
Novel Perjanjian Hati
Monday, April 18, 2016
Comment
PERJANJIAN HATI
Oleh: (Santhy Agatha)
Colorful of love adalah seri bertema romantis dengan
kisah percintaan empat tokoh gadis yang memiliki kisah berbeda- beda.
Ikuti kisah mereka dan nikmati keindahan percintaan dari sisi yang
berbeda dari empat tokoh utama Colorful of Love
Nessa - [ Brown Afternoon } “Perjanjian Hati”
Gadis penyuka cokelat, guru taman kanak-kanak
yang penyabar, yang selalu menghabiskan waktu sepulang kerjanya di sore
hari untuk memesan secangkir cokelat yang nikmat dan menenangkan
pikirannya.
Keyna - [ Grey Morning ] “Sweet Enemy”
Gadis sederhana, anak kuliahan berotak cemerlang,
yang tidak pernah melewatkan waktu untuk menikmati oreo milkshake
sebagai menu sarapannya. Minuman itu membuatnya bersemangat, untuk
melalui harinya yang berat di kampusnya.
Sani - [ Red Night] “You’ve Got Me From Hello”
Gadis dengan hubungan yang rumit, seorang penulis
yang mencari ketenangan dengan menghirup segelas anggur merah setiap
malam, untuk mencerahkan hatinya yang kelam akibat kisah cintanya yang
rumit.
Saira - [ Green Dayligt ] “Pembunuh Cahaya”
Gadis yang lembut dan tenang, pemilik toko bunga dan
tanaman, selalu memanfaatkan waktu makan siangnya dengan menghirup teh
hijau yang panas, untuk menguatkan dirinya menghadapi perkawinannya yang
menyesakkan dada
4 Santhy Agatha
“Tak pernahkah kau mengerti? Hatiku ini sudah ada dalam genggamanmu,Lalu kau buang begitu saja.Begitu saja....”
1
Bahagianya ketika jatuh cinta.
Nessa tersenyum sambil membaringkan tubuhnya di kamar
sepulang kuliahnya. Marcell baru saja mengantarnya pulang, tadi mereka
menghabiskan waktu bersama sepulang kuliah, berburu buku-buku
lama, menonton dan menikmati es krim sebagai penutupnya. Oh astaga.
Hari ini sangat menyenangkan baginya. Meskipun Marcell tampak agak aneh
dan murung tadi, tetapi Marcell bilang dia hanya sedang tak enak badan
dan berjanji bahwa sepulangnya nanti dia akan langsung beristirahat agar
kondisinya pulih.
Nessa mencintai Marcell, sangat cinta. Mereka menjadi
dekat begitu saja seolah sudah ditakdirkan untuk bersama. Dan Nessa
tidak pernah menyangka mereka bisa seserius ini. Dulu dia menyangka
Marcell sombong karena berasal dari keluarga kaya, tetapi ternyata
tidak. Lelaki itu yang menyapanya duluan, bahkan sangat baik dan ketika
pertama kali ke rumah Nessa, tidak ada sikap mencemooh atau pun menghina
rumah mungil itu. Status Nessa yang berasal dari keluarga sederhana
tampaknya tidak masalah bagi Marcell.
Mereka sudah merajut impian untuk masa depan. Menikah
dan punya anak, lalu berbahagia untuk selamanya. Bahkan Marcell sudah
menunjukkan keseriusannya dengan mengajaknya ke rumahnya, bertemu dengan
ibunya.
Meskipun sikap ibunya tidak bisa dikatakan ramah...
Nessa mengernyit, teringat betapa malunya dia ketika Ibu Marcell menolak untuk membalas jabatan tangannya.
2 Santhy Agatha
Setidaknya Marcell bilang bahwa ibunya memang galak kepada siapa saja, bukan hanya kepadanya.
Ponselnya berkedip-kedip. Nessa segera mengangkatnya begitu melihat nama Marcell di layar ponselnya, “Iya Marcell?”
“Aku baru saja sampai rumah.” Suara Marcell di seberang sana nampak berbeda, membuat Nessa bergumam dengan cemas.
“Kau tampaknya sakit... Syukurlah kau sudah sampai rumah... Istirahatlah ya, supaya besok kondisimu membaik.”
Hening... Seolah Marcell sedang mencari kata-kata.
“Nessa…?” Marcell bergumam ragu. “Ya Marcell?”
“Bisakah besok kita bertemu di taman yang biasa?
Besok aku tidak bisa datang kuliah, tetapi aku akan menunggumu di sana di sore hari. Kau menyusul ke sana ya.”
Taman tempat mereka biasa bertemu itu terletak dekat
dari kampusnya, Nessa hanya perlu berjalan ke sana. Dia tersenyum sambil
membayangkan bahwa mungkin Marcell punya rencana romantis untuknya,
“Iya Marcell, aku akan datang besok.”
“Oke.” dan telepon pun ditutup di seberang sana.
Membuat Nessa mengerutkan keningnya atas penutup yang dingin dari
Marcell, biasanya mereka mengakhiri percakapan dengan kata-kata
cinta yang lembut. Tetapi kemudian dia menghela napas, Marcell kan
sedang sakit, jadi wajar saja kalau sikapnya terasa berbeda...
♥♥♥
Nessa menangis, sungguh-sungguh menangis
mendengarkan alunan lagu itu dari pemutar musik miliknya. Hujan turun
dengan derasnya di luar, tetapi sederas apapun hujan itu, tak akan bisa
mengalahkan derasnya darah yang mengalir dari hatinya yang remuk redam,
dihancurkan begitu saja oleh kekasihnya, tanpa ampun.
Perjanjian Hati 3
Ingatannya melayang pada kejadian tadi sore yang berhujan, saat itu hanya ada dia dan Marcell, kekasihnya.
"Kita sudah tidak boleh bertemu lagi."
Nessa mengernyit dan mendongak menatap Marcell yang lebih tinggi darinya, "Apa maksudmu?" dia benar-benar terkejut mendengar kata-kata
Marcell itu. Tadi dia datang menemui Marcell dengan senyum dan bahagia,
mengira bahwa dia akan mendapatkan kejutan romantis dari kekasihnya.
Dia memang mendapatkan kejutan. Tetapi ini bukan kejutan romantis.
"Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi Nessa, maaf."
"Kenapa Marcell?" Nessa mulai gemetaran, menyadari bahwa semua ini benar-benar nyata.
"Kau tahu kenapa, aku sudah tidak kuat dengan desakan
ibuku dan sebagainya, dia tidak menyukaimu... Kau tahu dia kolot, dia
berdarah biru dan dia ingin aku mendapatkan pasangan yang sederajat...”
Marcel menelan ludah, menatap Nessa dengan menyesal, “Maafkan aku Nessa,
aku menerima pertunangan dengan Susan. Selamat tinggal.”
Hanya seperti itu, tanpa penjelasan apa-apa, tanpa pelukan perpisahan dan Marcell pergi meninggalkan Nessa dengan hati hancur.
♥♥♥
Dua Tahun Kemudian.
Suara bel di taman kanak-kanak yang indah itu berbunyi. Nessa segera mengatur agar semua murid-muridnya duduk dengan rapi dan berdoa. Sangat susah mengatur anak-anak
TK yang begitu aktif dan tak bisa duduk diam itu, tetapi Nessa senang,
karena mereka adalah sekumpulan bocah tanpa dosa, yang penuh rasa ingin
tahu dan kegembiraan murni dalam memandang dunia.
Selesai berdoa, anak-anak berjalan
dengan rapi menyalami Nessa, lalu berhamburan menuju orang tua masing-
masing yang sudah menunggu di luar. Nessa merapikan tas-nya ketika ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.
4 Santhy Agatha
"Selamat siang ibu guru, jemputan sudah datang."
Nessa tersenyum, menatap laki-laki yang berdiri di pintu ruang kelasnya dengan tatapan jahilnya, "Selamat siang juga, apa yang kau lakukan di sini siang-siang Ervan?" sambil meraih tasnya, Nessa menghampiri sang adik yang telah tumbuh dewasa menjadi lelaki yang begitu tampan.
"Aku tidak sengaja lewat sini sepulang mengantar
teman kampus dan menyadari bahwa aku lewat taman kanak- kanak tempat
kakak mengajar, jadi kupikir ada baiknya aku menjemput kakak daripada
kakak harus naik angkot."
"Naik angkot sebenarnya juga tidak apa-apa.”
Nessa berjalan menuju parkiran, diiringi oleh Ervan dan menghampiri
mobil tua warna hitam, warisan dari almarhum ayah mereka yang sekarang
dipakai oleh Ervan ke kampusnya.
Mereka masuk dan Ervan menjalankan mobilnya keluar dari halaman Taman kanak-kanak itu.
"Aku ingin minta bantuan kakak." Ervan mengernyitkan keningnya sambil menatap ke arah jalanan yang ramai.
"Bantuan apa?" "Tentang Delina."
Nessa ingat tentang Delina. Perempuan itu adalah
teman kuliah Ervan yang pernah diajak Ervan ke rumah beberapa hari yang
lalu. Delina adalah perempuan cantik dan tentu saja anak dari orang
kaya, pikir Nessa pahit, berusaha menahan goncangan masa lalu yang tiba-tiba
menusuknya. Tentu saja dia anak orang kaya, Delina datang ke rumah
mereka dengan mengendarai mobil sport keluaran terbaru yang harganya
mungkin saja mencapai sepuluh kali lipat harga jual rumah mungil
keluarga Nessa.
"Kenapa dengan Delina?" batin Nessa berteriak, dia
sebenarnya tidak ingin Ervan berdekatan dengan Delina. Orang kaya selalu
memandang rendah orang miskin. Itu fakta, itu pula yang dilakukan
keluarga Marcell kepadanya dulu. Nessa hanya tidak mau Ervan mengalami
kekecewaan seperti dirinya sesudahnya. Tetapi semua larangannya
tertahan, dia tak tega mengatakan semua itu kepada adiknya yang sekarang
sedang
Perjanjian Hati 5
"Delina dan aku, kami saling mencintai dan berniat
menjalin hubungan serius." Ervan mendesah, "Tetapi ada masalah dengan
keluarganya.'
Nessa mengernyit. Pasti akan selalu ada masalah,
ketika keluarga kaya menemukan anaknya berpacaran dengan keluarga
miskin, pasti akan selalu ada masalah.
"Keluarganya mengundang kita dalam sebuah makan malam
mewah di rumah mereka, pesta itu diadakan oleh kakak Delina, seorang
pengusaha yang kaya raya... Kakaknya, ingin bertemu denganku dan aku...
Aku agak ngeri karena desas desus yang berkembang, kakaknya itu sangat
kejam dan jahat." Ervan menatap Nessa dengan tatapan memohonnya, yang
selalu berhasil digunakannya untuk meluluhkan hati kakaknya, "Kau mau
menemaniku ke pesta itu kan ya?"
"Kenapa harus denganku?" Nessa merengut, mencoba berkelit.
"Karena kakaknya ingin bertemu dengan salah satu keluarga kita, kau kakakku satu-satunya, aku kan tidak mungkin mengajak ibu, penyakit rematiknya parah dan tidak bisa keluar malam."
"Apa yang ingin dilakukan kakak Delina? Kenapa dia ingin bertemu dengan salah satu keluarga kita?" Nessa menerka-nerka dan sebuah pikiran pahit berkecamuk di benaknya, jangan-jangan si kakak itu ingin mencemooh dan menghina mereka di pesta itu?
"Yah... Aku adalah pacar Delina, kakaknya itu sangat protektif kepada Delina, mengingat sebelum-sebelumnya
banyak lelaki yang mendekati Delina demi mengincar harta keluarga
mereka, aku maklum kalau kakaknya ingin mengenal kita dan memastikan aku
baik untuk Delina."
Tentu saja Ervan baik untuk Delina. Nessa mengernyit,
dialah yang akan maju pertama kali kalau ada yang meragukan kebaikan
hati Ervan. Mereka berdua adalah anak yang dibesarkan dari seorang ibu
yang berjuang seorang diri karena
6 Santhy Agatha
suaminya telah meninggalkannya dengan dua anak yang masih kecil. Ibunya berjualan kue basah dan menitipkannya ke warung-warung. Nessa masih ingat ketika dia dan Ervan sepulang dari sekolah dasar membantu sang ibu menarik wadah-wadah titipan dari warung-warung tersebut sambil berjalan kaki.
Dan hidup dengan keprihatinan dan kesederhanaan telah
membuat Nessa dan Ervan tumbuh menjadi pribadi yang bersahaja, mereka
membantu sang ibu dengan bekerja sambilan untuk membiayai pendidikan.
Akhirnya setelah Nessa lulus dan menjadi guru sebuah TK, Ervan
mendapatkan beasiswa di sekolah teknik ternama di kotanya, dan
kepandaiannya membuatnya mempunyai masa depan yang cukup cerah.
Kepandaian otaknya, ketampanan fisiknya dan kebaikan hati Ervan membuat
Nessa yakin bahwa adiknya adalah pasangan paling sempurna bagi siapapun.
♥♥♥
"Selamat datang." Delina menyambut Ervan dan Nessa
dengan bahagia di pintu, pipinya bersemu merah dan matanya berbinar
ketika melihat Ervan. Nessa mengamatinya dan mau tak mau tersenyum.
Bagaimanapun juga, Delina benar-benar tampak seperti perempuan yang baik dan sungguh-sungguh mencintai Ervan.
"Terima kasih kak Nessa mau menemani Ervan kemari,”
dengan sopan dan ramah, Delina menyalami Nessa, "Mari silahkan masuk,
pestanya sudah dimulai."
Pesta itu benar-benar pesta mewah yang
elegan, yang memang diperuntukkan untuk kelas atas. Semuanya berpakaian
indah dan syukurlah meski tidak mahal gaun hitam Nessa yang sederhana
tampak begitu cantik dipakainya.
"Sendirian di sini?" seorang lelaki tiba-tiba sudah ada di sebelahnya dan menyapanya.
Nessa menoleh dan menemukan lelaki paling tampan yang
pernah dilihatnya. Dengan rambut disisir rapi, dagu yang sudah dicukur
bersih, dan pakaian yang sepertinya dijahit
Perjanjian Hati 7
khusus untuknya, lelaki muda itu tampak seperti pangeran dari negeri dongeng.
"Tidak... Saya bersama pasangan saya." tiba-tiba Nessa merasa gugup. Penampilan lelaki itu dan aura yang dibawanya entah kenapa membuatnya merasa gugup dan tiba-tiba saja ingin melarikan diri.
"Oh? Benarkah? Sepertinya aku tidak melihatnya."
lelaki itu menatap ke arah Nessa tajam meskipun bibirnya tersenyum,
"Sungguh pasangan anda orang yang sangat ceroboh membiarkan perempuan
cantik sendirian di sini."
Nessa mengernyitkan keningnya, "Maaf... Saya akan mencari pasangan saya."
Dengan buru-buru Nessa membalikkan
badannya dan mencoba pergi, aura lelaki membuatnya gelisah tidak
tertahankan lagi, cara lelaki itu menatapnya bagaikan harimau mengincar
mangsanya.
"Nessa?"
Nessa langsung tertegun mendengar suara itu, suara
yang dikenalnya, suara dari masa lalunya yang sudah bertahun- tahun
berusaha dilupakannya. Suara Marcell.
Dengan gugup didongakkannya kepalanya, dan tertegun,
itu memang benar Marcell yang sama, hanya sekarang lebih tampan, lebih
dewasa. Dan hati Nessa luar biasa sakitnya mengingat kenangan itu.
Ketika Marcell meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan apa-apa, karena dorongan keluarganya.
Nessa ingat sekali ketika itu ibu Marcell, seorang
nyonya besar yang kaya raya tidak menyetujui hubungan Nessa dengan
Marcell, karena Nessa hanyalah perempuan biasa, dari keluarga biasa,
apalagi ibu Marcell sudah menyiapkan calon untuk Marcell, anak dari
temannya, keturunan ningrat yang saat itu sedang menyelesaikan
magisternya di Australia, bernama Susan.
"Hai Marcell, apa kabar?" suara Nessa terdengar lemah, terlalu terkejut.
8 Santhy Agatha
Marcell tersenyum miris. "Kabar baik Nessa, kau sendiri? Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik." tiba-tiba saja Nessa ingin menangis, kenapa dia harus bertemu Marcell di sini? Marcell adalah satu-satunya lelaki yang tidak ingin ditemuinya di dunia ini, "Dimana Susan?" tanya Nessa mencoba tegar.
"Ah, Susan..." Marcell tampak salah tingkah, "Dia ada
di sana, sedang berbicara dengan temannya, eh… Kami sudah bertunangan,
tanggal pernikahan kami ditentukan 2 bulan lagi, segera setelah Susan
mengurus kepindahannya dari Australia, aku harap kau mau datang."
Bagaimana mungkin Marcell tega mengucapkan kalimat
menyakitkan itu tanpa rasa bersalah sedikit pun? Tidak ingatkah dia
betapa dia telah menyakiti hati Nessa dengan begitu kejam,
meninggalkannya tanpa perasaan? Membuat Nessa akhirnya tidak bisa
mencintai lelaki lain...
"Aku... Aku tidak bisa berjanji... Aku..."
"Marcell, teman-temanku ingin berbicara denganmu, dear." perempuan cantik itu tiba-tiba datang dan mengglayuti lengan Marcell dengan manja, dia lalu menatap Nessa dan mengangkat alisnya, "Eh... Siapa ini?"
Marcell tampak gugup dan menelan ludah. "Ini Nessa,
teman kuliahku dulu, kami sudah lama tak bertemu dan kebetulan bertemu
di sini."
"Oh.” Susan menatap Nessa dari kepala sampai kaki
dengan pandangan meremehkan, "Aku pernah dengar dari ibumu kalau kau
dulu pernah punya kekasih bernama Nessa yang kau tinggalkan, hmmmm...."
Susan tersenyum mencemooh, "Pantas saja kalau begitu, dia tidak selevel
dengan kita, bukan begitu dear?"
Marcel tampak kehilangan kata-kata sedangkan Nessa berdiri dengan muka merah padam atas penghinaan terang- terangan yang diucapkan dengan lantang tersebut.
Sebelum mereka dapat berkata-kata, sosok pria tampan yang tadi menyapa Nessa tiba-tiba melangkah mendekat dan
Perjanjian Hati 9
mengamit lengan Nessa dengan mesra. "Kau tidak mengenalkan mereka kepadaku, sayang?"
Nessa mendongak, mengernyitkan alisnya sambil menatap lelaki tak dikenal itu, apa katanya tadi?
Tetapi kemudian perhatiannya teralihkan oleh wajah
Susan dan Marcell dan memucat, "Kau mengenal Tuan Kevin, Nessa?" tanya
Marcell seolah tak percaya.
Pria bernama Kevin itu semakin mendekatkan tubuhnya
pada tubuh Nessa, "Tentu saja, Nessa adalah kekasihku, dan sepertinya
kalian mengenalku ya?"
"Keluarga kami menjalin hubungan bisnis dengan anda
Tuan Kevin." kali ini Susan yang menyahut sambil tersenyum manis,
"Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dan bercakap- cakap langsung
dengan anda di sini."
Kevin ganti menatap Susan dengan pandangan mencemooh,
"Hmmm... Kehormatan bagimu juga mungkin bisa berbicara dengan kekasihku
yang luar biasa ini." lalu Kevin tersenyum pada Nessa, tidak
mempedulikan muka Susan yang memerah karena jawaban kasarnya itu, "Ayo
sayang kita pergi, masih banyak tamu-tamu penting yang harus kita temui."
Kemudian Kevin membalikkan tubuh Nessa, membawanya
dalam gandengan lengannya, meninggalkan Marcell dan Susan yang berdiri
dengan terhina di sana.
♥♥♥
"Kenapa kau membantuku?" Nessa berbisik pelan setelah mereka menjauh dari pasangan Marcell dan Susan.
Kevin tergelak dan kemudian melepaskan genggaman
lengannya, "Aku melihat seorang perempuan yang hampir dipermalukan oleh
kekasih yang dengki, dan aku merasa harus turun tangan untuk membantu."
Kemudian lelaki itu mengulurkan tangannya, "Kita tidak sempat berkenalan
tadi karena kau buru-buru kabur."
"Oh." pipi Nessa memerah, "Te...terima kasih atas bantuannya, aku..."
10 Santhy Agatha
"Kakak?" kali ini suara Delina yang menyela. Kevin
dan Nessa menoleh serentak, dan berhadapan dengan Delina yang sedang
bersama Ervan.
Delina tersenyum ceria ketika melihat Nessa, "Ah...
Kulihat kakak sudah berkenalan dengan kak Nessa, kakaknya Ervan... Kak Nessa ini kakakku yang kuceritakan ingin berkenalan."
Sedikit terkejut atas informasi baru itu, Nessa
melirik ke arah Kevin. Sekilas Nessa menyadari rona wajah Kevin yang
hangat berubah menjadi dingin. Apakah lelaki itu menjadi dingin ketika
mengetahui bahwa Nessa adalah kakak Ervan? Nessa masih ingat cerita
Ervan bahwa kakak Delina ini sangat mencurigai orang miskin sebagai
pengincar harta mereka.
Apakah kisahnya bersama Marcell akan terulang pada
Ervan? Dicemooh dan diremehkan hanya karena mereka berasal dari keluarga
sederhana?
"Oh... Ini Ervan yang kau ceritakan itu?" Kevin berucap lambat-lambat
dan kemudian membalas uluran tangan Ervan, setelah selesai berjabat
tangan, dia menoleh lagi kepada Nessa, "Dan kau Nessa, kakaknya Ervan...
Senang berkenalan denganmu." lelaki itu mengulurkan tangannya kepada
Nessa, dan mau tak mau Nessa menerima uluran tangan itu.
Seketika Kevin menggenggam tangannya yang mungil itu dengan kuat dan dominan, seperti mengisyaratkan sesuatu.
"Well, sepertinya kita akan banyak bertemu nanti Nessa," gumamnya penuh arti.
Nada suaranya ramah, tetapi entah kenapa Nessa merasa ngeri. Membuat Nessa bertanya-tanya apa yang ada di benak Kevin sebenarnya.
Mereka berdiri berempat sambil mengamati pesta.
Delina dan Ervan berpegangan tangan dengan penuh cinta, sementara Nessa
berdiri dengan canggung di sebelah Kevin. Tiba-tiba musik lembut dansa dimainkan dan beberapa pasangan tampak turun ke lantai dansa, menikmati dansa romantis di antara kelap-kelip cahaya temaram dan suasana pesta yang elegan.
Perjanjian Hati 11
Kevin menoleh ke arah Nessa dan memasang senyumnya yang paling manis, “Mau berdansa?”
Nessa tertegun, lalu menggelengkan kepalanya, “Tidak... Saya tidak bisa berdansa,” tolaknya cepat.
Tetapi Kevin menatapnya dengan keras kepala, “Oh
ayolah, aku akan mengajarimu. Lagipula kau tidak kasihan kepadaku, aku
tidak punya pasangan dansa.” dan sebelum Nessa bisa menolak, lelaki itu
sudah menariknya ke lantai dansa.
Kevin bohong. Dia bisa memilih banyak pasangan dansa
kalau mau, dilihat dari banyaknya mata yang memandang Nessa dengan iri.
Nessa begitu gugup ketika Kevin dengan tenang melingkarkan tangannya di
pinggang Nessa dan meletakkan tangan Nessa di pundaknya. Lelaki itu
membawa Nessa melangkahkan kaki dengan lembut, mengikuti irama.
“Lihat, gampang kan?” bisiknya sambil tersenyum, menatap Nessa dengan matanya yang tajam.
Nessa memalingkan muka dengan wajah merah padam,
tidak tahan ditatap seperti itu. Dia hanya menganggukkan kepalanya dan
kemudian memusatkan perhatiannya kepada gerakan dansa mereka.
Ketika tanpa sengaja Nessa memutarkan pandangannya ke
sekeliling ruangan, matanya bertabrakan dengan mata Marcell, lelaki itu
sedang berdansa dengan Susan yang sekarang berada dalam posisi
membelakangi Nessa, membuat Marcell leluasa menatap Nessa.
Ada sesuatu di tatapan mata Marcell itu, sesuatu yang
mirip dengan penyesalan dan kepedihan... Membuat dada Nessa terasa
sesak. Dia memalingkan kepala, dan mencoba untuk tidak menoleh ke arah
Marcell lagi.
♥♥♥
Seperti biasa Nessa melangkah keluar kelas setelah memastikan semua muridnya benar-benar pulang dalam jemputan keluarga mereka.
Taman kanak-kanak itu tampak lengang dan sepi. Yah biasanya yang membuat ramai adalah kehadiran murid-murid
12 Santhy Agatha
kecilnya yang berceloteh riang kesana kemari. Sekarang tinggal guru-guru yang sibuk merapikan barang-barang mereka di ruang guru.
Nessa mendesah dan mengambil tasnya lalu melangkah ke
lorong TK itu, entah kenapa sejak pesta itu batinnya kembali terasa
sakit, sakit hati yang telah coba dilupakannya begitu lama. Sakit hati
karena kepedihan ketika Marcell meninggalkannya dengan kejam, kini semua
itu kembali lagi.
Mungkin ini semua karena di pesta itu dia bertemu
kembali secara langsung dengan Marcell, melihat langsung bagaimana
Marcell sudah melupakannya dan berbahagia dengan tunangannya.
Pernikahan mereka dua bulan lagi...
Suara maskulin itu tiba-tiba muncul, tak
disangka- sangkanya. Begitu mengejutkan hingga Nessa mengeluarkan suara
pekikan kaget. Dia mendongak ke arah suara itu dan menemukan Kevin,
kakak Delina, sedang bersandar di tiang lorong taman kanak-kanak itu, masih mengenakan setelan jas kantornya yang elegan.
"Kenapa anda ada di sini?" tiba-tiba Nessa merasa waspada.
Kevin tersenyum misterius. "Ada yang ingin kusampaikan kepadamu, kalau kau tidak sibuk."
"Darimana anda tahu tempat saya bekerja?" kali ini perasaan Nessa di dominasi oleh rasa curiga, jangan-jangan lelaki ini sudah membayar orang untuk menyelidiki Ervan dan keluarganya.
Kevin terkekeh melihat tatapan curiga Nessa, "Jangan
menatapku seperti itu, aku tidak mengambil informasi lewat jalan
belakang." dengan elegan dia mengangkat bahunya, "Aku
Perjanjian Hati 13
mendapat informasi dari Delina bahwa kau bekerja di sini, dia sering bercerita tentang Ervan dan tentang kau."
"Oh." Nessa tercenung, "Apa yang ingin anda sampaikan kepada saya?"
Mendengar pertanyaan Nessa, tatapan Kevin berubah serius, "Mungkin kau bisa ikut aku ke suatu tempat untuk membicarakannya?'
Alarm peringatan langsung berbunyi di benak Nessa,
mengingatkannya. Entah kenapa, meskipun tersenyum ramah, aura Kevin
tampak mendominasi dan menyimpan sesuatu yang misterius. Nessa tidak mau
pergi kemanapun dengan lelaki itu. "Kalau memang bisa kenapa tidak kita
bicarakan di sini saja?"
Kevin menatap tajam, kemudian sekilas tampak geli
melihat ketakutan Nessa yang berusaha disembunyikannya dengan baik. "Oke
kalau begitu, meskipun aku sebenarnya ingin membicarakannya di tempat
yang lebih pribadi.”
Tatapannya berubah serius dan dalam sekejap auranya
berubah dingin, "Begini Nona Nessa, aku ingin menawarkan sejumlah uang
kepada keluargamu supaya kalian semua menjauhi Delina."
14 Santhy Agatha
“Kalaupun demi cintamu, Aku harus berkorban
Akan kulakukan, akan kulakukan Karena aku sangat mencintaimu.”
2
Nessa membelalakkan matanya mendengar kata-kata
Kevin. Sejenak dia mencoba mencerna apa yang barusan di dengarnya lagi,
berharap ada kemungkinan dia salah dengar. Tetapi kemudian ketika dia
menyadari bahwa apa yang dikatakan Kevin itu benar-benar seperti yang dimaksudkannya, wajahnya merah padam oleh kemarahan bercampur rasa terhina.
"Saya tidak tahu kenapa anda melakukan penghinaan
yang begitu besar kepada kami. Tapi yang perlu anda tahu, kami tidak
butuh uang atau pemberian apapun dari anda, coba anda tanyakan ini ke
Ervan dan mungkin dia akan menghajar anda."
Kevin hanya diam di sana dan mengamati Nessa tajam, seolah-olah ingin menelanjangi seluruh isi hatinya. Lama kemudian lelaki itu tampaknya telah mengambil kesimpulan dan tersenyum.
"Oke, jangan marah. Kata-kataku tadi hanyalah ujian, aku memang mengatakannya kepada siapapun, yang dekat dengan Delina."
Nessa mengernyit, "Apa?"
"Kau tahu, kata-kata itu tadi, bahwa aku
akan membayar mereka dengan timbal balik mereka harus meninggalkan
Delina." wajah Kevin mengeras, "Kau akan terkejut mengetahui berapa
banyak yang setuju untuk menyambar umpanku mentah-mentah."
Perjanjian Hati 15
"Tidak semua orang miskin tidak punya harga diri," sela Nessa sinis.
Kevin menatap Nessa lagi, "Benarkah?" pertanyaan itu
sepertinya tidak perlu jawaban, hanya sebuah retorika yang menyindir.
Nessa menyadari bahwa berdasarkan pengalamannya, lelaki itu punya
pandangan negatif kepada orang-orang tidak mampu. Dia tadi bilang banyak orang lain yang mau menerima penawarannya mentah-mentah.
"Apakah urusan kita sudah selesai?" Nessa melirik
gelisah ke lorong TK yang sepi. Lelaki ini membuatnya tidak nyaman,
entah kenapa.
Kevin menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar santai di pilar.
"Belum." gumamnya tenang, "Dan aku bersikeras untuk
mengajakmu ke suatu tempat, dengarkan dulu,” serunya ketika melihat
Nessa akan membantah keras kata-katanya, "Kau adalah kakak
Ervan, kekasih adikku. Aku berjanji tidak akan melakukan sesuatu yang
buruk kepadamu, demi adikku. Dan memang aku tidak punya niat buruk sama
sekali, aku hanya ingin bicara."
"Bukankah saya bilang anda bisa membicarakan semua yang perlu anda bicarakan di sini?"
"Tolong jangan pakai istilah anda dan saya." Kevin
mengerutkan alisnya, "Itu terlalu formal dan mengganggu. Aku ingin
berbicara tentang Delina, penting."
Nessa menatap wajah Kevin. Lelaki itu tampak serius. Benar-benar serius. Sejenak dia ragu. Beranikah dia mempercayakan dirinya untuk pergi bersama lelaki ini?
Nessa menghela napas, "Baiklah, tetapi hanya sebentar, kalau lebih dari jam dua siang aku belum pulang, orang rumah akan bertanya-tanya."
Kevin mengangguk, "Hanya sebentar, kita bicara di cafe langgananku di dekat-dekat sini."
♥♥♥
16 Santhy Agatha
Cafe itu bertema garden cafe dengan ruangan-ruangan
yang redup karena rimbunnya pepohonan dan taman dan lampu- lampu
berwarna kuning hangat yang menentramkan. Seluruh dindingnya adalah kaca
bening yang besar-besar, memantulkan suasana hijau di
sekelilingnya. Hari ini mendung dan berada di cafe yang begitu hijau itu
membuat Nessa merasa semakin sejuk.
Dengan sopan, Kevin menarikkan kursi untuk Nessa dan
duduk di depannya, lalu memesankan makanan mereka kepada pelayan yang
menunggu. Setelah itu menunggu pesanan datang, Kevin menyandarkan
punggungnya di kursi dan menatap Nessa.
“Kau mau pesan apa?”
Nessa mengamati daftar menu dan tidak bisa menyembunyikan senyumnya ketika menemukan menu minuman kesukaannya. Cokelat panas.
“Aku mau hot chocolate.”
Kevin mengangkat alisnya dan tersenyum, “Aku tidak menyangka kau memesan itu. Itu pesanan anak umur sepuluh tahun.”
“Apakah menurutmu wanita dewasa tidak boleh meminum cokelat panas?”
“Bukan begitu,” Kevin mulai terkekeh ketika mendapatkan pelototan mata Nessa, dia mengangkat bahunya.
“Kau tampaknya dari awal sangat defensif
menghadapiku, aku sama sekali tidak menentang hubungan Nessa dengan
Ervan." Kevin tersenyum lembut, "Kuharap kau mengerti. Aku hanya ingin
menjaga adikku."
Nessa mengerti perasaan Kevin. Rasa ingin melindungi yang dalam, sama seperti yang dia rasakan kepada Ervan, adiknya satu-satunya.
"Ada yang harus kukatakan padamu," Kevin melanjutkan
karena Nessa diam saja, "Sebelumnya kau perlu tahu bahwa aku sudah
menyelidiki keluargamu, maafkan aku." Kevin menatap Nessa dengan
permohonan penuh permintaan maaf ketika melihat tatapan tersinggung dari
Nessa, "Aku harus
Perjanjian Hati 17
melakukannya supaya aku benar-benar yakin bahwa aku bisa mempercayai kalian."
Nessa mengangkat bahunya, "Silahkan lakukan apapun
sesukamu, toh kau tidak akan menemukan rahasia gelap keluarga kami,
karena memang tidak ada." Kevin mengangguk dan tersenyum, bersamaan
dengan pelayan yang mengantarkan minuman mereka.
"Sejujurnya aku kagum ketika membaca berkas-berkas
laporan tentang keluarga kalian. Tidak mudah tumbuh menjadi orang hebat
ketika situasi keuangan keluarga tidak mendukung." lelaki itu berdeham
menyadari bahwa kata- katanya mungkin saja sudah menyinggung Nessa,
"Kembali ke masalah tadi, setelah menerima laporan dari penyelidikku dan
mempelajarinya, aku memutuskan kau adalah orang yang tepat untuk
membantuku."
Nessa mengernyit, Kenapa laki-laki ini dari tadi berbicara dengan berputar-putar? Apa sebenarnya yang ingin dikatakannya?
"Perlu kau tahu, Delina dan aku bukan saudara
kandung," Kevin menatap Nessa, menilai reaksinya, "Aku adalah anak
pungut, yang diangkat dan dibesarkan oleh keluarga mereka dengan penuh
kasih sayang dan tidak dibedakan sama sekali dari anak kandung mereka,
Delina."
Itu informasi yang sangat mengejutkan dan
Nessa tertegun mendengarnya. Kevin adalah anak angkat keluarga kaya
itu? Kenapa Kevin membagikan informasi sepenting ini kepadanya?
"Ya, mereka keluarga yang baik dan sangat
menyayangiku. Sejak ayah kami meninggal lima tahun lalu akulah yang
mengambil alih kendali perusahaan dan mengembangkannya dengan pesat
sampai sekarang. Sementara yang dilakukan mama kami adalah mencurahkan
kasih sayangnya kepada kami dengan sepenuh hatinya. Tetapi kemudian ada
satu masalah," Kevin menghela napas panjang, "Mama kami mempunyai ide
yang menurutnya brilian, bahwa aku dan Delina, kami seharusnya menikah
saja dan menjadi keluarga sejati."
18 Santhy Agatha
Nessa membelalakkan matanya kaget,
Apa??
"Tentu saja ide itu konyol untuk kami. Karena kami
sudah dibesarkan begitu lama sebagai kakak adik, tidak mungkin kami
berdua mengembangkan perasaan lebih dari itu. Apalagi saat mama
mengutarakan maksudnya, Delina sudah mempunyai Ervan."
"Mereka sepertinya saling mencintai," gumam Nessa ahkirnya.
"Ya, dari sisi Delina aku tahu dia mencintai Ervan." Kevin tersenyum, "Mulanya aku skeptis dan
tidak yakin ketika Delina menceritakan tentang Ervan dengan begitu
bahagia kepadaku. Katanya dia menemukan cinta sejatinya, padahal
menurutku mereka masih anak kuliahan, hidup mereka masih panjang dan
kekasih sejati yang dia maksud itu mungkin masih menunggu di depan sana.
Apalagi dengan pengalaman burukku pada lelaki- lelaki yang mendekati
Delina, hampir keseluruhan dari mereka menerima tawaranku untuk
memberikan uang agar mereka mau meninggalkan Delina," Kevin tersenyum
pahit.
"Aku minta maaf atas pengalaman pahitmu dengan orang-orang
seperti kami," gumam Nessa ketus, "Tapi kau perlu tahu bahwa kami tidak
seperti itu. Kalaupun kau memang ingin Ervan meninggalkan Delina, aku
bisa berbicara dengan Ervan dan kami tetap tidak mau menerima sepeser
pun darimu."
Kevin terkekeh, "Sepertinya kata-kataku selalu menyinggungmu ya," lelaki itu mengangkat bahu, "Maafkan aku."
Hening. Hening yang lama sampai kemudian pelayan
datang mengantarkan makanan dan minuman pesanan mereka. Nessa menatap
tertarik kepada cokelat panas yang diletakkan di depannya, cokelat itu
mengepul di dalam cangkir putih yang besar, tampak kental, manis dan
begitu nikmat. Dia tidak dapat menahan diri. Dengan sangat berminat
diambilnya cangkir itu, dihirupnya aroma cokelat yang nikmat, sebelum
kemudian meneguknya. Rasa manis cokelat, bercampur dengan aroma khas
yang nikmat dan kehangatan yang menenangkan melalui
Perjanjian Hati 19
tenggorokannya. Nessa suka. Dan dia berjanji akan terus kembali ke cafe ini untuk mencicipi cokelat panas yang nikmat ini.
Lama kemudian baru Nessa menyadari bahwa dia sibuk
dengan cokelatnya dan melupakan Kevin. Ketika dia mengangkat kepalanya,
barulah disadari bahwa Kevin sedari tadi mengamatinya sambil tersenyum
geli.
Pipinya merah padam menahan malu dan berusaha
mengalihkan perhatian Kevin pada hal lain, "Lalu apa maksudmu
menceritakan semuanya kepadaku?" Nessa bergumam, berusaha mengembalikan
percakapan ke konteks semula.
Kevin tercenung, "Meskipun tidak setuju, Delina tidak
berani membantah permintaan mama supaya dia menikah denganku. Dan aku
juga tidak mau terjebak situasi pernikahan yang aneh, dengan adikku
sendiri. Tetapi mama bukanlah orang yang mudah di bantah, dia bisa keras
kepala kalau dia mau. Apalagi dia melihat kalau selama ini aku dan
Delina belum berhasil dengan hubungan percintaan kami. Kau tahu, Delina
belum berani mengenalkan Ervan kepada mama." dengan tenang Kevin menatap
Nessa, tajam, "Perlu kau tahu Nessa, mama menderita lemah jantung,
kalau ada hal-hal yang menjadi beban pikirannya, atau
membuatnya terkejut maupun sedih, kami khawatir akan berakibat fatal
kepada kesehatannya. Belum lagi sebuah beban berat di pundakku, karena
aku anak angkat yang berhutang budi kepada mama, aku tidak bisa menolak
idenya mentah-mentah begitu saja."
Entah kenapa aku bisa mengerti dilema yang dirasakan Kevin. Batin Nessa.
"Kemudian sebuah ide tercetus di benakku," sambung
Kevin, "Mama tidak akan sedih kalau tahu bahwa kami masing- masing punya
alasan untuk menolak pernikahan itu. Delina bisa menunjukkan kepada
mama bahwa dia bahagia kepada mama, dan aku akan melakukan hal yang
sama.... Masalahnya..." Kevin memajukan tubuhnya, dan menatap intens
kepada Nessa, "Aku tidak punya wanita yang bisa kubawa kepada mama."
20 Santhy Agatha
Nessa mengernyit, "Kau bisa membawa wanita manapun yang kau mau, begitulah yang kudengar."
Kevin terkekeh, "Betul, sangat gampang mencari wanita
yang mau denganku. Tetapi sangat susah membawa wanita yang bisa kubawa
ke hadapan mama untuk kemudian diterimanya. Mama memiliki insting sangat
tajam terhadap sesama wanita."
Nessa terdiam, entah kenapa merasa penuh antisipasi. "Jadi Nessa, aku mengusulkan sebuah perjanjian untukmu. Maukah kau, berpura-pura menjadi kekasihku, calon isteriku untuk kubawa ke hadapan mama?"
♥♥♥
Lelaki ini sudah gila rupanya. Menawarkan hal seperti itu kepadanya?
"Kau sepertinya perlu memeriksakan otakmu ke
dokter." Nessa menggeram marah lalu berdiri hendak meninggalkan meja
mereka, "Sepertinya sudah cukup aku berada di sini."
"Nessa." nada suara Kevin yang tenang itu entah kenapa berhasil membuat Nessa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Kevin.
"Kau harus pikirkan ulang sebelum menolak ide ini.
Mamaku merencanakan pernikahanku dan Delina ahkir tahun ini. Kalau kita
tidak bisa bekerja sama demi adik-adik kita, mereka akan patah hati."
Nessa tertegun. Menyadari kebenaran perkataan Kevin,
disini bukan hanya Kevin dan dirinya saja yang terlibat, ada kepentingan
Ervan dan Delina di sini.
Entah apa yang akan terjadi nanti, tetapi yang pasti
Nessa tahu bahwa perasaan yang dirasakan Ervan kepada Delina sangat
kuat, Nessa yakin itu. Ervan tidak pernah secinta ini kepada seorang
perempuan. Dan mengetahui bahwa Delina akan menikah dengan Kevin ahkir
tahun ini pasti akan membuat Ervan terpuruk.
Tetapi ide untuk berpura-pura menjadi pasangan Kevin, berpura-pura menjadi calon isterinya, masih terasa seperti ide gila yang sedikit menakutkan di benaknya. Dia sama sekali
Perjanjian Hati 21
tidak mengenal lelaki ini selain sebagai kakak Delina dan sedikit membaca kesan penakluk perempuan pada auranya.
Beranikah dia?
"Aku berjanji, ketika permasalahan sudah beres dan mama bisa menerima bahwa aku dan Delina berhak menentukan cinta sejati kami masing-masing,
kita bisa melepaskan ikatan di antara kita tanpa masalah, mungkin aku
bisa bercerita bahwa kau dan aku pada ahkirnya tidak cocok. Tentang
Delina dan Ervan, biarlah mereka menentukan masa depan mereka masing-masing."
Perkataan Kevin terasa begitu menggoda, karena membuat semuanya tampak berjalan mudah.
Nessa menghela napas panjang, "Tolong berikan aku waktu untuk berfikir."
"Oke." Kevin menyerahkan kartu namanya kepada Nessa,
"Hubungi aku di sini kalau kau sudah siap memberikan jawaban. Tapi ingat
Nessa, jangan terlalu lama, waktu kita sedikit."
♥♥♥
"Tadi aku menjemput kakak ke TK, tapi kepala sekolah
bilang kakak sudah pulang, bersama seorang pria." Ervan menatap Nessa
mengernyit, "Katanya pria itu naik mobil mewah," adiknya itu langsung
menyambutnya ketika Nessa berjalan memasuki rumah.
Tadi Nessa tidak mau pulang diantar oleh Kevin,
syukurlah. Tidak terbayangkan bagaimana kagetnya Ervan kalau melihat
Nessa di antar pulang oleh kakak Delina.
Mungkin Ervan akan lebih kaget lagi kalau pada
ahkirnya Nessa menyetujui kesepakatan yang diajukan Kevin. Tetapi itu
nanti, Nessa harus memikirkan segalanya dengan baik terlebih dahulu.
"Kak?" Ervan mendesah ketika Nessa tidak menjawab pertanyaannya.
"Oh...yang pulang bersamaku? Eh dia seorang teman
kuliah kakak dulu, kami berjanji bertemu untuk membahas reuni angkatan
kami," jawab Nessa asal-asalan.
22 Santhy Agatha
Dan rupanya jawaban itu tidak memuaskan Ervan, "Pria
itu bukan Marcell kan kak? Aku tahu kita bertemu dengannya di pesta
kemarin, dia adalah satu-satunya laki-laki
yang pernah dekat denganmu dan pernah menjemputmu dengan mobil mewahnya
dulu... Maafkan pertanyaanku ini kak, aku cuma takut kau berhubungan
lagi dengannya dan mengalami kesakitan seperti dulu lagi."
Sejenak Nessa mencerna kata-kata Ervan,
semula dia hendak marah karena Ervan seolah menuduhnya, kemudian hatinya
menyadari bahwa Ervan sungguh menyayanginya dan mencemaskan Nessa.
"Tidak Ervan, aku tidak pernah memikirkan Marcell
lagi, meskipun hati ini masih sakit, tetapi perasaan itu sudah mati."
Apalagi kemarin, setelah dia mengalami penghinaan oleh tunangan Marcell
dan lelaki itu seperti tanpa daya tak mampu berbuat apa-apa, "Dan kau bisa tenang, yang menjemputku tadi benar-benar bukan Marcell."
Ervan menarik napas lega, lalu merengkuh Nessa ke
dalam pelukannya, "Syukurlah... Aku sebenarnya mencemaskanmu kak, karena
aku semalam ada di pesta itu, melihat sendiri kau bertemu dengan
Marcell yang dulu pernah begitu kau cintai. Aku ingat betapa terpuruknya
kau dulu, aku cuma takut kau, kakakku yang paling kusayangi disakiti
lagi olehnya."
Nessa tersenyum penuh haru dan membalas pelukan
Ervan, "Aku sudah dewasa dan sudah kuat Ervan, tidak seperti dulu lagi,
kau tidak perlu mencemaskanku seperti itu."
Ervan menjauhkan wajahnya dan menatap serius,
"Sebenarnya dari dulu aku sudah tidak suka dengan Marcell dari awal dia
memang kelihatan seperti lelaki yang lemah, tapi waktu itu aku masih
terlalu muda dan tidak berani berpendapat, apalagi ketika aku melihat
kau begitu mencintainya, ketika kau dulu disakiti aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Sekarang aku juga sudah dewasa kak, kau bisa mengandalkanku. Kalau ada lelaki yang berani-beraninya mendekatimu, mereka harus melalui aku, dan kalau mereka menyakitimu, akan kuhajar mereka sampai babak belur."
Perjanjian Hati 23
Nessa terkekeh geli dan tiba-tiba terlintas di benaknya, kalau dia benar-benar menerima kesepakatan dari Kevin, situasi antara mereka berempat, Nessa, Ervan, Kevin dan Delina pasti akan menjadi sangat lucu.
"Bagaimana kabar Delina?" Nessa bertanya untuk
mengalihkan pikiran tentang Kevin. Mendengar nama perempuan yang
dicintainya itu, seketika itu pula tatapan Ervan berbinar.
"Delina sungguh perempuan yang luar biasa." Ervan
tertawa sendiri, "Dengan latar belakangnya yang seperti itu, dia sungguh
nggak keberatan jalan-jalan dengan mobil butut kepunyaan kita, makan di warung bakso pinggir jalan, aku benar-benar
jatuh cinta kepadanya kak. Semoga kemarin kesan kita ke kakak Delina
bagus ya. Aku nggak bisa membayangkan kalau kami harus menghadapi
ketidaksetujuan dari keluarga Delina, karena saat ini kami sungguh
menghadapi setiap waktu dengan berbahagia." Ervan menggesek-gesekkan
telapak tangannya dengan bersemangat, "Malam ini aku mengajak Delina
supaya makan malam di rumah kita, agar dia bisa lebih mengenal ibu. Ibu
juga senang sekali. Beliau sedang ke pasar untuk berbelanja untuk
masakan makan malam."
Nessa tersenyum, antara miris sekaligus tersentuh dengan kebahagiaan Ervan. Tiba-tiba sebuah keputusan sudah muncul di benaknya.
Sambil beralasan ingin berganti pakaian, Nessa pun
melangkah memasuki kamarnya. Tetapi yang dilakukan pertama kali adalah
duduk di tepi ranjang dan mengeluarkan kartu nama Kevin dari saku
bajunya.
Saat ini, sebagai seorang kakak, mungkin inilah yang bisa dilakukannya demi kebahagiaan Ervan.
Dikeluarkannya ponselnya dan di pencetnya nomor itu. Kemudian tegang menunggu hubungan tersambungkan.
Dalam deringan ketiga, ponsel diangkat dan suara Kevin yang dalam menyahut di sana.
"Halo?"
24 Santhy Agatha
Nessa menelan ludah, suaranya terasa tercekat dan tenggorokannya terasa kering ketika akan menyatakan keputusannya itu.
Tetapi dia lalu teringat kepada Ervan, binar-binar
mata lelaki itu ketika membicarakan tentang Delina sungguh membuat
Nessa yakin betapa sakitnya kalau Ervan harus dipaksa meninggalkan
Delina. Nessa akan melakukan apa saja untuk menjauhkan Ervan dari
kesakitan, meskipun kebahagiaannya sendiri yang menjadi taruhannya.
"Halo... Ini Nessa... Aku... Aku cuma mau bilang, aku akan melakukan kesepakatan yang kau bicarakan tadi."
Perjanjian Hati 25
“Terasa begitu menyakitkan kehilanganmu dulu.. Terasa begitu menghancurkan kalbu ketika mencoba melupakanmu....
Sampai akhirnya kusadari, kau tak seberharga itu,. Dan ternyata aku tidak mencintaimu sedalam itu”
3
Hening sejenak. Lalu Kevin berdehem di seberang sana. "Kau yakin?”
Kenapa di saat Nessa berusaha menguatkan dirinya demi adiknya, Kevin malahan bertanya seperti itu? Nessa mengerutkan keningnya.
"Ya. Aku yakin."
"Aku akan marah besar kalau kau berubah pikiran di tengah-tengah rencana kita."
Memangnya dia siapa? Dan apa peduli Nessa kalau Kevin marah? Tetapi tiba-tiba Nessa teringat bahwa Kevin bisa menakutkan kalau dia mau.
"Aku tidak akan berubah pikiran," gumam Nessa, berusaha terdengar meyakinkan.
"Bagus. Kalau begitu aku akan mengatur semuanya."
Lalu percakapan ditutup, tanpa ucapan apapun. Meninggalkan Nessa yang mengerutkan kening karena ketidaksopanan Kevin.
♥♥♥
Aroma wangi menyeruak ke seluruh ruangan. Ibu benar-benar serius membuat makan malamnya kali ini. Nessa melangkah ke arah dapur sehabis mandi dan tersenyum melihat ibunya
26 Santhy Agatha
sedang memasukkan pudding karamel yang terlihat lezat ke lemari es.
"Wow, kita makan malam besar hari ini," goda Nessa
lembut sambil membuka tutup panci, di dalamnya ada sup jamur andalan
ibunya yang paling enak.
Sang ibu tersenyum lembut pada Nessa, "Ibu senang melihat Ervan bahagia Nessa, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya."
“Ya ibu, Ervan benar-benar tampak dimabuk asmara." Nessa mencomot kue keju dari toples di meja makan dan mengunyahnya, "Ibu suka dengan Delina?"
"Dia anak yang sopan. Ibu cukup senang." Sang ibu lalu melirik Nessa dengan hati-hati, "Ibu tahu kau akan jengkel kalau ibu bertanya lagi, tetapi bagaimana denganmu Nessa? Apakah kau sudah... Sudah melupakan..."
Pertanyaan ibunya itu selalu membuat suasana hati
Nessa mendung. Dulu ibunyalah yang paling keras mendorong semangat Nessa
agar bangkit dari keterpurukan sejak ditinggalkan oleh Marcell dan
meskipun kadang jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan
ibunya, Nessa sadar bahwa ini semua karena sang ibu menyayanginya dan
mencemaskannya karena selama ini Nessa tidak pernah terlihat menjalin
hubungan asmara dengan siapapun.
"Ibu tidak usah mencemaskan Nessa, ya." Nessa mencoba
tersenyum lembut dan menenangkan ibunya, "Nessa pasti akan menemukan
seseorang yang baik pada saatnya nanti."
♥♥♥
"Delina sudah datang." Ervan berdiri dan melangkah
ke pintu depan, sedang Nessa masih membantu ibunya membereskan piring
dan menata meja makan.
Terdengar suara pintu dibuka dan terdengar suara- suara percakapan. Lama-kelamaan Nessa mengernyit. Suara
Perjanjian Hati 27
Belum sempat Nessa melakukan sesuatu, Ervan sudah masuk ke ruang tengah, dengan Delina dan Kevin ikut di belakangnya.
"Ibu, kak Nessa, Delina datang bersama kakaknya," gumam Kevin gembira.
Delina segera masuk dan tersenyum ramah lalu
menyalami ibu Nessa, dan memeluk Nessa. Kevin menyusul di belakangnya
dalam diam, menyalami ibu Nessa dengan sopan, kemudian berdiri di depan
Nessa dan tersenyum.
"Hai Nessa," gumamnya penuh arti. Nessa menatap Kevin dengan tatapan memperingatkan lalu mencoba tersenyum palsu.
"Selamat datang." senyumnya tidak sampai ke matanya.
Dan segera setelah itu Nessa menggumamkan berbagai alasan dan melarikan
diri ke dapur.
Tetapi ketika seluruh alasan sudah habis, Nessa
terpaksa ke ruang tengah, dan mereka segera menuju ke ruang makan untuk
makan malam bersama.
Entah memakai trik apa, Kevin pada akhirnya duduk di sebelah Nessa, dan lelaki itu seolah-olah sengaja, menyenggol tangan Nessa setiap saat sehingga membuat Nessa benar-benar jengkel.
Acara makan malam berlangsung menyenangkan karena Ervan dan Delina dengan senang hati meramaikan percakapan dengan kisah-kisah mereka. Nessa sendiri hanya tersenyum-senyum melihat tingkah pasangan yang sangat saling mencintai itu, begitu pun ibunya.
Sementara Kevin... Hah? Apa yang dilakukan lelaki itu? Meskipun menyantap makanan yang sederhana, gayanya benar-benar
seperti makan di restoran bintang lima, sangat elegan. Dan dia banyak
memasang ekspresi datar dan sopan, hanya tersenyum jika memang waktunya
tersenyum.
28 Santhy Agatha
Ketika makan malam sudah dibereskan, Kevin melakukan tindakan tak terduga dengan menatap Ibu Nessa lalu tersenyum lembut.
"Terima kasih ibu, masakannya enak sekali," gumamnya
tenang, tetapi mampu membuat ibu Nessa yang sudah setengah baya itu
tersipu malu.
Dasar playboy. Tukas Nessa dalam hati, sampai-sampai Kevin juga menebarkan pesonanya kepada ibunya.
Ibu Nessa tampak melirik anak perempuannya yang
memasang wajah cemberut, lalu melirik ekspresi Kevin yang terlihat geli
di sebelahnya, perempuan tua itu mengangkat alis lalu kemudian
tersenyum.
"Ibu undur diri istirahat di dalam dulu ya, silahkan dilanjutkan kalau masih ingin mengobrol-ngobrol."
Ibu Nessa pun melangkah masuk ke kamarnya di ruang
belakang. Nessa langsung berdiri dan membereskan meja makan, sementara
Ervan mengajak Delina dan Kevin ke ruang tamu.
♥♥♥
Setelah membereskan meja makan dan dapur, Nessa
termangu di sana. Haruskah dia keluar lagi ke ruang tamu? Dorongan
hatinya ingin masuk saja ke kamar dan tak keluar-keluar lagi. Kevin, entah kenapa terlalu menebarkan aura mengintimidasi kepada Nessa, dan itu mengganggunya.
Tetapi tentu saja Nessa tidak mungkin membiarkan Ervan sendirian di sana menghadapi Kevin bukan?
Sambil menghela nafas panjang, Nessa melangkah menuju ruang tamu.
♥♥♥
Ketika Nessa masuk ke ruang tamu, Ervan tampak sedang bercakap-cakap canggung dengan Kevin, dan Delina duduk diam menyimak di sebelah Ervan.
Kevin sedikit melirik ke arah Nessa yang memasuki
ruang tamu dan duduk di sudut sofa yang terjauh dari Kevin, lalu melirik
jam tangannya.
Perjanjian Hati 29
"Sepertinya kita harus pulang Delina," gumam Kevin tenang.
Delina mengerutkan keningnya, menatap kakaknya
memprotes. Dia masih ingin bersama Ervan lebih lama lagi, "Tetapi aku
masih ingin di sini, kakak pulang duluan saja, nanti aku biarkan di
antar oleh Ervan."
Tatapan Kevin langsung menajam, "Kau tidak bisa
melakukan itu, Delina. Kau tahu mama seperti apa. Dia menyuruhku
mengantarmu, dan aku juga yang harus membawamu pulang."
Suasana menjadi canggung dengan Ervan yang bingung harus berkata apa-apa di tengah-tengah ketegangan kakak beradik itu.
Nessa langsung berdeham, mencoba menyelamatkan suasana.
"Mungkin kau bisa menunda kepulanganmu sebentar,
Delina.” suara Nessa jadi tertelan ketika dia merasakan Kevin menoleh
dan melemparkan tatapan mengintimidasi kepadanya, "Aku... Aku ingin
bicara dengan kakakmu dulu."
"Bicara apa?" sela Kevin sambil memiringkan kepalanya dan menatap Nessa menantang.
Dengan marah Nessa mengangkat alisnya, "Tidak di sini, mari ikut aku ke teras samping."
♥♥♥
Kevin mengikuti Nessa melangkah ke teras samping
yang menghadap kebun bunga, yang ditanam dan dirawat sendiri oleh Nessa.
Teras itu kecil, tetapi cukup indah. Nessa senang sekali duduk-duduk di sana, di bangku kayu yang tersedia, sambil menatap kebun bunganya di sore hari.
Dia lalu duduk di bangku kayu itu dan menatap Kevin yang memilih bersandar di pilar kanopi sambil bersedekap dan menatap Nessa.
"Well? Mau bicara apa?"
30 Santhy Agatha
Nessa mendengus, "Aku tidak mau bicara apa-apa denganmu, aku hanya memberi mereka kesempatan berduaan tanpa gangguanmu."
Kevin terkekeh, "Kau juga memberiku kesempatan berduaan denganmu."
Tatapan Nessa langsung berubah waspada, "Memangnya kau mau apa?"
Mata Kevin menajam, seperti serigala yang berhasil memperangkap mangsanya, tetapi tidak berniat membunuhnya melainkan ingin memain-mainkannya dulu sebelum dimakan.
"Kenapa kau begitu takut kepadaku Nessa? Kau selalu waspada ketika aku mendekat, menyentuhmu....
Kau harus berlatih terbiasa dengan sentuhanku kalau kau ingin sandiwara ini berhasil."
Terbiasa dengan sentuhan Kevin? Tiba-tiba bulu kuduk Nessa meremang.
"Aku tidak takut padamu. Aku cuma tidak suka dengan kedekatanmu yang kau paksakan."
"Hm... Kau tidak terbiasa berdekatan dan disentuh lelaki ya? Aku paham, mengingat kekasih terakhirmu benar-benar lelaki yang tidak pantas disebut lelaki."
Pipi Nessa memerah, teringat kata-kata
Kevin bahwa lelaki itu sudah menyelidiki keseluruhan kehidupannya, tidak
bisa dibantah, Kevin pasti sudah tahu kisahnya dengan Marcell.
"Jangan sebut-sebut nama Marcell di sini."
"Penyelidikku bilang kau patah hati dan hancur ketika
Marcell mencampakkanmu, lelaki itu tidak bisa melawan permintaan ibunya
yang masih menganut sistem feodal. Seharusnya kau bersyukur tidak jadi
dengannya." Kevin menatap Nessa penuh perhitungan, "Aku bisa membantumu
membalaskan dendam kepadanya."
"Aku tidak butuh membalas dendam kepada siapapun!" Nessa berdiri dengan emosi dan menatap Kevin dengan tatapan marah yang meluap-luap, "Sebelumnya, aku pikir bekerjasama denganmu adalah jalan yang terbaik, tetapi lama-kelamaan aku
Perjanjian Hati 31
sadar bahwa aku salah! Aku tidak mau bersandiwara sebagai pasangan denganmu, membayangkannya saja aku muak."
Mata Kevin menyala, kalau Nessa lebih mengenal Kevin,
dia seharusnya sadar bahwa dia harus mundur, tetapi sayangnya Nessa
tidak tahu.
"Muak katamu? Kenapa kau muak kepadaku?"
"Karena kau lelaki kaya yang merasa bisa memainkan orang lain seperti boneka! Dan kau suka merendahkan orang miskin!"
Kevin berdiri mendekat melangkah di depan Nessa, lalu mencengkeram pundaknya.
"Aku menawarkan perjanjian kerjasama itu demi adikmu juga. Seharusnya kau berterima kasih padaku," desisnya geram.
Nessa mencibir, "Demi adikku? Demi adik kita? Bohong. Kupikir
kau terlalu egois untuk berkorban demi seseorang, menurutku kau
menawarkan sandiwara ini agar bisa terbebas dari kewajiban membalas budi
kepada mamamu, padahal kau tak ingin menikahi Delina." Nessa menatap
Kevin menantang, "Benar bukan? Semua rencana ini, hanya demi
kepentinganmu."
Kali ini api di mata Kevin makin membara, "Berani- beraninya kau mengataiku seperti itu..."
Lalu tanpa di duga, lelaki itu tiba-tiba
menarik pundak Nessa mendekat dan mendorong belakang kepalanya dengan
sebelah tangannya ke arahnya, bibir Nessa berada dekat sekali dengan
bibir Kevin, dan hanya beberapa detik kemudian, bibir Kevin melumatnya,
dengan begitu ahli, sementara Nessa hanya terpaku kaget.
Setelah itu dengan santai Kevin melepasnya dan mengecup dahinya dengan lembut.
Dengan Lembut? Nessa termangu masih terlalu shock atas perbuatan Kevin yang tiba-tiba
itu, lalu dia melirik ke belakang punggung Kevin dan melihat Ervan
bersama Delina sedang berdiri terpaku di lorong, tak kalah kaget melihat
adegan Kevin dan Nessa... Jadi itu alasannya.
32 Santhy Agatha
Kevin menoleh dan aktingnya kagetnya ketika melihat
Ervan dan Delina yang berdiri di lorong teras begitu bagus hingga Nessa
mencibir benci melihatnya.
"Ah... Delina, Ervan... kalian sudah lama di sini?" Ervan dan Delina saling berpandangan, salah tingkah.
"Kami baru saja ke sini, Delina ingin pulang jadi
kami kesini dan..." suara Ervan tertelan dan dia menatap ragu ke arah
Nessa, Ervan sangat mengenal kakaknya, sejak dicampakkan oleh Marcell
kakaknya itu jadi menutup diri terhadap semua lelaki, khususnya lelaki
kaya. Tetapi kenapa sekarang kakaknya berpelukan dan
berciuman dengan Kevin? Sosok lelaki yang sudah pasti masuk ke kriteria
yang dibenci kakaknya?
Sementara itu Delina menatap ragu ke arah Kevin. Dia
juga sangat mengenal kakak lelakinya yang satu ini. Kevin tidak pernah
suka menjalin komitmen dengan siapapun, karena itulah dia selalu
menjalin hubungan dengan perempuan modern dan bebas yang bersedia
menjalin hubungan tanpa status dengannya. Tetapi sekarang, Kevin dengan kak Nessa?
Kevin berdehem, kemudian merangkul Nessa dalam lengannya dan merapatkan tubuh Nessa ke arahnya.
"Karena kalian sudah melihat kami, mungkin kami
harus menjelaskan," Kevin menoleh dengan tatapan mesra yang palsu pada
Nessa, "Kita jelaskan saja pada mereka ya sayang?"
Pipi Nessa memerah dan dia hanya bisa mengangguk. Masih terbayang olehnya bibir Kevin yang panas melumatnya tanpa permisi. Kurang ajar lelaki itu!
"Kakakmu dan aku sebenarnya sudah mengenal sejak
lama, Ervan... Kalau boleh dibilang, aku yang mengejarnya." Kevin
terkekeh, "Dan kakakmu sangat susah didapatkan...
Meskipun aku tidak menyerah untuk mendapatkannya."
senyum Kevin melebar, "Ketika mengetahui di pesta itu bahwa Nessa adalah
kakakmu, aku sangat senang, tetapi Nessa menyuruhku berpura-pura
tidak mengenalnya dulu, karena dia belum menjelaskan hubungan kami
kepadamu..." dengan lembut Kevin mengeratkan pelukannya pada Nessa,
"Barusan Nessa menerima pernyataan keseriusanku, aku terlalu bahagia
Perjanjian Hati 33
sehingga tidak bisa menahan diri untuk menciumnya, dan ternyata kalian melihatnya sebelum kami sempat menjelaskan."
Ervan dan Delina tampak mencerna penjelasan Kevin
yang sangat lancar itu. Kemudian Delina yang tersenyum duluan. Dia
teringat tuntutan sang mama yang begitu membebaninya dan menyadari bahwa
kedekatan Kevin dengan Nessa adalah jalan keluar yang sangat tepat
untuk menolak tuntutan mamanya tanpa menyakitinya atau mengganggu
kondisi kesehatannya.
Dengan ceria dia melangkah mendekat, lalu memeluk Nessa yang masih diam tak bisa berkata-kata.
"Kak Nessa, aku turut senang, kuharap kita bisa menjadi keluarga yang sebenar-benarnya,
kakak pasti sudah tahu, aku dan kak Kevin bukan saudara kandung, jadi
kakak bisa menikah dengan kak Kevin nantinya dan aku dengan Ervan."
gumamnya dalam senyum.
Nessa hanya menganggukkan kepalanya, bingung harus
berkata apa. Dengan cerdiknya Kevin sudah menempatkan di Nessa pada
posisi tidak bisa mundur lagi.
Nessa melirik ke arah Ervan dan menilai ekspresinya. Kecurigaan di mata adik lelakinya itu sudah memudar, Nessa merasa lega.
Dan sekarang sudah terlambat untuk mundur, meskipun Nessa tidak yakin, apa yang akan terjadi nanti.
♥♥♥
Pagi harinya ketika Ervan sudah berangkat kuliah
dari pagi dan Nessa sedang menyantap nasi goreng sarapannya di meja
makan, ibunya menghampiri.
Nessa sudah tahu arti tatapan ibunya itu. Ervan pasti sudah bercerita kepada ibunya tadi pagi.
“Kau mengajar kelas siang?” sang ibu duduk di sebelahnya.
34 Santhy Agatha
Nessa menelan suapan terakhir nasi gorengnya dan meneguk teh panas di meja. “Iya ibu.” Dia sudah menyiapkan hati untuk ditanyai.
“Ibu mendengar cerita dari Ervan tadi pagi. Bahwa kau dan Kevin...”
“Kami memang menjalin hubungan.”
Sang ibu mengernyitkan kening, “Kenapa kau tidak pernah cerita? Bahkan ibu sama sekali tidak tahu, seolah-olah Kevin dulunya tidak ada didalam kehidupanmu, lalu tiba-tiba dia muncul begitu saja.”
Ibunya benar. Nessa sangat
kagum akan insting seorang ibu. Ibunya pasti merasa ada yang tidak
beres. Tetapi Nessa harus bisa meyakinkan ibunya. “Kami memilih
merahasiakan hubungan kami,” gumamnya pelan, meminta maaf kepada Tuhan
karena telah membohongi ibunya sendiri.
“Tapi… Dimana kalian berkenalan? Sungguh kebetulan sekali bahwa Kevin adalah kakak Delina.”
Otak Nessa langsung berputar, “Kami mengenal sudah
lama, ada event sekolah yang melibatkan donatur, dan Kevin salah satu
donaturnya,” Nessa mengernyit. Berharap semoga ibunya tidak bertanya-tanya lagi, dia tidak ingin menambah kebohongannya lagi.
“Oh.” ibunya tampaknya mulai menerima penjelasan
Nessa, “Apakah kau sungguh-sungguh yakin dengan Kevin…? Kau tahu, dia lelaki kaya,” gumam ibunya hati-hati.
Nessa menghela napas panjang, “Kevin berbeda dari Marcell ibu. Dan aku sangat yakin akan perasaan kami.”
♥♥♥
Nessa melihat lelaki yang berdiri di lorong TK itu dan mengernyit.
Untuk apa Marcell datang ke sini?
Langkahnya melambat ketika makin mendekati Marcell,
sedangkan Marcell yang semula berdiri santai langsung berdiri tegak
ketika mereka berdiri berhadap-hadapan.
"Ada perlu apa?" tanya Nessa langsung.
Perjanjian Hati 35
Marcell tampak salah tingkah dan tersenyum, "Apa kabar Nessa?"
Kenapa Marcell kemari? Pertanyaan itu berkutat di benaknya, membuat dahinya berkerut.
"Kabarku baik, kau bisa lihat sendiri." Aku bisa bangkit tanpamu dan melanjutkan hidupku. Sambung Nessa dalam hati.
Marcell berdehem tampak salah tingkah, "Aku terkejut
melihatmu di pesta itu... Apalagi mengetahui bahwa kau kekasih Tuan
Kevin..." lelaki itu memandang sekeliling seolah menghindar, "Susan
bercerita pada mama tentang pertemuannya denganmu, dan mama merasa
cemas... Dia... Dia menyuruhku kemari untuk memastikan bahwa tidak ada
sakit hati antara kita di masa lalu, kau tahu... Perusahaan keluarga
kami merupakan mitra bisnis Tuan Kevin dan kemitraan ini sangat
penting... Aku hanya ingin memastikan hubunganmu dengan Tuan Kevin tidak
akan mempengaruhi kebijakannya atas perusahaan kami."
Hati Nessa terasa di gores-gores dengan
cakar tajam mendengar perkataan Marcell. Lelaki ini datang kepadanya
bukan untuk minta maaf karena telah mencampakkannya dengan kejam dua
tahun lalu, karena telah memperlakukannya seperti sampah atas
kemiskinannya. Lelaki ini datang hanya sebagai boneka mamanya, untuk
kepentingan bisnis perusahaannya.
Kenapa dulu aku bisa jatuh cinta kepadanya? Kepada lelaki yang bahkan tidak bisa menghargai perasaan orang lain?
Hati Nessa terasa sakit
"Aku sudah melupakanmu Marcell, bahkan tidak
terpikirkan sama sekali tentangmu. Tidak ada dendam masa lalu di hatiku,
kau bisa tenang," Nessa bergumam, berusaha terdengar tegas.
Marcell menatap Nessa dalam-dalam.
Apakah benar Nessa melihat sekilas ketersinggungan Marcell ketika Nessa
mengatakan bahwa dia dengan mudahnya bisa melupakan Marcell?
36 Santhy Agatha
"Oh begitu." Marcell tersenyum, "Kalau begitu aku
akan menyampaikannya kepada mama, oh ya, kau dapat salam dari mama,
kalau kau ada waktu, mainlah kapan-kapan ke rumah."
Nessa terkenang hari di mana Marcell membawa Nessa ke
rumahnya. Mama Marcell adalah perempuan dingin berwajah aristrokat yang
memandang Nessa dengan mencemooh, bahkan tidak mau menjabat tangan
Nessa. Apakah hubungannya dengan Kevin menaikkan derajatnya di mata mama
Marcell? Sebegitu dangkalkah penilaian mama Marcell terhadap manusia?
Hanya berdasarkan hartanya?
"Ya. Sampaikan salam kembali pada mamamu.” Nessa melangkah hendak melewati Marcell, "Kalau begitu aku permisi dulu."
"Tunggu dulu Nessa, ada yang ingin kukatakan... Kau...
apakah kau mencintai Tuan Kevin? Sungguh-sungguh mencintainya dan sudah melupakan aku?"
"Tentu saja dia mencintaiku dan sudah melupakanmu. Aku tidak bisa dibandingkan denganmu."
Suara dalam yang khas itu membuat Nessa dan Marcell sama-sama kaget, pegangan Marcell ke tangan Nessa langsung terlepas.
Kevin entah kenapa sudah berdiri di sana dan menatap Mercell dengan tajam, lalu tersenyum palsu menatap Nessa.
"Hai sayang, maafkan aku terlambat menjemputmu ya,
tadi aku terhambat sebentar di jalan," Kevin langsung melangkah
mendekati Nessa, berdiri sedikit di depan Nessa, seolah menghalangi
Marcell berdekatan dengan Nessa.
"Oh... Selamat siang Tuan Kevin." Marcell tampak gugup, menatap sekeliling, seolah-olah ingin segera lari dari situasi yang tidak mengenakkan ini, tiba-tiba
wajahnya tampak cerah seolah mengingat sesuatu, dikeluarkannya amplop
cantik nan elegan berwarna ungu dari saku dalam jas nya, "Saya hanya
ingin menyerahkan undangan pernikahan ini untuk Nessa," diletakkannya
amplop itu di tangan Nessa, "Untuk Tuan Kevin
Perjanjian Hati 37
undangan sudah di sampaikan secara resmi melakui
sekretaris anda." Marcell mencoba tersenyum, lalu menganggukkan
kepalanya, "Kalau begitu saya permisi dulu."
Nessa menatap punggung Marcell yang melangkah
menjauh, kemudian menghela napas dan menatap undangan cantik di
tangannya, pernikahan Marcell dan Susan yang akan berlangsung sebentar
lagi.
"Kau akan mendampingiku datang di pesta itu,” gumam Kevin datar, "Kau bisa datang dengan kepala tegak dan tunjukkan kepada laki-laki bodoh itu kalau kau terlalu baik untuknya."
Tanpa sadar Nessa tersenyum simpul mendengar kata-
kata Kevin yang mirip seperti pembelaan untuknya. Dia menganggukkan
kepalanya,
"Mungkin bisa dibicarakan nanti saja," desahnya, lalu menatap Kevin dan mengernyit bertanya-tanya kenapa Kevin tiba-tiba saja sudah ada di TK tempatnya mengajar tanpa pemberitahuan, "Kenapa kau kemari?"
Lelaki itu tersenyum dan mengangkat bahunya.
"Well waktunya sudah tiba, mama ingin bertemu denganmu. Aku harap kau sudah mempersiapkan aktingmu sebaik-baiknya."
“Apa?” Nessa terperangah, kaget dengan pemberitahuan
itu.
Kevin hanya mengangkat bahunya, “Delina menceritakan
semuanya kepada mama, dan mama sangat tertarik mendengarnya, kemungkinan
aku menemukan pasangan hidup yang kucintai dan kupilih sendiri
membuatnya sangat bahagia,” Kevin tersenyum pahit, “Mama sangat
penasaran denganmu dan memintaku mengajakmu menemuinya.”
38 Santhy Agatha
"Janganlah kau menikahi seseorang yang menurutmu kau
bisa hidup dengannya. Tetapi nikahilah seseorang yang menurutmu, kau
tidak bisa hidup tanpanya."
4
Perempuan itu sangat cantik, duduk di sana di tengah
kebun bunga sambil meminum tehnya dari cangkir yang elegan. Rambutnya
disanggul dengan formal ke atas, dan gaunnya tampak sangat indah,
berwarna hijau, menyatu dengan alam taman bunga di sekelilingnya. Mama
Kevin dan Delina ini pasti sangat cantik di masa mudanya, karena bahkan
di masa tuanyapun gurat-gurat kecantikannya masih menyisa di sana.
Mama Kevin mendongak ketika melihat Kevin datang bersama Nessa yang gugup, lalu senyum ramahnya mengembang.
"Silahkan duduk," gumamnya menyilahkan sambil mengedikkan bahu dengan lembut pada kursi di depannya.
Dengan tenang Kevin menarikkan kursi untuk Nessa dan duduk di sebelahnya.
"Mama tidak masuk angin, minum teh sore-sore di luar seperti ini?"
Sang mama tersenyum lembut dan menatap Kevin dengan sayang.
"Mama cukup kuat kalau hanya duduk-duduk
di luar Kevin, lagipula mama bosan kalau di dalam terus, pemandangan
taman ini di sore hari sangat indah, sayang untuk dilewatkan."
Mama Kevin benar. Pikir Nessa mengiyakan. Pemandangan taman ini tampak luar biasa, dengan dedaunan
Perjanjian Hati 39
yang rimbun dan tertata rapi serta bunga-bunga
dan rumput hijau yang mengelilingi, ditambah lagi kolam ikan yang
cantik dengan gemericik air terjun buatan yang mendamaikan suasana.
Nessa dengan senang hati akan rela melewatkan waktunya untuk duduk-duduk di taman ini menikmati keindahan suasananya.
Tak disadarinya mama Kevin mengamati Nessa dengan
penuh perhatian. Ketika Nessa tersadar, dia langsung bergumam gugup
menyadari ketidaksopanannya karena langsung duduk dan melamun, bukannya
memperkenalkan diri.
"Eh, maaf... Saya... Saya Nessa," gumam Nessa sambil mengulurkan tangannya gugup.
Mama Kevin menyambut uluran tangan Nessa, tampak geli melihat kegugupan Nessa,
"Dan perkenalkan aku mamanya Kevin dan Delina." dia
melirik Kevin penuh arti, "Begitu mendengar tentangmu dari Kevin dan
Delina, aku benar-benar didera rasa ingin tahu."
Nessa melirik Kevin yang sepertinya sudah ada dalam mode berakting karena lelaki itu melirik lembut dan penuh cinta kepadanya.
"Aku tidak pernah merasakan yang seperti ini kepada
perempuan manapun, mama. Dia istimewa dan aku harap dia yang terbaik."
Kevin bergumam dengan nada yang terdengar begitu tulus dan jujur. Bahkan
Nessa yang mengetahui bahwa itu hanyalah kebohongan semata, tersipu-sipu mendengarnya
Mama Kevin menyesap teh-nya lagi, lalu melirik Nessa dan Kevin bergantian, "Kau tidak pernah menceritakan tentang Nessa sebelumnya."
"Aku sedang mengejarnya," jawab Kevin santai,
"Sekarang aku sudah memilikinya, dan kupikir sekaranglah saat yang tepat
untuk mengklaimnya dan menunjukkannya pada semua orang."
Mama Kevin terkekeh mendengar nada posesif dan kepemilikan di dalam suara Kevin. Dia tersenyum pada Nessa meminta permakluman.
40 Santhy Agatha
"Maafkan anak lelakiku ini Nessa, dia memang terbiasa
arogan dan keras kepala, mungkin kau juga menyadarinya. Aku senang
karena dia akhirnya menemukan seseorang yang cocok untuknya, karena aku
tahu betapa alerginya dia mengikatkan diri pada seorang perempuan."
Nessa tersenyum kaku, mencoba tampak santai "Saya...
Saya senang karena anda menerima saya..."
"Tentu saja aku menerimamu, kau pilihan Kevin,
berarti kaulah yang terbaik." sang mama tersenyum dan mengangkat
bahunya, "Tentunya Kevin sudah bercerita kalau aku berniat
menjodohkannya dengan Delina... Sebuah pemikiran yang kupikir keputusan
terbaik, mengingat aku begitu menyayangi mereka berdua dan menginginkan
mereka saling menjaga...
"Mama." Kevin berseru memprotes perkataan mamanya. Sang mama hanya tersenyum menenangkan.
"Yah... Aku pikir waktu itu Kevin dan Delina sama-sama
belum mempunyai pasangan dan mereka tampak sangat cocok bersama,
lagipula aku sudah sangat ingin menimang cucu.” mama Kevin lalu
tersenyum dengan mata berbinar, "Kabar kalau Kevin ternyata sudah
mempunyai pilihan hati memang tidak kusangka-sangka, tetapi kabar ini menyenangkan, dan menenangkan, aku pikir aku akan dengan senang hati menyiapkan pernikahan kalian."
"Pernikahan?" Kevin dan Nessa sama-sama berseru. Yang satu protes dan yang lain kaget.
"Tentu saja." mama Kevin mengedipkan matanya ke arah
Nessa, "Mulai sekarang panggil aku mama, sayang. Karena saat ini aku
sudah setengah jalan mempersiapkan pernikahan besar di akhir tahun,”
perempuan itu tampak menghitung di dalam kepalanya.
"Akhir tahun tinggal empat bulan lagi,” dia lalu
tersenyum lembut pada Nessa, "Dulunya pernikahan ini kurencanakan untuk
pernikahan Kevin dan Delina, tetapi aku
Perjanjian Hati 41
yakin sekarang akan lebih menyenangkan karena Kevin
mempunyai pilihan hatinya sendiri, kuharap kau akan sering kemari Nessa
dan membantuku mempersiapkan pernikahan ini."
Mama Kevin berucap manis, dengan senyum yang manis pula. Tetapi makna yang ada di dalam kata-katanya, tak terbantahkan.
♥♥♥
"Pernikahan?" Nessa berseru memprotes sambil menatap
Kevin yang sedang menyetir dengan tajam, "Tadinya aku pikir kita hanya
bersandiwara sebagai pasangan kekasih. Lalu setelah Delina bisa
memperkenalkan Ervan kepada mamamu, kita akan pura-pura berpisah baik-baik dan mengatakan ada perbedaan prinsip yang menghalangi kita!"
"Delina belum bisa memperkenalkan Ervan sekarang-
sekarang ini. Mereka belum lulus kuliah, dan aku meragukan mama akan
menerima Ervan begitu saja, beliau pasti akan menganggap Ervan terlalu
muda untuk serius dengan Ervan di usianya sekarang ini. Kita harus
bertahan Nessa demi mereka. Segera setelah Ervan lulus dan mendapatkan
pekerjaan yang baik, Delina bisa membawanya kepada mama. Aku akan
mengatur pekerjaan yang baik untuk Ervan nanti."
"Tapi mereka berdua baru lulus tiga bulan lagi, itu
sangat beresiko mengingat mamamu merencanakan pernikahan empat bulan
lagi. Terlalu tipis waktunya, apalagi untuk membatalkan semuanya secara
mendadak. Mungkin...
Mungkin kita harus jujur saja kepada mamamu. Aku
lihat mamamu perempuan yang kuat dan berpikiran luas, dia mungkin mau
menunggu sampai Ervan lulus dan melihat bukti keseriusannya kepada
Delina."
Kevin memandang lurus ke depan, tampak serius. "Dia
memang selalu berusaha tampil kuat Nessa, tetapi dia rapuh. Lagipula
kita sudah maju sejauh ini, tak bisa mundur lagi. Kalau kita mengatakan
bahwa ini semua hanya pura-pura kepada mama, dia pasti akan kecewa dan itu akan mempengaruhi kondisi tubuhnya. Saat ini dia bahagia, kita biarkan saja.
Semoga
|
nanti
|
begitu
|
Ervan
|
lulus
|
dan
|
Delina
|
42 Santhy Agatha
|
memperkenalkannya, mama begitu bahagia sehingga dia
tidak kecewa ketika kita membatalkan pernikahan itu. Kita berdoa saja
semoga semua berjalan seperti semestinya."
"Dan jika tidak?" Jantung Nessa berdegup kencang, memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Kevin menoleh, dan menatap Nessa dengan senyum ironisnya.
"Jika tidak... Maka mungkin kau dan aku akan terjebak dalam sebuah sandiwara pernikahan."
♥♥♥
"Nessa." sang ibu mengetuk pintu kamar Nessa, suaranya terdengar cemas, "Ada tamu."
Nessa yang sedang membaca di dalam kamar mengernyit,
lalu melirik jam di dinding, sudah jam delapan malam, siapa yang
bertamu semalam ini?
Nessa membuka pintu kamarnya dan berhadapan dengan wajah ibunya yang cemas.
"Siapa ibu?"
Suara sang ibu berbisik pelan, "Marcell. Dia memaksa
bertemu denganmu, ibu bilang mungkin kau sudah tertidur tetapi dia minta
ibu membangunkanmu. Kau ingin bertemu dengannya atau tidak?"
Nessa mengernyit, untuk apa Marcell datang ke rumah ini malam-malam
begini? Saat ini? Bukankah sejak lelaki itu mencampakkannya dua tahun
lalu, jangankan datang ke rumah ini, mengirimkan kabar pun lelaki itu
tidak pernah.
Perasaan ingin tahu membuat Nessa terdorong mengambil keputusan.
"Aku akan menemuinya ibu."
Sang ibu menahan tangannya, "Kau tidak apa-apa Nessa, ibu tahu kau sudah menjalin hubungan baru dengan Kevin...
Tetapi ibu..."
Nessa memang sudah menceritakan bahwa dia menjalin
hubungan dengan Kevin, supaya sang ibu tidak kaget nantinya. Ibunya
cukup senang meskipun juga mengutarakan
Perjanjian Hati 43
kecemasannya karena Nessa menjalin hubungan lagi
dengan lelaki kaya. Tetapi Nessa meyakinkan ibunya bahwa hal ini tidak
akan menyakiti hatinya lagi, toh dalam hati Nessa menyadari bahwa
hubungan ini hanyalah sandiwara yang tidak melibatkan hati sama sekali.
Tetapi insting seorang ibu memang luar biasa, ibunya bisa merasakan
bahwa Nessa masih menyimpan luka mendalam akibat perbuatan Marcell.
"Tidak apa-apa ibu.” Nessa tersenyum lembut, "Jangan cemas ya."
Nessa melangkah ke ruang tamu dan menemukan sosok
Marcell yang duduk termenung di sofa, lelaki itu langsung berdiri begitu
melihat Nessa.
"Hai Nessa, aku tadi lewat di dekat-dekat sini dan memutuskan untuk mampir."
"Ada apa Marcell?" Nessa memutuskan untuk tidak
menanggapi pernyataan basa basi Marcell, dia bersedekap dan menatap
lelaki itu dengan dingin.
Marcell berdiri dengan salah tingkah, "Aku... Aku
berpikir, sekian lama aku tidak melihatmu dan kemarin ketika melihatmu,
kau sudah berubah, lebih dewasa dan lebih cantik....
Dan ternyata... Aku... Aku masih merindukanmu."
Apa maksud Marcell dari pernyataannya ini? Nessa
mengernyitkan keningnya. Lelaki itu sudah mencampakkannya dan bahkan
kemarin sudah mengundangnya ke pesta pernikahannya. Dan sekarang dengan
tak tahu malu, Marcell berdiri di sini dan mengatakan merindukannya?
Marcell menelan ludah, "Aku tahu kau sakit hati
dengan perlakukanku dulu, tetapi harap mengerti Nessa, aku terpaksa, aku
juga menderita, sama sepertimu. Tekanan dari keluargaku sangat kuat.
Keluargaku mempunyai hutang budi yang begitu besar kepada keluarga
Susan, aku bagaikan tumbal mereka dan aku tidak bisa melawan... Kalau
aku menolak, maka keluargaku akan hancur."
Nessa mengernyit, dan kenapa baru sekarang Marcell
memilih untuk menjelaskan kepadanya? Kenapa tidak dulu ketika lelaki itu
mencampakkannya tanpa kata-kata dan
44 Santhy Agatha
membiarkannya terpuruk dalam kedukaan mendalam
karena patah hati? Setidaknya kalau Nessa tahu alasan itu dari dulu,
mungkin dia bisa lebih berbesar hati ketika kehilangan Marcell.
"Aku ingin menghubungimu dulu itu. Tetapi pengawasan
keluargaku sangat ketat... Susan juga... Dia terobsesi padaku dan sangat
posesif, dia mengancam akan menghancurkanmu kalau aku sampai
berhubungan lagi denganmu... dan dulu mengingat begitu berkuasanya
keluarga Susan, mereka bisa menghancurkan keluargamu dengan mudah..."
"Dan kenapa sekarang kau tetap menemuiku? Tidakkah ini akan membuat Susan mengamuk kalau dia tahu?"
Marcell menggeleng, tersenyum kecut, "Tidak. Sekarang keluargaku dan Susan tidak bisa berbuat apa-apa,
Kau... Kau entah bagaimana dengan beruntungnya menjadi kekasih Tuan
Kevin, yang beribu kali lebih berkuasa dari kami. Mereka tidak akan
berani berbuat macam-macam denganmu, karena itulah aku bisa menemuimu dengan leluasa seperti akhir-akhir ini..." Mata Marcell tampak berkaca-kaca,
"Aku… Aku sudah menunggu kesempatan ini begitu lama Nessa, dua tahun
lamanya... Aku selalu tersiksa, memikirkanmu, memikirkan keadaanmu yang
kutinggalkan begitu saja dengan begitu menyakitkan... Waktu itu aku
berpikir kalau kau kutinggalkan dengan kejam, kau akan membenciku,
dengan begitu kau akan lebih mudah melupakan aku... Aku sadar bahwa aku
sudah menyakitimu begitu dalam... Maafkan aku..."
Suara Marcell berubah serak, dia menatap Nessa
dengan memohon. "Di TK kemarin itu aku sudah ingin mengungkapkan
semuanya kepadamu... Tetapi aku berubah pikiran ketika kau bertemu
denganku, kau begitu tegar dan kuat dan kau bilang kau tidak
memikirkanku lagi... Jadi aku... Aku mengatakan alasan-alasan
bodoh kenapa aku menemuimu waktu itu," Marcell menghela napas panjang,
“Tetapi perasaan ini menghantuiku... Aku hanya ingin kau tahu, bahwa
tidak pernah sedikitpun terbersit di benakku untuk menyakitimu,
mencampakkanmu... Aku sangat mencintaimu... Bahkan...
Bahkan sampai sekarang pun aku... Masih..."
Perjanjian Hati 45
Nessa tanpa sadar meringis merasakan kesakitan yang
menusuk benaknya. Harusnya Marcell tidak usah mengungkapkan semua ini.
Dia sudah bisa berjalan tegak sejak keterpurukannya karena ditinggalkan
Marcell, dia sudah bisa menutup luka hatinya meskipun kadangkala masih
terasa pedih. Tetapi apa yang diucapkan Marcell hari ini seperti membuka
luka lamanya lagi, membuatnya menganga dan berdarah.
"Terima kasih sudah menjelaskan kepadaku." suara
Nessa terdengar serak, "Tetapi bagaimanapun semua sudah terjadi. Kita
tidak bisa menoleh ke belakang lagi. Aku sudah melanjutkan hidupku,
begitu pun dirimu. Semoga tidak ada lagi kesalahpahaman dan luka masa
lalu di antara kita."
Marcell mengacak rambutnya dengan frustrasi, "Lelaki itu, Tuan Kevin... Apakah kau benar-benar mencintainya?"
Nessa menghela nafasnya sebelum mengucapkan jawaban semantap mungkin, "Ya, aku benar-benar mencintainya."
Hening.
"Yah." kemudian Marcell tersenyum pahit sambil
mengangkat bahu, "Apalagi yang kuharapkan, dia lebih segala- galanya
dariku, jadi wajar kalau kau semudah itu melupakanku." wajahnya tampak
sedih, "Meskipun aku tidak pernah melupakanmu selama ini, Nessa. Dua
tahun berlalu, aku memang bertunangan dengan Susan, tetapi hanya tubuhku
yang terikat dengannya. Hatiku... Hatiku masih selalu menjadi milikmu."
"Aku tidak mau menerima hatimu," sela Nessa dengan
tegas, "Biarkan itu menjadi milik Susan, kalian akan segera menikah, aku
harap kau akan berbahagia dengannya."
Marcell menggeleng, hendak membantah, tetapi kemudian tampak mengurungkan niatnya.
"Yah... Oke. Tidak ada lagi yang perlu kusampaikan," ditatapnya mata Nessa dalam-dalam, seolah-olah berusaha mencari cinta yang tersembunyi di sana, kemudian dia
46 Santhy Agatha
memalingkan mukanya dengan sedih, "Kalau begitu aku permisi dulu Nessa, selamat tinggal."
"Selamat tinggal Marcell."
Kali ini ucapan selamat tinggal itu benar-benar
terucap dari hatinya, kepedihannya masih terasa, apalagi mendengarkan
pengakuan Marcell barusan. Setidaknya kemarahan dan kebenciannya di masa
lalu atas perlakukan Marcell kepadanya terjawab sudah, lelaki itu punya
alasan sendiri meninggalkannya, dan Nessa sudah menerimanya.
♥♥♥
"Kau suka nuansa ini Nessa?” mama Kevin tersenyum
kepada Nessa sambil menunjukkan foto dekorasi ruang pesta yang begitu
mewah, "Aku ingin kesannya elegan dengan nuansa warna emas dan putih.”
Nessa melirik foto itu, lalu melirik Kevin di sebelahnya yang memasang muka datar dengan gugup.
"Eh ya... Putih dan emas bagus juga mama,” gumamnya lembut.
Saat ini Nessa dan Kevin sedang berkunjung ke rumah Kevin, sang mama bersikeras menunjukkan foto-foto
gedung dan desain ruangan yang harus dilihat oleh Kevin dan Nessa dulu
sebelum diputuskan mana yang akan dipilih. Dengan terpaksa Nessa datang,
karena kata Kevin kalau Nessa terus menerus menghindar, mama Kevin akan
curiga.
"Kalian sudah membeli cincin?" mama Kevin menatap Kevin. "Kau bilang kalian akan memilih cincin akhir minggu kemarin."
Kevin menggelengkan kepalanya, "Belum mama, aku sibuk
sekali akhir minggu kemarin, ada rapat mendadak di perusahaan, mungkin
minggu depan, lagipula acaranya kan masih lama, jadi waktu kami masih
panjang."
Mama Kevin menggelengkan kepalanya tidak setuju.
"Tidak bisa begitu," gumamnya keras, "Cincin
pernikahan adalah hal yang paling penting yang harus diprioritaskan.
Kalian bersikeras menolak dilakukannya
Perjanjian Hati 47
pertunangan lebih dulu, mama sudah setuju. Tetapi
mama ingin kalian menyiapkan cincin pernikahan itu dulu, selain sebagai
bukti keseriusan kalian, mama ingin memastikannya sesuai dengan tema
pesta pernikahan ini."
Kevin dan Nessa saling berpandangan, berucap tanpa
kata. "Baiklah mama, kami janji minggu depan pasti sudah membawa cincin
untuk ditunjukkan kepada mama."
♥♥♥
Nessa duduk di garden cafe itu, kali ini sendirian,
tanpa Kevin. Dia sekarang hampir setiap hari sepulang kerja mampir di
sana hanya untuk mencicipi secangkir cokelat panas yang sangat enak itu.
Para pelayan bahkan sudah mengenalinya sebagai pelanggan tetap.
“Ini dia cokelat panasmu, Nessa, seperti biasanya,”
Albert pelayan setengah baya yang selalu tampil
trendy dengan kemeja putih dan rompi hitamnya meletakkan pesanan Nessa
di mejanya.
Nessa tersenyum kepada Albert, “Terima kasih Albert.”
“Kali ini kau tidak bersama Tuan Kevin lagi?” Albert
bertanya, karena seringnya Nessa berkunjung ke restaurant ini setiap
sore sepulang kerja membuatnya akrab dengan beberapa pelayan di sini,
termasuk Albert yang sudah seperti temannya.
Nessa mengernyit menatap Albert, “Aku hanya satu kali datang bersama dia. Kenapa kau menanyakannya?”
Albert tergelak. “Karena Tuan Kevin adalah pelanggan
tetap cafe ini, tetapi sebelumnya dia tidak pernah membawa satupun
perempuan kemari. Kaulah yang pertama, jadi kupikir kau istimewa.”
Nessa mengernyit menerima informasi itu, lalu dia menghela napas panjang. “Aku dan Kevin akan menikah.”
“Oh ya?” Albert membelalakkan mata dan tersenyum
lebar, “Wow. Kalau begitu aku harus memberimu selamat.” lelaki itu
mengamati Nessa dengan teliti, “Tetapi kenapa kau tampaknya tidak
bahagia, Nessa?”
48 Santhy Agatha
“Karena aku masih ragu dan takut. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.”
“Para calon pengantin biasanya memang meragu dan
ketakutan.” Albert mengedikkan bahunya kepada cangkir cokelat Nessa,
“Pegang omonganku Nona, jangan pernah ragu ketika harus menjalani
pernikahan. Kau lihat ini? Cokelat itu pada dasarnya pahit, tetapi dia
diolah sedemikian rupa, dengan gula dan susu, dengan takaran yang pas
sehingga bisa menjadi secangkir minuman yang terasa nikmat untukmu.
Begitupun pernikahan, semua pernikahan menyimpan resiko kepahitan di
dalamnya, tetapi kalau kau bisa mengolahnya dengan baik, pasti kau akan
menemukan rasa manis yang nikmat di dalamnya.” Albert mengedipkan
matanya, lalu melangkah pergi, meninggalkan Nessa yang termenung sendiri
sambil menatap cangkir berisi cokelat panas di hadapannya.
♥♥♥
"Kau mau yang seperti apa?” Kevin mengedikkan bahunya kepada jajaran cincin-cincin pernikahan yang diletakkan berjejer dalam kotak beludru di atas etalase.
Nessa mengamati cincin-cincin itu, luar biasa mewahnya, tetapi tentunya cincin yang dipersiapkan untuk pengantin Kevin pasti akan luar biasa bukan?
"Cincin ini tidak akan pernah kugunakan," Nessa
bergumam lirih kepada Kevin, takut kedengaran petugas toko perhiasan
itu, "Mungkin kau pilihkan saja yang sesuai seleramu."
Kevin menatap Nessa tajam, lalu mengangkat bahunya. "Oke. Yang itu.”
Nessa melirik pada pilihan Kevin dan membelalak,
sepasang cincin itu memang begitu indah di dalam kotak beludru warna
hitam itu. Cincin untuk laki-lakinya begitu maskulin tetapi
yang mengganggu adalah cincin untuk perempuannya yang dihiasi dengan
batu berlian yang begitu besar berkilauan, terasa berlebihan.
"Tidakkah kau bisa memilihkan cincin yang lebih sederhana?" gumam Nessa ketus.
Perjanjian Hati 49
Kevin tertawa, "Aku akan memilihkan yang itu untuk calon isteriku, lagipula kau tadi bilang mau yang sesuai seleraku."
"Aku berubah pikiran," gumam Nessa sambil melirik sinis, "Yang itu saja.”
Kevin mengangkat alisnya melihat cincin pilihan
Nessa, sepasang cincin dengan uliran sederhana tetapi elegan, hanya
cincin polos dengan variasi uliran indah buatan tangan. Tanpa batu
berlian apapun.
"Terlalu polos dan sederhana," gumam Kevin tidak
suka. Nessa menatap Kevin tajam, "Pokoknya yang itu." Kevin terkekeh,
geli dengan kekeraskepalaan Nessa.
"Oke… Oke… Baiklah." dia melirik kepada Manager toko yang menunggu mereka, "Kami ambil yang itu."
Ketika Manager toko menyiapkan cincin itu, Nessa berbisik pelan kepada Kevin.
"Kau membeli sesuatu yang jelas-jelas tidak akan digunakan… Bisakah nanti kau menjual cincin itu kembali kalau perjanjian sandiwara kita ini gagal?"
Kevin melirik Nessa seolah tersinggung, "Harga cincin itu tak seberapa," gumamnya tenang, "Jangan kau pikirkan, tidak apa-apa."
Ketika mereka menerima kotak cincin itu, ponsel Kevin
berbunyi. Lelaki itu mengangkatnya dengan tenang. Lalu setelah menerima
penjelasan dari ujung sana, wajahnya memucat, berubah tegang.
"Nessa, kita harus ke rumah sakit segera. Mama tadi
sesak napas, lalu pingsan. Sepertinya jantungnya. Kita harus ke rumah
sakit sekarang.”
♥♥♥
Mereka setengah berlari menuju lorong rumah sakit
tempat mama Kevin ditangani, dan menemukan Mama Kevin terbaring lemah di
ruang ICCU rumah sakit. Masih dalam penanganan dokter. Yang bisa mereka
lakukan hanyalah mengintip dari dinding kaca di ruang ICCU.
50 Santhy Agatha
Delina yang menyambutnya di sana bersama Ervan,
perempuan itu menangis sesenggukan, "Kak Kevin, mama pingsan, tadi
kondisinya mengkhawatirkan... Tetapi sekarang kata dokter sudah sadar."
Kevin menatap cemas ke arah ruang ICCU, "Sudah bolehkah kita menengoknya?"
Delina mengangguk, "Tadi aku sudah menengoknya,
tetapi mama belum sepenuhnya sadar... Kata dokter pengunjung boleh
masuk, asalkan satu-satu."
Kevin menghela napas panjang, "Aku akan menengok mama dulu," gumamnya sambil melangkah memasuki ruangan ICCU yang tertutup itu.
♥♥♥
Lama kemudian, Kevin tidak keluar. Ervan masih
memeluk Delina yang terus menerus memandang cemas ke arah pintu itu.
Sementara Nessa berdiri dengan bingung, tangannya memeluk tubuhnya
sendiri.
Kemudian pintu terbuka dan Kevin melangkah keluar,
wajahnya tampak pucat pasi, tetapi matanya menyala penuh tekad. Lelaki
itu langsung melangkah lebar-lebar dan berdiri di depan Nessa.
Nessa menatap Kevin bingung. Ada apa?
Tak disangkanya, sedetik kemudian, Kevin berlutut di
depannya dengan posisi melamar, mengeluarkan kotak cincin itu dan
menunjukkannya kepada Nessa,
"Nessa, maukah kau menikah denganku, segera?"
Perjanjian Hati 51
“Ketika kau harus memilih, mana yang akan kau pilih?
Seuatu yang ada dalam genggamanmu, tetapi masih kau ragukan, atau....
sesuatu yang dulu pernah ada dalam genggamanmu, sempat terlepas, tetapi ingin kembali pulang?”
5
Nessa ternganga, begitupun Delina dan Ervan yang ada
di ruang tunggu ICCU itu. Dengan gugup Nessa menelan ludah, menatap
Kevin yang tampak begitu serius, menatap Delina dan Ervan yang mengamati
mereka dengan penuh keingintahuan. Nessa bingung harus bicara apa.
Kalau menurut kata hatinya, seharusnya dia langsung menolak mentah-mentah
lamaran itu, bukankah saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan
yang hanya sandiwara? Kenapa Kevin melamarnya di sini, di depan kedua
adik mereka? Bagaimana Nessa harus menanggapinya? dengan sungguh-sungguh atau bersandiwara?
"Kevin...?" Nessa bergumam lirih berusaha supaya tidak terdengar oleh Delina dan Ervan yang ada di ujung ruangan.
Kevin menatap Nessa dengan mata membara, tampak tersiksa,
"Please.” mulutnya membentuk permohonan tanpa bersuara.
Nessa menelan ludah lagi. Kevin pasti punya alasan
melakukan ini, mungkin dia akan menjelaskannya nanti. Dan jika ternyata
mereka salah arah, Nessa berharap Kevin bisa mengeluarkannya dari
masalah ini.
Dengan menguatkan hati, Nessa menganggukkan
kepalanya. "Baik Kevin aku bersedia menikah denganmu." terdengar suara
helaan napas Delina di sudut ruangan, lega.
52 Santhy Agatha
Sementara Nessa mencuri pandang ke ekspresi adiknya
yang tercekat. Mungkin sama seperti dirinya, Ervan kaget dan tidak
menyangka hubungan Nessa dan Kevin berkembang secepat ini.
Sedangkan Kevin, lelaki itu memejamkan matanya tampak
lega luar biasa. Lalu dengan cepat, seolah takut Nessa berubah pikiran,
dia menyelipkan cincin yang mereka beli barusan ke jemari Nessa.
"Itu jadi cincin pertunangan kita. Besok kita beli
lagi cincin pernikahan,” bisiknya serak sambil mengecup jemari Nessa
yang bercincin. Kevin lalu berdiri dari posisi berlututnya, tampak
menjulang di depan Nessa, "Baiklah Nessa, karena kau telah
menyetujuinya, kita akan menikah besok."
"Besok??!"
Kali ini yang bersuara kaget bukan hanya Nessa, tetapi juga Ervan dan Delina.
Kevin menghela napas panjang, lalu menoleh sedih ke
arah ruangan ICCU. "Mama sedang memperjuangkan hidupnya di sana serangan
ini tidak akan terjadi satu kali saja, pasti akan terjadi lagi, dan
setiap terjadi kita mempunyai resiko kehilangan mama, satu-satunya permintaannya adalah bisa melihat aku menikah." kesedihan di mata Kevin bukanlah sandiwara, lelaki itu benar-benar
sakit dengan kondisi mamanya, "Aku tidak mungkin menolak permohonan
mama kan? Akan hidup dengan penyesalan yang mendalam kalau sampai mama
meninggal dan aku tidak bisa melakukan amanat satu-satunya darinya."
Delina mengusap air matanya dengan pedih, membiarkan dirinya dipeluk oleh Ervan.
Sementara itu, Ervan mengamati Kevin dan Nessa berganti-ganti. "Apakah... Apakah kalian yakin? Aku tidak tahu seberapa lama dan seberapa dalam hubungan kalian berdua...
Meskipun aku sangat senang kalian bersatu, tapi...
Pernikahan mempunyai dasar pertimbangan lain selain cinta dan pemenuhan
amanat untuk orang lain... Pernikahan adalah komitmen seumur hidup...
Untuk selamanya kalau bisa,"
Perjanjian Hati 53
gumam Ervan, mencoba mencari jawaban dari ekspresi dua manusia di depannya.
Wajah Nessa memucat, tetapi tidak bisa berkata-kata. Ervan benar, pernikahan adalah hal yang sangat serius untuk dilakukan. Mereka melakukan janji di hadapan Tuhan, dan itu bukan main-main.
Selain itu, jangankan komitmen seumur hidup, mereka bahkan tidak
mempunyai cinta satu sama lain yang bisa mendukung komitmen itu. Apa
yang harus dia lakukan? Dia menyetujui sandiwara ini dari awal dan
kemudian terseret arus, tidak bisa kembali lagi.
Kevin merangkul Nessa dengan sebelah lengannya, "Tidak apa-apa.
Kami saling mencintai," jawab Kevin tegas, mengetatkan rangkulannya
untuk menegaskan maksudnya, "Aku akan menemui ibumu Nessa, untuk meminta
izin."
♥♥♥
"Jadi begitu ceritanya bu. Mohon maaf saya mendesak
secara mendadak seperti ini. Tetapi kondisi mama sayalah alasan satu-
satunya saya mempercepat pernikahan ini, meskipun resepsi akan tetap
dilaksanakan empat bulan lagi."
Ibu Nessa menatap Kevin yang begitu serius dengan
permintaannya. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kaget anaknya dilamar
mendadak seperti ini. Oh. Mama Kevin dan Kevin sendiri pun sudah
menemuinya minggu kemarin, untuk membicarakan persiapan pernikahan.
Tetapi itu untuk pernikahan empat bulan lagi, bukannya pernikahan
dadakan besok pagi.
Dengan lembut, ibu Nessa melirik ke arah putri satu- satunya yang dari tadi tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Nessa, ibu terserah padamu nak, karena kau yang menjalaninya."
Nessa meringis. Bagaimana bisa dia terjebak dalam
situasi ini? Sepanjang jalan ke rumah tadi, Nessa ingin meledak kepada
Kevin, marah karena ditempatkan dalam posisi seperti ini tanpa rencana.
Tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Kevin, karena Ervan ikut bersama mereka untuk
54 Santhy Agatha
mengambil baju ganti sebelum kembali ke rumah sakit lagi, sementara Delina masih di rumah sakit, berjaga menunggui mamanya.
"Nessa sudah setuju dengan saya ibu, toh kami memang
sudah berencana menikah, betul kan Nessa?" sela Kevin cepat, mencegah
Nessa mengeluarkan penolakan sehingga Nessa hanya bisa menganggukkan
kepalanya lemah.
Ibu Nessa menghela napas panjang, "Baiklah nak, ibu
memberikan restu. Ibu yakin, pernikahan ini bertujuan baik, dan semua
yang bertujuan baik pasti akan berujung baik."
♥♥♥
"Kakak yakin?" Ervan mendekatinya, ketika Nessa
sedang melangkah memasuki kamarnya. Ervan sudah membawa tas ransel
berisi beberapa baju ganti dan selimut. Lelaki itu akan menemani Delina
menginap di ruang tunggu ICCU sambil menunggu mama Kevin bisa
dipindahkan ke kamar pribadi. Dia sudah akan berangkat lagi ke rumah
sakit diantar Kevin. Kevin sendiri belum bisa menginap di rumah sakit,
dia harus mempersiapkan segala urusan untuk pernikahan dadakan itu di
pagi harinya, baru mungkin dini hari nanti dia akan menyusul Delina dan
menggantikan adiknya menunggui mamanya.
Nessa menatap mata adiknya, ada kecemasan di sana.
Nessa tahu pikiran Ervan terlalu tajam dalam melihat semua ini. Ervan
pasti merasa semua terlalu cepat, dan dia terlalu mengenal kakaknya
untuk mengabaikan kecemasan yang berkecamuk di dalam hati Nessa.
Sambil tersenyum kepada adiknya, Nessa menganggukkan kepalanya, "Pernikahan ini adalah jalan yang terbaik," gumamnya.
Ervan menatap Nessa tajam, mencoba menembus mata kakaknya.
"Apakah... Apakah ada yang kau rahasiakan kepadaku?"
Nessa langsung menatap Ervan waspada. Apakah sandiwara mereka begitu kelihatan di mata Ervan?
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
Perjanjian Hati 55
Ervan mengangkat bahunya, tersenyum miris, "Entahlah
kak." senyumnya berubah menjadi permintaan maaf, "Maafkan aku, bukannya
aku tidak percaya akan cinta kalian, tetapi ini semua terlalu cepat...
Aku... Aku bahkan tidak menyangka kakak Delina mau berkomitmen kepada
seseorang, Delina selalu cerita kalau kakaknya sangat menghindari
pernikahan, dia selalu ingin menjadi lelaki bebas. Lamarannya tadi, aku
takut dia terlalu tergesa-gesa karena dorongan hatinya ingin menyenangkan mamanya... Kalau yang dilamarnya bukan kakak, mungkin aku akan tenang-tenang saja. Tetapi kau, kakakku, dan aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin ada penyesalan nantinya."
Nessa merasakan matanya panas dan berkaca-kaca.
Ingin rasanya dia mengungkapkan semuanya kepada adiknya, yang sangat
disayanginya. Tetapi dia tidak bisa. Ervan akan merasa sangat bersalah,
karena sandiwara dengan skenario yang kacau ini asal muasalnya adalah
demi kebahagian Ervan dan Delina.
"Kakak sudah siap Ervan, kau jangan mencemaskan kakak ya."
"Apakah kau mencintai Kevin?" Ervan berdeham salah
tingkah, "Maksudku, Kevin memang sangat mudah dicintai dengan berbagai
kelebihannya itu, tapi apakah kau benar-benar mencintainya untuk hidup bersamanya dalam satu pernikahan?"
Bagaimana mungkin? Nessa meringis kesal. Kevin tidak
mudah dicintai. Lelaki itu arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendak.
Tapi Nessa bisa apa? Semoga Tuhan memaafkannya karena melakukan
perjanjian palsu untuk menikah. Semoga Tuhan mengerti bahwa ada alasan
baik di balik sandiwara yang berujung tak terduga ini.
"Kakak mencintainya Ervan." Nessa berbohong dengan
lancar, "Tenang saja ya, seperti kata ibu tadi, apapun yang dilakukan
dengan tujuan baik, pasti akan berujung baik."
♥♥♥
56 Santhy Agatha
Mereka menikah pagi itu di rumah sakit. Kondisi mama
Nessa sudah membaik sehingga bisa dipindah ke kamar pribadi yang luas
dan lebih privat. Pernikahan itu sederhana, hanya dihadiri oleh beberapa
perwakilan keluarga kedua belah pihak sebagai saksi.
Semua berlangsung begitu cepat, tiba-tiba
saja Kevin sudah memakaikan cincin kawin itu. Cincin dengan berlian
besar yang ditolaknya kemarin, ke jemarinya, dan mereka sudah sah
sebagai suami isteri.
Mama Kevin tampak lemah dan pucat, tetapi senyum
bahagianya memancar ketika dia meremas jemari Nessa, dan mengucapkan
terima kasih dengan lemah, air mata menetes dari mata indahnya, membuat
jantung Nessa serasa ditusuk- tusuk oleh rasa bersalah. Tuhan,
seandainya saja mama Kevin tahu ini semua hanya sandiwara, betapa
hancurnya perasaannya.
Delina pun memeluknya dengan rasa terima kasih dan
kasih sayang persaudaraan yang tulus, membuat Nessa semakin sesak
dadanya. Semua orang berterima kasih padanya, tetapi kenapa rasa
bersalah tetap mengglayutinya, rasa bersalah dan ketakutan
tersembunyi... Ketika dia menyadari bahwa dia sudah menjadi isteri sah
Kevin.
♥♥♥
Nessa diantarkan masuk oleh petugas kamar hotel mewah
di dekat rumah sakit tempat Mama Kevin di rawat. Kevin sengaja
memesankan kamar untuk bulan madu mereka di sana, karena tempatnya dekat
dengan rumah sakit sehingga mereka bisa bergegas ke sana kalau-kalau ada apa-apa.
Nessa duduk di sofa di kamar itu dengan gugup, sambil menatap Kevin yang melepas jasnya dan melemparkan dasinya ke kursi.
Inilah kesempatan pertama kalinya mereka bisa berdua
saja. Sebelumnya selalu banyak interupsi, dan Kevin begitu sibuk
mempersiapkan pernikahan dadakan ini sehingga susah di temui. Bahkan
tadi pagi Nessa baru melihatnya pertama kali, beberapa menit sebelum
pernikahan dilangsungkan.
Perjanjian Hati 57
"Kita harus bagaimana?" gumam Nessa lemah, pada akhirnya.
Kevin menghempaskan tubuhnya di sofa diseberang
Nessa.
"Maafkan aku menempatkanmu pada situasi sulit seperti
ini." dengan frustrasi dia mengusap wajahnya, "Aku juga tidak menyangka
akan berujung seperti ini..."
Nessa menghela napas panjang dan menatap Kevin dalam,
"Apakah kita bisa mengurus perceraian dengan mudah nantinya...?" dan
dia akan menyandang status janda, di usianya yang masih muda. Perceraian
itu mungkin mengandung konsekuensi yang sangat berat, selain pandangan
masyarakat, belum lagi berbagai pertanyaan dari keluarganya nantinya,
bagaimana mungkin Nessa bisa menghadapinya?
Tatapan Kevin tampak mengeras, “Jangan bicarakan
perceraian dulu. Kita jalani saja pernikahan ini dengan sebaik- baiknya
dulu. Semoga nanti ada jalan keluar.” suara Kevin berubah serius, "Aku
berjanji Nessa, selama menjadi suamimu, aku akan menghormatimu sebagai
isteriku."
Nessa menelan ludahnya, apa maksud Kevin dengan menjalani pernikahan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah mereka juga harus...? Pipi Nessa memerah.
Kevin tampaknya memahami ekspresi Nessa itu, senyumnya tampak miris.
"Tidak Nessa, jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu, jika itu yang kau takutkan."
Tanpa sadar Nessa menghela napas lega. Pernikahan ini
sudah terasa seperti ikatan yang menyesakkan dada. Nessa tidak akan
bisa menanggungnya kalau mereka harus lebih terikat lagi.
"Apakah kita akan tidur bersama dalam satu kamar nantinya?" tanya Nessa was-was.
Kevin melemparkan tatapan meminta maaf kepada
Nessa.
58 Santhy Agatha
"Ya Nessa, kita akan tidur bersama, setelah mama
pulang, kau akan ikut pindah ke rumahku, tinggal di kamarku, dan tidur
seranjang denganku, kita harus melakukannya. Kalau tidak, akan muncul
gosip di kalangan pelayan yang mungkin akan sampai ke telinga mamaku.
Jangan takut." Kevin menyadari ekspresi Nessa yang berubah pucat, "Aku
tidak akan berbuat tidak senonoh kepadamu, aku berjanji...
Nessa menghela napas lega, tetapi rupanya Kevin belum selesai dengan ucapannya.
"Kecuali kalau kau yang meminta kepadaku."
Ucapan susulan Kevin itu langsung mendapat hadiah pelototan mata dari Nessa.
"Aku cuma bercanda." gumam Kevin terkekeh geli sambil menatap Nessa. "Tetapi aku sungguh-sungguh Nessa, kalau kau yang memintanya, aku pasti tidak akan menolak untuk melakukan sesuatu yang lebih." suaranya berubah sensual.
Nessa menatap Kevin dengan pipi merah padam dan napas terengah, merasa malu sekaligus marah.
"Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu!" serunya mantap kemudian, dan disambut dengan gelak tawa Kevin.
Kurang ajar lelaki itu!
♥♥♥
Dalam seminggu, mama Kevin sudah boleh pulang,
wajahnya masih pucat dan lemah meskipun tampak lebih sehat dari terakhir
kali keluar dari ICCU.
"Mama sudah tidak sabar mempersiapkan resepsi
pernikahan kalian," sang mama tersenyum ketika Kevin merebahkannya di
atas ranjang.
"Istirahatlah dulu saja mama, mama harus lebih kuat
lagi. Toh kami sudah menikah, jadi resepsi pernikahan hanyalah syarat
saja," suara Kevin terdengar serak.
Mama Kevin tersenyum lembut dan menggenggam jemari Kevin,
Perjanjian Hati 59
"Terima kasih sayang, terima kasih. Mama merasa
tenang dan bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Mama sangat
menyayangimu dan ingin kau bahagia, kau tahu itu kan..." dengan lembut
sang mama mengusap dahi Kevin, "Kau adalah anakku yang sangat kucintai,
detik itu, ketika aku menggendong bayimu yang menangis keras-keras, aku sudah menasbihkanmu di dalam hatiku sebagai anak laki-lakiku."
Kevin tersenyum lembut dan mengecup dahi mamanya.
"Istirahatlah mama sayang, aku juga sangat mencintaimu."
Ketika mamanya tertidur kemudian, Kevin melangkah keluar kamar dengan tergesa-gesa, hampir tersandung, membuat Nessa cemas dan mengikutinya keluar.
"Kevin ada apa?" Nessa berdiri, menatap Kevin yang berpegangan pada uliran tangga di luar kamar.
Punggung Kevin tampak bergetar.
Dengan gugup, Nessa mendekat, dan menyentuh pundak
Kevin.
"Kevin, kenapa?"
Lalu secepat kilat, tanpa diduga, Kevin membalikkan badan dan merengkuh tubuh Nessa kuat-kuat,
memeluknya seakan ingin meremukkan tulangnya. Tubuh Nessa terasa sakit,
tetapi ditahankannya ketika merasakan isakan Kevin tenggelam di
rambutnya.
Ah ya Tuhan, lelaki arogan ini menangis di pelukannya.
Dengan lembut, Nessa melingkarkan lengannya di
punggung Kevin yang keras, mengusapnya lembut, membiarkan lelaki itu
menumpahkan perasaannya.
"Dokter bilang...” suara Kevin terdengar serak dan tersengal, "Dokter bilang mama sudah tidak bisa bertahan lagi...
Kita... Kita tinggal menghitung hari..." lalu isak itu terdengar lagi.
Nessa memeluk Kevin kuat kuat, mencoba menyalurkan
kekuatan kepada lelaki itu. Lelaki yang sebenarnya tidak begitu
dikenalnya, tetapi sekarang sudah menjadi suaminya.
60 Santhy Agatha
Lama Kevin menumpahkan perasaannya, sampai kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya dari rambut Nessa, matanya tampak basah.
Ditatapnya Nessa dengan lembut, "Terima kasih Nessa."
Lalu tiba-tiba tatapan Kevin meredup,
lelaki itu kemudian mendekatkan kepalanya dan mengecup dahi Nessa,
sebelum Nessa sempat menghindar. Kecupan yang lembut dan sopan, tetapi
entah kenapa membuat tubuh Nessa seperti tersetrum ketika menerimanya.
Lelaki itu lalu membalikkan tubuh dan melangkah
pergi tanpa kata, meninggalkan Nessa yang berdiri di sana sambil
merasakan panas membara di bekas kecupan Kevin di dahinya.
♥♥♥
“Jadi malam ini kita tidur bersama?” Nessa memandang
Kevin yang baru selesai mandi, rambutnya basah dan lelaki itu sedang
menggosoknya dengan handuk. Mereka ada di dalam kamar Kevin sekarang.
Kamar Nessa juga, koreksi Nessa dalam hati.
“Tentu saja.” Kevin meletakkan handuknya, “Kau ingin aku tidur di sofa?”
Betapa baiknya lelaki itu menawarkannya kepadanya.
Nessa melirik sofa lembut yang ada di ujung kamar Kevin, sofa itu besar
dan tampak nyaman. Tetapi dia sangat tidak berperasaan kalau mengusir
Kevin dari ranjangnya sendiri.
“Aku saja yang tidur di sofa…” gumam Nessa kemudian.
“Tidak.” reaksi Kevin begitu cepat, lelaki itu mengerutkan dahinya tersinggung, “Kau pikir aku laki-laki
seperti apa Nessa? Membiarkan seorang perempuan, isteriku tidur di sofa
sementara aku di ranjang?” Kevin menghela napas panjang, “Kita tidur di
ranjang bersama-sama, seperti rencana semula dan aku janji tidak akan mengganggumu.”
Lalu tanpa kata Kevin mematikan lampu besar dan membiarkan kamar diterangi cahaya temaram lampu tidur. Dan
Perjanjian Hati 61
kemudian melangkah ke sisi lain ranjang, membaringkan tubuhnya membelakangi Nessa dan menarik selimutnya.
Hening.
Nessa mendengar napas Kevin yang teratur. Sejenak dia
meragu, tetapi dia mengantuk. Akhirnya setelah menghela napas panjang,
Nessa berbaring di sisi ranjang yang satunya, berusaha sejauh mungkin
dari Kevin. Kantuk kemudian langsung membawanya lelap, hingga dia hanyut
dalam mimpinya.
Nessa sangat lelap sehingga tidak menyadari beberapa
saat kemudian, ketika Kevin membalikkan tubuhnya dan menopang kepalanya
dengan jemarinya. Matanya mengamati Nessa dalam keheningan yang
misterius.
♥♥♥
Siang itu Nessa sedang menunggui mama Kevin di kamarnya, mereka sedang membicarakan mengenai dekorasi resepsi dan persiapannya.
“Nuansa emas akan sangat cocok untuk pernikahan
kalian,” Mama Kevin tersenyum. “Terima kasih sudah membuatku begitu
tenang. Kau membuatku bisa meninggalkan dunia ini dengan mudah,
mengetahui bahwa anak-anakku sudah menemukan pasangan hidupnya masing-masing.”
Rasa bersalah langsung mendera Nessa, menyadari bahwa
mereka telah membohongi mama Kevin, wanita yang sedang sakit dan
berjuang untuk hidupnya. Apakah hal ini bisa dibenarkan? Sebuah
kebohongan dengan alasan demi kebaikan? Kalau memang ini benar, kenapa
hati Nessa dipenuhi oleh rasa bersalah?
“Mama jangan berkata begitu, Nessa yakin mama akan
menghabiskan lebih banyak waktu lagi bersama kami. Asal mama semangat
ya?” gumam Nessa lembut.
Mama Kevin mendesah dan menggelengkan kepalanya, “Aku
sudah merasakannya, Nessa. Tubuhku sudah lelah... Tidak perlu diagnosa
dokter untuk mengetahui bahwa umurku tidak akan lama lagi.”
62 Santhy Agatha
“Mama...” Nessa mencoba berbicara, tetapi Mama
Kevin menggeleng dan menahannya.
“Jangan menghiburku.” gumamnya lembut, “Aku sudah
siap. Satu hal yang mama minta darimu, Nessa... Bahagiakanlah Kevin,
anak itu sudah menderita karena cinta di masa lalunya, kaulah satu-satunya
hal yang menyangkut cinta yang bisa dipegangnya.” Mama Kevin
menggenggam tangan Nessa dengan lembut, “Berjanjilah untuk terus ada di
samping Kevin dan membahagiakannya.”
Napas Nessa tercekat di tenggorokannya, dia bingung
harus berkata apa. Di satu sisi kalau dia berjanji, maka itu akan
menjadi sebuah kebohongan terbesarnya. Tetapi di sisi lain, Mama Kevin
saat ini sedang menatapnya penuh harap, menanti jawaban Nessa, demi
ketenangan hatinya.
Akhirnya Nessa menghela napas panjang dan menatap mama Nessa dengan lembut, “Nessa berjanji, mama.”
Di dalam hatinya Nessa berdoa, semoga Tuhan mengampuninya karena telah membohongi perempuan sebaik ini, atas nama kebaikan.
♥♥♥
Ketika Nessa sedang memberi nilai pada gambar hasil
karya anak didiknya, pintu ruangan kelasnya diketuk. Nessa memang tidak
berniat untuk pulang cepat, dia menunggu Kevin menjemputnya, lelaki itu
sekarang mengantar jemputnya setiap Nessa bekerja, dan tidak mengizinkan
Nessa naik kendaraan umum lagi. Ketika Kevin sedang sibuk dengan
pekerjaannya, dia akan mengirimkan supir.
Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua minggu, dan mereka baik-baik
saja. Kevin mengajak Nessa tinggal di rumahnya bersama ibunya dan
Delina. Mereka tidur seranjang meskipun Kevin menepati janjinya untuk
tidak menyentuhnya.
Pada malam-malam pertama tentunya terasa
canggung, Nessa tidak pernah seranjang dengan lelaki manapun seumur
hidupnya, kecuali dengan Ervan, itupun ketika mereka masih berumur 7
tahun. Ketika tanpa sengaja kaki atau lengan mereka bersenggolan, Kevin
akan segera meminta maaf dengan
Perjanjian Hati 63
canggung, lalu mereka akan bergeser dengan cepat masing- masing di ujung sisi ranjang yang berseberangan.
Tetapi lama kelamaan mereka terbiasa, mereka akan mengucap selamat tidur tanpa kata, lalu menempati posisi masing-masing, sambil berusaha tidak menyentuh satu sama lain di ranjang itu.
Setidaknya setelah Kevin menangis di pelukannya waktu
itu, Nessa menemukan sisi positif dalam diri Kevin. Lelaki itu memang
arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendaknya. Tetapi dia juga lelaki
yang bertanggung jawab, yang sangat mencintai mama dan adik
perempuannya. Nessa bisa memahami itu karena dia juga begitu sayang
dengan ibunya dan Ervan.
Ponsel di tangannya berdering. Dan Nessa melirik ke
layarnya, lalu mengernyitkan matanya, Marcell? Nessa masih menyimpan
nomor Marcell di ponselnya ternyata, dan ini nomor yang sama, yang
berdering dan membuat layar ponselnya terus berkedip-kedip, tak mau menyerah.
Nessa mendiamkan ponsel itu, ragu. Tetapi Marcell di seberang sana tampak tak mau menyerah. Kenapa Marcell meneleponnya lagi? Sambil menghela napas panjang, Nessa mengangkat telepon itu.
"Halo..."
"Nessa ini aku..." suara Marcell terdengar serak dan
tersiksa di seberang sana. "Aku dengar... Aku dengar kau sudah menikah
dengan tuan Kevin..." Apakah isakan Marcell yang terdengar di sana? "Aku
tak kuat lagi Nessa, aku mau mati saja."
"Astaga Marcell jangan bicara sembarangan!" Nessa
berseru kaget mendengar kalimat Marcell, suara diseberang sana tampak
rapuh dan tidak main-main.
"Aku mencintaimu Nessa, aku sangat mencintaimu! Meskipun
aku hanyalah pecundang lemah yang tak mampu melawan keluargaku, aku
sangat mencintaimu. Aku tak kuat lagi menahan beban demi keluargaku, kau
yang kucintaipun sudah menikah dengan lelaki lain, jadi untuk apa aku hidup??"
64 Santhy Agatha
"Marcell." Nessa bergumam tenang, berharap
ketenangannya menular kepada Marcell yang tampak histeris, "Tenangkan
pikiranmu Marcell, kau ada di mana?"
"Aku akan mati saja... Sekarang aku ada di tempat
perpisahan kita dua tahun yang lalu... Aku... Aku akan terjun dari
jembatan itu... Selamat tinggal Nessa..."
"Marcell!! Jangan lakukan apapun! Aku akan kesana!!" Nessa meraih tasnya dengan cepat dan berlari menembus koridor taman kanak-kanak, dan bertabrakan dengan Kevin yang sedang berjalan dari arah berlawanan.
"Nessa ada apa?" Kevin menyentuh kedua lengan Nessa yang panik.
Nessa menahankan napasnya yang tersengal, "Marcell...
Marcell di taman kota... Mencoba bunuh diri... Lompat dari jembatan..." setiap kata-katanya berhamburan, bercampur dengan kepanikannya.
Kevin mencerna kalimat itu dalam sedetik, kemudian
menggandeng Nessa dan mengajaknya melangkah ke mobilnya yang diparkir di
depan dengan setengah berlari.
"Ayo." gumamnya, mendorong Nessa duduk di kursi penumpang, lalu masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya secepat kilat.
Perjanjian Hati 65
“Aku pernah mencintaimu sampai terasa sakit luar biasa.
Sampai di titik sakitnya sudah tidak terasa lagi
Yang tersisa cuma cinta, yang terasa cuma cinta...
Meski akhirnya yang aku dapat hanyalah pengkhianatan...”
6
Kevin mengemudikan kendaraannya dengan kencang, mengumpat-umpat
jika terkena kemacetan dan lampu merah, tetapi selain itu perjalanan
lancar. Sambil mengemudi Kevin melirik ke arah Nessa, yang meremas-remas tangannya dengan cemas sambil memandang ke depan.
"Apakah Marcell serius dengan kata-katanya?" Nessa menoleh menatap Kevin yang sudah mengalihkan pandangannya lagi ke jalan.
"Dia... Dia terdengar gila dan putus asa."
Kevin menghela napas pendek, "Pasti gara-gara pernikahan kita ya?" lelaki itu mendengus kesal, "Dasar laki-laki tidak punya otak."
"Jangan mengata-ngatai orang."
Kevin menatap Nessa marah, "Aku tidak salah bukan?
Dia memang tidak punya otak, tidak punya hati dan pengecut luar biasa.
Dulu ketika ada kesempatan dia tidak memperjuangkanmu, sekarang ketika jelas-jelas dia kalah yang dilakukannya hanya merajuk dan mengancam bunuh diri, benar-benar lelaki tak punya otak!" Kevin mengencangkan laju mobilnya.
66 Santhy Agatha
Nessa terdiam, tidak bisa membantah kata-kata Kevin karena semuanya mengandung kebenaran. Marcell dulu tidak berbuat apa-apa untuk memperjuangkannya.
Lelaki itu hanya diam dan mencampakkannya dalam
kehancuran. Sekarang, ketika baginya Nessa sudah termiliki oleh lelaki
lain, Marcell menggila. Kenapa Marcell melakukan ini semua? Benarkah ini
didasari cinta Marcell yang masih tersimpan untuknya? Atau ini hanyalah
estimasi cemburu buta yang merenggut kewarasan lelaki itu?
♥♥♥
Taman kota tampak lengang, begitu Kevin memarkir mobilnya di sana, Nessa langsung keluar diikuti oleh Kevin.
"Kearah mana?" tanya Kevin sambil menjajari langkah
Nessa.
Nessa memandang ragu, sudah dua tahun berlalu sejak
dia terakhir kali kemari. Terakhir kali dia kesini adalah di tengah
hujan, saat Marcell mencampakkannya dua tahun lalu. Setelah itu
jangankan kemari, memikirkannya pun Nessa tidak berani.
Saat ini taman kota sudah berubah hingga Nessa hampir
tak mengenalinya. Dimana tempat dia dan Marcell sering menghabiskan
waktu dulu...?
"Nessa?" Kevin menggeram, tak sabar.
Nessa menelan ludah dan mengambil keputusan.
"Ke arah sana." gumamnya sambil tergesa ke arah kanan, dengan Kevin mengikutinya.
♥♥♥
Marcell ada di sana, masih berpegang pada pagar kayu
di jembatan itu. Jembatan setinggi lima meter di udara, yang
menghubungkan jurang dalam dengan aliran sungai berbatu di bawahnya.
Salah satu keunggulan taman kota ini adalah pemandangan di atas jembatan
ini. Dengan gemericik sungai dan air terjun buatan yang cukup
mempesona, bagaikan harta karun alam tersembunyi ditengah hiruk pikuk
polusi dan kesibukan kota.
Perjanjian Hati 67
Tetapi sekarang Nessa tidak sempat mengagumi pemandangan indah itu, matanya terpaku pada Marcell dan tampak cemas.
"Marcell." serunya dalam bisikan tertahan, takut
kalau suaranya terlalu keras akan mengagetkan lelaki itu dan membuatnya
terlompat.
Marcell yang semula menatap kosong ke bawah, menoleh
perlahan dan menemukan Nessa dan Kevin di ujung jembatan. Matanya
membara penuh tekad.
"Jangan mendekat!" serunya keras, "Atau aku akan lompat."
Nessa berseru frustrasi, bingung harus berbuat apa.
taman kota ini nampak sepi, disiang yang lengang ini. Syukurlah, kalau
tidak pasti sudah ada keramaian menghebohkan di sini.
"Lompat saja kalau berani, aku pikir itu akan membuat
Nessa puas." Kevin bergumam tenang tetapi cukup keras untuk di dengar
Marcell.
Seketika Nessa dan Marcell menatap Kevin dengan
keget.
"Kevin..." Nessa mendesis mencoba memperingatkan
lelaki itu agar tidak memperkeruh suasana, tetapi Kevin hanya
mengedikkan bahunya tak peduli, lelaki itu menatap Marcell yang tengah
menatapnya dengan senyum mengejek.
"Lompat saja Marcell, aku menunggu di sini, untuk
melihat sampai dimana keberanianmu." dengan sinis Kevin tersenyum, "Kau
pikir kau lompat atau tidak, akan berpengaruh pada Nessa? Kau terlalu
percaya diri. Nessa kemari mencegahmu karena dorongan hatinya yang
terlalu baik, tapi kenyataannya kau sudah tidak ada lagi di
kehidupannya. Kau mau mati atau hidup, tidak ada untung ataupun ruginya
bagi dia... Aku pribadi merasa terganggu dengan tingkahmu yang kekanak-kanakkan dan merepotkan ini, jadi cepat lompat saja dan mati sekalian, biar semua kerepotan ini usai."
Marcell menatap Kevin marah, napasnya terengah- engah, penuh ketersinggungan.
68 Santhy Agatha
"Kau... Kau tidak ada urusannya untuk mengomentari
hubunganku dengan Nessa, semua ini antara aku dan Nessa, kau tidak
berhak ikut campur!" serunya emosi.
Kevin mengangkat alisnya, "Tidak berhak ikut campur?"
dengan sengaja dia merangkul Nessa supaya merapat padanya, "Nessa
isteriku. Dan jika ada lelaki gila yang mengganggu dan mengancam-ancam
akan bunuh diri karenanya, maka aku berhak ikut campur." tatapan Kevin
menajam dengan jahat, "Aku menyelidikimu Marcell, aku tahu pasti masa
lalumu dengan Nessa, dimana kau mencampakkan gadisku ini dengan kejam. Well...
sebenarnya masa lalu itu urusan kalian berdua, tetapi kalau sampai masa
sekarang, kau masih merecoki Nessa, aku akan turun tangan. Dan ketika
aku turun tangan, itu berarti kehancuran bagi kau dan keluargamu."
Marcell menatap Kevin, menelan ludah dan tampak meragu, rupanya baru menyadari situasinya.
"Jadi silahkan kalau kau mau bunuh diri dan mampus di bawah sana. Tetapi jangan ikut-ikutkan isteriku dalam permasalahanmu. Jangan pernah berani-benarinya
lagi kau mengganggu isteriku." Kevin membalikkan badan, dan menyeret
Nessa bersamanya, "Ayo Nessa, kita pergi. Yang penting kita sudah
mengutarakan maksud kita. Biarkan bajingan itu mengambil keputusannya
sendiri."
Dengan sedikit memaksa Kevin menyeret Nessa agar
mengikuti langkahnya. Nessa mencoba memberontak dan melepaskan pegangan
Kevin, tetapi lelaki itu mencengkeramnya dengan begitu kuat sampai
terasa sakit, sampai akhirnya Nessa menyerah dan mengikuti langkah
Kevin. Sempat dia menoleh ke belakang dan melihat Marcell masih
termenung di jembatan.
Ah. Ya Tuhan... Semoga Marcell tidak melompat. Desahnya dalam hati sambil memejamkan mata.
♥♥♥
Kevin membukakan pintu untuk Nessa lalu membanting pintu itu setelah Nessa masuk dan dengan sigap melangkah ke kursi
Perjanjian Hati 69
pengemudi dan melajukan mobilnya, membawa Nessa meninggalkan taman kota itu.
"Kupikir kau mengembut mengantarku ke taman kota tadi
untuk membantuku mencegah Marcell melompat." desis Nessa kesal, ketika
mereka sudah memasuki jalan raya yang ramai, "Tak kusangka kau malah
datang untuk menyuruhnya lompat."
Kevin terkekeh dan mengedikkan bahunya ke arah
Nessa,
"Dia pantas menerimanya."
Nessa menelan ludah. "Ba...bagaimana kalau dia benar- benar melompat?"
Tawa Kevin makin keras, meremehkan.
"Marcell? Melompat? Aku
berani bertaruh dia tidak akan mampu melakukannya, dia terlalu pengecut
untuk itu. Yang dia lakukan hanyalah menggertak. Dia hanya ingin kau
datang, lalu dia akan mengancam, dia akan membuatmu memohon kepadanya
agar tidak melompat, pada akhirnya, kau akan berjanji menuruti semua
kemauannya." Kevin mendengus kesal. "Aku tahu persis tipikal lelaki
pengecut macam dia Nessa, kau harus berhati-hati." jeda sejenak, kemudian Kevin bertanya.
"Apakah kau masih mencintai dia?"
Nessa tertegun. Apakah dia masih mencintai Marcell?
Melihat Marcell di jembatan tadi, rapuh, tak berdaya dan putus asa,
membuat hati Nessa serasa diremas. Tetapi apakah itu cinta? Ataukah itu
hanya rasa kasihan? Nessa tidak tahu. Dia tidak bisa menjawab.
Dan Kevin sepertinya juga tidak mengejar jawaban
darinya. Lelaki itu mengalihkan pandangannya lagi ke jalan dan melajukan
kendaraannya pulang.
♥♥♥
“Lelaki itu memang pengecut, dia tidak jadi bunuh diri.” Kevin meletakkan gagang telepon dan menatap Nessa.
Nessa menghela napas lega, mereka sudah sampai di rumah dan duduk di ruang keluarga. Tetapi hati Nessa dari tadi
70 Santhy Agatha
tidak tenang, dia memikirkan Marcell dan ketakutan
kalau kemudian dia membaca berita mengerikan tentang bunuh diri yang
dilakukan Marcell. Kalau Marcell bunuh diri, berarti semua adalah
salahnya.
“Syukurlah.” Nessa mengelus dadanya tanpa sadar, “Bagaimana kau tahu?”
“Aku menyuruh anak buahku untuk mengecek. Kata mereka, Marcell barusan sampai ke rumahnya, keadaannya baik-baik
saja.” Kevin mengangkat bahunya, “Kalau nanti dia kembali labil dan
meneleponmu lagi, abaikan saja. Dia hanya ingin membuatmu panik dan
mencari perhatianmu, tetapi aku yakin dia tidak akan berani melaksanakan
ancamannya, seperti yang aku bilang, Marcell terlalu pengecut.”
Yang dikatakan oleh Kevin memang benar, Nessa
merenung. Marcell tidak pernah berani mengambil resiko. Lelaki itu
selalu memilih jalan aman, bahkan dalam hubungan mereka dulu, Marcell
memilih jalan aman dengan meninggalkannya. Mulai sekarang Nessa bertekad
tidak akan lagi meluluhkan hatinya untuk Marcell.
Marcell harus belajar untuk mengerti bahwa ketika
Nessa mengucapkan selamat tinggal, itu adalah selamat tinggal
sesungguhnya dari hatinya.
♥♥♥
"Mau kemana?"
Nessa hampir saja terlonjak kaget ketika mendengar
suara Kevin muncul dari kegelapan lorong. Dia hendak keluar bersama Aya,
teman mengajarnya di TK. Mereka berdua seumuran dan sama-sama suka membaca buku, biasanya di hari sabtu sore mereka keluar berdua untuk makan, bersantai dan berburu buku-buku
bekas di pasar buku yang sangat sering mereka datangi. Sejak Nessa
menikah, mereka tidak melakukannya lagi, tapi tadi Aya menelepon dan
mengajaknya, dan karena rumah sedang sepi karena Delina sedang mengajak
mamanya kontrol dirumah sakit.
Nessa memutuskan untuk pergi bersama Aya.
Perjanjian Hati 71
Biasanya Kevin belum pulang jam-jam
segini. Lelaki itu selalu pulang larut dari pekerjaannya, jam sembilan
atau jam sepuluh malam baru sampai ke rumah, sementara sekarang masih
jam lima sore.
Nessa menatap Kevin yang tampak lelah. Lelah tetapi
tampan, dia masih mengenakan setelan jas dengan dasi sudah dilonggarkan
dan rambut yang sedikit acak-acakan.
"Eh... Aku ada acara dengan temanku." jawab Nesa segera setelah debar dihatinya mereda melihat ketampanan Kevin.
Lelaki itu mengangkat alisnya, "Acara? Malam minggu?
Dengan laki-laki?"
Nessa merasa tersinggung, sebenarnya lebih mudah
kalau dia langsung menjelaskan kalau dia pergi dengan teman
perempuannya. Tetapi nada arogan di suara Kevin membuat harga dirinya
tergelitik. Lelaki itu tidak berhak mengatur-atur dengan siapa dan kapan dia akan menghabiskan waktunya.
"Apa bedanya kalau dengan laki-laki atau perempuan?"
"Tidak boleh kalau dengan laki-laki." suara Kevin datar, tapi mengancam. Hal itu malah membuat Nessa semakin tersulut kemarahannya.
"Aku berhak pergi dengan siapapun yang aku mau. Kau memang suamiku, tetapi hanya di atas kertas. Kau tidak punya hak-hak sebagai suami yang semestinya kepadaku, karena pernikahan kita hanya sebatas perjanjian!"
Memangnya siapa dia sampai aku harus ketakutan kepadanya??? Nessa
berseru dalam hati, dilumuri oleh rasa marahnya. Meskipun tidak dapat
disangkal, ada sebersit ketakutan yang muncul jauh dalam hatinya
mendengarkan ancaman Kevin itu.
"Aku tidak peduli kau marah atau tidak. Aku manusia
bebas dan kau tidak berhak melarangku!" Nessa menghentakkan kakinya dan
berjalan melewati Kevin.
72 Santhy Agatha
Tetapi lelaki itu dengan cepat meraih siku Nessa dan mencengkeramnya.
"Katakan dulu kau pergi dengan laki-laki atau perempuan."
"Bukan urusanmu."
"Aku berhak tahu, aku suamimu."
"Kau cuma suami sandiwara!" Nessa meronta mencoba melepaskan cengkeraman Kevin di sikunya, tetapi pegangan itu begitu eratnya hingga usaha Nessa sia-sia, "Lepaskan aku!"
"Tak akan kulepaskan hingga kau menjelaskan dengan siapa kau pergi dan apa keperluanmu."
"Aku pergi dengan teman sekantorku, Aya! Dia perempuan! Puas?!” Nessa menjerit, dipenuhi rasa frustrasi atas sikap kasar dan arogan Kevin.
Dalam sedetik, lelaki itu melepaskan pegangannya,
membuat Nessa bisa berputar secepat kilat dan melemparkan telapak
tangannya ke pipi Kevin, mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di
sana.
PLAK!
Kevin terdiam. Sejenak suasana hening. Antara Nessa
yang menunggu penuh antisipasi dan Kevin yang seolah tertegun karena
tamparan itu.
Lalu pelan lelaki itu melemparkan pandangan menusuknya ke arah Nessa.
"Karena kau harus disadarkan." seru Nessa berusaha
setegas mungkin, "Kau tidak punya hak apapun atas diriku. Pernikahan ini
hanya sandiwara, begitu pula dengan hak dan kewajiban yang
menyertainya!"
Perjanjian Hati 73
Kevin menatap Nessa dengan tatapan membunuh, lalu mensedekapkan tangannya.
"Terserah kepadaku mau memperlakukanmu seperti apa. Selama kau masih tercatat sebagai isteriku, kau harus mengikuti aturan-aturanku."
"Persetan denganmu!" Nessa membalikkan badan dengan marah dan segera melangkah pergi meninggalkan Kevin berdiri di sana.
♥♥♥
“Tidak biasanya kau kemari di malam hari, Nessa.”
Albert mengerutkan keningnya sambil meletakkan secangkir cokelat panas
pesanan Nessa yang biasa.
Nessa tersenyum sedih, tadi dia bersama Aya menghabiskan waktu dengan berburu buku dan mencicipi camilan-camilan
di tempat sekitar, tetapi dalam kurun waktu itu, Nessa sama sekali
tidak menikmatinya, pikirannya berat berkecamuk tentang Kevin. Sampai
akhirnya Aya pulang duluan karena ditunggu ibunya, Nessa masih meragu,
merasa sangat berat untuk pulang dan menemui Kevin. Dia masih marah dan
tersinggung dengan perlakuan Kevin sehingga malas bertemu dengannya.
Pada akhirnya dia menuju ke Garden Cafe ini, memesan cokelat panasnya
yang biasa meskipun bukan di waktu biasanya. Nessa selalu ke cafe ini
sore hari, bukan larut malam seperi ini, pantas saja Albert merasa aneh
dan menanyakannya.
“Aku bertengkar dengan suamiku.” akhirnya Nessa menjawab perkataan Albert.
Albert mengangkat alisnya, dia sudah tahu kalau Nessa menikah dengan terburu-buru
karena ibu Kevin sakit. Tetapi dia tidak tahu tentang perjanjian
rahasia itu, yang diketahuinya adalah Kevin dan Nessa menikah karena
cinta.
“Jadi kau melarikan diri kemari?”
“Aku sangat marah jadi aku merasa harus menjauh dulu darinya.”
Albert tersenyum, “Kalau kau sedang bertengkar, jangan pergi dan melarikan diri. Itu akan membuat masalah
74 Santhy Agatha
semakin berlarut-larut. Semakin lama sebuah masalah didalam pernikahan digantung, dia akan menjadi semakin besar.”
Nessa tersenyum lelah kepada Albert, “Jadi kau sudah menjadi penasehat pernikahan sekarang?” senyumnya.
“Aku lebih senang disebut sebagai penasehat
hubungan.” Albert terkekeh. “Pulanglah Nessa, selesaikan dulu masalahmu
dengan suamimu.” gumamnya sebelum berbalik pergi.
Nessa menatap cangkir cokelat panas di depannya, lalu
meneguknya pelan. Rasa cokelat rupanya tergantung pada suasana hati,
putusnya dalam hati. Saat ini yang terasa adalah pahit yang pekat, bukan
manis yang kental seperti yang biasanya dia rasakan kalau dia meminum
secangkir cokelat panas di sore hari.
Dia menghabiskan cokelat panas itu, lalu memutuskan
untuk pulang. Malam sudah cukup larut dan Nessa memang sengaja malam itu
ingin pulang larut dan mematikan HPnya.
Biar saja Kevin marah besar kepadanya!
Dengan pelan dia meminta bill dan
membayar pesanannya, lalu berdiri. Pikirannya masih berkecamuk ketika
dia berjalan dan tanpa sengaja dia menyenggol seorang perempuan.
Perempuan itu membawa gelas anggur merah di tangannya sepertinya dia
berjalan dari sudut lain cafe itu, jauh dari tempat Nessa duduk, dan
hendak pergi meninggalkan Cafe, Nessa membuat gelas anggurnya yang sudah
kosong tetapi masih basah bekas angur menempel di gaun putihnya, dan
menimbulkan noda di sana.
“Oh maafkan saya.” Nessa berucap dengan menyesal,
mendongakkan kepala dan menatap perempuan itu. Perempuan itu sangat
cantik, dengan gaun putihnya yang feminim dan senyumannya yang lembut.
“Tidak apa-apa.” suaranya pun tak kalah lembut.
Nessa melirik noda di gaun itu dan menatap perempuan itu dengan tatapan bersalah, “Tapi… Noda di baju anda..”
Perjanjian Hati 75
“Tidak apa-apa. Bisa dibawa ke laundry,
jangan dipikirkan.” perempuan itu menganggukkan kepala kepada Nessa lalu
mengucap permisi dan melangkah pergi.
Nessa masih mengamati perempuan yang melangkah
semakin menjauh lalu meletakkan gelas anggur kosong itu di di sebuah
meja sebelum melangkah pergi. Apakah perempuan itu sendirian di cafe dan
meminum anggur merah? Dia seperti perempuan yang sedang patah hati ada
bekas air mata di matanya... Tetapi dia begitu cantik, mungkinkah
perempuan secantik itu mengalami patah hati?
Lalu Nessa tersadar bahwa dia sudah melamun lama,
malam beranjak makin pekat, Nessa memutuskan bahwa sudah waktunya dia
pulang... dan menghadapi Kevin.
♥♥♥
Ketika Nessa sampai ke rumah, dia meliriknya jam tangannya, sudah jam sepuluh malam. Dengan hati-hati
Nessa memasuki pintu rumah itu. Tidak biasanya suasana ruang tamu
gelap, dan sepi. Begitupun ruang keluarga. Biasanya sampai malam pun,
sudah terang benderang. Apakah semua orang sudah tidur?
Nessa melangkah memasuki kamarnya dan Kevin, kamar itu kosong, tidak ada tanda-tanda orang di sana. Dengan ragu dia meletakkan tasnya, kemudian meraih hp yang dia matikan.
Sambil menghela napas panjang Nessa duduk di ranjang, perasaannya terasa tidak enak, dinyalakannya HP itu.
Layar putih itu tampak berkedip-kedip
kemudian memunculkan pemberitahuan. Bahwa dia telah dihubungi hampir
tiga puluh kali nomor Kevin dan mendapat dua puluh pesan sms selama
hpnya tidak aktif.
Sambil mengernyitkan keningnya Nessa membuka pesan
itu, dasar lelaki maniak, gerutunya memikirkan sempat- sempatnya lelaki
itu mengganggu acaranya dengan mengirimnya pesan dan memiscallnya berkali-kali.
Tetapi kemudian kernyitannya berubah menjadi panik ketika menyadari bahwa semua pesan Kevin bertuliskan hal yang sama.
[....Ke rumah sakit. Mama sudah kritis...]
76 Santhy Agatha
Nessa langsung meraih kembali tas-nya dan berlari menuruni tangga.
♥♥♥
"Kak, kemana saja." Ervan langsung berseru ketika melihat Nessa, “Kami semua mencoba menghubungimu, tetapi tidak bisa."
"Maafkan aku." permintaan maaf Nessa terucap dari
lubuk hatinya. Ah, berapa bodohnya dia! Perbuatan kekanak- kanakannya
karena marah kepada Kevin ternyata merepotkan semua orang. "Bagaimana
mama?"
Ervan mengetatkan pelukannya kepada Delina yang
terisak semakin keras dan menggeleng sedih, "Mama sudah meninggal
setengah jam yang lalu."
Dan detik itu, hati Nessa dipenuhi penyesalan yang
mendalam, mencengkeramnya dan mengancam akan menenggelamkannya ke ujung
dunia.
♥♥♥
Lama mereka menunggu sampai kemudian Kevin keluar
dari ruangan iccu. Tampaknya Kevin sudah mengurus segalanya secara
kilat, untuk persiapan pemakaman besok dan memulangkan jenazah mamanya
ke rumah sebelum diistirahatkan. Lelaki itu tampak pucat dan rapuh,
seolah dia akan hancur seketika kalau ada yang memukulnya.
Nessa berdiri di sana dengan berlinangan air mata.
Matanya melirik ke dalam ruang ICCU tempat jenazah mama Kevin
dibaringkan, ditutup dengan kain putih yang pilu.
Suara isak tangis Delina terdengar keras, untunglah ada Ervan di sisinya. Memeluknya dan menguatkannya.
Nessa melangkah mendekati Kevin, bergumam dengan hati-hati.
Perjanjian Hati 77
“Maafkan aku.” dia berbisik parau, di sela air matanya.
Tetapi Kevin hanya menatapnya sedetik dengan tatapan mata yang tidak bisa dibaca, lalu memalingkan mukanya dengan cepat.
“Kita pulang.” gumamnya dengan suara parau, lalu meninggalkan Nessa dengan langkah panjang-panjang, membuat Nessa setengah berlari mengejarnya.
♥♥♥
"Kak Nessa." Delina mendekati Nessa ketika mobil
mereka memasuki gerbang rumah, dia kelihatan sedih dan pucat. Tentu
saja, siapa yang tidak sedih ketika kehilangan mamanya?
"Iya Delina?" Nessa berusaha selembut mungkin,
mengingat berapa rapuhnya Delina saat ini. Mereka ada di kursi belakang
mobil Ervan yang sedang mengemudi.
Sementara Kevin masih di pemakaman, menyelesaikan semua urusan sebelum nanti menyusul pulang.
"Kak Kevin, aku harap kakak bisa membantunya."
Nessa mengernyitkan keningnya, membantu Kevin? Dalam hal apa? Lelaki
itu tampak begitu tegar. Bahkan kemarin ketika dia akhirnya melihat
Nessa menyusul kerumah sakit, lelaki itu hanya mengangkat alisnya,
dengan wajah datar seperti batu. Dan wajah itu yang terus dipakai Kevin
sampai sekarang hingga proses pemakaman usai. Tidak ada air mata, tidak
ada emosi dan ekspresi apapun yang menyiratkan kepedihan. Wajahnya
keras, seperti batu yang kosong.
"Dia memang tampak tegar di luar." Delina bergumam,
seperti bisa membaca pikiran Nessa, “Tetapi dia rapuh kak... Dia selalu
begitu ketika terpuruk, selalu membangun benteng kokoh di sekelilingnya
supaya tidak ada orang lain yang bisa memasuki dan melihat jiwanya yang
rapuh." Delina meringis, "Mungkin kak Nessa belum tahu, kalau kak Kevin
sebenarnya pernah hancur karena pengkhianatan."
Nessa menoleh dan menatap Delina penuh ingin tahu, "Pengkhianatan?"
78 Santhy Agatha
Delina menganggukkan kepalanya, "Ya... Dulu kak
Kevin punya seorang kekasih, kekasihnya adalah perempuan yang sangat
dicintainya. Namanya Rika. Mereka sudah berpacaran lama dan sangat
cocok. Kakak tampak sangat bahagia waktu itu, beda dengan yang sekarang,
dia banyak tertawa, jahil, suka bercanda." Delina tersenyum, tampak
mengenang. "Lalu kak Kevin memutuskan untuk memperkenalkannya kepada
papa kami." Delina mendesah, "Papa kami adalah seorang pebisnis yang
sangat pandai dan arogan, meskipun dia papa yang baik bagi keluarganya.
Di makan malam perkenalan itu, dengan lantang papa mengajukan penawaran
kepada Rika. Jika kak Kevin menikahi Rika, maka kak Kevin akan
kehilangan seluruh hak warisnya dan diusir dari rumah papa. Tetapi jika
Rika mau meninggalkan kak Kevin, maka dia akan diberikan cek oleh papa
senilai seratus juta rupiah..." Delina menghela napas, “Tentu saja papa
hanya menggertak, beliau tidak mungkin mengusir kak Kevin dari rumah,
beliau sangat sayang kepada kak Kevin, penawaran itu sebenarnya hanyalah
ujian bagi Rika..."
Nessa menatap mata Delina yang sedih, ingin tahu apa
yang terjadi kemudian. Ervan yang sedang menyetir di depan pun tampak
memasang telinga, mendengarkan.
"Sayangnya yang terjadi kemudian tidak kami duga. Rika menerima cek itu dan akhirnya meninggalkan kak Kevin."
Nessa menelan ludah. Pengkhianatan semacam itu dan
dilakukan di depan keluarganya pula. Pantas saja mengubah Kevin menjadi
orang yang begitu pahit, dia masih ingat perkataan Kevin siang itu
ketika lelaki itu menawarinya perjanjian sandiwara ini.
"Kau akan terkejut mengetahui berapa banyak yang akan menyambar umpan itu mentah-mentah."
Begitu ucap Kevin waktu itu, dengan nada pahit yang sekarang baru disadari Nessa artinya.
"Hal itulah yang membuat kak Kevin menutup hatinya
seperti sekarang ini kak." sambung Delina parau, "Ketika kak Kevin
akhirnya membuka hatinya untuk kak Nessa dan menikahi kak Nessa, aku
sangat bahagia, aku tahu betapa
Perjanjian Hati 79
baiknya kak Nessa, dan betapa kak Nessa bisa
membahagiakan kak Kevin..." Delina mendesah, "Cuma aku sedikit cemas,
setelah mama meninggal, sikap kak Kevin sama persis seperti dulu ketika
dikhianati Rika, dia memasang topeng datar dan dingin di wajahnya, di
hatinya, membuat kita tidak bisa mendekatinya." Delina menyusut air
matanya, "Aku sangat mencemaskannya kak..."
Nessa memeluk Delina yang terisak-isak
ke dalam rangkulannya. Hatinya terasa hangat karena menerima pemahaman
baru, bahwa Kevin juga pernah merasakan sakitnya dikhianati, sama
seperti dirinya.
♥♥♥
"Aku membawakan sup hangat untukmu."
Malam sudah sepi dan semua orang sudah masuk ke kamar
tidurnya. Nessa mengintip ke ruang kerja Kevin, lelaki itu sepulang
pemakaman, langsung menenggelamkan dirinya di sana dan tidak keluar
untuk makan malam.
Kevin mendongak dari berkas-berkas di meja kerjanya dan mengerutkan kening, "Aku sedang tidak ingin makan apapun."
Nessa meletakkan nampan di meja, bersikeras, "Tetapi
kau harus makan Kevin, aku tidak melihatmu makan apapun dari pagi.
Bahkan sejak pemakaman tadi."
Kevin memasang tampang paling dingin dan menyatukan telapak tangannya di bawah dagunya, "Kenapa kau repot-repot memikirkanku eh?" gumamnya sinis.
Lelaki ini menyerangnya demi melindungi dirinya.
Nessa menghela napas, mencoba memahami, dia harus sabar menghadapi
lelaki ini. Kevin sedang sedih meskipun sekarang dia sedang bersandiwara
sebagai seorang bos yang arogan dan jahat. Lelaki ini menutupi
kesedihannya dengan semua itu. "Karena aku mencemaskanmu."
"Hm... Kejutan. Seorang Nessa mencemaskanku. Apakah
kau cemas aku akan terpuruk dalam kesedihan, sayang?" dengan gerakan
halus, lelaki itu meluncur berdiri dan tiba-tiba sudah ada di dekat Nessa, menjebaknya ke tembok, "Mungkin
80 Santhy Agatha
aku tidak akan terlalu bersedih kalau kau bersedia menghiburku..." disusurkannya jemarinya dengan lembut di pipi Nessa.
"Aku tidak akan menghiburmu dengan cara tidak
senonoh!" suara Nessa sedikit meninggi, antara takut, marah dan sedikit
gelenyar panas yang mengaliri tubuhnya merasakan usapan sensual Kevin di
pipinya.
Untunglah lelaki itu memutuskan tidak mendesaknya
lebih jauh, Kevin hanya terkekeh, lalu melepaskan Nessa, meskipun masih
berdiri di dekatnya.
"Aku tidak butuh simpati darimu." gumam Kevin sambil mengacak rambutnya, "Terutama darimu..." tiba-tiba suara laki- laki itu hilang seakan tertelan. Kevin memalingkan mukanya, dan melangkah menjauh dari Nessa, “Pergilah!"
"Kevin...."
"Pergilah!" suara Kevin berubah menjadi bentakan
keras.
Nessa menghela napas panjang, hubungan mereka memang
sudah tidak baik dari awalnya. Sudah terlambat untuk menunjukkan simpati
dan niat baik, sesalnya dalam hati, dengan pelan, dia melangkah menuju
pintu.
"Jangan lupa dimakan supnya." Hening.
Dan Nessa membuka handle pintu hendak keluar. Lalu isakan itu terdengar.
Nessa menoleh dan mendapati Kevin berdiri membelakanginya, isakan itu terdengar darinya, lelaki itu menangis. Kali ini benar-benar menangis sepenuh hati, suaranya penuh kedukaan dan kesakitan, duka yang membuat bahunya berguncang dengan keras.
Tanpa pikir panjang, didorong oleh hatinya, Nessa
langsung melangkah mendekati Kevin dan merengkuhnya. Lelaki itu langsung
memeluknya dengan erat, dan menangis dalam pelukannya, beban tubuhnya
membuat Nessa terjatuh ke sofa, dengan Kevin menangis dipelukannya.
Perjanjian Hati 81
Diusapnya bahu Kevin, rambutnya, berusaha meredakan
kesedihannya. Berusaha membantu lelaki itu menumpahkan apa yang ada di
hatinya. Tiba-tiba perasaan lembut menyelemutinya, perasaan
lembut yang sama ketika mengetahui sisi rapuh lelaki ini, yang tidak
pernah ditampakkannya di depan orang lainnya.
Nessa memeluk Kevin erat-erat, sampai
lama kemudian isakan itu mereda, berubah menjadi napas yang tenang dan
teratur, dan lelaki itu masih meringkuk dengan kepala tenggelam di bahu
Nessa dengan mereka bergelung duduk di atas sofa.
Lalu Kevin mengangkat tubuhnya daan menjauhkan kepalanya. “Maaf." suaranya terdengar parau.
Nessa tersenyum, "Tidak apa-apa Kevin, aku... Aku senang bisa membantu..."
"Aku tidak pernah menangis di depan siapapun sebelumnya."
"Aku tahu."
"Aku tidak sengaja menangis tadi."
"Itupun aku tahu." senyum Nessa tertahan, “Kau sedang
sedih, dan aku sedang bisa membantumu. aku harap kau merasa sedikit
ringan setelah menangis tadi."
Kevin tidak berkata apa-apa, hanya menatap Nessa sambil mengacak rambutnya frustrasi. Lama mereka bertatapan, lalu tatapan Kevin melembut. "Terima kasih."
Nessa menganggukkan kepalanya, "Sama-sama Kevin."
Lelaki itu menatap Nessa lagi dengan tajam, kemudian
tersenyum kecut dan memalingkan kepalanya, "Tidakkah kau sadar? Setelah
kematian mama... Kau dan aku tidak harus terikat lagi." suaranya setajam
tatapannya kemudian, "Kita bisa mengakhiri perkawinan ini."
82 Santhy Agatha
“Senja bergayut berganti malam, begitupun rasa hatiku kepadamu. Kau yang selalu ada, kau yang terbiasa ada,tiba-tiba kusadari, aku takut kalau kau jadi tak ada... Aku takut kehilanganmu, wahai kau, sosok yang perasaanku kepadamu... Tak bisa terdeskripsikan oleh hatiku...”
7
Nessa tertegun. Menyadari kebenaran kata-kata
Kevin. Benar juga. Dari awal alasan utama mereka menikah adalah demi
menjaga perasaan mama Kevin, sekarang sang mama sudah tiada, tidak ada
lagi alasan yang membuat mereka harus menikah. Tapi Nessa teringat
kepada Delina yang mempercayakan Kevin kepadanya, kepada Ervan yang
akhirnya mempercayai kalau Nessa dan Kevin saling mencintai, dan kepada
ibunya yang begitu berbahagia karena Nessa akhirnya bisa menyembuhkan
luka hatinya dan bertemu dengan jodohnya. Bagaimana perasaan mereka
semua kalau menyadari bahwa Nessa dan Kevin telah membohongi mereka?
Kevin berdeham pelan, menggugah Nessa dari lamunannya,
"Tetapi tentu saja kita tidak bisa gegabah mengakhiri pernikahan ini...." Kevin menatap Nessa dalam-dalam,
"Selain karena pernikahan ini baru sebentar, kita juga harus bisa
memberikan alasan yang tepat kepada keluarga kita kenapa kita
berpisah... Jadi sementara ini, mungkin kita harus bertoleransi dan
melanjutkan sandiwara pernikahan ini, kau tidak keberatan kan Nessa?"
Nessa tercenung, sebenarnya melanjutkan sandiwara pernikahan ini terasa sangat memberatkan, tetapi
Perjanjian Hati 83
membayangkan bercerai diusia pernikahan yang masih
sangat muda, belum lagi menjelaskan kepada semuanya terasa begitu berat.
Nessa juga yakin bahwa berpura-pura melanjutkan pernikahan ini adalah yang terbaik.
"Ya... Mungkin kita bisa menjalani seperti ini dulu sampai kita bisa menemukan alasan dan waktu yang tepat untuk berpisah."
Kevin menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum miring,
"Lagipula kita sepertinya nyaman menjalani pernikahan ini." senyumnya
berubah menggoda, "Aku takut tiba-tiba kita sudah menjalani bertahun-tahun dan tetap belum menemukan alasan untuk berpisah. Hmmm… Bagaimana kalau kita jalani pernikahan yang sesungguhnya saja?"
Nessa membelalakkan mata dan menatap Kevin dengan marah, "Hentikan candaanmu itu."
"Aku tidak bercanda." senyum Kevin berubah sensual,
"Kupikir aku cukup bisa menerima memiliki isteri sepertimu, dalam hal
sebenarnya."
Wajah Nessa menjadi merah padam ketika berhasil mencerna kata-kata Kevin, lelaki ini benar-benar
kurang ajar dan tidak tahu sopan santun. Kalau memang Nessa memiliki
impian tentang seorang suami, pasti dia bukan tipe lelaki seperti Kevin!
♥♥♥
"Gaun baru untukmu sudah datang." Kevin yang sedang
membaca buku di atas ranjang mengedikkan bahunya ke arah gaun hijau
keemasan yang digantungkan di lemari, "Cobalah."
Nessa yang baru memasuki kamar mengernyit bingung.
Gaun baru? Untuk apa? Hari ini sudah hampir tiga minggu setelah kematian
mama Kevin. Semula semua terasa berat bagi mereka di rumah ini. Delina
masih sering menangis terisak-isak sendirian, untunglah
Ervan sering mengunjunginya dan menguatkannya, hingga bisa membuatnya
mulai bisa tersenyum dan tertawa sedikit.
Sementara Kevin... Kevin masih tetap sama, selain kerapuhannya yang ditunjukkan kepada Nessa malam itu,
84 Santhy Agatha
Kevin luar biasa dingin dan kaku. Masih mengenakan topeng yang sama, topeng datar dan tanpa emosi miliknya.
"Kau lupa?" Kevin terkekeh, "Besok kan hari pernikahan mantan pacarmu."
Marcell? Besok hari pernikahan Marcell? Tiba-tiba
dada Nessa terasa nyeri, dia memang sudah hampir bisa melupakan
Marcell, melupakan rasa sakitnya akibat ditinggalkan Marcell dan
melupakan perasaan cintanya yang dulu tumbuh begitu subur kepada
Marcell, tetapi entah kenapa, kesadaran bahwa Marcell mengikat dirinya
kepada perempuan lain, dan pengetahuan bahwa Marcell tidak bahagia
membuat dadanya terasa sesak.
Kevin menatap Nessa dan mengernyit, "Kau sudah tidak lagi mencintai bajingan pengecut itu kan?" tanyanya menyelidik, "Atau jangan-jangan kau masih cinta?"
Nessa menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Tidak...
Aku sudah tidak..."
"Kalau kau masih cinta berarti kau perempuan bodoh."
"Aku sudah tidak cinta lagi, tapi kau harusnya
mengerti perasaanku, bertahun lamanya aku hidup dengan kesadaran bahwa
aku mencintainya, harusnya kau mengerti bagaimana rasanya ketika
menyadari perasaan sesak ketika mantan kekasih akan menikah."
"Tidak, aku tidak mengerti." jawab Kevin tegas,
"Begitu aku dikhianati oleh kekasihku, maka dia sama saja sudah mati.
Begitupun perasaanku kepadanya, mati. Jadi aku tidak merasakan apapun."
lelaki itu menutup buku yang dibacanya, dan mengatur posisi tidurnya,
"Selamat tidur."
Nessa termenung di sisi ranjang yang berlawanan dan
menatap punggung kaku Kevin yang membelakanginya. Dia hampir lupa,
lelaki ini juga memendam kesakitan yang pedih karena pengkhianatan. Dan
hal itu membuatnya menjadi keras. Tetapi Nessa sendiri saksinya bahwa
Kevin masih menyimpan kerapuhan yang disembunyikannya, jauh di dalam
hatinya.
♥♥♥
Perjanjian Hati 85
Nessa menyadari gerakan di sampingnya meskipun dia
masih setengah terlelap, sepertinya masih dini hari karena kamar itu
masih temaram dan terasa begitu dingin, tetapi kemudian lengan hangat
dan kuat itu merengkuhnya, memeluknya erat- erat.
Lengan itu terasa asing sekaligus akrab, dan membuat
Nessa nyaman, dalam tidurnya dia mendesak dan menempel pada tubuh hangat
itu, menikmati eratnya dekapan yang merengkuhnya, membuainya kembali ke
alam mimpi.
"Nessa."
Itu suara Kevin, tetapi entah kenapa terdengar lebih serak. Apakah Nessa sedang bermimpi?
Dengan meyakini bahwa dia sedang ada di dalam mimpi,
Nessa bergelung makin merapat ke tubuh hangat itu. Mendesakkan tubuh
lembutnya ke tubuh keras itu.
"Nessa, jangan sayang." suara Kevin kali ini
terdengar tersiksa, tubuhnya terasa kaku dan tegang di tubuh Nessa yang
menempel kepadanya.
Suara Kevin yang terakhir itu membuat sepercik kesadaran Nessa kembali, dia membuka matanya... Ada apa?
Lalu Nessa memekik ketika menyadari posisi tubuhnya,
dalam usahanya mencari kehangatan, dia sudah menempel lengket seperti
koala yang melingkari pohonnya kepada Kevin. Pahanya melingkari tungkai
dan pinggul Kevin tanpa malu- malu, lengannya memeluk dada dan punggung
Kevin, sementara kepalanya bersandar tanpa permisi di dada lelaki itu.
Dalam detik yang sama Nessa langsung melepaskan pelukannya dan setengah
melompat, menjauh menuju seberang ranjang yang paling ujung.
Kevin menghela napas panjang, seolah dilepaskan dari ketegangan yang menyiksanya. lalu menatap Nessa dengan marah,
"Kalau kau tidak mau aku terangsang dan berbuat yang tidak senonoh, jangan menempel-nempel padaku di atas ranjang!" geramnya parau, lalu menarik selimut sampai dada
86 Santhy Agatha
dan membalikkan badan memunggungi Nessa yang berbaring dengan muka panas dan merah padam.
♥♥♥
Untunglah pagi hari ketika Nessa terbangun, Kevin
sudah tidak ada di ranjangnya, kalau tidak Nessa tidak akan tahu
bagaimana dia bisa menghadapi Kevin.
Wajahnya terasa panas ketika mengingat kejadian semalam. Astaga, bagaimana bisa dia menempel begitu erat kepada Kevin? Malam-malam
sebelumnya dia tidak pernah melakukannya. Apakah memang karena hawa
dingin, ataukah karena dorongan untuk mencari kenyamanan yang sepertinya
disediakan oleh tubuh Kevin?
Nessa mendengus, Kenyamanan yang disediakan oleh
tubuh Kevin? Apakah dia buta? Yang bisa disediakan oleh Kevin adalah
rasa tidak nyaman dan masalah. Dia harus ingat itu baik- baik setiap
malam sebelum mereka tidur agar kejadian memalukan semalam tidak
terulang lagi.
Setelah selesai mandi, Nessa melangkah menuju lemari
dan melihat gaun itu, gaun hijau keemasan yang dibelikan oleh Kevin… Dia
mengernyit lagi, gaun untuk datang ke pernikahan Marcell.
Pernikahan Marcell. Apa kabarnya lelaki itu? Lelaki
yang pernah dicintainya? Sejak kejadian ancaman bunuh diri Marcell di
jembatan waktu itu, Marcell tidak pernah menghubunginya lagi, mungkin
karena ancaman dari Kevin waktu itu, mungkin pula akhirnya Marcell
menyadari bahwa antara dirinya dan Nessa sudah tidak ada harapan lagi.
Semoga pernikahan ini membuat Marcell bahagia,
akhirnya Nessa bisa mengucapkan doa itu dengan tulus, dan membuat
hatinya terasa lega.
Ternyata ketika hatinya bisa melepaskan dan memaafkan, bisa membuat perasaannya terasa ringan.
Dielusnya gaun sutera itu dengan kagum, menyadari
keindahan setiap serat gaun itu, Ini pasti mahal. Nessa berkerut, dan
ini dibelikan oleh Kevin...
Perjanjian Hati 87
"Kenapa kau belum memakai gaunmu? Kita berangkat satu jam lagi."
Kevin tiba-tiba masuk tanpa permisi,
membuat Nessa terkesiap kaget dan hampir menjatuhkan gaun itu dari
tangannya. Lelaki itu berdiri di depan pintu, sudah mengenakan kemeja
hijau senada dengan gaun Nessa, dan celana resmi, tetapi belum
mengenakan jasnya.
"Satu jam lagi?" Nessa melirik jam emas antik di atas
meja di samping ranjang, tanpa sadar semburat merah muncul di pipinya
melihat Kevin. Ingatannya melayang tanpa ampun ke kejadian semalam.
Kevin mengangkat alisnya, menyadari semburat merah di pipi Nessa, lalu tersenyum menggoda.
"Ya, satu jam lagi kita berangkat, bersiaplah."
suaranya merendah, "Lain kali kalau kau ingin membelitku seperti ular di
atas ranjang, peringatkan aku dulu."
Dan lelaki itu lalu melangkah pergi meninggalkan
Nessa berdiri di sana dengan wajah merah padam dan perasaan campur aduk
antara malu dan marah.
♥♥♥
Ketika Nessa menuruni tangga, Ervan ternyata baru
saja datang di rumah itu, bersama Delina. Ervan memang selalu datang
menemani Delina sejak kematian mama Kevin, untuk mengiburnya.
Mata Delina langsung berbinar-binar ketika melihat Nessa, "Wow, kak Nessa, kakak cantik sekali!" dia berdiri dan menatap Nessa dengan bersemangat,
"Kakak tidak pernah berdandan sih ya, jadi sekalinya berdandan membuat orang terkagum-kagum," pujinya lagi, membuat pipi Nessa memerah.
Delina mengernyitkan alisnya ke arah ruang kerja Kevin, "Dimana kak Kevin ini, tadi katanya mau buru-buru
berangkat biar bisa cepat pulang lagi, sekarang malah menenggelamkan
diri di ruang kerjanya." Delina mengedipkan matanya kepada Nessa,
"Tunggu sebentar kak Nessa, akan aku seret kak Kevin dari sana." lalu
melangkah memasuki ruang kerja Kevin.
88 Santhy Agatha
Ervan ikut-ikutan berdiri dan tersenyum mengagumi kepada Nessa,
"Kau cantik sekali kak."
Nessa meringis geli, "Jangan kau juga ikut-ikutan memujiku, aku jadi malu."
Ervan terkekeh, "Tapi kau memang betul-betul
cantik, dan gaun itu sangat cocok untukmu, kata Delina, kak Kevin
khusus memesankannya untukmu." Ervan tersenyum lembut, "Mulanya aku
cukup cemas dengan pernikahan kalian. Tetapi makin hari aku makin yakin,
kau bahagia kak. itu yang terpenting."
Nessa memalingkan kepala, tidak mampu menatap Ervan,
takut kebohongannya akan tercermin di matanya. Adiknya ini begitu
mempercayainya, dan dia membohonginya. Semoga ketika semuanya terkuak
nanti, Ervan bisa memahami dan tak marah kepadanya.
Pada saat itu pintu ruang kerja Kevin terbuka, dan
lelaki itu keluar diikuti Delina. Sejenak Kevin tertegun mengamati
Nessa, lalu tersenyum.
"Gaun itu cocok buatmu." gumamnya tenang. Diiringi
dengan Delina dan Ervan yang saling melemparkan pandangan penuh arti,
membuat pipi Nessa memerah.
♥♥♥
Seperti yang diduga, ini adalah pesta pernikahan
yang mewah. Jantung Nessa terasa berdegup kencang ketika melangkah
memasuki gedung ini. Dekorasinya sangat indah dan kemudian perasaan itu
menyergapnya lagi, perasaan yang menyadarkannya bahwa dia sedang
menghadiri pesta pernikahan Marcell.
Marcell. Lelaki itu berdiri
di sana, dengan Susan di sebelahnya. Keduanya tampak megah dalam
balutan busana bernuansa emas. Lalu keluarga Marcell, ibunya, sepupu-
sepupunya, tantenya dan semuanya yang dulu sempat mengenal Nessa
melihatnya, kemudian berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh spekulasi. Jantung Nessa berdenyut lagi, lebih kencang. Mampukah dia naik ke sana dan menyalami
Perjanjian Hati 89
Marcell dengan tegar, dibawah tatapan mata tajam seluruh keluarga Marcell ?
Kevin seolah-olah menyadari perasaan Nessa yang campur aduk, dia mengencangkan genggamannya di jemari Nessa, dan berbisik lembut.
"Kau datang kesini bersamaku, aku suamimu. Dan aku adalah laki-laki
yang seratus kali lebih baik dari mantan pacarmu yang sedang bersanding
di pelaminan itu. Jadi tegakkan dagumu, tunjukkan kebanggaanmu. Kau
tidak rugi ditinggalkan olehnya, dia yang rugi karena kehilanganmu.
Tunjukkan betapa berharganya dirimu kepada Marcell dan
keluarganya.Tunjukkan betapa berharganya dirimu, karena kau adalah
isteriku."
Bisikan Kevin itu, meskipun begitu penuh kesombongan
dan arogansi, mampu menghilangkan kegugupannya. Kevin benar, dia tidak
seharusnya takut ataupun gugup atas pandangan menilai ibu dan keluarga
Marcell. Dia datang ke sini bersama Kevin, suaminya. Dan Kevin mendukung
sepenuhnya Nessa untuk memamerkan kebanggaan dirinya, karena ternyata
mampu berujung lebih baik dari Marcell.
Kevin tersenyum melihat perubahan ekspresi Nessa, "Bagus, ayo isteriku, kita salami mantan kekasihmu yang tidak beruntung itu."
Lelaki itu menghela Nessa dengan lembut menaiki
panggung tempat Marcell dan Susan berdiri. Kevin yang melangkah duluan
dan menyalami Marcell dengan senyum mengejeknya yang menjengkelkan,
"Selamat." gumamnya dengan suara tegas, lalu menghela
Nessa mendekat, "Kemari sayang, kita harus memberi selamat kepada
pasangan ini." suaranya berubah mesra.
Nessa mendekat dan menyalami Marcell. Dia merasakan
genggaman yang berbeda dan Marcell menatapnya dengan tatapan tersiksa.
Tapi Nessa menguatkan diri. Ini jalan yang dipilih Marcell dan Nessa
sudah memilih jalan yang berbeda jauh.
90 Santhy Agatha
"Selamat Marcell. Selamat Susan." suaranya terdengar
tegas, dan kuat, dan tulus. Menyalami Marcell yang terlihat sedih dan
Susan yang tersenyum kaku.
Kemudian mereka berhadapan dengan mama Marcell. Dan
seketika ingatan itu berkelebat di benak Nessa, ingatan ketika Marcell
memperkenalkannya ke mamanya. Nessa yang lugu waktu itu mengulurkan
tangannya. Dan mama Marcell hanya menatap jemarinya dengan angkuh, lalu
memalingkan mukanya dengan mencemooh, tak mau membalas salamannya dan
membuat Nessa harus menarik tangannya mundur pelan- pelan dengan penuh
rasa malu.
Kali ini, mama Marcell menatap Kevin dan Nessa dengan
gugup. "Nessa tidak kusangka bertemu lagi denganmu di sini." suara mama
Marcell bernada ramah yang dibuat-buat. Lalu tanpa di
sangka perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya, "Dan sekarang kau
adalah isteri Tuan Kevin, kami sekeluarga belum mengucapkan selamat,
selamat ya."
Godaan untuk menolak uluran tangan itu dan
membalaskan kesakitannya di masa lalu sangatlah besar, tetapi Nessa
sadar, dia akan tampak kekanak-kanakan kalau melakukannya,
lagipula situasi ini sudah merupakan pembalasan tidak langsung untuk
Marcell dan ibunya. Disambutnya uluran tangan itu lembut.
"Terima kasih," gumamnya pelan dalam senyum.
Kevin menatap kepadanya, memahaminya dalam senyum pengertian. Lalu setelah basa-basi sejenak yang kaku, Kevin berpamitan dan mengajak Nessa keluar dari gedung dan acara penikahan yang menyesakkan napas itu.
Mereka berjalan bergandengan, melangkah menuju mobil Kevin, lelaki itu masih menggandeng tangannya erat.
"Senang?" tanyanya dalam senyum memahami.
Nessa terdiam sejenak, berusaha menelaah
perasaannya, kemudian menemukan rasa ringan yang membuatnya tenang.
Ternyata yang diperlukannya hanyalah menghadapi masa lalunya dengan
berani, lalu melepaskan semua beban itu. Perasaan sedih yang
menggelayutinya selama ini itu sudah
Perjanjian Hati 91
tiada, dan rasanya menyenangkan. Dia mendongak, menatap Kevin dan tersenyum,
"Senang." senyumnya bertambah lebar, "Terima kasih Kevin."
Lelaki itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya, "Sama-sama Nessa, sama-sama."
♥♥♥
Ketika mereka sudah dijalan, Kevin melirik ke arah
Nessa, “Mau mampir ke cafe? Aku hanya makan sedikit tadi, dan aku masih
lapar,” gumamnya pelan.
Nessa mau. Datang ke pernikahan Marcell sangat
menguras emosinya, membuat makanan yang ditelannya di acara itu terasa
seperti kertas. Dia butuh cokelat hangat yang manis dan kental itu.
“Aku mau.” gumamnya.
Kevin tersenyum dan mengarahkan mobilnya menuju ke
cafe.
Mereka tiba di cafe itu menjelang sore, karena
terjebak macet yang cukup lama. Suasana cafe sangat ramai, mungkin
karena di hari minggu, Kevin dan Nessa berjalan menuju sebuah kursi yang
terletak di sudut yang sejuk, di bawah rimbunnya dedaunan yang berwarna
hijau.
Albert yang menyambut mereka seperti biasa, mempersilahkan mereka duduk dan mengedip kepada Nessa bersahabat.
“Cokelat panas seperti biasa Nona?” gumam Albert ramah.
Kevin mengangkat alisnya dan menatap ke arah Albert,
“Seperti biasanya?” matanya beralih ke arah Nessa, “Apakah kau sering ke sini tanpaku?”
Nessa tersenyum kikuk, merasa tertangkap basah, “Aku
sering kemari sepulang kerja, untuk secangkir cokelat panas.” gumamnya
mengaku.
Kevin terkekeh, “Rupanya kau ketagihan dengan cokelat panas dari cafe ini.” Kevin menatap Albert pura-pura menuduh,
92 Santhy Agatha
“Apa yang kau campurkan ke dalam minuman isteriku sehingga dia ketagihan seperti ini?”
Albert tertawa dan menggelengkan kepalanya, “Saya tidak mencampurkan apa-apa.
Tetapi bukankah cokelat mengandung bahan yang bisa membuat kecanduan
meskipun kadarnya sangat sedikit? Tetapi saya rasa ketenangan yang
didapatkan dari meminum cokelat itulah yang membuat ketagihan.” Albert
tersenyum bijak, mencatat pesanan mereka lalu membungkuk sopan sebelum
undur diri.
“Kau tampak akrab dengan Albert.” Kevin bergumam sambil menatap kepergian lelaki setengah baya itu.
Nessa tersenyum, “Albert sangat ramah, dia juga sering memberikan nasehat.”
Kevin menganggukkan kepalanya, “Dia memang sangat
terkenal di cafe ini, bisa dibilang dialah yang menjadi pengelola utama
cafe ini, pemilik Cafe mengenalnya sejak lama dan mempercayainya. Tetapi
dia tidak mau mengambil jabatan tinggi, dengan rencah hati dia bilang
ingin menikmati pekerjaan sebagai pelayan karena dia sangat menikmati
berbicara dan berbagi cerita dengan pelanggan-pelanggannya.” Kevin merenung, “Lelaki itu bekerja bukan untuk uang, tetapi untuk kepuasan batin.”
“Mungkin dia hanyalah pria yang kesepian.” Nessa menggumam sambil menatap Albert yang menyapa pelanggan lain dengan ramah.
“Yah dia memang hidup sendirian di sini setelah
kehilangan anak dan isterinya.” Kevin menatap Nessa dan mengalihkan
pembicaraan, “Bagaimana perasaanmu kepada Marcell setelah tadi?”
Nessa memikirkannya sejenak, lalu merasa yakin dan
tersenyum, “Aku merasa lega, lepas dan bebas. Terima kasih karena telah
membantuku menghadapi mereka semua.” gumamnya, mengulang ucapan terima
kasihnya.
Kevin hanya mengangguk, “Aku suamimu.” gumamnya serius, “Sudah kewajibanku untuk mendukungmu.”
Perjanjian Hati 93
Pesanan makanan mereka pun datang, pelayan lain yang
mengantarkannya. Menu steak yang masih berasap dan minuman. Kevin
memesan minuman warna kuning dengan aroma limau dan gelembung-gelembung di dalamnya, lelaki itu mengernyit melihat minuman Nessa.
“Aku tidak pernah melihat orang memadukan steak dengan cokelat panas sebelumnya.”
Nessa terkekeh, “Sebetulnya aku ingin menikmati
cokelat panasnya duluan.” disesapnya cokelat panas itu, tidak bisa
menahan dirinya.
Kevin mengamatinya. “Jangan-jangan kau benar-benar sudah kecanduan cokelat di sini.” gumamnya, membuat Nessa tertawa geli.
“Mungkin aku memang kecanduan. Cokelat ini
menstimulasi ketenangan di otakku dengan rasa manis, aroma khasnya dan
kenikmatannya ketika mengaliri lidahku. Aku terus menerus ingin
menikmati sensasi itu.”
Kevin mendecakkan lidahnya, “Gawat kalau begitu.”
matanya menggoda, “Mungkin kita harus menculik peracik minuman ini dan
menyekapnya di rumah.”
Nessa tertawa mendengar godaan Kevin itu. Mereka menghabiskan makanan mereka dengan cepat. Rupanya Kevin dan Nessa sama-sama tidak bisa menikmati makanan di resepsi pernikahan Marcell.
Ketika mereka pulang mereka berpapasan dengan Albert, lelaki itu membawa baki berisi teh warna hijau yang masih panas.
“Maaf tadi tidak bisa menyapa kalian lagi. Aku harus
membawakan pesanan kepada pelanggan di sana, dia biasanya datang tengah
hari, tetapi hari ini dia datang terlambat, tampak sangat sedih dan
memesan minumannya yang biasa. Semoga minuman ini bisa membuat hatinya
ringan.” Albert menundukkan tubuhnya sedikit untuk mengucap selamat
tinggal, “Hati-hati di jalan dan kembalilah lain waktu,” gumamnya dengan riang.
94 Santhy Agatha
Nessa tersenyum dalam gandengan Kevin, “Pasti Albert… Pasti...”
♥♥♥
"Selamat ulang tahun."
Nessa mengerjapkan matanya, dan menemukan Kevin masih terbaring di ranjang, bertumpu pada sikunya dan miring menghadap Nessa.
Lelaki itu tampak luar biasa tampan bahkan ketika bangun tidur. Seakan-akan
rambut kusut dan penampilan acak- acakannya malah menambah pesonanya
bukannya mengurangi. Jauh berbeda dengan Nessa, dia sama sekali tidak
yakin penampilan bangun tidurnya bisa mempesona. Tetapi hal itu sama
sekali tidak berpengaruh kepada Kevin rupanya, lelaki itu tetap
tersenyum dan menatapnya dengan pandangan berbinar- binar, "Selamat
ulang tahun." lelaki itu mengulang, seakan tidak yakin ucapannya yang
pertama tadi bisa dicerna oleh Nessa.
Nessa mengerjapkan matanya sekali lagi, menghitung
tanggal dalam benaknya, dan menyadari bahwa sekarang memang hari ulang
tahunnya. "Terima kasih." gumamnya tersenyum.
Kevin terkekeh lalu bangkit dari ranjang, "Delina memberitahuku kemarin, dia merencanakan sebuah pesta kecil-kecilan untukmu, hanya kita dan keluarga, liburan di tepi pantai."
Hari ini memang hari sabtu, tetapi biasanya di hari sabtupun Kevin pergi bekerja.
"Apakah kau libur?" tanya Nessa ragu.
Kevin mengangkat bahu, "Pekerjaan bisa menunggu,
lagipula Delina akan membunuhku kalau aku tidak bisa ikut. Kau tahu dia
kemarin bersemangat melanjutkan yang dilakukan mama, yaitu mempersiapan
acara resepsi pernikahan kita, dan setelah bujukan yang luar biasa,
akhirnya dia mau mengerti bahwa kita memilih tidak mengadakan resepsi
apapun untuk menghormati mama yang telah tiada, setidaknya menyiapkan
acara liburan ulang tahunmu ini bisa menghiburnya."
Perjanjian Hati 95
Nessa tersenyum dan mengangguk, Delina benar-benar
perempuan yang tegar. Dia menghadapi kesedihannya dengan menjadi kuat
dan bersemangat. Dan Nessa sangat bersyukur kalau memang Ervan berjodoh
dengan Delina, dia akan menjadi isteri yang hebat untuk Ervan.
Lalu pikiran itu tiba-tiba muncul di benak Nessa,
"Kevin..." suara Nessa yang serius menarik perhatian
Kevin, " Tentang pernikahan kita ini... Bagaimana ke depannya? Apakah
kau sudah memikirkannya?"
Kevin tercenung lalu mengangkat bahu, "Terus terang
aku tidak memikirkannya. Aku hanya menjalaninya, kau juga seperti itu
kan? Lagipula aku sedang tidak jatuh cinta dengan siapapun, dan kau juga
tidak jatuh cinta kepada siapapun. Jadi kupikir kita bisa menjalankan
pernikahan ini dengan biasa dulu."
"Kalau nanti kita jatuh cinta kepada orang lain?" Nessa tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Kevin menghela napas, "Maka kita tidak boleh saling menghalangi," gumamnya parau.
♥♥♥
Mereka berjalan meninggalkan makam mama Kevin dalam
keheningan. Sebelum berangkat liburan ke pantai untuk merayakan ulang
tahun Nessa, mereka berkunjung ke makam untuk berdoa dan meletakkan
bunga.
"Kevin!" suara itu memanggil dengan lembut dari sebuah sudut, dan membuat mereka semua menoleh.
Delina yang pertama kali menghela napas, dia berdiri di sebelah Nessa dan menepuk dahinya.
"Gawat," desahnya pelan.
Nessa menoleh dan menatap Delina, "Ada apa?"
"Itu Paula, mantan kekasih kak Kevin seorang model
profesional... Yah tidak bisa dibilang kekasih, dia selalu putus sambung
dengan kak Kevin... Dan dia… Sangat terobsesi dengan kak Kevin, pada
saat pernikahan kalian dia sedang ada di luar negeri jadi tidak tahu,
mungkin dia baru pulang dan mendengar
96 Santhy Agatha
kak Kevin menikah, jadi dia menyusul ke sini." Delina berbisik pelan kepada Nessa, "Hati-hati kak Nessa, dia tajam seperti racun."
Nessa tiba-tiba merinding ngeri. Selama menjadi isteri Kevin, dia tahu banyak perempuan yang iri dan membencinya. Tatapan-tatapan
permusuhan kadang diterimanya ketika Kevin bersikap mesra kepadanya di
depan umum. Tetapi belum pernah dia menghadapi kecemburuan secara
frontal. Apalagi kecemburuan dari seorang mantan kekasih.
“Dan dia tidak tahu malu,” Delina berbisik lagi,
“Aku tidak pernah menyukainya karena itu, dia menghabiskan sepanjang
waktunya dengan mengejar-ngejar kak Kevin, sampai lupa pada norma dan aturan yang berlaku...”
Paula berdiri di depan Kevin dan Nessa, perempuan
itu tinggi dan cantik, sesuai dengan profesinya sebagai seorang model.
Rambutnya panjang dan cokelat, dikuncir kelimis ke belakang dan
membentuk ekor kuda yang indah di belakangnya.
Pakaiannya begitu modis dan membungkus tubuhnya dengan seksi. Nessa tiba-tiba memandang dirinya dengan gelisah ketika membandingkan dirinya dengan perempuan modis di depannya itu.
Astaga, kalau begini selera Kevin sebelumnya, pantas
saja dia sama sekali tidak kesulitan menahan diri ketika tidur
seranjang dengan Nessa. Mantan kekasihnya ini begitu sensual, dan Nessa
hanya seperti anak kecil kalau dibandingkan dengannya.
"Hai Kevin, aku mendengar kabar mengejutkan kemarin ketika mendarat pulang, kau menikah."
Kevin tampak tersenyum datar, "Kabar itu betul, kenalkan ini isteriku, Nessa."
Paula mengulurkan tangannya dan Nessa membalasnya.
Senyum Paula tampak sinis dan perempuan itu memandangnya dari ujung
kepala sampai ujung kaki dengan mengejek.
"Aku Paula," gumamnya tak kalah mengejek, lalu seolah tak mempedulikan Nessa, perempuan itu menoleh kembali
Perjanjian Hati 97
pada Kevin dengan merayu, "Aku merindukanmu Kevin,
kapan kita bisa bertemu lagi dan melepaskan rindu? Mungkin nanti malam
kita bisa memesan makan malam privat di tempat biasa?"
Nessa ternganga, kaget sekaligus marah. Perempuan ini benar-benar tidak peduli bahwa Kevin sudah menikah dengan Nessa! Bahkan dia terang-terangan
meremehkan keberadaan Nessa sebagai isteri Kevin dengan sengaja
mengeluarkan rayuan sensual kepada Kevin, padahal Nessa sedang berdiri
di sebelahnya.
"Maaf." Nessa bergumam sebelum Kevin sempat berkata-kata,
"Suamiku tidak punya waktu untukmu malam ini atau kapanpun, kami akan
menghabiskan malam di pantai untuk merayakan ulang tahunku," gumam Nessa
geram, lebih karena dipenuhi rasa terhina dan bukan cemburu.
Paula menatap Nessa jengkel karena berani menjawab
pertanyaannya yang ditujukan untuk Kevin, tetapi dia lalu melemparkan
pandangan sensual kepada Kevin menunjukkan kalau dia meremehkan jawaban
dari Nessa.
"Kalau begitu lain kali sayang. Aku yakin kau nanti ada waktu untukku, seperti biasanya," bisiknya penuh arti
Kevin yang dari tadi tampak geli dengan situasi ini
mengangkat bahunya acuh tak acuh, "Kau dengar sendiri isteriku tadi
Paula. Isteriku memastikan bahwa aku tidak punya waktu untuk kegiatan
bersama orang lain." lelaki itu melirik menggoda kepada Nessa, membuat
wajah Nessa memerah.
Paula mengamati Kevin dan Nessa bergantian, menilai situasi. Lalu tersenyum sinis.
“Oke, aku tidak akan menyerah, lain kali aku akan
mencoba lagi. Dan aku akan menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang
berpengalaman sudah pasti jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
perempuan kecil yang bahkan tidak bisa mendandani dirinya sendiri dengan
baik.” Paula melemparkan tatapan mencemooh kepada Nessa, membuat wajah
Nessa merah padam karena merasa terhina. Lalu dengan anggun perempuan
itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
98 Santhy Agatha
“Ketika kau mencintaiku, aku akan selalu ada di hatimu. Pun ketika kau membenciku, aku akan selalu ada di pikiranmu. Pada akhirnya,aku akan selalu ada”
8
Nessa menatap kepergian Paula dengan langkah anggun
dan dramatis itu, lalu menghela napas panjang. Di sisi lain Kevin
malahan mengamati Nessa, lalu terkekeh geli, membuat Nessa melemparkan
pandangan membunuh kepada lelaki itu.
"Kenapa kau tertawa?"
Kevin bahkan makin tergelak, "Kau. Kau membuatku
tertawa. Caramu menjawab pertanyaan Paula tadi membuatku sedikit bangga.
Ternyata isteriku rela mempertahankanku dari rayuan perempuan lain."
"Jangan salah paham. Aku cuma tidak suka sikapnya yang merayumu terang-terangan, padahal ada aku di sebelahmu." Nessa melirik ke arah Delina dan Ervan yang juga tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka. Sialan Kevin! Pasti sekarang Delina dan Ervan mengira dia cemberut dan marah-marah karena cemburu.
Kevin mengikuti arah mata Nessa, menyadari bahwa
Delina dan Ervan mendengarkan percakapan mereka. Dia lalu mengedipkan
mata ke arah Nessa, mengirimkan isyarat bahwa percakapan ini belum
selesai, kemudian melangkah menuju mobil.
♥♥♥
Pantai itu indah sekali, terletak di bagian selatan pulau, dengan resort yang dihiasi oleh cottage-cottage yang indah dan artistik dengan hamparan pasir putihnya yang begitu indah.
Perjanjian Hati 99
Langit tampak cerah, biru dihiasi awan putih berbagai bentuk, seakan-akan menyambut mereka dengan keindahan pemandangannya.
Nessa berdiri tanpa alas kaki, menginjak pasir putih
itu dan memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang hangat yang
menerpa pipinya. Rasanya hangat dan mendamaikan, apalagi dengan alunan
deburan ombak yang begitu menenangkan.
"Senang?" suara Kevin yang dekat di sampingnya
membuat Nessa hampir terlonjak kaget. Dia menoleh dan melihat Kevin
berdiri di sampingnya. Lelaki itu berpenampilan santai, dengan t-shirt putih dan celana pendek warna khaki dan kaki telanjang, sangat berbeda dari penampilan sehari-harinya yang resmi.
Nessa berpikir untuk membantah perkataan Kevin,
tetapi dia akan tampak tidak tahu terima kasih kalau melakukannya,
setidaknya biarpun menjengkelkan, Kevin sudah mengajaknya bersama Ervan
dan Delina untuk menghabiskan akhir pekan menyenangkan dan merayakan
ulang tahunnya.
"Senang." Nessa mencoba tersenyum, mengajak berdamai, "Terima kasih sudah mengajak kemari."
Kevin membalas senyuman Nessa dengan senyuman tipis,
lalu menatap ke arah laut, hembusan angin laut membuat rambutnya
berantakan tertiup angin dan menerpa dahinya, mengubah penampilan
kerasnya menjadi lebih santai.
"Dulu kami sering berlibur kesini, sekeluarga. Aku,
mama, papa dan Delina, waktu umur kami masih kecil." pandangan Kevin
menerawang, mengenang, "Kemudian tahun berganti dan papa menjadi semakin
sibuk, mama semakin lemah... Kadangkala disaat aku lelah, aku melarikan
diri kesini."
Nessa mengernyit. Pasti Kevin membawa kekasih- kekasihnya kemari untuk menghabiskan malamnya, pikirnya dengan sinis.
Tanpa diduga Kevin menatapnya dan bisa membaca apa yang ada di dalam benaknya, lelaki itu terkekeh.
100 Santhy Agatha
"Hentikan semua pikiran buruk yang ada di dalam
kepalamu itu," gumamnya dalam tawa, "Sendirian. Aku selalu kemari
sendirian. Resort pribadi ini, cottage ini, sisi pantai yang ini,
semuanya khusus hanya untuk keluarga."
Nessa mengernyit lagi, "Dan apakah kau pikir aku keluargamu?"
Tatapan Kevin setelahnya begitu dalam dan misterius, tidak terbaca, "Kau isteriku."
♥♥♥
"Malam ini kita akan makan di restoran pinggir
pantai." Delina duduk di ranjang Nessa dan tampak bersemangat, "Kak
Kevin memesan kue tart dari dapur resort khusus untukmu." Delina
mengedipkan matanya menggoda, "Dia tidak pernah seperhatian itu kepada
siapapun."
Pipi Nessa memerah, entah kenapa. Padahal dia tahu
pasti, Kevin melakukannya karena ada Delina dan Ervan di sini. Semua ini
hanya sandiwara... Tetapi kalau memang hanya sandiwara, kenapa
jantungnya berdegup tak karuan saat ini?
Mereka menginap di resort mewah di pinggir pantai,
dengan cottage indah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan dapur yang
penuh dengan peralatan modern, dimana salah satu fasilitasnya menghadap
ke arah pantai pribadi yang bisa di datangi langsung dari pintu belakang
cottage mereka. Nessa tentu saja harus sekamar dengan Kevin, sedangkan
Delina dan Ervan menempati kamar sendiri-sendiri.
Malam ini mereka akan makan malam di restoran tepi
pantai yang terkenal dengan masakan kepitingnya. Delina sedang menunggui
Nessa berganti pakaian sambil bercerita tentang berbagai hal, dan Nessa
mendengarkannya sambil tersenyum. Tersenyum dan bersyukur, karena
Delina sepertinya telah berhasil melalui kesedihannya dengan ketegaran
jiwanya.
"Aku sudah siap, ayo kita keluar, para lelaki pasti
telah mengunggu kita dengan jengkel," gumam Nessa sambil mengajak Delina
melangkah keluar kamar.
Perjanjian Hati 101
Kevin duduk di sana sedang bercakap-cakap dengan Ervan, ketika Nessa dan Delina keluar, dia mengangkat alisnya dan tersenyum.
"Sudah siap?"
Nessa mengangguk dan Kevin langsung berdiri,
menghelanya ke pintu. Mereka berjalan menyusuri pinggiran pantai,
diikuti Delina dan Ervan di belakangnya.
Restoran pinggir pantai itu benar-benar berada di pinggir pantai, tempat makannya ada di paviliun-paviliun kecil dari kayu dan beratapkan rumbia, dengan lilin-lilin
yang ditata secara eksotis di sekelilingnya. Makanannya luar biasa
nikmatnya, berbagai macam hidangan laut dan minuman kelapa yang
menyegarkan. Mereka tertawa, mereka bercakap-cakap dalam suasana yang begitu santai, hingga Nessa hampir melupakan suasana permusuhan yang dibangunnya bersama Kevin.
Kevin banyak tertawa malam ini, lelaki itu
mengedipkan mata ketika seluruh hidangan dan piring kotor, serta meja
mereka dibersihkan.
"Saatnya untuk yang paling istimewa."
Sedetik setelah Kevin berkata-kata, seolah sudah diprogram sebelumnya, seorang pelayan datang membawakan kue ulang tahun berwarna putih dengan lilin-lilin cantik di atasnya,
Pelayan itu meletakkan kue itu di meja, di depan
Nessa, dan Nessa ternganga menatap kue yang berlumuran cokelat
mengkilat, tampak sangat menggiurkan. Dia melemparkan pandangan kepada
Kevin yang tersenyum manis sambil mengedipkan mata kepadanya, tahu bahwa
lelaki itu menyadari kesukaannya kepada cokelat. Ternyata Kevin
memperhatikannya...
"Saatnya mengucapkan pengharapanmu," gumam Delina
sambil bertepuk tangan bersemangat, mengalihkan Nessa dari tatapannya
kepada Kevin.
102 Santhy Agatha
Nessa memejamkan matanya, lalu mengucapkan doa singkat, bahwa dia ingin semua orang yang dicintainya berbahagia.
"Tiup lilinnya," gumam Ervan pelan.
Nessa meniup lilin itu dan semua bertepuk tangan
gembira. Suasana begitu membahagiakan, membuat Nessa menoleh ke arah
Kevin dan tersenyum tulus.
"Terima kasih Kevin."
Tanpa diduga, lelaki itu mendekatkan tubuhnya, lalu mengecup dahi Nessa lembut.
Delina dan Ervan tersenyum melihat keromantisan tulus
yang ditampilkan Nessa. Tetapi Nessa duduk disana dengan jantung
berdegup kencang, mencoba meyakinkan hatinya bahwa semua ini hanyalah
sandiwara sempurna yang diperankan olehnya dan Kevin.
♥♥♥
Malam itu ketika Nessa membaringkan tubuhnya di
ranjang, dia merasa gugup. Rasanya aneh, padahal selama ini dia biasa
saja jika tidur di ranjang ini, menantikan Kevin menyusulnya ketika
hampir tengah malam setelah membereskan pekerjaannya, dan tidur di
sebelahnya.
Malam ini terasa berbeda, entah kenapa. Mungkin
karena suasana kamar yang temaram dan romantis dengan nuansa kuning
kecoklatan dan debur ombak di kejauhan. Mungkin pula karena nuansa yang
dibangun dari pagi tadi sampai sekarang, semua terasa berbeda. dan
jantung Nessa berdesir pelan ketika pintu kamar mandi terbuka, dan Kevin
keluar, dengan rambut basah sehabis mandi.
"Sudah mau tidur?" lelaki itu berdiri di tengah ruangan, menatap Nessa dengan pandangan yang terasa misterius karena tertutup bayang-bayang kamar yang remang-remang.
Nessa menatap Kevin dan tersenyum gugup, "Iya, aku lelah seharian ini."
Perjanjian Hati 103
Kevin melangkah dan duduk di atas ranjang, mematikan
lampu tidur hingga membuat suasana kamar gelap, hanya cahaya bulan yang
menyusup dari balik jendela kaca yang tertutup gorden putih yang
menyinari kamar, lalu Kevin naik dan berbaring di sebelah Nessa.
"Besok pagi kita melihat matahari terbit, kau pasti terpesona, indah sekali. Lalu kita bisa berenang di laut."
"Kedengarannya menyenangkan." suara Nessa tercekat, kenapa pula mereka melakukan pembicaraan basa-basi begini?
Lalu hening, Nessa pura-pura tertidur,
membalikkan tubuhnya membelakangi Kevin. Lama dia dalam posisi itu dan
dia tidak bisa tidur, tubuhnya terasa pegal, dan pelan dia mengubah
posisi tubuhnya, supaya tidak membangunkan Kevin yang diyakininya sudah
tidur karena dia tidak mendengar suara apapun dari laki-laki itu.
"Tidak bisa tidur?" suara Kevin mendadak terdengar,
menembus keheningan dan membuat Nessa terlonjak karena kaget. Dia
membalikkan badannya dan mendapati Kevin berbaring terlentang
berbantalkan lengannya.
"Kupikir kau sudah tidur," bisik Nessa lirih.
Kevin menatap Nessa, lalu tersenyum, "Tidak, aku juga tidak bisa tidur," suaranya berubah parau.
"Kenapa?"
"Kau tahu kenapa." nafas Kevin terdengar berat, "Aku tidak bisa tidur setiap malam sejak aku menikah denganmu."
"Karena kau tidur seranjang denganku?" Suara Nessa
berubah cemas, apakah dia mendengkur dengan keras sehingga mengganggu
istirahat Kevin, ataukah gaya tidurnya berantakan, seperti kemarin, menempel-nempel Kevin atau mungkin menendangnya dalam tidurnya?
"Ya. Karena aku tidur seranjang denganmu." Kevin
terkekeh, "Tidur seranjang denganmu dan tidak bisa menyentuhmu." gumaman
Kevin itu, biarpun pelan membuat Nessa langsung beringsut ke ujung
ranjang dengan waspada.
"Apa maksudmu?"
104 Santhy Agatha
"Apakah aku harus menjelaskan maksudku dengan
gamblang seperti menjelaskan kepada anak kecil?" lelaki itu memiringkan
kepala, menatap sinis ke arah Nessa yang menjauh ke ujung ranjang, "Kau
pasti tahu pasti apa yang dirasakan lelaki dewasa ketika harus
melewatkan malam demi malam dengan perempuan di ranjangnya, tanpa bisa
berbuat apa-apa."
"Memangnya kau mau berbuat apa?" kali ini suara Nessa benar-benar cemas.
Kevin terkekeh lagi, terdengar meremehkan. "Tenang
Nessa, tak perlu melonjak dan lari dari ranjang ini, sesuai janjiku
kepadamu, aku tidak akan menyentuhmu." suara sensualnya kembali memenuhi
ruangan, "Kecuali kalau kau mau kusentuh."
"Aku tidak mau disentuh olehmu," jerit Nessa
spontan. Sedetik kemudian Nessa menyadari bahwa dia salah bicara, karena
gerakan tubuh Kevin tampak tegang, lelaki itu tersinggung.
"Kenapa kau tidak mau kusentuh?" Kevin bergerak
mendekat, dan sebelum Nessa bisa menyingkir dari ranjang, lengan Kevin
dengan kuat merengkuhnya, merapatkan tubuhnya kepadanya. "Apakah aku
menjijikkan untukmu?" nafas Kevin terasa hangat di pipinya, membuatnya
bergetar.
Nessa mencoba meronta, tetapi kedua lengan Kevin
menahan punggungnya dan menjepit lengannya di kedua sisi, "Lepaskan
aku." seru Nessa panik.
"Kenapa kau tidak mau kusentuh?" kali ini suara
Kevin berbisik di telinganya, membuat Nessa merasakan gelenyar geli
merayapi tubuhnya, "Aku suamimu."
Kemudian bibir itu melumat bibir Nessa, dengan panas
dan penuh penguasaan, seolah berusaha menaklukkan dan mendominasi
Nessa. Bibir kuatnya melumat kelembutan bibir Nessa tanpa ampun, membuat
Nessa terengah, kemudian lidahnya mencicipi, mencecap kehangatan
permukaan bibir Nessa yang lembut, ketika lidah itu ingin menjelajah
masuk, Nessa mengatupkan bibirnya erat-erat, sekuat tenaga.
Perjanjian Hati 105
"Ayo sayang, biarkan aku masuk." suara Kevin berat
dan parau, penuh hasrat, bibirnya menggoda tanpa ampun, menggelitik
sudut bibir Nessa, hingga ketika Nessa membuka mulutnya untuk memekik,
dengan lihai Kevin menelusupkan lidahnya, menjelajah masuk, berpesta
pora di sana menikmati seluruh rasa Nessa, dengan teknik ciumannya yang
begitu ahli dan tanpa ampun.
Hingga ketika lelaki itu selesai melumatnya, Nessa terbaring megap-megap dalam pelukannya.
Kevin menatap Nessa dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, membara, marah, sekaligus penuh kasih sayang.
"Nanti, ketika kau menyerahkan diri kepadaku, akan
kubuat itu menjadi malam yang tidak terlupakan olehmu." Lalu dalam
sekejap dia melepaskan pelukannya dan meninggalkan ranjang, tergesa
keluar, meninggalkan pintu berdebam di belakangnya, dan Nessa yang masih
terbaring di sana dengan perasaan campur aduk.
♥♥♥
Kevin tidak kembali ke kamar malam itu, lelaki itu
entah tidur di mana semalam, yang pasti, ketika Nessa keluar untuk
sarapan, Kevin sudah duduk di sana, bercakap-cakap dengan Delina dan Ervan.
Lelaki itu hanya menatap Nessa datar, lalu berdiri
dan menarikkan kursi disebelahnya dengan sopan. Tidak ada indikasi sama
sekali bahwa lelaki itu mengingat insiden ciuman paksanya di atas
ranjang semalam. Nessa mencoba menahan rasa panas yang menjalari pipinya
ketika melihat Kevin, mungkin bagi Kevin itu hal biasa, tetapi bagi
Nessa hal itu sangat intim, sangat baru dan membuatnya teringat terus
setiap detiknya. Tetapi, karena Kevin bersikap seolah semalam tidak
terjadi apa-apa, Nessa berusaha bersikap sama. Tidak akan dibiarkannya Kevin tahu bahwa ciumannya begitu mempengaruhi Nessa.
"Kata kak Kevin, kak Nessa bangun terlambat karena
kelelahan." Delina tersenyum, "Sayang sekali, padahal tadinya kita ingin
mengajak kak Nessa melihat matahari terbit."
106 Santhy Agatha
Nessa menatap Delina dengan pandangan menyesal, "Maafkan aku Delina, aku langsung tertidur lelap semalam, dan bangun-bangun sudah siang, mungkin aku memang benar- benar kecapekan."
"Tidak apa-apa kak Nessa, kita masih
bisa berenang di laut sekarang, kak Nessa bisa mencoba kembali berenang
sambil ditemani kak Kevin, kata Delina kak Kevin sangat jago berenang
melawan ombak."
Nessa menoleh kepada Kevin yang tersenyum menggoda, "Kau tidak bisa berenang, Nessa?"
"Kak Nessa takut air," jawab Ervan sambil mengangkat
bahu, "Dulu waktu SD kami pernah berenang di kolam renang umum. Ketika
mencoba menyelam, kaki kak Nessa kram, tetapi karena dia di dasar, tidak
ada yang tahu kalau kak Nessa mulai tenggelam, dia sudah tenggelam
beberapa lama dan mengalami serangan panik sampai kemudian salah satu
orang tua menyadari dan menyelamatkannya. Sejak itu kak Nessa tidak mau
berenang lagi."
Kevin menatap Nessa penuh perhatian, "Jadi kau akan melewatkan kegiatan menyenangkan kita untuk berenang di laut pagi ini?"
Nessa menghela napas, "Aku sangat menyesal, tetapi mungkin aku memang harus melewatkannya."
"Tidak." Kevin berseru keras kepala, "Kau akan berenang, dan kau tidak akan tenggelam, aku akan menjagamu."
"Aku tidak mau." Nessa mengernyit, meminta
pertolongan pada Delina dan Ervan, tetapi keduanya hanya mengangkat
bahu, tidak ada yang bisa membantah Kevin kalau lelaki itu memutuskan
sesuatu.
"Kau harus mau, titik." Kevin beranjak berdiri,
"Sekarang ganti baju renangmu aku menunggu di depan." ketika Kevin
melangkah pergi, Nessa menatap punggungnya sambil mengucapkan berbagai
macam cacian yang bisa diingatnya. Dasar lelaki arogan yang keras
kepala!
♥♥♥
Perjanjian Hati 107
"Ayo."
Kevin menggenggam lengannya setengah memaksa, "Aku akan menjagamu."
Kevin sudah berhasil memaksa Nessa ke tengah laut,
masih ditepian tetapi sudah lumayan dalam, dengan ombak bermain di
pinggang mereka, membuat kaki Nessa kadang- kadang terasa melayang-layang.
Nessa mengikuti Kevin setengah terpaksa, "Kau memang suka memaksakan kehendakmu ya, kuharap kau puas."
Kevin tertawa, tidak menutupi rasa puasnya, "Ya aku
puas. Lagipula sekarang kau sadar bukan, ketakutanmu hanya ilusi. Kau
bisa berenang dan air tidak akan mengalahkanmu."
"Tidak kalau kau kram dalam kedalaman air lima meter
dan tidak ada orang yang menyadari bahwa kau tenggelam." Nessa meringis
ketika kenangan yang membuatnya sesak napas itu tergambar kembali di
otaknya, membuatnya gemetar.
Kevin menyadari itu, dia menggenggam lengan Nessa lembut, "Aku menjagamu. Jangan takut."
Entah kenapa kata-kata Kevin itu
terdengar tulus, membuat Nessa hampir saja memaafkan kelakuan Kevin di
insiden semalam ketika lelaki itu menciumnya dengan paksa.
"Kevin!"
Suara itu familiar sekaligus membawa kenangan buruk
bagi Nessa. Dia langsung menoleh dengan waspada, dan mendapati mimpi
buruknya benar-benar terjadi, kenapa pula Paula ada di pantai pribadi ini?
Ervan dan Delina tadi memutuskan keluar untuk berjalan-jalan dan membeli es krim, dan sekarang Nessa harus sendirian menghadapi perempuan yang merayu Kevin tanpa malu-malu dan tidak mempedulikan kehadirannya.
"Boleh aku ikut bergabung bersama kalian?" Paula
melepas handuk yang melilit pinggangnya dan melemparnya ke pasir, lalu
mulai masuk ke air laut yang hangat, perempuan itu tersenyum manis
sambil menatap Nessa, senyuman palsu yang penuh ejekan, "Oh, hai Nessa,
kau ada di sini juga? kemarin aku
108 Santhy Agatha
memutuskan menyusul kalian ke sini, untung aku masih
mendapat cottage di sebelah cottage kalian, jadi Kevin bisa dekat kalau
memutuskan mampir malam-malam." diliriknya Kevin dengan tatapan menggoda, "Iya kan sayang?"
Kevin tidak menjawab, hanya terkekeh geli, lalu
mengarahkan Nessa untuk mencoba berenang ke tepian yang lebih dalam,
"Ayo Nessa, berenanglah, aku akan berjaga di sebelahmu."
Darah Nessa naik ke kepala. Kevin tampak tidak kaget melihat Paula menyusul kesini. Jangan-jangan semua yang dikatakannya bohong, jangan-jangan
Kevin sering mengajak Paula ke sini untuk bermalam, melihat Paula
begitu luwes dan tampak terbiasa memasuki bagian pantai pribadi di
cottage yang selalu di sewa Kevin kalau mereka kemari. Dan semalam,
Kevin tidak pulang ke kamarnya, apakah jangan-jangan lelaki itu menginap di tempat Paula?
Suara Nessa bergetar ketika dia menghentakkan tangan Kevin dengan kasar, "Jangan dekat-dekat! Aku bisa sendiri!" serunya kasar.
Kevin berdiri di sana, menatap Nessa yang memalingkan
muka tak mau menatapnya, "Kenapa Nessa? Kau tampak marah, apakah karena
Paula menyusul kemari? Jangan pedulikan dia, dia memang suka
mengikutiku kemanapun mengingat dia sangat terobsesi padaku," gumam
Kevin pelan, mengedikkan bahunya ke arah Paula yang sudah mulai berenang
ke tengah dengan elegan, melambaikan tangannya dan mengajak Kevin
bergabung bersamanya.
"Aku tidak peduli kalau kau mau menghabiskan waktu
dengan simpananmu. Tetapi sungguh suatu penghinaan kalau kau mengajaknya
ke sini, saat kau sedang bersamaku!"
"Aku tidak pernah mengajaknya ke sini, dia sendiri
yang bilang tadi menyusul kita kemari, dia menginap di cottage sebelah,
lalu kau pikir aku harus berbuat apa? mengusirnya?"
Kau bisa mengusirnya dari pantai ini! Nessa
menjerit dalam hati, ingin rasanya dia memukuli dada Kevin dengan
marah. Tetapi itu tidak dilakukannya, dia menahan dirinya
Perjanjian Hati 109
sekuat tenaga, menghembuskan napasnya panjang-panjang. Rasa sakit itu mulai menyeruak ke dadanya, rasa sakit yang sama, rasa sakit yang menakutkan.
"Aku sangat membencimu. Pernikahan ini seperti neraka
untukku!" Nessa menggeram marah, meninggalkan Kevin yang tertegun
mendengar perkataannya, lalu dengan nekat masuk ke air menyelam ke dalam
lautan, dan berenang ke tengah, menjauhi Kevin.
Semula biasa saja, Nessa merasakan berenang di laut
ternyata sangat menyenangkan, berbeda ketika berenang di kolam renang.
Disini dia harus bisa menyesuaikan diri dengan hempasan ombak yang
membawa tubuhnya mengikutinya.
Sejenak Nessa menikmatinya, senang ketika dia bisa
menjauh dari pasangan tak tahu malu itu, Kevin dan Paula yang mungkin
sedang bercengkerama di sana, dia berenang makin jauh, dan jauh...
Sampai kemudian dia merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit menyengat di
kakinya yang mulai terasa kaku.
Kakinya kram lagi!
Dengan panik Nessa berusaha menjejak, menyadari dia
sudah berada jauh di tengah sehingga pasir sudah tidak bisa digapai oleh
kakinya. Nessa mulai tenggelam dengan sebelah kaki kram dan sakit
setengah mati. Tidak bisa berteriak.
Kevin!
Teriaknya panik dalam hati sebelum kegelapan menelannya.
110 Santhy Agatha
“Kadangkala cinta yang kau nanti, sudah ada dalam genggaman tanganmu. Hanya saja kau belum menyadarinya.”
9
Nessa merasakan napasnya sesak ketika air laut mulai menenggelamkannya, asin yang panas memasuki tubuhnya, membuatnya megap-megap mencoba meminta pertolongan untuk terakhir kalinya, lalu semuanya hampir terasa gelap.
Lalu lengan kuat itu mengangkatnya, menempelkan tubuh
lemasnya ke dada telanjangnya yang keras. Aroma itu… Aroma parfum yang
sangat dikenalnya... Kevin? Nessa tersenyum dalam hati, menyadari Kevin
telah menyelamatkannya. Lalu kesadarannya hilang.
♥♥♥
Ketika terbangun, Nessa ada di rumah sakit. Yang
dirasakan pertama kali adalah pusing dan kehilangan orientasi, lalu dia
mengenali wajah itu, ibunya dan Ervan di belakangnya. Yang duduk di tepi
ranjangnya dan menatapnya dengan cemas.
Dia terbangun dan langsung terbatuk-batuk, membersihkan tenggorokannya yang terasa panas, Ibu Nessa berusaha menepuk-nepuk pundak Nessa untuk membantunya, sementara Ervan berlari keluar untuk memanggil dokter.
Nessa menatap sekeliling ketika kesadarannya sudah
kembali, dimana Kevin? Itu yang terpikir olehnya pertama kali. Bukankah
waktu itu Kevin yang menyelamatkannya? Kenapa sekarang dia tidak ada? Tiba-tiba sebersit rasa kecewa memenuhi dirinya.
Ervan masuk kembali dengan dokter dan Delina yang
mengikuti dengan cemas di belakangnya. Dokter memeriksa Nessa sejenak
lalu pergi dan tampak becakap-cakap dengan ibu Nessa dan Ervan, sementara Delina duduk di tepi ranjang.
Perjanjian Hati 111
"Syukurlah kak Nessa, kakak sudah sadar, kami cemas
sekali menanti di sini." Delina duduk di pinggiran ranjang dan
menggenggam tangan Nessa.
Nessa tetap memandang ke sekeliling, masih susah berbicara. Dimana Kevin? pikirnya.
Delina sepertinya menyadari apa yang ada di benak Nessa, dia tersenyum.
"Kak Kevin sedang membeli kopi di bawah. Kami yang
memaksanya supaya menyingkir karena seharian dia seperti orang gila,
mondar mandir di koridor, keluar masuk kamar, menunggumu sadar."
Kevin mencemaskannya sampai seperti itu? benarkah? Sejenak dada Nessa membuncah oleh perasaan hangat.
Lalu dia teringat akan kejadian sebelum dia tenggelam, kedatangan Paula, sikap acuh tak acuh Kevin ketika Paula terang-terangan menggodanya, dan kemudian kemarahan Nessa yang kekanak-kanakan.
Astaga, kenapa dia marah? Kalau dia tidak mempunyai
perasaan terhadap Kevin, dia tidak perlu semarah itu. Omong kosong kalau
Paula memang tidak menghargai keberadaannya, seharusnya hal itu tidak
akan mengganggunya kalau dia tidak mempunyai perasaan apa-apa kepada Kevin.
Pipi Nessa memerah malu menyadari betapa kekanak-
kanakan sikapnya sebelum tenggelam, Kevin pasti menertawakannya, karena
dia seolah menunjukkan kalau dia cemburu berat kepada Paula.
"Kak Kevin tampak sangat menyesal karena kak Nessa
sampai tenggelam." Delina menyambung, tidak menyadari perubahan ekspresi
Nessa.
Lalu pintu terbuka dan Kevin masuk, lelaki itu langsung menghampiri Dokter dan bercakap-cakap
dengannya, dan setelah dokter pergi, langsung melangkah mendekati
ranjang. Delina, yang melihat ibu Nessa serta Ervan melangkah keluar,
langsung ikut berpamitan keluar dulu, memberi kesempatan kepada Kevin
berduaan dengan Nessa.
112 Santhy Agatha
Lelaki itu tampak letih. Nessa menyimpulkan. Apakah karena dirinya?
"Bagaimana perasaanmu?" Kevin menarik kursi mendekat dan duduk di samping ranjang, mengamati Nessa dengan cermat.
"Aku baik." jawab Nessa pelan, suaranya masih serak dan tenggorokannya masih sakit. Tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja.
"Maafkan aku," suara Kevin berbisik, "Aku memaksamu berenang. Pada akhirnya aku tidak menjagamu."
Karena aku yang lari darimu, karena aku cemburu dan kekanak-kanakan. Nessa mendesah dalam hati, tetapi kata-kata
itu tidak bisa keluar dari bibirnya. Dia hanya menggeleng lemah. Kevin
tersenyum tipis sambil menatap Nessa, lalu menghela napas.
"Aku… Kau bilang pernikahan ini seperti di neraka."
mata Kevin tampak muram, "Aku tidak menyadari kalau kau begitu tersiksa
dengan pernikahan ini. Karena aku… Karena aku sendiri mungkin bisa
dikatakan menikmatinya." lelaki itu mendesah, lalu seolah tidak tahan
duduk lama disitu dia berdiri dan memasukkan tangan ke saku celananya,
"Nanti setelah kau sembuh, kita bicarakan perihal perceraian. Aku akan
memikirkan cara terbaik untuk menjelaskan kepada semuanya. Memang tidak
adil menahanmu ke dalam pernikahan sandiwara ini."
Kevin mendekat ke tepi ranjang, lalu membungkuk dan tanpa dinyana, mengecup dahi Nessa dengan lembut.
"Cepat sembuh ya." bisiknya pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan Nessa yang tertegun tanpa mampu berkata-kata. Perasaannya berkecamuk, dan dia bingung harus bagaimana.
♥♥♥
Perceraian.
Nessa memejamkan matanya. Bukankah itu jalan keluar
yang terbaik dari pernikahan sandiwara ini? Dari awal mereka menikah
untuk mencegah perjodohan yang dilakukan mama
Perjanjian Hati 113
Kevin untuk Kevin dan Delina, demi kebahagiaan adik-adik mereka. Dan memang benar, setelah mama Kevin meninggal, tidak ada yang perlu dipertahankan dari pernikahan ini.
Tetapi meskipun ini adalah jalan keluar yang terbaik,
entah kenapa Nessa merasa ini tidak benar. Hatinya memberontak ketika
mendengar kata perceraian, dan itu karena alasan yang tidak dia tahu. Kenapa? Kenapa
dia tidak menginginkan perceraian? Apakah itu karena dia merasa nyaman
menjadi isteri Kevin, dan ingin terus menjadi isterinya. Apakah
sebenarnya... Tanpa disadarinya, dia telah jatuh cinta kepada lelaki
itu?
Nessa memejamkan matanya ketika gemuruh perasaannya
membuat kepalanya terasa pening. Jatuh cintakah dia kepada Kevin? Nessa
tidak berpengalaman dalam hal jatuh cinta. Dia hanya pernah satu kali
menyerahkan hatinya kepada laki-laki. Kepada Marcell, dan itupun dia telah dilukai sedemikian rupa.
Perasaannya sekarang kepada Kevin berbeda, bukan perasaan berbunga-bunga, jantung berdegup kencang ataupun terasa melayang-layang
ketika membayangkan Marcell seperti dulu. Perasaannya kepada Kevin ini
tumbuh dengan pelan seiring berjalannya waktu. Muncul ketika menyadari
betapa sayangnya Kevin kepada adik dan mamanya, muncul ketika dia
merengkuh Kevin yang rapuh menangis dalam pelukannya, muncul dari
kebersamaan mereka ketika Kevin tanpa ragu menopangnya ketika dia butuh
dorongan, muncul di setiap detiknya bersama laki-laki itu. Dan mungkin inilah cinta, karena dia merasakan cemburu luar biasa atas kehadiran Paula.
Oh astaga. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada
Kevin.
Tapi bagaimana sekarang? Karena dorongan cemburu yang kekanak-kanakan, dia telah mengatakan kepada Kevin bahwa pernikahannya seperti di neraka. Padahal sesungguhnya, dia bahagia. Dia bahagia.
Haruskah dia mengungkapkan semuanya kepada Kevin?
Tapi perasaan Kevin kepadanya sangat misterius. Lelaki itu mengatakan
bahwa dia menikmati pernikahan mereka. Tidak
114 Santhy Agatha
lebih. Belum lagi kejadian malam itu, yang menunjukkan bahwa ketertarikan Kevin kepadanya hanya sekedar nafsu.
Ataukah jangan-jangan... Kevin memang
menginginkan perceraian ini? Karena ada Paula? Karena dia merindukan
kebebasannya bercinta dengan semua perempuan tanpa harus dibebani
tanggung jawab kepada seorang isteri?
Benak Nessa dipenuhi berbagai pikiran, membuat dadanya semakin sesak.
♥♥♥
Pagi itu Nessa pulang dari rumah sakit, Kevin yang menjemputnya di-jam makan siang, masih mengenakan jas kerja yang membuatnya tampak elegan dan begitu tampan. Mereka diam dalam perjalanan pulang.
Mereka masuk ke kamar dan Nessa duduk di pinggiran ranjang, menatap Kevin yang meletakkan tas-tas berisi pakaian Nessa ke depan meja rias.
"Kau tidak berangkat kerja lagi?"
Kevin menoleh dan tersenyum, "Tidak, aku tidak kembali lagi. Aku pikir mungkin kau perlu ditemani hari ini."
Nessa mendesah, "Tidak apa-apa, aku bisa istirahat dan tidur seharian."
"Aku sudah memintakan izin ke TK tempatmu mengajar,"
Kevin termenung, "Kau akan bosan kalau berbaring seharian disini tanpa
teman, jadi aku akan menemanimu. Delina masih kuliah sampai sore, dan
aku juga sudah meminta ibu untuk sementara tinggal di sini menemanimu
besok kalau aku bekerja dan rumah kosong sementara kau masih harus
istirahat di rumah, beliau baru bisa menginap disini nanti malam, aku
sudah menyuruh supir menjemput beliau."
"Terima kasih Kevin." bisik Nessa dengan tulus.
Kevin tersenyum, lalu duduk di sofa di sudut kamar, menatap Nessa dengan miris.
"Kita harus mulai mempersiapkan bagaimana menjelaskan kepada mereka semua kalau kita akan berpisah."
Perjanjian Hati 115
Kenapa kau tampak sangat ingin segera berpisah denganku?
Hati Nessa dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya pedih, tetapi dia tidak mampu mengutarakannya.
"Mungkin kita harus mengutarakan yang sebenarnya kepada mereka," gumam Nessa akhirnya.
Kevin tersenyum, "Delina akan mengamuk kepadaku. Dia pasti berpikir aku sudah menodaimu, mengingat reputasiku selama ini."
"Aku akan menjelaskan kepadanya," Nessa tersenyum, "Bahwa kau berlaku bagai malaikat terhadapku setiap malam."
"Malaikat?" Kevin menatap Nessa dengan pandangan
misteriusnya lagi, seakan ingin berkata sesuatu tetapi tertahankan, "Aku
sebenarnya tidak ingin perceraian ini terjadi, apalagi dalam waktu-waktu dekat."
Jantung Nessa berdegup, merasakan harapan tumbuh di
dalam dirinya. Kevin tidak menginginkan perpisahan dengannya? Apakah itu
karena Kevin ingin bersamanya? Kevin...mencintainya?"
"Kenapa?" suara Nessa serak oleh antisipasi.
"Kalau kita bercerai kau akan menyandang janda di usia muda, diceraikan hanya dalam beberapa bulan pernikahan...
Aku laki-laki, beban sosialku tidak akan
seberat dirimu," Kevin mendesah, "Aku mencemaskanmu. Itulah alasanku
menunda- nunda perihal pernikahan ini."
Tetapi kau tidak mencintaiku. Nessa mendesah lagi
dalam hati. Seandainya kau bilang kau tidak menginginkan perpisahan
karena kau mencintaiku, aku akan mengaku kalau aku mencintaimu...
"Aku tidak apa-apa. Aku sudah lelah dengan sandiwara ini." Nessa mendesah, akhirnya.
"Kenapa kau begitu ingin perceraian?" Kevin menatapnya lurus-lurus, "Apakah kau tidak bahagia?"
116 Santhy Agatha
Bukankah kau yang menginginkan perceraian? Nessa menjerit dalam hati. Tetapi lalu memalingkan muka, bingung harus menjawab apa.
"Aku minta maaf kalau sudah membuat hidupmu bagai di
neraka. Sungguh aku tidak berencana menyiksamu seperti itu. Kau mungkin
ingin bebas dan menemukan cinta sejatimu di luar sana, dan itu tidak
akan terjadi kalau kau masih terikat sebagai isteriku." Kevin mendesah,
"Aku tidak berhak menghalangi kebahagiaanmu."
Nessa memejamkan matanya, tak sanggup lagi mendengar.
"Kau tidak apa-apa?" Kevin tampak cemas melihat Nessa memejamkan matanya sambil mengerutkan dahi.
"Aku hanya sedikit pusing." jawab Nessa pelan. Pusing dan patah hati, pastinya.
Kevin mengangkat bahunya dan beranjak pergi.
"Yah… Istirahatlah, kita bicarakan nanti kalau kondisimu sudah lebih baik. Kalau kau butuh apa-apa, aku ada di ruang kerjaku." lelaki itu beranjak dan meninggalkan ruangan.
♥♥♥
Ibunya datang di sore harinya, seperti yang dikatakan
oleh Kevin. Sang ibu mengurusnya dengan baik, membantunya mandi dan
menyuapinya, lalu duduk di pinggir ranjang dan menatapnya prihatin.
“Bagaimana kondisimu, sayang?”
Nessa tersenyum, “Aku baik-baik saja
ibu.” Dia menghela napas dengan sedih. Memikirkan ke depannya.
Bagaimanakah perasaan ibunya kalau tahu bahwa Nessa dan Kevin akan
bercerai? Ibunya pasti sedih luar biasa, belum lagi kalau ibunya
mengetahui bahwa pernikahan ini hanyalah sandiwara semata. Nessa
meringis, tiba-tiba merasa takut akan masa depan yang akan dihadapinya.
Sang ibu rupanya menyadari perubahan ekspresi Nessa, dia menatap anaknya dengan cemas.
“Kenapa sayang? Kau tampak kesakitan.”
Perjanjian Hati 117
Nessa langsung mencoba tersenyum kepada ibunya,
“Tidak apa-apa ibu, aku… Aku sedikit pusing.”
“Berbaringlah.” ibunya mendorongnya berbaring dan
menyelimutinya, “Tak kusangka kau akan mengalami hal yang sama seperti
dulu, hampir tenggelam karena kakimu kram. Tetapi untunglah Kevin sigap
menolongmu sehingga kau tidak celaka.”
“Kevin juga yang membuatku mencoba berenang.” Nessa cemberut mengingat pemaksaan Kevin waktu itu.
“Tetapi dia sangat menyesal. Kau tidak tahu betapa
paniknya dia ketika kau belum sadar. Dia terus menerus menggenggam
tanganmu, terus menerus merapalkan kata maaf bagaikan mantra.” ibunya
tersenyum lembut, “Ibu senang dengan pernikahanmu ini nak, kau tampak
bahagia dan Kevin sangat bertanggung jawab dan mencintaimu. Pernikahan
ini tampaknya benar-benar menjadi lembaran baru untukmu,
membuatmu melupakan masa lalu. Bahkan Ervan cerita bahwa kau datang ke
pernikahan Marcell dengan tegar, didampingi oleh Kevin.”
Nessa memalingkan muka. Tak tega membayangkan perasaan ibunya nanti kalau mengetahui semuanya, “Iya ibu,
Kevin mengantarku datang ke pesta pernikahan Marcell
dan menghadapi semuanya, menghadapinya, menghadapi isterinya,
menghadapi mamanya dan keluarganya.”
“Dan sekarang bagaimana perasaanmu mengenai itu?”
Nessa tersenyum lembut, “Lega ibu. Ternyata aku sudah benar-benar melepaskan Marcell.”
“Tentu saja.” sang ibu tertawa, “Kau kan sudah
bersuami, dan suamimu seratus kali lebih baik daripada Marcell.” gumam
ibunya menggoda.
Nessa ingin menanggapi candaan ibunya itu dengan senyum, tetapi yang berhasil dikeluarkannya hanyalah seringai kecut.
“Untunglah insiden kemarin terjadi ketika kau dalam kondisi belum mengandung.” ibunya mengalihkan topik
118 Santhy Agatha
pembicaraan, “Kalau kau mengandung nanti, kau harus berhati- hati.”
“Mengandung?” Nessa menelan ludah dengan susah
payah.
“Ya. Setiap pasangan yang bahagia pasti ingin segera
mempunyai bayi. Lagipula ibu sudah tidak sabar menimang cucu.” gumam
ibunya ringan. Tidak menyadari perasaan yang berkecamuk di dada Nessa.
Bagaimana mungkin dia bisa mengandung? Mereka tidak pernah melakukan hubungan suami-isteri. Lagipula, sebentar lagi mereka akan bercerai bukan? Dada Nessa sakit membayangkan betapa kecewanya ibunya.
♥♥♥
“Bagaimana keadaanmu?”
Kevin datang larut malam setelahnya, sepertinya lelaki itu datang malam-malam, sengaja menunggu setelah Nessa tertidur, dan agak terkejut ketika melihat Nessa masih terbangun dan membaca.
“Aku baik-baik saja.” Nessa menurunkan
bukunya, dan menatap Kevin dengan pedih, “Bagaimana kita akan
menjelaskan semuanya kepada ibuku? Kepada Ervan dan
Delina?”
“Kita akan mencari cara.” dengan canggung, Kevin naik
ke atas ranjang, dan duduk di sebelah Nessa, bersandar pada kepala
ranjang, “Bagaimanapun juga saat ini akan tiba. Kita membuat perjanjian
pernikahan ini dengan sadar, dan sekarang kita harus menghadapi
konsekuensinya.”
Nessa menghela napas panjang, tiba-tiba
buku yang dipegangnya terasa tidak menarik lagi. Diletakkannya buku itu
dan lalu berbaring. Kevin menyusulnya kemudian. Lama mereka berbaring di
kegelapan, dengan mata nyalang dan pikiran yang berkecamuk di benak masing-masing.
♥♥♥
Ketika keadaanya membaik dan sudah diperbolehkan masuk kerja, Nessa langsung mengunjungi Garden Cafe itu
Perjanjian Hati 119
sepulangnya kerja di sore hari, dia sangat merindukan cokelat panas yang bisa menenangkan hatinya.
Seperti biasa, Albert pulalah yang mengantarkan
minumannya. Lelaki itu hampir selalu ada di cafe ini. Cafe ini adalah
rumahnya, katanya. Dia tinggal di lantai dua cafe ini seorang diri
karena kehilangan isteri dan anaknya dalam sebuah kecelakaan. Sejak itu
dia menjadi pengurus cafe ini karena kebetulan pemilik cafe ini
mengenalnya sejak dulu, dan menyibukkan diri menjadi pelayan cafe ini.
“Lama sekali kau tidak muncul Nessa, aku sampai berpikir kalau kau mulai bosan dengan cokelat panas kami.”
Nessa tertawa, menerima cangkir yang berisi cokelat
yang masih mengepul itu dengan tangannya, “Aku tidak pernah bosan
kemari. Cokelat di sini paling enak di dunia.” jawabnya, membuat Albert
terkekeh.
“Bagaimana dengan pernikahanmu? Aku harap kau sudah menyelesaikan segala permasalahan di sana.”
Ekspresi Nessa langsung berubah sedih, “Semua tidak
berjalan seperti yang semestinya, Albert... Mungkin keputusan akhirnya
adalah kami akan berpisah.”
“Apa?” Albert setengah berseru, menatap Nessa dengan
serius, “Kau akan berpisah dengan Kevin? Apakah kau serius? Kalian
sepertinya pasangan yang sangat cocok.”
Mereka memang beberapa kali makan malam di cafe ini
kalau Kevin kebetulan ada waktu dan menjemputnya sepulang kerja. Dan
tentu saja di depan umum, mereka berpura-pura seperti pasangan bahagia yang mesra. Mungkin hal itu juga yang ditangkap Albert selama ini.
Nessa tersenyum sedih, “Hubungan kami sangat rumit
Albert, saking rumitnya sampai kami tidak bisa menemukan jalan keluar untuk saling bertemu.”
Albert menatap Nessa menyelidik, “Apakah ada orang ketiga di antara kalian?”
Bayangan Paula langsung terlintas di benak Nessa.
Membuat rasa nyeri itu kembali menyerang dadanya. Paula yang begitu
cantik dan menggoda. Nessa tidak ada apa-apanya
120 Santhy Agatha
jika dibandingkan dengan Paula. Dan meskipun Kevin mengatakan tidak ada apa-apa antara dirinya dengan Paula, bahwa hubungan mereka sudah berakhir sejak lama, tetap saja Nessa merasa ragu.
“Ada seorang perempuan dari masa lalu. Dia sangat cantik,” Nessa tercenung.
“Apakah Kevin berselingkuh darimu?”
“Tidak.” Nessa membantah cepat, “Kevin tidak
berselingkuh, tetapi perempuan itu tidak berhenti mengejarnya dan aku
takut... Aku takut…” Nessa menelan ludahnya, “Aku takut pada akhirnya
Kevin akan tergoda.”
Albert terkekeh, “Itu berarti kau cemburu dan jika
kau cemburu berarti ada cinta di dalamnya.” suara Albert berubah serius,
“Apakah kau mencintai suamimu, Nessa?”
Nessa tertegun lama mendengar pertanyaan Albert.
Apakah dia mencintai Kevin? Kevin yang begitu kuat sekaligus rapuh?
Kevin yang penuh kasih sayang dan siap menopangnya ketika dia
membutuhkan?
Nessa memejamkan matanya, “Ya Albert. Aku mencintai suamiku. Sangat.”
Albert tersenyum, “Kalau begitu perjuangkanlah pernikahanmu. Kau tahu kata-kataku
tentang cokelat dan pernikahan? Bahwa kepahitan cokelat bisa menjadi
nikmat dengan takaran gula dan susu yang pas? Dalam pernikahan, cintalah
bumbu penyedap itu. Selama kau masih punya cinta, kau masih punya
kesempatan untuk memaniskan pernikahanmu.” Albert menepuk pundak Nessa
lembut sebelum melangkah pergi, “Berjuanglah, jangan menyerah begitu
saja.” gumamnya.
♥♥♥
Ketika Nessa pulang malam itu, Suasana rumah sunyi senyap, dengan pelan dia menaiki tangga dan menuju kamarnya.
Jas Kevin tampak tersampir di kursi di kamar itu,
menunjukkan kalau lelaki itu sudah pulang dan berada di suatu tempat di
rumah ini. Nessa teringat perkataan Albert tentang mempertahankan
pernikahan.
Perjanjian Hati 121
Dia memang punya cinta untuk pernikahan ini. Tetapi apakah Kevin juga mempunyainya?
Nessa menghela napas panjang, dia tidak akan tahu
kalau dia tidak menanyakannya. Setidaknya kalau ternyata cinta Nessa
bertepuk sebelah tangan, dia tidak meninggalkan pernikahan ini dengan
perasaan bertanya-tanya.
Rumah tampak lengang, tidak ada siapapun di sana.
Para pelayan mungkin sedang sibuk di dapur. Dan Kevin...mungkin ada di
ruangan kerjanya.
Nessa melangkah menuruni tangga dengan pelan,
kemudian tertegun ketika berada di ruang tamu dan menatap ke luar
jendela. Ada mobil warna kuning cerah yang diparkir di halaman. Apakah
Kevin sedang menerima tamu?
Nessa melangkah penuh ingin tahu ke ruang kerja Kevin, terdengar suara percakapan samar-samar
di sana. Pintu ruang kerja tidak tertutup sepenuhnya sehingga suara di
dalam masih bisa keluar. Itu suara perempuan... Suara Paula!
Oh Ya ampun! Bahkan perempuan itu masih mengejar
kemari, di rumah Kevin. Bertamu pada malam hari pula, dengan kemungkinan
Nessa sudah ada di rumah.Sungguh keterlaluan!
Tetapi kemudian, percakapan yang terdengar olehnya membuatnya tertegun.
♥♥♥
"Apakah tujuanmu pada akhirnya tercapai?" itu suara Paula dengan ciri khas genit dan bercampur logat kebarat- baratannya.
"Tidak. Belum. Dan aku masih membutuhkan bantuanmu." itu suara Kevin, terdengar tegas dan dingin.
"Ah, Kevin yang keras hati ternyata masih membutuhkan
bantuanku." Paula terdengar terkekeh geli, lalu suaranya merendah
sensual, "Seperti malam itu, ketika kau menyusuhku menyusul ke cottage
tempatmu berada, tepat setelah kau bertengkar dengan Nessa... Ternyata
aku masih berguna juga untuk menyenangkanmu."
122 Santhy Agatha
Kevin yang menyuruh Paula menyusul ke cottage itu? Jadi bukan Paula yang menyusul dengan inisiatifnya sendiri karena obsesinya terhadap Kevin?
Wajah Nessa memucat. Astaga, betapa keterlaluannya
Kevin. Pada satu titik dia merayu Nessa karena terdorong nafsu di atas
ranjang dan ketika Nessa menolaknya, dengan mudahnya Kevin memanggil
perempuan lain untuk memuaskan nafsunya!
Nessa mungkin telah salah menilai Kevin, lelaki ini bermoral bejat, dia tidak seharusnya mencintai Kevin!
"Nessa?" suara Kevin membuat Nessa yang berdiri terpaku di pintu terlonjak dari lamunannya, "Sudah sejak kapan kau ada di situ?"
Suara Nessa bergetar karena emosi, "Sudah sejak aku
mendengar betapa tidak bermoralnya dirimu!" Ditatapnya Kevin yang
terpaku dengan tatapan cemas dan Paula yang memandangnya dengan senyuman
aneh berganti-ganti, "Aku menginginkan perceraian.
Segera." air mata mulai membuat matanya terasa panas. Tidak! Kevin tidak
boleh melihatnya menangis!
Dengan segera, dia membalikkan badan, hendak
meninggalkan tempat itu. Tetapi Kevin bergerak cepat dan meraih
tangannya, menahannya dengan keras.
"Tunggu dulu!" serunya marah, "Kau salah paham! Biar aku jelaskan."
"Menjelaskan apa?" Kali ini Nessa tidak bisa menahan
air matanya, "Aku mendengar sendiri, ternyata kau yang menyuruh Paula
menyusulmu ke pantai itu. Bukan Paula yang mengejarmu! Aku jijik
kepadamu Kevin! Aku tidak menyangka kau tidak bisa menahan nafsumu,
padahal status kita masih suami isteri. Setidaknya kau harus
menghormatiku, meskipun pernikahan ini hanya sandiwara!" Nessa berteriak
tidak peduli ada Paula di sana, mendengar semuanya. Toh pernikahan ini akan berakhir bukan?
"Kau salah paham! Aku tidak menyuruh Paula menyusul untuk menidurinya!" Kevin berseru setengah emosi, "Aku
Perjanjian Hati 123
menyuruhnya untuk membantuku! Untuk membuatmu cemburu!"
Apa? Nessa tertegun. Pernyataan terakhir Kevin…
Apakah dia tidak salah dengar? Kevin meminta Paula membantu membuatnya
cemburu? Kenapa Kevin melakukannya? Ditatapnya Paula yang melihat
pertengkaran mereka sambil mengangkat alis dan senyum menghiasi bibirnya
yang berlipstick merah menyala itu.
"Wah… Wah, sepertinya ini pertengkaran pribadi suami
isteri, dan aku tidak berhak ikut campur." Paula meraih tasnya yang
tergeletak di meja, "Seharusnya kau berbangga hati Nessa, seorang Kevin,
yang tidak pernah peduli pada seorang perempuan, sampai memohon
bantuanku, hanya untuk membuatmu cemburu." Paula mengedipkan sebelah
matanya sebelum melangkah pergi, "Dulu aku dan Kevin memang kekasih,
tetapi sekarang tidak lagi. Kami hanya bersahabat, aku sudah menikah
secara rahasia dengan kekasih sejatiku, bahkan Kevin yang menjadi saksi
pernikahan kami. Aku berutang kepada Kevin, karena itulah aku setuju
untuk membantunya."
Paula lalu melempar senyum kepada Kevin, "Sepertinya
sampai di sini aku bisa membantumu, Kevin sayang. Semoga kau bisa
membereskan masalah rumah tanggamu dengan baik dan berujung bahagia."
lalu perempuan itu melangkah pergi meninggalkan ruangan.
♥♥♥
Nessa tertegun, menatap kepergian Paula, lalu
berbalik menatap Kevin dengan marah, dihempaskannya tangan Kevin yang
masih menahan tangannya, kali ini Kevin menyerah dan melepaskannya.
Mereka berdiri berhadap-hadapan di depan ruang kerja Kevin.
"Apa maksud semua ini?"
Kevin mengacak rambutnya frustrasi, lalu melangkah memasuki ruangan kerjanya, "Duduklah, dan aku akan menjelaskan semuanya."
Tanpa suara Nessa mengikuti Kevin dan duduk di sofa ruang kerja itu, di depan Kevin.
124 Santhy Agatha
"Jelaskan padaku." gumam Nessa dengan suara bergetar ketika Kevin tetap tidak bersuara.
Lelaki itu memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafasnya.
"Seperti yang kau bilang tadi, aku meminta bantuan Paula untuk membuatmu cemburu."
"Kenapa?" sela Nessa cepat.
Kevin menatap Nessa dengan tajam, "Karena aku ingin kau cemburu kepadaku."
"Lalu apa tujuanmu? Apakah untuk memuaskan ego
lelakimu ketika isterimu cemburu kepadamu?" gumam Nessa jengkel. Sialan!
Semua ini direncanakan dan dia terpancing dengan mudahnya. Mungkin
Kevin dan Paula menertawakan sikapnya diam-diam di belakangnya. Pemikiran itu membuat hatinya terasa sakit.
"Bukan, astaga Nessa, kenapa kau selalu berpikiran
buruk kepadaku?" gumam Kevin marah, "Aku ingin kau cemburu kepadaku
karena aku mencintaimu."
Kali ini Nessa benar-benar ternganga, itu tadi… Apakah itu pengakuan cinta Kevin kepadanya?
Kevin melirik Nessa yang terpaku, lalu tersenyum kecut.
"Yah, semua karena aku mencintaimu, mau dibilang
bagaimana lagi. Kau mungkin tidak percaya. Tetapi aku sudah menyimpan
perasaan kepadamu sejak di pesta itu, ketika aku melihatmu pertama kali,
berdiri dengan cantiknya di sana sendirian. Lalu dengan angkuhnya
menolak rayuanku. Aku menyelidiki masa lalumu lebih karena aku ingin
tahu tentangmu, bukan karena kau adalah kakak Ervan. Dan aku semakin
mencintaimu ketika tahu kisahmu, masa lalumu bersama Marcell,
segalanya..." Kevin mendesah frustrasi, "Kau mungkin tidak akan percaya,
tetapi bahkan aku menawarkan perjanjian sandiwara gila itu lebih karena
aku terdorong oleh perasaanku, daripada akal sehatku. "
Ketika Nessa tetap tidak berkata-kata, Kevin melanjutkan.
Perjanjian Hati 125
"Seiring berjalannya waktu perasaanku semakin dalam.
Pernikahan ini adalah saat paling membahagiakan dalam hidupku. Ketika
aku bangun di pagi hari dan menyadari kau sedang bergelung mencari
kehangatan di tubuhku, ketika aku bergegas pulang dari kantor karena
tidak sabar bertemu denganmu. Ketika aku menatapmu dan bergumam dalam
hati, memanggilmu sebagai isteriku. Aku merasa terlalu bahagia, sehingga
menyimpan harapan konyol bahwa pernikahan ini akan berlangsung
selamanya."
Kevin menatap Nessa lekat-lekat, matanya
tampak sedih, "Tetapi aku tidak bisa membacamu. Aku tidak bisa menebak
perasaanmu, karena itulah aku meminta Paula membantuku, untuk melihat
apakah kau cemburu kepadaku." Kevin mendesah, "Cara kau memarahi Paula
di makam itu membuatku bahagia luar biasa, kau dengan gigih
mempertahankanku. Karena itulah malam itu aku berharap lebih, terlalu
percaya diri, aku memutuskan untuk merayumu..." Kevin mengerjapkan
matanya, "Tetapi kau tahu hasilnya seperti apa bukan? Bukannya merayumu,
aku malah menunjukkan kepadamu bahwa aku hanyalah bajingan yang
menyimpan nafsu tak bermoral kepadamu."
Nessa menggelengkan kepalanya, tetapi tak bisa berkata-kata.
"Malam itu aku begitu marah," gumam Kevin, "Aku ingin
membuatmu menunjukkan kalau kau juga menyimpan perasaan yang sama
kepadaku. Dalam kemarahanku aku menelepon Paula, untuk menyusul ke
pantai, untuk memancing cemburumu lagi. Mungkin dengan kehadiran Paula
kau bisa menyadari bahwa kau sebenarnya juga tertarik kepadaku." Kevin
tertawa pahit, menertawakan dirinya sendiri, "Pada akhirnya kau malahan
mengatakan kepadaku bahwa pernikahan kita bagaikan di neraka untukmu.
Dan kemudian aku malahan membuatmu celaka... Oh astaga padahal yang
kuinginkan hanyalah mengetahui perasanmu kepadaku. Aku akan sangat
senang kalau kau juga mencintaiku, tetapi kalau kau belum mencintaiku
pun aku bertekad akan membuatmu mencintaiku."
126 Santhy Agatha
"Bukan salahmu kalau aku tenggelam..." desah Nessa
cepat.
Kevin mengangkat bahu, "Jangan membelaku, semua
salahku. Aku yang memaksamu mencoba berenang di laut, aku berjanji untuk
menjagamu tetapi pada akhirnya kau malah tenggelam. Aku tidak ingin
membuatmu menderita, karena itulah aku menyerah. Kau akan kuberikan
perpisahan yang sangat kau inginkan itu. Tetapi... Aku hanya ingin kau
tahu, aku mencintaimu Nessa, dan aku tidak peduli kau membalas cintaku
atau tidak. Aku ingin kau tahu, cintaku ini milikmu, bahkan nanti ketika
kita sudah bercerai. Tetapi seandainya kau memberiku kesempatan, aku
ingin menunjukkan bahwa aku mencintaimu, lebih dari yang pernah kau
tahu."
Mata Nessa mulai berkaca-kaca. Semua
informasi ini terlalu mendadak, sekaligus terlalu membahagiakan. Nessa
tidak pernah menyangka kalau Kevin menyimpan perasaan kepadanya. Bahwa
lelaki itu memupuk perasaannya pelan- pelan, diam-diam dan semakin dalam selama pernikahan mereka.
"Tetapi aku tidak ingin bercerai," gumam Nessa pelan.
Kevin mengerutkan keningnya mendengar jawaban Nessa,
"Tetapi kau bilang kau tidak bahagia, karena pernikahan ini seperti di
neraka?"
Nessa berdehem, jantungnya berdegup liar, "Itu semua luapan perasaan kekanak-kanakanku, karena aku cemburu."
"Apa?" suara Kevin menjadi dalam, dan was-was, "Apa Nessa?"
"Aku mengatakan itu karena aku cemburu." kali ini suaranya lebih mantap.
"Dan itu karena...?" suara Kevin semakin tegang, Nessa bisa merasakan jantung Kevin berdegup liar, sama sepertinya.
"Karena aku sepertinya juga menyimpan perasaan kepadamu."
"Nessa!" Kevin berseru, lalu melangkah cepat ke arah
Nessa dan menariknya berdiri menghadapnya, "Katakan sekali lagi! Apa
maksudnya itu?"
Perjanjian Hati 127
"Karena aku juga mencintaimu." kali ini Nessa
tersenyum lebar, "Dan terima kasih kepada Paula, dia memang membantumu,
karena kalau tidak ada dia, aku tidak akan menyadari perasaanku."
Kevin berseru pelan, lalu memeluk Nessa erat-erat. "Ah. Ya Tuhan Nessa." suara lelaki itu bergetar, "Kau tidak menyadari betapa seringnya aku mencoba membaca hatimu, menebak-nebak apa yang ada di dalam kepala cantikmu itu. Aku tidak pernah merasa begini kepada wanita lain sebelumnya. Tidak pernah!"
Dengan lembut, Nessa membalas pelukan Kevin, lelaki
itu kini terasa lebih dekat, tanpa penghalang saat mereka sudah saling
mengungkapkan perasaan masing-masing.
"Jadi kita harus bagaimana?" gumam Nessa dalam senyuman.
Kevin menatapnya serius. "Tidak ada perceraian. sudah
pasti tidak akan ada!" Kevin menjauhkan tubuhnya sedikit dari Nessa,
lalu mengecup dahi Nessa, mengecup pipi Nessa, mengecup bibir Nessa
dengan kecupan ringan yang lembut. "Suka atau tidak suka kau akan
menjadi isteriku selamanya."
Nessa terkekeh, "Kau sangat arogan, Kevin."
Lelaki itu balas tersenyum, "Aku sudah memilikimu
sebagai isteriku, dan akan kupertahankan." mata Kevin bersinar sensual
dan suaranya menjadi parau, "Mungkin sekarang kita bisa membahas masalah
malam pertama."
Nessa memukul lengan Kevin sambil tertawa, "Apakah hal itu tidak jauh-jauh dari otak kotormu selama ini?"
Kevin tertawa, tawanya lepas, tampak bahagia. "Kau
tidak tahu betapa susahnya untukku menahan diri tidak menyentuhmu di
ranjang itu. Setiap pagi aku bangun dengan nyeri yang menyiksa. Tetapi
saat itu kupikir semua sepadan, karena pada akhirnya aku akan
memilikimu."
"Tetapi kau menyerah untuk melepaskanku tadi."
"Karena aku mencintaimu, karena aku ingin kau bahagia." Kevin menundukkan kepalanya, lalu mengecup bibir
128 Santhy Agatha
Nessa dengan lembut, "Sekarang setelah aku mengetahui perasaanmu kepadaku, jangan harap kau akan kulepaskan."
Nessa membalas kecupan Kevin, sejenak mereka hanyut
dalam ciuman yang panas, sampai Kevin mengangkat kepalanya dengan napas
terengah, "Aku merencanakan bulan madu di Paris dengan suasana romantis,
tetapi sepertinya aku tidak mau menunggu." matanya bersinar penuh
pertanyaan, membuat Nessa terharu sekaligus merasa sangat dihargai.
Ketika Nessa menganggukkan kepalanya dengan lembut,
Kevin meraih Nessa dan menggendongnya, seolah Nessa begitu ringan di
tangannya, "Kalau begitu sekarang." gumamnya penuh hasrat, lalu
mengangkat isteri yang belum pernah disentuhnya, dan membawanya menaiki
tangga menuju kamar.
Nessa mengalungkan lengannya di leher Kevin dengan
bahagia, tak pernah disangkanya pernikahan sandiwara karena perjanjian
ini akan berakhir seperti ini. Berakhir menjadi penyatuan hati, menjadi
perjanjian hati.
Nessa memejamkan matanya, tidak ini bukan akhir. Ini
adalah awal segalanya, bisa dibayangkannya dia dan Kevin bergandengan di
usia senja, menatap wajah anak cucu mereka dengan bahagia.
Tuhan memang selalu memberikan skenario misterius
bagi umatnya. Dulu dia pernah begitu mencintai Marcell hingga merasa
tidak mampu mencintai lelaki lain. Tetapi kemudian Tuhan memberikan
Kevin untuknya, yang dicintainya dengan begitu saja. Yang juga
mencintainya dengan begitu saja.
Dan dia yakin bahwa mereka akan bahagia sampai akhir. Karena mereka saling mencintai, dan hati mereka sudah saling berjanji.
END
Perjanjian Hati 129
“Pernikahan itu bagaikan perjanjian hati. Perjanjian
hati untuk saling mengerti, saling memaafkan dan saling menjaga cinta
satu sama lain.”
EPILOG
Pagi hari yang mendung, hujan rintik-rintik
turun di luar sana, membuat suasana pagi gelap dan temaram. Nessa
menarik selimutnya sampai ke pundak, merasa lelah dan mengantuk luar
biasa.
Lalu dia merasakan lengan itu melingkari pinggangnya,
lengan yang kuat, memeluknya dengan posesif. Nessa mengerutkan kening,
membuka matanya pelan dan menunduk melihat lengan itu, kesadarannya
kembali... Itu lengan Kevin, suaminya.
Suaminya. Pipi Nessa memerah dan dadanya dipenuhi oleh perasaan hangat. Kevin benar-benar
telah menjadi suaminya yang sesungguhnya, semalam. Ingatannya melayang
kepada malam sebelumnya dimana Kevin berlaku sangat lembut kepadanya,
menyentuhnya dengan hati-hati dan penuh penghormatan, lalu Kevin memberinya pengalaman luar biasa dan membuat mereka benar-benar menjadi suami isteri.
Lengan Kevin yang memeluknya bergerak, lelaki itu
rupanya terbangun dan langsung mengecup pipi Nessa dari belakang dengan
lembut.
“Selamat pagi.” bisiknya serak di telinga Nessa.
Nessa menolehkan kepalanya dan tersenyum malu- malu kepada Kevin, “Selamat pagi juga.”
Kevin melirik ke arah hujan yang mulai turun dengan
deras di luar, “Hari ini hari minggu dan diawali dengan hujan yang turun
deras.” lelaki itu mengedipkan matanya, “Sepertinya kita akan berada di
atas ranjang seharian.”
130 Santhy Agatha
Nessa sempat tertawa geli ketika Kevin menariknya
setengah menggoda ke dalam pelukannya dan menciuminya. Dan memang benar,
mereka baru turun dari ranjang lama sekali sesudahnya.
♥♥♥
Ketika Nessa dan Kevin turun untuk makan siang dan
melewatkan sarapan, mereka bertemu dengan Delina dan Ervan yang sedang
duduk di ruang makan, menikmati makan siang mereka. Ervan memang sengaja
datang untuk menjemput Delina ke sebuah acara kampus di hari minggu.
Delina mengangkat alisnya melihat pasangan itu dan tersenyum menggoda.
“Aku pikir kalian tidak akan bangun seharian.” gumamnya penuh arti, membuat pipi Nessa merah padam karena malu.
Kevin hanya terkekeh menanggapinya dan merangkul pinggang Nessa erat-erat, “Kau tidak boleh protes, kami kan masih bisa disebut pengantin baru.”
“Kevin!” Nessa berbisik pelan sambil menyikut
pinggang suaminya pelan, membuat Kevin tergelak dan Delina serta Ervan
ikut tertawa.
Masih tersenyum Kevin menarikkan kursi makan untuk Nessa dan duduk di sebelahnya. Mereka lalu makan bersama.
“Ibu di rumah sendirian?” Nessa melirik ke arah Ervan, memikirkan ibunya dan tiba-tiba ingin tersenyum, ibunya akan sangat bahagia dengan perkembangan ini, bahwa Nessa dan Kevin benar-benar berbahagia dalam arti yang sesungguhnya.
“Ibu ada acara dengan ibu-ibu sekitar rumah, tadi aku sudah mengajaknya ke sini tetapi dia tidak bisa karena sudah berjanji akan datang ke acara itu.”
“Oh.” Nessa menganggukkan kepalanya dan memusatkan perhatiannya kembali kepada makanannya.
“Kami akan berbulan madu ke Paris.” gumam Kevin memecah keheningan.
Perjanjian Hati 131
Delina yang menanggapi pertama dengan senyum
lebarnya, “Akhirnya kalian berbulan madu juga.” desahnya. “Kapan kak
Nessa?” tanyanya bersemangat.
Nessa menggelengkan kepalanya, dia sendiri tidak tahu
rencana ini, dia memang mendengar Kevin sempat mengatakannya kemarin,
tetapi dipikirnya waktu itu Kevin masih akan melakukannya beberapa bulan
lagi.
Nessa menoleh ke arah Kevin dengan penuh pertanyaan,
“Aku juga tidak tahu...” jawabnya kepada Delina, “Memangnya kita akan
berbulan madu kapan Kevin?”
Kevin tersenyum penuh rahasia, “Segera.” gumamnya, “Minggu depan.”
Delina tersenyum makin lebar, “Dan kuharap kalian membawakanku oleh-oleh calon keponakan sepulangnya kalian dari sana.”
Pipi Nessa memerah mendengarnya, dan Kevin tersenyum lembut.
“Ada yang harus kukatakan kepada kalian,” Kevin
menatap Nessa meminta persetujuan, ketika Nessa mengangguk, Kevin
melanjutkan. “Aku harap kalian tidak marah kepada kami.”
Delina dan Ervan saling bertukar pandang, lalu menatap Kevin dengan bingung.
“Tentang apa kak?” gumam Delina penasaran.
“Tentang pernikahan kami.” Kevin menghela napas panjang. “Semula kami menikah hanya berdasarkan perjanjian.”
“Perjanjian?” kali ini Ervan yang menyela, menatap Nessa dengan was-was.
Kevin mengangguk dan menatap Ervan dengan serius,
“Jangan menyalahkan Nessa karena berbohong kepada
kalian selama ini, sebenarnya akulah yang mengusulkan perjanjian ini
kepadanya.” Dia menghela napas, “Kau mungkin belum tahu Ervan karena aku
yakin Delina tidak cerita kepadamu... Kau pasti sudah tahu bahwa aku
adalah anak angkat keluarga ini, bahwa aku dan Delina tidak ada hubungan
darah. Jadi karena
132 Santhy Agatha
ingin menjaga keutuhan keluarga, Mama kami ingin
menjodohkan kami. Aku dan Delina ke dalam sebuah pernikahan. Tentu saja
waktu itu mama kami belum mengenalmu, Ervan.”
Ervan menoleh kepada Delina dengan pandangan bertanya-tanya, dan Delina mengangguk, membenarkan perkataan Kevin.
“Aku berpikir aku tidak mungkin menikahi Delina, dia
sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri, dan aku yakin begitu
pula sebaliknya.” Kevin melempar senyum kepada Delina. “Kami berdua
sangat ingin menolak pernikahan ini, tetapi mengingat kondisi mama waktu
itu, kami sangat bingung dan tidak ingin membuat mama kecewa. Aku juga
pusing memikirkan jalan keluar dari polemik ini, sampai kemudian kau
membawa Nessa ke pesta itu dan mengenalkannya sebagai kakakmu.” Kevin
menggenggam tangan Nessa, menatap mata isterinya dengan lembut, “Ide itu
muncul begitu saja. Aku dan Nessa berkompromi untuk menjalankan
hubungan pura-pura ini, supaya kalian bisa menentukan kisah cinta kalian sendiri.”
Ervan terperangah, “Jadi kalian berdua benar-benar baru mengenal pertama kali di pesta itu? Bukan sudah mengenal lama seperti yang kalian katakan?”
Kevin mengangguk, “Sekali lagi aku minta maaf karena
kami telah membohongi kalian semua, tetapi waktu itu kami pikir itulah
jalan yang terbaik.” Kevin meremas jemari Nessa semakin erat,
“Pernikahan itu pada awalnya hanyalah sebuah perjanjian. Tetapi kemudian
kami saling mencintai. Dan kami mensyukuri perjanjian pernikahan itu.”
Mata Delina berkaca-kaca, “Kalian...
Kalian terlah berkorban demi kami berdua... Kalian mengikat diri agar
kami bisa bebas menentukan cinta kami.” ditatapnya Ervan yang berusaha
menelaah semua ini, suaranya serak penuh perasaan,
“Terima kasih kakak.”
Kevin tersenyum lembut kepada adiknya, “Sama-sama sayang, pada akhirnya aku menemukan perempuan yang akan aku cintai selamanya, isteriku.”
Perjanjian Hati 133
Ervan menghela napas panjang, “Aku juga harus
mengucapkan terima kasih... Dan aku senang kalian akhirnya berujung
bahagia.” matanya menatap lembut ke arah Nessa,
“Selamat kakak.”
Nessa tersenyum kepada adiknya, “Sama-sama
Ervan.” bisiknya tulus. Ternyata begitu mudah berterus terang kepada
kedua adik mereka. Tidak ada kebohongan lagi sehingga Nessa akan lebih
mudah melangkah ke depannya bersama Kevin
♥♥♥
“Aku mencintaimu.” Kevin memeluk Nessa dari belakang
dengan menggoda, dia baru pulang dari kantor dan memeluk isterinya dari
belakang dan menggelitiknya setengah menggoda.
“Kevin!” Nessa berteriak kegelian dan menerima kecupan-kecupan sayang Kevin di pipinya.
Kevin terkekeh sambil masih menciumi Nessa, menghirup
aroma isterinya yang sangat dirindukannya seharian ini, “Apakah kau
merindukanku selama aku tidak ada di rumah?” bisiknya lembut, “Dan kau
harus menjawab ‘ya’ kalau tidak aku akan marah.”
“Ya Kevin.” Nessa membalikkan badannya dan memeluk Kevin, membiarkan dahinya dikecup dengan lembut.
“Aku juga.” Kevin mengaku. “Setiap saat yang kupikirkan hanya kau, aku tidak sabar untuk cepat-cepat pulang.”
Pipi Nessa bersemu merah dan menatap suaminya penuh
cinta. “Aku sangat bahagia bersamamu.” bisiknya kemudian membuat Kevin
langsung memeluknya semakin erat.
“Syukurlah.” gumam Kevin penuh perasaan, “Kau tahu
kebahagiaanmu telah menjadi obsesi pribadiku. Aku berjanji akan
menghabiskan seluruh sisa hidupku untuk membahagiakanmu.” dikecupnya
ujung hidung Nessa, “Ngomong-ngomong tentang berbahagia, kita akan berangkat ke Paris Sabtu ini. Aku sudah menyiapkan semuanya.”
Mata Nessa berbinar, “Kau sudah bisa melepaskan diri dari kegiatan kantormu?” Nessa tahu Kevin sibuk luar biasa,
134 Santhy Agatha
karena lelaki itu bisa dibilang mengendalikan seluruh
perusahaan dengan kepandaiannya. Dia adalah orang inti di perusahaan
dan sangat sibuk, sehingga berbulan madu hampir sebulan di Paris
tentunya memerlukan persiapan yang cukup lama bagi perusahaannya.
Kevin tersenyum, “Sesibuk-sibuknya aku,
kaulah prioritasku, lagipula aku sudah membagi semua tugas kepada para
asistenku, aku yakin mereka semua memiliki kemampuan yang baik untuk
mengelola perusahaan selama aku tidak ada.”
Nessa mendesah lega, “Jadi, kita akan berbulan madu?”
Kevin menganggukkan kepalanya, “Kita akan meneruskan
usaha untuk menciptakan Kevin Junior di Paris.” godanya, membuat pipi
Nessa bersemu merah
Lelaki itu terpesona melihat kecantikan isterinya,
sehingga tidak bisa menahan diri untuk menunduk dan mengecup bibir
isterinya dengan penuh gairah. Disesapnya bibir yang lembut itu dengan
penuh kasih sayang.
Ketika mereka berdua mengangkat matanya, binar- binar kebahagiaan memancar dari mata mereka, penuh dengan cinta.
Perjanjian Hati 135
Side Story Colorful Of Love
“Kami akan ke Paris untuk berbulan madu.” Nessa
berkunjung ke Garden Cafe siang menjelang sore, Kevin bilang dia akan
menyusul nanti sepulang kerja, meminta Nessa menunggunya di sana.
“Wow!” gumam Albert sambil memutar bola matanya,
“Akhirnya aku mendengar kabar rencana bulan madu kalian, kalian sudah
membatalkan rencana resepsi pernikahan, aku mengira kalian juga
memutuskan untuk membatalkan bulan madu. Syukurlah kalian memutuskan
untuk berbulan madu.” Albert mengedipkan matanya, “Aku harap ketika
kalian pulang nanti kalian pulang bertiga, dengan calon bayi di dalam
perutmu.”
Nessa tersenyum dengan mata berbinar, “Aku harap juga begitu.”
Albert meletakkan cokelat panas, pesanan Nessa yang
biasa di meja, lalu dia melirik ke arah televisi di atas bar cafe itu.
Televisi layar datar yang sangat besar itu biasanya digunakan kalau ada
even hiburan seperti acara nonton bareng dan lain-lain.
Kali ini televisi itu menanyangkan sebuah berita. Albert mengerutkan
keningnya ketika penyiar berita itu membacakan berita penculikan seorang
gadis belia yang masih kuliah, yang kebetulan menjadi anak angkat
keluarga kaya yang paling berpengaruh di sini.
Dugaan penculikan bermotif meminta tebusan,
mengingat keluarga angkat gadis itu adalah keluarga kaya. Sampai
sekarang keberadaan gadis itu belum diketahui.
Dahi Albert makin berkerut ketika foto-foto gadis itu ditayangkan.
“Aku mengenal gadis itu.” gumamnya.
Nessa yang sedang menyesap cokelat panasnya dan menikmatinya mengangkat alisnya bingung.
“Apa?” tanyanya.
“Gadis itu.” Albert masih mengamati televisi yang menayangkan berita itu dengan heboh, “Dia sering datang ke cafe ini.”
136 Santhy Agatha
“Pelanggan cafe ini?” Nessa tahu betul Albert sangat hafal dan kenal dengan semua pelanggan cafe ini.
“Ya... Dia anak perempuan yang sangat cantik, dengan
penampilan sederhana dan senyum yang ramah, pada mulanya aku tidak
menyangka kalau dia adalah anak angkat keluarga kaya raya itu. Aku pikir
dia anak kuliahan biasa. Tetapi kemudian dia bercerita kepadaku, dan
ternyata menjadi anak angkat keluarga kaya tidak semudah yang
dibayangkan orang.” Albert menarik napas panjang, “Dia selalu datang di
cafe ini hampir setiap pagi, memesan oreo milkshake sebagai sarapannya.”
Nessa ikut melirik ke berita di televisi, Albert
benar, gadis itu memang cantik, dan membayangkan kalau gadis itu
sekarang sedang mengalami penculikan membuatnya ngeri.
“Kita doakan saja semoga dia baik-baik
saja. Aku harap penculiknya memang ingin meminta tebusan, dengan begitu
keluarga kaya itu bisa menebusnya dengan mudah dan dia bisa pulang
dengan selamat.” gumam Nessa prihatin.
“Yah. Semoga tidak terjadi sesuatu kepadanya. Aku
akan sangat sedih kalau sampai gadis itu tidak bisa datang lagi ke cafe,
memesan oreo milkshake kesukaannya setiap pagi sambil membawa senyumnya
yang secerah matahari.” Albert membungkukkan tubuhnya dan mengucap
permisi.
Sementara itu Nessa memandang cangkir cokelatnya
yang telah disesapnya separuh. Rasa nikmat dari cokelat itu masih
tertinggal di mulutnya, menyisakan rasa manis yang pekat, berpadu dengan
pahit yang khas.
Albert memang benar. Pernikahan bagaikan secangkir
cokelat panas. Ketika meminumnya kau akan tahu bahwa ada rasa pahit yang
pasti akan muncul di sana, tetapi dengan racikan yang pas, gula dan
susu yang nikmat. Rasa pahit itu akan berpadu, menciptakan kemanisan
yang kental dan membuat kecanduan.
Nessa sangat bahagia sekarang, kisah cintanya dengan
Kevin baru dimulai. Dia tersenyum membayangkan masa depannya, bersama
Kevin, bersama anak-anak mereka nanti.
Perjanjian Hati 137
138 Santhy Agatha
Tentang Penulis
Santhy Agatha adalah perempuan karir yang mencuri waktu senggangnya untuk menulis. Novelnya yang sudah terbit antara lain “A Romantic Story About Serena”, “Sleep With The Devil” , “Unforgiven Hero” dan “From The Darkest Side”, seluruh novel ini bisa dibaca secara online dalam postingan bersambung di portalnovel.blogspot.com
Buku yang anda pegang ini adalah seri pertama dari book set “Colorful Of Love” yang terdiri dari empat buku dengan benang merah yang istimewa yang menghubungkan antara keempat tokohnya.
Anda juga bisa menikmati karya Santhy Agatha [cerpen, cerbung, puisi dan lainnya] di blog pribadinya
Ucapan Terimakasih penulis untuk :
Allah yang Maha Baik, suamiku yang kucintai,
keluarga yang selalu mendukungku, Yudi. Editorku tersayang Meyke dan Mendy Jane. Segenap kru nulisbuku.com
yang membantu penerbitan buku ini, dan seluruh pembaca yang sangat aku
cintai yang selalu memberikan dorongan dan semangat, kritik yang
membangun dan membawa perbaikan, kalianlah yang mencerahkan hati dan
hariku. :)
Salam hangat dan peluk erat,
Santhy Agatha
Perjanjian Hati 139
0 Response to "Novel Perjanjian Hati"
Post a Comment