
Mulut Serena ternganga dan dia tak mampu berkata-kata, pernyataan itu begitu mengagetkan bagaikan petir di siang bolong.
"Aku ingin kau menjadi kekasihku,...mmm...,bukan kekasih,...apa ya istilahnya di Indonesia? Wanita simpanan?",
Damian tampak sangat bersemangat dengan tawarannya sehingga tidak memperhatikan ekspresi shock Serena,
"Kau hanya perlu melayaniku di ranjang, memuaskan
aku", Suaranya menjadi rendah dan merayu, "Dan kau tak perlu kuatir akan
rugi, kau tahu aku kekasih
yang murah hati, aku akan membelikanmu apartemen
mewah sehingga kau bisa pindah dari tempat kost kecilmu itu, dengan
begitu aku bisa leluasa mengunjungimu setiap malam, dan aku akan
menanggung biaya kehidupanmu, apapun yang kau inginkan akan kuberikan,
mobil mewah, perhiasan mahal ,baju- baju rancangan disainer terkenal,
perawatan di salon terkemuka, aku tahu kau menyukainya Serena karena
gaya hidupmu sepertinya sangat mahal sampai- sampai kau harus berhutang
puluhan juta pada perusahaan. Bahkan mungkin kalau kau bisa
menyenangkanku, hutangmu itu akan kulunasi. Bagaimana Serena? Aku akan
memenuhi semua permintaanmu dan kau hanya harus ada saat aku
membutuhkanmu",
Ketika Mr. Damian akhirnya mengakhiri pidatonya, Serena sudah begitu pucat sampai tak bisa berkata-kata.
Tawaran itu memang amat sangat menggoda, apabila ditawarkan pada
pelacur atau wanita yang tidak punya harga diri!!! tapi lelaki itu
menawarkan kepadanya??! Kepadanya!! Berani-Beraninya lelaki itu! Berani-beraninya dia merendahkannya sampai seperti ini!,
"Kenapa kau diam saja? Kau tak perlu sok malu-malu atau sok suci, aku tahu wanita seperti apa kamu dibalik sikapmu yang sok menjunjung moralitas...."
PLAAAKKK!!!
Tamparan itu begitu keras sampai kepala Damian terlempar ke belakang, suara tamparan itu menggema di ruangan yang luas itu,
"Menjijikkan katamu?", jika tadi Damian tak marah karena tamparan Serena, sekarang dia benar-benar marah,"jika menurutmu aku menjijikkan...",
Lelaki itu mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jarinya memutih, "Jika menurutmu aku menjijikkan..."
Entah bagaimana Serena mengetahui kapan kendali diri
lelaki itu lepas, dengan panik dan takut Serena setengah berlari menuju
pintu,
Tapi terlambat, Damian bergerak secepat kilat
menerjangnya, Serena berhasil membuka pintu sedikit ketika dengan kasar
Damian mendorongnya kembali tertutup.
Lelaki itu menghimpitnya dipintu, desah napas mereka bersahutan, yang satu ketakutan, yang lain bergairah,
"Le…. lepaskan saya!!!, atau saya akan berteriak dan menuntut anda atas pelecehan..."
Damian tak peduli, lagipula ruangan itu kedap suara.
Dengan gerakan impulsif, dibaliknya tubuh Serena, bibir Damian mencari-cari bibir Serena, tubuhnya makin menekan Serena ke pintu,
Serena menggelengkan kepala menghindar dengan membabi
buta hingga bibir Damian hanya menempel di rahangnya, dia mencoba
meronta melepaskan diri tapi tubuh Damian menghimpitnya ke pintu dan
tangannya mencengkeram kedua tangan Serena di kiri dan kanan kepalanya.
Mereka bergulat beberapa saat, tetapi Damian tak mau
menyerah dari perlawanan Serena. Sampai kemudian ketika Serena membuka
mulut untuk berteriak, Damian memagut bibir itu.
Ciuman itu dari awal sudah sangat sensual karena bibir
mereka terbuka, Damian melumat bibir Serena seolah sudah tak ada lagi
hari esok. Mulutnya sangat liar dan lapar mengecap, melumat dan
menikmati bibir Serena yang selembut madu.
Serena terpana merasakan ciuman yang sangat intim
ini, yang baru pertama kali dirasakannya. Dan hal itu memberi kesempatan
Damian untuk mencium semakin dalam, seluruh tubuhnya menempel ditubuh
Serena, makin mendorong Serena ke pintu, setelah menjelajahi dan
mencicipi seluruh rasa bibir Serena, lidah Damian mulai mencecap dan mencoba-coba mulai membelai masuk ke dalam bibir Serena.
Serena mengerang mencoba menolak, dia tidak pernah
berciuman seperti itu! Tapi Damian begitu lembut dan begitu lidahnya
masuk ciumannya menjadi makin bergairah,lidahnya menjelajah masuk,
menikmati seluruh rasa dan manisnya mulut Serena, Damian mengerang dalam
ciumannya, oh ya Tuhan nikmat sekali! Erangnya dalam hati, dan
gairahnya naik begitu cepat bagaikan roket, Gadis itu terasa begitu
nikmat, begitu manis dan menggairahkan, sekujur tubuh Damian
menginginkan gadis itu, sangat menginginkannya! Tangannya merayap naik
dan menyelinap di antara jari Serena sehingga Jari-jari mereka saling bertautan, Damian mencengkeramnya erat-erat seolah itu pegangannya untuk hidup.
Sejenak Serena merasakan matanya gelap, semua ini
begitu aneh dan mengejutkan, dan ciuman ini begitu asing dan tak
terduga, rasa ciuman ini...Ya
Tuhan , Rafi tidak pernah menciumnya dengan cara sekurang ajar ini, Rafi...Ya Tuhan!!
Serena mengerahkan segenap kekuatan dan seluruh
kendali dirinya untuk melepaskan bibirnya dari pagutan Damian, Mulut
Damian yang lapar masih mencari-cari, masih memagutnya sekali lagi, Serena mendorongnya kuat kuat hingga bibir mereka terlepas.
Suasana Ruangan itu begitu hening, hanya desah napas
memburu bersahutan, Serena bahkan tak tahu itu napas siapa. Damian masih
mencengkeram kedua tangannya di sisi kepalanya, Bibirnya begitu dekat
dengan bibir Serena, hingga napasnya yang panas menyatu dengan napas
Serena. Mata Damian tampak berkabut, tapi ketika menatap mata Serena
sinarnya begitu tajam,
"Kau menikmatinya kan? Aku merasakan dari bibirmu yang melembut ketika lidahku melumatmu, kau bisa berbohong dengan kata-kata, tapi tubuhmu tak bisa berbohong....",
Dengan tiba-tiba Serena mendorong Damian hingga mundur beberapa langkah, ditatapnya Damian dengan mata marah menyala-nyala,
"Dasar bajingan!!, kau bermimpi kalau aku
menginginkanmu, kau tak akan pernah bisa menyentuh tubuhku lagi!!, kau
begitu menjijikkan!!!"
Suara Serena semakin serak karena menahan
tangis,...jangan..., jangan! Kau tak boleh menangis Serena! Nanti dia
akan semakin merendahkanmu! Desisnya dalam hati.
Damian memandang Serena dengan pandangan tajam merendahkan,
"Saat ini kau boleh menghina dan menolakku, tapi aku
yakin, nanti kau akan datang padaku, merangkak dan memohon agar aku mau
menerimamu."
"Lebih baik aku mati!!"
Serena setengah berteriak ketika buru-buru melangkah keluar dan membanting pintu di belakangnya.
Sang sekertaris memandangnya sambil mengerutkan
kening, dan Serena yakin saat itu penampilannya patut dipertanyakan,
rambutnya kusut masai dan mukanya merah padam dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Tapi Serena tak peduli lagi, yang dia inginkan hanya
menjauh secepatnya dari tempat terkutuk itu! Dengan langkah berderap,
Serena memasuki lift meninggalkan ruangan itu.
***
Damian mengusap mulutnya yang terasa panas, dia merasa sedikit bodoh,
karena bertindak begitu impulsif di kantor, di mana banyak orang bisa menyebarkan gosip.
Damian menarik napas dalam-dalam dan
berusaha menghilangkan getaran di tubuhnya. Ciuman tadi terasa begitu
nikmat, sudah lama sekali Damian tidak merasakan ciuman yang begitu
membakar gairahnya sampai ke tulang sunsum.
Hanya sebuah ciuman dan dia terbakar, Damian
mengernyit, tidak begitu menyukai kenyataan itu. Selama ini dia dikenal
sebagai kekasih yang sangat ahli di ranjang, selalu mampu mengendalikan
pasangannya dan tidak pernah lepas kendali.
Dan sekarang, dia lepas kendali, semudah itu. Titik.
Masih mengernyit Damian menghempaskan tubuhnya ke kursi.
Tapi jika gadis itu seperti yang kupikirkan, kenapa
dia semarah itu? Seharusnya gadis itu bahagia bukan kepalang atas
tawaran yang dia berikan. Apakah dia salah? Dan apakah dia telah
menyinggung gadis itu?
Tidak! Dengan cepat Damian menyingkirkan keragu-raguannya. Semua gadis sama saja, Damian tidak pernah salah, Beri gadis-gadis itu kemewahan dan dia akan takluk padamu.
Mungkin tawarannya masih kurang bagi Serena, Damian mungkin harus menambahkan akomodasi penuh jalan-jalan keliling eropa misalnya.
Atau mungkin, Serena hanya mencoba jual mahal. Wajah
Damian menggelap mengingat kata hinaan Serena barusan, Menjijikkan
katanya ??
"Lihat saja Serena, Setelah kau menyadari betapa
banyaknya yang bisa kuberi padamu, kau akan datang merangkak padaku dan
aku yang akan mempermalukanmu", sumpah Damian dalam hati.
***
Suasana hati Serena benar-benar buruk hari itu. Kemarahan, rasa terhina,
kebencian bahkan kesedihan karena dia begitu tidak
berdaya campur aduk dalam hatinya. Serena merasa tubuhnya begitu kotor
akibat pelecehan yang dilakukan Mr. Damian tadi siang, dan dia masih
menahan tangis ketika memasuki ruang perawatan intensif di Rumah Sakit
itu, yang sudah sangat familiar dengannya
Apapun yang ada dipikirannya tadi langsung buyar begitu melihat Suster Ana menyongsongnya dengan wajah pucat pasi,
"Kemana saja kau nak?!, aku mencoba menghubungimu sejak dua jam tadi, tapi kau tak bisa dihubungi!"
Wajah Serena langsung berubah seputih kapas, secepat kilat dia berlari menelusuri lorong menuju kamar tempat Rafi dirawat.
Suster Ana tergopoh-gopoh berlari mengikuti di belakangnya.
Serena terpaku di depan ruangan Rafi dengan napas terengah-engah, dokter dan perawat masih ada di ruangan itu, sedang berusaha menstabilkan kondisi Rafi,
Suster ana tiba dibelakang Serena dan menyentuh pundaknya lembut, mencoba menenangkannya,
"Dia sudah tidak apa-apa Serena,
kondisinya sudah stabil. Tadi dia mengalami serangan lagi tapi dokter
sudah menanganinya dengan cepat, kenapa kau tadi tidak bisa dihubungi?
Aku mencoba menghubungimu saat Rafi dalam kondisi paling kritis, saat
itu kau pasti ingin bersamanya",
Air mata mengalir di pipi Serena. Tadi baterainya
habis dan karena sibuk dengan pikirannya, dia tak sempat mengisinya.
Astaga, betapa bodohnya dia. Rafi kelihatan stabil dan baik-baik saja dan Serena mulai lengah, melupakan bahwa serangan bisa terjadi setiap saat. Ya Tuhan, seandainya tadi Rafi....
Serena memejamkan mata rapat-rapat, air matanya mengalir semakin deras, dia tak berani membayangkan semua itu.
Suster Ana memeluknya dengan penuh keibuan sementara Serena menumpahkan air matanya.
Ketika dokter datang, tatapan hati-hatinya malah membuat hati Serena makin cemas,
"Bagaimana kondisinya dokter?", suara Serena gemetar, ketakutan
Dokter itu menarik napas panjang
"Rafi pria yang kuat, sungguh suatu keajaiban dia
mampu bertahan sampai sekarang, tetapi kecelakaan itu telah merusak
organ dalamnya. Kami berusaha memperbaikinya dengan obat-obatan dan penanganan medis terbaik, tapi hal itu berakibat pada ginjalnya, kami harus mengoperasi ginjalnya Serena",
"Mengoperasi ginjalnya?", Serena mengulang pernyataan dokter itu dengan histeris, "Mengoperasi ginjalnya?! Ya Tuhan!!",
Tubuh Serena menjadi lunglai, untung suster Ana menyangganya, air mata mengalir semakin deras dipipinya,
"Apakah... Apakah tidak ada cara lain ...?",
Dokter itu menarik napas prihatin,
"Rafi dalam kondisi yang tidak lazim, dia dalam
keadaan koma, dan apapun tindakan medis yang kami lakukan padanya
memiliki resiko tinggi, Tapi akan lebih beresiko lagi jika kita tidak
melakukan operasi itu, operasi itu harus dilakukan sesegera mungkin
Serena"
Serena menarik napas dalam dalam, dan menatap dokter itu dengan penuh tekad,
"Baik dokter, lakukan operasi itu, apapun agar Rafi
selamat", suaranya mulai gemetar, "Berapa biaya yang harus saya siapkan
untuk melakukan operasi tersebut dok?",
Seluruh tubuh Serena menegang, tangannya terkepal seolah olah menanti hukuman.
Dokter itu menatapnya sedih, rasa kasihan tampak jelas di matanya ketika menjawab,
"Untuk prosedur operasi ginjal dan perawatan atas
kemungkinan terjadi komplikasi lainnya, kau setidaknya harus memiliki
Tiga ratus Juta, Serena",
***
Hujan turun lagi dengan
derasnya, bahkan payung itupun tak bisa melindungi dirinya dari percikan
air hujan. Tapi Serena tak peduli.
Dimana Dia??!
Serena menatap sekeliling parkiran itu dengan panik,
hari sudah gelap dan hampir tidak ada orang di parkiran itu, apalagi
hujan turun dengan begitu derasnya sehingga tak akan ada orang yang
begitu bodohnya berada diluar ruangan.
Kecuali dirinya sendiri tentunya
Ya Tuhan ... Dimana Dia??!
Serena menatap mobil mercedes mewah yang masih
terparkir di tempat parkir direksi yang tak kalah mewah dengan atap yang
luas dan posisi yang lebih tinggi sehingga terlindung dari derasnya
hujan.
Lelaki itu pasti belum pulang, mobilnya masih
terparkir dan semua orang bilang bahwa bos yang satu itu baru pulang
setelah lewat jam 8 malam, dan lebih malam lagi pada hari Jumat karena
besoknya akhir pekan.
Sekarang hari jumat.
Dan Serena menunggu dengan cemas, bagaimana jika
lelaki itu sebenarnya sudah pulang? Jika bukan hari ini, akal sehatnya
akan kembali dan dia akan kehilangan keberanian.
Berbagai pikiran buruk berkelebat hingga Serena tidak memperhatikan derasnya hujan yang mulai membasahi tempat-tempat yang tidak terlindung oleh payung kecilnya,
Lalu pintu lobby itu terbuka, dan sosok yang ditunggu-tunggu Serena melangkah keluar.
***
Seorang satpam membawa payung hitam besar dan memayunginya ketika
Damian melangkah menyeberangi jalan kecil yang membelah taman menuju parkiran direksi,
Hujan deras membuatnya tidak menyadari kehadiran
Serena. Tetapi ketika jarak mereka semakin dekat, Damian menyadari bahwa
Serenalah yang berdiri dengan payung mungil ditengah hujan menunggunya,
dan mulutnya menegang,
"Wah, ada apa gerangan sampai anda menyempatkan diri menunggu saya disini?",
Sebenarnya Damian sangat geram, tetapi dia menahan diri karena kehadiran satpam yang memayunginya.
"Ssaa...ssaya...ingin bicara dengan anda",
Damian mengernyit menyadari suara Serena yang gemetar
dan wajahnya yang pucat pasi, apakah gadis itu kedinginan ? berapa lama
gadis itu menunggunya di luar sini?
Damian melangkah ke bawah atap tempat parkir direksi
yang menaunginya dari hujan, lalu mengisyaratkan satpam itu untuk
meninggalkan mereka.
Setelah Satpam itu jauh, Damian menatap Serena dengan gusar,
"Demi Tuhan!! tidak bisakah kau kemari berlindung di bawah atap ini? Payung itu tak berguna, kau hampir basah kuyup!",
Sejenak Serena ragu, tapi Damian benar, tubuhnya mulai basah kuyup karena hujan deras itu disertai tiupan angin kencang.
Dengan hati-hati, dia melangkah ke bawah atap yang sama dengan Damian.
Lelaki itu menatapnya tajam, sama sekali tidak menyembunyikan kejengkelannya.
"Apa yang ingin kau bicarakan? Aku ada undangan makan malam, waktuku tak banyak", gumamnya sombong.
Serena menatap Damian penuh tekad meski gemetaran,
"Sa...Saya menawarkan diri kepada anda, anda boleh memiliki saya semau anda".
Damian menyipitkan mata, menahan gumpalan kekecewaan
yang menyeruak di hatinya karena semudah dan secepat itu gadis ini
menyerahkan diri kepadanya.
"Kau pikir aku masih berminat padamu?", gumamnya mengejek
Wajah Serena pucat pasi, kata-kata Damian bagaikan menamparnya keras. tapi dia bertahan, Demi Rafi, tekadnya dalam hati
"Anda boleh memiliki saya sepenuhnya, saya hanya meminta pembayaran di muka, setelah itu saya tak akan meminta apa-apa lagi",
"Memangnya kau terlibat hutang judi atau apa??!",
Damian membentak keras, gusar karena sikap penuh tekad
Serena, dan gusar atas godaan dalam dirinya yang tak tertahankan untuk
langsung menerima tawaran gadis itu. Tapi ketika melihat Serena hampir
terlonjak kaget karena bentakannya, spontan Damian melembut,
"Oke, Berapa?"
Serena mengerjapkan matanya mendengar pertanyaan tiba-tiba itu
Damian mendesah tak sabar,
"Cepat katakan berapa kau menjual dirimu, lalu aku
akan menawar sebelum mencapai kesepakatan", dengan sengaja dia melirik
jam tangannya seolah tak tertarik, "aku tak punya banyak waktu untukmu"
Serena menelan ludah,
"Ti..Tiga ratus...juta.."
"Apa?", Damian membelalakkan mata tak percaya.
"Tiga ratus juta", kali ini Serena berhasil terdengar mantap.
Damian mengernyit jijik,
"Kau bercanda?! Kau pikir kau pantas dihargai semahal itu??!",
"I..itu pembayaran lunas sepenuhnya, setelah itu anda memiliki saya dan saya tak akan meminta apapun lagi"
"Kau pikir aku bodoh atau apa?", desis Damian,
"Bagaimana aku bisa tahu kau tak akan mangkir dari perjanjian ini?
Bagaimanapun melakukan pembayaran di muka itu beresiko"
"Kalau begitu anda bisa membuat surat perjanjian yang sah secara hukum untuk mengatur perjanjian ini",
Serena mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan
gugup, mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini, mereka mengobrolkan
penjualan harga dirinya seolah olah mengobrolkan penjualan barang.
Damian terdiam, tampak menimang-nimang usulan Serena, lalu wajahnya mengeras,
"Tidak, ini konyol, aku sudah tak tertarik,
lagipula...", ia memandang Serena dengan tatapan menghina, "Baru tadi
siang kau menolakku mentah-mentah dan aku berkata kau pasti
akan merangkak memintaku menerimamu, sekarang kau hampir bisa disebut
merangkak padaku dalam waktu kurang dari 24 jam",
Damian hendak membalikkan badan meninggalkan Serena,
"Lupakan saja, gadis yang terlalu murahan memadamkan gairahku"
Serena langsung panik melihat Damian membalikkan tubuh mengarah ke mobilnya, Tidak!! Oh Tidak !! Laki-laki itu tak boleh menolaknya!! Dialah satu- satunya harapan Serena untuk menyelamatkan nyawa Rafi!!
Dengan setengah histeris, Serena melakukan tindakan yang pasti akan ditentang akal sehatnya jika dia dalam keadaan tak terdesak,
Ditariknya lengan Damian, dan ketika lelaki itu
menoleh dengan marah, Serena berjinjit, merangkul kepala Damian dan
mencium bibirnya!
Tubuh Damian kaku dengan rasa terkejut dan luar biasa, gadis itu dengan bibir yang lembut mencoba menciumnya dengan membabi-buta, jelas-jelas sangat tidak berpengalaman dan tanpa teknik ciuman yang memadai, tapi tetap saja gairah Damian langsung meledak tak terkendali.
Dengan kasar dirangkulnya pinggang Serena, setengah mengangkatnya agar merapat ke tubuhnya dan diciumnya bibir gadis itu habis-habisan.
Ciuman Damian sangat ganas dan penuh gairah, dan gadis
itu meskipun bersusah payah, berusaha mengimbanginya. Tubuh Damian
menegang dan
terasa nyeri, begitu menginginkan Serena. Dengan erangan yang parau, dia memperdalam ciumannya.
Entah berapa lama mereka berciuman di tempat parkir dengan diiringi derasnya hujan. Damian benar-benar hanyut dalam kenikmatan dan dia menyadari kalau dia tak akan bisa menolak gadis ini.
Damian baru melepaskan ciumannya ketika menyadari napas Serena yang mulai megap-megap.
Mereka berdiri dengan rapat dan Damian masih memeluk
pinggang Serena, setengah mengangkat Serena, tangan gadis itu
berpegangan pada pundaknya seolah-olah takut terjatuh.
Damian menatap Serena tajam, bibir gadis itu agak bengkak karena tekanan ciumannya yang panas dan habis-habisan, bibirnya pasti juga seperti itu karena rasa panas di bibirnya belum juga hilang,
Well cium saja aku dan aku akan terbakar, geram Damian dalam hati,
Dengan kaku diturunkannya pinggang Serena, lalu dilepaskan pegangannya,
"Baik, aku akan membayarmu, besok pagi kau akan mendapatkan uang itu beserta surat perjanjian yang harus kau tandatangani",
Damian menatap Serena geram, lalu membalikkan tubuhnya
menuju mobilnya, "Masuk ke mobil! malam ini aku akan mencoba barang
yang sudah kubeli".
***
Serena melirik Damian agak ketakutan ketika lelaki itu membelokkan mobilnya
ke areal hotel berbintang lima. Lelaki itu sama
sekali tak mengajaknya bicara. Dia menyetir mobil dengan tenang tetapi
rahangnya menegang seperti menahan marah. Apakah lelaki itu akan berbuat
kasar padanya untuk melampiaskan kemarahannya?
Tadi siang dia sudah menghina lelaki itu dan dia
menyadari bahwa ego seorang lelaki sangat mudah terluka. Dia ketakutan
kalau Damian akan melampiaskan kemarahannya dengan kasar, dia tidak
pernah disentuh lelaki sebelumnya selain ciuman dan pelukan dari Rafi
yang tidak pernah melebihi batas.
Apakah dia harus memberitahu Damian kalau dia masih perawan? Lelaki itu dari
awal sudah beranggapan dia murahan, bagaimana jika...
Serena terlonjak ketika pintu terbuka, ternyata Damian sudah keluar dari mobil dan membukakan pintu penumpang,
Lelaki itu mengernyit ketika melihat wajah Serena yang pucat pasi,
"Ayo", gumamnya kaku, dan meraih tangan Serena untuk membantunya keluar dari mobil.
Setelah Damian menyerahkan kunci mobilnya kepada
petugas hotel untuk diparkir, mereka berjalan bersisian memasuki lobby
hotel yang sangat mewah.
Resepsionis hotel menerima mereka dengan ramah dan memberikan kartu kamar yang dipilih Damian,
Bahkan di dalam liftpun mereka lewati dengan keheningan.
Kamar itu begitu luas dan sangat mewah sehingga Serena terpaku sambil terkagum-kagum akan keindahan interiornya.
Damian hanya berdiri di sana menatapnya,
"Kau pasti belum makan, aku akan memesan makan malam
di kamar", lalu lelaki itu melirik Serena dengan sinis, "sementara itu,
kupersilahkan kau mandi duluan, badanmu basah, kau bisa mandi dengan air
hangat"
"Ta...tapi, saya tidak membawa baju..."
Damian sengaja menatap Serena dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan begitu intens sehingga wajah Serena merah padam.
"Aku akan memesan pakaian di butik kenalanku, besok
pagi pesanan akan diantarkan kemari. Bajumu yang basah letakkan ditempat
yang disediakan di kamar mandi, petugas hotel akan mengambilnya untuk
di laundry, sementara itu....",
Damian sengaja menggantung kalimatnya dengan penuh arti, "malam ini kau tak perlu repot-repot memikirkan baju, toh kau tak akan sempat mengenakannya",
Kalau wajah Serena bisa lebih merah padam lagi, itu akan menunjukkan betapa malunya dia dengan kata-kata vulgar Damian.
Setelah menggumamkan beberapa kalimat tak jelas dengan gugup, Serena setengah berlari menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Serena merasa sedikit aman,
disandarkannya punggungnya ke pintu dan dicobanya menarik napas dengan
normal. Dia takut pada Damian, lelaki itu seperti seekor singa yang
menemukan domba lemah, lalu memutuskan untuk bermain-main dengannya dulu sebelum memakannya.
Serena melangkah telanjang ke kamar mandi lalu
menyiram tubuhnya yang letih dan kedinginan karena kehujanan dengan
shower air panas,
Setelah selesai mencuci rambutnya, Serena menyandarkan
kepalanya di tembok dan membiarkan punggungnya yang pegal tersiram
shower air hangat.
Dia takut menghadapi masa depan dan ketika membayangkan Rafi, air matanya menetes, mengalir bersama siraman shower,
Maafkan aku Rafi, setelah ini mungkin aku akan menjadi wanita kotor dan tak pantas untukmu, tapi hatiku tetap milikmu.
***
Ketika selesai membasuh muka dan menggosok gigi, Serena memandang
bayangan dirinya dicermin, keadaannya sudah lebih
baik pipinya sudah tidak pucat lagi, sudah ada rona merah disana setelah
mandi air hangat.
Ketukan di pintu hampir membuat tubuh Serena melonjak,
"Kau lama sekali, apa kau baik-baik saja disana?", tanya Damian tak sabar,
"Yyaaa...sebentar lagi saya selesai", Serena menjawab sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling,
Apakah aku harus keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang??
Matanya menatap tumpukan baju kotornya memikirkan
kemungkinan mengenakan bajunya lagi, dan membayangkan mengenakan baju
yang hampir basah kuyup itu membuatnya begidik.
Senyumnya muncul ketika menemukan tumpukan handuk
berwarna biru tua di lemari samping wastafel, dan dia beruntung, bukan
hanya handuk, tapi dia menemukan sepasang jubah mandi dengan warna yang
sama. Yang satu berukuran besar dan yang satu berukuran kecil.
Dikenakannya jubah mandi ukuran kecil yang masih
kebesaran ditubuhnya sambil mengernyit, bahkan perlengkapan kamar mandi
ini seperti sengaja ditujukan untuk pasangan, sepasang jubah mandi,
sepasang sikat gigi, dan sepasang handuk.
Ditatapnya bayangannya di cermin, wah lumayan, lebih
dari lumayan malah, jubah itu menutup rapat dadanya dan karena
kebesaran, panjangnya hampir mencapai mata kaki, dia kelihatan cukup
sopan meski sebenarnya tidak mengenakan apa-apa lagi di balik jubah mandinya.
Ketika Serena keluar dari kamar mandi, Damian sedang
memberikan instruksi pada pelayan hotel yang menata makan malam di meja.
Lelaki itu hanya mengangkat alis melihat akal Serena memakai jubah
mandi,lalu memberikan tips pada pelayan sebelum dia pergi.
"Duduklah, makan dulu",
Gumam Damian mulai santai sambil menunjuk kursi di depannya,
Serena duduk dengan gugup di kursi dan menatap
makanan yang tersaji di meja. Air liurnya langsung terbit melihat sajian
yang kelihatannya lezat itu, ada sup krim yang sangat panas yang pasti
rasanya sangat nikmat untuk orang yang habis basah kuyup kehujanan, lalu
daging panggang dengan bumbu keju dan saus yang sangat menggunggah
selera, salad buah-buahan dan cokelat panas yang pasti untuknya, karena Damian sudah menyesap kopinya.
Lelaki itu dengan penuh perhatian menuangkan sup di mangkuk dan menyodorkannya pada Serena.
Serena menatap Damian ragu, dan untuk pertama kalinya hari itu, Damian tersenyum lembut padanya,
"Ayo makan, aku tahu kau lapar, aku sendiri lapar sekali."
Mereka mulai makan dalam keheningan, dari sudut matanya, Serena dengan hati-hati
melirik Damian dan menyadari lelaki itu mulai santai, jasnya sudah
dilepas dan kancing kemejanya dibuka dua dengan dasi yang sudah dibuka
ikatannya.meskipun begitu, cara makannya sangat elegan hingga membuat
Serena malu.
"Serena?",
Suara itu menembus lamunannya dengan keras hingga membuat Serena hampir melonjak karena terkejut.
Matanya mengerjap menatap Damian,
"a...apa?"
"Kau hanya mengaduk-aduk supmu, apa tidak enak?"
Dengan terburu-buru Serena menyuap sesendok sup dan menelannya,
"Ti..tidak, ssayaa hanya sedang berpikir"
Damian tersenyum, lalu sekali lagi menatap jubah tidur Serena,
"Pintar sekali kau memakai jubah itu, jadi kau tak perlu tampil telanjang di depanku"
Komentar yang diucapkan dengan santai itu hampir saja membuat Serena tersedak, pipinya langsung merona merah.
Damian menyesap kopinya sambil tetap memandang Serena, lalu meletakkan cangkirnya,
"Oke, giliranku mandi, makanlah sepuasmu,lalu taruh saja disitu aku akan menelpon pelayan untuk membereskannya 30 menit lagi",
Dengan santai lelaki itu melenggang ke dalam kamar mandi,
Setelah menyesap cokelatnya, Serena tidak tahu harus
mengerjakan apa lagi, jadi dia duduk di pinggir ranjang dan menyalakan
televisi,
Beberapa saat kemudian pelayan datang dengan sopan dan
membereskan makanan mereka. Serena hanya terdiam agak malu karena
menyadari keadaannya yang hanya mengenakan jubah mandi.
Ketika Lelaki itu keluar dari kamar mandi, Serena sudah hampir tertidur di atas ranjang, pertarungan batin yang bertubi-tubi
sudah membuat jiwa dan raganya kelelahan, sehingga berdiam diri
berbaring di atas ranjang yang nyaman itu membuatnya merasa sangat
mengantuk.
Damian mengernyit sambil mengencangkan tali jubah
mandinya, ditatapnya Serena yang berbaring miring membelakanginya dengan
posisi meringkuk seperti janin di dalam kandungan, pemandangan itu
membuat hatinya terasa sakit, entah kenapa, seperti ada dorongan untuk
merengkuh gadis itu dan melawan seluruh dunia demi dirinya.
Kernyitan Damian semakin dalam, tidak pernah dia
merasa seperti itu sebelumnya pada seorang perempuan, gadis ini telah
membangkitkan semacam hasrat liar yang selama ini tersembunyi rapat-rapat dalam jiwa Damian, dan bukan hanya hasrat tapi dibarengi oleh rasa obsesif dan posesif yang mendalam.
Tidak!! geram Damian dalam hati, hasrat ini tidak boleh sampai membuat dirinya lemah, dia harus menunjukkan siapa yang berkuasa.
Dengan pelan Damian naik ke ranjang dibelakang Serena
yang memunggunginya, lalu diraihnya pundak Serena, gadis itu
terperanjat karena dibangunkan dari kondisi tidur-tidur ayamnya, dengan mata yang masih sayu setengah tidur ditatapnya Damian.
Damian melihat sekelumit ketakutan didalam mata itu, dan dengan sedikit kasar dibaliknya tubuh Serena menghadap dirinya,
“Aku membayar kamar di hotel ini bukan hanya untuk tidur”, geramnya parau lalu dikecupnya bibir Serena,
Dan......meledaklah, Damian merasa hasrat langsung
membakar tubuhnya sekaligus, menghanguskannya, sejenak dia merasa ragu
melampiaskan hasratnya seratus persen karena dirinya cenderung kasar
ketika sangat berhasrat, tapi mengingat bagaimana Serena menawarkan diri
padanya hanya demi uang dan goresan rasa kecewa yang nyeri di hatinya
karenanya membuat Damian tak peduli lagi, toh gadis ini pasti sudah
berpengalaman dan mungkin sudah lebih dari sekali dia menjual dirinya
demi uang. Tapi benarkah gadis itu sudah berpengalaman?
Damian teringat ciuman Serena yang tanpa teknik
memadai di tempat parkir tadi. Tidak!! putusnya dalam hati, mungkin
gadis itu hanya tidak pandai berciuman, Seorang pelacur harus
diperlakukan seperti pelacur!!.
***
Serena masih terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya dibalik dan dicium habis- habisan, dia masih setengah tertidur tadi dan benar-benar tak berdaya, Damian
sudah melampiaskan hasratnya tanpa ditahan-tahan, ciuman-ciumannya tanpa jeda seolah-olah lelaki itu tak tahan sedetikpun tidak berciuman dengannya.
Ketika Damian mengangkat kepalanya, matanya berkabut,
pupil matanya membesar terlihat kontras dengan iris matanya yang
berubah menjadi biru pucat,
“aku ingin bercinta, aku ingin memasukimu...Ah kau
tidak tahu betapa aku...“, suara Damian tersengal, lalu melumat bibir
Serena lagi dengan membabi buta,
Tangan Damian menelusup di balik jubah mandinya,
menemukan payudaranya yang hangat dan lembut, lalu meremasnya. Sedikit
terlalu bergairah sehingga Serena mengerang.
Damian menghentikan gerakannya, lalu menatap Serena lembut,
“Sakitkah?”, bisiknya parau
Serena terpaku, suaranya seakan tertelan di tenggorokan, bagaimana dia harus menjawabnya?
Tetapi Damian tidak memerlukan jawaban, lelaki itu
tersenyum, lalu menggerakkan tangannya lagi menyentuh payudara Serena,
dengan ahli dia menyingkirkan jubah mandi Serena yang menghalangi, dan
menemukan keindahan ranum di baliknya,
“Oh Indahnya”, bisik Damian serak, membiarkan Serena memalingkan muka dengan malu dibawah tatapan tajam dan memuja lelaki itu.
Lalu bibir Damian yang panas menelungkupi puting
payudaranya, lidahnya bermain di sana terasa panas, membakar seluruh
tubuh Serena, membuatnya terpaksa merintih. Bingung dengan gejolak yang
menyebar di seluruh tubuhnya. Damian begitu ahli sedang Serena sama
sekali tidak berpengalaman, dan lelaki itu tampaknya tidak merasa perlu
menahan dirinya.
Entah kapan, mereka sudah telanjang bersama di atas
tempat tidur itu, Tubuh Damian yang keras, melingkupi tubuh Serena yang
mungil di bawahnya,
menggodanya, menggeseknya dengan kekuatannya, membawa gairah Serena makin naik, sedikit demi sedikit ke puncaknya.
Kemudian Serena merasakan kejantanan Damian, yang
tidak terhalang apapun menyentuh pusat dirinya. Pelan, tapi membuatnya
terkesiap. Serena membuka matanya yang terpejam, menatap Damian di
atasnya. Lelaki itu menatapnya dengan tajam, matanya berkabut, napasnya
terengah, dan sejumput rambut tampak jatuh di dahinya, membuatnya tampak
begitu liar.
“Ah, ya manis...Kau pasti akan sangat menyukainya”,
geram Damian pelan, lalu mulai mendorong, menekan dan menyentuh Serena,
“Kau sudah siap”, erang Damian, “Kau sudah basah dan panas, siap untuk
diriku...”
Jantung Serena berdegup kencang, beriringan dengan
detak jantung Damian yang bahkan lebih parah. Dengan perlahan, Serena
memejamkan matanya, melepaskan hatinya, Demi kamu Rafi, bisiknya dalam
hati bagaikan mantra yang menyelamatkan jiwanya.
Ini adalah sensasi baru bagi Serena, merasakan
kejantanan seorang lelaki yang mencoba memasukinya, menyatu dengannya.
Rasanya panas dan membuat seluruh saraf ditubuhnya menggila, membuatnya
begitu sensitif oleh kebutuhan yang sampai saat ini tidak pernah
diketahuinya, kebutuhan untuk mencapai puncak.
Hingga rasa sakit yang menyengat tiba-tiba menyentakkannya ke alam sadar, Serena mengerang kesakitan, tubuhnya mengejang, dengan panik dicengkeramnya pundak Damian dan menggeleng-gelengkan kepala ketakutan atas usaha Damian untuk menyatu semakin dalam dengannya.
***
Dan ketika merasakan sesuatu yang menghalanginya, mendengar erangan Serena yang jelas-jelas
kesakitan serta pandangan ketakutan yang membayangi mata Serena, Damian
sadar bahwa semua prasangkanya itu salah, meski tetap tak bisa
menjelaskan kenapa Serena dengan mudahnya menjual dirinya, tapi ini
sudah menunjukkan bahwa Serena bukan wanita gampangan, Damian adalah
lelaki pertamanya.
Menyadari kesakitan yang mendera Serena, Damian
mengalihkan perhatian Serena denga cumbuannya dengan segenap
keahliannya, rasa senang tak tertahankan membanjiri pikirannya ketika
menyadari dirinya adalah lelaki pertama gadis itu.
Diciumnya bibir Serena dengan lembut, bibir ranum yang sekarang menjadi miliknya. Napas Serena terengah-engah
dan Damian melihat di matanya, ada ketakutan dan kesakitan. Damian
tidak pernah bercinta dengan perawan sebelumnya, dia tidak tahu seperti
apa rasa sakitnya, dia tidak mengerti bagaimana meredakannya. Tetapi
Damian tidak suka melihat rasa sakit itu mendera di mata Serena,
“Sssh...Sayang, aku tidak bermaksud menyakitimu”,
Dengan lembut Damian menelusurkan tangannya di sisi tubuh Serena, lalu
berhenti di pinggul Serena, menahan pinggangnya yang sedikit meronta,
mencegah tubuh mereka yang sudah setengah menyatu supaya tidak terpisah,
“Mungkin akan sedikit sakit tapi semua akan baik, tubuhmu akan
menerimaku seutuhnya...”, Suara Damian terhenti ketika dia mendorong
dengan kuat, menembus batas keperawanan Serena dan menyatukan tubuhnya
sepenuhnya dengan Serena.
Serena berteriak kencang merasakan pedih yang amat
sangat ketika Damian menembusnya, jemarinya tanpa sadar mencengkeram
pundak Damian dengan keras. Tetapi Damian tidak berhenti karena dia
sadar kalau dia berhenti dia akan menyakiti Serena. Dengan perlahan,
Damian menggerakkan tubuhnya. Oh Tuhan ! Sekujur tubuhnya terasa nyeri
menahan diri. Serena terlalu rapat, terlalu basah, terlalu panas,
mencengkeram tubuhnya di bawah sana. Dia hampir-hampir tidak tahan dan dorongan untuk memuaskan diri dengan brutal di tubuh Serena semakin menyiksa.
Tetapi Damian sadar, ini pengalaman pertama bagi
Serena, dia harus membuatnya seindah mungkin, dia tidak boleh menyakiti
Serena. Karena itu sambil menggertakkan diri menahan gairahnya, Damian
mencoba bergerak selembut mungkin, menarik tubuhnya pelan dari balutan
sutra basah dan panas itu, untuk kemudian menghujamkannya lembut. Lagi
dan lagi.
Lalu ketika desah napas Serena menjadi pendek-pendek
serta pegangannya pada pundak Damian makin kencang, Damian sadar, dia
telah membuat Serena mencapai orgasme pertamanya. Pemandangan ekspresi
wajah Serena saat itu sungguh tak tergantikan, mendorongnya terlempar
menuju puncak kepuasan yang sangat tinggi, sangat tak tertahankan seolah-olah dunia melededak dibawahnya. Dan Damian benar-benar meledak di dalam tubuh Serena.
Orgasme ini terasa begitu dasyat, sebuah pelepasan
dari akumulasi gejolak yang ditahannya selama ini. Kenikmatan yang luar
biasa ini membuat Damian merasa sedikit sesak napas,seolah olah dia
terhanyut dalam pusaran gairah yang tak tertahankan terus menerus
menghantamnya tanpa henti,erangan parau keluar dari bibirnya ketika dia
menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di sisi leher Serena.
Ketika usai, mereka berbaring berpelukan sambil berusaha menormalkan napasnya.
"Wow"
hanya itu yang terlintas dipikiran Damian, dan dia tak
sadar telah mengucapkannya keras setelah menyadari rona merah yang
merayap di leher Serena.
Dengan lembut dikecupnya leher Serena,,,diangkatnya
kepalanya, dan mereka bertatapan, mata biru yang tajam,yang agak
berkabut setelah mencapai orgasme terhebat sepanjang eksistensi
kehidupannya bertemu dengan mata hitam yang berkaca-kaca.
"Apakah kau...", Damian berdehem ketika menyadari suaranya sangat parau,"apakah kau baik-baik saja?"
Serena tampak tidak tahan ditatap dengan sedemikian
intens apalagi dalam posisi yang sangat intim, dipalingkannya kepalanya
setelah mengangguk pelan.Damian menarik napas pelan, kemudian dengan hati-hati,
sangat berhati- hati, dia mengangkat tubuhnya dari atas Serena dan
bergeser ke samping, menyadari kernyitan tidak nyaman di wajah Serena
ketika dia menarik diri.
Tanpa sadar Damian bersikap begitu lembut, sikap yang tidak pernah ditunjukkannya ketika usai bercinta dengan wanita-wanita yang lain.
Direngkuhnya tubuh mungil Serena, diletakkannya
kepalanya di lengannya, gadis itu tampak pasrah, mungkin sudah terlalu
lelah, kasihan, kasihan Serenanya yang masih suci. Ternyata selama ini
dia salah paham, gadis ini benar-benar masih suci.
Kepuasan seksual yang luar biasa masih mempengaruhi
pikirannya yang berkabut, tangannya dengan santai mengelus punggung
Serena yang bergelung dipelukannya, sampai lama kemudian disadarinya
pundak Serena berubah santai dan napasnya mulai teratur pelan. Gadis itu
tertidur. Damian mengatur posisinya dengan lebih nyaman. tak pernah
sebelumnya dia seintim ini setelah bercinta, gadis ini benar-benar mempengaruhinya...
***
Serena merasakan seluruh tubuhnya sakit dan pegal.
Dengan mengerutkan dahi dia mencoba menggerakkan badannya. Oh...memang
pegal sekali rasanya, pelan pelan dibukanya matanya, cahaya kamar masih
tampak redup, suasana kamar terasa sejuk dan menyenangkan,
"Selamat pagi"
Sapaan itu begitu mengejutkan, menembus kesadarannya
yang masih berkabut, hingga badan Serena terlonjak duduk,lalu selimutnya
turun sampai ke pinggang dan barulah Serena menyadari kalau dia
telanjang. Dengan gugup ditariknya selimut menutup dadanya. Matanya
langsung bertatapan dengan Damian yang duduk disofa,tepat dihadapannya.
Sedikit senyum tersirat di sana melihat kegugupan Serena.
Sekali lagi Serena benar-benar malu,
Damian sudah tampil sangat rapi dan elegan dengan pakaian santai dan
sedang menyesap kopi sambil membaca koran paginya, penampilannya benar-benar sempurna di pagi hari, sedangkan Serena....Astaga, jam berapakah ini?
"Ini masih pagi sekali, masih gelap, tadi aku bangun
dan memutuskan mandi air dingin, kalau tidak aku tidak akan bisa menahan
diri untuk membangunkanmu dan bercinta lagi denganmu",
Suara lelaki itu datar seperti sedang membicarakan acara televisi favoritnya, tak dipedulikannya wajah Serena yang memerah.
"Bukannya aku tidak bisa, tapi sepertinya aku harus menghormati virginitasmu yang baru hilang",
Tatapan Damian berubah tajam, seperti yang selalu dilakukannya di saat meeting di saat dia membuat lawan-lawan bisnisnya mengekeret ketakutan.
"Kenapa kau yang masih perawan itu bisa dengan mudahnya menjual diri padaku? Apa tujuanmu sebenarnya"
Tanya Damian tanpa ampun.
Serena duduk disana dalam kondisi paling tidak siap dan Damian melemparkan pertanyaan paling sulit untuk di jawab, apakah laki-laki itu sengaja?
Tentu saja Damian sengaja! Seru Serena dalam hati,
lelaki seperti dia tak akan sesukses ini dalam bisnis jika tidak tahu
cara menyerang lawannya di titik lemah.
Sekarang dia harus menjawab apa? Serena benar-benar
kebingungan. Kalau dia menceritakan seluruh kisahnya, akankah Damian
percaya? Lagipula dia tidak ingin melibatkan Rafi disini, jangan sampai
Damian tahu tentang Rafinya, dia harus melindungi Rafi dari lelaki kejam
seperti Damian, siapa yang tahu apa yang akan dilakukan Damian kepada
Rafi hanya untuk memerasnya nanti?
Dengan tegar Serena menegakkan dagunya,
"Saya rasa alasan saya melakukan ini bukan urusan anda, yang penting saya tidak akan merugikan diri anda."
Rahang Damian mengeras mendengar jawaban Serena tadi.
Sejenak tadi dia merasa Serena patut diberi kesempatan, mungkin saja
Serena melakukan itu untuk membiayai saudaranya atau apa, Tetapi
ternyata dia salah, bodohnya dia, wanita dimanapun sama saja.
Serena mungkin hanya menunggu kesempatan untuk menjual
keperawanannya dengan harga mahal, bukan bermaksud menjaganya. Bodohnya
dia sempat berpikir untuk mempercayai gadis itu.
"Oke, bussiness is bussiness, aku tidak akan bertanya
lagi tentang tujuanmu, asal jangan sampai kau merugikanku...", mata
Damian menyipit kejam, "kalau kau berani berani melakukannya, aku akan
membuatmu menderita."
Serena tanpa sadar beringsut menjauh, ketakutan dengan nada suara dan tatapan kejam Damian.
Serena menatap lelaki itu dengan cemas, apa yang salah dari ucapannya? Kenapa lelaki itu tampak begitu marah padanya?
Damian melirik jam tangannya,
"Aku sudah membuat janji dengan pengacaraku tiga jam
lagi, akan kubuat kontrak hitam di atas putih atas perjanjian jual beli
kita ini, dan selama aku menunggu jam itu.....",
Mata Damian menelusuri tubuh Serena yang berusaha menutupinya dengan selimut. Tatapan matanya sangat melecehkan.
"Well kurasa sudah cukup kan penghormatanku atas virginitasmu?"
Lalu Damian naik ke ranjang dan merenggut tubuh
Serena. Membawanya ke tempat tidur bersamanya. Kali ini tidak ada
kelembutan. Lelaki itu tidak menahan-nahan diri lagi. Dan
dia sudah siap. Dengan kasar dibukannya paha Serena dan tanpa basa basi
dia menyatukan tubuhnya dengan Serena, yang entah kenapa sudah siap
menerimanya.
Damian menyatukan tubuhnya dalam-dalam,
sebuah erangan nikmat lolos dari mulutnya ketika dia merasakan
kenikmatan yang menyengat, lelaki itu menatap Serena, antara bingung dan
marah tercampur di dalam matanya,
“Kau...Sungguh membuatku tergila-gila”, Erangnya kasar sebelum bergerak dengan begitu ahlinya, membawa Serena menuju puncak kenikmatan.
***
Serena menatap tubuh telanjangnya di cermin, air panas
mengalir dari pancuran menimpa tubuhnya, kamar mandi itu beruap,
sehingga bayangan tubuhnya terpantul samar-samar di cermin.
Tadi Damian tidak lembut, well meskipun tidak sampai
menyakitinya, tetapi lelaki itu berbeda dari semalam, gairahnya liar dan
tidak ditahan-tahan lagi, meluap- luap seolah olah sudah bertahun-tahun laki-laki itu tidak melampiaskan hasratnya.
Tapi itu tidak mungkin kan? Serena tanpa sengaja
mengerutkan dahinya, Damian terkenal suka gonta ganti perempuan,
parempuan yang dipacarinya selalu setipe, cantik bagaikan boneka,
langsing, dari kelas atas dan terkenal, entah itu model, artis dan
kebanyakan orang luar. Semua wanita itu rela menyerahkan dirinya pada
Damian dengan sukarela.
Desas desus berkembang bahwa Damian kekasih yang sangat bergairah dan murah hati, tetapi tidak tanggung-tanggung mendepak pasangannya dengan kejam, karena dia tak pernah memakai hati dalam berhubungan.
Kekasih terakhir Damian, yang kemarin baru digandengya
dalam acara pernikahan seorang anak direksi adalah artis film yang
sedang naik daun, keturunan indo Jerman yang sangat cantik bernama
Shanon, tubuhnya tinggi langsing semampai dengan rambut cokelat
bergelombang yang sangat halus bagaikan sutera,kulitnyapun tak kalah
halusnya sepertu buah peach dan dia tampak sangat serasi, bergelayut
manja di lengan Damian dengan tatapan memuja.
Apakah Damian juga akan melecehkan Shanon seperti
melecehkanku? Apa yang akan dilakukan Shanon jika dia mengetahu semua
ini? Tidak, apa yang akan dikatakan semua orang?
Serena mengernyit melihat bekas bekas ciuman memerah
di pundak dan sekitar buah dadanya. Damian lelaki yang suka meninggalkan
tanda. Seperti singa
jantan yang menandai betinanya, Serena tahu lelaki itu sengaja meninggalkan
Astaga...apa yang telah kulakukan ya Tuhan? Apakah
aku sudah melakukan keputusan yang paling benar? Serena sudah tidak
dapat menangis lagi, air matanya sudah habis dan hatinya sekarang terasa
amat hampa.
Dengan pelan Serena meraih handuk dan mengeringkan
tubuhnya lalu meraih jubah mandi yang tadi ditemukannya tergeletak di
karpet, sepertinya Damian semalam melemparkannya ke lantai.
Dengan langkah pelan Serena keluar dari kamar mandi, bingung mau berbuat apa, dan bertanya-tanya dimanakah pakaiannya sekarang?
Tatapannya menuju ke arah sofa, di situ ada kemasan
pakaian. Serena melangkah dan mengambil kemasan itu, ya, ini pakaian
wanita, masih baru, dari butik ternama lengkap dengan pakaian
dalamnya...Apakah ini untuknya? Serena memegang kemasan itu dengan ragu.
Tapi dia juga tak mungkin memakai jubah mandi dalam kondisi telanjang seharian kan?
Dengan hati-hati Serena membuka kemasan
itu, sebuah gaun santai berwarna merah muda dari bahan yang sangat
halus, apakah ini sutra? Dan pakaian dalam senada, Serena melihat
ukurannya dan semuanya pas, Damiankah yang memesaannya?
Dengan gerakan pelan dan tanpa menimbulkan suara
Serena memakai pakaian itu, gaunnya terasa sangat nyaman menempel
ditubuhnya, sebuah gaun santai satu potong sepanjang bawah lutut yang
sangat elegan.
Setelah itu selama beberapa lama Serena berdiri ditengah kamar itu tanpa berbuat apa-apa.
Pandangannya mengarah ke arah ranjang yang seperti habis diserang badai,
Dan tubuh Damian terbaring disana, punggungnya tampak kecokelatan terlihat di balik selimut kamar yang putih bersih.
Lelaki itu berbaring tengkurap salah satu lengan membingkai kepalanya, dan tubuhnya diam tak bergerak,
Kepalanya terbaring miring di atas bantal. Serena
mendekat pelan kesisi ranjang tempat Damian berbaring, wajahnya tampak
damai sekali, kalau sedang tidur, dia tak tampak berbahaya.
Serena melirik ke arah jam dinding, satu jam lagi,
seperti yang dikatakan oleh Damian tadi, dia ada janji dengan
pengacaranya....haruskah Serena membangunkannya? Tapi bagaimana nanti
kalau Damian marah dan menuduhnya berani mengganggunya karena ingin
segera mendapatkan uang pembayaran? Bukannya Serena tidak ingin segera
mendapatkan uang itu, Semakin cepat dia bisa membayar ke rumah sakit,
semakin cepat Rafi bisa dioperasi. Tetapi Damian sudah cukup banyak
memandang rendah dan melecehkannya...
Tubuh Damian bergerak dan mata biru yang tajam itu
terbuka,langsung menatap Serena. Meski baru bangun tidur, rupanya Damian
tipe lelaki yang langsung terjaga sepenuhnya detik itu juga.
Matanya langsung menelusuri tubuh Serena dari atas ke
bawah tanpa satu incipun terlewatkan, tersenyum puas melihat penampilan
Serena dengan baju barunya.
"Ternyata pilihanku tepat", desisnya parau sambil mengangkat telephone.
Telephone itu dari pengacaranya. Damian menyuruh Pengacara itu menunggu di restoran hotel satu jam lagi.
Ketika Damian meletakkan telephonnya, Serena masih berdiri diam di tempatnya semula, tak tahu musti mengatakan apa.
"Pengacara akan datang sejam lagi", dengan santai
Damian berdiri dari ranjang, tak peduli dengan ketelanjangan tubuhnya,
dan mengangkat alis tersenyum melihat Serena memalingkan muka.
Dengan sengaja dia mendekat berdiri di depan Serena dan mengangkat dagu Serena agar menghadapnya,
"Kenapa manis? Kau malu melihatku telanjang? Bukankah kita sudah menghabiskan waktu berjam-jam telanjang bersama?"
Wajah Serena merah padam, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Damian mendengus lalu melepaskan Serena dan melangkah ke kamar mandi.
"Bagus kau sudah siap. Aku akan mandi setelah itu kita
sarapan, lalu kita akan tandatangani kontrak perjanjian, setelah itu
kau akan mendapatkan uangmu"
***
Serena mengaduk-aduk supnya dengan
pikiran menerawang, dia memikirkan Rafi, kemarin sore dia
meninggalkannya dan menitipkannya pada suster Ana, sore ini dia harus
menjenguknya. Bagaimana kondisi Rafi? dia habis mengalami serangan,
bagaimana kalau dia mengalami serangan lagi?
Damian menatap Serena dari seberang meja, apa yang
dipikirkan gadis itu? Kenapa dia tampak begitu tidak bahagia? Bukankah
dia baru saja mendapatkan uang dalam jumlah banyak yang bebas
digunakannya melakukan apapun?
Ataukah dia menyesal sudah menyerahkan diri padaku???
Pikiran buruk itu tiba- tiba menyergap otaknya. Dalam Kapasitas apa dia
menyesali sudah menyerahkan diri padaku?
Damian menggertakkan giginya, seharusnya wanita ini
Bangga, aku, Damian Marcuss, orang yang sangat kaya dan berasal dari
keturunan keluarga kaya terpandang di negaranya, yang bisa mendapatkan
wanita manapun yang dia mau, bersedia menidurinya!
Damian memikirkan semua keputusannya semalam. Ternyata
ini bukan obsesi mau pun kegilaan sesaat, ternyata bahkan setelah
percintaan marathon mereka semalam dan tadi pagi, dirinya masih
menginginkan Serena. Amat sangat menginginkannya malahan, Setelah
hasratnya terpuaskan pada tubuh Serena, bukannya semakin reda dia malahn
makin ingin dan ingin lagi, gadis itu begitu polos tapi menggairahkan
dan di dalam otaknya ini penuh dengan hasrat untuk mengajari gadis itu
bagaimana cara memuaskannya.
Dengan kesal dia mengutuk pemikirannya itu, apakah aku sudah menjadi seorang maniak seks?
Damian memikirkan jeda sejenak tadi, ketika dia
menghubungi Ferdy pengacara kepercayaannya dan menyatakan niatnya serta
minta dibuatkan draft surat perjanjiaannya. Ferdy adalah pengacara
kepercayaannya sejak dulu, sekaligus sahabatnya.
Lelaki indonesia ini telah menempuh pendidikan hukum
di Jerman, dan disanalah mereka berkenalan. Beberapa tahun kemudian,
setelah Ferdy pulang ke indonesia, dia membangun karir menjadi pengacara
yang hebat. Dan ketika
Damian memutuskan memimpin cabang di indonesia, mereka bertemu lagi, lalu menjalin kerjasama kerja sekaligus persahabatan.
Damian tahu Ferdy tidak akan bertanya apapun yang
tidak perlu tentang keputusannya. Lelaki itu sudah terbiasa dengan
keputusan dan rencana-rencana bisnis Damian yang ekstrim.
Tetapi saat Damian membicarakan hal tersebut, ada kecemasan dalam suara Ferdy,
"Kau yakin? Ini memang surat jual beli, tapi ini
ekstrin Damian, jual beli manusia, jual beli pelayanan seks. kau bisa
dibilang melanggar hukum malahan kalau suatu saat nanti terjadi masalah,
apalagi mengingat kau warga negara asing"
Damian tersenyum, Serena tidak akan berpikir sejauh
itu, bukannya gadis itu bodoh, tapi dia terlalu polos, entah kenapa
Damian percaya bahwa Serena akan menepati janjinya.
"Buat saja Ferdy, selanjutnya biar aku yang menanggung", gumamnya yakin.
Ferdy tidak mengatakan apa-apa lagi,
tetapi Damian yakin lelaki itu menunggu sampai mereka bertatap muka baru
dia akan mengajukan pertanyaan mendetail. Ferdy adalah lelaki yang
sangat analisis, Damian menahan senyumnya.
Pikirannya kembali ke masa sekarang, dan menatap Serena yang seolah tidak selera makan,
"Kenapa kau tidak memakan makananmu?", desis Damian,
hanya sebuah desisan dan Serena terlonjak kaget, apakah dia sebegitu
menakutkannya bagi Serena.
"Mr. Damian", Serena menyebutkan nama Damian dengan
pelan, di telinga Damian suaranya terdengar begitu merdu bagaikan ajakan
bercinta."
"Sesuai perjanjian kemarin, aku akan selalu ada
kapanpun kamu membutuhkanku", pipi Serena bersemu merah mengingat arti
dari kata, "Aku...bolehkah aku meminta waktu untuk diriku sendiri setiap
harinya dari jam pulang kantor sampai jam sembilan malam?", suara
Serena terdengar tertelan dan takut-takut.
Damian mengerutkan keningnya, sebenarnya itu bukan
masalah, Damian terbiasa bekerja sampai larut malam, biasanya jam
sepuluh atau sebelas malam dia baru sampai di rumah,
"Bukan masalah, aku selalu pulang larut malam",
Damian berdehem, "tempat tinggalmu sekarang, apakah memperbolehkan
lelaki masuk?",
Serena mengernyitkan kening,
"itu tempat kost perempuan satu kamar milik sebuah keluarga, tentu saja kau boleh masuk, ada ruang tamu yang disediakan"
"Ruang tamu?", Damian mengangkat alis penuh arti dengan tatapan sedemikian rupa
"Oh", pipi Serena bersemu dan tak berani menatap Damian ketika menyadari arti tatapannya.
"Aku tak mungkin bukan 'berkunjung' setiap malam ke tempatmu?", tatapannya tampak menahan senyum.
Dan Serena menyadari kebenaran kata-kata
Damian, tempat kostnya hanyalah sebuah kamar sederhana seadanya yang
penting bisa tidur setiap malam. Bukan level Damian untuk berada di
sana, Serena melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling ruangan.
"Aku tak mungkin membawamu setiap malam ke hotel,
karena jam pulang kerjaku yang tak tentu, tidak mungkin pula menyuruhmu
stand by di hotel setiap harinya", Damian merenung, "Tak mungkin juga
membawamu tinggal di rumahku, kalau sampai ada orang yang tahu bisa
berbahaya buatmu juga",
Dengan santai Damian menyesap kopinya, "Oke, nanti
siang setelah bertemu dengan pengacaraku, kita cari apartement di dekat
kantor"
Serena hampir menyemburkan teh yang disesapnya mendengarnya, lelaki ini bercanda?
Apartemen? Di dekat kantor? Kantor mereka berada di
kompleks perkantoran dan bisnis yang mewah, apartmen pun pasti juga
kelas atas dan mahal, bagaimana lelaki itu bisa mengatakan tentang
mencari apartemen semudah itu?
Damian sepertinya mengetahui pemikiran Serena,
"Lebih mudah bagiku Serena, aku biasanya capek dan bertemperamen buruk setelah bekerja, aku tak mau repot-repot menjemput atau tetek bengek reservasi hotel jika malam-malam tiba-tiba aku menginginkan bersamamu",
Damian tersenyum," apartemen akan memudahkan kita, bukan berarti aku akan mengunjungimu setiap malam", tambahnya cepat.
Serena mengangguk gugup, yah, dia kan hanya mahluk yang sudah dibeli, dia hanya bisa menuruti apapun kemauan Damian.
Setelah menghabiskan kopinya Damian melirik jam tangannya,
"Well, pengacaraku pasti sudah menunggu di bawah, enjoy your time, aku akan menemuinya sebentar",
dengan santai lelaki itu berdiri, lalu tanpa diduga-duga
menarik Serena berdiri, mendorongnya ke tembok lalu menciumnya dengan
penuh gairah, lama dan hangat dengan teknik yang sangat ahli, sehingga
ketika dia melepas ciumannya, Serena hampir tak bisa berdiri membuat
Damian musti menahan tubuhnya, dengan lembut lelaki itu mendudukkan
Serena di kursi,
"Sebenarnya sudah sejak tadi aku ingin melakukan itu", gumamnya dalam senyum puas sebelum pergi meninggalkan Serena.
***
"Kau benar-benar serius tentang ini Damian?", Freddy bertanya saat Damian mempelajari salinan kontrak itu,
Damian mengangkat matanya dan menatap Freddy, lalu menunjukkan kontrak itu,
"Kau pikir aku tidak serius? Perjanjian ini senilai tiga ratus juta man!"
"Aku tak habis pikir, kenapa seseorang sepertimu yang
bisa mendapatkan wanita manapun yang kau mau, melakukan hal seperti ini
demi seorang wanita? Wanita yang sangat murahan dan materialistis
sehingga terang-terangan menjual dirinya padamu demi uang? Apa yang ada dipikiranmu Bos?"
Kening Damian berkerut tidak suka mendengar kata-kata Freddy, meskipun dia tahu itu semua benar.
"Kau tahu bagaimana rasanya ketika melihat seorang perempuan, dan tiba-tiba
seluruh tubuhmu menginginkannya?", Damian tersenyum melihat ekspresi
skeptis Freddy, tentu saja Freddy tidak tahu, dia sendiri merasa aneh
dengan
perasaannya, "Yang pasti aku menginginkannya, dan aku masih belum bosan, tiga ratus juta tak ada artinya buatku"
"Tapi kau orang yang sangat pembosan, seminggu lagi kau pasti akan mencampakkannya, dan menyesali kontrak ini"
"Dan aku tetap akan merasa puas karena setidaknya aku tidak penasaran lagi", jawab Damian yakin.
Freddy mengangkat bahu,
"Aku tetap tidak setuju, tapi ini semua keputusanmu,
serahkan kontrak pada wanita itu, pastikan dia tandatangan, beri
salinannya, lalu serahkan yang asli padaku",
Freddy menyandarkan tubuhnya dikursi, "Miss. Serena ini, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?"
Damian menggeleng,
"Dia hanya pegawai biasa, seorang supervisor lapangan, kau tidak mungkin pernah melihatnya", jawabnya tegas.
"Apakah dia gadis mungil dengan rambut sebahu dan
wajah polos dan tatapan seperti anak kecil yang ada di area pameran
mendampingi bosnya yang penjilat waktu itu?"
Damian langsung bersiaga, Kenapa Freddy ingat pada
Serena? Apakah Freddy juga memperhatikan Serena? Apakah dia juga
tertarik padanya?Insting posesifnya langsung menyeruak keluar,
Freddy tertawa melihat tatapan tajam Damian,
"Hey hey jangan menatapku seperti itu, aku memperhatikannya karena waktu itu kau memandangnya dengan begitu intens, tatapanmu seolah-olah tak bisa lepas darinya, seperti pemburu yang ingin melahap mangsanya",
Fredy mengangkat bahu,
"Orang lain mungkin tak akan menyadarinya, tapi aku
sudah mengenalmu sejak lama, dan aku tahu betapa intensnya kau jika
sudah berkonsentrasi pada satu hal, malam itu kau kehilangan
konsentrasimu, gadis itu menarik seluruh perhatianmu, kau sulit
berkonsentrasi pada hal lain selain itu",
Freddy menarik napas panjang, "Well jika dengan gadis yang sama ini kau terlibat, semoga Tuhan memberkatimu sahabatku."
***
Semua terjadi begitu cepat, Damian langsung
mendapatkan apartemen yang diinginkannya, sebuah apartemen yang sangat
mewah dengan privasi yang sangat terjamin, Serena tidak berani
membayangkan berapa harganya, tapi Damian bersikap sangat santai,
katanya itu semua hanyalah investasi.
Dengan sangat efisien Damian membantu Serena
membereskan barang- barangnya yang tentu saja tidak banyak, untuk
dipindahkan ke aprtement, lalu menyelesaikan pembayaran kost dan
sekaligus berpamitan dengan induk semangnya.
Mereka berdua berdiri di tengah ruang tamu apartemen
yang sangat mewah itu, Damian tersenyum pada Serena yang berdiri kaku di
tengah ruangan,
"Well anggap saja ini rumahmu sendiri", dia lalu
melirik jam tangannya, "Aku harus kembali rumahku, pengurus rumah
tanggaku pasti bertanya-tanya apa yang kulakukan sampai aku
tidak memberi kabar, dia akan kebingungan menjawab telepon yang masuk,
kau, silahkan atur apartemen ini sesuai seleramu, jika ada yang kurang
ata kau ingin menambah sesuatu, bilang saja"
Serena memandang sekeliling apartemen yang penuh
dengan interior mewah dan elegan itu, penataannya saja terlalu mewah dan
mungkin berlebihan untuknya, tidak, dia mau mengganti apalagi?
"Sementara kau pergi,,,,bolehkah aku keluar sebentar? Kau ingat? Sedikit waktu untuk diriku sendiri seperti yang kaujanjikan?"
Damian mengangkat bahu,
"Silahkan", dia mengeluarkan dompetnya,"Kau butuh uang?",
"Tidak...!", Serena menjawab tegas, uang Tiga ratus
juta yang ditransfer Damian tadi siang sudah lebih dari cukup, dia tidak
butuh uang apa-apa lagi dari lelaki itu,
Damian sepertinya bisa membaca pikiran Serena,
"Uang yang kuberi tadi, itu murni untukmu silahkan kau gunakan sesuka hatimu, tetapi untuk sehari-hari, aku sudah berjanji akan membiayaimu, ingat kan penawaranku di ruangan kerjaku dulu?",
Damian mengeluarkan kartu berwarna keemasan dari dompetnya,
"Ini kartu debit, isinya lebih dari cukup jika kau
ingin membeli sepuluh mobil sekalipun", dia lalu menyebutkan nomor PIN
nya dan menyuruh Serena mengingatnya baik-baik. Serena sebenarnya ingin menolaknya, tapi dia tak ingin berlama-lama
berdebat dengan Damian disini, lagipula dia tinggal menyimpannya di
dompet dan tak akan pernah memakainya, toh Damian tidak akan tahu.
Damian memakai jasnya , puas karena Serena menerima
kartu debitnya, "Kita akan buat kartu kredit atas namamu besok. Nanti
malam, kalau tak ada urusan aku akan kesini", Tatapan Damian ketika
mengucapkan ‘nanti malam’ begitu intens, membuat pipi Serena memerah.
Sepeninggal Damian, Serena segera memakai jaket,
membawa tas tangannya dan melangkah pergi, lobyy apartemen yang begitu
mewah itu benar-benar membuatnya minder, apalagi penjaga pintu menyapanya dengan begitu penuh hormat ketika dia melangkah keluar,
"Anda ingin dipanggilkan taxi, miss?", sapanya dengan sopan.
Serena cepat-cepat menggeleng, tidak mungkin kan dia bilang kalau dia mau menunggu kendaraan umum di depan perempatan sana?
"Tidak", jawabnya," saya menunggu jemputan, di depan", gumamnya singkat, lalu sebelum penjaga pintu itu bertanya-tanya lagi, Serena segera mengangguk sopan dan melangkah pergi.
Perjalanan ke rumah sakit tidak berlangsung lama, mungkin karena hari minggu jadi jalanan tidak begitu macet,
Serena berpapasan dengan suster Ana ketika dia hendak memasuki ruangan perawatan Rafi,
"Kau tidak apa-apa Serena?", kau kelihatan pucat,
Serena meraba pipinya, benarkah? Apakah dia tampak berbeda sekarang?
Setelah dia menyerahkan.....
"Aku,,, aku mencari uang untuk biaya operasi Rafi", gumamnya gugup,
Suster Ana menatap Serena sedih,
"Serena uang tiga ratus juta itu sangat banyak, aku
juga tahu kalau kau masih menanggung hutang di perusahaan sebanyak empat
puluh juta, begini nak, aku punya simpanan sekitar lima puluh juta,
mungkin itu bisa membantu, dan kalau aku bisa menaruh surat tanahku di
bank untuk mengajukan pinjaman, mungkin kita bisa mendapat beberapa
tambahan...."
"Suster, saya sudah mendapatkan uangnya", Serena bergumam lemah,
"Apa?....Sudah mendapatkan uangnya? Apa maksudmu nak? Darimana....?", kata-katanya langsung terhenti melihat Serena mulai menangis,
"Ada apa nak? Ceritakan padaku jika itu bisa membantu, mungkin itu bisa membuatmu lega",
"Mungkin setelah ini suster akan jijik pada saya", Serena terisak pelan.
Suster Ana mengelus rambut Serena dengan lembut,
"Tidak akan anakku, aku menyayangimu seperti anakku sendiri, dan seorang ibu pasti akan menerima anaknya apa adanya"
Serena menarik napas panjang, dia memang sangat
membutuhkan tempat untuk berbagi cerita, dan amat sangat bersyukur ada
Suster Ana yang mau mendengarkannya, lalu meluncurlah cerita itu dari
bibirnya,
"Aku tidak menyalahkanmu Serena, yang aku tidak habis
pikir, betapa bejatnya bosmu itu memanfaatkan kondisimu untuk kepuasan
dirinya!", geram Suster Ana.
Serena buru-buru mencegah kemarahan suster Ana,
"Bukan suster, sampai sekarang Mr. Damian tidak tahu
kalau aku memerlukan uang itu untuk biaya perawatan Rafi, dia mengira
aku perempuan muda dengan gaya hidup berfoya-foya yang punya banyak hutang karena gaya hidupku, jadi dia tidak segan-segan mengambil atas pembayarannya"
Suster Ana mengerutkan keningnya,
"Kenapa kau tidak mengatakannya Serena? setidaknya dia bisa lebih menghargaimu jika tahu alasanmu yang sebenarnya",
Serena menggelengkan kepalanya,
"Tidak suster, aku tidak mau Mr. Damian mengetahui
tentang Rafi, lelaki itu tidak mudah ditebak, tidak tahu apa yang akan
dilakukannya jika tahu tentang Rafi nanti",
Suster Ana menarik napas,
"Setidaknya dia tidak brengsek seperti lelaki hidung belang yang mungkin nantinya akan menjerumuskanmu", tiba-tiba tatapan suster Ana berubah intens dan hati-hati,
"Apakah dia berbuat kasar atau tidak Serena?"
Serena saat itu sedang melamun sehingga tidak menyadari maksud kata-kata Suster Ana,
"Eh? Apa Suster?"
Suster Ana tampak salah tingkah,
"Apakah dia bertindak kasar semalam Serena?, maksudku
itu kan pertama kalinya, kebanyakan wanita akan merasa tidak nyaman,
apalagi jika pasangannya bertindak kasar",
Wajah Serena langsung merah padam,
"Tidak, Mr. Damian tidak kasar....Oh Tuhan!", Serena
menutup mukanya dengan kedua tangannya,"Aku malu sekali suster, tiap
kali aku memandang diriku di cermin aku merasa seperti perempuan yang
sangat tidak berharga."
Suster Ana menepuk pundak Serena lembut, menenangkannya,
"Serena, kita semua tahu alasanmu melakukan ini, aku
sendiri dapat mengerti dan menerimanya, pengorbananmu demi Rafi sudah
luar biasa besarnya, aku yakin Tuhan pasti akan mengerti", tiba-tiba
wajahnya berubah profesional, "Serena aku yakin, Mr. Damian ini akan
'mengunjungimu' secara berkala bukan? Mungkin pertanyaan ini
mengganggumu, tapi aku harus bertanya,apakah kemarin dia menggunakan
pengaman?",
Serena memandang Suster Ana dengan bodoh,
"Pengaman?"
Barulah ketika Suster Ana menatapnya dengan intens dan penuh arti, Serena menangkap maksudnya, wajahnya memerah lagi,
"Oh, itu...", suara Serena hilang, "kemarin dia memakainya"
Suster Ana berdehem,
"Baik, kalau begitu dia lelaki yang cukup bertanggung jawab, bagaimana kondisi tubuhmu sayang?",
"Eh, aku baik-baik saja Suster"
"Kalau begitu mari kita bicarakan tentang kontrasepsi, kau juga perlu membicarakan ini dengan Mr. Damian "
***
Serena meletakkan barang belanjaannya di meja dapur, tadi dia mampir sebentar ke supermarket untuk membeli bahan makanan.
Kondisi Rafi baik-baik saja dan cukup
stabil, itu sudah membuatnya cukup tenang, Operasi sudah dijadwalkan
1minggu lagi, Sekarang Serena hanya bisa berdoa dan menyerahkan semuanya
pada Tuhan,
Dengan ragu, Serena memandang sekeliling apartemen,
lalu menarik napas panjang, semua ini terlalu mewah, terlalu berlebihan
untuknya tinggal seorang diri di tempat seluas dan semewah ini, tadi dia
menyempatkan diri mengatur pakaiannya yang sedikit, sehingga hanya
memerlukan waktu sebentar, setelah itu dia sempat terdiam lama bingung
mau berbuat apa, apalagi ditempat yang luas begini, suasana terasa
sangat lengang dan sendirian. Baru kemudian Serena menyadari bahwa dia
belum sempat sarapan sejak tadi pagi, jadi dia memutuskan memasak makan
malamnya.
Setelah mengatur belanjaannya yang sedikit itu di
dalam lemari es raksasa, sehingga tampak menggelikan karena lemari itu
terlihat kosong,
Serena mengeluarkan beberapa butir telur, sedikit
sosis dan sayuran, dikocoknya dengan pelan sambil berdendang, lalu
dituangnya adonan omelet sederhana ini ke wajan mungil yang sudah diberi
mentega.
Aroma harum telur menyeruak ke seluruh dapur,
"Baunya enak sekali"
Suara itu terdengar begitu tiba-tiba, tak disangka dan sangat menegejutkan sehingga Serena hampir menjatuhkan mangkuk bekas adonan telurnya,
Dengan gugup dia menoleh ke pintu dapur, Damian bersandar di sana, mengenakan baju santai dan tampaknya habis mandi,
"I,,,iya, aku memasak makan malamku", jawabnya gugup lalu memusatkan perhatiannya lagi ke telurnya.
Damian melangkah dengan santai masuk ke dapur, tak
mempedulikan kegugupan Serena, dia berdiri dekat di belakang Serena,
lalu menengok penggorengan,
"Apa itu?", tanyanya tertarik melihat masakan Serena.
"Eh, ini? Ini telur goreng kuberi campuran sosis dan sayuran", Serena berusaha bertingkah wajar,
"Seperti omelet?", kali ini Damian tampak benar-benar tertarik,
"Ya seperti itu, tapi ini lebih sederhana. Serena
menjawab sambil melirik ke ekspresi Damian, baru sekarang Serena sadar,
ternyata lelaki ini tertarik pada hal-hal baru yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.
"Buatkan aku satu ya"
Serena menoleh mendengar permintaan Damian,
"Memangnya kamu mau?", tanyanya ragu.
Lelaki itu mengangkat bahunya,
"Siapa tahu? Lagipula aku lapar sekali, setelah
menyelesaijan urusan rumah, aku langsung kemari, kau kan masih
penyesuaian diri disini, jadi aku ingin melihat kondisimu."
Dasar perayu ulung, Serena memaki dalam hati, orang seperti Damian tidak segan-segan memanipulasi pikiran perempuan agar mau melakukan apapun yang dia inginkan, pura-pura mengkuatirkanku, huh!
Damian masih berdiri di belakangnya, napasnya terasa hangat di ubun-ubunnya karena Damian memang jauh lebih tinggi dibanding Serena, tiba-tiba
saja, tangan lelaki itu ,mencengkeram pundak Serena mendekatkannya ke
belakang, kepalanya turun dan bibirnya mengecup leher Serena dari
samping dengan
kecupan selembut bulu dan panas, sehingga tubuh Serena bagaikan disetrum dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Aku menunggu di sofa ya, kita makan disana saja",
gumam Damian pelan, lalu melangkah pergi meninggalkan Serena di dapur,
yang mencoba menetralkan nafasnya.
***
Lelaki itu makan seperti biasa, dengan elegan.
Sedangkan Serena tidak bisa berkonsentrasi pada makanannya, dia tidak
bisa mengalihkan tatapannya dari Damian.
Ternyata Damian suka masakan biasa, dari penampilan
dan gayanya, kelihatannya lelaki itu hanya mau makan makanan tertentu
dan yang pasti kelas atas, tak disangka dia bisa duduk santai di sofa
menikmati sepiring omelet sederhana.
"Kenapa?", Damian tiba-tiba menatap tajam setelah suapan terahkirnya, dia merasakan tatapan Serena selama dia makan,
Serena langsung menundukkan kepalanya gugup,
"Eh....tidak, tidak apa-apa."
Damian tersenyum,
"Pasti kau heran kenapa aku mau makanan rumahan kan?",
Dia lalu meletakkan piringnya, "Aku juga manusia
Serena, kita tidak ada bedanya, kadangkala penampilan seseorang membuat
kita berpikir bahwa manusia yang satu berbeda dengan yang lain",
Damian mengangkat bahunya, "kuakui memang aku
menyukai makanan berkualitas dan bercitarasa tinggi, tapi kadangkala,
aku bosan, masakan sederhana buatan sendiri terasa lebih nikmat",
Dengan santai lelaki itu berdiri lalu menuang kopi dari poci di atas meja minuman, dan menyesapnya ringan.
"Dan suka minum kopi",
Tanpa sadar Serena mengomentari kebiasaan Damian, sejak kemarin, diamatinya Damian selalu meminum kopi setiap ada kesempatan.
Lelaki itu tertawa mendengar komentar Serena,
"Ya, kopi berkualiatas juga", gumamnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Serena menunduk, entah kenapa Damian yang santai dan
ramah ini lebih membuatnya merasa nyaman, dibandingkan Damian yang kaku
dan dingin di kantor,
"Habiskan makananmu, setelah itu kita pindah ke ruang
baca, kau bisa membaca atau melihat televisi, ada beberapa pekerjaan
lagi yang musti kubereskan.
Serena segera menyelesaikan makannya dan mencuci
piring sementara Damian membuat secangkir kopi lagi, sekaligus secangkir
teh untuk Serena,dan membawanya ke ruang baca,
Dengan enggan Serena menyusul ke ruang baca, Damian
sedang duduk di sofa, menghadap notebooknya dan tampak Serius, dia hanya
melihat sekilas pada Serena,
"Duduklah, minum tehmu", gumamnya, lalu kembali serius lagi menghadap notebooknya.
Serena sebenarnya mengantuk, tapi dia tidak enak kalau
harus masuk kamar duluan, apalagi apartemen ini hanya mempunyai satu
kamar yang luas, kamar lain hanya kecil dan diperuntukkan sebagai kamar
pembantu, Serena tidak tahu, apakah Damian akan menginap ataupun pulang,
dia sama sekali tidak mengatakan rencananya.
Serena menghirup tehnya, lalu duduk di sofa di
seberang Damian, dia mengambil sebuah majalah dan membacanya sambil
menenggelamkan tubuhnya di sofa.
Bacaan itu menarik, dan keheningan itu membuatnya merasa nyaman, hingga lama-lama dia tak bisa menahan kantuknya.
***
Serena merasa ada yang mengusap lembut rambutnya, lalu tubuhnya terangkat dan terasa dipeluk hangat, dia merasakan tubuhnya terayun-ayun.
Ketika dia membuka matanya yang berat, dia menyadari Damian sedang
menggendongnya ke kamar, lelaki itu tak menyadari Serena membuka
matanya, dengan langkah pelan dan hati-hati, dia berjalan ke arah kamar,
Serena langsung pura-pura memejamkan matanya lagi begitu Damian dengan lembut membaringkan tubuhnya di ranjang dan menyelimutinya.
Setelah itu tak ada gerakan, tetapi Serena masih belum berani membuka matanya, Apakah Damian memutuskan pulang atau tinggal?
Lalu ada gerakan di ranjang di belakangnya, ternyata
lelaki itu menginap disini, Serena menyadari dari selimut yang
tersingkap dan gerakan tubuh lelaki itu menyelinap di balik selimut,
Kemudian, tubuh hangat Damian mendekat dan merengkuh
Serena dari belakang, Pertama kali Serena merasa tidak nyaman, tapi
kemudian rasanya hangat ditengah kamar yang dingin itu, dan dia
terlelap.
***
Serena terbangun dengan rasa haus yang amat sangat,
biasanya sebelum tidur dia meminum air putih, tapi tadi malam dia tidak
melakukannya.
Dengan tak nyaman dia bergerak gerak gelisah,
"Ada apa Serena?", sosok yang memeluknya dari belakang bertanya, suaranya sangat segar,
Tidakkah dia tidur? Gumam Serena dalam hati,
"Haus", ahkirnya Serena bisa bersuara meskipun parau.
Damian langsung bergerak turun dari ranjang dan
menuang segelas air di meja minum, lalu mengitari ranjang berdiri di
samping sisi Serena terbaring, lelaki itu tampak tinggi menjulang, hanya
menggunakan celana piyama sutra hitam dan telanjang dada,
"Duduk, minum."
Dengan pelan Serena duduk dan menerima gelas besar
berisi air putih itu, masih setengah minuman tersisa, Damian mengambil
gelas itu,
"Apakah kau sudah bangun?", Serena mengernyit karena suara Damian sekarang menjadi parau.
Dengan masih bingung dia menganggukkan kepalanya,
"Bagus", Damian menenggak sisa air putih di gelas Serena sampai tandas lalu setengah membantingnya di meja samping ranjang.
Kemudian dengan gerakan tiba-tiba, dia
mendorong Serena hingga terbaring di ranjang dan menindihnya, napasnya
terasa hangat di atas tubuh Serena, dan mata birunya tampak berkabut
dengan pupil yang mengecil sehingga tampak hitam, di tengah-tengah mata birunya.
Serena agak terperanjat setengah membelalak memandang wajah Damian yang sangat dekat di atasnya, napasnya terangah-engah
penuh antisipasi, ketika kemudian Damian mengecup bibirnya dengan
sangat intim, semula hanya ciuman biasa, bibir dengan bibir, itupun
sudah membuat Serena panas dingin karena begitu ahlinya Damian.
Menggerakkan bibirnya, Setelah sebuah ciuman yang lama
dan panas Damian mengangkat wajahnya dan tersenyum,Serena bisa
merasakannya karena bibir Damian hanya berjarak beberapa inci dari
bibirnya,
"Kau tidak biasa berciuman ya?"
Serena memalingkan mukanya dengan pipi memerah mendengar pertanyaan blak-blakan itu, tapi Damian meraih dagunya dan menempelkan bibir mereka lagi,
"Tirulah apa yang kulakukan padamu", bibir Damian
bergerak di bibir Serena, dan ketika Serena mengikutinya, Damian
mengerang senang, "ya...ya bagus, begitu....tidak,,,jangan
gigit....bagus...bagus....buka mulutmu....ah sayang.....",
Damian terus memberikan instruksi di sela sela
ciumannya yang makin panas dan bergairah, dan Serena menurutinya, lebih
dikarenakan ingin tahu, ketika Damian membuka mulutnya Serena
mengikutinya,ketika lumatan Damian makin dalam dan belaian lidahnya
membelai Serena dengan ahli, Serena mengikutinya dengan tersendat-sendat,
meskipun sepertinya itu cukup memuaskan bagi Damian karena lelaki itu
mengerang lagi dan memperdalam ciumannya, ciuman dengan bibir terbuka
dan permainan lidah yang begitu panas dan seolah tidak akan berahkir,
Serena bahkan tidak pernah menyadari bahwa sebuah ciuman bisa dilakukan
dengan sedalam dan seintim itu!
Lama kemudian Damian mengangkat kepalanya, hanya
sedikit seolah olah ingin tetap berdekatan dengan Serena, matanya tampak
berkabut dan napasnya terasa bergemuruh di dadanya,
"Itu tadi yang namanya french kiss...",gumamnya
lembut, lalu tangannya mulai bergerak dengan ahli membuat Serena
melengkungkan punggungnya merasakan sengatan kenikmatan yang tidak
diantisipasinya,
Tubuh telanjang mereka berdua bergesekan. Dengan
lembut Damian mengajari Serena bagaimana cara menyentuhnya, bagaimana
cara memuaskannya. Lelaki itu suka disentuh dimana-mana, dia akan mengeluarkan erangan pendek tertahan ketika Serena menyentuhnya.
Dan itu mempesona Serena, seorang lelaki yang begitu
dominan dan jantan seperti Damien, mengerang nikmat di bawah
sentuhannya. Dengan takut-takut Serena menyusuri bagian dalam lengan Damian yang kekar, membuat napas Damian terengah,
“Kau akan membunuhku dalam kenikmatan”, bisik Damian
Serak, lalu melumat bibir Serena penuh gairah, “Dan aku akan mati
bahagia”, desahnya.
Damian menyatukan dirinya dengan lembut, melihat
reaksi Serena, dan ketika dia yakin tidak ada kesakitan lagi, dia
mendesak perlahan, menembus kehangatan yang langsung membungkusnya
rapat, membuatnya tergila-gila.
"Bagus sayang, jangan ditahan, aku akan mengajarimu....ah...kau begitu hangat dan siap untukku...."
Suara Damian tenggelam di sela sela cumbuannya yang
sangat ahli, menghanyutkan Serena kedalam pusaran gairah yang selama ini
tidak pernah dikenalnya. Dan ketika Damian membuat Serena mencapai
puncak kenikmatan untuk kesekian kalinya. Lelaki itupun menyerah dalam
beberapa hujaman tajam, mengejar kenikmatannya sendiri.
***
Serena terbangun merasakan sinar matahari menerpanya, dia mengernyitkan alisnya dan membuka matanya pelan-pelan,
Sinar matahari memang sudah mengintip malu malu dari balik gorden
jendela balkon kamar apartemen itu, Serena menyadari ada tangan kekar
yang memeluk perutnya dengan posesif, Damian masih tidur, napasnya
terasa naik turun dengan teratur di punggung Serena. Mereka berbaring
miring seperti sendok dan garpu, dengan Serena membelakangi Damian
berbantalkan salah satu lengan Damian, sementara lengannya yang lain
memeluk Serena erat, menempelkan punggung Serena sedekat mungkin dengan
dadanya.
Mereka telanjang, dan selimut tebal yang seharusnya
menyelimuti mereka sudah tertendang oleh Damian entah kemana, Seharusnya
Serena kedinginan, tapi tidak, karena Damian memeluknya dengan begitu
eratnya,
nyaman dalam pelukan laki-laki yang membelinya sementara Rafi.....
Helaan napas Serena pasti membangunkan Damian karena
lelaki itu terasa mulai bergerak, lalu sebuah kecupan lembut mendarat di
pelipis Serena,
"Selamat pagi", suara lelaki itu terdengar serak tapi
sarat dengan kepuasan sensual yang dalam. Tentu saja lelaki itu puas,
dia hampir tidak membiarkan Serena tidur semalaman.
Serena tidak menjawab, tetapi berusaha menarik selimut yang terlempar jauh di kakinya untuk menutupi ketelanjangannya.
Usahanya gagal karena Damian mempererat pelukannya di pinggangnya sehingga Serena tidak bisa bergerak,
"Tidak perlu selimut sayang, aku sudah mengenal setiap
jengkal tubuhmu secara intim, tak ada yang terlewatkan....begitu juga
sebaliknya hmmm?"
Wajah Serena memerah sampai semerah-merahnya, bahkan telinganyapun memerah dan Damian terkekeh melihatnya,
Lalu tiba tiba tawa itu hilang dan Serena merasakan gairah Damian bangkit lagi,
Dengan bingung dia menolehkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan mata biru Damian yang menyala penuh gairah,
"Lagi?", Serena tanpa sadar mengucapkan ketakjubannya,
sebegitu cepat Damian menginginkannya lagi setelah semalam?, hanya
Tuhan dan dirinya yang tahu bagaimana bergairahnya Damian semalam,
Serena pikir Damian sudah terpuaskan, tetapi sepertinya dia salah.
"Aku juga tidak menyangka", gumam Damian parau, "Sepertinya kau akan menjadi penyebab kematianku"
kemudian Damian meraih Serena lagi ke dalam pelukan penuh gairahnya.
***
Serena hampir saja terlambat kerja, dia menarik napas panjang melihat jam absennya...hanya kurang satu menit.
Dengan segera dia melangkah masuk ke mejanya, teman-teman
seruangannya sudah mulai sibuk bekerja. Serenapun mulai berkonsentrasi,
tapi matanya hanya menatap kosong ke layar komputer, pikirannya
mengingat ke kejadian semalam dan dia mengernyit, Dia merasa murahan
sekali, menjual diri kepada laki-laki itu tetapi terlena
dengan rayuannya. Mau bagaimana lagi, lelaki itu adalah jelmaan Eros
penakluk wanita dengan segala pengalaman dan keahliannya, sementara
Serena baru pertama kalinya bercinta.
Tuhan, ampunilah dosa-dosaku. Serena memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya sebelum mulai menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
"Iya, aku juga tidak menyangka", suara berbisik dua
rekan disebelahnya menarik perhatian Serena, "Rasanya seperti bukan Mr.
Damian."
Mendengar nama lelaki itu disebut mau tak mau Serena menajamkan telinganya, mendengarkan.
"Tadi kami serombongan habis sarapan berpapasan
dengan Mr. Damian, kami hanya menunduk karena biasanya Bos besar itu
hanya melirik dari sudut matanya, mengangguk selama sedetik lalu pergi
dengan acuh tak acuh."
Wanita itu menghembuskan napas takjub, "tapi tadi,,,,
astaga! Mr. Damian bahkan berhenti, tersenyum ramah dan menanyakan
kabar kita semua....", suaranya terpekik hampir histeris, "Dan senyumnya
yang sangat jarang itu,,,bukannya menjawab semuanya malah terpesona
dengan mulut menganga, ada yang mencoba menjawab tp yang keluar hanya
suara tercekik", lanjutnya menggebu-gebu.
"Mr. Damian sama sekali tidak merasa terganggu dengan
sikap konyol kami. Dia malah tertawa geli dan melambaikan tangan ramah
sebelum pergi......benar benar anugerah tak terlupakan!
Menurutmu.........."
Serena beranjak berdiri ke kamar mandi, tak tahan mendengarkan pemujaan pemujaan terhadap laki-laki itu.
Tapi tetap saja dia ikut bertanya tanya, Serena terpekur di depan pintu kamar mandi.
Dia berpikir mengenai perubahan sikap Damian
dikantor, bosnya itu memang selalu memasang wajah dingin, ketus dan
jarang bicara, banyak wanita di sini yang takut sekaligus memujanya
karena sikapnya itu........tapi kenapa dia berubah ramah?
"Memikirkanku?"
Suara yang diucapkan dengan pelan dan lembut itu
membuat Serena membalikkan tubuhnya mendadak dengan terlonjak kaget dan
hampir menabrak orang yang berdiri dibelakangnya.
Matanya langsung bertatapan dengan mata birunya yang tajam, obyek pikirannya.
Dan kenapa si bos ada di sini? Di lorong menuju kamar mandi lantai 3 padahal dia punya kamar mandi sendiri di ruangannya?
Tanpa sadar Serena mengucapkan pertanyaannya keras-keras,
Damian tertawa,
"Aku sedang menemui kepala personalia di lantai yang
sama, tiba tiba ingin ke toilet, tidak bolehkah?", suaranya makin
melembut, lalu matanya berubah tajam. Dan Serena mengenali tatapan itu,
tatapan kalau....
"Damn! Aku sudah amat sangat merindukanmu!"
Dengan cepat Damian meraih Serena,lalu menciumnya, dengan gairah menggebu-gebu seolah-olah sudah lama tidak berciuman, padahal baru tadi pagi mereka.....
Suara percakapan yang sayup-sayup mendekat membuat Serena terperanjat,dengan secepat kilat didorongnya Damian dan dia setengah berlari masuk ke toilet perempuan.
Didengarnya suara Damian dengan ramah membalas sapaan orang-orang
yang baru datang ke toliet, Suaranya terdengar biasa saja bahkan
sedikit kegembiraan kecil terselip di sana. Apakah lelaki itu geli atas
sikapnya?
Sialan dia! Tak sadarkah dia kalau menyergapnya seperti itu di toilet kantor benar-benar tindakan nekat? Jantungnya masih berdentam-dentam dengan kuatnya seakan ingin meloncat dari tempatnya....
Tapi...Serena mengernyit, apakah jantungnya berdetak keras
|
karena
|
ketakutan....ataukah karena ciuman spontan yang tidak diduganya itu.....
|
?
|
***
|
"Kau tampak senang", Freddy menatap Damian yang sedang memeriksa berkas kontrak kerja mereka dengan supplier baru.
Damian mengalihkan tatapannya dari berkas di mejanya dan menatap Freddy muram,
"Bukannya itu bagus? Tapi kenapa aku mendengar nada mencela dari suaramu?"
Freddy mengangkat bahu,
"Aku cuma tak ingin kau mabuk kepayang dan melakukan hal-hal yang akan kau sesali nanti."
Tatapan Damian berubah tajam,
"Aku??,,,, Mabuk kepayang???... Apakah kau sedang bercanda?"
"Bukan begitu maksudku, tapi sepertinya kau agak
berubah, kau tahu, agak tidak fokus, bahkan kata sekertarismu tadi pagi
kau terlambat, pertama kalinya, katanya."
"Dan kau kira itu karna aku mabuk kepayang pada
serena, begitu????...baik !! Memang aku terlambat karena terlalu asyik
bercinta dengan Serena, lalu kenapa?? Perusahaan ini sebagian besar
milikku!! Apakah seorang pemilik tidak diperbolehkan terlambat??, toh
keterlambatanku tidak merugikan perusahaan ini!!
"Damian", Freddy berusaha meredakan emosi Damian, "Aku tidak bermaksud membuatmu marah, aku hanya mencemaskanmu."
Sejenak Damian tidak berkata-kata, tatapannya menyala-nyala, matanya bagaikan api biru yang membakar. Tapi kemudian dia berhasil mengendalikan emosinya. Dihelanya napas keras-keras.
"Kau benar, maafkan aku Freddy."
Sebelum Freddy dapat menjawab, ponsel Damian berdering, Damian meliriknya dan dahinya berkerut melihat siapa yang menelponnya.
"Ada apa Shanon?"
Mendengar nama Shanon disebut, Freddy langsung berdiri
dan memberi isyarat berpamitan pada Damian, Damian mengangguk
mempersilahkan dan Freddy berjalan keluar ruangan.
Di seberang, suara Shanon yang lembut dan elegan terdengar mengalun.
"Aku bertanya-tanya, kenapa kau tak
menghubungiku sayang, sabtu kemarin kau mendadak membatalkan acara makan
malam kita, dan kemudian aku sama sekali tak bisa menemukanmu, apakah
ada pekerjaan mendadak yang menyulitkanmu?"
Wajah Damian berubah dingin, dia sama sekali tidak
pernah menjalin komitmen dengan Shanon. Mereka diperkenalkan pada suatu
acara makan malam, setelah itu Shanon menghubunginya, mengajak makan
malam berdua karena ingin mengenal lebih dekat. Damian tidak menolaknya.
baginya Shanon cukup cantik dan saat wanita itu mendekatinya, kenapa tidak? Pertemuan mereka berlanjut ke pertemuan-pertemuan
berikutnya, Tetapi di saat awal Damian sudah menegaskan kepada Shanon
bahwa hubungan yang mereka jalin adalah hubungan tanpa ikatan. Saat
Shanon mengundangnya ke tempat tidurnyapun Damian sudah menegaskan itu
dia lakukan tanpa ikatan dan tanpa cinta.
Tapi sekarang Shanon sepertinya besar kepala karena
Damian saat itu tidak dekat dengan wanita lain selain dirinya, dalam
otaknya dia mengira bahwa dirinya telah berhasil menaklukkan Damian dan
membuat lelaki itu setia padanya, Dia tidak tahu bahwa saat itu pikiran
Damian sedang terpaku untuk mendapatkan wanita lain, Serena.
Sekarang Damian merasa muak dengan tingkah Shanon yang
bertindak seolah- olah mereka sepasang kekasih, yang harus selalu
mengetahui kegiatan Damian dan merasa berhak mengatur-atur Damian.
"Sayangku, Damian? Kau masih disana?"
"Shanon, maafkan aku sedang sibuk sekali."
Terdengar helaan napas dramatis di sana, sudah pasti
wanita ini tidak akan menyerah, dia terbiasa dikejar kejar dan dipuja
lelaki, penolakan hanya membuatnya lebih gigih mengejar.
"Begini sayang, aku ada undangan pesta di rumah
Richard, kau tau kan pelukis terkenal itu? Dia mengadakan pesta di
pembukaan pameran lukisannya....Aku belum punya pasangan untuk datang ke
sana, kau mau kan menemaniku?"
Damian menghela napas keras.
"Shanon, sudah kubilang aku sibuk, aku tak bisa
menemanimu ke pesta manapun, lebih baik kau ajak kekasihmu atau laki
laki lain, pasti mereka dengan senang hati akan menemanimu."
"Tapi Damian, aku mencintaimu dan aku ingin kamu...."
"Aku bukan kekasihmu Shanon, dan tak akan pernah, ingat itu, jadi jangan meminta macam-macam dariku, Oke ?", Damian langsung menyela dengan kesal.
"Oke, Oke !!" Shanon setengah menjerit, "kau sudah
pernah mengatakan itu berulang kali padaku, tapi tidakkah kebersamaan
kita selama ini....."
"Shanon, aku sibuk. Maaf!", Damian langsung menutup
percakapan, menyudahinya karena dia yakin Shanon tidak akan menyerah
dengan segera.
***
Serena baru saja membuka pintu apartemen ketika
teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dan langsung terdengar
suara Damian diseberang sana,
"Kau suka masakan cina?"
"Hah?", Serena terperangah mendengar sapaan pertama Damian yang tanpa basa-basi, baru ketika Damian mengulang pertanyaannya dia mengerti, dan tanpa sadar mengangguk.
"Serena?"
Mendengar pertanyaan Damian Serena baru sadar kalau dari tadi dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Eh...iya...iya.."
"Oke, kalau begitu jangan memasak malam ini, kubawakan dua porsi untuk kita."
Telepon ditutup. Meninggalkan Serena yang yang masih terperangah.
Satu jam kemudian, ketika Serena menyeduh kopi,
Damian datang, langsung ke dapur, masih mengenakan jas resminya, tapi
dengan dasi yang sudah dikendorkan. Dia meletakkan Kantong kertas berisi
makanan yang masih panas, berlogokan nama hotel bintang lima.
"Tadi ada undangan pertemuan dengan kilen di sana,
hanya minum kopi, tapi aku lalu ingat kalau masakan cina di hotel ini
terkenal enaknya, dan aku ingat kamu."
Damian mengedipkan sebelah matanya, "Siapkan ya, aku mandi dulu."
Dengan langkah anggun Damian membalikkan badan menuju kamar.
Serena mengatur masakan berbau harum itu pada piring
saji, sambil mengatur poci kopi di nampan untuk Damian, untuk dirinya
dia menyeduh secangkir teh.
Damian muncul di dapur setengah jam kemudian, dengan piyama sutra hitam, lali duduk di kursi di meja dapur.
"Aku lapar sekali, tadi jalanan macet."
Serena duduk di hadapan Damian, memperhatikan lelaki itu mulai menyantap hidangannya dengan penuh minat.
"Tadi, di pertemuan tidak ada makan malam?", setahu
Serena pertemuan bisnis di hotel seperti itu selalu disertai dengan
jamuan makan malam.
"Ada, tapi aku menolaknya, hanya minum kopi tadi", Damian menatap Serena dengan tiba-tina hingga Serena kaget, "Kenapa tidak kamu makan ? ayo, enak lho."
Dengan gugup Serena menyantap makanannya, memang enak
sekali, guman Serena pada suapan pertama, Tanpa sadar dia makan dengan
lahap, dan baru berhenti ketika menyadari Damian menatapnya geli,
pipinya langsung bersemu merah.
Damian langsung terkekeh geli.
Serena baru mengetahui kepribadian Damian yang seperti
ini, santai dan penuh tawa, berbeda sekali dengan apa yang
ditampilkannya di kantor.
Selesai makan seperti biasa Damian minta ditemani saat
mengerjakan tugas kantornya, lelaki itu tampak serius mengahadapi
notebooknya, sambil sesekali menyesap kopi, sementara Serena menyibukkan
diri denga menonton chanel
masak memasak di TV kabel. Benaknya berkecamuk,
apakah Damian akan bercinta dengannya lagi? Bodoh! Tentu saja, kalau
bukan untuk itu buat apa lelaki itu menginap disini?
"Kau bisa memasak yang seperti itu?" Suara celetukan Damian hampir membuat Serena terlonjak karena kaget.
Serena menatap ke arah Damian, lelaki itu sudah
bersandar di sofa, dengan santai menyesap kopinya sambil menatap
televisi. Notebooknya sudah tertutup dan berkas-berkasnya sudah tersusun rapi, Astaga...berapa lama tadi dia melamun? Sudah berapa lama Damian menyelesaikan pekerjaannya?
Dengan buru buru Serena menoleh ke televisi, adegan disana menampilkan cara memasak sup jagung dengan berbagai modifikasinya.
"Bisa...aku pernah membuatnya meski tidak persis seperti itu."
Damian tersenyum.
"Aku jadi ingat saat aku sakit waktu kecil dulu, ibuku
selalu membuatkanku sup jagung, tidak ada yang mengalahkan rasa sup
buatannya."
Serena ikut tersenyum mengenang.
"Ibu dulu membuatkanku bubur ayam. Rasanya tidak enak hingga aku selalu ingin memuntahkannya."
Damian tertawa geli mendengarnya.
"Aku belum pernah menemui wanita sepertimu sebelumnya", gumamnya dalam tawa.
Serena menoleh pada Damian dengan bingung.
"Wanita sepertiku
|
.....?"
|
"Polos, jujur dan tidak berusaha memanipulasiku",
senyum Damian berubah sensual," dan masih bisa tersipu sampai memerah di
sekujur kulitnya,padahal sudah berkali-kali kusentuh."
Kali ini Serena hampir tersedak tehnya,dengan cepat
diletakkannya cangkirnya dan ditatapnya Damian dengan waspada. Lelaki
itu juga sedang menyesap kopinya, tapi mata birunya yang tajam itu
menatap serius pada Serena.
"Kau seperti kelinci yang terjebak ketakutan", gumam Damian sambil menyipitkan matanya, "apakah cara bercintaku menyakitimu?"
Pipi Serena langsung memerah mendengar pertanyaan Damian yang blak-blakan itu,
"Ti...tidak, bukan begitu...saya....saya hanya belum....terbiasa..."
Serena menelan ludah ketika Damian beranjak dari
sofanya dan berdiri di depan Serena,lalu menarik Serena berdiri dan
langsung mencium bibirnya dengan lembut,
"Kalau begitu, tidak ada yang bisa kulakukan selain
membuatmu terbiasa bukan?", suara Damian berubah serak, lalu dengan
cepat mengangkat Serena dan membawanya ke kamar.
***
Jam dua pagi, ketika Damian terbangun dan menyadari
ada tubuh hangat dalam pelukannya. Serena berbaring meringkuk di
dadanya, tubuhnya begitu mungil hingga Damian merasa bisa meremukkannya
dalam sekejap kalau dia mau.
Damn! Kadangkala karena Serena begitu mungilnya jika
dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi besar, Damian seperti merasa
sedang melakukan pelecehan seksual pada anak di bawah umur.
Tanpa sadar tangan Damian mengelus punggung polos
Serena, dan dalam tidurnya, Serena bergumam tidak jelas, lalu meringkuk
makin rapat ke dada Damian.
Tidak! Mungkin ukuran tubuhnya seperti anak-anak, tapi tubuhnya benar-benar
tubuh wanita dewasa. Damian tidak pernah merasa begitu bergairah
sekaligus begitu terpuaskan selain dengan Serena. Tubuh mungil itu telah
memberikan kepuasan yang sangat dalam bagi Damian.
"Aku mungkin tak akan pernah melepaskanmu" guman Damian di kegelapan, "kau milikku Serena"
Seolah mendengar ancaman Damian di alam bawah sadarnya, alis Serena berkerut dan menggumam tak jelas.
Damian tertawa geli melihatnya, lalu dikecupnya dahi Serena dengan lembut. Anak kecil ini benar-benar tidak terduga, tidak disangka dia akan menyerah di pelukan gadis seperti ini.
"Ra....fi"
Damian langsung menoleh secepat kilat ke arah Serena, Apa?? Tadi gadis itu bilang apa??!!
"Rafi",
kali ini gumaman Serena terdengar lebih jelas. Bahkan Damian melihat ada air mata di sudut matanya.
Rahang Damian menegang karena marah, siapa lelaki yang
disebut Serena itu? Kenapa dia tidak pernah mendengarnya? Dia sudah
menyelidiki Serena bukan? Selama ini Serena tidak pernah dekat dengan
lelaki manapun, dia bahkan masih perawan!
Dengan gusar Damian menghapus air mata di sudut mata Serena, lalu mengguncang tubuh Serena pelan.
Dan mata lebar yang polos itu terbuka menatap Damian dengan bingung karena dibangunkan tiba-tiba,
Serena benar-benar tidak siap ketika
Damian menyerangnya dengan cumbuan yang sangat hangat dan menggelora.
Kali ini Damian berbeda dengan biasanya,dia seperti....seperti membara,
seolah olah tidak ditahan-tahan lagi, ada apa? Ada apa sebenarnya?
Tapi Serena sudah tidak dapat berpikir lagi karena
Damian sudah menenggelamkan kesadarannya dengan cumbuan dan belaian
jemarinya yang sangat ahli. Sungguh nikmat....dan Serena ahkirnya
menyerah dalam pelukan Damian.
***
Serena terbangun sendirian di ranjang itu. Damian sudah tidak ada. Yah lelaki itu mungkin sudah pergi pagi-pagi sekali kembali kerumahnya sebelum berangkat ke kantor. Dia kan punya rumah, tidak mungkin kan dia terus-terusan berada di apartement ini?
Tapi entah mengapa Serena merasa ada yang kosong,
setelah beberapa kali dia terbangun dengan Damian di sisinya, entah
kenapa ada yang kurang saat dia terbangun sendirian sekarang.
Bodoh! Apa yang kau pikirkan Serena? Kau hanyalah
wanita simpanannya, yang dibelinya untuk memuaskan nafsunya! Jangan
pernah berpikir macam-macam. Lagian masih ada Rafi yang harus kau cemaskan.
Sambil membungkus tubuhnya dengan seprai, Serena
melangkah ke kamar mandi, tubuhnya terasa agak nyeri, karena entah
kenapa pagi tadi Damian bercinta seolah-olah kesetanan dan tidak menahana-nahan diri.
Ketika mengaca dan menurunkan selimutnya Serena mengernyit.
Dari Leher, buah dada sampai perutnya, semuanya penuh
dengan bekas ciuman Damian. Lelaki itu seolah sengaja meninggalkan jejak
di mana-mana. Warnanya merah di sekujur tubuh Serena, dan Serena yakin tak lama lagi akan berubah menjadi ungu.
Dasar Damian! Siapapun yang melihat akan tahu kalau ini bekas ciuman, di bagian dada bisa dia sembunyikan, tapi yang di leher?
Serena belum pernah mendapatkan bekas ciuman seperti ini di tubuhnya sebelumnya.
Percintaannya dengan Rafi selalu sopan dan tidak pernah sepanas itu sehingga Rafi bisa meninggalkan bekas-bekas ciuman di kulitnya. Tapi Serena tahu bekas ciuman seperti ini butuh beberapa hari untuk hilang.
Dasar Damian bodoh! Gerutunya sambil mencari cari
turtle neck yang dapat menutupi tubuhnya sampai ke leher lalu
memadankannya dengan blazer, Serena hanya menyapukan bedak tipis ke
mukanya, lalu segera melangkah keluar, jangan sampai dia terlambat ke
kantor lagi.
Ketika berdiri di tepi jalan menanti kendaraan umum, Serena merasakan sengatan sakit yang tiba-tiba di kepalanya.
Aduh! Di saat seperti ini migrainnya kambuh. Tapi tentu saja hal itu terjadi, dia belum sarapan, dan dia kurang tidur gara-gara Damian hampir tidak pernah membiarkan tidur nyenyak tiap malam.
Dengan memaksakan diri Serena naik ke dalam bus menuju kantornya.
***
"Wajahmu pucat sekali", salah seorang temannya
memandang Serena dengan cemas ketika Serena mendudukkan diri di
kursinya. Tadi dia hampir terlambat dan setengah berlari ke mesin absen.
Serena memegang pipinya, memang terasa agak panas,
apakah dia demam? Dan kepalanya juga pusing sekali. Tapi tetap
dipaksakannya tersenyum,
"Engga apa-apa kok, mungkin karena belum sarapan, nanti setelah minum teh hangat pasti agak baikan."
Tapi ternyata tidak, rasa pusing itu makin menusuk
nusuk di kepalanya terasa nyeri,bahkan untuk menolehkan kepalanya saja
terasa sangat sakit, badannya juga sama saja, rasanya nyeri di sekujur
tubuh seperti habis dipukuli. Serena bertahan dengan tidak bergerak di
kursinya, tapi rasa sakitnya makin tak tertahankan,
"Serena coba kesini sebentar, lihat draft pemasaran ini bagaimana menurutmu?", salah seorang rekannya memanggilnya.
Dengan mengernyit Serena mencoba berdiri, tubuhnya
limbung sejenak, tapi dia berdiri dan bertahan sambil berpegangan di
tepi meja.
Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, dia melangkahkan kaki ke meja rekannya. Tapi tiba-tiba rasa nyeri tak tertahankan menyerang kepalanya dan semuanya menjadi gelap.
***
"Pingsan??!"
Damian setengah berteriak kepada Freddy yang menyampaikan kabar itu padanya,
"Kapan?! Dimana?!", Damian mulai berdiri dari balik meja besarnya.
Freddy hanya duduk santai di sofa kulit hitam di
ruangan kantor Damian, "Tadi dalam perjalanan ke sini aku kan mengambil
arsip di sebelah klinik, ada keributan di luar, gadis itu sedang
digendong salah seorang rekannya ke klinik dan di antar beberapa
rekannya yang lain juga, dalam kondisi pingsan, dia pucat sekali seperti
kelelahan ", tambah Freddy penuh arti.
"Digendong?", kali ini wajah Damian menegang karena marah, "laki-laki?"
Freddy tiba-tiba saja tidak bisa menahan tawanya,
"Simpananmu pingsan dan kau meributkan siapa yang menggendongnya?",
Tawa Freddy kembali terdengar tak peduli pada wajah Damian yang marah," Tentu saja laki-laki, mana mungkin perempuan?"
Damian mendengus marah dan hendak melangkah keluar ruangan, tapi Freddy berdiri dan menahannya,
"Kau pikir kau mau kemana Damian?"
Damian menatap tangan Freddy yang menahan lengannya dengan marah,
"Tentu saja melihat Serena!"
"Dan membuat kehebohan di luar? Seorang CEO perusahaan
yang jarang terlihat saking sibuknya, yang bahkan untuk berkonsultasi
dengannya harus melalui perjanjian temu yang sulit, tiba-tiba saja turun menjenguk seorang staff biasa? Kuulangi seorang staff biasa, yang tidak ada hubungan apapun dengannya",
Freddy menatap Damian tajam, "dan bahkan dengan wajah
pucat pasi lebih pucat dari yang pingsan kalau boleh kutambahkan",
Freddy mulai terkekeh geli.
Damian melotot marah padanya, tapi kemudian menarik napas dan tersenyum skeptis,
"Kau benar, aku tak bisa", dengan pelan dia melangkah dan duduk di sofa.
Freddy menuangkan minuman untuknya dari meja bar kecil dan memberikan kepada Damian yang langsung menyesapnya.
"Kau tak pernah begitu sebelumnya Damian, dan tak
kusangka kau sebegitu perhatiannya kepada gadis kecil ini, kukira kau
hanya menganggapnya tubuh yang sudah kau beli?"
Damian meletakkan gelasnya, lalu menatap tajam Freddy
"Dan tubuh yang kau katakan itu yang sekarang terbaring pingsan."
Freddy tersenyum dan duduk di sebelah Damian,
"Kemarin aku baru saja bilang kalau gadis itu
membuatmu lelah dan tidak berkonsentrasi, ternyata kau berbuat lebih
parah padanya", Freddy tak dapat menahan diri untuk tersenyum lebar,
"Kau apakan saja gadis kecil itu Damian?"
Damian mengacak rambutnya bingung,
"Aku
|
juga tidak menyangka bisa jadi begitu terobsesi kepadanya, kau
|
|
tahu.....
|
rasanya tidak ingin berhenti, aku ingin terus menerus
|
menyentuhnya,
|
ingin terus menerus merasakannya....jadi tiap malam aku..aku.."
|
"Kau bermaksud bilang tiap malam kau hampir tidak pernah membiarkannya tidur?", kali ini alis Freddy berkerut.
Damian menghindari tatapan Freddy,
"Aku baru beberapa hari bersamanya, aku masih belum merasa puas", gumamnya tak Jelas.
Freddy menarik napas dalam,
"Damian, aku tahu kau terbiasa dengan wanita dewasa
yang berpengalaman, yang mungkin akan melayani marathon seksmu dengan
senang hati kalau kau mau, tapi ini, seorang perawan, seorang gadis
kecil tak berpengalaman, seharusnya kau lebih menahan dirimu."
"Aku tahu!", Damian menyela dengan keras, frustasi kepada dirinya sendiri, "tapi...ah, kau tidak tahu rasanya Freddy..."
"Betul aku tidak tahu, karena itulah aku tidak
mengerti, kalau memang nafsumu sebegitu besarnya, kenapa kau tidak
mencari wanita lain sebagai pelampiasan? Wanita lain yang lebih bisa
mengimbangimu? Jadi kau tetap bisa menjaga kondisi tubuh gadis itu,
tubuh yang kau beli seharga 100 juta", Freddy mengingatkannya.
"Ah ya...ya, bisakah kau jangan menyebutnya sebagai 'gadis itu atau 'tubuh itu..? Dia punya nama Freddy, namanya Serena."
"Baiklah, Serena ini, kalau kau tidak mau menyakitinya, seharusnya kau mencari wanita lain untuk mengimbangimu."
Damian mengernyit, wanita lain? Sepertinya itu ide
yang bagus, kalau hasratnya membuat tubuh Serena lemah, dia seharusnya
menyalurkannya kepada wanita lain, tapi. Damian tidak bisa membayangkan
wanita manapun, dia mau Serena, hanya Serena yang membuat tubuhnya
berhasrat sampai seperti ini,
"Tidak bisa kalau bukan dia Freddy, kau tahu aku
bukan maniak seks, bercinta selama ini menjadi kebutuhan nomor duaku,
bahkan aku selalu mementingkan pekerjaan dibandingkan janji temuku
dengan wanita-wanita itu, tapi Serena...
Dia seperti ada magnet dalam tubuhnya yang mengubahku menjadi seperti ini"
Freddy menarik napas,
"Kalau begitu, kau harus belajar menahan diri Damian dan lebih peka, kalau dia terlihat lelah, jangan memaksakan kehendakmu."
***
"Apa yang kau lakukan padanya?",
gumam dokter Vanesa, janda berusia 33 tahun yang
sangat cantik, yang kebetulan adalah sahabat Damian juga, ketika melihat
Damian masuk ke ruangan klinik itu, suasana sudah sepi dan dokter
Vanesa sudah mengusir rekan- rekan kerja Serena dari klinik itu,
Damian mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Vanesa,
"Kenapa kau langsung menuduhku seperti itu?", gumamnya pura-pura tersinggung.
Vanesa melirik ke arah Serena yang tertidur pulas,
tadi Serena sempat bangun dan Vanesa sengaja memberinya obat yang
membuatnya mengantuk agar gadis itu bisa beristirahat,
"Seorang staff rendahan pingsan dan beberapa waktu
kemudian sang CEO perusahaan yang tidak pernah menginjakkan kakinya di
klinik ini tiba-tiba datang? Kau pikir ini kebetulan?"
Damian tersenyum miring,
"Setidaknya kecerdasanmu tidak berubah Vanesa",
Vanesa terkekeh pelan,
"Tentu saja aku sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya denganmu, waktu memeriksa tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari leher sampai ke perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang membiarkannya sampai pingsan kelelahan begitu",
Vanesa mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul."
Damian mengerutkan alisnya lalu terkekeh,
"Sayangnya kata-kata tajammu juga tidak
berubah, yah aku memang lelaki brengsek itu", Damian mengangkat bahu,
lalu menatap ke arah Serena yang terbaring pucat di ranjang klinik itu, "
bagaimana kondisinya?", wajahnya berubah serius.
Vanesa menarik napas,
"Aku tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu",
Vanesa menatap tajam ke arah Damian," gadis itu kelelahan, kurang tidur
dan tekanan darahnya rendah sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena
itu dia demam, sepertinya gejala flu."
Damian mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa.
"Baik, baik semua salahku, Freddy sudah mengatakannya padaku, sekarang bisakah kau meninggalkan kami sendirian sebentar?"
Vanesa melirik ke arah pintu,
"Freddy ada di luar? Bagaimana jika nanti ada karyawan yang kebetulan ke klinik?"
"Itulah gunanya Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang kalau aku sedang mencarimu meminta resep."
Vanesa mengangguk,
"Aku akan bergabung dengan Freddy di luar, jangan berbuat macam-macam ya!"
Damian tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu
adalah istri dari sahabatnya, dan merekapun ahkirnya bersahabat.
Sayangnya suami Vanesa meninggal dalam kecelakaan tragis di jalan tol
beberapa tahun lalu, sejak itu Vanesa membentengi diri dengan mulut
tajam dan sifatnya yang ketus, padahal sebenarnya dia adalah wanita
penyayang, sikap ketusnya itu tidak mempan pada Damian dan Freddy,
Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa melirik Freddy, bagus
sekali kalau sahabat-sahabatnya itu bersatu.
Dengan langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping Serena yang tertidur pulas,
Benar, wajahnya pucat sekali, kenapa Damian tidak menyadarinya dari semalam?
Tangan Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas
sekali...
"Jadi kau ingin mengantar pulang Serena?",
Vanesa tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi peringatan kepada Damian.
Damian langsung menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.
Pintu terbuka dan salah seorang laki-laki,
rekan kerja Serena tapi Damian lupa namanya, masuk membawa tas Serena
yang tertinggal di ruangannya, disusul oleh Vanesa dan Freddy di
belakangnya.
Rekan kerja Serena itu tampak sangat kaget mengetahui
Damian, CEO perusahaan yang hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang
berdiri langsung di depannya, wajahnya langsung pucat pasi,
"Aaaa...aaandaa....", lelaki itu bahkan tak sanggup berkata-kata karena kagetnya, Damian menatap sekilas seolah tak peduli,
"Ya, Saya memang benar Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin,
"Saya ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan selesaikan urusan anda dulu, saya bisa menunggu."
"Alex hanya ingin menjemput rekannya yang pingsan dan mengantarkannya pulang Damian",
Freddy menyela di belakang Vanesa tapi matanya menatap Damian penuh peringatan.
Pulang? Damian mengernyit, tapi Serena kan sekarang
tinggal di apartement mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia
membiarkan Alex mengantar Serena pulang!
"Saa ...saya hanya sebentar, saya akan mengangkat
Serena dan mengantar pulang, kebetulan saya ada janji temu dengan kilen
di dekat tempat kostnya jadi sekalian, mohon maaf, silahkan dokter jika
ada urusan dengan Mr, Damian"
Alex cepat-cepat membalikkan tubuh tak
tahan menghadapi tatapan tajam Damian, memang benar gosip yang beredar,
Mr. Damian CEO mereka ini terkenal sangat dingin dan tidak berperasaan,
bahkan aslinya lebih menakutkan, wajahnya sangat rupawan tapi aura
membunuh disekelilingnya sangat kental.
Damian masih terpaku di situ, tempat kost? Si bodoh
ini pasti masih mengira Serena masih tinggal di tempat kostnya yang
lama. Dan.. Apa yang dilakukan lelaki itu ??? Dia menyentuh tubuh Serena
??!
Damian hampir menyeberangi ruangan untuk menepiskan
tangan Alex yang mencoba menggendong Serena ketika Suara Vanesa menyela
dengan cepat, menyadari gawatnya situasi yang terjadi,
"Jangan Alex", perintahnya membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan menatap Vanesa penuh tanda tanya,
"aku memberi obat tidur untuknya supaya dia bisa
beristirahat, kalau kau pulangkan dia ke kostnya dalam kondisi seperti
itu, siapa yang akan menjaganya nanti? Lebih baik biarkan dia
beristirahat dan tidur di sini dulu"
Alex menyadari kebenaran perkataan dokter Vanesa dan cepat-cepat menyetujuinya. Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.
Sang CEO hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi tatapan matanya mengerikan, seperti akan membunuhnya dengan tangan kosong!
Ah, mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan dirinya, lalu mengangguk,
"Baiklah saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau
dia sadar saya akan menjemputnya lagi" gumamnya sambil meletakkan tas
serena di kursi dan hampir melonjak kaget ketika Damian berseru dalam
bahasa Jerman yang tidak dimengertinya,
Vanesa agak menahan senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi dulu mayatku', itu artinya
"Tidak usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"
Alex mengangguk, sebenarnya dia ingin membantah, dia
ingin mengantar Serena, sebenarnya sejak dulu dia sudah suka pada Serena
tetapi belum berani mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu
tertutup, kejadian ini dianggapnya sebagai kesempatan mendekati Serena,
tapi mengingat aura tak nyaman di ruangan ini, Alex memutuskan menyerah,
mungkin lain kali, putusnya
Lalu melangkah ke luar setelah mengangguk pada semuanya, tak bisa menahan untuk mempercepat langkahnya keluar dari situ.
"Aku yang akan membawanya pulang", Damian bergumam memecah keheningan.
"Kau ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam.
"Batalkan, mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"
Vanesa dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.
***
Ketika Serena membuka mata dia sudah ada di
ranjangnya, mengenakan salah satu piyama sutra hitam milik Damian,
lelaki itu sedang duduk di ranjang di sebelahnya,bersila dengan
menghadap notebooknya, wajahnya serius sekali. Serena merasa pusingnya
sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang juga, sepertinya
dia masih demam.
Seolah merasakan gerakan Serena, Damian menoleh, dan tersenyum.
"Tadi aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak
punya piyama ataupun gaun tidur ya? Aku tidak tahu sebelumnya karena aku
selalu menelanjangimu sebelum tidur"
Wajah Serena memerah, bisa bisanya Damian memilih kata-kata itu sebagai kalimat sapaan pembukanya.
"Kenapa aku tiba-tiba sudah di rumah? Jam berapa ini?"
Damian mengangkat alisnya,
"Kau tidak tahu? Tadi pagi kau pingsan lalu dokter
Vanesa menyuntikmu dengan obat yang membuatmu tidur, tapi aku harus
mengajukan komplain karena sepertinya dosisnya terlalu besar, kau
tertidur hampir sepuluh jam....sekarang sudah jam delapan malam"
Serena terperangah,
"Jam delapan malam?"
Damian tersenyum,
Wajah Serena memucat, dia telah mengganggu kesibukan
Damian! Padahal lelaki itu punya jadwal yang sangat padat dan terpaksa
meninggalkannya hanya gara-gara dia pingsan.
"Ma...maafkan aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.
Damian menoleh mendengar nada suara Serena, lalu menutup notebooknya dan meletakkannya di meja samping ranjang,
"Aku tidak memarahimu, lagipula sudah lama aku tidak
mengambil cuti", dengan lembut Damian meletakkan tangannya di dahi
Serena, "sudah mendingan, tadi kau panas sekali tahu, aku sampai
mengkompresmu dengan air es"
Serena memejamkan matanya merasakan tangan Damian
yang sejuk di dahinya, kenapa lelaki ini begitu lembut dan penuh
perhatian? Sudah lama sekali rasanya sejak ada yang memperhatikan
dirinya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Serena selalu berjuang
sendirian, tidak pernah sama sekali mengijinkan dirinya menjadi lemah.
Sekarang, perhatian yang begitu lembut dari Damian entah kenapa membuat
dadanya sesak,
"Kau sudah bisa minum obatnya? Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau minum, tunggu sebentar",
Damian bangkit dari ranjang dan melangkah keluar
kamar,tak lama kemudian dia kembali membawa nampan, meletakkannya di
meja samping ranjang dan membantu Serena duduk,
"Kau harus makan dulu sebelum minum obat",
Aroma kuah yang sangat menggoda itu benar benar
membuat air liur menetes, serena menoleh ke atas nampan yang diletakkan
di pangkuannya, semangkuk sup jagung dan daging yang masih panas dengan
aroma yang sangat enak,
"Itu bukan bubur ayam, jadi kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli dalam suara Damian,
Mau tak mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat percakapan mereka kemarin.
Dengan pelan dia berusaha mengangkat sendok sup itu, tapi Damian menahannya,
"Aku suapi", gumamnya sambil mengambil sendok itu.
Wajah Serena memerah canggung, tapi ketika Damian mengarahkan sendok itu ke mulutnya ahkirnya dia membuka mulutnya pelan,
Dengan tenang damian menyuapi Serena, setelah selesai dia meletakkan mangkuk kosong itu ke sebelah ranjang,
"Ada yang menempel di bibirmu", tanpa disangka Damian
mendekatkan wajahnya, lalu menjilat sudut bibir Serena dengan lembut,
"sekarang sudah bersih", Damian terkekeh melihat wajah Serena yang merah
padam.
"Te...terimakasih" gumam Serena terbata-bata.
Dengan patuh Serena berbaring lagi di ranjang dan membiarkan Damian menyelimutinya.
Lelaki itu lalu duduk di ranjang di samping Serena dan menyalakan notebooknya lagi, lalu mulai tenggelam dalam pekerjaannya.
Serena termenung agak lama, Damian tidak menyentuhnya
malam ini, tetapi lelaki ini tetap bermalam di apartement ini untuk
merawatnya. Ternyata di balik sikap kejam dan arogannya, Masih ada sisi
baik di jiwanya.
Dengan pemikiran seperti itu, Serena kembali tertidur lelap.
***
Paginya dia terbangun dengan kondisi demam yang lebih
parah, sepertinya pertahanan tubuhnya sedang berperang melawan virus
yang menyerang tubuhnya,
Damian sedang mengenakan dasinya, tapi dia segera menghampiri Serena yang mengerang karena panas tubuhnya tak tertahankan,
Dengan cemas, dia meletakkan tangannya di dahi
Serena, astaga! Panas sekali, dengan cepat dia meraih handphonenya dan
memencet nomor Vanesa, dijelaskannya secara terperinci tentang kondisi
Serena, lalu diletakkannya termometer di tubuh Serena sesuai instruksi
Vanesa,
"39 derajat!", Damian berteriak tanpa sadar, "Vanesa !
Dia panas sekali, kenapa obat yang kau berikan kemarin tidak membuat
kondisinya membaik?!"
Didengarnya instruksi-instruksi Vanesa di seberang sana,
"Baik! Akan kuminumkan lagi, apa? seka seluruh
tubuhnya dengan air dingin? Oke, kapan kau bisa kesini untuk mengecek
kondisinya? Aku takut dia harus dibawa ke rumah sakit, baik....baik,
kutunggu!"
Damian mengahkiri pembicaraan, lalu memencet nomor-nomor lain, menelpon Freddy dan jajaran direksinya, lalu memberikan serentetan instruksi pekerjaan sebelum menutup telephon.
Dengan pelan dilonggarkan dasinya, dan digulungnya lengan kemejanya, lalu dia berusaha mengguncang tubuh Serena,
"Bangun Serena, kau harus mandi, badanmu panas sekali."
Jawaban Serena hanya berupa erangan tak jelas dan seperti kesakitan, tentu saja, gadis ini badannya sangat panas!
Damian melepas kancing piyama Serena pelan-pelan lalu melepas piyama itu, sampai serena telanjang. Kulit gadis itu memerah karena suhu tubuhnya yang panas, dengan hati-hati dia mengangkat tubuh Serena ke kamar mandi, meletakkannya ke bathtub, lalu menyalakan keran air dingin.
Tubuh Serena langsung berjingkat ketika air dingin mengenai tubuhnya, tapi Damian menahan,
"Dingin", erang Serena dalam kondisi setengah sadar.
"Tidak apa-apa,tahan,nanti kau akan kuslimuti", bujuk Damian lembut
Setelah selesai Damian mengeringkan tubuh Serena lalu
memakaikan piyamanya yang lain untuknya, dan mengangkat Serena kembali
ke tempat tidur,lalu menyelimutinya dengan selimut yang tebal. Setelah
itu dia memaksa Serena
meminum obat yang rasanya pahit dan dengan lembut meminumkan air untuknya.
Dalam kondisi setengah sadar, Serena mengamati
keadaan Damian, kemejanya setengah basah dengan dasi yang sudah dilepas
dan beberapa kancing yang terbuka sementara jasnya tergeletak begitu
saja di sofa,
"Kau.....ti..dak ..ke kan..tor?", tanya Serena lemah.
Damian yang sedang membuka kancing kemeja dan melepaskan kemejanya yang basah menoleh dan tersenyum tipis,
"Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini sendirian?"
"Aa...aaku tidak mau...merepotkan...mu", gumam Serena lagi, "i..ni cuma demam bia..sa..nanti juga sembuh"
Damian mengganti kemejanya dengan t-shirt santai,lalu duduk di tepi ranjang,
"Kau sekarang milikku Serena, kau tanggung jawabku, kalau terjadi apa-apa denganmu,aku juga yang akan kesusahan bukan?", gumamnya lembut tapi penuh makna.
Wajah Serena memerah,dan memalingkan wajah, tapi itu
membuat Damian tidak dapat menahan diri, diraihnya dagu Serena
menghadapnya, tubuhnya setengah menindih tubuh Serena, lalu dilumatnya
bibir serena dengan dalam dan penuh gairah, nafas mereka menjadi panas.
Dan Damian hampir kehilangan kendali diri, dengan sekuat tenaga diangkatnya bibirnya, napasnya terangah-engah. Tubuhnya menegang, berteriak ingin dipuaskan kebutuhannya, tapi Damian menahan diri.
Demi Tuhan !!! Gadis ini sedang sakit!
Serena merasakan gairah Damian yang bangkit, semalam
lelaki ini menahan diri untuk tidak menyentuhnya, padahal Serena tahu
Damian punya kebutuhan fisik yang sangat besar. Melihat lelaki ini
menahan diri sampai menggertakkan gigi menyentuh hati serena.
Tanggannya menyentuh pipi Damian, tak disangka Damian langsung memejamkan mata menempelkan pipinya
"Tidak apa-apa", gumam Serena lembut.
Mata itu terbuka bagaikan api biru yang menyala-nyala,
"Kau sedang sakit!" geramnya.
Serena tersenyum lalu merangkulkan lengannya ke leher Damian,
"Tidak apa-apa."
Dan Damian menyerah pada gairahnya, sambil mengerang
dilumatnya bibir Serena lagi, dan mereka pun tenggelam dalam gairah yang
panas.
Panas tubuh Serena karena demam, menyatu dengan panas
tubuh Damian karena gairah, tubuh mereka menyatu ketika Damian
menghujamkan dirinya dengan lembut, mengerang karena merindukan
kenikmatan itu, kenikmatan ketika tubuh Serena yang selembut sutra
melingkupinya, meremas kejantanannya, membuatnya melayang.
Damian tidak pernah kehilangan kontrol sebelumnya. Dia
tidak pernah tidak bias menahan dirinya untuk bercinta dengan seorang
perempuan. Tidak pernah. Sampai dia bertemu Serena. Gadis mungil ini
menjungkirbalikkan dunianya. Mengancamnya akan kehilangan kendali diri.
Dan Damian tahu dia sudah tidak bisa melepaskan dirinya lagi.
***
Julukan bajingan menjijikkan saja belum pantas
untukku. Damian merenung sambil menatap Serena yang terbaring
telanjang,tertidur pulas berbantalkan lengannya.
Obatnya mungkin sudah bereaksi, atau dia kelelahan gara-gara perbuatanmu dasar bajingan! Damian mengutuk dirinya sendiri. Tega-teganya dia memuaskan nafsunya atas tubuh Serena yang sedang sakit!
Tapi kelembutan Serena saat membisikkan kalimat "tidak apa-apa" benar benar membuatnya lepas kendali.
Damian menggertakkan giginya, dia tidak boleh lepas kendali lagi!
Dengan lembut diletakkannya kepala Serena di
bantal,dan diselimutinya tubuh telanjang Serena dengan selimut tebal.
Saat itulah bel apartementnya berbunyi, Damian mengernyit lalu meraih
jubah tidurnya yang tersampir di kursi.
Ketika melihat dari lubang di atas pintu,dia melihat
Vanesa dan Freddy berdiri disana,dengan enggan dia membuka pintu
apartemennya dan berkacak pinggang di pintu yang terbuka,
"Kenapa kalian bisa datang berdua disini?" tanyanya curiga.
Vanesa mengangkat alisnya,
"Sungguh penyambutan tamu yang tidak sopan, kau kan yang meminta aku datang?"
Damian menatap Vanesa sekilas lalu menatap Freddy yang sedang tersenyum,
"Dan kau? Kenapa kemari?"
Freddy hanya menunjukkan setumpuk berkas kepada Damian,
Sambil menarik napas panjang Damian membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan masuk,
"Silahkan masuk kalau begitu. Freddy, ijinkan aku berganti pakaian yang pantas sebelum melihat berkas-berkas itu, oya Vanesa, Serena masih tidur."
"Tidak hanya tidur kurasa", Vanesa memandang penampilan Damian yang acak- acakan dengan tatapan mencela.
Dan ketika Damian tidak membantah melainkan hanya tersenyum kecut, matanya membelalak tidak percaya,
"Maksudmu...kau..?", Vanesa kehilangan kata-kata, "astaga Damian tidak kusangka kau menjadi maniak seks separah itu sampai tega-teganya meminta gadis yang sedang sakit untuk melayanimu!!!", serunya blak-blakkan,
"mana dia? aku harusnya merekomendasikan dia dirawat di rumah sakit,
bukannya disini, kalau disini bersamamu sepertinya dia bukannya sembuh
malahan tambah parah!!!"
Freddy tampak tidak peduli dengan pertengkaran dua orang di depannya, dia sibuk melihat-lihat ruangan apartement itu,
"Wah, apartement yang bagus...mungkin aku bisa beli satu disini ", Gumamnya santai.
Damian melotot ke arahnya, lalu dengan sebal melangkah ke kamar, Vanessa mengikutinya.
Serena sedang tertidur pulas saat Vanessa mendekat ke arahnya, dan menyentuh dahinya,
"Panasnya seperti api, mungkin aku harus membawa sample darahnya ke Lab untuk memastikan dia tidak terkena demam berdarah....",
Vanessa mengernyit menyadari Serena telanjang di balik
selimutnya, "Aku masih tidak habis pikir kau menidurinya pada saat
seperti ini.....aku tak tahu dia siapamu Damian, setahuku kau masih
berpacaran dengan artis cantik itu dan sekarang tiba2 kau sudah tinggal
serumah dengan karyawanmu sendiri......."
"Tidak tinggal serumah,aku tinggal di rumahku sendiri, apartemen ini kubelikan untuknya."
Vanessa mengangkat alisnya,
"Oh ya? Kalau begitu berapa malam kau di rumahmu
sendiri dan berapa lama kau tidur disini?", dengan cekatan, Vanessa
memeriksa Kondisi Serena dan menyiapkan suntikan dari tas kerjanya untuk
mengambil sample darah Serena.
Sementara itu Damian kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Vanessa,
"Kau benar", Damian mengangkat bahu, "Sejak tidur
bersamanya pertama kali, aku tidak pernah membiarkannya tidur sendirian
lagi tiap malam"
"Bagaimana ceritanya kalian bisa menjalin hubungan?,
seingatku tingkat peluang pertemuan antara sang CEO dan staff biasa
sangat kecil. Sebenarnya sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya Damian, Freddy juga tidak mau menjelaskan apapun, kukira......"
"Bukan urusanmu Vanessa, tidak ada yang aneh dalam
hubungan ini, dua orang setuju untuk saling memenuhi kebutuhan itu saja,
dan aku menolak menjawab apapun kepadamu", Damian menjawab dengan
tajam.
Vanessa mengangkat bahu lalu melanjutkan memeriksa Serena lalu menuliskan resep.
"Diagnosa awal hanya flu biasa, tapi lebih lanjut
menunggu hasil tes darah. Aku akan menuliskan resep obat dan
antibiotiknya. Tiga hari sekali Damian, dan ingat, dia harus istirahat.
Tahan nafsumu, jika kau tidak bisa menahannya, cari perempuan lain."
***
Serena terbangun dengan rasa mual dan sakit di sekujur
tubuhnya. ketika dia membuka matanya, dia melihat perempuan yang sangat
familiar di duduk di ranjang sebelahnya,
"Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum,
"Yah, Damian memintaku datang memeriksamu. Dia dan
Freddy, para lelaki sedang membicarakan masalah bisnis di ruang depan
dan aku memutuskan menunggumu sadar di sini, bagaimana kondisimu?"
Serena berusaha keras mengeluarkan suaranya,
"Mual....pa...nas..", gumamnya serak,
Vanessa memegang dahi Serena, panasnya seperti api,
"Kemari, aku akan membantumu meminum obat."
dengan cekatan Vanessa membantu Serena meminumkan
obatnya, lalu membaringkan Serena lagi dan merapikan selimutnya.
Keduanya menyadari bahwa Serena telanjang di balik selimutnya,
wajah Serena langsung merah padam.
Vanessa menatap Serena penuh pengertian.
" Dia memang kadang kadang sangat egois,kau tahu,
terbiasa menjadi bos sejak dia lahir. Dia bisa dibilang masih keturunan
aristokrat dari keluarga berpengaruh di Jerman, sejak dulu dia sudah
terbiasa keinginannya dipenuhi....",
Vanessa mengedipkan sebelah matanya, "Kau tahu, saat pertama mengenalnya aku sangat tidak menyukainya"
Serena tersenyum malu-malu,
"Saya juga ", jawabnya pelan.
Vanessa tertawa mendengarnya,
"Tapi walau pun begitu kau tidak boleh menuruti kemauannya seperti itu, kau berhak menolak, kau tahu itu kan?"
Sebelum Serena sempat menjawab, Damian, yang entah kapan sudah berada di ruangan itu berdehem keras, dengan sengaja.
"Vanessa, bukannya kau harus segera membawa sample darah itu ke lab?", gumam Damian datar, tapi matanya memperingatkan.
Vanessa tersenyum miring, lalu mengangkat bahu dan tersenyum pada Serena,
"Sepertinya dokter sudah diusir, obatnya ada di meja
Damian beserta cara pakai, kutinggalkan resep kalau2 obatnya habis,
besok aku akan mengabarimu tentang hasil labnya".
Vanessa mengangguk pada Serena mengangkat tasnya dan
berjalan pergi, pada saat berhadapan dengan Damian di pintu keluar, dia
menatap tajam,
"Ingat Damian, dia harus istirahat kalau mau sembuh", gumamnya tegas sebelum melangkah pergi,
Damian menatap pintu yang tertutup di belakangnya lalu mengangkat bahu dan tersenyum pada Serena,
Serena tersenyum lemah pada Damian yang menuang segelas air dari teko di meja samping ranjang,
"Apakah kau haus ? ayo, aku akan membantumu minum."
Dengan cekatan Damian membantu Serena duduk, beberapa
kali selimut melorot dari dada Serena, hingga Serena harus
mencengkeramnya, tapi Damian mengabaikannya, sama sekali tidak melirik
ketelanjangan Serena, rupanya laki- laki itu bertekad untuk membiarkan
Serena beristirahat.
Setelah membantunya minum, Damian menyentuh dahi Serena dengan lembut, dan mengernyit karena badannya sangat panas,
"Maaf", Serena tiba-tiba merasa
bersalah, dia jarang sakit, tapi kali ini sekalinya sakit sangat parah
sehingga harus bergantung pada belas kasihan Damian,
Wajah Damian melembut,
"Minta maaf karena sakit ?", Damian menarik napas, "kau benar-benar
gadis aneh", Damian tersenyum miris, "Oke, obat itu akan membuatmu
mengantuk, aku akan memesan makanan, jd begitu bangun kau bisa makan."
Serena mengernyit mendengar kata makan karena dia merasa sangat mual,
Damian menatap Serena dengan tatapan tegas seperti seorang ayah memarahi anaknya,
"Kau harus makan", gumamnya tegas, "Tidurlah", lalu lelaki itu berbalik dan melangkah keluar kamar.
Serena meringkuk dibalik selimut, obat itu membuatnya nyaman dan mengantuk, sangat mengantuk.
***
Damian duduk di tepi ranjang, dan mengamati Serena,
panasnya sudah agak turun dan gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa
dan sejak kapan dia merasa kalau gadis kecil ini menjadi begitu penting
baginya. Mungkin karena kedekatan mereka selama ini, Damian tidak
pernah membiarkan orang lain sedekat dengan dirinya.
Dan yang terlintas pertama kali di otak Damian ketika
melihat ponsel itu adalah, dia harus membelikan Serena ponsel yang
lebih baik.
Ponsel itu terus bergetar, rupanya penelpon di
seberang sana tidak mau menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak
mau getarannya mengganggu Serena yang sedang tertidur lelap.
Suster Ana? Damian mengernyit membaca nama penelphon di ponsel itu, sebelum mengangkatnya,
"Serena?", suara diseberang telephone langung menyahut
cemas, "maafkan aku karena menelephone,aku cemas karena kau sudah dua
hari tidak kemari dan tidak ada kabar sama sekali darimu, padahal kau
tidak pernah melewatkan satu haripun, apakah kau baik baik saja?"
Jeda sejenak, Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,
"Maaf, Serena sedang tidur", ketika Damian bersuara,
dia mendengar suara terkesiap diseberang sana, sepertinya lawan
bicaranya sangat terkejut mendengar dia yang menyahut,
"Oh...maaf....", suster Ana tampak kehilangan kata-kata.
"Serena sedang sakit, dua hari ini dia demam tinggi,
mungkin besok saya akan memberitahunya kalau anda menelephone", lanjut
Damian tenang dan tanpa memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak
berniat memperkenalkan dirinya.
"Oh, baiklah, terimakasih", suara diseberang
terdengar sangat gugup, lalu telephone ditutup dengan begitu cepat
sehingga Damian mengernyit.
Ada yang aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya, tetapi tidak ada kesan bertanya-tanya
mendengar suara Damian yang menjawab telephone. Apakah wanita
diseberang itu mengetahui siapa Damian ? Dan apa yang dimaksud dengan
datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan satu haripun? Datang
kemana? Untuk apa?
***
Vanessa sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit,
"menurutmu apakah bos kita itu sudah main hati?"
Freddy menyesap minumannya,
"Apa maksudmu?"
"Gadis kecil itu, Serena"
Hening sejenak dan Freddy menyesap minumannya lagi,
"Menurutku Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju," Dia sudah bertindak di luar kehati-hatiannya yang biasa menyangkut gadis itu."
Vanesa menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh
rasa ingin tahu, "sebenarnya aku sangat penasaran dengan hubungan
mereka, menurutku Damian menyimpan perasaan yang dalam...."
"Ralat, nafsu yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah
merasakan nafsu yang dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan
menginginkannya. Dan gadis itu, Serena, dia memanfaatkan itu dengan
menjual dirinya kepada Damian", gumamnya jijik.
Vanessa mengernyit lagi,
"Serena tidak kelihatan seperti gadis yang sengaja menjual dirinya"
"Dia menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku
sendiri yang membuatkan kontrak perjanjian jual beli yang konyol itu,
setelah itu Damian masih membelikan apartemen untuk tempat dia tinggal,
dan bahkan berencana melunasi hutang gadis itu yang hampir 40juta di
perusahaan, aku sudah menasehatinya kalau dia mulai berlebihan, tapi
Damian tidak peduli", gumam Freddy frustasi.
Vanessa merenung dengan serius, tiga ratus juta? Itu
uang yang tidak sedikit untuk perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu
juga berhutang 40 juta di perusahaan, sungguh pengeluaran fantastis
untuk gadis dengan penampilan sederhana seperti Serena,
"Menurutmu untuk apa uang itu? Kalau untuk bermewah-mewah
sepertinya tidak mungkin, gadis itu tinggal di tempat kost sederhana,
pakaian dan barang- barangnya tidak ada yang bermerk, dia juga selalu
naik kendaraan umum ke kantor", gumam Vanessa pelan.
Freddy menoleh dan mengangkat alisnya,
"Untuk seorang dokter perusahaan, tampaknya kau tahu banyak"
Vanessa tertawa pelan,
"Tentu saja, aku banyak berhubungan dengan karyawan
kau tahu. Freddy, tampaknya kau tidak boleh terlalu berprasangka dulu
pada Serena", Vanessa berubah serius, "Damian bukan orang bodoh, dia
tidak akan membiarkan dirinya dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya
dengan sukarela"
"Dia mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak
akan menggunakan akal sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku
sendiri yang akan memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh
tekat.
Vanessa diam saja, memahami betapa dalamnya rasa
persahabatan antara Freddy dan Damian, dan betapa Freddy sangat ingin
menjaga sahabatnya itu.
Tetapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya,
sesuatu tentang Serena, gadis itu terasa familiar tetapi Vanessa tidak
bisa mengingatnya, kapan? Dimana?
***
Serena mulai sembuh, meskipun dia belum bekerja, Damian tidak mengijinkannya. Laki-laki
itu bersikeras bahwa Serena belum boleh bekerja, dan dia memerintahkan
dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena sehingga tidak
masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi masalah.
Well, besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu
hanya flu biasa dan dengan perawatan Damian yang sengat intensif
disertai dengan obat dari dokter Vanessa yang sangat manjur, dia sudah
merasa cukup kuat hari ini.
Dan Serena merindukan Rafi, sudah empat hari dia
tidak ke rumah sakit, kemarin tubuhnya masih terlalu lemah, tetapi
sekarang dia sudah agak kuat dan tidak sabar ingin segera melihat Rafi,
Suster Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian
yang mengangkat telephonnya pada waktu Serena tertidur, sekaligus
meminta maaf jika dia sudah hampir membuka rahasia Serena.
Setelah itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu bertanya kepadanya. Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jadi Serena berpikir Damian tidak menganggap telephone dari suster Ana itu sebagai sesuatu yang serius.
Serena sudah berpakaian rapi, saat itu jam lima sore,
Damian masih akan pulang jam sembilan malam, jadi dia masih punya waktu
lebih dari cukup untuk menengok Rafi.
Dengan riang karena akhirnya bisa berkunjung lagi ke
rumah sakit, Serena berjalan dan membuka pintu keluar apartemennya,
hanya untuk berhadapan dengan sosok Damian yang akan membuka pintu untuk
masuk, Damian mengamati Serena yang berpenampilan rapi,
"Mau kemana?", tanyanya langsung.
Sejenak Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian, matanya mengerjap gugup.
"Serena?", Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.
"Eh aku...", Serena mengerjap lagi, "aku mau membeli
bahan makanan di supermarket", gumamnya, mengucapkan hal pertama yang
terpikir di dalam benaknya.
Damian mengernyit,
"Kau masih sakit, tidak boleh keluar-keluar,
kau bisa membeli bahan makanan itu besok, lagipula aku sudah membawa
makanan", Damian menunjukkan kantong kertas di tangannya dan melangkah
masuk lalu menutup pintu apartement, ketika dirasakannya Serena masih
terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong makanan itu,
"Kau tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?", tanyanya lembut,
Serena tergeragap, dan mengangguk, lalu menerima kantong itu dari Damian,
Ketika Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di dapur dengan frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini? kenapa waktunya begitu tidak tepat?
Serena menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan
menjelaskan perihal batalnya kunjungannya ke rumah sakit, untunglah
suster Ana mengerti lalu menjelaskan secara singkat kondisi Rafi yang
stabil sehingga kemungkinan operasi ginjalnya bisa dilakukan beberapa
hari lagi. Serena merasa sangat lega mendengarnya, dengan cepat
dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu melanjutkan menata makanan
itu.
Semua masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga mau tak mau menggugah selera Serena,
"Kau pasti menyukainya, itu menu andalan dari
restaurant favoritku", Damian masuk kedapur dengan mengenakan pakaian
santai, dia sudah bertransformasi dari pebisinis yang dingin ke lelaki
yang lebih mudah didekati.
"Mana kopiku?", gumamnya disebelah Serena,
Damian berdiri begitu dekat hingga membuat Serena
gugup, dengan ceroboh dia hampir melompat menjauh dari Damian, membuat
lelaki itu mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Serena,
"A....akan kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.
"Tidak, nanti saja akan kubuat sendiri, kemarilah aku
belum memeriksamu sejak tadi", Damian merentangkan tanggannya sambil
bersandar di meja dapur.
Serena memandang ragu-ragu ke tangan Damian yang terentang, lalu beralih kemata Damian yang menyiratkan perintah tanpa kata-kata.
Dengan ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian, lelaki itu langsung merengkuhnya ke dalam pelukannya,
"Hmmmm kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela rambut Serena.
Damian juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma
sabun dan aftershave, aroma yang sudah familiar dengannya dan mau tak
mau Serena merasa nyaman ada di dalam pelukan Damian,
Mereka berdiri sambil berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata,
Ketika akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya tampak membara,
"Kau sudah tidak demam lagi", suaranya terdengar
serak, dan Serena mengerti artinya, Damian sudah terlalu lama menahan
diri, lelaki itu tidak menyentuhnya selama tiga malam, dan mengingat
besarnya gairah Damian kepadanya, sepertinya itu sudah hampir mencapai
batas maksimal pengorbanan Damian. Serena sangat mengerti.
“Iya, aku sudah tidak demam lagi”, balas Serena lembut.
Damian mengerang lalu menekankan tubuhnya makin rapat
pada tubuh Serena, hingga kejantanannya yang sudah mengeras menekan
Serena membuat pipi Serena memerah. Dengan lembut Damian mengusap pipi
Serena,
“Begitu liar di ranjang, tapi masih bisa memerah
pipinya ketika kugoda”, dengan lembut Damian meniupkan napas panas di
telinga Serena, membuat tubuh Serena menggelenyar, “Apakah aku juga bisa
membuat yang di bawah sana merona ketika kugoda?”
Tangan Damian menyentuh Serena dengan lembut, membuat
napas Serena terengah, jemari yang kuat itu menelusup ke dalam,
menyentuh Serena dan menggodanya, membuatnya basah.
Damian mendorong Serena ke atas meja dapur membuka
pahanya, lalu dengan cepat membuka celananya dan menyatukan dirinya
dengan Serena. Kerinduannya begitu dalam sehingga kenikmatan yang terasa
begitu menyengat seakan-akan jiwanya dipukul dengan tabuhan percikan orgasme tanpa ampun.
Entah hati mereka saling berseberangan, tetapi
ternyata tubuh mereka saling membutuhkan. Serena setengah terbaring di
atas meja dapur dengan tubuh Damian melingkupinya, Lelaki itu
membutuhkannya dan Serena dengan caranya sendiri membutuhkan Damian.
Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang Damian, Damian menekankan
dirinya kuat kuat, menggoda batas pertahanan Serena.
“Damian...”, Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan ucapan itu bagaikan musik hangat di telinga Damian,
“Ya manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?”,
bisik Damian parau disela tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan
Serena, di sela napasnya yang tersengal yang terpacu cepat. “Kau ingin
aku memuaskanmu ya? Aku akan memuaskanmu manis, aku akan memuaskanmu
sampai kau tidak akan pernah bias menemukan kepuasan yang sama dari
siapapun.”, Dengan posesif Damian menekan Serena menyatakan
kepemilikannya,
“Kau tidak akan pernah menemukan lelaki lain...”,
suara Damian tercekat ketika hantaman orgasme melandanya, membawa Serena
ikut dalam pusaran puncak kenikmatannya.
Dan akhirnya, mereka baru menyantap makan malam hampir lewat tengah malam.
***
Ruangan itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi secara teratur.
Serena duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap
Rafi yang terbaring dengan damai. Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan
dilaksanakan.
Kau harus kuat bertahan ya? demi aku kau harus bertahan, kau harus bertahan,
demi aku Rafi...
Rafi tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam,
tetapi Serena meyakini masih ada kekuatan hidup yang tersembunyi di
dalam tubuh Rafi, Serena
mempercayainya. Serena percaya kepada Rafi, seluruh harapannya masih bertumpu kepada kepercayaannya itu.
Kemungkinan keberhasilan operasi itu adalah 40:60,
dan Serena bergantung kepada 40% itu. Dia percaya Rafi adalah lelaki
yang kuat, buktinya dia sudah berhasil bertahan sampai sejauh ini.
Suster Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena.
“Kondisinya stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua.”
“Iya suster, Rafi pasti kuat.“
Suster Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat sesuatu.
“Bagaimana kau berpamitan dengan Mr. Damian?”
Serena merona.
“Aku bilang menemani teman yang akan melahirkan,” gumamnya pelan, merasa berdosa karena tidak biasa berbohong.
Hari ini hari minggu, Damian kebetulan berencana
melewatkan waktunya seharian dengan Serena. Tetapi dengan alasan palsu
dan kebohongan yang terbata-bata, Serena berhasil membuat Damian melepaskannya.
Meskipun dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi pagi.
“Kalau begitu kenapa kau tak mau kuantar?” kejar Damian tadi pagi ketika Serena menolak tawarannya.
“Karena temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui semuanya.” jawab Serena cepat-cepat.
Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas.
“Apakah dia salah satu pegawaiku?”
“Bukan!”
Serena langsung menyela keras, karena setelah
mengenal Damian lebih dekat, Serena tahu, jika dia menjawab ‘iya’, maka
Damian pasti akan menyuruh salah
satu staf personalianya untuk mengecek apakah benar
ada karyawannya yang akan melahirkan, dan dia akan mendapati kalau
Serena berbohong.
“Dia bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor dan dia tahu tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang lain….”
“Oke, kalau begitu di Rumah Sakit mana?”
Serena kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban.
“Eh...aku tidak tahu di Rumah Sakit mana.”
Dengan cepat Damian melangkah ke hadapan Serena yang berusaha menghindari tatapannya.
“Kau bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin kau tidak tahu di mana rumah sakitnya???”
“A...aku...”, dengan gugup Serena menelan ludah, “Aku
akan menunggu di kost yang lama, suaminya akan menjemputku nanti” ,
disyukurinya jawaban yang terlintas cepat di otaknya, Dia jarang
berbohong, dan tidak pandai berbohong, sementara Damian terlihat seperti
seorang detektif yang mencurigai tindakan kriminal yang dilakukan di
belakangnya.
“Suaminya?”
Jawaban itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya semakin menggelap.
“Kau membiarkan suaminya menjemputmu? kalian hanya berdua di jalan?”
Serena merasa gugup, tapi kemudian dia merasa ingin tertawa mendengar perkataan Damian yang terasa aneh.
“Damian,“ gumam Serena jengkel, “ Dia seorang suami, dan isterinya akan melahirkan anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu?”
Perkataan itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur.
“Ah ya...maaf,“ lalu lelaki itu menatap Serena tajam, “
Kau boleh pergi, tapi begitu sampai di rumah sakit itu kau harus
menghubungiku”
“Ya,” jawaban Serena terlalu cepat sehingga Damian menatapnya makin curiga.
“Kau harus menghubungiku, Oke?”
“Oke”, jawab Serena terlalu cepat.
“Serena!” Suara Damian terdengar jengkel.
“Oke, Aku janji.” Jawab Serena akhirnya.
“Dan sebelum jam delapan malam kau harus pulang.”
“Baik Damian”, Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya.
Dan sekarang, dengan sengaja Serena mematikan
ponselnya. Bagaimanapun kemarahan Damian nanti akan ditanggungnya,
sekarang yang paling penting adalah Rafi.
"Sudah waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena.
Dua perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin penunjang kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar ruangan.
Serena mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang operasi.
Dengan lemah dia menoleh ke suster Ana,
"Berapa lama suster operasinya?" Suster Ana memeluk Serena lembut.
"Untuk operasi berat seperti ini, minimal 4 jam Serena.”
***
4 jam
5 jam
6 jam
......
Napas Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia
melirik lampu di atas pintu ruang operasi. Tetapi tetap tidak ada
gerakan di sana. Di setiap detik yang
terlewatkan dengan begitu lambat, napas Serena terasa makin lama makin sesak.
Kenapa lama sekali?? Apa yang terjadi? Apakah para dokter mengalami kesulitan? Bagaimana kondisi Rafi disana?
Suster Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas jaganya, membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena tidak mau makan.
"Makanlah dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya." gumam suster Ana sambil memijit lembut pundak Serena.
Dengan lemah Serena menggeleng. "Tidak bisa suster, aku terlalu cemas untuk makan."
"Kalau begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi, setidaknya teh manis bisa memberikanmu sedikit tenaga."
Dengan patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan cemas.
"Kenapa lama sekali suster operasinya?"
Suster Ana menghela napas.
"Aku tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus benar- benar berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih lama."
Pandangan Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi.
Ketegangannya semakin meningkat, ketika lampu di atas
pintu ruang operasi menyala, tanpa sadar dia terlompat dari tempatnya
berdiri dan setengah berlari menyongsong dokter.
Dokter itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia
mengenal Serena, mengenal kegigihan gadis itu memperjuangkan kehidupan
tunangannya. Dan tanpa sadar turut merasakan empati pada pasangan itu.
"Tidak apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil."
Tubuh Serena langsung lunglai penuh rasa syukur hingga sang dokter harus menopangnya.
"Selamat Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil."
***
"Pulanglah dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih setia menemani mengguncang pundak Serena.
Dia kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di
samping ranjang Rafi, begitu Rafi keluar dari ruang pemulihan dan
kembali ke kamar perawatan intensif, Serena tak pernah beranjak dari
sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya duduk disana mengenggam
tangan Rafi yang tidak terbalut infus, seolah olah akan ada keajaiban
dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.
Kasihan sekali kau nak, suster Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam hati.
Serena berusaha mengumpulkan kesadarannya, tanpa terasa tadi dia tertidur karena kelelahan.
"Kamu harus pulang Serena, ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu."
Astaga!! Astaga!! Astaga!! Ya Tuhan, Serena benar-benar lupa, Damian!!! Astaga, lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang marah besar!!!
Dengan gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan kemarahan Damian nantinya.
"Aku meminta supir rumah sakit mengantarmu pulang,
jadi kamu tidak perlu naik taksi dini hari begini", Suster Ana berusaha
meredakan kegugupan Serena.
Dengan cepat Serena mengecup tangan Rafi yang masih ada dalam genggamannya, memeluk suster Ana dan setengah berlari keluar.
***
Ruangan itu gelap.
Gelap dan sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu keras.
Dengan gugup Serena menelan ludah.
Kenapa sepi? Kemana Damian?
Apa Damian mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau Serena belum pulang? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.
Serena berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja
tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya menghadapi apa yang akan
terjadi, seperti hitungan mundur penantian sebuah bom yang akan meledak
saja.
Dan bom itu memang meledak.
Dalam hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, bukan terbuka, tapi terdorong dengan kasarnya, lampu-lampu menyala.
Damian tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala,
rambutnya acak- acakan, bahkan pakaiannya yang biasanya selalu elegan
dan rapi tampak kusut masai. Yang pasti, lelaki itu kelihatan begitu
murka mendapati Serena berdiri di ruang tamu apartemen itu, hanya
menatapnya.
Dengan gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu keras sampai Serena merasa pusing,
"Kemana saja KAU?????!!!", teriak Damian, lepas kendali.
Serena berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Damian masih mengguncangnya.
"Aku mencarimu ke segala penjuru, kau tahu????!!! ", Damian masih berteriak.
“Semua rumah sakit bersalin di kota ini aku datangi satu persatu, tapi tidak ada kamu!!!! Kemana saja KAU????"
"Damian, kalau kau terus mengguncangnya seperti itu,
dia akan muntah sebentar lagi", sebuah suara tenang terdengar di
belakang Damian, membuat lelaki itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya.
Freddy berdiri dengan santai sambil menyandarkan
tubuhnya di dinding dekat pintu, sepertinya menikmati pemandangan Serena
yang didamprat oleh Damian.
Damian menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya.
Sialan benar Serena!!! Sialan benar gadis ini!!!
Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika sampai malam Serena tidak
juga pulang?? Tak tahukah dia betapa hati Damian dicengkeram ketakutan
yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Serena dan menemukan bahwa
ponselnya mati???
Beribu pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak
Damian, bagaimana kalau Serena kecelakaan? Atau dia menjadi korban
kejahatan???!!!! Bagaimana kalau gadis itu terluka parah dan tidak dapat
datang kepadanya untuk meminta pertolongan???
Dan sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang
tamu apartemennya, tanpa kekurangan suatu apapun, membuat Damian
dibanjiri perasaan lega yang amat sangat, lega sekaligus murka, murka
karena gadis itu telah membuatnya kacau balau, murka karena gadis itu
telah membuatnya berubah dari Damian yang tenang menjadi Damian yang
kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan sebentuk perasaan yang
tidak dia kenal sebelumnya.
"Pro... Proses
|
melahirkan temanku bermasalah....
|
Dia
|
... Dia eh...
|
Harus....
|
Dioperasi....",
|
Serena masih berusaha mengumpulkan
|
nafasnya,
|
diguncang
|
|
dengan begitu kerasnya membuat pandangannya
|
Tangan Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat.
"Kalau begitu, apa susahnya meneleponku??!!! Kenapa kau matikan ponselmu hah??!!",
Serena mengerjapkan matanya gugup. "Baterai ponselku... Habis..."
"Memangnya tidak ada cara lain buat menghubungiku?!
Aku hampir gila memikirkan kau ada dimana!! Apa kau pikir aku tidak
mencemaskanmu??? Kau tahu aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor
polisi!!! "
"Damian, sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela, berusaha lagi meredakan kemarahan Damian.
Dengan tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,
"Cukup Freddy, kau boleh pulang, terima kasih sudah menemaniku tadi."
Freddy hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran
halus itu, dia menepuk- nepuk kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah
keluar pintu.
"Kau harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak mengenalmu", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan.
“Dan kau, Tuan Putri, lain kali belajarlah sedikit
bertanggung jawab!", sambungnya dingin sebelum melangkah keluar dan
menutup pintu di belakangnya.
Ruangan itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy.
Damian diam.
Dan Serena juga diam, menilai emosi Damian, takut
salah berbicara atau bertindak yang mungkin bisa menyulut emosi Damian
semakin parah.
Setelah mengamati dengan hati-hati,
Serena menarik kesimpulan kalau kemarahan Damian sudah mulai mereda,
matanya sudah tidak menyala lagi seperti api biru, dan napasnya sudah
teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang
menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.
"Maafkan aku," bisik Serena pelan, takut-takut.
Sejenak Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang, berusaha menahan diri.
"Sudahlah", gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar.
Dengan gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat.
"Maafkan aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas
itu", tersengal Serena berusaha menjajari langkah Damian menuju kamar.
"Aku... aku terlalu terfokus pada operasi temanku lalu aku...Damian!!",
Serena setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa
memperhatikannya.
Damian berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin.
"Yang penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar.
"Damian.....?"
Serena merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.
"Sudah! Aku mau tidur!” geram Damian marah sambil melangkah ke arah ranjang.
***
Lelaki itu marah, marah besar padanya.
Serena bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap berangkat ke kantor.
Semalaman Serena tidak bisa tidur, dan Serena yakin
Damian juga tidak tidur, karena lelaki itu bergerak dengan gelisah
sepanjang malam.
Suasana tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang direntangkan, siap putus dan melukainya.
Ia tidak menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah seperti kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti sekarang.
Lelaki itu murka, tetapi menyimpannya sehingga membuat seluruh dirinya tegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kita berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya ke meja.
Tangan Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah.
"Apa?"
"Kita berangkat bersama-sama", ulang Damian datar.
"Tapi......"
"Tidak ada tapi Serena," sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu, "Ayo cepat!!!"
Dengan gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat
Serena, dan membantingnya ketika Serena sudah duduk di kursi, tanpa
dapat membantah, tanpa dapat memberikan perlawanan.
Sepanjang jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah melampiaskan kemarahannya. Serena hanya duduk berdiam, tidak mau melakukan apapun yang dapat memancing kemarahan Damian.
"Nanti kau pulang denganku!! Kau dengar itu?? Kau
datang ke ruanganku setelah jam kantor, kita pulang bersama!!!", gumam
Damian tanpa mau dibantah ketika menurunkan Serena di lobi kantor.
***
Hari ini berlalu dengan amat lambat bagi Serena,
perasaannya tidak enak, sampai kapan Damian akan marah padanya? Sampai
kapan Damian akan bersikap seperti ini kepadanya?
Dia tahu dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf? Lagipula kenapa permasalahan kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Damian?
Pemikiran itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang mengantarkannya ke ruangan pribadi CEO perusahaan.
Sebenarnya Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan
mampir ke rumah Sakit menengok Rafi, memanfaatkan waktu bebasnya yang
dijanjikan oleh Damian pada waktu perjanjian awal mereka.
Tapi dengan ancaman Damian tadi pagi, Serena tidak
punya pilihan lain selain menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di
ruangannya sepulang kerja.
Meja sekertaris Damian sudah kosong, dengan pelan Serena melangkah ke pintu besar ruangan Damian, mengetuknya pelan.
"Masuk."
Sebuah suara mempersilahkannya dari dalam. Serena
masuk dan menutup pintu di belakangnya, ketika membalikkan badannya dia
terpaku.
Bukan Damian yang ada di sana, tetapi Freddy, lelaki
itu sedang duduk santai di sofa, menyesap segelas brendy, menatap Serena
dengan penilaian santai yang sedikit kurang ajar.
"Mr. Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor.", jelas Serena terbata.
Freddy tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang tinggal seperempat gelas.
"Aku tahu, Damian menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu penting dari Jerman di ruang pertemuan."
"Oh."
Serena tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa
sangat canggung. Entah karena Serena memang tidak kenal dekat dengan
Freddy, atau karena sikap santai palsu yang ditunjukkan Freddy.
"Kalau begitu mungkin saya akan menunggu di luar saja", gumam Serena cepat- cepat, ingin segera meninggalkan ruangan itu.
"Bagaimana rasanya?"
Pertanyaan tiba-tiba Freddy itu menghentikan gerakan tangan Serena membuka pegangan pintu.
"Apa?"
"Bagaimana rasanya menjadi wanita simpanan taipan kaya seperti Damian?",Freddy bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena.
Serena tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin segera keluar dari ruangan ini.
"Eh, mungkin saya harus menunggu di luar," Serena
berhasil membuka pintu sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong
pintu itu tertutup lagi.
"Aku bertanya padamu Tuan Putri", ulang Freddy sinis.
Serena menatap Freddy tajam.
"Saya tidak akan membiarkan anda merendahkan saya," desisnya pelan.
Ucapan itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.
"Merendahkan katamu?, bukannya kau yang datang
merangkak meminta dijadikan pelacur oleh Damian???", ejeknya kasar, lalu
mencekal lengan Serena tak kalah kasar, tak peduli Serena mulai meronta-ronta.
"Kau adalah wanita paling rendah, paling murahan yang
pernah kukenal, kau mungkin berhasil merayu Damian dengan tubuhmu",
Freddy menyeringai sinis, "Tak kusangka Damian bisa bertekuk lutut pada
perempuan sepertimu, tapi kau tentu sudah tahu kan? Damian terbiasa
dikelilingi perempuan-perempuan dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu saja menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya."
"Anda salah ! Saya tidak begitu", Serena berusaha
menyela, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Freddy, tapi
genggaman lelaki itu seperti capit besi, dan dari napasnya yang berbau
brendy, sepertinya lelaki itu setengah mabuk.
"Kau tidak bisa membohongiku pelacur cilik!!", Freddy
menggeram pelan, "Meski dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus
juta yang konyol itu, jangan kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian
untuk membuat kekonyolan lain yang merugikannya!!!"
"Anda salah paham!!", Serena setengah berteriak, semakin meronta dari cengkeraman Freddy yang sangat keras.
"Kau pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta", Freddy mulai merapat ke tubuh Serena.
“Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu sepadan dengan pelayananmu???"
“Tidaaak!!! Lepaskan saya!!!", Serena mulai berteriak
membabi buta, berusaha melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap
mata.
Lelaki itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha menciumnya dengan kasar
Serena meronta membabi buta, berusaha menghindari
ciuman itu sekuat tenaga, memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia
tak mau disentuh Freddy, dia tidak mau!!!!
Damian!!! Damian!!! Tolong aku!!!!
***
Vanessa sedang duduk di ruang tamu rumahnya, merenung.
Ada yang mengganjal di pikirannya, terus mengganggu. Sesuatu yang diketahuinya sejak dulu tapi di lupakannya.
Sesuatu tentang Serena, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang gadis itu, tapi apa?
Apa itu Vanesa ? Bukankah kau merasa sudah pernah
mengenal gadis itu sebelumnya? Sebelum gadis itu bekerja di perusahaan
ini ? Bukankah gadis itu terasa begitu familiar?
Dengan gelisah Vanessa berdiri, melangkah ke depan lemari putih yang
terpajang rapi di ruang tamunya....
Sebenarnya dia punya firasat Serena berhubungan dengan
masa lalunya, masa lalu yang ingin dilupakannya, karena terlalu pedih
untuk diingatnya.
Kenangan tentang almarhum suaminya, Alfian.....
Dengan gemetar Vanesa membuka laci lemari putih itu,
lalu mengeluarkan sebuah kotak putih yang tidak pernah disentuhnya sejak
dua tahun lalu.
Vanessa duduk, menarik napas panjang dan membuka map itu, isinya adalah kliping, potongan berita-berita tentang tragedi dua tahun lalu.
Tragedi kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan Alfian suaminya.
Saat itu, dalam kesedihannya, Vanessa mengumpulkan
semua berita yang memuat tentang tragedi itu, menjadikannya satu di
dalam satu map besar, memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya,
menyimpannya bersama segenap kepedihan yang dia rasakan.
Sekarang dia membuka lagi kotak kepedihan itu, hatinya
terasa nyeri, tangannya gemetar ketika membuka halaman demi halaman.
Potongan artikel itu.
Sampai kemudian dia menemukan apa yang dia cari.
Gambar sosok itu persis sama, meski terlihat muda,
rapuh dan remuk redam, itu Serena yang sama, di gambar artikel itu, dia
sedang menunduk mengenakan pakaian serba hitam di ruang tunggu sebuah
rumah sakit,
SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN BERUNTUN
Begitu judul artikel itu,
Disitu dijelaskan bagaimana Serena kehilangan kedua
orang tuanya dan ditinggalkan sebatang kara sendirian. Sedangkan
tunangannya, seorang pengacara bernama Rafi Ardyansyah terbaring koma
tak sadarkan diri.
Tunangan??? Koma???
Vanesa membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati background rumah sakit pada gambar artikel Serena itu.
Dia tahu rumah sakit ini karena pernah praktek lapangan disana beberapa tahun lalu.
Dengan segera dia menelephone rumah sakit itu,
menggunakan berbagai koneksi profesi dokternya untuk memperoleh info
dari dokter- dokter yang dikenalnya, Vanessa mencari informasi sebanyak-banyaknya,
dan pada akhirnya menemukan kebenaran.
Kebenaran yang pasti akan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan matanyapun berkaca-kaca karena terharu.
bersama
|
tadi, mengenai rencana lelaki itu untuk memberi Serena
|
pelajaran
|
....Malam ini.....
|
Oh Tuhan!!
Dengan segera, seolah tersadarkan, Vanessa segera meraih dompet dan kunci mobilnya,
Dia harus mencegah Freddy melakukan apapun rencananya untuk memberi pelajaran pada Serena!!
Freddy sudah salah paham, dan apapun yang dilakukan
lelaki itu, dia pasti akan menyesal begitu mengetahui kenyataan yang
sebenarnya!!
Vanessa harus mencegahnya sebelum terlambat!!
***
Tamu penting itu akhirnya pulang juga, beres sudah, semua berjalan sesuai keinginannya.
Damian mengacak rambutnya kesal,
Kalau begitu kenapa dia tidak merasa lega??
Kau tahu kenapa
Bisik suara hatinya,
Ah ya, aku tahu kenapa.
Damian mengakuinya.
Serena.
Cukup satu nama yang mewakili segalanya. Satu nama yang sedari tadi menghantui pikirannya.
Dia masih marah pada Serena, marah besar. Tapi bahkan
meskipun dia marah, dia tak ingin membuat Serena sedih dengan
kemarahannya.
Sungguh ironis.
Damian tersenyum sinis, menertawakan dirinya sendiri.
Tanpa terasa , gadis itu, Serena telah menjadi harta yang begitu berharga untuknya.
Tidak pernah dia secemas itu untuk siapapun, seperti yang dia lakukan untuk Serena kemarin malam,
Akuilah Damian, kau menyayangi gadis itu.
Suara hatinya menekannya lagi. Dan Damian tidak membantahnya, dia sudah terlalu lelah membantahnya.
Gadis itu dengan sifat polos, jujur dan kekanak-kanakannya telah menyentuh sisi hatinya yang tidak pernah diijinkan tersentuh oleh siapapun.
Ah ya, Serena pasti sudah menunggunya di ruangannya.
Tamu penting yang datang mendadak ini membuatnya terpaksa menghubungi
Freddy agar menunggu di ruangannya kalau-kalau Serena datang.
Membayangkan Serena sedang menunggunya membuat Damian tergesa melangkah menaiki lift, menuju lantai pribadinya.
Dengan tenang dia membuka pintu ruangannya.
Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang tidak disangkanya sekaligus pemandangan yang paling tidak disukainya.
Freddy sedang berdiri menekan Serena ke tembok, memeluknya erat-erat dan menciumnya, tubuh Serena yang mungil tenggelam dalam pelukannya.
Ketika menyadari pintu terbuka, Freddy mengangkat kepalanya, dan menatap Damian yang terpaku di pintu, membeku seperti batu.
"Oh, hai Damian," Freddy tersenyum, mengusap bibirnya
yang sedikit bengkak karena berciuman dengan kasar, "Aku menawar gadismu
ini dengan harga beberapa juta, dan dia bersedia menemaniku selama
beberapa jam, boleh kan?"
Serena yang masih berada dalam cengkeraman Freddy menjadi pucat pasi mendengar fitnah Freddy yang begitu kejam.
Damian tidak akan percaya kata-kata Freddy kan? Damian tidak akan percaya kan?
Tapi ekspresi Damian begitu susah dibaca, lelaki itu seperti membeku.
"Dan kau tahu Damian, kau memang benar- benar tidak
rugi", Freddy menyambung, menyeringai menghina kepada Serena, "Ciumannya
lumayan WOW"
"Tidak!!!", Serena akhirnya berhasil bersuara, mencoba membantah kata-kata Damian, "Tidak!!! Ya Tuhan!! Damian!!!!"
Suara Serena berubah menjadi jeritan ketika dengan secepat kilat tanpa di duga- duga, Damian menerjang Freddy.
Menarik laki-laki itu dengan kasar dari Serena, lalu menyarangkan pukulan keras di rahang Freddy, kemudian di perutnya sampai Freddy terbungkuk-bungkuk menahan sakit,
Tetapi Damian masih belum puas. Dia menyarangkan lagi
pukulan telak bertubi- tubi ke semua bagian tubuh Freddy, tanpa memberi
Freddy kesempatan melawan,
"Damian!!! Stop!! Kumohon!! Kau bisa membunuhnya!!", Serena berteriak panik ketika Damian menghajar Freddy seperti kesetanan.
Dan terus menghajarnya, terus tanpa henti tidak peduli
Freddy sudah terkulai tanpa memberikan perlawanan. Aura membunuh
memancar dari mata Damian, menakutkan.
"Damian!!!", Serena menjerit sekuat tenaga, berusaha mengembalikan akal sehat lelaki itu.
Kali ini berhasil, Damian berhenti. Matanya nyalang, napasnya terengah-engah.
Sedangkan kondisi Freddy sungguh mengenaskan, lelaki
itu berbaring tak berdaya, wajahnya penuh darah, mungkin hidungnya
patah. Dan sepertinya dia tidak sadarkan diri.
"Astaga."
sebuah suara tercekat yang berasal dari pintu membuat Serena dan Damian menoleh bersamaan, Vanessa berdiri di sana, pucat pasi.
Seolah disadarkan, Damian langsung berdiri, menghampiri Serena dengan bara kemarahan yang membuat Serena beringsut menjauh.
Lelaki itu tidak peduli, dengan kasar dia menarik lengan Serena, setengah menyeretnya keluar ruangan.
"Sakit Damian", Serena merintih karena perlakuan kasar
Damian, tetapi lelaki itu tidak peduli, seolah tidak mendengar apa yang
diserukan Serena.
Vanessa berusaha menghentikan langkah Damian,
"Damian, kau harus mendengar penjelasanku, semua ini......
|
"
|
"Diam!!!", teriakan Damian yang menggelegar membuat
suara Vanessa tertelan kembali," Kau urus saja bajingan disana itu
sebelum dia mati kehabisan darah!! Dan begitu dia sadar, katakan padanya
bahwa dia dipecat!!"
Damian menggeram marah sambil menyeret Serena menaiki lift.
meninggalkan Vanessa yang masih berdiri terpaku, bingung.
***
"Damian! Semua yang Freddy katakan itu bohong!",
Serena berusaha menjelaskan ketika mereka sampai di apartemen, dan
lelaki itu masih menggelandangnya dengan kasar.
Tubuh Serena dihempaskan dengan sangat kasar ke tempat tidur.
"Dia bohong Damian...", Serena tersengal, putus asa mencoba meyakinkan Damian.
"Freddy tidak pernah berbohong padaku", jawab Damian datar, tangannya bergerak membuka kancing bajunya.
"Dia bohong...Percayalah", air mata mulai mengalir di sudut mata Serena.
"Tidak ada untungnya baginya berbohong padaku."
"Ada!!!", jerit Serena, "Dia membenciku, dia ingin menyingkirkanku...."
"Wah...Kau pikir kau seberharga itu? Kau tidak lebih
dari pelacur kecil dengan tampilan tanpa dosa....Berapa dia membayarmu
untuk sebuah ciuman hah?! Sepuluh juta?? Dua puluh juta?? Kau pikir kau
bisa mendapatkan uang keuntungan dari kami berdua ya??"
"Kumohon Damian, kau tahu dia
berbohong....Kumohon...Kumohon...Percayalah padaku...", Serena mulai
panik ketika Damian melepas kemejanya, "Ke... Kenapa kau melepas
pakaianmu?"
Dengan takut Serena beringsut di ranjang mencoba sejauh mungkin dari Damian.
"Yah...Aku sudah pernah bilang kan?", lelaki itu
tersenyum kejam sambil mulai melepas ikat pinggangnya, tatapan matanya
tak lepas dari Serena yang meringkuk ketakutan seperti sekor mangsa yang
menghadapi predator kejam.
"Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur!", desis Damian penuh penghinaan.
***
"Sakit", Freddy mengernyit ketika Vanessa mengusap luka di bibirnya dengan kapas.
"Kau pantas mendapatkannya", gumam Vanessa tanpa perasaan, malah semakin kasar mengusap luka itu.
Mereka baru pulang dari rumah sakit, hidung Freddy
patah, dan tiga tulang rusuknya retak sehinga harus ditahan dengan
perban. Belum lagi lebam lebam di tubuh dan mukanya. Mata Freddy sudah
mulai bengkak membiru. Pukulan pukulan yang diberikan Damian benar-benar brutal.
"Aku kan cuma membantu Damian dengan menunjukkan
padanya kalau perempuan yang di peliharanya itu cuma pelacur kecil",
Freddy tampak kesusahan bicara, tapi ia masih membela diri.
"Jangan sebut dia pelacur!!! Kau mungkin lebih kotor
darinya!", potong Vanessa marah, melemparkan kapas yang di celup alkohol
itu ke samping, "Kau sudah bertindak kejam dan gegabah pada
Serena.....Astaga! Kau pasti akan menyesal begitu mengetahui semuanya!!"
"Mengetahui apa?", kali ini Freddy mulai cemas. Vanessa tampak begitu marah sekaligus begitu sedih. Bertahun-tahun dia mengenal Vanessa, tak pernah wanita itu tampak begitu dikuasai emosi. Kecuali pada saat pemakaman Alfian.....
"Aku mulai ketakutan", gumam Freddy ketika Vanessa tidak berkata apa-apa, "Mengetahui apa , Vanessa?"
"Kebenaran tentang Serena", jawab Vanessa lirih lalu mendesah seolah-olah tak mampu melanjutkan penjelasannya, "Mungkin kau harus melihat ini dulu."
Vanessa mengambil bundelan artikel itu dari kotak putihnya, membukanya dan meletakkannya di pangkuan Freddy.
Begitu melihat foto yang menyertai artikel itu Freddy terhenyak, dan ketika membaca judul artikel itu yang ditulis dengan huruf besar-besar, keringat dingin mengalir di dahinya.
Dan begitu selesai membaca keseluruhan artikel itu, wajahnya benar-benar pucat pasi.
"Astaga.....", akhirnya Freddy mampu berkata-kata, suaranya lemah dan diliputi shock yang mendalam.
"Ah ya, astaga". Gumam Vanessa mengejek, "sekarang kau mengerti kan kenapa aku begitu membela Serena?"
Freddy memejamkan matanya, meringis merasakan matanya
yang sakit. Hidungnya sakit, bibirnya sakit, sekujur tubuhnya sakit.
Tapi yang paling sakit adalah hatinya. Penyesalan itu datang
menghantamnya tanpa ampun sehingga yang bisa dilakukan Freddy hanya diam
dan menahankan sesak di dadanya.
Dia pantas mendapatkan ini!!!
"Jadi serena melakukan ini semua karena itu...",
suara Freddy diwarnai kesakitan, lalu dia menatap Vanessa penuh harap,
berharap kalau artikel ini salah. Sebab jika artikel ini benar, apapun
yang dilakukan Freddy tadi benar- benar tak termaafkan, "apakah kau
sudah memastikan kebenaran artikel ini?"
Vanessa menatap Freddy tajam, tampak puas dengan penyesalan Freddy.
"Aku sudah memastikan ke rumah sakit itu. Tunangannya,
Rafi Ardyansyah masih terbaring koma disana dan belum pernah sadarkan
diri sejak dua tahun yang lalu. Kemarin Rafi telah menjalani operasi
ginjal -- yang aku tahu biayanya amat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta rupiah -- dan sukses. Operasinya sukses, tapi lelaki itu masih belum sadar", Vanessa memalingkan wajah. Matanya tampak berkaca-kaca menahan haru.
"Aku bertanya tentang Serena kepada dokter-dokter
di rumah sakit itu, dan rupanya kisah Serena dan Rafi seolah menjadi
legenda sendiri di sana. Kisah seorang wanita yang menunggu tunangannya
terbangun tanpa putus asa selama bertahun-tahun......"
Jadi karena itu. Kebenaran itu menghantam Freddy
dengan telak. Jadi karena itu Serena menjual dirinya. Jadi karena itu
Serena mempunya hutang begitu besar diperusahaan,
Freddy menatap Vanessa nanar, lalu mengalihkan tatapannya lagi ke atikel di depannya, dia mengernyit,
Rafi Ardyansyah...
Sebuah kebenaran langsung menghantamnya sekali lagi, sangat keras dan tidak tanggung-tanggung.
“Aku mengenal Rafi Ardyansyah”, gumam Freddy seolah kesakitan.
Vanessa langsung menatap Freddy tajam.
“Kau mengenalnya?”
Freddy mengangguk, lunglai.
“Dia… dia pengacara handal dan sukses dari sebuah
firma hukum terkenal, reputasinya bagus, sangat jujur dan jarang
kalah...Aku tidak begitu mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu
di pengadilan, menangani kasus yang berbeda, tetapi dia terkenal
sebagai pengacara muda berprospek paling cerah di antara kami...aku
mendengar dia akan menikah, sampai kemudian dia menghilang begitu saja
setelah kecelakaan itu,...ada berita cukup simpang siur setelahnya,
katanya dia kecelakaan dan kemudian cacat lalu pindah ke luar negeri,
bahkan banyak gossip bilang dia sudah meninggal akibat kecelakaan
itu...aku...aku sama sekali tidak menyangka dia masih bertahan
hidup...Dalam kondisi koma”, Freddy meremas rambutnya seperti tentara kalah perang, lalu menatap Vanessa, mengernyit,
"Kau bilang kapan operasi Rafi tadi?"
"Kemarin malam", Vanessa melirik jam tangannya, sudah jam tiga pagi, "atau bisa dibilang sudah kemarin lusa?"
"Oh Tuhan!", Freddy menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Oh Tuhan!.....Apalagi yang bisa dia katakan? Itu sebabnya malam itu Serena menghilang tanpa kabar dan tidak bisa ditemukan dimana-mana.
Perempuan itu pasti sedang menunggui operasi tunangannya!! Dan apa yang
dia katakan malam itu pada Serena? "Kau mungkin harus belajar lebih
bertanggung jawab tuan putri!" , kata-kata yang sombong dan penuh tuduhan yang sekarang ia tahu, tak pantas ia ucapkan kepada Serena.
"Kau benar-benar lelaki paling bodoh dan
gegabah yang pernah aku kenal", dengus Vanessa, masih marah atas
tindakan Freddy tadi. "Jika kau belum babak belur oleh Damian, aku pasti
akan menamparmu berkali-kali",
Freddy mengernyit mendengar ancaman Vanessa,
"Tapi kau tidak bisa begitu saja menyalahkanku, suatu
hari Damian menghubungiku untuk mengurus kontrak jual beli tubuh Serena
senilai tiga ratus juta. Kau pikir apa yang bisa kupikirkan selain
Serena adalah pelacur???"
"Jangan sebut-sebut kata pelacur lagi Freddy!!!", potong Vanessa tajam.
Freddy bungkam lalu mengangkat bahu.
"Aku memang salah besar, tapi siapa yg tidak berpikit
begitu? Damian sangat kaya, dan gadis itu punya reputasi hutang besar
diperusahaannya.....tentu saja sebagai pengacara aku menilai ada niat
jahat dari sisi Serena", Freddy mencoba membela diri lagi karena
dilihatnya Vanessa masih memelototinya dengan tajam,
"Sebagai seorang pengacara kau seharusnya melakukan penyelidikan", gumam Vanessa sinis.
Freddy menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, aku terlalu gegabah mengambil tindakan.
Sebenarnya aku sudah bertekad tidak akan ikut campur hubungan Damian dan
Serena, tapi malam itu, ketika Serena menghilang tanpa kabar, Damian
mencarinya seperti orang gila,
hampir kehilangan akal sehat karena mencemaskan
Serena. Damian berubah karena gadis itu, dia begitu emosional. Tidak
lagi berkepala dingin dan tenang", Freddy menarik napas dalam, "Aku
takut Serena makin lama akan makin membawa pengaruh buruk bagi Damian,
maka aku memutuskan untuk membuat mereka terpisah sesegera mungkin."
“Memangnya apa yang kau lakukan tadi sampai Damian menghajarmu dengan begitu brutalnya?”
Wajah Freddy tampak memerah malu.
“Aku menciumnya dengan paksa, melecehkan Serena dan memastikan agar Damian melihat itu semua,” gumamnya pelan.
Vanessa langsung melotot marah mendengarnya.
“Apa?”
Freddy memalingkan mukanya, tidak tahan menghadapi tatapan tajam Vanessa.
“Dan aku...”, kata-kata itu seolah susah
payah keluar dari mulut Freddy, “Dan aku...memfitnahnya, aku bilang
Serena mau kubayar untuk bercumbu denganku selama beberapa jam...”,
“Oh Tuhan, Freddy!!”, Vanessa mengerang tak habis pikir dengan perlakukan Freddy, “Pantas saja Damian menghajarmu habis-habisan, kalau aku ada disana waktu itu, aku pasti akan memberi semangat padanya agar menghajarmu lebih keras”,
Freddy menganggukkan kepalanya,
“Aku...aku pantas menerimanya...”, lelaki itu menghela
napas panjang, “Tapi Vanessa...Setelah aku mengetahui semua kebenaran
ini, dan melihat tatapan mata Damian ketika menyeret Serena pulang tadi,
entah kenapa aku...cemas. “
Wajah Vanessa mendadak pucat pasi,
“Astaga!!! aku hampir saja lupa, Damian selalu mempercayai kata-katamu!! bagaimana kalau Damian menyangka bahwa Serena benar-benar
menjual dirinya kepadamu? Kalau melihat betapa posesifnya Damian pada
Serena, aku tidak berani membayangkan betapa marahnya Damian!! kita
harus menjelaskan semua kepada Damian sebelum dia melakukan sesuatu yang
nantinya akan dia sesali,“ Vanessa langsung meraih gagang telephone dan
memencet nomor Damian.
Lama ia mencoba tanpa hasil, ahkirnya menarik napas panjang dan menyerah.
“Semua nomornya tidak aktif, kita juga tak bisa
menyerbu ke apartemennya begitu saja karena ini sudah dini hari”, Dengan
pasrah Vanessa meletakkan gagang telephone, “Kita harus menunggu sampai
besok pagi, dan jika...dan jika ternyata semuanya sudah terlambat...”,
Vanessa melemparkan tatapan tajam ke arah Freddy yang balas menatapnya
penuh rasa bersalah, “Aku akan membuatmu membayar semua kekacauan yang
telah kau buat Freddy.”
***
“Seorang pelacur harus diperlakukan seperti pelacur.”
Lelaki itu sudah melepaskan kemejanya, dan membuka
ikat pinggangnya lalu meletakkannya di ujung ranjang. Matanya begitu
dingin, ekspresi wajahnya tenang, terlalu tenang, hingga membuat Serena
gemetar cemas.
“Kau...Harus...Mendengarkan.” Serena masih mencoba, meskipun melihat ekspresi wajah Damian, ia tahu ia tidak akan berhasil.
Damian terlalu marah, dia terlalu dibutakan oleh kemurkaannya.
“Lepaskan kemejamu Serena.” gumam Damian datar.
“Damian...” wajah Serena langsung pucat pasi mendengar perintah yang diucapkan tanpa ekspresi.
“Lepaskan.”
Nada suara Damian begitu menakutkan. Mungkin Serena akan lebih berani menghadapi jika Damian berteriak-teriak marah dan membentaknya. Tetapi lelaki ini begitu tenang hingga menakutkan.
Dengan gemetar Serena melepas kancing demi kancing
kemejanya. Menatap Damian dengan wajah memohon, tetapi lelaki itu tidak
terpengaruh.
Setelah seluruh kancing kemeja Serena terlepas, dia berdiri sambil menggenggam kemejanya yang terbuka dengan kedua tangannya erat-erat,
berlutut di ranjang itu, memohon belas kasihan kepada lelaki yang berdiri di tepi ranjang dan tampak kejam.
“Aku bilang lepaskan kemejamu, Serena,” suara Damian
tetap lembut dan terkendali, tapi entah kenapa Serena makin gemetar
mendengarnya, dengan sudah payah dia melepaskan kemejanya dan
menjatuhkannya ke kasur, menatap Damian tanpa daya.
“Sekarang roknya.” sambung Damian setelah mengamati tubuh Serena tanpa malu-malu, membuat seluruh wajah dan tubuh Serena merah padam.
“Tidak...!” Serena berusaha membantah, dia tidak mau dilecehkan seperti ini, dipaksa membuka baju dihadapan laki-laki yang sama sekali tidak menghargainya.
“Aku bilang roknya!” suara Damian sedikit naik,
tetapi tetap tenang. Matanya menatap tajam tak terbantahkan, hingga mau
tak mau Serena bergerak melepaskan roknya, air mata mulai mengalir di
mata Serena.
Hening cukup lama, Damian terdiam sambil menatap
Serena tajam. Dan Serena berlutut di ranjang itu dengan tubuh gemetaran,
berusaha memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya yang kecil.
“Lepas pakaian dalammu.”
“Tidak!!” dengan was-was Serena berseru, tanpa sadar tubuhnya beringsut ke ujung ranjang, ketakutan.
Sikapnya itu malah menyalakan api kemarahan di wajah Damian, lelaki itu sudah tidak setenang tadi.
“Kenapa tidak Serena? Pelacur cilikku? sudah tak
terhitung berapa kali aku melihatmu telanjang, dan kau melakukan
semuanya dengan sukarela kan? Demi uang tiga ratus juta...“, Suara
Damian terdengar jijik, dia melangkah maju mendekati ranjang dan secara
otomatis Serena langsung beringsut mundur menjauh.
“Aku membeli tubuhmu seharga tiga ratus juta,
seharusnya tubuhmu itu bisa kupergunakan semauku, tetapi aku terlalu
baik padamu, memberimu kemewahan, tidak menyentuhmu di saat kamu sakit,
merawatmu...itu semua terlalu baik untukmu,” Mata Damian tampak menyala,
“Dan kau dasar pelacur cilik tak bermoral! bukannya mensyukuri kebaikan
hatiku, kau malah merayu sahabatku...!!!”
“Kau salah paham Damian.” Serena mulai menangis terisak.
Tetapi Damian tetap mengeraskan hatinya.
“Aku tidak mungkin salah paham dengan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri.”
Dengan gerakan secepat kilat Damian meraih kedua
lengan Serena, sebelum Serena sempat menghindar dan menempelkan tubuh
Serena ke tubuhnya sendiri.
“Kalian berciuman!! kau membiarkan dia menciummu!! menjijikkan sekali dimataku.”
Napas Damian mulai terengah-engah, lalu mendorong Serena ke bantal membuatnya terbanting kasar disana.
Serena berusaha menghindar, berusaha melepaskan diri
dari tindihan badan Damian yang keras dan berat, berusaha melepaskan
diri dari cengkeraman tangan Damian yang kuat dan tanpa ampun.
Tetapi lelaki itu terlalu kuat, terlalu marah, bahkan tidak menyadari kalau kekasarannya melukai tubuh Serena yang rapuh.
Lelaki itu seperti kerasukan setan. Matanya menyala
penuh kebencian ketika dia menatap Serena. Dengan ketakutan yang amat
sangat, Serena berusaha memberontak dan turun dari ranjang, tetapi
Damian menangkapnya, membantingnya di ranjang lagi dengan kasar, lalu
menindihnya.
Serena mengernyit merasakan cengkeraman tangan Damian yang kasar di tangannya.
“Sakit Damian...kumohon...”
“Diam!!“ seru Damian marah, dan ketika Serena meronta
ketakutan, hal itu makin mendorong kemarahan Damian, lelaki itu merobek
baju Serena dan mencoba membuka pahanya.
Serena berteriak ketakutan, dia tidak siap dan Damian
pasti akan melukainya. Tetapi Damian tidak peduli. Ketika merasakan
Serena tidak basah dan tidak siap, lelaki itu tetap menyatukan dirinya.
Bagi Serena itu adalah kesakitan yang luar biasa,
sakit di tubuhnya dan sakit di hatinya, diperlakukan seperti pelacur
rendahan yang tak ada harganya.
Seluruh tubuhnya terasa tersobek-sobek
oleh gesekan tubuh Damian, tapi Serena menahan diri, digigitnya bibirnya
hingga hamper berdarah, di tahankannya air matanya meskipun matanya
terasa begitu perih. Dan di tekannya hatinya dalam dalam yang mulai
hancur menjadi serpihan berkeping- keping.
***
Serena berbaring memunggungi Damian, matanya nanar, penuh airmata. Napasnya sesak karena isakan yang ditahannya.
Setelah semua usai, Damian menjauh dari tubuhnya dan
berbaring hening di sebelahnya, sampai napas yang terengah berubah
menjadi tenang dan hening. Serena tahu Damian tidak tidur, lelaki itu
masih berbaring nyalang di sebelahnya, terlentang menatap langit-langit kamar. Tetapi Serena langsung membalikkan badan dan berpura-pura tertidur.
Dirasakannya Damian bolak-balik menghadap ke arahnya, seperti ingin mengajaknya bicara tetapi kemudian ragu dan mengehentikan dirinya di detik terakhir.
Tubuhnya terasa sakit. Itu tadi benar-benar perkosaan, dan Damian sama sekali tidak mau repot-repot
bersikap lembut. Bibir Serena memar akibat ciuman yang terlalu kasar,
lengannya sedikit lebam karena genggaman yang terlalu keras, dan masih
ada kesakitan-kesakitan lainnya. Di seluruh tubuhnya, di dalam tubuhnya.
Tetapi yang paling sakit adalah hatiku.
Air mata mengalir tanpa suara dari pipi Serena, tapi dia menahan isakan dengan menggigir bibirnya yang sakit. Dengan hati-hati
Serena duduk di tepi ranjang, mengamati pakaiannya yang berserakan di
lantai, dan pakaiann dalamnya yang setengah dirobek oleh Damian saat
lelaki itu melepaskannya dengan marah tadi.
pakaiannya satu persatu. Langkahnya goyah, dan tubuhnya gemetar, tapi Serena menguatkan diri.
Dipakainya pakaiannya pelan-pelan sambil menatap ranjang dengan was-was, bersiap-siap jika ada satu gerakan sesedikit apapun dari Damian.
Tetapi lelaki itu tidur dengan tenang sampai Serena
selesai berpakaian. Serena lalu mengambil tas kerjanya dan melangkah
keluar, tetapi di pintu dia ragu-ragu, menoleh dan menatap Damian yang masih tertidur pulas.
Damian pasti akan maklum jika dia pergi begitu saja.
Setelah perkosaan brutal dan kejam itu, Damian pasti maklum jika Serena
menjauh darinya. Tapi kemudian Serena mengernyit, teringat kemarahan
Damian ketika Serena menghilang tanpa pamit untuk menunggui Rafi di
rumah sakit hari minggu lalu.
Kalau aku pergi tanpa pamit, apa yang akan dilakukan Damian? apalagi dengan
perjanjian tiga ratus juta itu...
Ketakutan mewarnai perasaan Serena, menahan langkahnya.
Lalu Serena mengeluarkan kertas dan menulis.
Maaf Damian, aku harus pergi sementara. Butuh waktu sendirian.
Tapi Kau bisa tenang, aku tidak akan melarikan diri dari hutang-hutangku.
Aku tidak serendah itu kau tahu.
Sampai jumpa di kantor besok pagi
Serena.
***
Pagi itu Damian duduk di kantornya dengan muram. Hari
masih pagi, para karyawan belum datang ke kantor, tapi Damian sudah ada
di situ. Dia tak tahan berada di kamar apartement itu sendirian.
Tanpa Serena.
Dia terbangun pagi-pagi sekali, karena
terbiasa mencari Serena untuk dipeluk, tetapi yang ditemukannya hanya
bantal kosong. Dengan marah Damian langsung bangun dan murka.
Tetapi kemudian, kertas yang diletakkan di bantal
Serena itu agak meredakan kemarahannya. Sebuah pesan singkat sederhana
yang ditulis dengan huruf yang sangat rapi.
Serena bilang “Sampai jumpa di kantor besok pagi” jadi Damian menahan diri dari kemarahannya dan memutuskan bersiap-siap dan berangkat ke kantor saat itu juga.
Sekarang dia duduk sendirian di ruangannya,
memikirkan perbuatannya semalam dan mulai merasa cemas. Ia terlalu
kasar. Ia tahu itu. Ia terlalu kuat dan Serena terlalu rapuh untuk
menahan kemarahannya.
Tapi tidak tahukan Serena kalau pemandangan Serena yang sedang dipeluk dan dicium oleh Freddy itu benar-benar membuatnya marah? Seharusnya hanya dia yang boleh memeluk Serena ! Seharusnya hanya dia yang boleh mencium Serena!
Saat itulah pintu diketuk dengan pelan. Damian terdiam
penuh antisipasi, dia sudah menunggu. Siapa lagi yang datang sepagi ini
kalau bukan Serena?
"Masuk."
Pintu itu terbuka pelan, dan Serena muncul disana.
Hati Damian langsung bagaikan dihantam oleh palu ketika melihat keadaan
Serena.
Gadis itu masih memakai pakaiannya yang semalam
meskipun kelihatan segar setelah mandi. Tapi wajahnya kelihatan pucat
dan rapuh. Dan bibirnya sedikit lebam akibat ciuman-ciuman kasarnya kemarin.
Kenapa kau pucat sekali sayang?
Damian berdehem, menahan perasaannya.
Detik itu juga Damian memutuskan dia akan memaafkan
Serena. Dia tidak bisa menyalahkan Serena karena merayu Freddy, tidak
ada yang bisa melarangnya kan? Tidak ada tertulis dalam perjanjian
mereka bahwa Serena tidak boleh menjalin hubungan dengan lelaki lain,
disitu hanya tertulis bahwa Damian berhak memiliki Serena sesuka
hatinya.
Oleh karena itu dia akan segera memastikan adanya
klausul tambahan dalam perjanjian itu, bahwa Serena tidak boleh disentuh
lelaki lain, bahwa tubuh Serena adalah hak eksklusifnya, miliknya.
Untuk sekarang, Damian yakin Serena akan memohon maaf
padanya, dan itu bukan masalah, Damian siap memaafkan Serena atas
pengkhianatannya semalam. Dia siap menerima Serena lagi. Dia belum mau
melepaskan Serena.
"Duduk." perintahnya, berusaha sedatar mungkin.
Dengan patuh Serena duduk, tapi gadis itu tidak berkata apa-apa, hanya meremas tangannya dengan gelisah.
"Sebenarnya kau ingin bicara apa hingga harus menunggu sampai di kantor?"
Dimana kau tidur semalam? apakah kau baik-baik saja ? apakah aku menyakitimu? pertanyaan-pertanyaan itu yang bermunculan di benak Damian, tetapi lelaki itu menahankannya.
Serena mendongakkan kepalanya, matanya tampak penuh tekad ketika menatap Damian. Takut, tapi penuh tekad.
"Aku...ingin melunasi semua hutangku dan mengakhiri perjanjian kontrak kita."
Damian tertegun.
Rasanya seperti seluruh aliran darahnya dihentikan
seketika. Ini adalah jawaban yang sama sekali tidak disangkanya. Damian
begitu terkejut hingga membatu seperti patung.
Tetapi ketika keterkejutannya usai. Kemarahan langsung merayapinya. Seperti api yang membakar pelan-pelan, makin lama makin berbahaya.
"Apa?" desis Damian di antara giginya, tangannya terkepal.
Dengan sedikit gemetar, Serena meletakkan sebuah kertas di meja Damian.
"Ini cek sebesar tiga ratur empat puluh juta, untuk
melunasi hutangku sebesar tiga ratus juta, dan hutang ke perusahaan
sebesar empat puluh juta, dan ini..." Serena meletakkan sebuah amplop di
meja, "Surat pengunduran diriku dari perusahaan ini."
Hening cukup lama. Damian hanya duduk di situ, mengamati Serena dengan mata yang menyala-nyala.
Kemudian lelaki itu memajukan tubuhnya dan menatap Serena sambil tersenyum dingin.
"Lunas sepenuhnya? Jadi malam-malam selama kau melayaniku itu kau anggap service gratis untukku?"
Wajah Serena pucat pasi mendengar hinaan tersirat itu.
"Aku...Aku hanya ingin melepaskan diri dari perjanjian itu..."
Damian mendesis gusar, lalu mengambil cek itu dan mengamatinya, alisnya terangkat, kemarahan tampak semakin membakarnya.
"Kau bisa memperoleh uang sebanyak ini dalam semalam,
apakah kau menemukan korban lain yang bisa memberimu uang untuk
melepaskan diri dariku?"
Serena membelalakkan matanya tak percaya akan kesimpulan negatif yang di ambil Damian,
"Jangan menuduhku serendah itu!!! Aku...aku bukan pelacur seperti yang kau kira!!"
"Kau pernah dengan sukarela menjadi pelacurku demi
uang tiga ratus juta!! Bagaimana bisa aku tidak berpikir kau bersedia
melacurkan diri pada orang lain demi melepaskan diri dariku hah???!!"
Damian menggebrak meja dengan begitu kerasnya, hingga Serena terlonjak
kaget dari tempat duduknya.
Lalu tanpa di duganya. Damian mengambil surat pengunduran dirinya di meja. Dan merobek-robeknya bersama dengan cek yang diberikannya.
Serena hanya ternganga, kaget dengan tindakan tak
terduga Damian itu. Sementara lelaki itu berdiri di sana, menatapnya
dengan tatapan mengancam sambil merobek-robek surat dan cek itu menjadi serpihan-serpihan kecil.
Ketika Damian mulai mendekati Serena, Serena langsung berdiri menjauh, waspada.
"Kenapa kau merobek cek dan surat itu?" tanya Serena gugup, takut akan suasana hati Damian yang begitu muram.
Damian makin mendekat. Lalu berhenti dan tersenyum sinis ketika melihat Serena mundur lagi menjauhinya.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu mudah Serena, kau
pikir aku akan diam saja kau bodohi? Aku akan membuatmu menerima
balasan setimpal sebelum akhirnya melepaskanmu..."
"Katakan padaku Serena...Pria yang membayari hutangmu
itu...Apakah dia sudah menidurimu?" mata Damian menggelap penuh
kemurkaan, "Apakah dia sudah menyentuhmu?" napas Damian mulai memburu,
"Apakah ciumannya sebaik ciumanku? Atau dia hanya pria bodoh yang
tertipu oleh kepolosan palsumu yang...."
"Lepaskan aku!!!!" entah darimana Serena seperti
mendapatkan kekuatan untuk mendorong Damian dan melangkah menjauh. "Aku
sudah membayar hutangku. Aku sudah tidak terikat denganmu!! Kau tidak
berhak melecehkanku lagi!!"
"Melecehkan katamu?? Kau bilang itu pelecehan? Kau
menyambutku dengan hangat setiap aku mendatangimu dan kau bilang itu
pelecehan??"
PLAK!!!!
Tangan Serena tanpa disadari melayang sendiri menampar pipi Damian sekeras mungkin, kata-kata Damian yang luar biasa menghina itu sangat menyakiti hatinya.
Damian berdiri disana mengusap pipinya lalu tersenyum jahat.
"Kenapa menamparku? Apakah kau merasa malu karena kekotoran moralmu terungkap disini?" gumamnya sinis.
Dengan bergegas Serena melangkah ke pintu, sedikit lega karena Damian tidak mengikutinya.
"Aku akan mengirimkan lagi cek yang baru, berikut
surat pengunduran diriku...Bagiku semua sudah lunas di antara kita"
gumamnya lirih.
"Bagiku belum," desis Damian tenang, "Kau boleh kabur
kemanapun Serena, dan aku bersumpah akan mendapatkanmu. Dan ketika itu
terjadi aku tidak akan main-main lagi, aku bahkan akan merantaimu di kamar jika perlu. Dan tak usah repot-repot mengirimkan cek ataupun surat apapun, aku akan merobek- robeknya lagi."
Tangan Serena yang memegang gagang pintu gemetaran.
"Kenapa kau begitu kejam padaku...?" Rintihnya putus asa, matanya berkaca- kaca.
Sejenak Damian terpaku. Serena tampak begitu hancur,
begitu luluh, hingga seketika itu juga Damian ingin memeluk Serena dan
menghiburnya, meminta maaf atas kata-kata kasarnya. Tapi
akal sehatnya segera mengambil alih. Itu akting, teriaknya pada diri
sendiri, jangan tertipu, gadis ini pandai memanipulasi orang dengan berpura-pura rapuh. Kau sendiri sudah merasakannya bukan?
"A...Aku tetap akan pergi..." Serena bergumam ketika
Damian hanya berdiam diri, "Kau boleh memaksaku semaumu, tapi aku akan
melawanmu sekuat tenaga."
Dengan cepat Serena membuka handel pintu. Lalu menolehkan kepalanya untuk menatap Damian, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Diserapnya sosok itu baik-baik, sosok dingin yang berdiri kaku, menatap Serena dengan penuh kebencian. Disimpannya sosok itu baik baik, dan tiba-tiba
saja hatinya terasa teriris. Air mata mulai menetes dari sudut matanya,
dan dengan segera Serena melangkah keluar dari ruangan itu.
Setengah berlari dia memasuki lift tanpa mempedulikan tatapan bingung sekertaris Damian.
Di lobby, suster Ana yang menunggu dengan gelisah dari tadi langsung berdiri begitu melihat Serena muncul di lift.
"Bagaimana...?"
Pertanyaannya tak terjawab karena Serena langsung
mengajaknya keluar dari lobby menuju parkiran, menaiki mobil jemputan
rumah sakit yang diminta suster Ana mengantar mereka ke sini tadi.
Di mobil air mata Serena tak terbendung lagi dan suster Ana langsung memeluknya untuk menenangkannya.
"Ssshhh...Semuanya tak berjalan baik ya?"
"Dia...Dia tidak mau menerima uang itu...." serena
tersedak oleh tangisan yang dalam, "Dia...Dia menuduhku menjual diriku
kepada lelaki lain demi mendapatkan uang itu..." tangis Serena meledak
lagi dengan kuatnya.
Dan suster Ana langsung memeluknya. Matanya sendiri berkaca-kaca melihat penderitaan Serena.
"Apakah...kau mencintainya, Serena?" tanya suster Ana hati-hati.
Serena langsung tersentak, menatap Suster Ana dengan pandangan nanar.
"Apa...? Itu...Itu tidak mungkin...."
"Serena, mungkin kau tidak menyadarinya, tapi
kebersamaan kalian selama ini mungkin saja menumbuhkan sesuatu yang
dalam di antara kalian..." suster Ana menatap Serena lembut, "Dan
kau...Tidak mungkin menangis semenderita ini jika kau tidak punya
perasaan apa-apa kepada Damian, sayang."
Serena hanya termangu. Air matanya masih mengalir,
hatinya sakit sekali. Dan memang benar, penghinaan dan perlakuan kasar
Damian telah menyakitinya lebih daripada yang seharusnya. Tapi Serena
tidak mau memikirkan kemungkinan apapun. Dia tidak mau, dan tidak bisa.
Ada Rafi di sisinya bukan?
Suster Ana mendesah melihat kediaman Serena.
"Yah, setidaknya, suatu saat ketika Damian menyadari
kesalahannya, dia akan menyesal dan kuharap aku ada di sana ketika dia
memohon maaf padamu."
***
Suster Ana benar, Damian memang menyesal. Tidak perlu waktu lama, hanya selang satu jam dari kepergian Serena.
"Aku menerima kalian di sini hanya demi Vanessa," gumam Damian dingin, suasana hatinya benar-benar buruk saat itu.
Ketika sekertarisnya menelepon dan memberitahu bahwa
Vanessa dan Freddy ada di ruangan depan, ingin bertemu dengannya, Damian
hampir saja mengamuk seketika itu juga. Dia sudah menegaskan pada
sekertarisnya bahwa dia sedang tidak ingin diganggu. Tetapi Vanessa
memaksa, dan seperti biasanya, paksaannya berhasil.
"Kami harus memberitahumu sesuatu yang penting." gumam Vanessa penuh tekad, tidak peduli akan tatapan membunuh yang berkali-kali dihujamkan Damian kepada Freddy yang hanya duduk diam tanpa suara di belakangnya.
"Damian," Vanessa mencoba menarik perhatian Damian
yang terus menerus mempelototi Freddy. "Ada suatu fakta penting tentang
Serena yang harus kau ketahui."
Damian langsung tertarik. Fakta apa lagi? Sebuah
kebohongan lagi yang belum diceritakan kepadanya? Sebuah kepalsuan lagi
yang akan menyulut kemarahannya?
Dia diam dan menunggu, bersiap-siap untuk meledak lagi, kepalanya terasa berdenyut dan mulai nyeri.
"Damian..." Vanessa mengernyit cemas ketika melihat Damian tampak kesakitan, "Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa! Cepat selesaikan yang ingin kau katakan, dan bawa dia pergi dari ruangan ini!" Damian bahkan tidak mau repot-repot menyebut nama Freddy.
Vanessa menarik napas panjang.
"Kau...Kita...Mengambil kesimpulan yang salah tentang
Serena." dengan cepat Vanessa membentangkan artikel itu di meja Damian,
"Baca ini."
Damian melirik artikel itu, semuala tidak tertarik,
tetapi kemudian mengenali gambar di artikel itu sebagai Serena, lebih
muda beberapa tahun, tapi dia tak mungkin salah.
"Apa yang.........Oh Tuhan!" baru separuh artikel
yang dibacanya, tetapi dia pucat pasi. Dengan gemetar dia membaca
artikel itu. Membacanya berulang- ulang kemudian, mencoba mencari
kesalahan. Tapi kebenaran yang tertulis di sana tak terbantahkan lagi.
"Benar Damian, keluarga Serena, kedua orangtuanya
terenggut pada kecelakaan yang sama di jalan tol, kecelakaan yang sama
yang menewaskan Alfian", mata Vanessa berkaca-kaca ketika kenangan itu kembali.
"Oh Tuhan!" Damian berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya, Ini sebabnya Serena selama ini sebatang kara dan sendirian?
"Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia, saya
hidup sendirian" itu jawaban Serena waktu gadis itu terpaksa menumpang
mobilnya di pagi yang hujan.
Lalu uang tiga ratus juta dan hutang puluhan jutanya di perusahaan itu..... Sekali lagi Damian mengernyit.
"Tunangannya, Rafi, masih terbaring koma sejak kecelakaan itu. Serena berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidupnya. Hutang-hutangnya
di rumah sakit mungkin untuk membiayai biaya perawatan Rafi, dan
hutangnya kepadamu tiga ratus juta mungkin karena gadis itu putus asa,"
Vanessa memandang Damian, dan tiba-tiba merasa kasihan, Damian tampak hancur berkeping-keping,
"Aku menelepon rumah sakit tempat Rafi dirawat Damian, Rafi saat itu
harus menjalani operasi pengangkatan ginjal karena salah satu ginjalnya
rusak akibat obat-obatan yang terus menerus.......biaya
operasi itu sangat mahal, hampir mencapai tiga atus juta
rupiah...Mungkin itu alasan Serena menjual dirinya padamu, gadis itu
putus asa."
Damian memejamkan matanya, mengingat hari berhujan
dimana Serena membuat penawaran gila itu padanya. Bagaimana mungkin dia
dulu tak menyadarinya? Waktu itu Serena memang terlihat putus asa, panik
dan putus asa.
"Freddy bercerita bahwa Serena hilang seharian di hari minggu dan kalian mencarinya kemana-mana,"
Vanessa mengedikkan bahunya pada Freddy yang hanya diam dan menundukkan
kepalanya, "Itu hari di mana operasi Rafi dilaksanakan."
Sebuah hantaman lagi yang menerjang Damian. Dia
mengernyit, rasanya berat sekali ketika dia sudah berpegang teguh pada
suatu keyakinan bergitu lama tapi kemudian dihancurkan begitu saja.
Serena gadis baik-baik. Dia bukan gadis
bermoral rendah seperti dugaannya selama ini. Pantas saja waktu itu dia
masih perawan. Keperawanan yang seharusnya untuk tunangan yang
dicintainya dikorbankannya. Damian langsung disengat rasa cemburu yang
tajam. Serena pasti begitu mencintai tunangannya kalau sampai berjuang mati-matian seperti itu.
"Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka Damian," Vanessa menoleh secara terang-terangan kepada Freddy, "Biarkan Freddy yang menjelaskan sisanya kepadamu."
Damian menoleh kepada Freddy dengan muram, masih
terbayang adegan ciuman waktu itu di matanya. Dan kemarahannya langsung
membara, kalau begitu kenapa Serena ada di pelukan Freddy dan Freddy
bilang Serena rela menjual diri padanya?
"Waktu itu semua sudah kurencanakan, Damian," gumam
Freddy pelan seolah bisa membaca pikiran Damian, lalu mengernyit ketika
menerima tatapan menusuk itu lagi, "Aku.... Waktu aku mendampingimu
mencari Serena yang menghilang waktu itu, aku melihat betapa
emosionalnya dirimu, itu menggangguku karena kau berubah, tidak seperti
biasanya, aku berpikir Serena telah menimbulkan pengaruh buruk
padamu.....Jadi aku mengambil keputusan.....aku merekayasa
semuanya.....Ciuman itu adalah paksaan dariku....Serena sama sekali
tidak sukarela, dia menolakku sekuat tenaga. Dia memanggil namamu..."
Damian langsung merangsek maju dengan marah, tanpa
diduga. Langsung meraih kerah kemeja Freddy. Tak peduli tubuh Freddy
yang memar dan lebam akan kesakitan menerima sentuhan seringan apapun.
"Brengsek kau Freddy!!! Brengsek kau!!! Aku
mempercayaimu!!" Damian menggeram di antara ke dua giginya, "Kau tahu
malam itu aku memperlakukannya sebagi pelacur rendahan??! Aku
memperkosanya!!!!"
"Damian, tenanglah dulu", gumam Vanessa hati-hati,
berusaha membuat Damian melepaskan cengkeramannya dari kerah baju
Freddy, "Kau menyakiti Freddy, tidakkah kau sadar kau sudah cukup
menyakitinya kemarin? Lepaskan dia Damian", bujuknya lembut.
Damian bergeming, sejenak seolah-olah akan menghajar Freddy, tapi kemudian dia melepaskan lelaki itu dengan kasar.
"Harusnya kubunuh saja kau sekalian!", desisnya geram sambil mengacak rambutnya,
Lalu sebuah pertanyaan merasuk di benaknya.
"Kenapa harus Serena yang menanggung seluruh biaya perawatan Rafi? Kenapa bukan keluarga Rafi?"
"Rafi tidak punya keluarga." Freddy yang menyahut
setelah berhasil meredakan napasnya yang terengah karena perlakuan kasar
Damian tadi, "Dia pengacara juga, kebetulan aku mengenalnya", suaranya
tertelan melihat tatapan bermusuhan Damian, tapi dia bertekad
melanjutkan, " Sebenarnya aku tidak begitu mengenalnya, tetapi Rafi
cukup terkenal di kalangan profesi kami karena reputasi baiknya, aku...
Eh... Melakukan penyelidikan singkat tadi dan mendapati bahwa Rafi
dibesarkan di panti asuhan, dia sebatang kara....karena itulah kabar
setelah kecelakaan yang menimpanya menjadi simpang siur, dia menghilang
begitu saja dan gosip yang beredar mengatakan Rafi sudah meninggal,
tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya Rafi masih hidup dan ada dalam
kondidi
koma", Freddy menatap Damian sungguh-sungguh, "Aku menyesal dan aku meminta maaf Damian. Aku memang bodoh dan gegabah, aku juga menyesal setengah mati"
Damian tercenung. Lama tidak mengatakan apa-apa. Sejenak ruangan itu begitu hening.
"Damian, mungkin lebih baik kita melepaskan Serena,
sudah cukup berat beban yang dia tanggung," gumam Vanessa pelan memecah
keheningan. Lalu dia berubah ragu-ragu dan berhati-hati dengan reaksi Damian, "mengenai hutang- hutang Serena baik kepadamu dan kepada perusahaan, aku bersedia menggantinya."
"Tidak."
"Tidak?" Vanessa mengernyit mendengar gumaman pelan Damian itu.
"Tidak akan kulepaskan. Aku tidak peduli dengan uang itu. Serena tidak akan kulepaskan."
"Damian!!", Vanessa mengernyit jengkel. "Hentikan! Kau
tidak tahu betapa banyak penderitaan yang ditanggung Serena selama ini!
tidak bisakah kita biarkan dia tenang bersama tunangannya? Lagipula kau
bisa mencari wanita lain untuk memuaskanmu bukan? Kau bisa mendapatkan
pengganti Serena dalam beberapa menit!"
Damian mengusap wajahnya, tampak begitu menderita,
"Tidak, aku tidak bisa Vanessa." erangnya parau.
Mata Vanessa melebar melihat ekspresi Damian, tidak
pernah sebelumnya Vanessa melihat Damian begitu penuh emosi. Apakah ini
berarti Damian benar- benar mencintai Serena?
"Dia punya tunangan Damian, jangan lupa, semua yang dilakukannya adalah demi menyelamatkan Rafi."
Kebenaran itu menyakiti hati Damian, sengatan cemburu itu kembali melukainya.
"Kalau begitu aku akan membuatnya memilihku," mata Damian penuh tekad, "Dimana alamat rumah sakitnya?"
***
"Dimana ruangan tempat perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian berdiri di depan resepsionis.
Resepsionis itu mendongak dan ternganga. Terpesona melihat penampilan dan ketampanan Damian.
"Ruangan perawatan Rafi Ardyansyah?" Damian mengulang jengkel karena resepsionis itu hanya menatapnya seperti orang bodoh.
"Oh....Untuk Rafi...Anda...Anda mungkin harus menemui Suster Ana dulu, beliau suster kepala penanggung jawabnya."
"Dimana?" gumam Damian tak sabar.
"Lantai tiga, ruangan perawat nomor dua."
Tanpa basa-basi Damian meninggalkan resepsionis yang masih ternganga itu.
Pintu itu tertutup rapat dan Damian mengetukknya.
"Masuk" sebuah suara yang tegas terdengar dari dalam.
Damian masuk dan langsung berhadapan dengan suster Ana.
Suster Ana langsung menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Dia tidak mungkin salah mengenali.
Penggambaran Serena sangat akurat. Lelaki ini memang benar-benar luar biasa tampan dengan keangkuhan yang sudah seperti satu paket dengan auranya.
"Apakah anda akhirnya berhasil menemukan kebenaran?" gumam suster Ana langsung tanpa basa-basi.
Damian mengernyit mendengar sapaan pertama suster Ana
yang sama sekali tidak diduganya. Tapi dia lalu teringat telelepon di
tengah malam yang tanpa sengaja dia angkat. Penelepon itu mengatakan
dirinya adalah suster Ana...
"Ya," Damian mengakuinya pelan, "Anda sudah tahu semuanya?"
"Semuanya, dan pertama, sebelum anda menghina Serena
lagi. Saya akan jelaskan kepada anda, semalam Serena datang kepada saya,
dengan kondisi mengenaskan. Mental dan fisik yang rapuh, dan dia bilang
ingin melepaskan diri
dari anda, menurut saya itu wajar mengingat perlakuan anda padanya," Suster Ana menatap Damian dengan pandangan mencela yang terang-terangan
hingga wajah Damian merona, "Uang yang dia pakai untuk melunasi anda,
itu adalah uang pinjaman dari saya dan beberapa staff rumah sakit lain,
bukan uang hasil menjual dirinya kepada lelaki lain seperti apa yang
anda tuduhkan kepadanya tadi pagi."
Sebuah kebenaran lagi. Lebih keras daripada tamparan di pipi, lidah Damian terasa kelu.
"Saya ingin bertemu Serena" gumam Damian akhirnya.
Suster Ana mengangkat alisnya.
"Untuk apa? Ketika hubungan hutang piutang itu lunas.
Tidak ada lagi perlunya kalian bertemu, lagi pula saya tidak yakin
Serena bersedia menemui anda."
"Tidak ada hubungannya dengan uang! Saya tidak peduli
dengan uang!!!" Damian hampir berteriak, lalu berdehem berusaha
meredekan emosinya, "Saya harus bertemu dengan Serena, meminta maaf,
saya tahu selama ini saya salah...."
"Anda bisa menyampaikan permintaan maaf anda melalui saya" sela Suster Ana tegas.
Damian mengernyit,
"Saya mohon.....Saya harus bertemu dengan Serena, saya butuh bertemu dengan Serena."
Suster Ana mengamati lelaki yang berdiri di
hadapannya. Lelaki ini terlalu tampan, terlalu kaya sehingga wajar dia
tampak begitu arogan. Tapi sekarang Damian tampak begitu menderita, dan
dia rela memohon agar bisa bertemu Serena. Suster Ana menarik napas,
ketika sebuah kesimpulan muncul di benaknya.
Lelaki ini sedang jatuh cinta.
Bagaimana mungkin dia menolak permintaan Damian? Kalau
saja Damian hanya lelaki sombong yang menginginkan bayaran setimpal
atas apa yang diberikannya kepada Serena, suster Ana akan mengusirnya
tanpa ragu. Tapi Damian yang ada di depannya ini tampak begitu kesakitan
menanggung rasa bersalah, tampak remuk redam di dera perasaannya
sendiri. Lelaki ini sama menderitanya dengan Serena. Bagaimana mungkin
Suster Ana tega mengusirnya?
"Tapi tolong jangan menyakiti Serena lagi jika kalian
bertemu nanti, jangan memaksanya....." mata Suster Ana melembut
membayangkan Serena, "sudah cukup beban yang ditanggung anak itu."
"Saya berjanji." Damian menjawab yakin.
Sekilas suster Ana mencuri pandang ke arah Damian. Dan
tersenyum ketika mendapati ekspresi Damian ikut melembut karena
membayangkan Serena.
Ah Serena, Lelaki ini benar-benar sedang jatuh cinta.......
***
Ruangan itu hening terletak di lorong paling ujung.
Dan Serena hanya berdiri di depan ruang perawatan sambil menatap melalui
jendela kaca lebar yang membatasinya dengan Rafi, saat ini bukan jam
besuk dan Serena tidak boleh masuk.
Pikiran Serena terasa berat, dia tidak punya pekerjaan sekarang. Suster Ana dan yang lain-lain
bilang akan membantu, tetapi Serena tidak mungkin menggantungkan
hidupnya pada bantuan orang lain terus menerus, apalagi dengan biaya
perawatan Rafi yang begitu mahal yang harus ditanggungnya setiap
bulannya.....
Dengan sedih Serena menatap Rafi, lelaki itu masih terbaring dalam kedamaian yang sama, begitu pucat, hanya bunyi mesin-mesin penunjang kehidupan itulah yang menunjukkan kalau masih ada harapan hidup yang tersimpan di sana.
Serena mengusap air mata di sudut matanya.
Ah Rafi..... Sampai kapan kau tertidur begini? Aku
merindukanmu kau tahu. Aku membutuhkanmu. Saat ini aku tidak mengerti
dengan perasaanku sendiri, aku takut jika kau tidak segera bangun nanti
aku akan......
Saat itulah Damian masuk, diantarkan oleh Suster Ana
di belakangnya. Perasaan sedih yang aneh menyeruak di dada Damian ketika
dia melihat Serena menatap Rafi yang terbaring di balik kaca dengan
tatapan sendu.
"Serena...." Damian bergumam pelan, mendadak dikuasai keinginan yang dalam untuk mengalihkan perhatian Serena dari Rafi.
Suaranya seperti menyentakkan Serena hingga gadis itu
menoleh kaget. Wajahnya langsung pucat pasi, tidak menduga bahwa Damian
akan muncul di sini, matanya menatap Suster Ana meminta pertolongan.
"Dia datang disini untuk berbicara Serena, dan dia
sudah berjanji tidak akan melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan
menyakitimu," gumam Suster Ana lembut, menyadari kegelisahan yang
dirasakan Serena, dia lalu mengamit lengan Serena, "Mari, kuantar kalian
ke ruanganku di mana kalian bisa berbicara dengan tenang, aku akan
meninggalkan kalian di sana."
Seperti kerbau yang di cocok hidungnya, Serena hanya
mengikuti ketika di tuntun ke ruangan Suster Ana, sedangkan Damian hanya
mengikuti di belakang dalam diam.
Ruangan tetap hening lima menit kemudian ketika suster Ana menutup pintu ruangan dari luar.
"Aku minta maaf." gumam Damian dengan lembut akhirnya.
Serena bersedekap, seolah ingin melindungi dirinya.
"Ya...Sudah di maafkan...Sekarang...Sekarang bisakah kau pergi?" Serena mulai menahan tangisnya. Damian telah benar-benar
melukai hatinya, kehadiran lelaki itu sekarang, berdiri di depannya,
menatapnya dengan begitu lembut, benar- benar membuat emosinya
bergejolak.
"Aku tidak tahu tentang semua ini Serena, baru tadi
Vanessa mengungkapkan kebenaran di depanku. Aku tidak tahu. Tidakkah itu
bisa membuat semuanya sedikit dimaklumi?" sambung Damian pelan. "Selama
ini aku salah paham, aku berpikiran buruk tentangmu dan semakin
memupuknya dari hari ke hari. Itu...
Itu juga menyiksaku, antara dorongan untuk
menyayangimu atau menghukummu karena jauh dilubuk hatiku aku mengira aku
hanya dimanfaatkan," Damian mengerjapkan matanya pedih, "Kalau aku tahu
tentang semua ini, segalanya akan berbeda Serena."
Serena memejamkan matanya. Mau tak mau permintaan maaf
Damian yang begitu tulus itu mulai menyentuh hatinya. Damian memang
tidak bisa disalahkan. Dia tidak tahu. Lagipula apa yang harus
dipikirkan Damian tentang gadis yang melemparkan diri padanya demi uang
selain bahwa gadis itu adalah pelacur?
"Aku...Aku mengerti....tidak apa-apa,
pilihanku juga untuk tidak mengatakan ini semua kepadamu," suara Serena
terdengar serak. "Dan apapun konsekuensinya aku sudah bersedia
menanggungnya....Jadi kita impas."
Damian menatap Serena sedih.
"Serena.... Aku...." Damian mengulurkan tangan hendak meraih Serena, tapi lalu tertegun ketika Serena mundur seperti ketakutan.
Kesadaran itu menghancurkan Damian, kesadaran bahwa Serena takut dengan sentuhannya, mungkin akibat kekasarannya semalam.
Damian mengusap rambutnya dengan kasar.
"Aku..... Mungkin semua sudah terlambat. Tapi aku harus mengatakannya.....Aku mencintaimu Serena, mungkin kau bertanya-tanya
kenapa. Tapi aku juga tidak bisa menjawabnya. Aku juga baru
menyadarinya. Itu terjadi begitu saja," Damian menatap Serena yang hanya
termangu dengan wajah pucat pasi, "Tapi sekarang itu tak penting lagi
bukan? Kesalahanku tidak bisa di maafkan semudah itu. Dosaku terlalu
besar."
Dengan ragu Damian melangkah ke arah pintu, terdiam sejenak.
"Semua hutangmu anggap saja sudah lunas. Aku tidak
akan menuntut apapun darimu, aku akan menjauh darimu dan kau tidak perlu
takut harus menghadapiku lagi. kau bebas sebebas-bebasnya.
Dan kalau kau masih mau bekerja di perusahaanku. Aku akan sangat
senang....Tapi aku tidak akan memaksa. Aku sudah terlalu sering
memaksakan kehendakku padamu. Sekarang tidak akan lagi," punggung Damian
tampak tegang, "Selamat tinggal Serena." gumamnya pelan sebelum membuka
handle pintu.
Serena termangu menatap punggung yang begitu tegang
itu. Pernyataan cinta Damian begitu mengejutkannya hingga dia tidak bisa
mengatakan apa-apa, memang Damian telah menyakitinya, tapi ada saat saat dimana Damian berhasil membuat hatinya terasa hangat. Dan kalau dipikir-pikir,
selama kebersamaan mereka itu. Tidak pernah sekalipun Damian
menyakitinya dengan sengaja, kecuali saat kemarahan menguasainya
kemarin.
Sekarang ketika Serena menatap punggung Damian, yang
tampak begitu tegang sekaligus rapuh. Sebuah perasaan hangat menyeruak
ke dalam hatinya, sebuah perasaan yang bertumbuh pelan tanpa dia sadari.
"Damian," Serena bergumam pelan, tapi cukup untuk
membuat Damian membatu di tempat. Tetapi lelaki itu tidak menoleh, hanya
berdiri di sana. Membeku seperti patung.
"Damian." kali ini Serena mengulang lagi, lebih lembut sehingga Damian menoleh menatap Serena.
Entah karena mata Serena yang menatapnya penuh
kelembutan, Entah karena Damian pada akhirnya sudah tidak bisa menahan
perasaannya lagi. Serena tidak tahu, yang pasti ekspresi Damian berubah
seketika.
Dia membalikkan tubuh. Menatap Serena ragu-ragu. Dan ketika dilihatnya Serena membuka lengan menyambutnya, Damian mengerang. Kemudian melangkah tergesa ke arah Serena, tersandung-sandung menghampiri Serena.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Lalu Damian jatuh
berlutut dan memeluk pinggang Serena, membenamkan wajahnya di perut
Serena. Napasnya tersengal menahan perasaan.
Dengan lembut Serena memeluk dan mengelus rambut Damian.
"Aku mencintaimu," Damian berbisik dengan suara parau,
wajahnya masih terbenam di perut Serena, "entah sejak kapan aku
mencintaimu. Mungkin sejak
pertama kali aku melihatmu, aku
|
...." napas
|
Damian tersengal, "Aku mungkin
|
manusia paling kejam, paling jahat...
|
tapi aku...
|
Aku tidak....."
|
"Damian," sekali lagi Serena berbisik lembut. Damian mendongakkan wajahnya dan menatap Serena, wajah Serena penuh air mata, dan tiba-tiba mata Damian terasa panas.
"Jangan menangis," Tiba-tiba Damian berdiri dan merengkuh Serena ke dalam pelukannya, memeluknya erat-erat, "Jangan menangis lagi, aku bersumpah tidak akan pernah membiarkanmu menangis lagi."
Serena memeluk Damian erat-erat.
Permintaan maaf Damian dan kelembutan sikapnya meluluhkan hatinya,
menumbuhkan perasaan baru di dalam hatinya, mereka telah begitu dekat
selama ini, kedekatan yang dipaksakan, tetapi mau tak mau telah membuka
pembatas yang selama ini ada di hati Serena.
Lama mereka berpelukan, dalam keheningan. Serena menumpahkan tangisnya di pelukan Damian dan lelaki itu memeluk Serena erat-erat, membenamkan wajahnya di rambut Serena.
Setelah tangis Serena mereda, Damian mengangkat dagu
Serena agar menghadap ke arahnya, mengusap air mata di pipi Serena
dengan lembut.
"Pulanglah bersamaku, kembalilah bersamaku Serena,
bukan karena uang tiga ratus juta itu. Aku ingin kau melupakan masalah
hutang itu, aku ingin kau
bersamaku karena kemauanmu sendiri. Pulanglah
bersamaku Serena, kita mulai lagi semuanya dari awal....Dan jika...Dan
jika...." Damian menarik napas, menahan perasaannya, "Jika kau memang
belum mencintaiku, aku akan menunggu. Bahkan aku tidak akan menyentuhmu
kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksakan kehendakku, kau bisa
tenang. Aku... Aku hanya ingin kau ada di tempat dimana aku bisa
melihatmu setiap hari."
Serena menatap Damian, dan melihat ketulusan di sana, melihat cinta di sana yang tidak di tahan-tahan lagi.
Dia baru membuka mulutnya untuk menjawab ketika pintu ruangan itu terbuka. Suster Ana membuka pintu, terlalu panik dan terengah-engah untuk merasa malu ketika menemukan Damian dan Serena sedang berpelukan.
"Serena!!!" Suster Ana berusaha menormalkan nafasnya,
dia tadi setengah berlari ke sini, "Cepat!!! Cepat ikuti aku ke ruang
perawatan!!!! Rafi sadar!!! Dia terbangun dari komanya!!!!!"
***
Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari
pelukan Damian, dia berlari penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi,
kerinduannya membuncah, rasa syukurnya tak tertahankan.
Ketika sampai di depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena pintu itu masih di tutup rapat, suster Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,
"Serena, jangan masuk dulu, dokter baru menstabilkan kondisinya."
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian
Serena diijinkan masuk, hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi,
setelah itu dokter harus mengevaluasi kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas
menatapnya, mata yang selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat
Serena menanti, mata itu sekarang terbuka, hidup, dan balas menatapnya,
"Rafi,"
suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak,
dia menghampiri tepi ranjang, ke arah Rafi yang masih terbaring, pucat
dengan alat-alat penunjang kehidupan yang masih menopangnya, tapi hidup dan membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya, lalu menangis.
"Rafi."
Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap
syukur karena Rafi akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi
memilih waktu yang begitu lama untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan suaranya tercekat di tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi tampak begitu susah payah,
“Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu,” gumam Serena
lembut, mencegah Rafi berusaha terlalu keras, “mereka memasang selang di
tenggorokanmu, untuk makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun."
Mata Rafi menatap Serena, tampak tersiksa, dan dengan lembut Serena mengusap air mata di pipi Rafi,
“Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka
akan melepas selang itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi
sekarang, kau cukup mengangguk atau menggeleng
saja ya, sekarang...” Serena menelan ludah, menahan
isak tangis yang dalam, “Sekarang kita harus mensyukuri karena kau
akhirnya terbangun, ya?”
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum dengan susah payah muncul dari bibirnya,
“Sekarang istirahatlah dulu, dokter akan mengecek
kondisimu lagi” bisik Serena lembut ketika melihat isyarat dari dokter
yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan beranjak, genggaman Rafi di
tangannya menguat, Dengan lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman
penuh cinta kepada Rafi,
“Aku tidak akan kemana-mana, aku harus menyingkir karena dokter akan memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana, aku akan berada di dekat sini sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung datang.”
Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu mau mengerti.
Dengan lembut Serena mengecup dahi Rafi dan melangkah menjauh keluar
ruangan perawatan. Air matanya mengucur dengan derasnya ketika dia
melangkah menghampiri suster Ana. Suster Ana masih berdiri di sana dan
Serena langsung berlari ke arahnya, menangis keras-keras.
“Dia sadar suster...dia akhirnya sadar...aku masih tak
percaya, selama ini aku hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir kalau
Rafi memang tidak mau bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku
ini sia-sia... Tapi sekarang...”, Serena terisak, “Aku tak
percaya bahwa pada akhirnya dia sadar... dia kembali dari tidur
panjangnya, dia ada di sini untuk aku...“
Dengan lembut Suster Ana mengelus rambut Serena,
“Ini semua karena perjuanganmu Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka ia mengabulkannya.” mata suster Ana juga berkaca-kaca,
terharu melihat pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena
kekuatan cintanya di rumah sakit ini, akhirnya akan berujung bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian
di ujung ruangan, masih bersandar di pintu lorong ruang perawatan,
dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari pelukannya,
“Eh mungkin aku harus pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin kalian bicarakan?“ suster Ana mengedikkan bahunya ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan suster Ana tadi,
Serena menyadari kehadiran Damian di ruangan itu. Pipinya langsung
memerah mengingat pernyataan cinta Damian, sesaat sebelumnya. Tapi dia
sungguh tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah Suster Ana meninggalkan ruangan itu, suasana menjadi canggung, dalam keheningan yang tidak menyenangkan.
“Dia sadar.” gumam Damian akhirnya, memecah keheningan.
Serena menganggukkan kepalanya, belum mampu bersuara.
Damian tampak berfikir,
“Kau bahagia?” tanyanya kemudian, lembut.
Serena mengernyitkan keningnya, Damian telah berubah,
menjadi sedikit lebih manusiawi, menjadi sedikit mudah disentuh. Damian
yang dulu tidak akan mungkin menanyakan itu padanya. Damian yang dulu
pasti akan langsung memaksa membawanya pulang tanpa peduli perasaan
Serena.
“Ya, aku bahagia.” seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan Rafi.
Damian mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu
bagaikan pisau yang menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena
ketika membayangkan lelaki lain, ketika membayangkan Rafi.
“Bagus,” gumamnya datar, kemudian menatap Serena
lembut, “mungkin kita harus melakukan pengaturan kembali dengan
perkembangan yang mendadak ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu,
kau pasti ingin fokus dulu dengan kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan
kembali lagi saja nanti.”
“Terima kasih Damian.” akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan.
Damian tersenyum miring,
“Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih, Serena yang aneh.” dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin bahwa Serena tak akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,
“Ingat kata-kataku tadi.” bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikan Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangi bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.
***
"Dia sadar." Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama Freddy hanya diam
terpaku. Damian sudah menceritakan semuanya kepada mereka tadi, tentang
sadarnya Rafi dari komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia sadar' 'dia sadar' sambil menatap keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar, sedangkan
Freddy hanya mengetuk- ketukkan tanggannya di lutut. Damian masih belum
menunjukkan tanda-tanda memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
"Kurasa karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya memutuskan untuk melepaskan Serena?"
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajam menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Dia belum memilih," gumam Damian setengah menggeram.
"detik terakhir sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas
pelukanku dan aku yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku."
"Sudahlah Damian, sekarang kan tunangannya yang setia
ditungguinya selama dua tahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa
sadar Freddy bersuara memberikan pendapat seperti kebiasaannya
sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak ketika menerima tatapan
tajam penuh permusuhan dari Damian, "Aku....aku hanya mencoba memaparkan
kenyataan di depanmu." suara Freddy hilang tertelan karena tatapan
Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas sekali lagi,
"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah
merupakan tujuan hidup Serena selama ini? Biarkan mereka berbahagia
Damian, mereka pantas mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang menyiksa."
"Tidak!" Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa
menyerah begitu saja dan membiarkan Serena salah memilih. Dia
mencintaiku. Perasaannya pada Rafi mungkin hanya kasihan."
"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya
kepadamulah yang mungkin hanya perasaan sesaat karena keadaan yang
dipaksakan? Kau pernah dengar apa itu Stockholm Syndrome?" sela Vanessa
jengkel.
Damian tercenung, tentu saja dia tahu apa itu
Stockholm Syndrome, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan
Serena kepadanya mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan
gusar diusapnya rambutnya,
"Aku akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebih baik."
Vanessa tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi.
***
Dua hari kemudian, Serena berdiri di depan ruangan
perawatan Rafi dengan cemas, tangannya menggenggam tangan suster ana
setengah menangis. Matanya semakin berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam. Teriakan Rafi,
"Suster...." hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang dikeluarkan Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.
"Tidak apa-apa Serena, itu pertanda
bagus, Rafi memang kesakitan, mereka sedang melepas selang di
tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa mengeluarkan suara,
itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik." suster Ana menggenggam
tangan Serena, membagikan kekuatannya.
Suara teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak mengenalinya. Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya,
"Berapa lama lagi suster?" menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan yang paling mengerikan.
"Sebentar lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya," dengan lembut suster Ana mengusap-usap
Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan banyak kesakitan
lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh."
Serena menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.
Penantian itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat keluar dan mengizinkan Serena masuk,
Dengan hati-hati, Serena melangkah masuk
ke ruangan perawatan Rafi. Ruangan yang sangat akrab, sangat
dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda, Rafinya tidak tidur. Rafinya tidak
menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup. Hati Serena sesak oleh
euforia yang membuncah.
Serena duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung
menyadari kehadirannya, tangannya membuka dan dengan lembut Serena
menyelipkan jemarinya kesana,
"Hai", sapa Serena lembut.
Rafi tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata menyakitinya,
"Sa...kit", gumamnya susah payah.
Serena tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus, berhati-hati agar tidak menyentuh luka di dadanya,
"Mereka sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu",
Rafi mengeryit lagi,
"Berapa lama?", suaranya serak dan terpatah-patah,
"Apanya?"
"Tidur... Berapa lama?"
Serena mendesah lembut,
"Dua tahun", jawabnya pelan. Dan langsung menerima
tatapan penuh kesedihan dari Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama
kok, yang penting kau bangun, kau berjuang dan aku bangga padamu."
sambung Serena cepat-cepat.
Rafi tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit lagi,
"Mama... Papa....?"
Serena menggenggam tangan Rafi erat-erat,
"Mereka meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi."
Dan hati Serena bagaikan diremas-remas
ketika melihat Rafi memejamkan mata dan menangis, dengan lembut
diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu yang pucat dan
tirus,
"Tapi aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang, mengetahui kau sudah sadar."
Rafi membuka matanya dan menatap Serena lembut,
"Maaf."
"Kenapa?" Serena mengernyit.
"Karena... Kau... Ditinggal..sendiri..."
Air mata ikut mengalir di pipi Serena,
"Aku tidak apa-apa, lihat? Aku sehat dan baik-baik
saja. Aku bertahan buat kamu. Dan sekarang kamu yang harus berjuang
buat aku ya, kamu harus berjuang untuk pulih lagi, bersamaku."
Rafi mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya begitu kelelahan,
Dengan lembut Serena mengusap rambut Rafi,
"Istirahatlah sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada saat kau bangun lagi."
Dengan lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu berubah teratur dan tertidur pulas.
"Dia kuat, dia akan baik-baik saja."
Suara dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia menoleh dan mendapati dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah sejak berapa lama.
"Dokter Vanessa?"
Vanessa tersenyum dan melangkah mendekat,
"Yah kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini
bersama seseorang." Vanessa mengedikkan kepalanya ke arah pintu, Serena
mengikuti arah pandangan Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy
berdiri di sana, tidak melangkah masuk, hanya berdiri di ambang pintu
dengan ragu-ragu.
"Dia datang untuk minta maaf." jelas Vanessa lembut
begitu melihat ekspresi takut Serena, "dia sudah meminta maaf kepada
Damian dan Damian mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena
kaulah yang dilukainya."
Damian. Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya. Tiba-tiba
dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus
membunuh perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus
kepada Rafi,
"Mungkin kita bisa berbicara di luar?" Vanessa berucap setengah berbisik, melirik ke Rafi yang sedang tertidur pulas.
Serena mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan diam-diam Freddy mengikuti mereka.
"Maaf," gumam Freddy ketika mereka sudah ada di
lorong yang sepi, dia mengeryit sedikit ketika melihat bahwa Serena
menjaga jarak kepadanya, sedikit berlindung di belakang Vanessa,
terlihat takut kepadanya.
Freddy mengusap rambutnya penuh perasaan bersalah,
"aku sendiri tak tahu setan apa yang menghinggapiku saat itu, aku salah
paham dan berbuat fatal...
Mungkin aku memang pantas menerima luka-luka
akibat semua pukulan ini...." Freddy mencoba menatap Serena selembut
mungkin, menunjukkan ketulusannya sebesar mungkin agar Serena yakin,
"kumohon jangan takut kepadaku Serena, aku minta maaf, aku benar-benar menyesal, aku malu."
Serena mencoba menganguk dan memunculkan senyum kecil meskipun dia masih menjaga jarak,
"Iya", jawabnya pelan.
Freddy menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang dilihat di mata Serena adalah ketulusan,
"Aku dimaafkan?" tanyanya pelan.
Serena akhirnya tersenyum lepas,
"Iya."
Dengan lembut Freddy membalas senyuman Serena,
"Sekarang aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu
bisa melumer menjadi begitu lembut." gumamnya pelan, membuat pipi Serena
merona.
Dengan lega Vanessa menarik napas panjang,
"Kalau begini masalah sudah selesai," Vanessa menoleh
ke arah Freddy, "nah Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu? Aku ingin
berbicara berdua dengan Serena, percakapan dokter dengan keluarga
pasien, kau tahu."
Freddy meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk,
"Oke, telpon aku kalau kalian sudah selesai."
gumamnya dan membalikkan tubuh melangkah pergi setengah diseret
mengingat kondisinya yang babak belur setelah dihajar habis-habisan.
Mereka berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum,
"Dia sangat menyesal kau tahu."
Serena mengangguk,
"Saya mengerti," lalu Serena menatap Vanessa dengan
penuh ingin tahu, "Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?"
kecemasan tampak terdengar dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu
dengan Rafi?
Vanessa tersenyum mencoba menenangkan Serena,
"Tenang saja, Rafi akan baik-baik saja.
Aku sudah berbicara dengan dokter yang menangani Rafi, dia bilang Rafi
bisa kembali pulih meski proses pemulihannya bisa berlangsung lama,"
dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena, "Serena apakah dokter
sudah memberitahukan kepadamu tentang kemungkinan.... Kemungkinan bahwa
Rafi bisa lumpuh selamanya?"
Serena mengangguk, tidak tampak terkejut,
"Pada saat Rafi jatuh koma pun, dokter sudah
memberitahukan kemungkinan itu kepada saya, dokter bilang kalau meskipun
nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh selamanya."
"Tapi kemungkinannya tidak seratus persen, masih ada
harapan 20 persen bahwa Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan
yang tepat....."
"Maksud dokter?", Serena mengernyitkan keningnya,
"Maksudku, aku merekomendasikan diriku untuk merawat
Rafi, kau tahu aku sedang mendalami spesialisasi pemulihan tulang dan
saraf, jadi aku bisa merawat Rafi dengan baik..... Nanti ketika dia
sudah boleh keluar dari rumah sakit, Rafi harus terus menjalani terapi
dengan begitu masih ada kemungkinan dia bisa berjalan lagi."
"Apakah.... Apakah dokter diminta Damian
melakukannya?" Serena menatap dokter Vanessa sedikit curiga. Kebaikan
hati perempuan cantik di depannya ini tampak diluar dugaan, apakah
Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini kepadanya?
Vanessa mengangkat bahu dan tersenyum lagi,
"Damian memintaku memang, tapi bukan itu alasan aku
ingin merawat Rafi," Vanessa menepuk pundak Serena hangat, "Kau tahu
almarhum suamiku.... Dia meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan
tol, kecelakaan yang sama yang menewaskan kedua orang tuamu dan melukai
rafi."
"Astaga", Serena menutup mulutnya dengan jemarinya, terkejut,
"Yah astaga", Vanessa tersenyum, "dunia ini sempit bukan? Kadang kebetulan- kebetulan yang terjadi sering membuatku bertanya-tanya," tatapan Vanessa berubah serius, "tapi sungguh Serena, kondisi Rafi ini kupandang sebagai kesempatan kedua,
aku tidak bisa merawat suamiku pada saat itu, tapi
kurasa Tuhan memberiku kesempatan untuk merawat korban yang selamat dari
kecelakaan yang sama, itupun kalau kau mengizinkan."
Serena menganggukkan kepalanya, terharu,
"Iya dokter, saya akan senang dan lega sekali menyerahkan perawatan Rafi di tangan dokter."
***
"Tidak enak." Rafi mengernyit, menggelengkan kepalanya, menghindari sendok berisi bubur sayuran yang disuapkan Serena kepadanya.
Hari ini adalah tiga minggu sejak Rafi tersadar dari
komanyaa, kondisinya sudah mulai membaik, dia sudah bisa duduk, sudah
bisa mengucapkan lebih dari satu kalimat, dan alat-alat
penunjang kehidupannya sudah mulai dilepas satu persatu, dokter sendiri
memuji perkembangan Rafi yang luar biasa pesat, tekad lelaki itu kuat,
maka ketika dia berniat untuk sembuh dia akan merasakannya sepenuh hati.
"Kau harus memakannya," gumam Serena sedikit geli dengan kemanjaan Rafi yang seperti anak-anak, "ini menyehatkanmu."
"Rasanya seperti muntahan." Gumam Rafi, tapi akhirnya
menurut membuka mulutnya, menerima suapan Serena lalu mengernyit ketika
menelan.
Ekspresinya membuat Serena tergelak, tapi kemudian
Rafi meraih tangan Serena yang tidak memegang sendok, ekspresinya
berubah serius,
"Serena, tak terbayangkan
|
rasa
|
terimakasihku padamu....aku tidak tahu
|
|
bagaimana mengungkapkan
|
cintaku, aku....
|
Para dokter dan perawat
|
|
menceritakan perjuanganmu untukku
|
...."
|
"Stttt," Serena meletakkan sendoknya dan menyentuhkan jemarinya di bibir Rafi, "Perjuangannya sepadan, kau akhirnya bangun kan?"
"Tapi...." ekspresi kesedihan menghantam Rafi,
"aku.... Aku mungkin tidak akan bisa berjalan lagi. Aku mungkin lumpuh
selamanya, aku hanya akan menjadi bebanmu..."
"Rafi," Serena menyela sedikit marah, "kau tidak boleh
memvonis dirimu sendiri, kesembuhanmu yang luar biasa ini juga diluar
prediksi dokter bukan? Kita pasti bisa kalau kita berjuang dengan tekad
dan keyakinan kuat bersama-sama, meskipun begitu....",
Suara Serena berubah sendu, "meskipun pada akhirnya kau lumpuh selamanya
pun, aku akan tetap bahagia bersamamu... Kau tahu selama ini aku selalu
berdoa apa? Aku berdoa yang penting kau sadar, aku tidak peduli yang
lain, Tuhan sudah mengabulkan doaku Rafi.... Tidakkah itu cukup?"
Mata Rafi tampak berkaca-kaca.
"Kau tidak tahu betapa aku mencintaimu......"
Suara di pintu itu mengalihkan perhatian mereka,
Serena dan Rafi menoleh bersamaan, lalu Serena tersenyum, Dokter Vanessa
ada di sana, dalam kunjungannya yang biasa, sekarang bahkan dokter
Vanessa sudah mulai akrab dan berteman dengan Rafi.
Tapi senyuman Serena langsung membeku ketika menyadari siapa yang mengikuti di belakang dokter Vanessa, itu Damian!
Damian yang sama. Damian yang tampan dengan penampilan
bak adonis, dengan ekspresi yang dingin dan tidak terbaca. Serena tidak
pernah berhubungan dengan Damian lagi sejak Rafi sadarkan dari komanya,
Damian selalu memaksakan maksudnya dengan perantaraan dokter Vanessa,
seperti
ketika Damian memaksakan untuk menanggung biaya rumah
sakit Rafi dan ketika Damian memaksakan Serena setuju - lewat bujukan
dokter Vanessa - agar Serena dan Rafi pulang ke apartemen yang
dibelikannya ketika Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit nanti.
Sekarang lelaki itu berdiri di depannya, ekspresinya tak terselami dan sedikit muram, membuat Serena bertanya-tanya, apakah Damian mendengarkan percakapannya dengan Rafi tadi. Apakah Damian tidak senang mendengarnya,
"Dokter Vanessa," Rafi menyapa ramah ketika Serena
hanya diam saja, lalu menatap ingin tahu ke arah lelaki tampan yang
sepertinya hanya menatap terfokus kepada Serena,
"Halo Rafi, aku datang untuk mengecek keadaanmu. Dua
hari lagi kau sudah boleh pulang kalau kondisimu sebaik ini terus,"
Vanessa menyadari Rafi menatap ke arah Damian, lalu menyikut pinggang
Damian untuk menarik perhatian Damian yang terarah lurus kepada Serena,
"Dan ini Damian, dia eh bosku dan bos Serena juga."
Damian menolehkan kepalanya pelan-pelan, lalu menatap ke arah Rafi, menelusurinya dengan tajam dan meneliti.
Inikah laki-laki yang dicintai Serena
sampai rela mengorbankan segalanya? Tiba- tiba pikiran jahat melintas di
benaknya, apa yang akan diperbuat Rafi jika tiba- tiba dia
mengungkapkan bahwa Serena sudah menjual keperawanannya kepadanya? Bahwa
dia sudah berkali-kali meniduri tunangannya yang katanya dicintainya tadi?
"Damian." Vanessa bergumam ketika Damian hanya menatap dan tidak bersuara,
Damian lalu mendekat dan mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Salam kenal, saya adalah.... Atasan Serena di tempat
kerjanya... Kebetulan kami eh cukup .... akrab." sedikit senyum muncul
di bibir Damian ketika menyadari Serena dan Vanessa tampak begitu cemas
dengan kata-kata yang mungkin muncul dari bibirnya,
Rafi menerima jabatan tangan Damian dan tersenyum tulus,
"Terimakasih." meskipun Rafi sedikit bertanya-tanya kenapa tatapan Damian seolah-olah ingin membunuhnya.
“Saya senang kondisi anda semakin membaik.” gumam Damian tenang, tapi terdengar seolah-olah mengatakan, kenapa kau tak mati saja biar semua jadi mudah?
Serena mengernyit mendengar nada suara Damian itu,
lelaki itu sama sekali tidak mencoba membuat suasana menjadi lebih mudah
malah seolah-olah menantang Serena untuk mengakui sesuatu ?
mengakui apa? apakah Damian ingin agar Serena mengakui segalanya di
depan Rafi? Mengakui bahwa dia sudah menjual keperawanan dan tubuhnya
demi membiayai biaya operasi Rafi??
Serena akan mengakuinya, itu pasti, dia tidak mungkin
membohongi Rafi. Rafi mungkin akan marah dan sedih, sedih karena Serena
terpaksa melakukan semua itu demi dirinya. Lalu mungkin Rafi akan
menyalahkan dirinya sendiri. Oh, lelaki itu tidak akan meninggalkan
dirinya karena sudah tidak perawan. Serena begitu mengenal Rafi hingga
yakin akan hal itu, dia lelaki berpkiran terbuka, tetapi yang Serena
takuti adalah Rafi akan semakin menyalahkan dirinya, sendiri,
menyalahkan kondisinya yang tidak berdaya yang membuat Serena harus
berjuang sendirian demi dirinya, dan Serena tidak mau Rafi mengalami itu
semua, tidak di saat kondisi Rafi masih begitu rapuh dan ada di dalam
proses pemulihan. Nanti, Serena pasti akan mengakui semuanya, tetapi
tidak sekarang.
Karena itu dia langsung memelototi Damian
mengingatkan, memastikan Damian melihat isyarat dalam matanya, dan
menggeram dalam hati ketika Damian malahan tersenyum meremehkan.
“Mr. Damian ini adalah atasanku di tempat lamaku bekerja.” jelas Serena cepat begitu melihat kebingungan di mata Rafi.
“Tempatmu sekarang bekerja Serena, kamu masih bekerja di sana.” sela Damian tajam.
Serena ternganga mendengar bantahan Damian itu, kehabisan kata-kata, sementara lelaki itu tersenyum datar pada Rafi,
“Kami sempat mengalami sedikit kesalahpahaman. Saya
menuduh Serena melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan,
Tetapi saya sekarang sudah menyadari kesalahan saya,” Damian menatap
Serena penuh arti, “dan dengan rendah hati, saya meminta Serena kembali
kepada saya”. kata-kata itu diucapkan dengan datar dan santai, tapi entah kenapa arti yang tersirat di dalamnya membuat pipi Serena merona.
Vanessa langsung berdehem memecah kecanggungan,
“Bagus, kita akhirnya menyelesaikan segala kesalahpahaman,” gumamnya ceria, “Nah sekarang aku ingin memeriksa kondisimu Rafi.”
“Saya tidak pernah merasa lebih baik dokter.” Rafi tersenyum, perhatiannya teralih dari Damian dan Serena.
“Dan akan lebih baik lagi, aku yakin mengingat
pesatnya kondisimu,” Vanessa tersenyum, lalu menatap Serena dan Damian,
“Kalian bisa keluar sebentar? aku ingin memeriksa kondisi Rafi.”
Dan dalam diam Damian dan Serena melangkah keluar ruangan. Mereka masih berdiri diam di lorong ruang perawatan.
“Well dia tampak sehat.” gumam Damian kemudian, menyandarkan tubuhnya di tembok dan menatap Serena tajam,
Serena menganggukkan kepalanya.
“Dia tidak akan bisa berjalan lagi kan?” sambung Damian jahat.
Serena membelalakkan matanya mendegar kekejaman dalam suara Damian,
“Damian!! Jahat sekali kau!”, mata Serena tampak berkaca-kaca, "Dokter Vanessa bilang masih ada kesempatan bagi Rafi untuk sembuh, dan aku percaya dia akan sembuh.”
“Sampai berapa lama lagi Serena? kau harus menunggu
dalam waktu yang tak pasti lagi, Kenapa mencintai seseorang harus penuh
pengorbanan seperti itu?” Damian mendeses kesal, “Dan kata Vanessa dia
juga mungkin tidak bisa berfungsi sebagai laki-laki normal...”
“Damian!!!” Serena setengah berteriak, menghentikan kata-kata Damian, pipinya memerah mendengar ucapan Damian yang begitu vulgar.
Damian mengangkat bahunya tanpa rasa bersalah,
“Aku cuma mengungkapkan apa yang dikatakan Vanessa kepadaku,” tiba-tiba
dia mendekat dan merengkuh pundah Serena, “Bagaimana Serena? Bagaimana
jika dia tidak dapat berfungsi sebagai lelaki normal? padahal aku
tahu...”, mata Damian menyala-nyala, “aku tahu betapa kau
gadis kecil yang penuh gairah, betapa kau menyambut setiap sentuhanku
dengan gairah yang sama, betapa kau menyukainya... Bagaimana kau nanti
bisa tahan tidak merasakan itu semua...tidak disentuh.. tidak di...”
“Hentikan!!!!” Kali ini Serena benar-benar berteriak, matanya berkaca-kaca. Membuat Damian terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Serena tampak begitu rapuh sekaligus begitu kuat dengan wajah pucat
pasi dan mata berkaca- kaca seperti itu, membuat Damian ingin
melumatnya...
“Kau terlalu picik kalau selalu memandang sebuah kasih
sayang hanya dari kemampuan melakukan hubungan fisik,” desis Serena
tajam,
“aku mencintai Rafi, aku hanya butuh kehadirannya di sampingku, itu saja...
Kalaupun.. kalaupun dia nantinya tidak bisa memelukku
dengan bergairah, aku tidak peduli, yang penting dia hidup dan ada di
sisiku, aku tidak butuh yang lain lagi...”
"Tidak butuh yang lain lagi?” Kata-kata
Serena yang penuh cinta kepada Rafi itu menyulut kemarahan Damian,
dengan kasar direngggutnya Serena ke dalam pelukannya, “Kalau begitu
bagaimana dengan yang ini??!”
Dengan tanpa diduga-duga, Damian mencium
bibir Serena, pertama kasar, meluapkan kemarahannya disana, melumat
bibir Serena dengan menyakitkan seolah ingin menghukumnya. Oh! betapa
dia ingin menghukum perempuan ini karena menyakitinya! Oh berapa dia
merindukan perempuan ini!!
Ciumannya melembut ketika merasakan bibir perempuan
yang sangat dirindukannya, yang sudah lama tidak disentuhnya, yang sudah
lama tidak dirasakannya. Kerinduannya meluap, dipeluknya tubuh Serena erat-erat, dilumatnya bibirnya dengan seluruh gairahnya, dipujanya bibir itu.
Serena yang tidak menyangka akan dicium dengan
seintens itu semula hanya terpaku, lalu dia memejamkan matanya, aroma
Damian, kemaskulinannya menyeruak di dalam dirinya. Membangkitkan
kenangan lama akan kedekatan mereka, dan secara alami, Serena membalas
pelukan dan lumatan Damian.
Entah berapa lama mereka berciuman sampai kemudian Damian melepaskan tautan bibir mereka, terengah-engah.
Dengan lembut Damian menunduk, masih berpelukan,
dahinya menyatu dengan dahi Serena, napas mereka yang panas menyatu,
bibir mereka masih berdekatan.
Kemarahan Damian mereda seketika oleh ciuman itu, kini dadanya dipenuhi oleh perasaan lembut yang menyesakkan dada,
“Jangan bilang kau tidak merindukan sentuhanku.” bisik Damian lembut,
Serena memejamkan mata berusaha menggeleng,
“Aku tidak merindukannya.” erangnya mencoba melawan,
Damian menundukkan kepalanya, menghujani telinga dan leher Serena dengan ciuman-ciuman lembut seringan bulu, membuat tubuh Serena gemetaran,
“Teruslah berbohong? bisik Damian di telinga Serena,
“Tapi tubuhmu tidak bisa membohongiku, tubuhmu merindukanku Serena, dan
aku merindukanmu.” bisik Damian di sela-sela kecupannya.
Serena mengerang, mencoba melawan kebenaran yang
menyiksanya. Dia merindukan Damian, dia memang merindukan lelaki itu.
Sering di malam-malam dia berbaring di sendirian di sofa
rumah sakit, menunggui Rafi. Dia merindukan Damian, merindukan
pelukannya yang melingkari perutnya dengan posesif, merindukan lengannya
yang selalu menjadi bantal tidurnya, merindukan desah napas teratur
Damian di telinganya ketika tertidur pulas. Tapi Serena menahannya,
mencoba mengenyahkannya. Perasaan itu tidak boleh ditumbuhkan. Dia sudah
mempunyai Rafi, Rafinya, tunangannya. Kekasih yang dicintainya. Kekasih
yang ditunggunya tanpa putus asa selama dua tahun. Kekasih yang
sekarang sedang berjuang untuk pulih kembali demi dirinya.
Air mata mengalir deras di pipi Serena,
“Aku merindukanmu Damian.” pengakuan itu, pengakuan yang sama sekali tidak di duga-duga Damian membuat gerakan lelaki itu yang sedang mencumbu Serena terpaku.
Damian langsung menegakkan tubuhnya, mengangkat dagu Serena agar menatapnya,
“Apa? Katakan sekali lagi, katakan,” Damian mendesak
ketika Serena menghindari matanya. “Katakan sekali lagi Serena, aku
perlu mendengarkan lagi.”
Serena menarik napas panjang, lalu menatap mata biru yang berbinar-binar itu,
“Aku merindukanmu Damian.” gumamnya lagi, lebih pelan dan bergetar.
“Demi Tuhan,” Damian memejamkan matanya lama, lalu memeluk Serena, “betapa aku ingin mendengar pengakuan itu darimu...”
Mereka berpelukan lama, menikmati saat-saat yang penuh dengan keheningan itu, sampai kemudian Damian menjauhkan pelukannya dan menatap penuh tekad,
“Kita harus berbicara dengan Rafi.”
“Jangan!!!” Serena langsung berteriak mencegah dan ketakutan, “Jangan Damian!!”
Mata Damian berkilat-kilat,
“Kau harus menentukan perasaanmu Serena, aku atau
Rafi. Salah satu dari kami harus mendapat kepastian tentang perasaanmu.”
gumamnya tegas.
Serena menangis lagi, tangannya bergerak lembut, mengelus pipis Damian, lelaki itu langsung memejamkan matanya,
“Damian... Mungkin aku juga menyayangimu, mungkin aku
juga mencintaimu. Tapi Rafi lebih membutuhkan aku, tanpa aku dia tidak
punya siapa-siapa lagi. Sedangkan kau, kau lelaki yang
hebat, kau bisa mencari banyak penggantiku, kau pasti masih bisa hidup
tanpa aku.” gumam Serena lembut.
Ketika Damian membuka matanya, kesakitan dan kepedihan yang terpancar di dalamnya begitu mengiris hati Serena,
“Jadi aku dikalahkan karena aku hebat?” suara Damian
terdengar begitu pedih, “Apakah aku harus luka parah seperti Rafi dulu
biar kau memilihku?”
“Damian!!!” Serena berseru spontan, terkejut, “Jangan pernah....
|
jangan pernah
|
berpikir seperti itu, kau... kau pasti bisa memahami keputusanku.”
|
Damian melihat air mata Serena yang mengalir dan
mengusapnya lembut, Kemudian Damian merangkum pipi Serena dengan kedua
tangannya, menghadapkan wajah mungil pucat pasi itu agar mau menatap
matanya.
Mereka bertatapan. Yang satu penuh air mata, yang lain penuh tekad, saling memandang dalam keheningan,
Lalu sebuah senyum kecil muncul di bibir Damian,
“Dasar perempuan kecilku yang bodoh, kau tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Cukup dengan kau bahagia. Itu saja, kau mengerti? Sekarang hapus air matamu itu dan tersenyumlah!”
***
Sejak saat itu Damian seolah-olah menghilang dari kehidupan Serena, Serena merenung dalam mobil rumah sakit yang membawa mereka pulang ke apartemen.
Hari ini Rafi sudah boleh pulang dari rumah sakit,
bersama Vanessa dan suster Ana mereka pulang ke apartemen. Suster Ana
memutuskan untuk tinggal sementara membantu Serena, dan Vanessa sudah
berjanji akan berkunjung setiap hari untuk mengecek kondisi rafi dan
melakukan terapi rutin.
Kata Dokter Vanessa, Damian memutuskan mengambil tugas perjalanan ke eropa dan mungkin akan kembali dalam waktu yang lama.
Dada Serena terasa nyeri, ketika sekali lagi mengakui
kenyataan itu kepada dirinya sendiri, Oh ya, dia merindukan Damian,
sangat merindukannya. Ternyata cinta memang bisa tumbuh tanpa
direncanakan. Serena mencintai Damian. Dia tidak tahu kapan perasaan ini
bertumbuh. Dia hanya tahu dia mencintai Damian, itu saja.
“Aku tidak menyangka bosmu yang kelihatannya sombong
itu bisa begitu baik, meminjamkan apartemennya”, Rafi memecah
keheningan, menatap Serena dengan sedikit menyelidik, dia bertanya-tanya karena akhir-akhir ini Serena begitu murung,
“Aku yang membujuknya”, Vanessa yang duduk di kursi depan cepat-cepat
menjawab, tahu bahwa Serena pasti kebingungan dengan pertanyaan Rafi
itu, “Damian adalah sahabat suamiku, aku bilang merawatmu penting
bagiku, karena kamu adalah salah seorang yang selamat dari kecelakaan
yang menewaskan suamiku. Jadi Damian mau meminjamkan apartemen itu, toh
apartemen itu tidak terpakai.”
Mereka sampai di apartemen, dan Serena mendorong kursi roda Rafi memasuki ruangan itu.
Begitu mereka masuk tanpa sadar Serena mengernyit,
semua kenangan itu seolah menghantamnya. Di sini, di apartemen ini dia
menghabiskan waktu berdua dengan Damian, makan malam bersama, bercakap-cakap bersama….
“Apartemen yang sangat bagus, kita beruntung Serena,
bos mu sangat baik.” Rafi mendongakkan kepalanya ke belakang menatap
Serena sambil tersenyum,
Mau tak mau Serena memaksakan senyuman di bibirnya.
Kuatkah ia berada di sini? Apalagi di kamar itu... Serena melirik
kamarnya, tempat Damian juga menghabiskan sebagian besar waktunya di
sana. Tidak! dia tidak mau masuk lagi ke kamar itu!
Dengan cepat dan efisien mereka menyiapkan segalanya
sehingga Rafi selesai di terapi dan beristirahat di kamarnya. Suster Ana
menjaganya sebentar, lalu berpamitan untuk kembali ke rumah sakit,
berjanji akan pulang dan menginap di sini nanti malam.
Setelah memastikan Rafi tertidur pulas, Vanessa menyeduh teh dan mengajak Serena duduk di ruang depan.
“Dia sudah kembali dari eropa.” Vanessa membuka percakapan, menatap Serena dari atas cangkir kopi yang diteguknya.
Seketika itu juga hati Serena melonjak, tahu siapa yang di isyaratkan sebagai ‘dia’ itu.
“Apakah dia baik-baik saja?” Tanya Serena pelan.
Vanessa tersenyum miring mendengar kelembutan dalam suara Serena,
“Kau itu baik hati ya, sudah menerima arogansinya
yang tidak tanggung- tanggung, tetapi masih saja mencemaskannya,” dengan
pelan Vanessa meletakkan cangkirnya, “Yah, dia baik-baik
saja, sedikit kurus, terlalu memaksakan diri dan jadi pemarah seperti
beruang terluka, tak ada yang berani menyinggungnya dan mendekatinya
dalam radius 100 meter kalau dia sedang mengeluarkan aura pemarahnya,
bahkan direktur keuangan memilih berhubungan dengannya via telepon,”
Vanessa terkekeh. Lalu wajahnya berubah serius melihat kesedihan Serena,
“Yah.... dengan melupakan fakta kalau akhir- akhir ini dia lebih
seperti mayat hidup daripada manusia, sepertinya dia baik-baik saja.”
Serena memalingkan wajahnya dengan pedih,
“Dia menderita Serena...” desah Vanessa kemudian, “Aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya.”
“Sudah...” Serena tidak tahan lagi mendengarnya, penderitaan Damian serasa mengiris-iris hatinya, “Sudah aku tidak mau mendengar lagi.”
Vanessa menarik napas,
“Tapi tadi dia memintaku menyampaikan pesan kepadamu.”
“Pesan?”
Vanessa menggangguk,
“Ya, sebuah pesan... malam ini jam delapan, ditunggu di restourannya,“ lalu Vanessa menyebutkan nama sebuah hotel,
Dan Serena mengernyit, hotel tempat pertama kali dia bersama Damian.
***
Serena merasa tidak nyaman, pakaiannya terlalu biasa-biasa saja untuk ukuran hotel yang mewah ini. Dia berdiri dengan kikuk di lobby, tak tahu harus berbuat apa.
Entah dorongan apa yang membuatnya datang menemui
Damian malam ini. Dia tahu dia nekat, seperti memancing iblis untuk
membakarnya. Tapi dia tidak bisa menahan diri. Dia ingin bertemu Damian,
walaupun mungkin ini untuk terakhir kalinya.
“Bisa dibantu nona?” Lelaki petugas hotel itu datang menghampiri, sepertinya melihat kebingungan Serena,
“Eh saya...saya Serena...saya sudah ditunggu...”
“Nona Serena,” petugas itu berubah sopan dan membungkukkan tubuh, “silahkan, anda sudah ditunggu, mari saya antar.”
Dengan ragu Serena melangkah mengikuti petugas hotel itu, memasuki restaurant yang tertata dengan mewah dan elegan.
Dan disanalah Damian, duduk dengan pakaian resminya,
mata Damian sudah melihatnya ketika dia memasuki ruangan. Dan tidak
lepas memandanginya dengan tajam setelahnya.
Ketika Serena mendekat, Damian berdiri dengan sopan lalu duduk lagi setelah Serena duduk,
Hening sejenak, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Terimakasih sudah datang.” gumam Damian lembut,
Serena mengangguk, matanya berkaca-kaca melihat kelembutan tatapan Damian.
“Mungkin ini untuk terakhir kalinya, mungkin setelah ini aku tidak akan datang lagi.” gumam Serena pelan.
Damian menggangguk,
“Setelah ini aku tidak akan pernah memintamu datang lagi.”
Hening lagi. Sampai pelayan membawakan makanan pembuka, mereka makan malam dalam diam.
Sampai kemudian Damian menuangkan anggur ke gelas Serena,
Serena mengernyit,
“Aku tidak pernah minum alkohol.”
Damian tersenyum menggoda, senyum pertamanya malam itu,
“Tenang saja, aku akan menjagamu. Kemungkinan terburuknya mungkin kau diperkosa saat mabuk.”
Pipi Serena langsung merona dan Damian terkekeh.
Anggur itu mencairkan segalanya, suasana menjadi
hangat, dan percakapan mereka mengalir lancar, Damian menceritakan
tentang perjalanannya ke Eropa dan Serena mendengarkannya dengan penuh
minat.
Sampai kemudian, Damian menggenggam tangan Serena lalu mengecupnya,
“Aku ingin memelukmu.”
Hanya satu kalimat, tapi Serena mengerti. Dia
menganggukkan kepalanya. Entah kenapa dia menyetujuinya. Mungkin karena
anggur itu sudah mempengaruhi pikiran normalnya. Yang pasti Serena juga
ingin merasakan pelukan Damian.
Dengan lembut Damian menghela Serena, melangkah ke lantai atas,
Ketika Damian membuka pintu kamar, Serena menatap Damian bingung, dan Damian tertawa menyadari kebingungan Serena,
“Yah... kamar yang sama... Kuakui... aku memang agak
sedikit sentimental,” Damian mengangkat bahu, pipinya sedikit merona,
“Kupikir... tempat saat pertama akan cocok untuk menjadi tempat saat
terakhir kita.”
Serena tersenyum lembut, dan membiarkan Damian membimbingnya memasuki kamar,
Mereka berdiri dengan canggung, sampai Damian mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya,
“Aku membawa cincin keluargaku, cincin yang diberikan turun-temurun
untuk pengantin perempuan,” dengan tenang dia membuka kotak itu dan
menunjukkan cincin dengan berlian biru yang mungil dan cantik, “Aku
ingin memberikannya kepadamu.”
“Tidak!!” Serena langsung berseru keras, menolak,
“Jangan Damian, itu... itu cincin yang sangat penting, itu untuk
pengantin wanitamu!”
“Bagiku, kaulah pengantin wanitaku,” Damian menarik
tangan Serena, memaksa memasangkan cincin itu ketangannya, lalu
menggenggamnya erat-erat ketika Serena berusaha melepaskan cincin itu, “Aku ingin kau memilikinya.”
“Damian...” Serena merintih penuh penderitaan, penuh
air mata, Dan Damian mengusap air matanya lembut, mengecup air matanya
lembut,
“Serena,” bisiknya seolah kesakitan, lalu mencium
bibirnya dengan lembut dan penuh perasaan, “Astaga... Serena....
Serena... Betapa aku merindukanmu...”
Ciumannya semakin dalam, semakin bergairah, semakin penuh kerinduan, tak
tertahankan....
***
Damian melepaskan ciumannya dan menatap Serena lembut,
"Kau mabuk ya?" senyumnya. Merasa senang karena Serena membalas ciumannya dengan sama bergairahnya.
Serena hanya merangkulkan tangannya erat-erat di leher Damian, merasakan benaknya melayang-layang. Sepertinya dia memang mabuk, karena sekarang dia merasa bebas dan begitu nyaman bersama Damian.
Damian terkekeh geli,
"Aku senang kalau kau mabuk, kau begitu penurut dan tidak takut-takut,"
dengan lembut Damian mengecup telinga Serena, mencumbunya dengan penuh
kelembutan, "biarkan aku mencintaimu malam ini Serena...."
Dengan lembut Damian menghela Serena ke atas tempat
tidur dan mengecupi wajahnya penuh perasaan, "selama ini kita
berhubungan seks...tapi malam ini aku berjanji, kita akan.... bercinta."
Damian menggerakkan tangannya menurunkan gaun Serena
dan mulai mengecupi pundaknya, tersenyum senang ketika mendengar desahan
Serena,
"Hmm, kau senang sayang? Kau menyukainya ya?" dengan penuh perasaan di kecupinya semua permukaan kulit Serena.
Serena merasa dirinya melayang-layang, pengaruh alkohol, ditambah kemesraan Damian yang luar biasa membuatnya merasa di awang-awang, dibukanya matanya, dan samar-samar dilihatnya Damian mengecupi jemarinya, ketika Damian menatapnya, mata laki-laki itu tampak berkilauan,
Posisi mereka begitu intim, telanjang bersama dengan
tubuh menyatu. Damian mendesakkan dirinya lebih rapat, menikmati tubuh
perempuannya yang melingkupinya. Dadanya serasa membuncah oleh perasaan
hangat, ketika mata mereka bersatu dalam pesan yang tersirat,
"Aku mencintaimu." bisik Damian lembut. Dan Serenapun melayang, terbawa oleh cinta Damian.
****
Damian memeluk tubuh Serena yang lunglai dan terlelap, tubuhnya rileks setelah percintaan mereka. Tapi otaknya berpikir keras.
Dia sengaja membuat Serena mabuk malam ini, agar
Serena tidak waspada, agar Serena tidak menyadari, tidak menyadari apa
yang sudah dia rencanakan jauh sebelumnya.
Dia tidak memakai pelindung saat mereka bercinta tadi. Dia berusaha membuat Serena hamil.
Damian memejamkan mata dan mengernyit ketika sengatan
rasa bersalah menyerbunya. Dia telah memanipulasi ketulusan perasaan
Serena dengan menjebaknya. Tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah berusaha
melupakan Serena. Tuhan tahu dia berusaha sangat keras, apa saja agar
Serena bahagia bersama Rafinya yang sudah dipilihnya. Dia bahkan
mengajukan diri untuk perjalanan bisnis ke luar negeri agar bisa
melupakan Serena. Tapi perempuan itu membayanginya, membuatnya gelisah
dan tidak bisa berkonsentrasi. Damian merasa dirinya nyaris gila ketika
memutuskan akan pulang dan memutuskan untuk memiliki Serena dengan cara
apapun. Jika Serena tidak mau memilihnya, maka Damian akan memaksa
Serena memilihnya!
Dengan lembut Damian mengecup dahi Serena yang
berbaring di lengannya. Sebelah tangannya meraba perut Serena yang
telanjang di balik selimut dan mengelusnya.
Anakku mungkin sudah bertumbuh di sini, pikirnya posesif. Rasa memiliki dengan intensitas luar biasa muncul tiba-tiba
dalam hatinya ketika menyadari bahwa anaknya mungkin sudah mulai
bertumbuh dan terbentuk di dalam rahim Serena. Dengan lembut diusapnya
perut Serena, Damian tidak bisa menahan diri, pelan- pelan diletakkannya
kepala Serena di bantal, lalu dia bergerak turun dan mengecup perut
Serena,
"Kau harus tumbuh di sana," bisiknya penuh tekad, "Kau
harus tumbuh sehat dan kuat di sana, agar ayahmu bisa memiliki ibumu",
Damian berbicara sambil mengecup perut Serena.
Kemungkinan bayi itu terbentuk dari percintaan mereka
adalah 80%, Damian sudah mempelajarinya dari semua referensi yang bisa
ia dapat, ia mengetahui bahwa dari rata-rata umur mereka berdua kemungkinan Serena hamil malam ini sangat besar, dan diam-diam dia sudah mencocokkan dengan siklus Serena, dia tahu perempuan itu sedang dalam masa suburnya.
"Damian?" Serena bertanya-tanya kenapa Damian mengecup perutnya.
Damian tersenyum, senyum yang sedikit kejam menurut
Serena, tapi usapan tangan lelaki itu yang dilakukan sambil lalu di
sepanjang kulitnya yang telanjang, terasa begitu lembut sekaligus
menggoda,
"Aku bergairah lagi." gumam Damian Serak, lalu bergerak naik dan mengecup bibir Serena penuh gairah.
Damian berbeda dengan tadi, pikir Serena, kali ini
sedikit lebih kasar, tidak menahan diri dan sangat posesif. Ciumannya
begitu bergairah, melumat bibir Serena kuat-kuat, lidahnya menjelajahi mulut Serena dengan panas, tangannya mengusap tubuh Serena penuh gairah,
"Kau milikku Serena." gumam Damian parau sebelum bercinta lagi dengan Serena.
***
Serena terbangun dalam pelukan Damian. Matahari fajar
sedikit menembus tirai putih jendela hotel itu, masih gelap dan dingin.
Dengan nyaman Serena makin bergelung dalam pelukan lelaki itu. Dan
secara otomatis Damian mengetatkan pelukannya, melingkarkan lengannya erat-erat di tubuh Serena.
Serena memejamkan matanya, menenggelamkan wajahnya di dada telanjang Damian, menghirup aroma Damian kuat-kuat dan menyimpannya rapat-rapat dalam memorinya. Tiba-tiba air mata merembes dari sela bulu matanya, dan Serena menahannya agar tidak menjadi isakan.
Kenapa? Kenapa Tuhan membuatnya jatuh cinta lebih dulu
kepada Damian sebelum kemudian mengabulkan doanya agar Rafi terbangun
dari komanya? Apa rencana Tuhan di balik semua peristiwa ini? Kenapa di
saat Rafi benar-benar sudah bangun, hatinya sudah jatuh dimiliki oleh Damian?
Serena mengigit bibirnya agar tangisnya tidak semakin
keras dan membangunkan Damian, dia tidak boleh menangis. Ini semua sudah
menjadi keputusannya. Dia sudah memiliki Rafi. Rafi yang mencintai dan
dicintai olehnya sejak awal. Rafi yang sebatang kara dan tidak akan
punya siapa-siapa kalau Serena tidak ada di sampingnya.
Rafi lebih membutuhkan Serena dibandingkan Damian. Tanpa Serena, Rafi
akan rapuh, sedangkan tanpa Serena, Damian akan tetap kuat. Damian bisa
mencari Serena-Serena yang lain dengan segala kelebihannya, sedangkan Rafi hanya memiliki Serena.
Dia sudah memutuskan dalam hatinya, tapi kenapa hatinya tetap terasa begitu sakit? Rasanya seperti disayat-sayat ketika memikirkan Damian, ketika ingatannya melayang pada setiap kebersamaan mereka. Kenapa rasanya masih terasa begitu sakit?
Dan malam ini Serena memutuskan bertindak egois. Hanya
malam ini ya Tuhan, ampuni aku, desah Serena dalam hati. Dia tahu semua
ini akan terjadi. Dia tahu jika dia datang menemui Damian pada akhirnya
mereka akan berakhir di ranjang dan bercinta. Serena tahu itu semua
akan terjadi, tapi dia tetap mengambil
konsekuensi itu, dia butuh merasakan pelukan Damian
untuk terakhir kalinya, dan kemudian meyakinkan dirinya bahwa ini adalah
perpisahannya dengan Damian.
Pelukan Damian tiba-tiba mengencang dan lelaki itu dengan masih malas- malasan mengecup dahi Serena,
"Dingin?" tanyanya Serak.
Serena mendongakkan wajah dan mendapati mata biru itu menatapnya. Lalu tersenyum lembut, dan menggeleng.
Damian meraih dagu Serena dan mengecupnya dengan kecupan singkat,
"Aku menyakitimu tidak semalam?"
Sekali lagi Serena menggeleng dan menenggelamkan
wajahnya ke dada Damian, menahan air mata. Ini adalah saat berharganya.
Berada dalam pelukan erat Damian, merasakan kelembutan dan kemesraannya.
Dia akan menyimpan kenangan ini dihatinya, biar di saat-saat dia merasa pedih dan merindukan Damian, dia tinggal menarik keluar kenangan tentang pagi ini, dan hatinya bisa terasa hangat.
Seperti inilah dia akan mengenang Damian nanti, lembut, penuh cinta dan memeluknya erat-erat.
Seolah mengerti pikiran Serena yang berkecamuk, Damian tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya memeluk Serena erat-erat dan mengusap punggungnya dengan lembut, mereka larut dalam keheningan dan usapan Damian membuat Serena setengah tertidur,
"Aku harap kau tidak menyesali malam tadi." bisik Damian lembut, menggugah Serena dari kondisi setengah tidurnya.
Serena mendongakkan kepalanya lagi dan menatap Damian lembut,
"Kau tahu aku tidak menyesal." tangannya dengan hati-hati
mengusap wajah Damian, takut akan reaksi Damian karena dia tidak pernah
melakukannya sebelumnya. Tapi Damian langsung memejamkan mata,
menikmati setiap usapan Serena dengan penuh perasaan.
Merasa mendapatkan izin, dengan lembut Serena
menggerakkan tangannya, meraba wajah Damian. Mulai dari dahinya, lalu ke
alisnya yang tebal, ke mata yang terpejam itu, ke bulu mata tebal yang
hampir menyentuh pipi ketika
Damian terpejam, ke hidungnya, ke tulang pipinya yang
tinggi, ke rahangnya yang mulai ditumbuhi bakal janggut, hingga ke
bibirnya yang tipis tapi penuh, bibir yang tak terhitung lagi sudah
mengecupnya berapa kali.
"Serena..." Damian mendesah, mengernyitkan keningnya
merasakan usapan lembut Serena di wajahnya, tangannya lalu menahan
jemari Serena di bibirnya dan mengecupnya, mata birunya membuka dan
menatap Serena bagai api biru yang menyala,
"Apapun yang akan terjadi nanti, aku akan membuat kau mensyukuri malam ini." gumam Damian misterius.
Serena mengernyitkan kening mendengar kata-kata Damian yang penuh arti. Apa maksud Damian?
Tapi sebelum Serena bisa berpikir lebih lanjut, Damian sudah meggulingkan tubuh Serena dan menindihnya. Bercinta lagi dengannya.
***
Serena membuka pintu apartemen dengan berhati-hati dan menemukan dokter Vanessa sedang duduk di ruang tamu sedang menyesap kopi dan menonton televisi.
Dokter Vanessa tersenyum penuh pengertian ketika
menatap Serena. Saat itu jam 8 pagi, Serena sengaja meminta Damian
memulangkannya pagi-pagi sehingga Rafi belum bangun. Semalampun ia berangkat setelah yakin Rafi sudah tertidur pulas.
"Rafi belum bangun." jawab dokter Vanessa tenang, menjawab pertanyaan di mata Serena.
Serena menarik napas lega,
"Dokter menginap di sini?" tanyanya pelan.
Vanessa mengangguk,
"Suster Ana memintaku menemani untuk berjaga-jaga, dan aku tidak keberatan, toh aku tidak ada acara apa-apa," Vanessa tersenyum lembut kepada Serena, "kuharap semalam menyelesaikan segalanya."
Pipi Serena memerah mendengar ucapan Dokter Vanessa yang penuh arti itu,
"Dia agak marah tadi pagi saat saya buru-buru pulang demi Rafi", bisik Serena pelan.
Vanessa terkekeh sambil meletakkan cangkir kopinya,
"Dia memang begitu, tak usah pedulikan, aku yakin
sebenarnya dia bahagia kau telah memberinya kesempatan," suara dokter
Vanessa berubah serius, "Dan setelah semalampun kau tetap pada
keputusanmu Serena?"
Serena tercenung mendengar pertanyaan itu, sejenak ragu, tapi lalu menganggukkan kepalanya mantap,
"Saya harus terus bersama Rafi, dia membutuhkan saya." jawabnya lembut.
"Kau selalu memikirkan orang lain, bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya dokter Vanessa tiba-tiba.
Dengan masih tersenyum Serena menjawab,
"Saya tidak apa-apa dokter, saya merasa bahagia karena semua orang bahagia."
Semua orang bahagia selain kau dan Damian. Pikir
Vanessa miris ketika Serena berpamitan ke kamar untuk berganti pakaian.
Vanessa tahu kalau Serena sama tersiksanya dengan Damian. Dan dia ingin
berteriak marah kepada Serena, memarahi ketidakegoisan perempuan itu,
sekaligus bertanya sampai kapan Serena mendedikasikan hidupnya untuk
kepentingan orang lain? Untuk kebahagiaan orang lain? Vanessa merasakan
dorongan kuat untuk memaksa Serena berbuat egois, mementingkan
kepentingannya sendiri, berusaha meraih kebahagiaannya sendiri. Tapi dia
tahu Serena, dengan kebaikan hatinya yang luar biasa itu tidak akan mau
melakukannya.
Dan tiba-tiba Vanessa teringat
pertemuannya dengan Damian ketika lelaki itu baru pulang dari eropa
beberapa hari lalu, mata Damian saat itu tampak penuh tekad, setengah
gila dan menyala-nyala,
"Kalau dia tidak bisa memilihku, maka aku akan memaksanya memilihku."
Wajah Vanessa memucat mendengar nada final dalam ucapan Damian waktu itu,
"Astaga Damian, kau tidak sedang berencana melakukan
tindakan kasar dan pemaksaan untuk memiliki Serena kan?" berbagai
pikiran buruk melintas di pikirannya, seperti kemungkinan Damian
menculik Serena dan membawanya pergi, atau kemungkinan Damian akan
menyingkirkan Rafi dengan cara kasar. Itu semua bisa dilakukan Damian
dengan kekejaman dan kekuasaannya. Dan
Vanessa takut Damian kehilangan akal sehatnya dan memutuskan melakukan salah satu dari hal yang ditakutinya itu.
Damian menarik napas panjang,
"Aku akan membuatnya hamil anakku." gumamnya setelah jeda yang cukup lama.
Vanessa menganga mendengarnya,
"Apa?" Vanessa sudah mendengar cukup jelas tadi, tapi
dia sama sekali tidak yakin dengan apa yang didengar telinganya, dia
butuh mendengar lagi.
"Aku akan membuatnya mengandung anakku." gumam Damian penuh tekad.
"Kau sudah gila ya Damian??" suara Vanessa meninggi menyadari keseriusan dalam suara Damian,
Tapi Damian sama sekali tidak terpengaruh dengan nada marah dan ketidak setujuan Vanessan dia tetap tenang dan berpikir,
"Jika Serena mengandung anakku, mengingat sifatnya,
dia tidak akan mungkin mengugurkannya. Itu berarti dia akan mengakui
hubungan kami kepada Rafi, dan aku akan menggunakan segala cara - dengan
menggunakan anak itu sebagai alasan - agar aku bisa mengklaim Serena."
"Kau gila!" seru Vanessa tidak setuju, "apa kau tidak
pernah memikirkan perasaan Rafi?? Hatinya akan hancur, dan Serena juga
akan menderita jika dia sadar dia telah menyakiti hati Rafi."
"Kau pikir mereka saja yang menderita hah??" sela
Damian keras, membuat Vanessa tertegun, "aku juga menderita! Aku tidak
bisa makan, aku tidak bisa tidur! Aku menjalani detik demi detik, menit
demi menit penuh penyiksaan!! Aku sama saja sudah mati akhir-akhir ini! Aku juga menderita, menyadari bahwa aku bisa memiliki Serena tetapi tidak bisa berbuat apa-apa
untuk membuat perempuan itu memilihku!! Sebelum kepulanganku aku sudah
bertekad akan melakukan ini! Tidak ada yang bisa mengahalangiku!!
"Damian," Vanessa melembut, mencoba meredakan emosi
Damian, "aku mengerti perasaanmu, tapi bagaimana kalau nanti Rafi
ternyata menerima kondisi Serena apa adanya dan kemudian Serena
memutuskan membesarkan anak itu bersama Rafi?"
"Kalau itu terjadi aku akan menggunakan cara
kekerasan," jawab Damian dingin, "aku akan memberikan ultimatum, Serena
memilihku, atau aku akan merenggut anak itu darinya, kalau perlu aku
akan menempuh jalur hukum."
"Kejam sekali." Vanessa bergumam spontan.
Damian mengangguk tidak membantah,
"Ya memang kejam sekali." jawabnya menyetujui, tanpa penyesalan dan tampak penuh tekad menjalankan rencananya.
Dan sekarang Vanessa duduk di ruang makan, mencoba menarik kenangannya kembali. Dengan pelan disesapnya kopinya lagi,
Semoga Tuhan melindungi Serena kalau Damian benar-benar membuatnya hamil malam kemarin. Semoga Tuhan mengampuninya karena dengan kesadaran penuh dia sudah mendukung rencana Damian.
***
Hampir sebulan sejak kejadian itu, dan Damian
menepati janjinya. Tidak menemui Serena lagi. Atas bujukan dan desakan
Vanessa, Serena kembali bekerja di perusahaan Damian, lagipula bujukan
Vanessa ada benarnya juga, Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka
semua. Dan selama sebulan itu Damian, sang CEO menjadi orang yang paling
sulit dilihat di kantor, jika tidak sedang melakukan perjalanan bisnis,
lelaki itu mengurung diri di ruangan kerjanya dan tidak keluar-keluar.
Sesekali Serena masih berpapasan dengan Freddy, lelaki itu masih
bekerja di sini, Damian tidak jadi memecatnya, sepertinya dia dan Damian
sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.
Dan Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad
melupakan Damian, tetapi hatinya punya mau sendiri, kadang dia menatap
lift khusus direksi yang menyambung langsung ke ruangan Damian dengan
penuh harap. Berharap tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana,
melangkah ke parkiran mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur
seandainya saja dia bisa melihat Damian, biarpun cuma satu detik,
biarpun cuma dari kejauhan. Tapi entah kenapa Damian seperti punya
pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu Serena.
Sore itu Serena melangkah memasuki apartemennya dengan
lunglai, dia tidak enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi dia
minta izin pulang cepat.
Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa
dari ruang tengah. Suara Rafi dan dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah
mendapat izin Damian menggunakan setengah hari kerjanya untuk melakukan
terapi khusus pada Rafi. Terapinya sudah membuahkan hasil, Rafi sudah
bisa menggerakkan jari-jari kakinya, sedikit mengangkatnya dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.
Serena melangkah ke ruang tamu dan melihat Rafi sedang
duduk di kursi rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya,
sepertinya session terapi sudah selesai.
Rafi mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar, mengulurkan tangannya,
"Hai sayang,"
Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan Rafi. Lelaki itu membawanya ke mulutnya dan mengecupnya,
"Bagaimana session terapi kali ini?" tanyanya lembut.
Rafi tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa akhir-akhir
ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat
sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak
lebih kuat. Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan
vitalitas, dengan semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.
"Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena
sampai keringatku bercucuran, tapi aku senang sudah sampai di tahap
sejauh ini", jelas Rafi bahagia.
Serena membelalakkan matanya senang,
"Benarkah?", dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter?"
Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,
"Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan lagi."
Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,
"Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!" serunya dengan kegembiraan murni.
Tapi tiba-tiba Rafi melepaskan pelukannya dan menatap Serena sambil mengerutkan alisnya,
"Sayang, badanmu panas."
Gantian Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,
"Benarkah? Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat."
Dengan cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa,
"Dokter, badannya panas bukan?"
Vanessa segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut,
"Benar, kau panas Serena, apakah kau terserang flu?"
Serena menggelengkan kepalanya,
"Tidak, saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut saya, akhir-akhir ini saya sering memuntahkan makanan yang saya makan, makanya badan saya terasa lemah dan..."
"Memuntahkan makanan?" dokter Vanessa mengernyitkan keningnya, begitu serius.
Serena menganggukkan kepalanya, tidak menyadari betapa seriusnya pandangan dokter Vanessa menelusuri tubuhnya.
"Sudah berapa lama?" tanya dokter Vanessa lagi.
Serena tampak berpikir,
"Baru beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini."
"Apa kau kena maag Serena?" Rafi menyela tampak semakin cemas.
"Mungkin," Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual."
Dokter Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,
"Kau tampak pucat Serena, berbaringlah dulu, aku akan menyusul dan memeriksamu nanti setelah selesai dengan Rafi."
Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,
"Aku berbaring dulu ya." bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup dahi Serena.
Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk
session pelemasan akhir sambil berpikir keras...... Tidak enak badan,
mual, memuntahkan makanannya....
Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil dan tidak menyadarinya?
"Dokter?" Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga Vanessa tergeragap, "Dokter tidak apa-apa?"
Vanessa berdehem salah tingkah,
"Ah, maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena."
"Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga mencemaskannya dok," Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu,
"Tidak apa- apa dok, aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa
diriku sendiri ke kamar dan mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah
Serena dulu."
Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.
Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan pucat pasi.
Vanessa duduk di sebelah ranjang, menyentuh dahi Serena lagi, panas membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,
"Saya muntah-muntah lagi barusan dokter."
Serena memejamkan matanya dan tidak berani membukanya, seolah takut
kalau dia membuka matanya, rasa mual yang hebat akan menyerangnya lagi.
"Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan teh mint
untukmu, untuk mengurangi mual, nanti aku akan membuatkan resep obat
untukmu." obat untuk wanita hamil. Vanessa mulai merasa yakin melihat
kondisi Serena. Serena hanya mengangguk patuh masih memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan
membantu Serena duduk, lalu membantunya meneguk teh mint itu, setelah
itu dia membaringkan Serena yang lemas di ranjang, Serena meletakkan
kepalanya di bantal dengan penuh syukur,
"Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak lagi seperti tadi."
Vanessa tersenyum lembut,
"Cobalah untuk tidur." gumamnya sebelum melangkah keluar kamar.
Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang
sepertinya sudah masuk ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet
nomor telepon Damian.
Damian memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi
lelaki itu tetap memantau setiap detik kehidupan Serena, lelaki itu
menuntut laporan yang sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa, Damian berhak mengetahui dugaannya ini.
"Vanessa." Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.
"Damian," Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.
"Dia hamil." itu pernyataan bukan pertanyaan.
"Aku tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum
dilakukan test urine dan test lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil,
dia memuntahkan semua yang dimakannya, dan mual-mual setiap saat."
"Dia hamil." kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian,
"Aku akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa...."
"Aku akan segera kesana." dan Damian menutup telepon.
Membiarkan Vanessa ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan
ketidaksabaran Damian.
Damian mau kesini, lalu apa? Langsung melemparkan bom
itu ke muka Rafi dan Serena? Dasar! Vanessa berniat menunggu Damian di
depan apartemen, berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu
harus berusaha pelan- pelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan
secara akurat.
Lama sekali Vanessa menunggu di ruang tamu, hampir
satu jam. Kenapa Damian lama sekali? Apakah Damian membatalkan niatnya
kemari? Vanessa mulai bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,
Vanessa menoleh dan tersenyum,
"Hai Rafi, bagaimana kondisimu?"
Rafi balas tersenyum,
"Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?"
Vanessa menarik napas,
"Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah."
Rafi mengernyitkan keningnya,
"Dia bekerja terlalu keras," gumamnya sendu, "dan itu semua gara-gara aku."
"Rafi," Vanessa menyela dengan lembut, "Kita sudah
pernah membahas ini kan? Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri,
lagipula Serena melakukannya dengan sukarela."
"Benarkah?" suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya kasihan kepadaku."
"Rafi....", Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.
"Freddy?" panggilnya setelah mengangkat telepon,
"Freddy kau tahu di mana Damian? Dia bilang akan ke sini, tapi sampai
sekarang dia belum datang....."
"Vanessa, Damian kecelakaan di tol."
***
"Serena." dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur pulas. Sementara Rafi mengikuti di belakangnya.
Dengan sedikit lemah Serena membuka mata dan agak
waspada melihat wajah dokter Vanessa yang pucat pasi, dengan segera dia
duduk, gerakan tiba-tiba itu langsung membuat kepalanya pening, tapi Serena menahannya sambil mengernyit,
"Ada apa dokter? Rafi kenapa?"
"Aku baik-baik saja di sini." gumam Rafi dalam senyum.
Serena menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu pucat pasi,
"Serena, aku....
|
Ah aku
|
bingung bagaimana mengatakannya, tapi aku harus
|
segera pergi, ini darurat...
|
Tapi aku
|
"Ada apa dokter?", Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga mengatakan maksudnya.
"Damian, barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah
dibawa ke rumah sakit, tapi kami belum tahu kondisinya, Freddy juga
sedang dalam perjalanan menuju kesana."
"Apa?" warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena,
lalu segera digantikan dengan kepanikan luar biasa, "Ya Tuhan, aku ikut
ke rumah sakit, dokter!!"
Rafi mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi
dia hanya diam dan menatap. Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar
biasa. Kenapa sampai begitu? Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas. Padahal Damian kan hanya atasannya di perusahaan? Atau..... Jangan-jangan lebih dari atasan ? Pikiran buruk itu menyeruak dalam benak Rafi, dan dia cepat-cepat menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa Serena mulai gemetaran karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau pikiran buruk itu memenuhi benaknya, ada hubungan istimewa apa antara Damian dengan Serena?
Perjalanan ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa
bagi Serena, dia terus menerus berdoa, seakan semua trauma masa lalu
menghantamnya lagi keras- keras. Ini hampir sama dengan kecelakaan yang
membunuh kedua orangtuanya dan melukai Rafi dulu. Dan Serena tidak akan
kuat menanggungnya kalau sampai terjadi apa-apa kepada
Damian. Ya Tuhan!! Jangan sampai terjadi apa- apa pada Damian, dia belum
sempat mengatakan... Dia belum sempat mengatakan dengan jelas, bahwa
dia... Bahwa dia mencintai Damian.
Serena berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa mendorong kursi roda Rafi di belakangnya.
Dia melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan Damian.
Lelaki itu duduk di meja perawatan, telanjang dada,
kepalanya terluka dan sudah di tutup perban, dokter sedang membalut luka
di pundak dan lengannya. Banyak darah, tapi sudah dibersihkan.
Selebihnya, Damian tidak apa-apa. Lelaki itu
masih hidup, masih untuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu menatap Serena dengan mata birunya yang menyala-nyala.
Serena pingsan.
***
Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan
Vanessa dan Rafi yang ada di belakang Serena. Tapi Serena pingsan
mendadak dan jatuh ke lantai.
Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang
sedang membalut lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri
Serena, perawat datang menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,
"Biar aku saja." gumamnya serak, mengeryit sedikit
ketika mengangkat Serena menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia
tidak peduli, dipeluknya Serena dengan posesif dan dibaringkannya ke
meja perawatan,
"Tuan, saya belum menyelesaikan membalut lukanya." gumam dokter di ruang gawat darurat itu sedikit jengkel,
"Nanti saja." Damian bergumam tajam dengan arogansi
yang sudah seperti pembawaan alaminya sehingga membuat dokter itu
terdiam, mengangkat bahunya lalu pergi.
"Sayang," Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan
itu begitu pucat pasi, dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di
pintu, mengabaikan Rafi, "Dia tidak apa-apa?"
Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,
"Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini, terus tepuk pipinya pelan-pelan
dan sadarkan dia, sepertinya dia shock," Vanessa menatap Damian tajam,
"dan kau..kau tidak pernah kecelakaan selama hidupmu, apa yang kau
lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah sakit ini?? Apakah
kau mabuk??"
Damian mengeryit,
"Aku tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang hati-hati." saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah, sayang…..sayang, kau baik-baik saja?”
Serena mengerjap-ngerjapkan matanya,
begitu mendapati wajah Damian ada di dekatnya, airmata mengalir di
pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan menyentuh wajah Damian,
meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang ada di depannya,
Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya,
“Aku ada di sini, aku baik-baik saja.” gumamnya setengah berbisik.
Serena membiarkan tangannya dalam genggaman Damian,
merasakan kulit Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih
hidup. Tadi rasanya seperti mau mati saja ketika mengetahui bahwa Damian
kecelakaan, pikiran- pikiran buruk melandanya, membuatnya ingin
menangis dan berteriak, membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia
sudah memutuskan akan menerima tidak bisa bersama-sama
dengan Damian lagi asalkan lelaki itu tetap hidup, asalkan lelaki itu
masih ada, hidup dan bernafas di dunia ini, biarpun Serena tidak bisa
melihatnya lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan tidak ada
di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah tadi
ketika melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya lega luar
biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya sesak ketika menyadari,
bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh
tanpa disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan itu
ternyata sudah mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.
“Jangan pernah ulangi lagi,” suara Serena bergetar
ketika mencoba berbicara serius kepada Damian, “Jangan pernah ulangi
lagi melakukan seperti ini kepadaku.”
Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut,
“aku berjanji,” jawabnya penuh perasaan, “Sekarang tidurlah sayang, aku ada di sini.”
Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas,
membuat pikiran Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya,
jiwanya dan raganya. Tubuhnya sakit dan lunglai sedang jiwanya kelelahan
menahan perasaan. Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi
kelegaan luar biasa, membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira
sehingga Serena akhirnya terlelap lagi.
“Kemari, lukamu harus dibalut.” Vanessa mencoba
menarik perhatian Damian, lelaki itu menatap Serena dengan serius,
memastikan bahwa Serena sudah tidur, lalu menurut menggerakkan tubuhnya
agar Vanessa lebih mudah membalut luka di pundak dan lengannya.
Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,
“Aku mencintainya.” gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan saat itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.
Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih,
“Aku tahu.” gumamnya pelan.
Damian mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang lukanya,
“Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu.” sambungnya getir.
Rafi menghela nafas,
“Itupun aku juga tahu.”
“Sudah selesai.” Vanessa menyela cepat, lalu menepuk
pundak Damian, “Berbaringlah dulu di ranjang sebelah”, Vanessa
mengedikkan bahu ke ranjang di sebelah ranjang yang dipakai Serena yang
masih kosong. “Kau harus berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau
tidak segera berbaring kau akan mengalami vertigo.” sambungnya tegas
ketika melihat Damian akan membantah.
Semula Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan
pembicaraan dengan Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar,
rasa pusing mulai menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya.
Obat penghilang rasa sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai
bereaksi, membuatnya merasa lemas dan lunglai. Akhirnya Damian
mengangkat bahu dan melangkah ke ranjang kosong itu.
“Kita belum selesai bicara.” gumamnya pada Rafi, mulai menguap.
“Nanti saja.” sela Vanessa mengernyit, lalu meraih
kursi roda Rafi dan mendorongnya keluar, “Ayo Rafi, kita harus
membiarkan mereka beristirahat.” bisiknya lembut dan mendorong mereka
keluar dari ruangan perawatan itu.
Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang
tenang dan sepi, lalu duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan
Rafi hanya termenung tidak berkata-kata sampai lama.
Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan dari Rafi sebelum
menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang setelah
menunggu sekian lama,
“Apa yang terjadi di sini?”, gumam Rafi serak, dia
tetap bertanya meskipun kebenaran itu sudah menyeruak dalam
kesadarannya, membuat dadanya sesak.
Vanessa menghela napas mendengarnya,
“Ceritanya panjang...”
“Aku punya banyak waktu”, sela Rafi tak sabar, “Jelaskan semuanya”
“Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau tahu,” gumam Vanessa sedih, “Dia selalu berusaha setia kepadamu.”
“Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta setengah mati kepada lelaki lain?” gumamnya getir.
“Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian...
biaya operasimu... operasi ginjalmu – dokter
mengultimatum kau harus segera dioperasi ginjal untuk menyelamatkan
nyawamu – sangat mahal, hampir mencapai tiga ratus juta, sementara
seluruh harta Serena sudah habis, dia menanggung hutang yang sangat
besar di perusahaan... jadi... jadi Serena memutuskan menjual
keperawanan dan tubuhnya kepada Damian.”
“Oh Tuhan!”
Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di
tubuhnya. Jadi semua ini bermula dari dirinya? Semua kegilaan tak diduga
ini bermula dari keinginan Serena menyelamatkan nyawanya? Menjual
keperawanannya!! Oh Tuhan, Rafi tidak pernah peduli apakah Serena masih
suci atau tidak, baginya Serenanya adalah Serena yang sama. Tapi...
Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi dirinya benar-benar
menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya Serena
menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat
menyakiti perasaannya.
“Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan.” desis Rafi marah.
Vanessa menggeleng,
“Tidak seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa
mendapatkan gadis manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia
menginginkan Serena, menurutku sebenarnya sudah sejak lama Damian
mencintai Serena tetapi dia tidak menyadarinya, karena itu mungkin
Damian menganggap satu-satunya cara untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya.”
Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya
sakit menyadari bahwa sekarang dia menjadi penghalang antara dua orang
yang saling mencintai.
“Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?”
rintihnya dalam geraman penuh kesakitan, “Mungkin lebih baik aku
dibiarkan mati saja sehingga aku tidak menghalangi kebahagiannya...”
Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut,
“Jangan pernah punya pemikiran seperti itu,” selanya tegas, “Serena mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu.”
“Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan
padaku, tatapan lelaki itu, tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan
bahwa Serena lebih memilihku dibanding dirinya tadi begitu penuh
penghinaan dan kemarahan, seolah lebih baik aku tahu diri dan menyingkir
saja.“
“Damian memang seperti itu, dia marah karena Serena
memilih untuk bersamamu. Tapi Damian mencintai Serena, karena itu dia
menghormati keputusan Serena.”
“Lelaki itu, apakah benar dia mencintai Serena? dia
terlalu berkuasa, terlalu mendominasi, terlalu arogan… aku takut dia
hanya ingin menunjukkan kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya
untuk memiliki Serena...”
Vanessa menggeleng,
“Damian yang dulu memang seperti itu, tapi ketika
bersama Serena, gadis itu dengan segala kepolosan dan kebaikan hatinya
telah merubahnya. Damian benar-benar mencintai Serena, aku
mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan dia tidak pernah seperti itu
sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan, begitu tergila gila
hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya.”
Rafi menghela nafas panjang,
“Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?”
Vanessa mengangkat bahunya pedih,
“Keputusan ada di tanganmu... Serena sendiri tidak
akan pernah meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk
meninggalkanmu.
Dia rela mengorbankan perasaannya demi kamu. Jadi,
kalau kau tidak melepaskannya, dia juga tidak akan pernah mengkhianatimu
demi Damian.”
Rafi memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan,
“Aku sangat mencintai Serena.” gumamnya perih.
Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi,
pelan dia berjongkok di depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak
menolak, dia juga tidak menahan air matanya menetes. Kepedihan itu
begitu dalam, kepedihan untuk merelakan diri melepaskan sesuatu yang
paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling berharga itu bisa
menemukan kebahagiaannya.
“Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau tak
perlu melepaskan Serena kalau kau tak bisa.” bisik Vanessa lembut,
mengusap kepala Rafi di bahunya, membiarkan lelaki itu terisak dengan
kepedihannya.
Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan
tertahan dan keheningan yang dalam, lalu dia mundur, melepaskan diri
dari pelukan Vanessa, duduk tegak dengan tekad kuat di matanya.
“Aku tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan
bertahan bersamaku, tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan
Serena kepada Damian tadi, tapi sebelumnya aku ingin berbicara dengan
Damian.”
***
Serena masih tertidur di ruang perawatan. Vanessa
menungguinya. Sementara Damian yang baru terbangun, dua jam setelah
kecelakaan itu berjalan pelan, menuju ruang tunggu, dia sudah mencuci
muka dan agak segar, tapi mau tak mau nyeri di kepala dan bahunya
membuatnya mengernyit ketika berjalan.
Rafi sedang duduk membelakanginya di kursi roda.
Menatap ke luar, ke arah jendela lebar yang ada di ruang duduk itu,
hujan sedang turun deras di luar membuat suasana ruangan itu begitu
suram.
“Bagaimana keadaan Serena?” Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi tidak menoleh untuk menatapnya.
“Baik, Vanessa sudah mengatur perawatan dan obatnya,
sekarang dia masih tertidur.” Damian berdiri, bersandar di tembok dekat
Rafi, ikut menatap hujan
yang mengalir deras di luar yang gelap, hanya menyisakan tetes air yang berkilauan terkena cahaya lampu.
“Kau pasti tahu kenapa aku ingin berbicara denganmu.”
Damian mengangguk meski tahu Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.
Hening sejenak, terasa begitu lama sampai kemudian terdengar Rafi menghela nafas panjang.
“Apakah kau mencintainya?” tanyanya pelan.
“Sangat.” jawab Damian cepat, tulus.
Rafi memejamkan mata ketika rasa perih menyengat di
dadanya mendengar ketulusan Damian kepada Serena. Mengetahui bahwa ada
lelaki lain yang mencintai Serena dengan intensitas begitu besar kepada
Serena ternyata menyakitinya, membuatnya terasa terpuruk dan di
kalahkan. Tapi Rafi menguatkan hatinya, semua demi Serena, demi
kebahagiaan Serenanya.
“Apakah kau akan membahagiakannya?”
“Kebahagiaannya akan menjadi tujuan hidupku.” gumam Damian jujur, dia lalu menoleh menatap Rafi yang sedang menatapnya, dua laki-laki yang mencintai satu wanita saling bertatapan.
“Maafkan aku...” Damian mengehela nafas, “aku tidak
pernah bermaksud mencuri Serena darimu, aku tidak mengetahui
keberadaanmu sampai saat terakhir, kau tahu.”
Rafi mengernyit mendengar informasi yang baru
didapatnya itu, Vanessa belum menceritakan semua ini padanya, mungkin
Vanessa ingin Rafi mendengar sendiri dari mulut Damian.
“Serena tidak menceritakan alasan kenapa dia menjual diri padamu?”
“Tidak, mungkin semua akan berbeda jika dia
menceritakan semuanya dari awal," gumam Damian penuh penyesalan, “aku
memang jahat dan selalu mengambil apa yang kuinginkan tanpa tanggung-tanggung,
tapi aku tidak pernah mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang.
Saat itu dia datang padaku, menjual dirinya padaku...kau tahu apa yang
kupikirkan waktu itu?” Damian menatap Rafi dengan sedih, “Kupikir dia
pelacur penggemar barang- barang mahal yang putus asa membutuhkan uang
untuk memenuhi hasratnya akan kemewahan.”
“Serena tidak seperti itu.” geram Rafi marah.
“Ya, dia tidak seperti itu,” Damian setuju, “Tapi
waktu itu apa yang bisa dipikirkan lelaki seperti aku? lelaki dengan
kekayaan yang selalu mendapatkan wanita karena uang? aku memang salah
waktu itu, aku menginginkan Serena dan aku punya uang yang
diinginkannya, jadi kuterima tawarannya.”
“Tapi pada akhirnya kau tetap jatuh cinta padanya meskipun kau menganggap dia pelacur murahan.” Rafi merenung.
Sekali lagi Damian menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku jatuh cinta kepadanya, bahkan aku mulai tidak
peduli kalau ternyata memang hanya menginginkan uangku, aku berpikir,
tidak apa-apa, toh aku punya uang banyak, tidak apa-apa selama dia ada di sisiku.” Damian menghela nafas panjang.
“Kenyataan tentang keberadaanmu pada akhirnya menghantamku... Bahwa dia melakukan semua ini demi cintanya kepadamu.”
Rafi memejamkan matanya.
“Dia sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan dan merasa bertanggung jawab.”
“Dia tetap mencintaimu,” Damian tersenyum sayang
ketika membayangkan Serena, “hatinya selalu dipenuhi cinta tanpa pandang
bulu, mungkin karena itulah dia berhasil menyentuh hatiku yang gelap.”
Rafi menganggukkan kepala, ikut tersenyum ketika membayangkan Serena.
“Yah... Meskipun begitu, hatinya sudah kau miliki,” Rafi menghela nafas, “Aku akan melepaskan Serena.”
“Kau pikir dia akan mau?” sela Damian sedih, “Dia sudah memutuskan akan menjagamu, dia tidak akan mau.”
“Dia pasti mau, aku sendiri yang akan berbicara
padanya, aku tidak perlu dijaga, terapi ini berhasil dan Vanessa
meyakinkan kalau aku rutin melakukannya, dalam waktu empat bulan aku
sudah akan bisa berjalan dengan normal. Aku masih bisa melanjutkan
karirku sebagai pengacara setelahnya, mungkin butuh waktu lama dan aku
harus belajar lagi, tapi kurasa aku bisa melangkah dengan kekuatanku
sendiri.”
Damian menganggukkan kepalanya, yakin kalau Rafi pasti mampu melakukan apa yang dikatakannya.
“Maafkan aku.” gumamnya tulus.
“Kenapa?”, Rafi mengernyit menatap Damian ingin tahu.
“Karena sudah mengalihkan hati Serena darimu.”
Rafi tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar tulus,
“Seharusnya aku berterimakasih kepadamu, kau menjaganya selama aku tidak bisa ada untuk menjaganya.”
Damian terdiam, Rafi juga terdiam lama.
Lalu Damian mengaku,
“Kau mungkin ingin memukulku, bahkan membunuhku setelah aku mengatakannya padamu...”
“tentang apa?” mau tak mau Rafi merasakan ingin tahu ketika mendengar nada misterius di suara Damian.
Sesaat Damian tampak kesulitan berbicara,
“Aku... aku punya rencana jahat untuk merebut Serena
darimu, aku pikir kalau Serena tidak mau memilihku, aku akan memaksanya
memilihku.”
“Rencana jahat apa?” sela Rafi, langsung waspada.
Damian tertawa getir,
“Bukan... rencana ini tidak menyakiti siapapun... kau
tahu... Aku ingin sengaja membuat Serena hamil... agar mau tak mau dia
menjadi milikku.”
Sejenak Rafi terdiam, pengakuan Damian ini mau tak
mau menyulut kemarahannya. Menyadari bahwa Damian memanipulasi kepolosan
Serenanya.
“Dasar Brengsek.” geram Rafi pelan.
Damian menganggukkan kepalanya.
“Ya memang, aku brengsek. aku putus asa, setengah gila untuk memiliki Serena, aku minta maaf.”
“Menurutmu apakah rencana jahatmu itu sudah berhasil?” Tanya Rafi kemudian, tiba-tiba menghubungkannya dengan kondisi sakit Serena.
Damian mengangguk, menahan perasaannya untuk menjaga perasaan Rafi, tapi mau tak mau Rafi melihat sorot bahagia yang menyala-nyala di mata Damian. Tiba-tiba
dia merasa tenang, lelaki ini sungguh mencintai Serena, putusnya dalam
hati, mungkin lebih dalam dari cintanya sendiri kepada Serena...
“Vanessa tadi sore menghubungiku, memberitahu kondisi
Serena, dan entah kenapa aku tahu. Aku tahu bahkan sebelum mereka
melakukan test, aku tahu begitu saja.”
“Dan karena itu kau kecelakaan, kau dalam perjalanan menemui Serena?”
Damian tersenyum, tidak berkata-kata, tapi matanya menjelaskan semuanya.
“Lelaki bodoh.” gumam Rafi getir. Dan Damian tertawa mendengarnya.
“Memang,” gumamnya dalam tawa, lalu mengulurkan tangannya kepada Rafi, “Terimakasih atas kebaikan hatimu.”
Rafi menyambut jabatannya dengan hangat.
“Aku melakukannya demi Serena, bukan demi kamu, jadi ingat saja, kapanpun kau berani-beraninya membuat Serena tidak bahagia, kau akan mendapati dirimu berhadapan denganku.”
Damian tersenyum mempererat jabatan tangannya,
“Aku berjanji kau tidak akan pernah berhadapan denganku.”
*********
“Ketika Serena membuka matanya, dia mendapati Rafi duduk di sisi ranjangnya. Menatapnya dalam senyum.
Serena langsung sadar bahwa karena kepanikannya tadi
dia melupakan keberadaan Rafi. Ya Tuhan!! Apa yang dipikirkan Rafi
ketika menyaksikan semuanya tadi?? Pikiran itu membuatnya panik dan
hendak bangkit dari ranjangnya, tapi Rafi menahannya dengan tangannya.
“Tidak apa-apa, tetap berbaring.” gumamnya lembut.
Serena menurut membaringkan tubuhnya, tetapi menatap Rafi dengan kepanikan mendalam.
“Rafi aku...”
“Sudah kubilang tidak apa-apa, aku sudah tahu semuanya Serena, dan aku mengerti.”
“Tahu apa? mereka mengatakan apa padamu?” bisiknya lemah.
“Semuanya, tentang dirimu dan Damian, dan perasaanmu kepadanya.”
“Aku tidak punya perasaan apa-apa kepada...”
“Sttttt,” Rafi menghentikan kata-kata
Serena, “Tidak perlu membohongi dirimu sendiri lagi Serena, aku sudah
tahu semuanya, kau begitu menyayangiku sehingga mau berkorban untukku,
tubuhmu kau korbankan," Rafi menghela nafasnya pedih, “Dan sekarang,
bahkan jiwa dan kebahagiaanmu mau kau korbankan juga untukku?”
Mata Serena mulai berkaca-kaca.
“Aku tidak merasa mengorbankan apapun Rafi, aku mencintaimu, aku ingin menjagamu, aku...”
Dengan lembut Rafi meraih tangan Serena dan menggenggamnya.
“Ya aku yakin, kau sangat mencintaiku, aku percaya
itu,” dengan lembut Rafi menoleh ke arah pintu, “Dia ada di luar,
menunggu waktu untuk menemuimu, aku sudah berbicara dengannya dan yakin
bahwa cintanya padamu begitu besar, bahkan mungkin lebih besar dari
cintaku padamu.” desah Rafi getir.
“Jangan berkata seperti itu.” air mata mulai menetes di pipi Serena, dan Rafi mengapusnya dengan lembut.
“Itu kenyataannya, dia begitu mencintaimu sehingga
mau mengambil resiko apapun agar kau bahagia, dan dia rela dibenci
olehmu agar kau bahagia,” Rafi tersenyum lembut, “Terus terang aku
mengaguminya dan aku merasa tenang kalau dia yang menjagamu.”
“Jangan berkata seperti itu.” Serena mulai merasa dirinya seperti kaset yang rusak, mengulang-ulang kalimat yang sama.
“Aku harus mengatakannya.” gumam Rafi sedikit geli dengan kata-kata
Serena. Yah, dia ternyata bisa bahagia juga menyadari bahwa pada
akhirnya dia akan memberikan kebahagiaan pada Serena, kebebasan yang
akan di berikan pada Serena akan membawa perempuan yang dicintainya itu
kepada kebahagiaan, dan Rafi merasakan kebahagiaan tersendiri ketika dia
pada akhirnya merelakan Serena. Semua patah hati dan kesakitannya akan
sepadan dengan senyum dan kebahagiaan Serena pada akhirnya. “Tapi
sebelumnya aku harus bertanya kepadamu, Serena, apakah kau mencintai
Damian?”
Pertanyaan yang diungkapkan secara langsung tanpa diduga itu membuat Serena tertegun.
“Rafi... aku...”
“Tanyakan kepada hatimu Serena,” bisik Rafi lembut,
mendorong Serena agar mau jujur kepada dirinya sendiri, “Aku yakin kau
sudah menyadarinya, kau hanya perlu mengakuinya kepadaku.”
Di luar, Damian yang menunggu sambil bersandar di
tembok dekat pintu masuk mendengar semuanya, jantungnya berdetak keras,
penuh antisipasi, ikut menanti jawaban Serena.
Kumohon katakan Ya, bisik Damian dalam hati, menjeritkan permohonannya dalam diam, kumohon katakan Ya , kau mencintaiku Serena.
Di dalam ruangan Serena tertegun, menatap Rafi, menatap ketulusan yang ada di sana. Tidak apa-apakah kalau dia mengakuinya? Tidak apa-apakah kalau Rafi akhirnya mendengarnya?
Serena menarik napas dalam dalam, menahankan debar jantungnya, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
"Ya Rafi," gumamnya lembut setengah berbisik, "Ya, aku
mencintai Damian, aku sangat mencintainya." air mata menetes lagi di
pipinya.
Rafi mengusap air mata itu dengan lembut, sedikit
melirik ke pintu, menyadari kehadiran Damian di sana. Kau dengar itu
Damian? Gumamnya dalam hati, Permataku ini mencintaimu, dia sangat
berharga dan dia mencintaimu, kau harus menjaganya baik-baik, jangan pernah menyakitinya...
Di luar Damian memejamkan matanya mendengar pengakuan
Serena itu, dia dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Serena hampir tidak
pernah mengungkapkan perasaan padanya, Damian harus selalu mengukur-ukur, menebak-nebak
dari mata dan tindakan Serena. Dan mendengar sendiri kalimat itu dari
bibir Serena, diucapkan dengan penuh keyakinan, mau tak mau membuat
tubuhnya dibanjiri aliran kebahagiaan.
"Dia pasti akan menjagamu Serena, kau tidak usah mencemaskan aku lagi, aku sudah tidak perlu dijaga."
"Tapi, Rafi..."
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
"Dokter Vanessa mengajakku ke jerman. Disana dia punya
kenalan spesialis tulang dan saraf yang sangat ahli, yang bisa
menyembuhkanku lebih cepat, dan kupikir aku akan mengambil kesempatan
itu."
Serena membelalakkan matanya, pucat pasi.
"Rafi.... Kau akan pergi??"
Rafi menganggukkan kepalanya.
"Aku akan mengejar kebahagiaanku, aku akan
menyembuhkan diri dan memulai karirku, masih ada harapan dan aku tidak
akan menyerah. Kau sudah memberiku contoh dengan berjuang untukku tanpa
putus asa padahal kemungkinan aku terbangun dari koma sangat kecil, jadi
sekarang aku akan berusaha berjuang."
Serena tertegun, kehabisan kata-kata
mendengar kalimat Rafi. Dia hanya punya satu hal untuk diungkapkan, kata
maaf, maaf karena aku mencintai orang lain, maaf karena aku
mengkhianati cintamu, maaf karena aku membiarkan hatiku dimiliki orang
lain.
Ketika dia akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Rafi mencegahnya dengan menaruh jemarinya di bibir Serena.
"Jangan meminta maaf, aku tahu kau akan meminta maaf,"
Rafi tersenyum simpul, "Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak pernah
berniat mengkhianatiku, bahkan kau malah berniat mengorbankan hati dan
perasaanmu demi aku. Seharusnya aku yang berterimakasih padamu."
Dengan lembut Rafi melepaskan cincin emas pertunangan di tangannya, dan meletakkannya dalam genggaman Serena.
"Aku melepaskanmu, Serena, tunanganku yang berharga.
Terimakasih untuk cinta yang pernah kita bagi bersama. Terimakasih untuk
semua perjuangan yang telah kau korbankan untukku, Terimakasih karena
pernah mencintaiku," dengan lembut Rafi mengecup jemari Serena yang
terpaku, "sekarang kau bebas, kejarlah kebahagiaanmu sendiri."
Air mata mengalir deras makin tak terbendung di mata
Serena. Hatinya penuh sesak, campur aduk antara penyesalan dan kelegaan
luar biasa, akhirnya dengan pelan Serena duduk lalu memeluk Rafi erat-erat. Berbagi tangis bersamanya.
"Terimakasih Rafi, aku mencintaimu." isak Serena pelan.
"Aku juga mencintaimu." suara Rafi bergetar oleh air mata yang mulai datang.
**********
Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat
serta Vanessa hilir mudik di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya.
Serena merasa sudah baikan, hanya sedikit mual dan demamnya sudah turun,
tapi entah kenapa Vanessa bersikeras agar dia tetap di rawat inap di
rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit apa? Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter
Vanessa, mengatakan akan mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman,
kemungkinan dua minggu lagi. Dan saat Serena sendirian, pikirannya
melayang. Dimana Damian? Apakah dia di rawat di rumah sakit ini?
Bagaimana kondisinya? Kenapa Damian tidak menemuinya? Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena lagi-lagi hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap hujan di jendela dan mendesah.
"Sudah enakan?" suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba
sehingga Serena terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk
di ranjang, di sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit,
pantas dia tidak menyadari kehadirannya.
"Maaf aku mengagetkanmu," Damian tersenyum samar, lalu
menyentuh dahi Serena, "sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih
memuntahkan makananmu?"
Serena menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata.
"Aku... Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi."
Damian mengangguk dan tersenyum.
"Aku sudah berbicara dengan Rafi, Serena," Damian segera berseru ketika melihat Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi tidak akan kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau melepaskan diri dariku." suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya menyala-nyala.
Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang
biasa. Tidak berubah meski mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa
mengungkapkan keinginannya dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini
Damian yang sama yang dicintainya.
"Ya Damian." jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
"Apa?" Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak
menyentuh dahi Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut,
menghilangkan kerut yang ada di sana.
"Ya Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu."
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana
Serena, tetapi ketika dia bisa memahaminya, seketika itu juga Damian
merengkuh Serena, memeluknya erat-erat.
"Demi Tuhan... Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu," bisiknya serak di rambut Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya, dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku."
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut.
"Aku mencintaimu."
"Katakan lagi," Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan pelukannya, "aku butuh diyakinkan."
"Aku mencintaimu." ulang Serena patuh.
Damian melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut
Serena lembut, kemudian meraih tangannya, mengernyit ketika melihat
Serena masih memakai cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin
darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.
"Boleh aku melepaskannya?"
Damian tetap akan melepaskannya meskipun Serena
menggeleng, Serena tahu itu. Tapi Serena menghargai Damian yang
menyempatkan diri bertanya kepadanya.
Dengan lembut ia mengangguk.
"Aku ingin kau menikah denganku, segera."
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian.
Bukannya bertanya 'maukah kau menikah denganku?' lelaki ini malah
menyatakan keinginannya dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan keningnya mencerna kalimat Damian.
"Kenapa harus segera?"
Dan entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena jadi bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.
"Kau... Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu...." Damian tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan kebenaran itu, "Kau... Sedang mengandung anakku"
Kemudian kesadaran itu melintas di benaknya, Serena
tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian menginginkannya, Serena
tidak mungkin mengandung, kecuali kalau Damian sengaja....
"Kau selalu menggunakan pelindung," gumam Serena menatap Damian dengan waspada, "Malam itu kau tidak memakainya."
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan.
"Aku memang sengaja, semua yang terjadi malam itu
memang sudah kurencanakan," dengan angkuh Damian mengangkat dagunya,
"aku ingin kau memilihku."
Pipi Serena memucat sedikit marah.
"Kau berencana menjebakku dengan kehamilan?"
Damian menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh kepedihan.
"Aku memang brengsek dan licik, tapi itu semua
kulakukan karena aku hampir gila putus asa ingin memilikimu, aku
mencintaimu dan menderita karenanya, aku bersedia minta maaf kalau kau
menginginkannya, tapi aku tidak pernah menyesal sudah membuatmu
hamil..."
"Karena itu kau mencium perutku." gumam Serena, teringat keanehan perilaku Damian saat itu.
"Ya," Damian tersenyum bangga, "saat itu aku yakin
dia sedang terbentuk, aku memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku
bisa memiliki ibunya," Damian mengangkat bahu, "aku konyol sekali ya."
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar
mencintai lelaki ini, dengan segala arogansinya, dengan segala kekeras
kepalaannya, sekaligus dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu,
melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari
bahwa buah cinta mereka sedang bertumbuh di perutnya, semakin lama
semakin kuat, hingga akhirnya nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena, mengusap perutnya lembut.
"Dia kuat dan baik-baik saja di sana." gumam Damian setengah berbisik.
"Ya." Serena berbisik juga.
"Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang." dahi Damian berkerut, mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
"Pasti, seperti pemain sepakbola."
"Aku lebih suka dia seperti CEO handal." dahi Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh.
"Ya, seperti CEO handal," suara Serena berubah seperti bisikan, "Seperti ayahnya."
Mereka bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang anaknya di masa depan.
Lalu Damian mengecup dahi Serena.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku," bisiknya serak
penuh perasaan, "Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu
dalam, terimakasih sudah menyentuh hatiku yang gelap dan jahat sehingga
bisa merasakan indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting
terimakasih sudah mau mencintaiku." lalu dia meraih dagu Serena dan
mengecup bibirnya lembut, kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera
berubah menjadi panas dan bergairah.
Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
"Nanti, setelah kau sehat," janjinya penuh arti,
membuat pipi Serena memerah, lalu memeluk Serena lagi, "Aku mencintaimu
Serena, dan aku berjanji akan membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."
Serena tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian.
"Aku tahu Damian, aku juga mencintaimu."
Mereka tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang
hangat. Hanya ada mereka berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan
Damiannya yang akhirnya menyerahkan hatinya untuk termiliki satu sama
lain. Yang pada akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END
*Terima kasih untuk pembaca semua yg sudah memberikan
apresiasi positif terhadap "A Romantic Story About Serena" ini, Novel
ini dapat dikoleksi dalam format cetak, epub dan pdf. Buat kalian yang
penasaran membaca karya-karya Santhy Agatha selanjutnya nantikan kehadirannya segera di blog ini*
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman reliabl yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
ReplyDeleteAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.