
Novel Sleep With The Devil
Monday, April 18, 2016
Comment
SLEEP WITH THE DEVIL
Oleh: Santhy Agatha
Dari Penulis
Novel ini merupakan hasil dari pendalaman karakter
yang berbeda dari novel sebelumnya, dengan dua tokoh yang saling
membenci dan kemudian berubah jadi cinta. Proses yang klise, tetapi
sungguh menarik untuk diikuti. Yah, seperti kata orang, batas cinta dan
benci hanyalah sebatas benang tipis. Cinta memang tidak pernah bisa
diduga kemunculannya, kadangkala dari kekaguman yang dipupuk sekian
lama, kadangkala dari
kasih sayang dan penghargaan, dan kadangkala pula… dari
kebencian. Itulah indahnya menulis tentang cinta, karena imaginasi tentangnya tak pernah terbatasi.
Terima kasih untuk pangeran pribadiku, sang penggemar
pertamaku, Mr. Irawan yang terus dan terus memberikan dukungannya
sekaligus cinta yang begitu melimpah. Terima kasih untuk admin
www.portalnovel.blogspot.com yang telah bersedia memuat cerita ini
secara bersambung di blognya. Terimakasih untuk Mey, sahabatku, yang
karena kebaikan hatinya, rela membantu proses editing novel ini tanpa
imbalan apapun. Dan terima kasih pula untuk all readers, yang bahkan
sebelum cerita ini terbit, sudah menanti dan percaya bahwa cerita ini
akan menjadi cerita yang indah. Semoga aku tidak mengecewakan kalian
semua.
Silahkan menikmati kisah pangeran dan putri saya, dan
seperti yang kita harapkan, semoga kisah ini bisa memberi inspirasi,
meluapkan emosi dan membuat kalian semua berbahagia •
Salam dan Peluk Erat
Santhy Agatha
"Kau Adalah Kelemahanku"
BAB 1
Suasana yang hingar bingar membuat Lana mengeryitkan
matanya. Dia tidak suka suasana ramai dan menyesakkan seperti ini. Dia
merindukan kamarnya, kamar tenang yang damai, tempat dia bisa duduk dan
membaca sambil mendengarkan musik sayup-sayup.
Tapi musik yang sangat keras ini hampir melampaui
batas toleransinya, ingin rasanya dia pergi dari tempat ini, tapi dia
tidak bisa. Lelaki itu, lelaki jahat itu –
menurut sumber yang
dia dengar akan datang ke tempat ini beberapa saat lagi.
Lana mencoba menarik turun rok hitam pendeknya yang
mulai terasa tidak nyaman. Seragam waitress ini amat sangat tidak
nyaman, dengan belahan dada yang begitu rendah dan rok yang begitu
pendek, Lana seperti dipaksa menyamar menjadi orang yang tidak
dikenalnya. Tetapi bukankah itu memang tujuannya? Dia tidak ingin lelaki
itu mengenalnya, meskipun hal itu sepertinya tidak perlu
ditakutkannya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali,
pada pertemuan singkat yang tak disengaja, saat lelaki itu menemui
ayahnya di ruang kerjanya. Saat itu penampilan Lana tidak seperti
sekarang, rambutnya masih panjang dengan kacamata berbingkai tebal
membingkai wajahnya, bajunya tertutup dan sopan, beda sekali dengan
sekarang.
Lana mengernyitkan matanya lagi, Aku benar-benar berpenampilan seperti perempuan murahan, desahnya.
Suara berisik dari arah pintu masuk mengalihkan perhatian Lana, matanya mencari-cari
dan itu dia! Lelaki itu ada di sana, dengan kedatangannya yang begitu
heboh dikelilingi banyak sekali bodyguard berbadan kekar. Tanpa sadar
Lana mendengus, yah karena dia lelaki jahat yang suka menyakiti
orang, dia pasti punya banyak musuh yang ingin membunuhnya.
Dengan penasaran Lana menjinjitkan kakinya, berusaha
melihat dengan jelas sosok lelaki itu, Mikail Raveno. Sosok yang
ditakuti dalam dunia bisnis karena tidak segan-segan menggilas siapapun yang menghalangi jalannya. Siapapun
yang berani melawan Mikail Raveno, akan berakhir dalam tragedi. Seperti ayahnya, seperti seluruh keluarganya. Desah Lana pahit.
Dulu keluarga Lana adalah keluarga berada, ayahnya
adalah seorang pengusaha sukses di bidang konversi kelapa sawit. Kebun
mereka ada berhektar-hektar di luar pulau, dan mereka
sangat kaya. Bagi Lana keluarga mereka adalah keluarga bahagia, meskipun
ibunya adalah wanita lemah yang sakit-sakitan, tapi selain itu dia adalah ibu yang sempurna.
Pikiran Lana menerawang di saat-saat bahagia itu, saat dia, ayahnya dan ibunya berkumpul bersama di meja makan, menyantap sarapan pagi bersama ayah dan ibunya yang
penuh cinta. Ayahnya akan bercerita tentang pengalamanpengalaman dalam perjalanan bisnisnya, dan ibunya akan
menatap sang ayah dengan tatapan memuja. Semua terasa begitu bahagia, semua terasa begitu sempurna.
Sampai kemudian Mikail Raveno datang dalam kehidupan
mereka. Mikail Raveno tertarik dengan perkembangan pesat bisnis ayah
Lana dan berpikiran untuk menjalin suatu hubungan kerjasama. Pada
awalnya, ayahnya tidak tertarik, dia sudah cukup puas dengan bisnis yang
dijalankannya sendiri. Tapi Mikail tidak menyerah, dengan berbagai cara
dia berusaha mendekati ayahnya. Dan entah kenapa
ayahnya akhirnya menyerah ke dalam kuasa Mikail Raveno,
ke dalam kuasa iblis kegelapan yang ketika mencengkeram tidak akan melepaskannya lagi.
Mikail menghancurkan keluarganya secara harfiah,
entah kenapa kepemilikan ayahnya atas bisnis itu dimentahkan begitu
saja, semuanya diambil oleh Mikail dan dikendalikan di bawah tangannya.
Ayahnya tidak punya hak apa-apa lagi selain jatah bulanan untuknya dan keluarganya.
Keluarga Lana jatuh miskin seketika. Rumah mewah
mereka disita paksa, mereka harus pindah ke rumah mungil sederhana.
Mereka berusaha memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa pelayan-pelayan yang biasanya selalu siap sedia melayani kebutuhan mereka.
Lana kuat menanggung itu semua, tetapi ibunya tidak.
Ibunya dari kecil terbiasa bergelimang kekayaan,
seperti putri raja. Sampai menikah dengan ayahnyapun, ayahnya terbiasa
memperlakukannya seperti Ratu dengan banyak pelayan
yang mengelilinginya. Ibunya sudah hancur ketika
dipaksa memasak sendiri dengan tangannya yang rapuh dan tidak terampil
itu – karena tidak pernah memasak seumur hidupnya. Dan makin hancur
ketika mereka makin miskin, makin menderita. Akhirnya penderitaan itu
tak tertanggungkan lagi bagi ibunya, dia mulai sakit-sakitan… semakin kurus, semakin sering menangis di malam-malam sepi. Lalu suatu pagi, ibunya meninggal begitu saja.
Lana masih ingat ketika dia berdiri di samping
ayahnya yang membeku menatap wajah ibunya yang kurus dan pucat.
Ekspresinya seperti tertidur, dan merasa sedih karena menyadari
kenyataan bahwa ibunya mungkin lebih bahagia sekarang setelah meninggal
dunia.
Sepeninggal ibunya, Ayahnya hancur. Hancur total. Dia mulai mabuk-mabukan, kadang berteriak-teriak dan menangis sendirian di malam-malam sepi. Hingga pada suatu hari, ayahnya mengendarai mobil mereka, satu-satunya harta
mereka yang masih tersisa, dan menabrakkan diri pada
tembok pembatas jalan hingga mobil itu terguling beberapa kali. Ayahnya
tewas seketika di tempat. Polisi mengatakan bahwa kandungan alkohol di
darah ayahnya sangat tinggi, hingga dapat dikatakan, ayahnyalah yang
membunuh dirinya sendiri.
Lana menjadi sebatang kara dan rasa dendam yang terpendam dalam hatinya makin menyeruak setelah
kematian kedua orang tuanya. Semua ini berakar dari
Mikail Raveno. Sejak lelaki itu muncul di keluarganya, semuanya hancur
dan musnah. Lana harus membalas dendam, dengan
cara apapun, untuk membalaskan kesedihan ibunya, dan kematian sia-sia ayahnya.
Sejak itu, dia menyelidiki semua hal tentang Mikail Raveno, di mana dia tinggal, bagaimana jadwalnya, apa
kesukaannya. Semua informasi itu dikumpulkannya baik-baik dan disusunnya. Ketika Lana mendapat informasi, bahwa
Mikail sering menghabiskan waktunya dengan kekasihkekasihnya di klub kelas atas ini, Klub Azalea. Tanpa pikir
panjang, Lana meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di taman kanak-kanak, pindah dari tempat tinggalnya dan melamar sebagai waitress di sini.
Semua butuh pengorbanan, Lana menyadari bahwa
pembalasan dendam butuh pengorbanan besar. Seperti ketika dia harus
berdandan sebagai wanita murahan dengan rok mini dan baju seksi. Kadang
malam demi malam harus menahan diri dari siksaan kegaduhan dan hingar
bingar
musik, ataupun harus menahan hati karena banyaknya lelaki
lelaki genit yang selalu berpikir bahwa dia wanita
murahan yang bisa dibeli. Semua butuh pengorbanan, mahal harganya. Tapi
Lana merasa itu akan sebanding dengan kepuasan yang akan dia dapatkan
nanti. Kepuasan untuk membunuh lelaki itu dalam siksaan menyakitkan,
seperti yang dilakukan lelaki itu pada ayah dan ibunya.
Dia sudah mengoleskan racun yang tidak akan
terdeteksi, di dasar gelas yang sudah disiapkan khusus untuk Mikail
Raveno malam ini. Mikail Raveno tidak mau menggunakan gelas yang sama
dengan orang lain. Gelasnya ekslusif,
khusus hanya dipakai dirinya, dan tadi siang ketika berpurapura membersihkan bar, Lana menyelinap ke tempat
penyimpanan khusus itu dan mengoleskan racun yang
tidak terdeteksi ke gelas tersebut. Seteguk saja minuman dari gelas yg
sudah diolesi racun itu ditelan oleh Mikail Raveno, maka seluruh
dendamnya akan terbalaskan.
***
Mikail Raveno merasa muram malam ini. Entah kenapa,
dia sedang ingin menghajar seseorang, atau kalau perlu, membunuh
seseorang. Malam ini dia datang ke klub bukan untuk bersenang-senang,
tetapi untuk mencari masalah. Dengan dikelilingi para bodyguard yang
selalu siap menjaganya, meskipun sebenarnya tidak perlu, karena Mikail
menguasai beberapa keahlian bela diri. Tetapi ketika kau punya uang
banyak, memang lebih baik jika kau membiarkan orang lain melakukan
segala sesuatunya untukmu.
Pemilik Klub sendiri yang menyambutnya. Tentu saja, mengingat betapa besar hutangnya kepada Mikail. Dengan tergopoh-gopoh lelaki gendut itu menggiringnya ke kursi VIP terbaik.
“Anda bisa memilih siapapun untuk menemani Anda,”
gumam si pemilik Klub dengan nada menjilat.
Mikail menatap ke sekeliling dengan tak berminat, menatap semua perempuan di sana yang hampir-hampir seperti
semut mengelilinginya, dengan tatapan berharap untuk
dipilih. Terlalu murahan, gumamnya dalam hati. Semua manusia di dunia
ini murahan dan penjilat.
Mikail memutuskan tidak memilih siapapun, ketika
tatapan matanya terpaku pada perempuan itu. Perempuan yang tampak salah
tempat di klub malam mewah ini. Mengenakan baju luar biasa seksi, tetapi
tampak tidak nyaman di dalamnya.
Tanpa sadar seulas senyum jahat muncul di bibirnya,
“Aku mau dia,” gumamnya sambil menunjuk perempuan itu.
***
“Aku mau dia.”
Kalimat itu diucapkan dengan nada malas yang tenang,
tetapi gaungnya terdengar ke seluruh ruangan. Entah kenapa suasana hiruk
pikuk itu menjadi hening. Dan Lana merasakan semua tatapan tertuju
padanya. Pada dirinya
yang sedang bersandar di meja bar, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Dengan gugup Lana menegakkan tubuhnya, berusaha membalas tatapan mata semua orang, lalu matanya terpaku
pada mata itu. Mata cokelat pucat sehingga nyaris bening, menyebabkan pupil matanya tampak begitu hitam dan tajam.
“Cepat kesana. Dia menginginkanmu,” sang bartender yang
berdiri di belakangnya berbisik kepadanya, seolah takut kalau Lana tidak cepat-cepat menuruti keinginan Mikail, akan berakibat fatal.
Lana mengernyit pada Mikail, mencoba menantang mata laki-laki itu, yang masih menatapnya dengan begitu tajam tanpa ekspresi.
“Apakah… apakah..” Lana berdehem karena suaranya begitu serak, “Apakah Anda ingin dibawakan minuman?”
Mikail hanya menatapnya beberapa saat yang menegangkan, lalu menganggukkan kepalanya.
“Bawakan satu, minumanku yang biasa”
Secepat kilat sang bartender meracik minuman kesukaan
Mikail, minuman yang biasa. Tangan Lana gemetar ketika menerima nampan
minuman itu. Sedikit lagi Lana….., gumamnya mencoba menyemangati dirinya
sendiri. Sedikit lagi semua dendammu akan terbalaskan…… sedikit lagi….
Lana mengucapkan kata-kata itu bagaikan doa, dengan langkah gemetar dia mendekati Mikail yang duduk bagaikan sang raja, menunggunya.
Diletakkannya gelas itu di meja depan Mikail,
Semoga kau lekas meminumnya dan lekas mati. Doa Lana dalam hati.
Tetapi sepertinya Tuhan masih menginginkan Mikail hidup, karena lelaki itu terlihat tidak tertarik untuk menyentuh minumannya.
Matanya malahan tertuju pada Lana dan memandangnya tajam.
“Duduk.” Mikail menjentikkan jarinya. Melirik tempat di sebelahnya.
Sekujur tubuh Lana mengejang menerima perintah yang begitu arogan. Tanpa sadar matanya memancarkan
kebencian, siapa lelaki ini berani-beraninya memerintahnya seperti ini?
Ketika Lana termenung, seorang waitress lain dengan
gugup mendorongnya supaya duduk, menuruti permintaan Mikail. Sehingga
dengan terpaksa Lana duduk di sebelah Mikail.
“Siapa namamu?” , Mikail menatap tajam ke arah Lana,
sama sekali tidak melirik gelas minuman di mejanya.
Lana sudah siap dengan pertanyaan ini, nama samarannya,
“Sara.” Jawabnya kaku
Mikail mengernyit menatapnya dengan seksama, lalu jemari panjang itu tiba-tiba terulur dan menarik dagu Lana mendekat, supaya dia bisa mengamati wajah Lana dengan cermat,
“Aku tidak pernah melihat wajahmu sebelumnya di sini”
“Eh… dia… dia pegawai baru kami, tuan Mikail, maafkan
ketidaksopanannya, saya belum pernah mengajarinya bagaimana membawakan minuman untuk tamu sepenting
Anda,” sang pemilik klub menyela dengan gugup. Wajahnya
tampak cemas melihat Lana melayani tamu pentingnya dengan setengah hati. Dengan pandangan memarahi dia
memperingatkan Lana, “Ayo Sara perkenalkan dirimu kepada
tuan Mikail, tuan Mikail telah memilihmu untuk menjadi
pelayan minumannya. Itu merupakan suatu kehormatan untukmu, harusnya kau berterima kasih”
Perintah itu membuat Lana menegakkan dagunya dengan angkuh,
“Saya sudah memperkenalkan diri saya, dan saya sudah
membawakan minuman untuk tuan Mikail yang terhormat,
karena itu saya akan pergi,” jawab Lana ketus, sambil
beranjak dari tempat duduknya, toh misinya sudah
tercapai. Gelas minuman beracun itu sudah ada di meja Mikail, dan
sebentar lagi Mikail akan mati karena sesak napas.
Tetapi sebelum Lana sempat berdiri, Mikail meraih
jemarinya dan menariknya kencang, supaya terduduk lagi. Kali ini di
pangkuan Mikail.
“Apa… apaaan….,” Suaranya terhenti ketika bibir yang keras
dan dingin itu tiba-tiba melumat bibirnya. Lana memberontak ketika menyadari bahwa Mikail sedang memagut bibirnya dengan ciuman yang basah dan panas.
Ciuman itu sungguh tak sopan karena bibir dingin Mikail tanpa permisi langsung memagut bibirnya, melumatnya tanpa ditahan-tahan. Lidahnya langsung menyeruak masuk merasakan keseluruhan diri Lana, menghisapnya, menikmatinya, dan menggilasnya tanpa ampun.
Sekujur tubuh Lana terasa terbakar, panas karena amarah
dan demam kerena gairah. Lelaki ini sudah jelas-jelas sangat ahli ketika mencumbu perempuan, sehingga Lana yang
belum berpengalamanpun terbawa oleh gairahnya,
mengalahkan kebenciannya. Tetapi pikiran bahwa lelaki ini telah
memanfaatkan begitu banyak wanita demi memuaskan rasa arogan dan
kekuasaannya membuat Lana merasa
muak. Dan tiba-tiba muncul kekuatan dari dalam dirinya untuk mendorong laki-laki itu menjauh dan menamparnya sekuat tenaga.
Plakk!!!
Suasana di klub itu menjadi sangat hening. Luar biasa
hening. Bahkan musik yang hiruk pikuk itupun terhenti karena semua
orang berhenti melakukan aktivitasnya dan menatap ke arah Lana, yang
berdiri dengan terengah-engah berhadapan dengan Mikail yang membatu duduk di sofa VIPnya.
Sedetik kemudian, sebuah tangan kasar mencengkeram lengan Lana. Begitu menyakitkan hingga membuat Lana menjerit,
“Kurang ajar kau !! berani-beraninya
memukul Tuan Mikail,” teriak sebuah suara berat dan kasar. Lana menoleh
dan mendapati dirinya ditelikung oleh lelaki berbadan besar yang
sepertinya salah satu bodyguard Mikail.
Lengan lelaki itu yang besar dan kuat menahannya
sampai tangannya terasa kaku dan sakit. Tapi Lana tidak menyerah, dia
meronta sekuat tenaga, mencakar, dan menggigit lengan yang tetap terasa
sekeras batu itu. Napasnya terengahengah dan wajahnya merah padam
menahan amarah dan
rasa malu karena sebagai perempuan kekuatannya begitu tak berdaya menahan dominasi kekuatan laki-laki.
“Lepaskan dia,” suara dingin Mikail terdengar di keheningan.
Seketika itu juga, bodyguard Mikail yang berbadan kekar melepaskan Lana, membuatnya hampir terjatuh karena kelelahan meronta-ronta.
Mereka berdiri berhadap-hadapan di bawah
tatapan mata banyak orang yang menanti. Mikail masih berdiri dengan
wajah dingin tak berekspresi sambil mengusap pipinya, bekas tamparan
Lana.
“Berapa hargamu?,” suara Mikail terdengar tenang dan dingin,
Mata Lana membelalak, harga?? Apa yang dibicarakan
lelaki ini? Matanya melirik ke gelas minuman Mikail yang sudah
diracuninya di meja. Semuanya berantakan, serunya menahan kekesalan pada
dirinya sendiri. Semua gara-gara dia tidak bisa menahan kebenciannya. Seharusnya ketika
Mikail melecehkannya dia bisa menahan diri dan berpurapura menjadi perempuan gampangan, seharusnya dia mau
berkorban menahan perasaannya. Setidaknya ketika dia
menurut, Mikail mungkin akan merasa senang dan lengah, lalu meminum
minumannya itu dan mati. Tetapi sekarang
semua sudah terlambat, Mikail tampak tidak tertarik
lagi pada minumannya dan tertarik sepenuhnya kepada Lana. Lagipula Lana
tidak bisa berpura-pura menyukai Mikail, kebenciannya terlalu dalam pada lelaki itu.
Donita, primadona di bar ini mendekati Mikail dengan
tatapan merayu. Dialah yang biasanya dipilih Mikail untuk menemani
lelaki itu minum ketika Mikail berkunjung, dan sekarang hatinya dipenuhi
kecemburuan karena Mikail tampak begitu tertarik kepada anak baru itu.
Padahal kalau dilihat dari kecantikannya, anak baru itu jauh lebih jelek
daripada dirinya,
“Sudahlah Mikail,” Donita menyentuhkan tangannya di kerah baju Mikail, “Perempuan jelek itu tidak akan bisa
memuaskanmu, lebih baik biarkan aku yang menemani,,,,,
aduhhh!!!”
Donita mengaduh karena Mikail merenggut tangannya
yang meraba kerah baju Mikail. Jemari Mikail mencengkeramnya dengan
kekuatan tak ditahan-tahan lagi, menyakitinya hingga terasa menusuk ke tulang,
“Menyingkir,” gumam Mikail dengan tatapan membunuh
pada Donita, lalu menghempaskan tangan Donita dengan kasar sehingga
tubuh Donita terdorong menjauh. Sambil meringis menahan nyeri dan
kesakitan Donita lekas-lekas menjauh.
“Nah,”
Mikail memusatkan mata dinginnya kembali ke Lana,
“Katakan berapa hargamu, dan aku akan membayarnya”
***
Aku harus memiliki perempuan ini.
Mikail memutuskan dalam hati. Aku harus memilikinya segera.
Tuhan tahu dia sudah berusaha menyelamatkan perempuan
ini. Tetapi entah kenapa perempuan satu ini memiliki tekad yang kuat untuk mencelakainya, hingga lupa bahwa dia
sudah menantang lelaki paling berbahaya.
Mata Mikail melirik gelas yang diletakkan Lana di
mejanya, dia tahu kalau dia diracuni. Lana terlalu tidak berpengalaman
dalam usaha pertamanya membunuh orang. Tangannya
gemetaran dan matanya gugup, berkali-kali melirik ke gelas minuman itu. Dan juga nama palsu yang menggelikan itu.
Lana bahkan tidak menyadari bahwa penyamarannya sudah terbongkar dari awal.
Sebenarnya tadi Mikail memutuskan untuk menertawakan Lana diam-diam, dengan pura-pura akan meminum minuman
beracun itu. Tapi bibir ranum itu, dan penampilan
Lana yang luar biasa seksi memunculkan sisi iblis dalam dirinya, sisi
Iblis yang kehausan.
Mungkin sudah waktunya perempuan yang satu ini menerima pelajaran atas kenekatannya.
***
Lana tertegun marah mendengar pelecehan Mikail atas
dirinya. Berapa harganya? Hah! Dia pikir dia raja yang bisa membeli apa
saja yang dia mau?
Lelaki iblis ini harus diajari, bahwa meskipun banyak
perempuan yang bertekuk lutut di kakinya dan memohonmohon untuk
dimilikinya, ada perempuan yang tidak sudi disentuh olehnya.
Dengan marah Lana mendongakkan dagunya menantang MIkail,
“Saya lebih memilih mati daripada menjual diri kepada Anda,”
gumamnya kasar
Suara di seluruh klub itu langsung dipenuhi dengungan gelisah menanti rekasi Mikail.
Tidak disangka-sangka Mikail tersenyum. Lalu melirik ke arah bodyguardnya,
“Tidak ada sesuatupun yang bisa menolak kalau aku ingin memilikinya,” gumamnya datar dan memberikan isyarat
tangannya kepada para bodyguardnya.
Semuanya berlangsung cepat; Lana tidak sempat lari ataupun panik, karena tiba-tiba
bodyguard Mikail yang berbadan paling besar, merenggutnya kasar,
mengangkatnya, lalu membantingnya di pundaknya seperti sekarung beras
Sekejap dipenuhi rasa pusing karena posisi kepalanya dibalik mendadak, Lana tersadar bahwa dia sudah diangkat keluar
dari klub itu. Sekuat tenaga Lana mencoba memberontak. Tangannya memukul-mukul punggung bodyguard itu dan kakinya menendang-nendang keras sambil berteriak-teriak menahan marah dan frustasi.
Tetapi tubuh bodyguard itu sekeras batu, tidak bereaksi atas pemberontakan Lana.
Percuma meminta tolong, karena Lana yakin tidak akan
ada yang berani menolongnya. Semua pengunjung klub yang pengecut itu
hanya menatap kejadian di depan mereka dengan muka bodohnya. Sang
pemilik klub masih
memandang takjub Mikail yang melenggang dengan santai meninggalkan ruangan dengan Lana yang meronta-ronta dan menjerit-jerit dalam gendongan bodyguardnya.
***
Sesampainya di tempat parkir Lana diturunkan. Sedetik
setelah dia diturunkan, Lana berlari sekuat tenaga berusaha menjauh.
Tetapi baru beberapa langkah, tangan sekeras
batu itu menangkapnya lagi.
Lana meronta tapi tak bisa berontak, dengan frustasi
dia menggigit sekuat tenaga tangan yang mendekapnya itu. Sang bodyguard
mengaduh sambil mengumpat-umpat, sedangkan Mikail hanya menatap kegaduhan di depannya sambil terkekeh geli.
Lana mencoba berontak, menggigit, dan menendang sampai kelelahan. Dia menatap Mikail terengah-engah dengan pandangan penuh kebencian, masih dalam cengkeraman kuat tangan bodyguard Mikail.
Mikail membalas tatapannya dengan senyum manis yang jahat,
“Kalau kau berjanji mau bersikap baik, mungkin aku akan
menawarimu tempat yang nyaman, di sebelahku di dalam
mobil”
“Mati saja kau!,” sembur Lana penuh kemarahan.
Mikail terkekeh lagi,
“Oke, kau yang minta,” dengan isyarat anggukan kepala,
Mikail memberi perintah pada para bodyguardnya,
“Masukkan dia ke bagasi”
***
BAB 2
Perjalanan itu terasa menyiksa dan panjang. Tubuh
Lana dilempar begitu saja dengan kasar oleh bodyguard Mikail ke bagasi
dan dikunci dari luar.
Lana berusaha menendang, berteriak, meronta, tetapi
pada akhrnya dia kelelahan dan kehabisan oksigen. Menyadari bahwa ruang
bagasi ini begitu sempit dan pengap dengan asupan oksigen yang makin
menipis, Lana terdiam. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar
keras, campur aduk antara rasa takut dan ingin tahu, akan dibawa
kemanakah dirinya ?
Lama sekali Lana menunggu, sampai akhirnya mobil itu
melambat. Terdengar suara pintu gerbang yang berat dibuka, lalu mobil
itu melaju lagi, melambat, dan kemudian berhenti.
Suara pintu mobil dibanting. Dan syukurlah, ada gerakan membuka bagasi. Lana bersiap melompat dan menyerang
siapa saja yang membuka pintu bagasi itu, lalu kabur. Ah ya Tuhan, semoga semudah itu.
Pintu bagasi terbuka sedikit dan secercah cahaya masuk melalui celah yang hanya dibuka sempit.
“Lana,” itu suara Mikail dan lelaki itu memanggil namanya.
Wajah Lana langsung pucat pasi. Lelaki itu sejak awal sudah mengetahui penyamarannya!
“Aku akan membuka pintu bagasi ini, tapi kau harus berjanji untuk bersikap tenang dan tidak memberontak,” Ada
seberkas senyum di suara Mikail. Kurang ajar. Lelaki
itu pasti dari tadi sudah menertawakan kebodohannya!, “Kau ada di
rumahku, dan perlu kau tahu, para pengawalku sangat tidak
ramah. Kusarankan kau turun dengan sikap penurut dan tenang, demi dirimu sendiri, karena para pengawalku
mungkin akan melukaimu kalau kau bertindak bodoh”
Rumah Mikail. Lana memejamkan matanya frustrasi.
Dari informasi yang dia dapatkan, rumah Mikail yang terletak di atas
tanah begitu luas di kawasan elite pinggiran kota. Rumah itu dipagari
dengan pagar tinggi di sekelilingnya dan setiap akses masuk dijaga oleh pengawal-pengawal
Mikail. Tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke area rumah ini tanpa
sepengetahuan Mikail. Begitupun, tidak akan ada orang yang bisa keluar
dari rumah ini tanpa seizin Mikail.
“Bagaimana Lana? Apakah kau berjanji untuk bersikap baik,
dan aku akan mengeluarkanmu secara manusiawi. Atau kau memilih bertindak bodoh lalu mungkin aku akan mengikatmu
dalam karung dan kusekap di gudang,” suara Mikail di luar
menyadarkan Lana dari lamunannya.
“Kenapa kau membawaku kemari?,” gumam Lana penuh
keberanian.
Terdengar suara Mikail terkekeh di luar sana,
“Menurutmu kenapa Lana? Apa kau pikir aku semudah itu
diracuni di tempat umum? Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau selama ini mengendus-endus mencari kesempatan untuk
membalaskan dendammu?” Suara Mikail terdengar dekat, “Kau sudah bermain api,” bisiknya, “Sekarang saatnya kau untuk terbakar.”
Pintu bagasi itu terbuka tiba-tiba dan
Lana belum siap meronta. Lagipula, percuma meronta. Di belakang Mikail
yang berdiri dengan pongahnya, ada beberapa bodyguard dengan tubuh kekar
bertampang seperti batu. Dan melihat
tampang dan penampilan mereka, Lana tahu, mereka tidak akan segan-segan melukainya kalau Lana berbuat sesuatu yang sekiranya akan mencelakakan majikan mereka.
Mikail mundur selangkah, lalu mengulurkan tangannya setengah membungkuk,
“Silahkan tuan puteri, biarkan aku membantumu keluar,”
gumamnya mengejek.
Lana menatap tangan itu lalu menggeram marah. Kurang ajar sekali iblis yang satu ini!
Dengan marah, ditepiskannya tangan Mikail dan dia berusaha keluar sendiri dari bagasi sempit itu meskipun
sedikit kesulitan karena kaki dan tangannya kaku dilipat di ruangan sempit dan menempuh perjalanan entah berapa
puluh kilo.
Akhirnya Lana berhasil berdiri keluar dari bagasi, dengan sepenuh harga dirinya.
Mikail mengamati Lana dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan melecehkan, lalu senyum muncul lagi di sudut bibirnya,
“Mari, silahkan masuk. Selamat datang di rumahku,”
setengah memaksa lelaki itu mencengkeram lengan Lana yang kaku lalu membawanya masuk ke dalam rumahnya.
Bagian depan ruang tamu Mikail sangat megah, dengan
arsitektur gaya lama yang entah kenapa bisa tampak modern. Lantai
marmernya berkilauan dengan warna gading, dan pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi, dipadukan dengan nuansa warna merah dan emas.
Mikail membawa Lana menuju ke sebuah tangga besar melingkar berwarna putih dan sekali lagi setengah menyeretnya menaiki tangga.
Mereka berdua berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna putih,
“Kau akan tinggal di kamar ini mulai sekarang,” gumam
Mikail datar.
Lana membelalakkan mata, marah pada Mikail,
“Atas dasar apa kau memutuskan aku harus tinggal di mana. Aku mau pulang”
Bibir Mikail masih menyiratkan senyum, tapi matanya tidak. Mata itu bersinar dengan tatapan tajam dan dingin,
“Kau tidak bisa pulang. Sekarang, ini adalah rumahmu. Bersamaku”
Dengan cepat lelaki itu merengkuh pundak Lana, dan
detik itu Lana menyadari bahwa lelaki itu akan menciumnya. Secepat
mungkin dia memalingkan muka, mencoba memberontak, hingga bibir Mikail
hanya mendarat di pelipisnya.
Cengkeraman Mikail di pundaknya makin kuat sehingga terasa menyakitkan,
“Aku sudah memutuskan untuk memilikimu. Dan satusatunya cara kau lepas dariku adalah ketika aku
memutuskan untuk melepaskanmu, atau ketika kau… Mati,”
dengan kalimat penutupnya yang begitu kejam, MIkail
membuka pintu putih itu, dan mendorong Lana masuk. Lalu menguncinya dari
luar, meninggalkan Lana yang menggedor
gedor dan menendang-nendang pintu itu dari dalam dengan histeris.
***
“Menurutmu apakah dia sudah siap untukku?,” Mikail
mengenakan jubah tidurnya, sutera hitam, dan duduk
di sofa di dalam kamarnya. Hidangan lengkap tersedia untuknya di meja.
Dengan tenang, lelaki itu menyesap anggurnya, lalu menatap Norman,
pengawal pribadinya sekaligus orang kepercayaannya yang berdiri di
depannya dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi.
“Saya pikir dia sudah siap, bukan untuk menyerah kepada
Anda, tetapi siap membunuh anda. Tatapan matanya adalah
tatapan pembunuh yang penuh kebencian”
Mikail tersenyum tipis mendengar jawaban Norman itu,
“Ya, tatapan matanya membakar, penuh kebencian.,”
Mikail menyesap anggurnya lagi, memejamkan matanya, “Tapi kau tahu
bagaimana aku sangat ingin memilikinya malam ini”
“Ya saya tahu,” jawab Norman tenang, “Apakah Anda akan memaksanya…?”
“Aku tidak suka memaksa perempuan, kau tentu tahu”
Mikail terbiasa dikelilingi perempuan yang menyerahkan diri padanya. Tidak ada seorang perempuanpun yang mampu
menolak pesona Mikail Raveno. Dengan rambut hitam
legam yang sedikit panjang mengena kerah, mata cokelat pucat dan wajah
aristrokatnya hampir bisa dikatakan sempurna seperti
malaikat…… Kalau saja matanya tidak begitu dingin, tanpa
perasaan dan menyimpan kebencian mendalam,
menakutkan. Mikail bagaikan iblis yang terperangkap dalam raga malaikat.
“Aku ingin dia menyerahkan dirinya padaku dengan sukarela”
Tentu saja. Gumam Norman dalam hati. Kata-kata Mikail bagaikan perintah baginya.
***
Obat ini sangat keras, dan tidak bisa digunakan untuk
main- main. Norman mengamati bubuk putih dalam wadah kecil di depannya.
Sangat keras, sekaligus sangat efektif.
Dan kalau perempuan itu meminumnya, maka perempuan itu akan menyerah pada Mikail, dan menyenangkan tuannya.
Dengan gerakan pelan penuh perhitungan, Norman mencampurkan bubuk putih tanpa rasa itu ke dalam minuman Lana.
Obat ini akan membuat perempuan tersiksa, meminta
dipuaskan. Kalau tidak ada yang memuaskannya, perempuan itu akan merasa
seluruh tubuhnya terbakar, kesakitan. Dan Norman yakin, Lana akan
meminta, bahkan memohon-mohon pada tuannya malam ini.
Malam ini perempuan itu akan menyerah dalam tanganmu, Tuanku.
Norman tersenyum dalam hati, menanti apa yang akan terjadi.
***
Sudah hampir satu jam Lana dikurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih, di karpet, di ranjang, di semua furniture-nya.
Kamar ini dibuat untuk perempuan, dan Lana merasa jijik membayangkan
bahwa mungkin kekasihkekasih Mikail yang sebelumnya juga ditempatkan di
ruangan
ini.
Salah seorang pengawal Mikail yang bertampang paling
dingin, setengah jam yang lalu masuk, membawa nampan makanan,
meletakkannya di meja. Lalu tanpa berkata apaapa pergi dan mengunci
kembali pintu itu dari luar.
Dan selama setengah jam yang panjang itu pula, Lana
mencoba setengah mati untuk tidak melirik pada nampan yang sangat
menggoda itu.
Perutnya keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum
makan dari siang karena terlalu gugup merencanakan pembalasan dendamnya
pada Mikail, dan sekarang dia kena batunya.
Aroma makanan itu terasa begitu menggoda, aroma manis dan gurih masakan yang masih panas.
Mungkin jika aku mengintip sedikit apa
makanannya…..tidak! Lana menghardik dirinya sendiri dalam hati. Dia
tidak akan makan, lebih baik dia mati kelaparan daripada harus menyerah
pada kekuasaan Mikail.
Tapi jika hanya minum mungkin tidak apa-apa. Lana melirik haus pada minuman di nampan itu. Sari jeruk segar yang tampak begitu menggoda.
Akhirnya lana menyerah. Dia haus sampai terasa mau pingsan, dan dia harus minum, kalau tidak dia mungkin akan
Dengan cepat disambarnya gelas itu, diminumnya langsung berteguk-teguk karena begitu hausnya. Aliran dingin air itu terasa begitu segar ketika membasahi kerongkongannya.
Tanpa sadar segelas minuman itu tandas sudah, Lana
meletakkan gelas itu dengan pelan, sedikit merasa bersalah. Tapi
bagaimanapun juga dia tidak menyesal. Dia merasa lebih baik. Sekarang
dia bisa memikirkan cara untuk kabur dari rumah ini,
Mata Lana berputar, ke sekeliling ruangan, mencari
cara untuk melarikan diri. Ada jendela besar di ujung sana, yang
dilapisi gorden berwarna putih, mungkin Lana bisa mencari cara keluar
dari sana.
Dengan hati-hati Lana melangkah ke arah
jendela itu untuk memeriksanya, tetapi seketika itu juga hatinya
kecewa. Jendela itu sudah dilapisi kaca tebal, dan penuh dengan teralis
besi yang sangat kuat. Lagipula Lana baru menyadari bahwa dia ada di
lantai dua, kalaupun dia bisa membuka
jendela itu, dia harus mencari cara agar bisa turun dari lantai dua dengan selamat.
Lana mencoba berpikir, dia belum memeriksa kamar mandi
yang ada di ujung kamar, mungkin ada jalan keluar dari sana yang lolos dari pengawasan. Dengan cepat dia melangkah
ke kamar mandi, tetapi langkahnya terhuyung. Entah kenapa kepalanya terasa pening, dan seluruh tubuhnya
menggelenyar…. Kepanasan…
Ada apa ini? Lana meraba dahinya sendiri, terasa panas, Apakah dia demam? Napas Lana terengah, semuanya
terasa panas….. terasa panas… Lana sangat butuh….
***
Mikail membuka pintu kamar tempat Lana dikurung
dengan pelan. Sudah larut malam, dan Mikail tidak mengharapkan Lana
masih bangun.
Kamar itu gelap dan remang-remang, tapi mata Mikail menangkap nampan makanan yang masih utuh, hanya minumannya yang habis.
Gadis keras kepala. Geram Mikail dalam hati, dia
pikir dia bisa mengancam Mikail dengan membiarkan dirinya sendiri
kelaparan. Dia tidak tahu bahwa Mikail akan menggunakan
segala cara untuk membuat Lana menyerah padanya…
Gerakan gemerisik di ranjang membuat Mikail menoleh
waspada. Dalam keremangan kamar itu, Mikail melihat Lana terbaring di
sana, gelisah. Perempuan itu belum tidur rupanya…. Dan dia tampak… tidak
tenang.
Ingin tahu, Mikail mendekat, dan menemukan Lana berbaring disana dengan tatapan mata tersiksa. Tubuhnya menggeliat
di atas ranjang berseprei satin putih itu seperti kepanasan,
“Tolong…panas….,” suara Lana mendesah, serak seperti
kesakitan.
Mengernyitkan keningnya, Mikail duduk di tepi
ranjang, dan menyentuhkan jemarinya ke dahi Lana, suhunya normal, dia
tidak demam. Kerutan di kening Mikail makin dalam, lalu kenapa perempuan
ini bilang kalau dia kepanasan?
“Kau mau minum?,” dengan cekatan Mikail mengambil gelas air di meja pinggir ranjang, “Sini, aku bantu kau minum.”
Mikail bangkit dan mengangkat tubuh Lana, lalu
mencoba membuatnya berdiri. Tubuh Lana menggayut lemah di lengannya, dan
napas perempuan itu terengah,
“Panas…. Tolong… panas sekali….,” Sekali lagi Lana
mendesahkan suara itu, suara kepanasan, seperti tersiksa.
Mikail meminumkan air itu kepada Lana, dan dengan
rakus Lana menghirup air itu. Tetapi napasnya tetap terengah, dan dia
masih tampak tersiksa oleh rasa panas yang mendera tubuhnya.
Pasti ada sesuatu…. Jangan-jangan….
Mikail memundurkan tubuh Lana yang bersandar padanya, supaya dia bisa mengamati Lana dengan jelas.
Wajah Lana merona kemerahan, napasnya terengah, dan matanya sedikit tidak fokus, dia selalu mengeluh
kepanasan…. Jangan-jangan…
Dengan cepat Mikail membaringkan Lana di ranjang, dan
melangkah keluar dari kamar bernuansa putih itu, membanting pintunya,
dan berteriak,
“Norman!”
Sekejap, tanpa suara seolah menggunakan sihir, Norman muncul di depan Mikail,
“Ya Tuan”
“Kau campurkan apa di minuman Lana?”
Norman sedikit membungkukkan tubuhnya, wajahnya tanpa
ekspresi, “Saya mencampurkan obat milik saya, Tuan tahu itu obat apa”
Wajah Mikail mengeras, “Ya. Aku tahu itu obat apa. Dan aku
menolak memperalat wanita dalam pengaruh obat. Kau melakukan sendiri tanpa meminta izinku, kau tahu kalau aku
marah aku bisa menghukummu”
Norman tampak tidak terpengaruh dengan kata-kata Mikail,
“Anda memerintahkan saya untuk membuat perempuan itu
menyerah. Dia sangat membenci anda, dan pasti akan berontak mati-matian. Obat itulah satu-satunya cara
membuat dia menyerah,” Norman menatap mata Mikail, “Anda bisa meninggalkan kamar ini kalau anda tidak ingin memanfaatkannya”
“Dia kesakitan, kau tahu itu,” geram Mikail marah.
Norman mengangkat bahunya,
“Anda bisa meredakan sakitnya. Dan besok, setelah Anda memilikinya, mungkin dia akan menjadi lebih penurut”
“Berapa banyak obat yang kau berikan padanya?”
“Dosis biasa tuan, tetapi efeknya berbeda-beda tergantung orangnya”
“Jadi ini bisa berlangsung selama berjam-jam atau bisa juga sepanjang malam?”
“Ini bisa berlangsung selama Anda ingin bersenang-senang, Tuan”
Mikail terdiam. Kata-kata Norman terasa begitu menggoda.
***
Mikail kembali masuk ke dalam kamar, didorong perasaan yang kuat untuk melihat Lana kembali.
Lana masih menggeliat dan mengerang-erang di atas
ranjang, ketika Mikail duduk di ranjang. Lana menatap Mikail dengan mata berkabut, seolah tidak mengenalinya.
“Aku sakit….tubuhku… panas…”
Mikail tersenyum dengan kelembutan yang aneh. Lana benar-benar
tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya, bahwa hanya ada satu cara
untuk menyembuhkan Lana dari kesakitannya. Dan Lana membutuhkan Mikail
untuk itu.
Mikail mencondongkan tubuhnya dan menyapu lembut
bibir Lana, mendapati mata Lana membelalak kaget. Mikail tidak bisa
menahan dirinya untuk tersenyum. Sungguh luar biasa,
perpaduan antara kepolosan dan gairah yang kuat sungguhsungguh menggodanya.
“Kau tidak menyukainya?,” bisik Mikail lembut.
Lana menatap Mikail, atau setidaknya mencoba menatap dengan matanya yang sulit fokus,
“Aku… apa yang terjadi pada diriku?”
Mikail mengulurkan jemarinya, dan menyapukannya di pipi Lana, membuat tubuh Lana bergetar.
“Anak buahku mengambil keputusan sendiri dan mencampurkan obat di minumanmu…”
“Obat…? Apakah aku diracuni?”
“Itu bukan racun Lana, obat itu akan merangsangmu sampai
hasratmu tak terkendali, dan kau akan kesakitan jika dirimu
tidak dipuaskan”
Lana butuh waktu sesaat untuk mencerna, sampai kemudian menyadari arti kata-kata
Mikail, sedikit kesadarannya meneriakkan peringatan akan bahaya. Dan
tubuhnya langsung beringsut, susah payah mencoba menjauhi Mikail.
Tetapi Mikail merengkuh Lana lagi dan berbisik lembut di telinga Lana,
“Aku bisa membantumu menyembuhkan rasa sakitmu,”
sambil berbicara, tangannya yang bebas turun ke dada Lana. Erangan Lana ketika merasakan jemari Mikail menyentuhnya
terdengar begitu menderita, “Terlalu sensitif,
sayang? Kau membutuhkan pelampiasan dengan segera bukan?,” Tangan Mikail
bergerak ke pusat gairah Lana.
“Tidak!,” Lana mencoba berteriak dan mencengkeram lengan Mikail, “Jangan! Kau tidak boleh melakukannya!”
“Ini satu-satunya cara agar kau tidak kesakitan lagi, Sayang,” suara Mikail terdengar sedikit parau, “Biarkan aku membantumu”
Lana mengerang ketika denyutan itu meningkat seiring dengan sentuhan Mikail. Otaknya memberontak atas apa
yang dilakukan pria itu dengan jari-jarinya, tapi tubuhnya tak kuasa menolaknya. Lana membutuhkan jemari Mikail itu….
Ia membutuhkan….
“Aku akan menolongmu Lana, tapi kau juga harus
menolongku. Aku juga butuh pelepasan sendiri. Lihat aku
Lana, lihatlah tubuhku”
Mikail membuka jubah sutra hitamnya, dan tubuhnya
telanjang di balik jubah itu. Dan napas Lana tercekat ketika melihat bukti gairah Mikail begitu keras.
“Gunakan diriku Lana, biarkan aku merasakan tubuhku ada di dalam dirimu dan menyembuhkanmu,”
Tubuh Mikail sudah menindih Lana, dan perempuan itu
menggodanya dengan pinggulnya yang menggeliat dan mengundang. Mikail
menyangga tubuhnya dengan siku, menjaga agar dadanya yang keras tidak
menindih tubuh
Lana. Mikail menunduk dan mencicipi bibir Lana yang begitu menggoda dan menggairahkan, bibir itu begitu manis dan menggoda,
“Tenang sayang, aku mungkin akan menyakitimu,” Mikail
menahan pinggul Lana dengan tangannya, karena pinggul itu bergerak-gerak mendesaknya dengan mengundang. Lana
sudah sepenuhnya ada di bawah pengaruh obat itu, “Tapi
aku berjanji, setelah rasa sakit itu, kau akan merasakan
kenikmatan”
Detik itu juga Mikail mendesakkan dirinya ke dalam tubuh Lana. Hati-Hati. Mikail menggertakkan giginya, mencoba
menahan gairahnya yang begitu kuat, mencoba meredakan dorongan untuk menerjang dan menenggelamkan tubuhnya dalam-dalam ke dasar balutan sutera panas milik Lana.
Lana adalah miliknya!
***
BAB 3
“Sakit!!,”
Lana menjerit, berusaha mendorong tubuh Mikail.
Tubuhnya berteriak antara kesakitan dan keinginan untuk dipenuhi
gairahnya. Sebutir air mata menetes dari sudut matanya, sisa-sisa dari kesadarannya yang tertinggal.
Mikail mendesakkan dirinya sedalam mungkin, akhirnya berhasil menembus penghalang itu, mengabaikan jeritan kesakitan Lana.
Ketika akhirnya jeritan Lana mereda. Mikail mengangkat kepalanya, dan mengecup lembut bibir Lana yang terbuka dan terengah-engah,
“Setelah ini…. Aku akan mengajarkanmu bagaimana memuaskanku,” ucapan itu menggema di dalam ruangan,
bagaikan janji dari sang kegelapan.
Dan Lana, sudah benar-benar kehilangan
kesadarannya, tubuhnya menggeliat merasakan kenikmatan yang menggelenyar
ketika rasa sakit itu akhirnya menghilang. Berganti dengan kenikmatan
panas yang membagikan gelenyar menyiksa ke seluruh tubuhnya.
Mikail merasakan gerakan pinggul Lana, merasakan
denyutannya yang menggenggam panas tubuhnya, yang tertanam jauh di dalam
tubuh Lana. Mendesak dengan berani, menarik Mikail lebih dan lebih
dekat lagi.
Mikail menggertakkan gigi, menahan diri, membiarkan
Lana menggerakkan pinggulnya, mencari kenikmatannya sendiri dengan
sesuka hati.
Dan tidak butuh waktu lama ketika akhirnya perempuan itu mencapai pemenuhan kepuasannya,
“Oh… oh … Astaga…,” Lana memejamkan mata ketika
kenikmatan itu meledak dan membanjiri tubuhnya dengan rasa panas yang tak tertahankan.
Dan walaupun Mikail bisa memperpanjang kenikmatannya
sendiri, pemandangan akan orgasme Lana dan denyutan Lana yang meremas
dirinya, jauh di dalam sana, membuatnya tidak bisa menahan diri lagi.
Detik itu pula, Mikail meledakkan gairahnya bergabung dengan Lana dalam
gairah yang melemahkan.
***
Entah apa yang membuat Lana terbangun dari tidurnya
yang lelap, rasa sakit yang aneh di badannya, ataukah cahaya terang yang
mendadak muncul entah dari mana. Lana membuka matanya. Sekilas
pandangannya terasa kabur, dan dia mencoba untuk memfokuskan dirinya.
Kamar itu, dengan nuansa putih yang feminim….
Dengan panik Lana terduduk dari
|
ranjangnya, dan
|
|
selimutnya melorot hampir jatuh
|
menutupi dadanya, melorot?
|
|
Lana menundukkan kepalanya, dan
|
menyadari kalau
|
dia
|
telanjang bulat di balik selimutnya, apa yang…..
“Selamat Pagi”
Suara maskulin itu terdengar dekat sekali dan Lana menolehkan kepalanya kaget,
Pemandangan di hadapannya membuat jantungnya
bergejolak. Mikail ada di sana, di ranjangnya,
mereka ada dalam selimut yang sama, dan menilik kepada selimut Mikail
yang hampir saja melorot di pinggulnya, mereka sama-sama telanjang!
Lana masih terperangah menatap pemandangan di
depannya. Mikail berbaring dengan angkuhnya, jelas-jelas telanjang bulat di balik selimutnya, dan menatapnya dengan tatapan berhasrat yang memiliki.
Dengan panik Lana menarik selimutnya hampir untuk
menutupi seluruh dadanya, tetapi gerakannya itu malahan membuat selimut
Mikail melorot dan hampir memperlihatkan kejantanannya. Dengan malu Lana
memalingkan kepalanya dan disambut dengan senyuman jahat Mikail.
Keberanian dan kemarahan Lana langsung muncul ketika
menyadari rasa pedih di antara ke dua pahanya. Lelaki ini memperkosanya!
Entah apa yang terjadi semalam, Lana
tidak ingat sama sekali. Tapi yang pasti, dia sudah dinodai oleh iblis berhati kejam ini.
“Kau sungguh iblis yang tidak bermoral, mengambil keuntungan dari perempuan yang sangat membencimu!,”
desis Lana menahan marah, masih tidak mau menatap Mikail
Mikail terkekeh mendengar suara geram Lana,
“Membenciku?,” dengan santai lelaki itu berdiri, tak malu dengan tubuh telanjangnya yang berotot, “Lihat aku Lana,
kau meninggalkan tanda-tanda di tubuhku, kau sangat bergairah semalam, seperti Kucing betina yang mencakar di
sana sini untuk dipuaskan…. Dan atas gairahmu semalam, aku tidak yakin kalau kau membenciku”
Lana melirik sekilas ke tubuh telanjang Mikail yang berdiri di samping ranjang, mukanya merah padam karena malu.
Mikail, di dekat kejantanannya…. Apakah dia yang melakukannya??
“Ya. Kau yang melakukannya.” Ada senyum di suara
Mikail, “Dengan sangat bergairah dan lapar. Aku cuma berbaring di sana
dan kau menyantapku bulat-bulat, sepanjang malam”
Kelebatan ingatan akan percintaan yang panas muncul di ingatan Lana, samar-samar dan tidak jelas. Tapi dia tidak mampu mengingat semuanya, kenapa dia tidak mampu mengingat semuanya?
Lana teringat minuman yang di berikan Norman
semalam, dan rasa muaknya memuncak ketika menyadari ada sesuatu yang
dicampurkan di situ, dengan mata menyala-nyala.
Dikuasai oleh kemarahan yang campur aduk menjadi
satu, Lana menantang tatapan Mikail, mencoba tidak mempedulikan
ketelanjangan Mikail.
“Aku selalu mendengar kau jahat dan licik, tapi aku
sungguh tak menyangka kau serendah itu, menggunakan obat untuk memaksa
perempuan yang jijik kepadamu supaya mau
melayanimu!”
Sepertinya kata-kata Lana mengena di hati Mikail karena rahang lelaki itu tampak mengeras, marah.
Dengan kasar, Mikail menyambar jubah sutra hitamnya dan mengenakannya. Lalu dengan gerakan tiba-tiba, naik ke atas ranjang dan mencengkeram rahang Lana dengan sebelah tangannya.
Cengkeraman itu terasa keras dan menyakitkan sehingga
Lana mengernyit. Tetapi Lana menahan diri untuk tidak mengaduh, dia
tidak mau memberikan kepuasan kepada lelaki itu.
“Apapun yang kau katakan, satu hal yang pasti, kau
sudah menjadi milikku. Dan seperti yang kubilang, segala sesuatu yang
menjadi milik Mikail Raveno tidak akan pernah bisa lepas, kecuali aku
melepaskanmu.. atau aku membunuhmu!”
Dengan kasar Mikail melepaskan cengkeramannya di
rahang Lana, membuat tubuh Lana terdorong lagi ke ranjang. Lalu dengan
langkah tegas, Mikail melangkah keluar kamar sambil membanting pintu di
belakangnya.
***
Lana masih termangu di ranjang, lalu kilasan rasa sakit di antara pahanya menyadarkannya.
Noda darah itu tampak mencolok di seprai putih itu, tampak menertawakannya.
Sungguh ironis, keperawanannya terenggut oleh
bajingan berhati iblis yang ingin dibunuhnya. Tubuh Lana gemetar,
dipenuhi oleh rasa campur aduk yang menyesakkan ketika dia mencoba
berdiri.
Noda merah di ranjang itu sangat mengganggunya,
hingga dengan kasar Lana merenggut seprai itu dan membantingnya ke
lantai. Napas Lana terengah-engah dan entah kenapa kemudian tubuhnya ambruk ke lantai, menangis penuh emosi.
Ingatannya melayang kepada ayah dan ibunya, kepada dendamnya yang belum terbalaskan, dan kepada nasibnya
yang membuatnya terperangkap di sini, dalam cengkeraman musuh besarnya.
Kini dia terpuruk di sini, dalam cengkeraman Mikail, dan yang sangat menyakitkan dia tidak berdaya menghadapi lelaki itu.
Lana mengusap air matanya tiba-tiba. Tidak! Dia sudah cukup menangis, dia harus melawan, dengan segala cara!
Dengan pelan Lana melangkah ke kamar mandi, dia
harus mandi dan menghapus semua jejak dan noda yang ditinggalkan Mikail
di tubuhnya.
Mikail boleh saja menodainya, tetapi bukan berarti
lelaki itu memilikinya. Lana wanita bebas, wanita bebas yang bertekad
untuk menghancurkan Mikail. Tunggu saja, dia hanya belum punya
kesempatan.
***
Lana hanya duduk di kursi putih itu putus asa sebab
setelah sekian lama berkeliling ruangan, memeriksa setiap sudut di kamar
mandi dan jendela, tetap benar-benar tidak ada celah yang bisa digunakan sebagai jalannya untuk melarikan diri.
Putus asa, Lana duduk sambil memeluk lututnya, Kalau begini, bagaimana caranya dia bisa keluar dari rumah ini?
Sedangkan keluar dari kamar ini saja dia tidak mampu.
Matanya melirik ke pintu kamar. Pintu yang terkunci itu satusatunya jalan.
Tetapi yang bisa keluar masuk dari pintu itu hanya
Mikail, dan juga seorang lelaki bertampang dingin bernama Norman, yang
selalu ada di sebelah Mikail setiap ada kesempatan. Lelaki bertampang
dingin itu sepertinya ditugaskan untuk mengantarkan makanannya.
Pikiran Lana berputar… memang rasanya tidak mungkin, jika tidak dicoba dia tidak akan tahu…
Seperti sudah diatur, pintu kamar itu terbuka, dan Lana langsung terduduk tegak waspada, menanti siapapun yang akan masuk.
Norman muncul di sana membawa nampan makanan,
wajahnya datar tanpa ekspresi seperti biasa. Dan Lana langsung sengaja
memasang wajah kesakitan,
“Aku minta tolong….,” rintihnya sesakit mungkin.
Norman mengernyit dan mendekat,
“Ada apa nona?’
“Aku… aku mau muntah… tolong aku,” Lana meremas perutnya, berusaha semeyakinkan mungkin.
Dan sepertinya Norman tidak curiga, lelaki itu mendekat, dan menatap Lana,
“Kau mau dibantu ke kamar mandi?”
Lana mengangguk lemah.
Dengan tangan kuatnya, Norman membantu Lana berdiri dan memapah tubuh Lana yang lunglai ke kamar mandi.
Ketika Norman membuka pintu kamar mandi, Lana berakting seolah-olah muntahnya akan keluar, hingga Norman langsung bergegas membawanya ke kamar mandi,
Di wastafel, Lana menundukkan kepalanya seolah-olah akan muntah hebat,
“Handuk… tolong….,” gumam Lana lemah, melirik ke arah
lemari handuk yang ada di ujung ruangan kamar mandi,
Masih tanpa curiga, Norman melangkah ke arah lemari
handuk. Saat itulah dengan secepat kilal Lana melompat dan berlari ke
arah pintu keluar kamar mandi.
Norman menyadari kalau dia ditipu ketika melihat
kelebatan langkah cepat Lana. Dia berusaha mengejar tapi terlambat, Lana
yang melompat gesit sudah keluar dari kamar mandi
dan membanting pintunya dari luar, lalu menguncinya rapatrapat.
Dengan napas terengah karena pacuan adrenalin, Lana
menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mandi, memejamkan mata, tak peduli
akan gedoran-gedoran marah Norman dari dalam,
“Kau tidak akan bisa melarikan diri,” ancam Norman,
berteriak dari dalam, “Tuan Mikail pasti akan menemukanmu, dan aku
bersumpah, kalau kau sampai membuat Tuan Mikail marah, kau akan
menyesalinya”
Dengan langkah hati-hati, Lana membuka pintu putih yang
tak terkunci itu, matanya mengintip sedikit keluar, khawatir kalau-kalau ada penjaga yang menjaga di pintu.
Tetapi rupanya Mikail beranggapan Lana terlalu lemah
sehingga tidak perlu menempatkan penjaga di pintu. Lorong itu kosong.
Dengan hati-hati Lana melangkah keluar. Suara gedoran-gedoran
pintu kamar mandi dan teriakan Norman masih terdengar ketika Lana
keluar, tetapi ketika Lana menutup pintu putih besar itu, suara itu
lenyap dan menjadi senyap. Rupanya ruangan putih tempatnya dikurung itu
kedap suara.
Lana melangkah lagi melewati lorong itu. Tidak ada
pintu lain di lorong itu, arahnya langsung ke tangga spiral yang besar
menuju ke pintu depan. Dengan hati-hati, Lana mengintip
dari ujung tangga ke arah bawah. Kosong. Kemanakah para penjaga yang dia lihat kemarin?
Pelan dan waspada, Lana melangkah menuruni tangga.
Dia sudah berhasil menyeberangi ruangan dan memegang handle pintu besar
itu, ketika suara dingin yang mulai dikenalnya terdengar tepat di
belakangnya,
“Kau pikir kau akan kemana?”
***
Terlonjak kaget, Lana membalikkan badan dan hampir menabrak dada bidang Mikail.
Lelaki itu berdiri dekat sekali di belakangnya, dan menekannya ke pintu, tatapannya menyala penuh
kemarahan, seperti iblis yang siap membakar musuhmusuhnya.
“Berani sekali kau mempermalukan Norman seperti itu, dan berani sekali kau mencoba melarikan diri dari rumahku,”
Tangan besar Mikail mencengkeram lengan Lana dengan kasar lalu menyeret Lana yang tidak bersedia.
Lana meronta-ronta, mencoba bertahan, tetapi Mikail tidak peduli, tetap menyeret Lana dengan kekuatan besarnya. Hingga Lana mau tidak mau harus terseret-seret mengikuti daripada tangannya putus.
Mikail menyeret Lana menaiki tangga dan kembali menuju kamar putih tempat Lana tadi dikurung.
Di sana beberapa pengawal Mikail berkumpul, dan
Norman berdiri di sana. Rupanya dia berhasil menghubungi Mikail dan
dibebaskan dari kamar mandi.
Lana mengernyit dalam hati, seharusnya tadi dia lebih
cepat, atau mungkin dia pukul kepala Norman dengan sesuatu sehingga
lelaki itu pingsan dan tidak bisa menghubungi teman-temannya dengan segera.
Mikail melepaskan cengkeramannya lalu mendorong Lana ke depan dengan kasar,
“Kau lihat Norman? Perempuan kecil seperti ini, dan kau, pengawalku yang sudah bertahun-tahun lamanya bisabisanya dibodohi seperti ini”
Norman hanya terdiam, menatap Mikail dengan muka
datar, sepenuhnya mengabaikan keberadaan Lana. Hingga Lana mengernyit,
apakah lelaki ini memang tidak punya ekspresi?
“Dan kau Lana,” Mikail melepas jasnya dan menggulung
lengan kemejanya, “Ini adalah peringatan untukmu. Kalau kau membodohi
salah satu pegawaiku lagi untuk melarikan diri, kau akan membuang satu
nyawa, karena aku akan
langsung membunuh pegawaiku,”
Tanpa dinyana, Mikail menghantam Norman dengan satu
pukulan telak hingga kepala Norman mundur ke belakang, darah menetes
dari sudut bibirnya.
Lana terkesiap mundur dan makin terkesiap ketika
Mikail menghajar Norman, lagi dan lagi tanpa perlawanan hingga lelaki
itu jatuh berlutut dengan memar dan bibir berdarah yang mengotori
kemejanya.
Mikail mundur satu langkah ketika Norman terjatuh, dia menoleh dan menatap Lana,
“Kalu lihat itu Lana? Setiap kau mencoba melarikan diri, aku
bersumpah akan ada nyawa yang berkorban untukmu.
Mereka semua yang lengah hingga memberi kesempatan padamu untuk lari,
akan kubunuh!,”
Dengan kejam Mikail mengarahkan pukulannya sekali lagi ke arah Norman.
Lana berteriak, spontan mencengkram lengan Mikail yang terayun, mencegah Mikail menghabisi Norman,
“Jangan…. ! Jangan ! Aku yang salah, aku yang salah! Jangan bunuh dia! Aku yang salah ! “, teriaknya panik.
Mikail terdiam dan mematung, ketika akhirnya dia
menatap Lana, matanya sedingin es. Lelaki itu tampak amat sangat marah
kepada Lana.
“Jadi kau mengaku salah..,” Mikail mundur lagi dan Lana
merasa lega luar biasa karena lelaki itu tidak jadi
melampiaskan kemarahannya kepada Norman yang sudah berlutut tak berdaya
di lantai.
“Aku hanya ingin keluar dari tempat ini,” teriak Lana marah,
frustrasi karena Mikail menggunakan ancaman licik untuk mencegahnya melarikan diri.
“Kau milikku, dan tidak ada milikku yang bisa keluar dari sini tanpa seizinku”
“Atas dasar apa??,” Lana berteriak marah, “Aku bukan milik
“Kau mau keluar hah??,” Mikail mencengkeram lengan Lana
lagi, di tempat yang sama hingga Lana merasa lengannya memar, “Mari kita keluar!”
***
Tak ada yang berani menolong ketika Lana berteriak-teriak dalam seretan Mikail.
Sepertinya kemarahan Mikail adalah hal biasa di rumah ini dan tidak ada satupun yang berani melawan laki-laki itu.
Mikail membawa Lana ke ujung lorong, ke jendela kaca lantai dua yang mengarah langsung ke balkon.
Dengan kasar Mikail mendorong Lana keluar lalu
mendesaknya ke ujung balkon, hingga kepala Lana mengarah ke bawah dan
menatap ngeri ke kolam renang yang sangat luas di bawahnya.
Kolam itu tampak sangat bening dan dalam. Lana bergidik. Dia tidak bisa berenang, apakah Mikail akan mendorongnya ke bawah?
Mikail benar-benar mendesak tubuh Lana sampai ke ujung balkon, membuat kepalanya terbungkuk ke bawah,
sementara tangannya di kekang oleh Mikail di belakangnya,
“Kau lihat itu? Salah sedikit aku melemparmu ke
bawah, kepalamu bisa pecah terkena ubin pinggiran kolam,” napas Mikail
sedikit terengah oleh kemarahan, “Kau perempuan tak
tahu diuntung, harusnya kau bersyukur atas kebaikan hatiku padamu dan keluargamu, hingga kau masih bisa hidup
sampai sekarang…. Tahukah kau kalau aku bisa dengan mudah mencabut nyawamu kapanpun aku mau”
“Tuhan yang berhak mencabut nyawaku, bukan iblis seperti kau.” Lana berteriak berusaha menantang meski jantungnya
makin berpacu kencang diliputi ketakutan luar biasa.
“Perempuan tidak tahu terima kasih,” Mikail mendorong Lana lagi sampai ke ujung, “Ada kata-kata terakhir?”
Lana memalingkan kepalanya sehingga tatapan matanya yang penuh kebencian bertemu dengan mata dingin Mikail,
“Terima kasih karena sudah membebaskanku”
Lalu tubuh Lana terlempar, melayang di udara kemudian meluncur ke bawah, ke kolam renang yang dalam itu.
Setidaknya kalau aku mati, aku sudah mencoba
membalaskan dendam kita, Ayah….
Sedetik kemudian, tubuh Lana terbanting menembus
permukaan kolam lalu tenggelam. Lana tidak berusaha menyelamatkan diri,
membiarkan tubuhnya makin tenggelam dalam kolam itu.
Matanya menggelap dan memejam, dan entah berapa
banyak air kolam yang tertelan olehnya. Napasnya terasa sesak dan paru-parunya terasa mau pecah.
Oh Tuhan… aku akan mati….
***
Ketika Lana sudah sampai di titik akan kehilangan kesadarannya, terdengar ceburan lain yang tak kalah kerasnya di kolam.
Tak lama kemudian, sebuah lengan yang kuat
merengkuhnya dan mengangkat tubuhnya, lalu membawanya ke permukaan.
Tubuh lemas Lana dibaringkan
di lantai di pinggiran kolam, lalu dia merasakan perutnya di tekan dengan ahli hingga aliran air yang tertelan keluar.
Lana memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa begitu sakit dan nyeri
Siapakah penolongnya? Apakah dia memang belum diizinkan mati?
Tangan kuat itu terus menekan hingga seluruh cairan
terpompa keluar dari perut Lana. Mata Lana mulai buram, kesadarannya
semakin hilang, ketika suara itu terdengar tenang di atasnya,
“Panggil Dokter”
Itu suara Mikail. Apakah Mikail yang menyelamatkannya?
Lagipula… kenapa lelaki itu menyelamatkannya?
***
BAB 4
Mikail keluar dari kamar mandi dengan masih menyimpan
kemarahan. Rambutnya basah kuyup. Dan seluruh pakaiannya yang basah
teronggok di lantai.
Sebuah gerakan di sudut kamar membuatnya menoleh. Norman berdiri di sana, bekas-bekas pukulan Mikail masih menimbulkan memar-memar di sana sini, tetapi lelaki itu sepertinya sudah diobati,
“Bagaimana dia?,” tanya Mikail dingin.
“Dokter sedang menanganinya, paru-parunya kemasukan cairan…Anda sendiri Tuan Mikail, Anda tidak apa-apa?
Terjun dari lantai dua seperti itu hanya untuk menyelamatkan
perempuan itu…”
Mikail melirik pada Norman dengan tatapan tajam, lalu meraih handuk untuk menggosok rambutnya yang basah,
“Tadinya aku berniat membunuhnya”
“Kalau begitu kenapa Anda menyelamatkannya?”
Mikail membalikkan tubuhnya dan menatap Norman dengan mata menyala-nyala,
“Karena aku memutuskan, belum saatnya dia mati,” mata
cokelat Mikail bagaikan berbinar di kegelapan, “Dan kau…. Kenapa kau
sengaja membiarkannya lolos?”
Norman menatap Mikail, tampak ada keterkejutan di matanya meskipun sekejap kemudian dia langsung memasang wajah
datar, “Saya tidak sengaja membiarkannya lolos”
“Kau pikir aku bodoh?,” suara Mikail menajam,
setajam tatapannya, “Kau adalah pengawalku paling berpengalaman, tak
mungkin kau bisa diperdaya gadis itu, kecuali kau
memang membiarkan dirimu diperdaya”
Norman menelan ludahnya, “Saya ingin membebaskannya, saya takut dia akan membawa masalah untuk kita”
Mikail melempar handuknya dengan marah ke sofa,
“Dalam dua hari ini kau sudah dua kalI mengambil keputusan sendiri dan menentangku. Dengarkan ini baik-baik Norman,” suara Mikail dalam dan mengancam, “Sekali lagi kau
membuat kebodohan yang merepotkanku, bukan hanya pukulan yang kau dapat, aku akan menghabisimu secepat
aku bisa”
Suara ancaman itu masih menggema di kegelapan, bagaikan janji Iblis yang memanggil-manggil meminta nyawa.
***
Ketika Lana terbangun, yang dirasakannya pertama kali adalah rasa sesak di dadanya. Dia menggeliat panik, mencoba menarik napas sekuat-kuatnya, dalam usahanya mencari oksigen sebanyak-banyaknya.
“Tenang, kau sudah ada di daratan, kau bisa bernafas secara normal,” Suara Mikail membawa Lana kembali pada
kesadarannya.
Dengan waspada dia menoleh dan mendapati Mikail
sedang duduk di tepi ranjangnya. Lana beringsut sejauh mungkin dari
Mikail dan tingkahnya itu memunculkan secercah cahaya geli di mata
Mikail,
“Apakah kau takut padaku setelah kejadian tadi?,” nada
gelipun tersamar dalam suara Mikail.
Kurang ajar, batin Lana dalam hati. Dia berjuang meregang nyawa, dan lelaki ini malah duduk disini menertawainya.
Tetapi, apakah benar Mikail yang terjun ke kolam waktu itu dan menyelamatkannya? Kenapa? Bukankah jelas-jelas
dalam kemarahannya Mikail sudah memutuskan untuk membunuhnya? Kenapa lelaki itu berubah pikiran?
“Ya, aku memang menyelamatkanmu,” Mikail bergumam seolah-olah bisa membaca pikiran Lana, “Tetapi itu bukan demi dirimu, itu demi kepuasanku.”
Lana menatap Mikail geram,
“Apa maksudmu?”
Dengan tenang lelaki itu melepas dasinya, gerakannya
pelan tetapi mengancam hingga tanpa sadar Lana bergidik dan beringsut
menjauh.
“Aku tidak suka bercinta dengan mayat,” Senyum di bibir Mikail tampak kejam, “Kau lebih nikmat kalau hidup dan bernafas.”
Ketika Lana menyadari maksud Mikail, sudah terlambat.
Lelaki itu mencengkeram kedua lengannya dengan satu tangan. Kekuatan
Lana tidak sebanding dengan kekuatan tubuh Mikail yang besar dan kuat di
atasnya. Dengan mudahnya lelaki itu mengikat kedua pergelangan
tangannya dengan ikatan mati yang sangat rapi, lalu menalikannya di
kepala ranjang,
“Kau…. Kau mau apa ??’, Lana mulai panik ketika Mikail
yang setengah duduk di atasnya membuka kancing kemejanya.
Senyum Mikail tampak penuh kepuasan melihat kondisi
Lana yang tidak berdaya. Lelaki itu membuka seluruh kancing kemejanya
sehingga dada dan perutnya yang berotot terlihat. Sejenak Lana terpana
melihat kulit berwarna perungggu
yang berkilauan bagai satin itu, tetapi kemudian dia
sadar bahwa dia ada dalam kondisi genting. Dengan panik Lana mulai
meronta dan menendang, sedapat mungkin bergerak untuk melepaskan diri.
Tapi percuma, ikatan Mikail ke tangannya sangat kuat, dan dalam kondisi terikat seperti itu, Lana benar-benar tak berdaya.
“Semalam kau bercinta denganku, panas, dan
memabukkan…. Tapi kau mungkin tak bisa mengingat dengan jelas dan aku
tak suka itu….,” suara Mikail merendah, penuh gairah, “Malam ini, akan
kubuat kau mengingat setiap detiknya”
***
Dalam kondisi terikat dan tak berdaya, Lana melihat
ketika Mikail melepas kemejanya dan setengah menindihnya. Mulutnya
sangat dekat dengan bibir Lana, hingga napas mereka beradu, Mikail
menundukkan kepalanya, mencium
sisi leher Lana, membuat Lana berjingkat dan berusaha meronta lagi,
“Sshhh…. Kau akan menyakiti lenganmu kalau kau
merontaronta terus seperti itu,” bibir Mikail merayap dan mendarat di
bibir Lana. Lelaki itu mengecup sedikit ujung bibir Lana, lalu
lidahnya menelusup masuk, membuka bibir Lana yang
lembut, mencecapnya dan merasakan seluruh tekstur bibir Lana yang hangat
dan panas. Lidahnya mengait lidah Lana dan memainkannya dengan
intensitas yang sangat ahli.
Ketika Mikail melepaskan bibirnya, napas Lana terengahengah, ciuman ini adalah ciuman yang paling intens yang
pernah di rasakannya.
“Kau menyukainya bukan?’, Mikail berbisik lembut
dengan nafasnya yang panas di telinga Lana, “Aku sangat menyukai
bibirmu, dan sensasi kelembutannya di bibirku….,” tangan Mikail merayap
ke bawah, meraba kulit leher Lana, “Seluruh tubuhmu hangat sayang,
seakan menggodaku….,” Jemari
Mikail menyingkap rok Lana dan menelusup ke dalam sana,
menggoda pusat gairahnya, “Di sini…. Yang paling panas”
Lana menggelinjang, mencoba meronta, tetapi tubuh
kuat Mikail yang setengah menindihnya membuat gerakannya terbatas.
Apalagi tangannya yang terikat di atas, membuat lengannya terasa kram
dan pergelangan tangannya ngilu ketika dia menggerak-gerakkannya.
Mikail melirik ke pergelangan tangan Lana yang terikat, dan menyadari bahwa ikatan itu menyakiti Lana.
“Jangan bergerak-gerak, atau kau akan mengalami memarmemar ketika ini selesai”
Setetes air mata mengalir di sudut mata Lana, dia putus asa dalam usahanya untuk melepaskan diri.
“Jangan lakukan ini, please…”
Mata Mikail sedikit melembut ketika mendengar permohonan Lana, tetapi kemudian senyumannya tampak mengeras,
“Aku hanya ingin membuatmu sadar dimanakah tempat kau seharusnya berada Lana,” Mikail membuka kancing kemeja
Lana satu persatu, membiarkan payudara Lana terbuka bebas untuknya,
“Ini milikku,” Mikail menyentuh payudara Lana dan
menggodanya, menikmati ketika mendengar erangan
tersiksa Lana, “Seluruh tubuhmu milikku,” Mikail mengecup
ujung payudara Lana, mencecapnya dengan lidahnya.
Lalu bibirnya berpindah menelusuri bagian samping payudara Lana,
menikmatinya dengan bibirnya sehingga meninggalkan jejak-jejak basah dan panas di sana.
Lana melengkungkan punggungnya atas sensasi yang
menyiksanya tanpa ampun. Dalam kondisi terikat dan tak berdaya,
merasakan lelaki iblis itu mencumbunya, dan menyiksanya dengan godaan-godaannya yang sangat ahli, ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya. Seperti gelenyar panas yang bergulung-gulung, terasa seperti arus listrik yang mengalir dari jemarinya, dan menjadi semakin panas ketika menyatu di pusat dirinya.
Dan jemari Mikail menyentuh ke sana, dengan begitu
ahli, memainkan Lana sesuka hatinya. Tubuh Lana meronta tak tahan akan
alunan sensasi permainan jemari Mikail, tapi lengan MIkail yang kuat
menahan tubuhnya.
Kemudian bibir Mikail mengikuti jemarinya. Lana
terkesiap merasakan hembusan napas panas di pusat dirinya. Seketika dia
menegakkan tubuhnya dan tertahan oleh ikatan di pergelangan tangannya.
“Jangan!!,”
teriaknya panik, mencoba merapatkan kaki, mencegah bibir Mikail menyentuhnya.
Tetapi lengan Mikail yang kuat menahannya, dan
kemudian, Lana melengkungkan punggungnya dan mengerang keras merasakan
sensasi itu. Sensasi sentuhan bibir dan lidah Mikail di pusat dirinya,
dengan hembusan nafasnya yang panas. Panas bertemu panas dan dia
terbakar. Pandangannya menggelap karena sensasi kenikmatan yang tak
tertanggungkan.
“Sshhhh…. Semua bagian tubuhmu milikku Lana, Milikku.” Mikail mencumbu pusat gairah Lana menyatakan kepemilikannya.
Dan ketika Mikail selesai bermain-main, Lana sudah terbaring, lemas, dan tak berdaya dengan nafas terengahengah dan tubuh membara. Mikail menaikkan kembali
tubuhnya dan mengecup lembut bibir Lana. Dada
bidangnya menggesek payudara Lana, dan Lana merasakan kejantanan Mikail
yang begitu keras menyentuh pahanya dengan begitu menggoda seolah
mengerti apa yang paling Lana inginkan. Mikail menempatkan dirinya
dengan begitu tepat, seolah telah mengenal setiap jengkal tubuh Lana.
Dan Lana merasakan tubuh Mikail yang keras dan panas menyatu dengan
tubuhnya, memberikan geleyar kenikmatan yang makin menghujam.
“Lana,” Mikail mengerang merasakan tubuh Lana yang
panas, halus, dan membungkusnya dengan begitu erat,
menggodanya untuk mencapai kepuasan secepat mungkin. Tapi tidak, malam
ini untuk Lana. Mikail ingin Lana mengingat setiap detik percintaan
mereka malam ini.
Ketika Mikail bergerak, Lana mengerang. Semua ini
terlalu nikmat untuk ditanggungnya, dia tak bisa menjangkau kesadarannya
lagi, hampir frustasi karena pada akhirnya tubuhnya menyerah dalam
pusaran gairah Mikail. Mikail
menundukkan kepalanya, lalu mengecup sudut bibir Lana dengan posesif, menyatakan kepemilikannya, dan menghujamkan dirinya dalam-dalam.
“Kau milikku, Lana. Ingat itu baik-baik”
Sedetik kemudian, Mikail membawa Lana melewati
pusaran gelombang semakin dan semakin naik hingga guncangan orgasme
menerjang mereka berdua. Menyatukan mereka dalam satu titik kenikmatan.
***
Mikail mengangkat tubuhnya dari Lana yang terengah-engah,
dengan pikiran masih berkabut karena orgasme. Dengan lembut jemarinya
membuka ikatan tangan Lana, Ikatan itu menimbulkan bekas kemerahan di
sana. Dan Mikail
mengecup kedua pergelangan tangan Lana,
“Kau milikku, ingat itu. Kalau kau mencoba melarikan diri lagi, aku akan menghukummu dengan hukuman yang lebih berat”
Lalu Mikail bangkit, mengenakan pakaiannya dan menatap Lana yang memalingkan muka darinya, tak mau menatapnya,
“Kuharap kau tidak melupakan malam ini, setiap detiknya,”
gumamnya dingin, lalu melangkah pergi meninggalkan Lana yang terbaring diam di ranjang.
Setetes air mata mengalir kembali di sudut mata Lana.
Mikail benar, Lana tidak akan pernah bisa melupakan malam ini, setiap
detiknya.
***
BAB 5
Sudah hampir dua minggu Lana dikurung di dalam kamar
putih ini, tidak boleh keluar sama sekali. Hari-hari Lana dilalui dengan menatap ke luar dari jendela lantai dua ke
pekarangan rumah Mikail.
Lana sudah merasa begitu muak dan frustrasi karena
bosan. Setelah memaksakan kehendaknya malam itu, Mikail tidak pernah
mengunjungi Lana lagi.
Mungkin dia sedang bersenang-senang
dengan kekasih barunya. Lana mencibir, mencoba mengabaikan perasaan
seperti tercubit di dadanya. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa
Mikail tidak melepaskannya?
Apakah karena lelaki itu tahu bahwa Lana berniat
membunuhnya, jadi dia menawan Lana di sini karena menganggap Lana
ancaman yang berbahaya? Kalau begitu kenapa Mikail tidak membunuhnya
sekalian?
Beberapa lama terpaku di jendela, Lana menyadari bahwa
ada kesibukan yang tidak biasa di luar sana. Beberapa mobil tampak lalu lalang keluar masuk rumah Mikail yang biasanya lengang. Sehari-hari pemandangan yang didapat Lana hanyalah pemandangan pengawal-pengawal Mikali dan
beberapa pelayan yang lewat di halaman depan rumah.
Kali ini Lana melihat ada mobil bunga dan mobil
katering. Apakah Mikail akan mengadakan pesta? Kalau iya, mungkin saja
kesempatan Lana untuk melarikan diri bisa muncul kembali.
Sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar putih membuka. Lana bahkan tidak menolehkan kepalanya
sedikitpun. Karena yang masuk ke kamar ini selalu
hanya Norman yang mengantarkan makanan, dan pelayan yang membersihkan
ruangan dan membawakan pakaian ganti untuknya – tentu saja di bawah
pengawasan Norman.
Lana tidak pernah berinteraksi dengan Norman lagi
setelah kejadian kemarin, dan sepertinya lelaki itu juga tidak berniat
untuk mengajaknya berbicara. Lagipula rasa bersalah yang ditanggung Lana
terlalu besar. Karena dialah Norman dihajar oleh Mikail, bekas-bekas hajaran itu masih ada dari memarmemar di wajah Norman dan hidungnya yang patah.
Setiap melihat Norman, Lana disergap perasaan ngeri
dan rasa bersalah yang luar biasa. Mikail mengancam akan membunuh
siapapun yang lengah dan membiarkan Lana lolos. Apakah sepadan
mengorbankan satu nyawa demi meloloskan diri?
Lana memang tidak kenal dengan Norman, tetapi kalau mendapatkan kebebasan dengan mengorbankan nyawa
orang lain, tetap saja terasa tidak benar baginya….
“Lana.”
Itu suara Mikail. Lana terlonjak saking kagetnya. Dia menolehkan kepalanya, dan Mikail-lah
yang berdiri di tengah ruangan, lelaki itu tadi sepertinya terdiam,
mengamati Lana yang sedang melamun sambil memandang Lana yang
sedang menatap ke luar jendela.
Otomatis Lana mengepalkan tangannya, reaksi impulsifnya ketika menyadari aura Mikail yang berkuasa memenuhi ruangan.
Mikail melirik tangan Lana yang terkepal, dan senyum
sinis muncul di bibirnya. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang
dan Lana baru menyadari ada orang lain di
belakang Mikail, seorang laki-laki berbadan kecil dan sedikit gemulai,
“Ini Theo,” gumam Mikail tenang, “Dia akan mempersiapkanmu untuk nanti malam,” Setelah berkata
begitu, Mikail melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar itu.
Mempersiapkannya untuk apa?
***
“Kau sebenarnya cantik sekali Nona, hanya saja kau tidak pandai berdandan,” Theo bergumam dengan suara
gemulainya, memoles wajah Lana yang masih memejamkan matanya di depan cermin,
Sementara Lana masih memejamkan matanya, diam karena
didandani oleh Theo…. Kalau Mikail menyuruhnya didandani,
maka dia pasti akan diperbolehkan untuk turun ke
pesta yang diadakan Mikail. Hal itu berarti ada kesempatan baginya untuk
melarikan diri dari rumah ini.
“Nah, sudah selesai, coba buka matamu,” gumam Theo.
Ada nada puas dalam suaranya,
Lana membuka matanya pelan-pelan karena bulu mata palsu terasa memberati matanya. Dan dia terpana menatap sosok yang balas menatapnya di depan cermin itu.
Yang menatapnya bukannya Lana, perempuan yang seumur
hidupnya sangat jarang berdandan, yang ada di depannya adalah perempuan
yang sangat cantik. Luar biasa cantiknya
dengan riasan yang tidak terlalu tebal tapi sangat pas di semua sisi.
Theo memang perias yang sangat berbakat, dan sangat
terkenal tentunya dengan tarif sekali riasnya yang amat sangat mahal.
Lana sering sekali mendengar nama perias ini di media sebelumnya, tapi
tidak pernah berfikir bahwa dia akan merasakan tangan dingin sang perias
berbakat ini.
Matanya tampak begitu lebar, kuat, sekaligus rapuh
dengan polesan warna cokelat keemasan, dan Theo sedemikian rupa
menonjolkan struktur tulang pipinya yang tinggi sehingga
tampak menarik dan aristrokat…. Dan bibirnya dipoles
dengan lipstik warna peach dengan nuansa yang membuat bibirnya seolah-olah selalu basah.
Lana menyentuh pipinya ragu, dan bayangan cantik di
depannya juga menyentuh pipinya. Mata Lana terpaku, masih terpana akan
bayangan di depannya.
Theo mendecak kagum melihat hasil karyanya sendiri, kemudian bergumam, mengalihkan perhatian Lana,
“Kau paling berbeda dari kekasih-kekasih Tuan Mikail sebelumnya,” Theo meringis, “Bukan berarti kau kurang
cantik, tapi kau kurang glamour, kurang mempesona. Kekasih-kekasih Mikail sebelum-sebelumnya selalu cantik luar biasa, bagaikan dewi”
Lana mendengus sinis, apakah Mikail juga menyuruh perias ini untuk mendandani kekasih-kekasihnya?
Theo sibuk merapikan peralatannya di belakang Lana sambil terus bergumam,
“Tapi kau istimewa, harusnya kau bersyukur, Tuan Mikail
tidak pernah menyuruhku mendandani kekasih-kekasihnya
yang lain,” gumaman Theo itu telah menjawab pertanyaan Lana sebelumnnya, “Dan yang paling sensasional adalah
gaun ini, Tuan Mikail menyuruhku memesannya langsung
dari perancangnya di Paris. Pesanan khusus karena diselesaikan hanya
dalam waktu 1 minggu, gaun ini khusus
dibuat untukmu, tiada duanya di dunia ini. Theo berseru kecil dengan feminim, tampak terpesona dengan sesuatu di
tangannya, “Kau harusnya bersyukur karena Tuan Mikail memperlakukanmu dengan istimewa”
Lana menoleh, ingin tahu apa yang begitu menarik
perhatian Theo, dan sekali lagi dia terpesona. Di tangan Theo, digantung
di gantungan baju yang elegan, ada sebuah gaun yang luar biasa
indahnya.
Gaun itu dibuat dari bahan sutera hijau berkilau
dengan kristal kecil menyebar di sepanjang gaun, memberikan efek kilauan
yang menakjubkan. Kaki gaun itu melebar ke samping dan menjuntai dengan
indahnya. Gaun itu adalah gaun terindah yang pernah dilihat oleh Lana,
dan gaun itu untuknya?
“Pakailah gaun ini, kau harus siap dalam setengah jam. Tuan Mikail ingin melihatmu sebelum ke pesta,” gumam Theo,
menghamparkan gaun hijau itu di ranjang lalu melangkah keluar dari kamar.
MIkail telah memperlakukannya sama seperti kekasihkekasihnya, yang bisa diperintah sesuka hati seperti boneka!
Kali ini dia tidak akan membuat Mikail puas. Lana bukan
kekasih Mikail dan dia bukan boneka yang bisa diatur-atur sesukanya, Mikail harus menyadari itu
***
Mikail masuk dan Lana menunggu dengan penuh
antisipasi. Mikail mengenakan jas hitam legam yang rapi. Rambutnya yang
sedikit panjang hingga menyentuh kerah disisir ke belakang, membuatnya
tampak seperti iblis tampan yang begitu menggoda.
Lelaki itu melangkah memasuki ruangan dan Lana
merasakan Mikail tertegun sejenak menatap wajah Lana yang sudah dirias
sedemikian cantiknya.
Tetapi kemudian mata Mikail menatap ke arah Lana yang
masih mengenakan baju biasa yang selalu digunakannya di kamar itu. Mata
Mikail menggelap seolah ada badai yang akan menerjang di sana,
“Kenapa tidak kau pakai gaunmu?,” desis Mikail pelan.
Lana mundur selangkah, menyadari intensitas kemarahan
dalam suara Mikail. Lelaki satu ini mungkin menderita post power
sindrome sehingga mudah naik darah kalau keinginannya tidak diikuti,
batin Lana dalam hati.
“Aku tidak mau,” Lana menegakkan dagunya menantang,
meski batinnya sedikit kecut.
“Gaun itu khusus dipesankan untukmu,” kali ini suara Mikail
sedikit menggeram, menahan kesabaran.
Lana melirik gaun indah itu, gaun itu luar biasa indahnya, dan Lana sudah jatuh cinta pada gaun itu sejak pandangan
pertama. Tetapi dia tidak boleh mengenakan gaun itu,
meskipun batinnya berteriak-teriak ingin merasakan gaun secantik itu sekali saja.
Tidak! Dia tidak boleh mengenakan gaun itu, itu sama saja dengan mengakui penguasaan Mikail atas dirinya.
“Aku tidak mau memakainya,” Lana berhasil mengeraskan suaranya hingga terdengar Lantang, “Aku bukan bonekamu yang bisa kau perintah-perintah semaumu!”
“Boneka katamu?,” Mikail melangkah maju dan otomatis Lana melangkah mundur, “Kau pakai baju itu atau aku akan
memperkosamu sekarang juga di lantai. Supaya kau tahu
bagaimana aku memperlakukan bonekaku!”
Jantung Lana berdetak sekejap merasa takut akan
ancaman Mikail. Apakah Mikail akan melaksanakan ancamannya? Tetapi
melihat mata yang menyala karena marah itu, Lana tiba-tiba sadar bahwa Mikail tidak main-main. Lelaki ini
menyimpan iblis di dalam dirinya, dan ketika iblis itu keluar, Mikail tidak akan segan-segan berbuat kejam.
Salah sendiri kau menantang Iblis ini, Lana! Lana mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
“Lana, kenakan gaun ini atau aku akan benar-benar membuatmu menyesal,” Mikail mulai mendesis marah.
Tangannya meraih gaun hijau itu dan melemparnya
dengan sembarangan ke arah Lana yang langsung menangkapnya dan memegang
gaun itu dengan hati-hati.
Mikail memperlakukan gaun semahal dan seindah ini
layaknya memperlakukan kain lap. Lelaki iblis ini memang tidak paham
keindahan! Tanpa sadar kebencian Lana
meluap lagi kepada Mikail, dorongan untuk menantang Mikail
amatlah besar. Meskipun sisi lain dirinya berteriak untuk tidak menantang Mikail lebih jauh lagi.
Mereka berdua berdiri berhadap-hadapan, udara di antara mereka sangatlah tegang. Senyap dan tanpa suara, hanya dua mata yang saling menatap dan saling menantang.
“Pakai gaun itu, Lana,” kali ini Mikail melangkah mendekat,
seolah tak sabar.
Lana langsung mundur selangkah lagi, menjauhi Mikail, jantungnya berdegup kencang. Dia mulai merasa takut,
“Baiklah, aku akan memakainya, kau keluar dulu dari
sini!’, teriaknya marah karena dipaksa menyerah, air mata hampir menetes
dari matanya.
Tetapi Mikail bergeming, lelaki itu menggertakkan gerahamnya menahan marah,
“Aku tidak akan pergi. Kesempatanmu sudah habis, tadi aku
sudah berbaik hati memberikan kesempatan padamu
untuk ikut pesta dan memakai gaun bagus. Sekarang cepat pakai gaun itu,”
Mikail tidak menaikkan suara sama sekali, tapi
kemarahan di dalam suaranya menjalar ke udara dan memaksa Lana melakukan apa yang diinginkannya.
Dengan menahan air mata, dan menahan malu, Lana
melepas pakaiannya di depan tatapan Mikail yang berdiri kaku menatapnya,
kemudian mengenakan gaun itu. Gaun itu luar biasa bagusnya, meluncur
pelan membungkus tubuhnya dan terasa sangat pas. Sejenak Lana melupakan
perasaan frustrasi atas pemaksaan Mikail dan larut dalam keterpesonaan
atas keindahan gaun itu di tubuhnya.
Mikail mengamati Lana sejenak dalam balutan gaun
indah itu. Lana tampak seperti dewi hutan yang diturunkan dari
khayangan, luar biasa cantiknya.
“Bagus,” geram MIkail, lalu dengan gerakan cepat meraih
gaun itu dan merobeknya dari tubuh Lana.
Lana terpana ketika Mikail merobek gaun itu di bagian
dada. Gaun seindah dan sebagus itu rusak sudah, dengan robekan kain dan
benang yang berjuluran, dan kristal-kristalnya jatuh bertebaran dengan suara dentingan pelan di lantai. Mata
Lana berkaca-kaca, tidak menyangka
Mikail akan sekejam itu, merobek sebuah gaun yang sedemikian indahnya
demi memamerkan arogansi dan kekuasaannya. Sungguh lelaki yang kejam!
“Kenapa kau tampak ingin menangis?,” Kau tidak mau
memakai gaun ini bukan?,” gumam Mikail sambil menatap Lana tajam, “Maka
kukabulkan permintaanmu”
Dengan gerakan tiba-tiba, Mikail meraih Lana, mencengkeram punggung Lana merapat ke arahnya. Lana mencoba meronta tapi tak berdaya
“Mulai sekarang kau harus berfikir ulang kalau mau
menantangku. Aku bukan orang baik dan aku tidak segan
segan berbuat kejam,” Bibir Mikail terasa dekat dengan bibir
Lana, dan napas lelaki itu sedikit terengah.
Kepala Mikail menunduk dan sejenak Lana merasa pasti
bahwa Mikail hendak menciumnya. Tetapi entah kenapa leher lelaki itu
menjadi kaku dan mengurungkan niatnya.
Mikail mendorong Lana menjauh. Lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu,
“Theo!,”
suara Mikail sedikit keras ketika memanggil perias wajah yang gemulai itu.
Pintu terbuka, dan Theo terburu-buru masuk. Lelaki itu terkesiap mendapati kondisi Lana yang penuh airmata
dengan baju itu – baju eksklusif rancangan desainer terkenal, satu-satunya di dunia, yang sangat mahal dan pasti
membuat iri semua perempuan itu – sekarang menjuntai
sobek di dada Lana dengan kondisi menyedihkan dan tak karuan. Riasan
mahal masterpiece untuk wajah Lana juga tak karuan karena bekas air mata
di wajah Lana.
“Bereskan dia,” Mikail tidak menatap Lana lagi, lelaki itu langsung keluar dan membanting pintu di belakangnya dengan marah.
***
"Kau benar-benar nekat menantang tuan
Mikail seperti itu", Theo bergumam setengah menggerutu. Dari tadi lelaki
gemulai itu memang sibuk menggerutu karena harus
memulai dari awal mendandani Lana. Apalagi ketika
tatapannya terarah pada gaun hijau Lana yang sekarang teronggok seperti
sampah di lantai, Theo akan mendesah secara dramatis, lalu menggerutu
lagi dengan kata-kata tidak jelas.
Untunglah Theo membawa gaun cadangan. Gaun itu cukup
bagus meskipun tidak semewah dan seindah gaun hijau yang sudah dirobek
oleh Mikail. Warnanya merah marun dan berpotongan sederhana, membungkus
tubuh Lana dengan sempurna.
"Nah sudah selesai", Theo meletakkan kuas bibir di meja dan menatap bayangan Lana di cermin, "Lumayan cantik,
meskipun tidak semewah tadi."
Lana tanpa dapat ditahan melirik ke gaun hijau di lantai itu dan menghembuskan napas sedih. Tetapi bagaimanapun
juga, dibalik kekecewaannya ada kepuasan karena setidaknya dia bisa menunjukkan kalau dia bisa melawan Mikail.
Betapa mengerikannya lelaki itu kalau marah, Lana
mengernyit. Sejak usahanya yang terakhir kali untuk melarikan diri,
penjagaan atas dirinya diperketat. Ada dua orang laki-laki berjas hitam dan berbadan kekar yang berjaga di depan pintunya.
Malam ini adalah pertama kalinya Lana diberi
kelonggaran, untuk turun, keluar dari kamar ini. Kalau Lana cukup
waspada, mungkin dia bisa melarikan diri dari rumah ini.
"Nah, pakai sepatu ini", Theo meletakkan sepatu emas
yang cantik di karpet, "Lalu aku akan mengantarmu turun, Tuan Mikail
menunggu di bawah, karena pesta sudah dimulai".
***
Ketika Lana menuruni tangga, seketika itu juga
hatinya terasa kecut. Semua orang yang hadir di pesta ini berpakaian
spektakuler, semuanya pasti gaun rancangan terbaru dari desainer
terkenal.
Para laki-laki berjas tampak berkumpul dan mengobrol di satu sudut dekat perapian, dan para perempuan tampak berkelompok dengan sahabat-sahabatnya menyebar di semua sisi ballroom itu.
Sebuah meja sajian besar di sudut menyajikan berbagai
jenis makanan mewah. Bartender di satu sudut sibuk melayani permintaan
tamu dan para pelayan berpakaian hitam putih hilir mudik, menawarkan nampan-nampan hidangan dan sampanye yang mengalir tak ada habisnya.
Ketika Lana menuruni tangga, semua pandangan tertuju padanya, hingga Lana merasakan tangannya berkeringat.
Lana mencari-cari Mikail, tetapi lelaki itu sepertinya tidak ada. Dengan gugup, merasa terasing di keramaian, Lana berdiri
diam, di sudut dekat jendela, memilih untuk mengamati daripada membaur. Dia mengernyit ketika menyadari bahwa
di setiap akses pintu keluar, semuanya berdiri dua
atau tiga orang pengawal Mikail dengan jas hitam yang serupa dan tampak
selalu waspada. Lana harus melewati mereka kalau ingin keluar dari
tempat ini.
"Itu kekasih Mikail yang terbaru?", sebuah suara sinis terdengar, rupanya pemilik suara sengaja supaya Lana mendengarnya.
Lana menoleh dan mendapati segerombolan perempuanperempuan cantik tengah berbisik-bisik dan menatapnya
dengan tatapan benci.
Salah seorang perempuan, yang paling cantik dengan gaun hitamnya yang sangat seksi terang-terangan mengamati Lana dengan pandangan meremehkan dari atas ke bawah,
"Aku mendengar Mikail mengajaknya tinggal bersama bayangkan! Tidak ada satupun perempuan yang pernah
diajak Mikail tinggal bersama.... Kupikir dia
perempuan yang sangat cantik! Ternyata dia biasa saja, mungkin Mikail
sedang mabuk saat membawanya tinggal bersama"
"Aku pikir juga begitu", perempuan di kelompok itu, yang bergaun merah muda menyahut dengan suara yang tak
kalah sinis "Mengingat sejarah kekasih-kekasih Mikail selalu luar biasa cantiknya... Tapi lihat dia, dia tampak tak cocok berada di sini, dia pasti bukan perempuan berkelas!"
"Gaunnya gaun lama, rancangan keluaran bulan lalu,
dia pasti gadis miskin", suara perempuan lain berambut kemerahan dengan
gaun biru muda, berbisik jahat, ikut memanaskan suasana, "Dia
mempermalukan Mikail dengan penampilannya"
"Dia tak pantas bersanding dengan Mikail, berani
bertaruh, sebentar lagi Mikail pasti muak dan mencampakkannya",
perempuan seksi berbaju hitam itu mengibaskan rambutnya angkuh, "Begitu
melihatku, Mikail pasti akan menyukaiku dan membuangnya"
Pipi Lana memerah mendengar hinaan-hinaan yang dilemparkan terang-terangan kepadanya, Sabar Lana, desisnya dalam hati. Perempuan-perempuan jalang itu terbiasa hidup kaya sehingga kadang tak punya sopan santun.
"Menungguku, sayang?" suara Mikail terdengar dekat
sekali di belakang Lana hingga ia terlonjak kaget. Lana menoleh dan
mendapati Mikail berdiri santai, sedikit bersandar di
jendela di dekatnya. Lelaki itu tampaknya sudah lama berdiri di sana, dia pasti mendengar jelas semua hinaan-hinaan
yang dilontarkan kepadanya tadi. Pipi Lana makin merona, merasa malu sekaligus terhina.
Mikail mendekat, dan perempuan-perempuan
di gerombolan itu tampak terkesiap dengan ketampanannya. Lelaki itu
memang tampan, Lana menggumam dalam hati. Merasa kesal karena mau tak
mau dia harus mengakui kebenaran yang terpampang di depannya.
Dengan rambut coklat yang sedikit acak-acakan,
mata coklat muda yang dalam tapi tajam, bibir tipis yang melengkung
jantan, dan tulang pipi tinggi yang membentuk sudut wajahnya sedemikian
rupa, diimbangi dengan jas hitam
legam yang membungkus tubuh ramping berototnya
dengan pas, membuatnya tampak seperti malaikat tampan dengan nuansa
jahat yang mempesona.
Mikail tampaknya tahu sedang diperhatikan dengan terkesima oleh gerombolan perempuan-perempuan muda itu, tetapi dia sama sekali tidak menatap mereka. Matanya terpaku menatap Lana, dan senyum miring muncul di bibirnya,
"Kau cantik sekali sayang", Mikail meraih Lana,
merangkul pinggang Lana dengan lembut, lalu mengecup hidung Lana mesra,
"Dari semua perempuan di ruangan ini, kau yang paling cantik. Yang
lainnya cuma sampah", Mikail mengucapkan kata-kata itu dengan lantang, yang terdengar langsung oleh gerombolan perempuan itu. Suara terkesiap
terdengar dari sana, dan ketika Lana menoleh, perempuanperempuan itu tampak berdiri dengan wajah merah padam,
malu luar biasa atas hinaan Mikail. Lalu dengan berbagai alasan, mereka membubarkan diri dan berpindah tempat.
Mikail terkekeh, melihat tingkah mereka. Lalu menunduk dan menatap Lana, senyumnya langsung hilang,
"Jangan coba-coba melarikan diri -dan
jangan mencoba meminta tolong pada siapapun di sini, mereka tidak akan
bisa menolongmu, dan kalau sampai aku tahu kau melakukannya, kau akan
dihukum", bisiknya dingin. Sikapnya berubah kaku dan dia melepaskan
pelukannya dari Lana,
dan tanpa kata-kata lagi meninggalkan Lana.
Lana termangu, masih terpesona oleh pertunjukan
sandiwara kasih sayang yang diperagakan Mikail tadi. Apakah lelaki itu
sengaja melakukannya untuk membelanya dari gerombolan perempuan-perempuan jahat itu?
"Sungguh kekasih yang baik", sebuah suara lembut
terdengar di belakangnya. Lana menoleh dan berhadapan dengan perempuan
cantik berbaju putih yang tersenyum lembut kepadanya. Mungkin perempuan
inilah satu-satunya tamu pesta ini yang mau menyapanya.
"Siapa?", Lana mengernyit ketika menyadari komentar perempuan itu barusan,
Perempuan itu tertawa kecil, bahkan tawanya pun terdengar merdu, Lana membatin dalam hatinya.
"Mikail Raveno, kekasihmu", Perempuan itu
mengedikkan bahunya ke arah kepergian Mikail, "Dia membelamu dengan
gagah berani dihadapan perempuan-perempuan menjengkelkan
itu..ups", perempuan itu menutup bibirnya dengan jemarinya yang lentik,
"Aku tidak boleh mengatakannya, tapi mereka memang menjengkelkan
bukan? Kalau bukan karena suamiku, aku tidak akan
mau menghadiri pesta ini dan berbaur dengan mereka", perempuan itu
tertawa lagi.
Dia perempuan yang bahagia, Lana membatin dalam hati.
Perempuan cantik yang bahagia, ralat Lana. Dengan gaun putih
keemasannya yang indah, tatanan rambut sempurna, make up sederhana, dan
tatapan matanya yang berbinarbinar penuh cinta. Perempuan di depannya
ini tampak memancarkan kebahagiaan. Suaminya pasti sangat mencintainya,
Lana mengambil kesimpulan dalam hati.
"Ah ya maaf, aku mengoceh ke sana kemari, tetapi
lupa memperkenalkan diri", perempuan itu mengulurkan tangannya dan
tersenyum, "Aku Serena"
Senyum ramah perempuan itu menular, Lana membalas uluran tangan Serena dan ikut tersenyum lebar,
"Lana", gumamnya memperkenalkan dirinya, "Terima kasih sudah mau menyapaku"
Serena tersenyum lagi, dan menatap ke arah gerombolan perempuan-perempuan tadi yang sekarang sudah saling berpencar dan asyik bergosip satu sama lain,
"Jangan pedulikan mereka, mereka hanya iri padamu"
Lana mengernyit,
"Iri padaku? Kenapa?"
"Ah kau pasti tak pernah mendengar dunia luar",
Serena tertawa lagi, "Gosip menyebar dengan cepat di dunia elit ini. Kau
adalah perempuan yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini"
"Kenapa?", Lana menatap Serena penuh ingin tahu.
"Karena Mikail Raveno, taipan paling dingin di sini,
mengajakmu tinggal bersamanya di rumahnya", Serena mengedikkan dagunya,
"Meskipun memiliki banyak kekasih, Mikail dikenal berprinsip
mensterilkan rumahnya dari kehadiran perempuan. Tidak pernah ada satu
perempuanpun -selain pelayan -yang bisa tinggal di rumah ini. Bahkan katanya, kekasih-kekasihnya yang dulu belum pernah ada yang menginap di rumah ini, Mikail lebih memilih menemui kekasih-kekasihnya di hotel miliknya", Serena menatap Lana dan tersenyum, "Kaulah satu-satunya perempuan yang diajaknya tinggal dirumahnya, dan bahkan tak keluar-keluar sampai sekarang. Mereka semua merasa iri, karena apa
yang kau alami adalah impian mereka semua, tinggal bersama dengan bujangan paling diminati di sini"
Lana tercenung. Mereka semua tak tahu apa yang
terjadi sebenarnya. Lana bukan kekasih Mikail, dia tinggal di rumah ini
bukan sebagai kekasih Mikail, tetapi lebih seperti tawanan. Dia disekap
dan dilecehkan semau Mikail.
"Apakah kau juga salah satu dari mereka? Mengagumi ketampanan Mikail?"
Spontan Serena tertawa mendengar pertanyaan Lana.
"Tidak, menurutku suamiku yang paling tampan di dunia
ini. Aku tidak sempat mengagumi lelaki lain", Serena tersenyum dan
matanya berbinar penuh cinta ketika membayangkan suaminya.
Lana memalingkan muka, tiba-tiba merasa
sedih menyadari betapa beruntungnya Serena dibandingkan dirinya.
Perempuan itu tampak begitu bahagia dan tanpa beban, sedang dirinya,
bahkan dia tidak tahu akan dijadikan apa dirinya oleh Mikail. Mata Lana berkaca-kaca ketika
membayangkan kegagalan rencananya untuk melukai Mikail yang malah membuatnya terjebak dalam cengkeraman lelaki iblis itu.
Serena memperhatikan raut kesedihan di wajah Lana, dan dahinya berkerut,
"Kenapa Lana? Kau sakit?"
Lana menatap Serena lagi, perempuan ini baik hati, mungkin
saja Serena bisa menolongnya...
"Tolong aku...", Lana berbisik lemah, takut suaranya ketahuan, oleh Mikail ataupun para pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, "Tolong aku keluar dari sini"
Serena mengernyit, jelas-jelas merasa kaget mendengar permintaan Lana, matanya menatap penuh tanda tanya,
"Apa Lana? Tapi... Bukankah.."
"Disini kau rupanya, aku mencarimu kemana-mana sayang", suara yang dalam itu mengalihkan perhatian Serena dari Lana.
Lana menoleh dan terpesona menatap Lelaki yang
melingkarkan lengannya di pinggang Serena dengan posesif. Lelaki itu
luar biasa tampan, dengan rambut cokelat yang berpadu nuansa keemasan
dan mata sebiru langit. Serena rupanya tidak main-main ketika mengatakan bahwa
suaminya luar biasa tampan. Lana pun, kalau memiliki suami setampan itu, pasti tidak akan mau melirik lelaki lain.
"Damian", Serena bergumam lembut, pipinya memerah, tampak malu-malu atas kemesraan terang-terangan yang dilakukan Damian.
Suami Serena tampak amat sangat mencintai isterinya,
Lana berkesimpulan dalam hati. Lelaki itu menatap Serena seolaholah akan
melahapnya.
"Kita harus segera pulang. Mari kita berpamitan dulu pada tuan rumah"
"Tapi Damian, kita baru sebentar di sini... Apakah sopan kalau..."
"Ssshh", Damian menghentikan protes Serena dan
menyentuh bibir Serena dengan jemarinya lembut, "Aku lebih ingin berada di rumah, bersama isteriku", gumamnya penuh arti.
Siapapun mengerti apa maksud kata-kata
Damian. Bukan hanya Serena, pipi Lana pun memerah mendengar nada
kepemilikan penuh gairah Damian kepada isterinya. Serena menyentuh
lengan Damian lembut, mengalihkan perhatian Damian yang tampaknya tidak
bisa lepas dari isterinya kepada Lana,
"Ini, kenalkan, Lana", gumam Serena lembut.
Lana mengulurkan tangannya dengan sopan, dan Damian
menjabat tangannya, lalu menatapnya dengan tajam. Membuat Lana merasa
nyalinya sedikit menciut di bawah hujaman tatapan tajam dari mata sebiru
langit itu.
"Lana yang itu?", ada tanya dalam suara Damian,
Serena menyentuh lengan Damian lagi, mengingatkannya, lalu menatap Lana penuh permintaan maaf,
"Gosip cepat menyebar, bahkan di kalangan laki-laki", gumamnya pada Lana, meminta pengertian.
Lana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ada
sedikit kekecewaan terbersit di hatinya. Damian sepertinya rekan bisnis
Mikail. Kalau begitu, pupus sudah harapannya meminta bantuan kepada
Serena.
"Ayo sayang, kita berpamitan", Damian mengangguk pada Lana, lalu menarik pinggang isterinya untuk mengikutinya.
"Tunggu sebentar", Serena mengeluarkan kartu emas
kecil dari tasnya, "ini kartu namaku", digenggamkannya kartu nama itu di
jemari Lana, "Hubungi aku kapan saja kau mau. Aku pikir kita bisa
bersahabat"
Dan kemudian, pasangan sempurna itu menjauh dan
tenggelam di keramaian pesta. Meninggalkan Lana yang masih berdiri
terpaku di sana, menggenggam kartu nama itu erat-erat seolah hanya itulah tiket penyelamatannya.
***
"Dia meminta tolong kepadaku", Serena mengernyit
sambil merebahkan kepalanya di dada Damian. Lelaki itu masih berbaring
santai dengan mata terpejam, menikmati saat-saat tenang setelah percintaan mereka yang panas,
Mata Damian terbuka, menatap Serena penuh ingin tahu, "Siapa sayang?"
"Lana, kekasih Mikail"
Damian tercenung, lalu mengangkat bahunya, "Kurasa
kita tidak usah ikut campur dalam urusan Mikail Raveno. Dia rekan bisnis
yang luar biasa, dan aku senang perusahaanku menjalin kerjasama dengan
perusahaannya, Tetapi dari segi pribadi...", Damian mengusap-usapkan jemarinya di punggung telanjang Serena, "Aku tidak terlalu menyukainya"
"Kenapa?", Serena menatap Damian ingin tahu,
"Yah... Mikail terkenal sangat....kejam. Dia berpenampilan dingin dan kaku, tetapi ketika terusik, dia tak punya ampun. Kadang-kadang aku sedikit tak simpati atas sikap tak berbelas-kasihannya"
"Kalau begitu aku semakin mencemaskan Lana", Serena
mengingat permohonan Lana tadi kepadanya, "Dia minta tolong kepadaku
untuk membantunya melepaskan diri dari rumah itu. Pandangannya begitu
tersiksa, apakah mungkin Mikail menyanderanya di rumah itu dengan
paksa?"
"Mungkin saja", Damian mengecup dahi Serena lembut, "Tetapi seperti kataku tadi, itu bukan urusan kita"
"Setidaknya maukah kau mencoba berbicara dengan
Mikail? Kau ada pertemuan besok pagi dengannya kan?", Serena menatap
Damian penuh permohonan. Ada kecemasan di suaranya, apalagi ketika
mengingat betapa Lana tampak sangat tersiksa ketika memohon kepadanya
tadi.
Damian terkekeh, lalu menggulingkan tubuhnya
menindih tubuh Serena, "Baiklah tuan puteri, akan kucoba", didekatkannya
wajahnya ke wajah Serena, menggoda bibir Serena dengan usapan bibirnya
yang panas, "Sekarang bisakah kita menghentikan pembicaraan kita tentang
orang lain dan bercinta lagi?"
Serena tidak menolak, bercinta dengan Damian selalu menjadi kegiatan yang luar biasa menyenangkan
***
BAB 6
Kopi sudah dihidangkan, pertanda meeting santai itu
sudah usai. Beberapa lelaki memilih keluar untuk merokok, sedang Damian
duduk diam di ujung sofa, mengamati Mikail yang masih sibuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.
Mikail bukanlah lelaki yang bisa membaur, lelaki ini
penyendiri, dan wataknya yang terkenal membuat orang- orang segan
mendekatinya. Damian tidak akrab dengan Mikail, mereka hanya berbicara
tentang bisnis. Dan apabila menyangkut bisnis, Mikail cukup kooperatif.
Kerja sama mereka telah membuahkan banyak keuntungan bagi
perusahaan masing-masing.
Damian ragu untuk menanyakan perihal Lana kepada
Mikail. Rasanya terlalu aneh untuk membahas masalah itu di sini. Tetapi
isterinya – Serena yang cantik – telah berhasil membuatnya berjanji
untuk melakukannya.
Damian berdehem, menarik perhatian Mikail dari berkasberkas yang ditelusurinya dengan serius,
“Kami, aku dan isteriku bertemu dengan kekasihmu semalam”
Kepala Mikail langsung terangkat seperti disentakkan, ia menatap Damian dengan waspada,
“Oh ya?,” nada suaranya santai, tetapi ketegangan dalam
suara Mikail tidak bisa menipu Damian, ada sesuatu di sini, batin Damian dalam hatinya, ada sesuatu yang dirahasiakan
Mikail…
“Yah, dia berkenalan dengan isteriku kemarin, dan berbicara panjang lebar dengannya,” Damian berusaha memancing
Mikail dan sepertinya pancingannya kena karena mata Mikail menyipit dan menatapnya curiga.
“Apakah dia mengatakan sesuatu kepada isterimu?”
Damian menatap Mikail lurus-lurus,
“Dia meminta tolong kepada isteriku untuk diselamatkan, supaya dia bisa keluar dari rumahmu”
Bibir Mikail mengetat membentuk garis tipis, lalu dia segera berdiri,
“Bilang pada isterimu untuk tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu milikku, dan siapapun tidak akan bisa
melepaskannya dari rumahku, kecuali atas seizinku,” Mikail menatap Damian lurus, menimbang-nimbang, “Aku menghormatimu Damian, kau adalah salah satu dari sedikit orang yang aku hormati dan aku tidak ingin hubungan saling
menghargai ini rusak. Maaf aku permisi dulu karena ada janji
pertemuan dengan pihak lain setelah ini”
Setelah mengangguk kaku, Mikail melangkah pergi meninggalkan ruangan meeting besar itu.
Damian duduk diam dan menyesap kopinya, matanya masih menatap pintu di mana Mikail menghilang di baliknya.
Tingkah Mikail mengingatkannya pada dirinya dulu.
Senyum muncul di bibir Damian. Mikail mungkin akan mengalami hal yang
sama seperti dirinya, kalau dia tidak hati-hati kepada Lana
***
Ketika pintu kamarnya dibuka dari luar, Lana tidak menyangka kalau Mikail-lah yang masuk. Lelaki itu telah sepenuhnya mengabaikannya akhir-akhir
ini. Lana bahkan hampir tidak pernah melihat lelaki itu, kecuali dari
pemandangan ketika Mikail memasuki mobilnya di teras bawah yang
kelihatan dari jendela lantai dua tempat Lana dikurung.
Dan seperti biasanya, lelaki itu tampak marah. Lana
mengerutkan alisnya, kenapa lelaki itu tidak pernah sedikitpun tampak
ceria dan tersenyum? Kalaupun tersenyum, senyumnya hanyalah senyum jahat
dan sinis.
Apakah lelaki itu tidak pernah merasakan bahagia sedikitpun di dalam hatinya?
Tanpa basa basi, Mikail melempar jasnya ke kursi dan melonggarkan dasinya, lalu menatap Lana tajam,
“Apa yang kau katakan kepada Isteri Damian?”
Lana langsung mengkerut takut. Serena mungkin telah
menyampaikan permintaan tolongnya kepada Damian, dan Damian
mengatakannya kepada Mikail.
Ketika rasa ketakutan menggelayutinya, Lana langsung
menggelengkan kepalanya mencoba mengembalikan keberaniannya. Diingatnya
wajah ayah dan ibunya yang bahagia, lalu tergantikan dengan wajah pucat
mereka yang terbaring di peti mati. Kebencian dan kemarahan adalah
senjatanya untuk menghadapi Mikail,
“Aku memang meminta tolong kepada Serena untuk menyelamatkanku,” Lana mengangkat dagunya angkuh,
menantang Mikail.
Mikail menggeram marah, matanya menyala,
“Coba saja kalau kau berani. Minta Serena untuk
membebaskanmu, dan kalau perempuan itu berani
melakukan sesuatu, aku akan melenyapkan nyawanya,” Mikail mendesis
geram, “Dan aku tidak pernah main-main dengan perkataanku Lana, kebebasanmu akan diganti dengan nyawa orang-orang yang lengah atau orang-orang
yang mencoba menyelamatkanmu”
Wajah Lana memucat. Apakah Mikail benar-benar
akan melukai Serena? Diingatnya senyum lembut di wajah cantik Serena
dan kebaikan hati perempuan itu. Ah ya Tuhan, Serena adalah satu-satunya kesempatannya untuk melepaskan diri. Tetapi jika gantinya Mikail akan melukai Serena, maka Lana tidak punya kesempatan apa-apa lagi.
“Kenapa kau tidak melepaskanku? Aku muak menjadi tawananmu”
Mikail menyipitkan matanya, mengamati Lana dari ujung kepala sampai kaki,
“Terlalu mudah jika aku melepaskanmu, kau pasti akan mencari cara untuk membalaskan dendammu lagi… dan
terlalu mudah pula kalau aku membunuhmu, tubuhmu terlalu nikmat untuk mati sia-sia…,” Mikail melangkah mendekat, dan otomatis Lana langsung melangkah mundur.
“Jangan… jangan mendekat!,” Lana tanpa sadar
mencengkeram dadanya dengan gerakan melindungi diri.
Mikail sudah pernah memaksakan kehendak kepadanya, memar di tangannya
masih terasa nyeri, bekas ikatan dasi yang kejam di pergelangannya.
Mikail hanya tersenyum meremehkan melihat gerakan Lana itu,
“Kau tahu kau tidak bisa menolak kalau aku ingin
memaksamu. Apakah kau tidak belajar dari pengalaman
bercinta kita kemarin?,” dengan tenang lelaki itu
melemparkan dasinya yang sudah dilonggarkan ke lantai, lalu melepas kancing kemejanya, satu demi satu.
Lana menatap pemandangan di depannya itu dengan panik,
“Kau… kau mau apa??”
“Menurutmu aku mau apa?.” Mikail melemparkan kemejanya
dan berdiri dengan dada telanjang di depan Lana. Tubuh
lelaki itu luar biasa indah, ramping tapi kuat dengan ototototnya yang menyembul, terlihat begitu keras.
“Aku mau mandi,” Mikail tampak geli melihat keterkejutan Lana, “Dan kau ikut denganku”
Wajah Lana memucat dan menatap Mikail dengan marah.
“Ini adalah kamar kekasihku,” Mikail menyelesaikan
kalimat Lana dengan tenang, “Ya. Kau kekasihku Lana, kau harus terima
itu. Kau ada di sini untuk memuaskan nafsuku”
“Kurang ajar!,” Lana menyembur marah, dan didorong
akan rasa tersinggungnya atas hinaan Mikail, Lana maju dan mencoba
mencakar wajah Mikail.
Tetapi Mikail cukup gesit, digenggamnya lengan Lana,
dan dengan gerakan cepat di telikungnya tangan Lana di belakang
punggungnya,
“Tidak semudah itu Lana, ingat itu, aku laki-laki yang cukup kuat, kalau kau bersikap baik, aku akan bersikap baik kepadamu, tetapi kalau kau menantangku, aku mungkin akan
menyakitimu,” Dengan satu tangan masih menelikung Lana,
Lelaki itu meraih dagu Lana dan memaksa mengecup
bibirnya dengan panas, “Ketika aku bilang kau harus mandi denganku, maka kau akan melakukannya”
Mikail mendorong Lana masuk ke kamar mandi dengan nuansa marmer putih itu
***
Mikail merasa dirinya hampir gila. Dia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun akhir-akhir ini. Karena dia tidak tertarik. Gairahnya terpusat kepada Lana, perempuan ini membuatnya ingin menundukkannya, menaklukkannya,
dan mendominasinya dengan posesif. Mikail ingin Lana tunduk di kakinya, memujanya seperti yang dilakukan banyak orang kepadanya.
Well itu mungkin butuh waktu lama, Mikail mengernyit
melihat ekspresi Lana. Perempuan ini harus selalu dipaksa, harus selalu
diikat, dan Mikail sebenarnya tidak suka menyakiti perempuan yang akan
ditidurinya.
Bukti gairahnya terlihat jelas, dan Lana menolak
untuk melihatnya, Mikail mendorong tubuh Lana ke pancuran, membiarkan
air hangat membasahi mereka berdua. Ketika Lana sekali lagi mencoba
memberontak, Mikail mencengkeram kedua tangannya erat-erat ke dinding dan
merapatkan tubuhnya, menempelkan bukti gairahnya ke pusat tubuh Lana, membuat muka Lana merah padam,
Lana mengerjap,
“Mandi?”
Ada sinar geli di mata Mikail,
“Ya, mandi, kau pikir aku mau apa?”
Pipi Lana makin memerah, apalagi ketika matanya tersapu
pada kejantanan Mikail yang mengeras, terlihat jelas laki-laki itu sudah amat sangat terangsang.
Mikail mengikuti arah tatapan Lana dan tersenyum,
“Aku cuma ingin mandi, tetapi sepertinya kau lebih tertarik ke yang lain”
Lana menatap marah ke mata Mikail, tetapi lelaki itu hanya terkekeh,
“Terserah kau, kau mandi di sini bersamaku. Atau
kalau kau lebih memilih menantangku, kita bisa berakhir dengan hubungan
seks yang hebat di kamar mandi. Sekarang tolong
gosok punggungku dengan sabun,” Mikail melepaskan
celananya, terkekeh lagi ketika Lana langsung memalingkan mukanya, tak mau melihat.
“Ayo, gosok punggungku,” Mikail membalikkan tubuhnya,
membiarkan pundak dan bahunya diterpa air hangat dari
shower, yang mengalir menuruni punggung berototnya dan
turun ke pantatnya yang kencang…
Lana terpana dan mengerjapkan matanya ketika
menyadari bahwa matanya terpaku pada keindahan tubuh Mikail yang berotot
dan keras. Ramping tapi jantan, dan semua begitu proposional pada
tempatnya, seolah Tuhan menciptakan laki-laki ini sambil tersenyum.
Mikail menolehkan kepalanya dan menangkap basah Lana
yang sedang mengamati tubuhnya. Tatapan sensualnya memancar, panas, dan
bergairah. Tetapi kemudian dia mendapati mata Lana yang berputar ke
seluruh penjuru kamar mandi. Perempuan ini masih belum menyerah dalam
usahanya untuk melukai Mikail. Mikail berani bertaruh bahwa Lana sedang mencari-cari senjata, sesuatu – mungkin untuk dipukulkan ke kepala Mikail yang sedang lengah,
“Lana,” suara Mikail terdengar rendah dan mengancam,
meskipun sebenarnya lelaki itu sangat menikmati mengucapkan nama Lana lambat-lambat
di mulutnya, “Kalau kau tidak melakukan perintahku dan sibuk mencari
cara untuk melakukan – entah rencana apa yang ada di dalam kepalamu yang
cantik itu, maka mungkin saja aku akan
berubah pikiran dan langsung menyetubuhimu saja”
Lana terlonjak, dan langsung meraih sabun cair, lalu mengusapkannya ke punggung Mikail yang keras dan berotot itu.
Sentuhan itu membuat keduanya sama-sama
terkesiap. Mikail bahkan tidak bisa menahan erangannya, kejantanannya
sudah begitu keras. Seperti batu di bawah sana hingga terasa
menyakitkan, memprotes untuk dipuaskan. Sentuhan tangan lembut Lana di
punggungnya
semakin memperburuk keadaan, membuatnya terangsang sampai di tingkat dia tak dapat menanggungnya.
Lana mengernyit mendengar suara erangan Mikail. Dia
tidak dapat melihat ekspresi Mikail, hanya bisa melihat rambut belakang
Mikail yang kecoklatan dan sekarang basah, menempel di tengkuknya.
“Kenapa?,” Lana bertanya, pada akhirnya ketika Mikail
mengerang lagi. Jemarinya menggosok lembut bahu dan
punggung Mikail yang sekarang licin karena sabun. Guyuran air hangat
membasahi mereka berdua, membuat kaca-kaca kamar mandi itu berembun karena uapnya.
Mikail menggertakkan giginya, mencoba menahan gairahnya.
“Tidak apa-apa,” suaranya berupa erangan
yang dalam, mencoba menahan dirinya ketika tangan lembut Lana yang
berlumuran sabun itu menyentuh pinggangnya. Dia ingin merenggut tangan
Lana itu, menyentuhkan ke kejantanannya yang sangat menginginkannya, dan
kemudian memuaskan dirinya di dalam tubuh Lana.
Tetapi dia tidak bisa. Mikail ingin membuat Lana
menyerah dengan sukarela. Dua percintaan mereka yang terakhir tidak
dilakukan dengan sukarela. Meskipun pada akhirnya Mikail bisa membuat
Lana merasakan kenikmatan. Mikail Raveno tidak pernah memaksa perempuan
jatuh ke dalam
pelukannya. Para perempuanlah yang berebut untuk dipeluk olehnya. Dan itu harus terjadi pada Lana. Lana-lah yang harus menyerah dalam pelukannya.
Mikail memejamkan matanya, membayangkan bagaimana
nikmatnya nanti ketika Lana pada akhirnya menyerah ke dalam pelukannya
dan memohon kepadanya.
Mikail melirik kepada Lana, dan …. Astaga ! Demi para dewa
yang ada di semesta alam ini…. Lana masih memakai
pakaian lengkap, dan yang membuat semuanya lebih buruk, pakaian Lana
adalah rok panjang tipis berwarna putih. Dan ketika baju itu basah
kuyup, malahan membuat tubuh Lana
begitu seksi, tercermin samar-samar di balik pakaian putih yang membuatnya tampak misterius.
Mikail menggertakkan giginya. Dia tidak tahan lagi bermainmain seperti ini. Ada di dekat Lana, telanjang, dan siap
seperti ini membuatnya merasa hampir gila.
Perempuan ini harus menyerah padanya. Harus!
***
Mikail memasang jasnya dan menoleh pada Norman yang berdiri menungguinya di dekat pintu.
“Bagaimana dengan kasus terakhir itu? Sudah kau bereskan?”
Norman mengangkat bahunya,
“Tuan Franky memendam kemarahan kepada tuan. Apalagi
karena tindakan tuan sudah menggilas habis seluruh
perencanaan proyeknya”
Mikail tersenyum, membayangkan muka Franky Alfredo saat ini pasti sedang merah padam karena marah.
“Dia selalu marah kepadaku, sejak awal. Tetapi sampai sekarang dia tidak akan bisa berbuat apa-apa kepadaku. Dia tahu dia akan mati kalau sekali saja dia mencoba
membunuhku, lalu gagal.”
“Bagaimana kalau dia mencoba dan berhasil?,” Norman
menyela dengan cepat, “Tuan Franky sangat licik dan bertangan kotor. Dia
menggunakan banyak orang untuk mencapai tujuannya, kita tidak boleh
meremehkannya dan harus selalu berhati-hati.” Norman menatap Mikail dengan tatapan mata serius. “Seharusnya tuan menyuruh saya untuk
membereskan orang itu dari dulu, supaya dia tidak berani berbuat macam-macam”
Mikail menggelengkan kepalanya tak peduli,
“Dia tidak akan berani, dan kalaupun dia berani melakukan apapun… aku sendiri yang akan menghabisinya”
Franky Alfredo adalah salah satu musuh bisnis
Mikail. Lelaki itu bersikap munafik karena di depan Mikail dia selalu
bersikap baik dan bersahabat. Tetapi Mikail tahu kalau lelaki itu
menyimpan kebencian yang amat mendalam kepadanya
karena bisnisnya semakin terpuruk akibat gilasan ekspansi yang dilakukan Mikail.
Mikail sadar dia memang tidak boleh meremehkan Franky, karena Franky punya teman-teman
penting di balik bisnis kotornya. Berdasarkan penyelidikan yang
dilakukan anak buahnya, lelaki itu berhubungan dengan sindikat senjata
gelap dan kelompok-kelompok bawah tanah. Tidak menutup
kemungkinan Franky pada akhirnya akan menyewa salah seorang dari mereka
untuk membunuhnya. Mikail, meskipun dibekali dengan kemampuan bela diri
dan sangat ahli dalam berbagai jenis senjata serta dikelilingi oleh
pasukan pengawalnya yang kompeten, harus selalu waspada.
Suatu saat, ketika Franky sudah terasa sangat
mengganggu seperti hama penyakit yang harus dibasmi, Mikail sendiri yang
akan membereskannya. Tetapi tidak sekarang,
mungkin reputasi Mikail yang kejam membuat Franky sangat berhati-hati
dalam bertindak, Mikail ingin melihat sejauh mana gerakan Franky, baru
setelah itu dia memutuskan akan dibagaimanakan sampah itu.
Nanti. Gumam Mikail dalam hati, Sekarang dia harus makan malam dengan perempuannya.
Setelah merasa puas dengan penampilannya, MIkail memutar tubuhnya dan mengedikkan bahunya kepada Norman,
“Dia sudah siap?”
Norman menganggukkan kepalanya,
“Theo sudah menyiapkannya dari satu jam yang lalu,”
Norman membungkukkan badannya, lalu membukakan pintu untuk Mikail.
***
Ketika didandani oleh Theo, Lana sudah terlalu lelah
untuk melakukan pemberontakan sekecil apapun. Dia bahkan tadi tidak
bertanya apapun ketika Norman mengantar Theo ke kamarnya dan laki-laki itu tiba-tiba mendandaninya,
“Sepertinya kau berubah menjadi pendiam, kau tidak ingin tahu mengapa kau didandani?,” Theo bertanya setelah dia
selesai mengoleskan eye shadow warna keemasan di kelopak mata Lana.
Lana hanya menggelengkan kepalanya, tidak mampu
menjawab. Ingatan akan kejadian di kamar mandi tadi membuat perasaannya
campur aduk. Oh ya, sesuai janjinya, Mikail hanya mandi. Setelah Lana
selesai menyabuni
punggungnya, Mikail meneruskan mandi dan kemudian
dengan tatapan lancang, menawarkan diri untuk memandikan Lana – yang
tentu saja langsung ditolaknya mentah-mentah dengan
berbagai sumpah serapah yang menyembur dari bibirnya. Mikail hanya
tersenyum, mengambil handuk putih, mengikatkannya di pinggangnya dan
melangkah pergi dengan santai. Meninggalkan Lana yang masih terpaku
dalam guyuran air shower kamar mandi itu.
Mikail benar-benar terangsang. Lana
tidak perlu memegang untuk mengetahui itu, bukti kejantanan Mikail sudah
menonjol tanpa tahu malu. Tetapi kenapa lelaki itu tidak melakukan apa-apa kepadanya? Bukannya Lana ingin Mikail melakukan apapun kepadanya. Tetapi bayangan itu,
bayangan MIkail yang bergitu bergairah tidak bisa hilang dari pikirannya.
Entah kenapa perasaan malu dan terhina merambati pikiriannya, Sungguh memalukan! Mungkinkah sebenarnya
di dalam dirinya tersembunyi sosok perempuan jalang yang siap meledak? Atau jangan-jangan Mikail memang begitu ahli merayu perempuan sehingga membuat Lana hampir-hampir bertekuk lutut di kakinya?
“Sudah selesai,” suara Theo terdengar puas, mengembalikan
Lana dari lamunannya.
Lana sedikit melirik ke cermin, pada mulanya tidak
begitu tertarik akan hasil dandanan Theo, tetapi mau tak mau pandangan
matanya tertahan lebih lama di sana.
Gaun hitamnya tampak menjuntai di belakang, dengan
potongan sederhana, tetapi elegan. Rambutnya diangkat ke atas,
memamerkan telinganya yang dihiasi anting rubi
dengan ukiran emas. Secara keseluruhan, penampilannya
tampak begitu elegan dan berkelas. Theo memang hebat bisa membuat
penampilannya berubah drastis seperti ini.
“Tuan Mikail akan mengajakmu makan di Atmosphere,” Theo
mengernyit ketika melihat Lana tampak biasa saja
mendengar nama restaurant itu, “Hei itu restaurant bintang
lima paling berkelas di sini, di sana akan ada banyak mata
yang melihat dan menilamu, tapi jangan pedulikan
mereka,” Theo memutar matanya genit, “Mereka hanya iri karena kau
bersama bujangan yang paling diminati.”
Bujangan paling diminati? Tanpa sadar Lana memutar matanya, mungkin orang-orang itu terlalu silau akan ketampanan Mikail hingga buta akan semua sifat buruknya.
Pintu terbuka dan Norman masuk, “Sudah siap?,” pengawal berwajah dingin itu sedikit mengangkat alisnya melihat
penampilan Lana, tetapi wajahnya tetap datar, “ Tuan Mikail sudah menunggu di bawah.”
***
Lana diantar ke ballroom bawah dan Mikail berdiri di
sana. Lelaki itu sekilas melemparkan pandangan memuji, tetapi tidak
mengatakan apa-apa.
Di dalam mobilpun dilalui dalam keheningan. Lelaki
itu rupanya berniat mempertahankan keheningan sampai ke tujuan. Tetapi
Lana tidak tahan, satu-satunya senjata agar dia tidak jatuh dalam pesona Mikail adalah dengan terus menerus melawannya.
“Kenapa kau ajak aku makan malam di luar?,” akhirnya Lana
memecah keheningan itu dengan pertanyaannya.
Mikail menoleh sedikit dan menatap Lana dengan pandangan malas,
“Aku lapar”
Lana mendengus jengkel mendengar jawaban itu,
“Kau punya 3 koki hidangan internasional di rumahmu,”
begitu yang sempat Lana dengar dari obrolan para pelayan.
“Aku sedang ingin makan di luar, dan kau….,” Mikail menatap Lana dengan tatapan – awas kalau kau berani membantah-, “Kau adalah kekasihku, jadi kau harus mendampingiku”
Tentu saja Lana membantah, “Aku bukan kekasihmu”
“Ya, kau adalah kekasihku. Perempuan yang kutiduri lebih dari satu kali otomatis menjadi kekasihku”
“Bukan!,” Lana menyela keras kepala, mukanya memerah
mendengar omongan Mikail yang vulgar itu.
“Lana,” Mikail mengeluarkan suara mengancamnya yang khas, “Jangan menantangku. Kau tahu aku sedang tidak
ingin berdebat denganmu, suasana hatiku sedang buruk
dan aku muak dengan semua perlawananmu. Jadi jangan cobacoba memancing
kesabaranku”
“Kalau kau muak denganku seharusnya kau lepaskan aku”
“Tidak,” Mikail menjawab cepat, hanya sepersekian
detik setelah Lana menutup mulutnya, “Hentikan Lana, kau tidak akan
kulepaskan.”
“Kenapa?’
“Kau tahu kenapa.,” Mikail jelas tampak jengkel.
“Tidak, aku tidak tahu,” jawab Lana keras kepala.
“Karena,” suara Mikail sedikit menggeram, dan dalam
sekejap lelaki itu mencengkeram rahang Lana dengan
jemarinya, lembut tetapi mengancam, “Karena aku sangat
suka memasukimu, merasakan kewanitaanmu membungkusku dengan panas, lalu mendengarmu merintih karena orgasmemu. Jelas??”
Sangat Jelas. Dan Mikail berhasil membuat Lana terdiam. Sepanjang perjalanan mereka tidak berucap sepatah katapun lagi.
***
Di suatu sudut yang gelap sebuah telephone
terangkat, Franky Alfredo sedang duduk di kursi besarnya sambil merokok.
Segelas brandy dengan botolnya yang setengah penuh tampak di
sampingnya, tampangnya yang jelek dengan hidung memerah karena mabuk
tampak waspada,
“Sudah berhasil?,” lelaki itu bertanya cepat.
Jeda sejenak, lalu suara dalam di sana menjawab dengan tenang,
“Mereka sudah keluar dari rumah itu. Rencana akan dijalankan nanti ketika mereka pulang.”
“Bagus, kabari aku kalau sudah beres.”
“Baiklah. Anda tidak akan kecewa karena telah menyewa saya untuk membunuh Mikail Raveno.”
Telephone ditutup, dan Franky terkekeh dalam kegelapan. Menenggak minumannya, untuk perayaan awal.
Mikail Raveno, musuh besarnya. Lelaki itu sudah
menghancurkan bisnisnya dengan ekspansi yang dilakukannya. Dan bukan
hanya itu, Franky didera oleh
perasaan iri dan benci yang luar biasa kepada
Mikail. Entah kenapa Mikail diciptakan begitu sempurna, dari segi fisik.
Sehingga semua wanita berhamburan untuk berlutut di kakinya.
Franky dengan wajah jeleknya sudah terlalu sakit hati karena ditolak perempuan, semua perempuan yang mau tidur
dengannya hanyalah pelacur-pelacur yang harus dibayar.
Mikail Raveno harus dienyahkan, lelaki seperti itu
tidak boleh hidup di dunia ini. Dan malam ini mungkin adalah malam
terakhir lelaki itu hidup.
***
BAB 7
Mikail menggandeng tangan Lana dengan formal ketika
memasuki restaurant. Sang kepala restaurant sendiri yang menyapa mereka
dan mengantarkan mereka berdua ke meja yang sudah disiapkan.
Mikail tampak akrab dengan kepala restaurant itu, dan
Lana melihat kepala restaurant, seorang lelaki Perancis dengan logat
Perancis yang kental. Sesekali Mikail berbicara dalam bahasa Perancis
yang lancar dan tersenyum menanggapi perkataan kepala restaurant itu.
Dari informasi yang pernah didapat Lana, ayah Mikail
adalah orang Italia dan ibunya keturunan Perancis. Mungkin ini sebabnya
Mikail lancar berbahasa Perancis, meskipun itu bukan urusannya. Lana cepat-cepat mengalihkan pikirannya dari Mikail.
Ketika kepala restaurant itu pergi, Mikail menarikkan kursi untuk Lana dan duduk di depan Lana,
“Restaurant ini milik ibuku,” Mikail menatap
kepergian kepala restaurant itu, “Francoise adalah asisten ibuku sejak
lama, dia mencintai restaurant ini seperti mencintai hidupnya”
Lana terdiam menatap Mikail. Orangtua Mikail juga
telah meninggal, itu yang dia tahu, tetapi entah kenapa, informasi
tentang orang tua Mikail itu tersimpan rapat, jauh sekali hingga tidak
ada seorangpun yang bisa menggalinya.
Seorang pelayan datang dan Mikail memesan lagi dalam
bahasa Perancis yang fasih. Ketika hidangan pembuka datang, Lana
terpesona dengan tampilannya,
Mikail menjelaskan bahwa makanan itu adalah
L'imperial de saumon marine yang ternyata adalah filet salmon asap.
Ditemani dengan Creme, potongan jeruk citrus, dan Roti Baggue.
Penyajiannya begitu indah, seperti hamparan padang pasir di atas piring
lengkap dengan suasana eksotisnya.
Lana menyuap untuk pertama kalinya dan mendesah,
merasakan crème itu meleleh di mulutnya dan menciptakan cita rasa yang
bercampur baur antara rasa manis dan kelembutan yang nikmat.
Tak disadarinya bahwa Mikail menatap ekspresinya itu
dengan tatapan kelaparan. Suasana hati Mikail luar biasa buruknya,
hasratnya yang tidak terlampiaskan membuatnya
frustrasi luar biasa. Dia amat sangat ingin meledak… di
dalam tubuh Lana.
Mikail memesan anggur Chardonnay sebagai teman makan
mereka, sambil berharap malam ini Lana sedikit mabuk sehingga
mengendorkan pertahanannya. Tetapi pikiran bercinta dengan Lana dalam
kondisi perempuan itu mabuk sama sekali tidak menyenangkannya. Dia ingin
perempuan
itu sukarela, melingkarkan pahanya di tubuhnya,
ketika tubuh mereka bersatu. Saat itu akan datang pada akhirnya, kalau
Mikail mau bersabar dan menundukkan perempuan keras ini pelan-pelan.
Hidangan utama datang, yakni Parmentier de canard et
son bouquet de verdure, hidangan daging bebek yang dipanggang hingga
cokelat muda dan berminyak bersama dengan kentang lembut yang
dihancurkan, dan disajikan bersama semangkuk salad. Rasanya luar biasa
lezat dengan paduan bumbu-bumbu yang tidak biasa dan khas, membuat
Lana terpesona akan citarasa masakan khas perancis ini. Pantas saja restaurant ini dianugerahi lima bintang.
“Kau menyukainya?,” dalam cahaya lampu yang temaram,
Mikail tampak lebih lembut. Garis kejam di bibirnya tampak memudar dan itu membuatnya tampak lebih santai.
Lana ingin membantah, tetapi tidak ingin merusak suasana indah ini. Terkurung selama berminggu-minggu di dalam kamar terkutuk itu dan sekarang entah kenapa Mikail berbaik hati membawanya keluar – meskipun dengan pengawalan
ketat – Lana sempat melirik ke arah pengawal-pengawal Mikail yang berdiri seperti biasa di akses pintu keluar.
Lana menganggukkan kepalanya. Dia memang sangat menikmati semua ini, bukan hanya makanan – meskipun
makanan di rumah Mikail tidak kalah nikmatnya –
tetapi bisa makan dengan pemandangan bebas, bukan pintu kamar dan
ruangan yang selalu terkunci sangat menyenangkannya.
“Bagus,” Mikail bergumam puas, lalu memanggil pelayan
untuk menghidangkan hidangan penutup, dan kopi, “Aku ingin gencatan
senjata”
Lana mengalihkan pandangan tertariknya pada hidangan
penutup yang baru datang itu. Itu adalah crème brûlée, hidangan cantik
dari krim yang dibakar di permukaan atasnya sehingga membentuk lapisan
karamel renyah tapi lembut di bagian bawahnya.
“Gencatan senjata?,” ketika menyadari arti dari kata-kata Mikail, Lana waspada sepenuhnya.
“Aku akan memperlakukanmu dengan baik, bukan sebagai
tawanan, tetapi sebagai kekasihku. Menurutku kita bisa
menjalin hubungan kerja sama yang cukup baik”
Lana tergoda. Bukan, bukan tergoda menjadi kekasih
Mikail. Tetapi tergoda akan janji itu, bahwa Mikail tidak akan
memperlakukannya sebagai tawanan, yang berarti akan melonggarkan
keamanan ketat yang selama ini menjaganya.
Itu berarti kesempatannya untuk melarikan diri akan…
Mikail sepertinya bisa membaca pikiran Lana dari raut wajahnya, bibirnya mengetat marah dan lelaki itu menggeram,
“Lupakan saja!,” dengan marah Mikail melempar serbetnya, lalu berdiri, “Norman!”
Dengan cepat Norman menyiapkan mobil Mikail, dan Lana mendapati dirinya ditarik pergi meninggalkan rumah makan itu.
***
Dalam kegelapan sosok itu mengawasi, kabel rem mobil itu sudah berhasil dipotongnya. Susah memang, mengingat pengawal-pengawal
Mikail selalu siaga. Tetapi jangan panggil dia Jackal , nama samarannya
di dunia gelap yang cukup populer sebagai pembunuh bayaran paling ahli.
Potongannya sudah diatur dengan rapi, ketika
diperiksa sekarang pun tidak akan ada yang menyadarinya. Tetapi seiring
dengan berjalannya mobil, dan kira-kira 10 kilometer dari sini, tepat ketika mereka memasuki area pinggiran kota dengan jalan berliku dan pohon besar di kiri kanannya
menuju rumah Mikail…. Kabel itu akan putus.
Jackal terus mengawasi sampai mobil itu berjalan dan
menghilang di tikungan, lalu tersenyum jahat, sekarang saatnya menagih
bayarannya kepada Franky yang menyedihkan.
***
Ketika mereka dalam perjalanan pulang, suasana hati
Mikail tampaknya lebih buruk dari sebelumnya. Lana mengernyit
menatapnya. Apakah Mikail selalu melalui hari-harinya dengan marah-marah seperti ini? Lelaki itu pasti akan mati muda, pikirnya dengan puas.
Perjalanan itu berlangsung sedikit lama dan Lana
mengantuk mungkin karena pengaruh anggur dan makanan tadi, Lana mulai
memejamkan mata dan godaan untuk tidur terasa sangat nikmat.
“Lana!!,” teriakan itu mengejutkan Lana membuatnya
terperanjat kaget, ketika sadar dia merasakan dirinya ada dalam dekapan
Mikail, didekap dengan begitu kuat hingga merasa sakit. Seluruh tubuh
Mikail melingkupinya seolah
melindunginya. Melindunginya dari apa…..?
Sekejap kemudian, mereka berguling dan benturan keras mengenai kepalanya, membuat semuanya gelap dan Lana tidak ingat apa-apa lagi.
***
“Bagaimana dia?,” Mikail menyeruak di antara
kerumunan perawat itu. Para perawat di ruangan lain tampak mengejarnya
karena luka di lengannya belum selesai dibalut,
Dokter dan perawat yang menangani Lana menoleh serentak dan sedikit terpana ketika menyadari bahwa di pintu ruangan
gawat darurat itu, berdiri sosok lelaki yang luar biasa tampan, mengenakan kemeja putih yang penuh darah, dan tampak
begitu marah.
“Bagaimana dia?!,” sekali lagi Mikail bertanya, dengan nada sedikit berteriak.
Dokter Teddy, yang bertugas di sana, cukup mengetahui
reputasi Mikail yang begitu kejam dan cepat naik darah – lagipula,
lelaki itu adalah pemilik rumah sakit ini.
Dia menghampiri Mikail dan mencoba menjelaskan,
“Dia baik-baik saja Tuan Mikail, kami sudah menjahit luka di kepalanya. Tetapi dia kehilangan banyak darah, dan saat ini
kami sedang mencari darah dari penyedia terdekat….”
“Cari darah itu…Norman!!,” Mikail berteriak memanggil Norman, yang dari tadi sebenarnya sudah berdiri di
belakangnya, “Dia akan membantu mencari darah untuk Lana, apa golongan darahnya?”
“AB,” dokter itu menjawab cepat, tiba-tiba merasa takut akan api yang menyala di mata berwarna cokelat muda itu.
Mikail tertegun sejenak, “Ambil darahku, aku juga AB”
“Tuan Mikail, Anda juga habis terluka karena kecelakaan ini,”
Norman menyela cemas.
“Kami tidak bisa mengambil darah Anda, kondisi Anda
tidak memungkinkan,” Dokter itu menyela tak kalah cepat hampir bersamaan
dengan Norman.
Mikail mengepalkan tangannya marah,
“Dengar, ini hanya luka lecet kecil, dan aku ingin semua
perkataanku dituruti, ambil darahku dan selamatkan dia! Dan
kalau…,” Mikail terengah, matanya melirik ke arah
tubuh Lana yang terkulai lemas di sana, “Dan kalau sampai terjadi
sesuatu kepadanya, aku akan membuat kalian menerima ganjarannya,”
gumamnya dengan nada mengancam yang menakutkan
***
Mikail duduk di pinggir ranjang dan menatap Lana yang
masih tertidur karena pengaruh obat. Transfusi darah sudah dilaksanakan
dan kondisi Lana berangsur membaik.
Kali ini barulah Mikail merasakan sedikit pusing dan
sakit di lengannya yang tersayat besi mobil yang terguling tiga kali
sebelum terhempas ke turunan jalan tadi.
“Kondisinya sudah membaik,” Norman yang berdiri di sana berusaha memecah keheningan, “Kami sudah menyelidiki pelakunya”
“Franky,” Mikail menggeram, dia sudah tahu bahkan sebelum
Norman memberitahunya. Bajingan busuk itu beraniberaninya melakukan ini. Dia tidak tahu apa yang
menantinya. Mikail pasti akan mencincangnya sampai
menjadi bubur. ”Kau sudah menemukannya?”
Norman bergerak sedikit gelisah, “Belum tuan, ketika dia
sadar bahwa dia gagal membunuh Anda, dia langsung
melarikan diri entah kemana”
“Cari dia, temukan lalu bawa dia ke depanku, hidup-hidup,” suara Mikail terdengar mengerikan dan Norman tahu Mikail sedang sangat marah. Saat ini seharusnya Franky berdoa
supaya dia ditangkap dalam kondis sudah mati, karena
kalau Mikail sudah menemukannya dalam kondisi hidup… Norman tidak berani
membayangkan bagaimana jadinya.
“Ada satu lagi tuan,” Norman tiba-tiba teringat
Mikail hanya melirik tidak berminat, “Apalagi?”
“Franky tidak melakukan semuanya sendiri, dia menyewa
seorang pembunuh bayaran yang sangat terkenal di dunia gelap, Jackal.”
Jackal. Mikail pernah mendengar nama sebutan itu.
Jackal adalah pembunuh jenius bermental psikopat yang sangat keji dan
maniak. Dia membunuh korbannya dengan perhitungan
yang sangat matang dan terkadang bisa sangat kejam.
Sampai saat ini, tidak ada yang tahu sosok asli pembunuh itu, mereka
semua menyebutnya Jackal karena dia selalu
berhasil membunuh korbannya… sampai sekarang.
“Jackal terkenal tidak pernah gagal. Dia akan
terobsesi kepada korbannya kalau tidak bisa membunuhnya. Dan sekarang,
dia pasti akan mengejar Anda. Anda harus berhati
hati karena sampai saat ini kita tidak tahu siapa dirinya”
Mikail menganggukkan kepalanya. Merasa siap karena marah. Franky dan pembunuh psikopat yang entah siapa itu
telah berani-beraninya melukai Lana, miliknya. Kalau mereka memutuskan berhadapan dengannya, berarti mereka telah memilih musuh yang salah.
***
Lana terbangun ketika merasakan lengannya disengat.
Dia membuka mata dan bertatapan dengan wajah muda berkacamata yang
sangat tampan dan ramah.
“Ups aku membangunkanmu,” lelaki itu tersenyum ramah, “Aku sedang menyuntikkan obat untuk lukamu. Aku sudah
berusaha melakukannya selembut mungkin, tetapi sepertinya
aku tak selembut yang kukira”
Lana mengamati lelaki itu dari jas putih yang dikenakannya, dia adalah dokter.
Lelaki itu mengikuti arah pandangan Lana dan tersenyum,
“Perkenalkan, aku Dokter Teddy, aku dokter yang
merawatmu kemarin ketika kau dibawa ke sini, Kepalamu pasti sakit ya? Kau terbentur cukup keras, aku menjahit 12
jahitan di sana”
“Kecelakaan?,” Lana berusaha mengingat semuanya-tetapi ingatan terakhirnya hanya sampai pada teriakan Mikail dan pelukannya yang begitu erat, sebelum semuanya menjadi gelap.
“Ya kecelakaan, kata polisi mobil kalian di sabotase dan
remnya blong. Mobil kalian terguling dan kepalamu
membentur, untung kami dapat menyelamatkanmu”
“Bagaimana dengan Mikail?,” Lana bertanya cepat, sabotase
itu pasti dilakukan oleh musuh Mikail yang mendendam
kepadanya. Apakah Mikail terluka? Ataukah lelaki itu sudah mati? Dan
kenapa bukannya senang tetapi Lana malahan merasa cemas?
“Maafkan aku mengecewakanmu,” suara khas itu terdengar dari pintu, “Tetapi aku masih hidup”
Lana menoleh dan melihat Mikail berjalan memasuki
ruangannya, dengan kemeja hitam dan penampilan yang luar biasa sehat dan
tak kelihatan kalau dia baru saja mengalami
kecelakaan. Tanpa sadar Lana mengernyit, menyesal
telah mencemaskan Mikail. Lelaki itu mungkin iblis, jadi susah mati,
gumam Lana menyumpah dalam hati.
‘Bagaimana kondisinya dokter?,” Mikail mengalihkan tatapan
matanya dan menatap Dokter Teddy yang masih berdiri di sana, memeriksa infus Lana.
Senyum di wajah Dokter Teddy tak pernah pudar hingga
Lana menyadari dua lelaki di depannya ini begitu
kontras, yang satu begitu dingin dengan nuansa muram gelap yang
melingkupinya, dan yang satunya tampak begitu cerah, penuh senyum seolah-olah dia membawa Matahari di atas kepalanya.
“Kondisinya sudah membaik, tetapi dia masih harus istirahat
dan berbaring beberapa hari di sini. Saya belum bisa merekomendasikan dia dibawa pulang seperti permintaan
anda tuan Mikail,” ekspresi Dokter Teddy berubah serius meskipun masih penuh senyum, “Itu akan berbahaya
untuknya, kepalanya terbentur parah dan goncangan
sekecil apapun akan membuatnya mual dan muntah dan kesakitan. Anda tentu
tidak ingin hal itu terjadi kepadanya kan?”
“Berapa hari sampai dia bisa normal kembali?,” Mikail
membicarakan Lana seolah-olah Lana tidak ada di ruangan itu.
Dokter Teddy tampak menghitung,
“Maksimal tujuh hari, tetapi tidak menutup kemungkinan
kalau kurang dari tujuh hari perkembangannya sudah membaik, kami akan merekomendasikannya untuk bisa
dirawat di rumah”
Mikail tercenung. Tujuh hari, dan Lana berada dalam
area publik yang cukup berbahaya. Otaknya berputar memikirkan keamanan
seperti apa yang harus diterapkannya untuk menjaga Lana. Franky masih
dalam pengejaran dan Jackal berada entah dimana, masih mengincar mereka.
Mikail harus menjaga Lana dengan ekstra hati-hati.
Dokter Teddy mengangkat bahunya, dan tersenyum pada Lana,
"Baiklah Lana, saya harus kembali bertugas. Saya
yakin Anda akan segera sembuh", senyumnya yang secerah Matahari memancar
lagi, membuat Lana terpesona, bahkan setelah Dokter Teddy pergi.
Mikail menatap Lana dan mencibir,
"Jangan bermimpi", desahnya kesal.
Lana menatap Mikail dan mengernyit,
"Apa maksudmu?"
"Kau menatap dokter itu dengan tatapan bodoh dan
terpesona seperti perawan yang melihat lelaki pertamanya.....Oh maaf",
senyum Mikail benar-benar mengejek, "Aku lupa kalau kau sudah tidak perawan dan akulah lelaki pertamamu"
Lana benar-benar marah kepada Mikail, lelaki itu benarbenar perpaduan dari semua yang dia benci, kurang ajar,
tidak sopan, dan menjengkelkan. Mungkin karena itulah
Tuhan menciptakannya dengan kesempurnaan fisik yang luar biasa, untuk
mengimbangi sifat buruknya.
Mikail duduk di kursi sebelah Lana dan menatap lurus,
"Aku ulangi, jangan pernah kau terpesona pada dokter
muda itu, dia pasti dari kalangan keluarga konvensional dan aku yakin,
pendidikan moral dan keluarganya tidak akan menoleransi kau, perempuan
yang sudah dinodai oleh Mikail Raveno"
"Hentikan!!", Lana menggeram, tak tahan akan kata-kata Mikail yang sepertinya sengaja digunakan untuk menyakitinya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, seperti ditusuk dengan tongkat besi. Dia meringis dan memegang kepalanya.
Ekspresi Mikail langsung berubah, lelaki itu berdiri dari kursinya dan setengah duduk di ranjang, memeluk Lana,
"Lana? Kau kenapa? Lana...?"
"Tidak... Aku tidak apa-apa, maafkan aku, kepalaku cuma sedikit sakit"
"Berbaringlah", Mikail membantu merapikan bantal-bantal di belakang Lana, lalu dengan pelan membaringkan Lana di ranjang.
Lana memejamkan matanya, merasakan denyutan itu mulai mereda, dan mendesah.
"Bagaimana?"
Lana menarik napas panjang dan membuka mata, menemukan wajah luar biasa tampan itu menatapnya dengan cemas, benar-benar cemas, bukan sesuatu yang dibuat-buat.
Apakah Mikail benar-benar cemas? Tapi bagaimana mungkin? Bukankah lelaki ini adalah lelaki kejam yang menghancurkan keluarga dan orangtuanya?
Tapi ingatan Lana kembali kepada malam kecelakaan itu,
sekarang terpatri jelas dalam ingatannya kalau Mikail benarbenar merengkuhnya malam itu, memeluknya erat-erat dan
menahan guncangan-guncangan untuk melindunginya. Mungkin kalau bukan karena dipeluk Mikail, tubuh Lana sudah terlempar, dan bukan hanya kepalanya saja yang
terluka. Malam itu, Mikail jelas-jelas melindunginya. Tapi, kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu kembali membuat
kepala Lana sakit, dia memejamkan matanya lagi.
Hening sejenak, kemudian Mikail menghela napas,
"Istirahatlah, kalau kau perlu apa-apa, kau tinggal menekan tombol di dekat ranjang."
Dan kemudian Mikail pergi menutup pintu dengan pelan dari luar.
***
Mikail menyandarkan tubuhnya di dinding dan memijit
dahinya yang berdenyut, dadanya terasa sakit dan nyeri. Jadi, seperti
ini rasanya.... Melihat Lana kesakitan hampir membuatnya meledak dalam
kecemasan, dan itu semua
karena musuh-musuhnya yang hendak mencelakainya,
"Apakah semua baik-baik saja Tuan?", Norman muncul, dia memang sedang bertugas berjaga di sana dan cemas melihat Mikail hanya bersandar di pintu,
Mikail menoleh, menatap Norman dan mengernyit, "Ah.. Ya,
dia baik-baik saja, hanya tadi ada serangan di kepalanya, dia kesakitan"
Norman menganggukkan kepalanya dan merenung. Mikail juga tampak sibuk dengan pikirannya sendiri,
"Kenapa tidak Anda katakan saja kepadanya?", gumamnya akhirnya.
Mikail menyentakkan kepalanya,
"Apa?"
"Semuanya, seharusnya dia tahu semuanya. Itu akan membebaskannya dan juga membebaskan Anda"
Mikail menggelengkan kepalanya,
"Itu akan menghancurkan hatinya". Dengan cepat Mikail
mengalihkan pembicaraan, "Dokter bilang dia harus seminggu lagi di
sini, kau atur penjagaan di sini, jangan sampai ada yang lengah. Hanya
dokter dan perawat khusus Lana yang boleh masuk ke ruangan itu,
instruksikan pada semuanya" Mikail lalu melangkah pergi, dan Norman
tercenung menatap tuannya itu.
Semua orang selalu takut pada Mikail. Lelaki itu
setampan malaikat, tetapi hatinya sehitam iblis, begitu kata orang-
orang. Semua orang memujanya sekaligus menjaga jarak karena ketakutan.
Yang mereka tidak tahu, kadang-kadang, tuannya itu bisa seperti malaikat seutuhnya, baik tampilan fisiknya maupun hatinya
***
"Selamat sore, sepertinya kau sudah lebih sehat".
Dokter Teddy menyapa lagi di sore harinya setelah memeriksa Lana, "Dan
kulihat makan malammu masih utuh, kenapa kau tak memakannya?"
Lana mengernyit meskipun mencoba tersenyum lemah kepada Dokter Teddy,
"Saya masih mual dan muntah-muntah dokter"
"Tapi kau harus tetap makan, aku akan memesankan menu lain untukmu, mungkin sup panas dan jus buah bisa menggugah seleramu?"
Mau tak mau Lana tersenyum melihat betapa bersemangatnya Dokter Teddy,
"Terima kasih dokter"
Dokter Teddy menganggukkan kepalanya,
"Aku cuma tidak menyangka perempuan seperti kau yang menjadi kekasih Tuan Mikail"
Tertegun Lana mendengar perkataan Dokter Teddy itu, "Apa?"
Wajah Dokter Teddy memerah karena malu, dia tampak menyesal telah mengucapkan kata-kata itu,
"Ah maafkan aku Lana, lupakan aku telah mengucapkannya ya?"
Lana menggelengkan kepalanya,
"Tidak apa-apa dokter, semua yang melihat pasti akan menyangka aku adalah kekasih Mikail"
"Apalagi melihat tingkah Tuan Mikail di ruang gawat darurat kemarin", Dokter Teddy terkekeh
Lana mengernyitkan matanya lagi, memangnya apa yang dilakukan Mikail di ruang gawat darurat kemarin?
Dokter Teddy sepertinya tahu bahwa Lana bertanya-tanya, dia mengangkat bahunya,
"Jangan bilang padanya kalau aku membicarakan
tentangnya di belakangnya ya, sampai sekarang aku masih merinding
mengingat tatapan membunuhnya ketika mengancam akan menghabisi semua
dokter dan perawat di sini kalau mereka tidak berhasil menyelamatkanmu",
ditatapnya Lana dengan tatapan menyesal, "Sungguh, siapapun yang
melihat kelakuannya kemarin pasti akan mengambil kesimpulan yang sama,
bahwa Tuan Mikail adalah kekasih yang amat sangat mencintai dan
mencemaskanmu"
Lana memalingkan muka, tidak tahu harus berkata apa, masih tidak dipercayainya kata-kata Dokter Teddy kepadanya,
"Ah ya, dan sebenarnya dia turut andil dalam menyelamatkan nyawamu"
Ketika Lana menatap Dokter Teddy dengan bingung,
Dokter Teddy mendesah, "hmm. Dia tidak bilang padamu ya, jangan bilang
kalau kau tahu dari aku ya"
"Tahu tentang apa?"
"Malam itu kau kehabisan banyak darah, dan Tuan
Mikail yang kebetulan golongan darahnya sama denganmu, memaksa kami
mengambil darahnya untukmu. Sebenarnya kami tidak boleh melakukannya,
Tuan Mikail juga baru selamat dari kecelakaan yang sama, tetapi dia
memaksa, dan mengancam. Dan benar apa kata orang, tidak akan ada
seorangpun yang berani melawan apa yang dikatakan oleh
Mikail Raveno. Lagipula dia adalah pemilik rumah sakit ini, perintahnya harus kami laksanakan"
Kejutan lagi. Lana tidak suka dia harus berhutang
nyawa kepada lelaki iblis itu... Tetapi entah kenapa, perasaan bahwa
darah lelaki itu mengalir di pembuluh nadinya membuat dadanya berdesir
oleh suatu perasaan aneh, seolah-olah bagian diri Mikail sekarang ada di dalam tubuhnya, di dalam dirinya.
Dokter Teddy menghela napas melihat Lana termenung,
"Ah seharusnya aku tidak terlalu banyak bicara, kau harus segera beristirahat"
Ketika Dokter Teddy sudah sampai di pintu, Lana memanggilnya,
"Dokter..."
Langkah Dokter Teddy berhenti seketika, dia menoleh dan menatap Lana bertanya-tanya,
"Ada apa Lana? Ada yang bisa kubantu? Apakah kau kesakitan?"
Lana menggelengkan kepalanya,
"Ah tidak apa-apa dokter, lupakan saja, terimakasih sudah merawat saya"
Dokter Teddy tersenyum,
"Aku hanya melakukan tugasku, tapi sekaligus aku senang kalau pasienku makin membaik".
Ketika Dokter Teddy pergi, Lana tercenung. Cerita
Dokter Teddy tadi membuatnya bingung. Benarkah itu semua? Bahwa Mikail
sangat mencemaskan keselamatannya?
Pikiran Lana teralihkan oleh kesadarannya bahwa dia
saat ini tidak sedang dikurung di rumah Mikail yang berpenjagaan ketat,
dia ada di area publik. Sebuah rumah sakit, dan itu berarti
kesempatannya untuk melarikan diri semakin besar. Dia harus melepaskan
diri dari cengkeraman Mikail karena dia merasa takut. Ya... Lana takut
semakin lama dia berada di bawah Mikail, pada akhirya dia akan bertekuk
lutut di bawah kaki Mikail, jatuh ke dalam pesonanya. Lana hanya perlu
seseorang untuk menolongnya,,,,bisakah Dokter Teddy menolongnya? Jika
Lana meminta tolong padanya, akankah Dokter Teddy mengerti? Dari
perkataannya tadi, tampak jelas kalau Dokter Teddy menganggap Lana
adalah kekasih
Mikail, Bagaimana jika dia menceritakan yang
sebenarnya? Mungkinkah Dokter Teddy jatuh simpati dan menolongnya? Atau
mungkin Dokter Teddy malah melaporkannya pada
Mikail, mengingat rumah sakit ini adalah milik
Mikail. Malam itu Lana tertidur dengan mimpi buruk, di mana Mikail terus
menerus mengucapkan ancaman itu di telinganya, bahwa dia akan membunuh
siapapun yang menolong Lana dan
siapapun yang lengah hingga Lana bisa melarikan
diri. Kalimat itu terngiang jelas sepanjang malam : "Kebebasanmu akan
digantikan dengan nyawa seseorang, Lana....
***
Norman melapor pagi-pagi sekali kepada Mikail, "Kami berhasil menangkap Franky"
Mikail yang sedang menyesap kopinya langsung membanting gelasnya ke meja, "Hidup-hidup?", tanyanya sambil menyipitkan matanya. Norman mengangguk,
"Bagaimana kondisinya?"
"Kakinya sedikit luka, tetapi tidak parah. Dia berusaha melarikan diri dari kami, tetapi kami berhasil menggagalkannya"
"Bagus, bawa dia padaku"
***
Sosok yang selalu berada dalam bayangan gelap itu
mengawasi semuanya dari mobil yang diparkir secara tidak kentara dekat
dengan gerbang Mikail.
Bagus. Mereka sudah menangkap Franky, itu akan
mengalihkan perhatian mereka untuk sementara. Dan dia bisa berbuat
apapun yang dia mau untuk menyusun rencana menghabisi Mikail.... Dan
pelacurnya. Jackal tidak pernah
gagal membunuh targetnya. Ketika targetnya terlepas,
Jackal akan memburunya sampai mati, dan kali keduanya, dia tak akan
pernah gagal.
***
BAB 8
Mikail masuk ke kamar perawatan Lana tengah malam. Saat itu Lana sudah tertidur pulas. Dengan langkah pelan tak
bersuara, Mikail berjalan menuju tepi tempat tidur dan berdiri dekat di sana mengawasi Lana.
.... Begitu damai perempuan ini terpejam dalam
lelapnya, seolah tak menyadari bahwa sekarang bahaya yang amat besar
sedang mengintainya.
Mikail sedikit membungkuk, lalu menyentuh pelan pipi
Lana. Perempuan itu mengerang pelan lalu mengubah posisi tidurnya,
tetapi tidak terbangun.
Mikail mengambil resiko dengan menunduk dan mengecup
bibir Lana, merasakan manisnya bibir itu. Sampai kemudian dia larut
dalam gairahnya yang tertahan dan melumat bibir Lana.
***
Lana merasakan gelenyar panas di seluruh tubuhnya, dan
dia menggeliat, ada gairah menjalar dari bibirnya
yang terasa nikmat dilumat seseorang. Dengan lemah Lana mengerjap
setengah tidur dan membuka mata.
Lelaki itu, yang sedang membungkuk di atas tubuhnya dan melumat bibirnya, adalah Mikail Raveno.
Mikail sedang melumat bibir Lana, kemudian dia berhenti dan menatap mata Lana, menyadari bahwa Lana sudah
terbangun,
Dengan lembut Mikail menelusurkan tangannya di pipi Lana, lalu bibirnya mengikuti gerakan jemarinya.
Lana memejamkan matanya, ini pasti mimpi. Mikail Raveno
di dunia nyata tidak mungkin berbuat selembut ini,
lelaki itu pasti akan langsung memaksanya, memperkosanya, dan
memperlakukannya dengan kasar.
Ini pasti mimpi, karena sebelum tidur Lana berbaring dengan gelisah, mencoba menghapus memori bercintanya dengan
Mikail yang seolah-olah selalu muncul dalam benaknya.
Dan karena ini mimpi, tak ada salahnya untuk
menikmati. Lana setengah tersenyum, lalu menyentuh pipi Mikail dengan
lembut. Dalam sekejap tubuh Mikail langsung kaku seperti terkejut
merasakan sentuhan lembut jemari Lana di pipinya.
Lana langsung menarik tangannya panik, apakah Mikail
dalam mimpinya ini akan berubah lagi menjadi Mikail dalam dunia nyata
yang jahat?
Ternyata tidak, Mikail dalam dunia mimpi ini sangat
lembut dan penuh kebaikan. Lelaki itu mengambil jari Lana dan
meletakkannya di pipinya.
"Sentuh aku di manapun kau suka, jangan berhenti..." bisik Mikail penuh gairah.
Lana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ini benar-benar
mimpi yang sangat menyenangkan. Di bawah tatapan tajam Mikail, Lana
menyusurkan jemarinya di wajah Mikail, mengagumi setiap kesempurnaan
yang terpatri di sana. Ketika jemarinya hampir menyentuh bibir Mikail,
lelaki itu meraih tangannya, dan mengecupnya lembut, satu persatu
jemarinya, Mikail menggulingkan tubuhnya ke samping Lana, ranjang rumah
sakit yang lembut itu membuat tubuh mereka bersentuhan rapat. Tangan
Mikail menggenggam jemari
Lana, lalu menyentuhkan jemarinya ke kejantanannya yang sudah sangat siap,
"Sentuh aku Sayang", bisiknya parau.
Wajah Lana memerah merasakan kekerasan yang panas di
telapak tangannya, dengan lembut Mikail membuka ikat pinggangnya dan
menurunkan celananya, "Rasakanlah tubuhku yang amat sangat mendambamu"
Lana meremas kejantanan itu dan Mikail mengerang, perasaan bahwa Mikail benar-benar bergairah atas sentuhannya membuat Lana merasa senang. Oh ya ampun, ini adalah mimpi erotis terbaik yang pernah dia alami.
Jemari Lana bereksplorasi di tubuh Mikail, dan lelaki itu membiarkannya sebebas-bebasnya.
akhirnya, ketika bibir Lana dengan penuh ingin tahu mencecap kejantanan
itu, Mikail mengangkat kepala Lana dengan tatapan tajam berkabut yang
penuh gairah.
"Giliranku" geramnya serak.
Lana dibaringkan dengan Mikail berbaring miring
menghadapnya, lelaki itu mengecup dahinya, pelipisnya, ujung hidungnya,
pipinya, bibirnya dengan kecupan-kecupan kecil yang lembut, Lalu bibir itu berhenti di bibir Lana, mencicipinya sedikit-sedikit di tiap ujungnya, meniupkan kehangatan yang basah di sana. Membuat Lana membuka bibirnya dengan penuh perasaan mendamba.
Mikail melumat bibir Lana yang membuka itu dan
menyelipkan lidahnya ke dalamnya. Lidah mereka bertautan, panas dan
basah. Bibir Mikail melumat bibir Lana tanpa ampun, mencecap setiap
sisinya, dengan penuh gairah.
Lana merasakan jemari Mikail mulai membuka satu-persatu
pakaian rumah sakit Lana, kemudian tangan yang panas itu serasa
membakar di kulitnya yang telanjang, menyentuhnya dengan intens di semua
sisi, menimbulkan geletar tiada duanya, yang membuat Lana menggeliat
penuh gairah.
Jemari Mikail menyentuh kewanitaannya, dan
mencumbunya dengan keahlian luar biasa hingga paha Lana terbuka, panas,
dan basah siap untuknya.
Mikail sudah berada di atasnya dan menindihnya, Lana merasakan kejantanannya yang begitu panas menyentuhnya.
"Apakah...", napas Mikail yang panas sedikit terengah
terasa begitu erotis di bibirnya, Mikail mengecupnya lagi, "apakah aku
akan menyakitimu kalau aku..."
Lana menggoyangkan pinggulnya putus asa, gairahnya
memuncak tanpa ampun, dia ingin Mikail ada di dalam dirinya, oh Ya
ampun, dia sangat ingin!
Mikail menekan dirinya, menyatukan tubuhnya dengan Lana.
Percintaan mereka sangat penuh gairah dan luar biasa
nikmatnya. Lana mencengkeram punggung Mikail yang berotot, melupakan
rasa sakit di kepalanya, terlalu larut dalam kenikmatan yang mendera
tubuhnya. Mikail berusaha bergerak selembut mungkin, tetapi gairahnya
mengalahkan akal sehatnya, dia bergerak dengan penuh gejolak, membawa
Lana bersamanya. Dan akhirnya ketika puncak itu datang, tubuh mereka
menyatu dengan begitu eratnya,
dalam ombak kepuasan yang bergulung-gulung menghantam tubuh mereka.
Ketika Mikail menarik tubuhnya dengan hati-hati dari Lana dan berbaring di sebelahnya dengan lengan masih memeluknya erat, Lana sudah terlalu kelelahan untuk bergerak -sungguh mimpi yang luar biasa nikmatnya-desah Lana dalam hati, masih menggelenyar dalam sisa-sisa kenikmatan yang begitu memuaskan.
Ah, bahkan dalam mimpinya itu, dia bisa merasakan dengan jelas kecupan lembut Mikail di dahinya sebelum lelaki itu pergi.
***
Ketika terbangun di pagi harinya, Lana baru sadar bahwa itu semua bukanlah mimpi. Oh ya, bajunya memang terpasang
rapi dan semuanya tampak baik-baik
saja. Tetapi rasa pegal dan kelembapan yang khas di antara kedua pahanya
serta aroma parfum Mikail yang tertinggal di seluruh tubuhnya
membuatnya sadar bahwa semalam, Mikail benar-benar berkunjung ke kamarnya dan bercinta dengannya.
Lelaki itu memperkosanya lagi ketika dia tidak sadar. Lana mengernyit, mencoba menahan rasa terhina yang
menyesakkan dadanya.
Tetapi, apakah benar itu perkosaan? Malam kemarin
Lana amat sangat bersedia untuk bercinta dengan Mikail. Bahkan dia
mengalami orgasme! Ya, bahkan tubuhnya pun masih mengingat kenikmatan
luar biasa yang didapatnya semalam.
Apakah bisa mencapai kepuasan ketika kau diperkosa?, Lana memegang pipinya yang memanas dengan jemarinya,
merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Mungkin
memang benar di dalam dirinya tersembunyi wanita jalang, yang kemarin
akhirnya keluar dan menguasai tubuhnya.
Lana telah ditaklukkan dalam pesona gairah Mikail
yang luar biasa ahli. Dan sekarang ketakutan menerpa dirinya, bagaimana
kalau pada akhirnya nanti dia menyerah dan
dengan senang hati menjadi wanita murahan yang bersedia
menjadi kekasih Mikail, bertekuk lutut di kaki lelaki itu seperti perempuan-perempuan yang lain?
Bagaimana dia mempertanggungjawabkan dirinya kepada ayah dan ibunya nanti?
"Kau tampak sedih",
Suara itu membuat Lana terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Dokter Teddy berdiri di pintu, menatapnya cemas, "Apakah kau baik-baik saja"
Kenapa hidupku tidak bisa biasa-biasa saja? Tiba-tiba
Lana merasa sedih atas perjalanan hidupnya. Dihadapkan pada Dokter
Teddy yang selalu tampak ceria dan tanpa beban membuat Lana ingin
menangis, dan matanya mulai berkacakaca.
"Hei... Heii", dokter Teddy mendekati ranjang dan menyentuh lengan Lana, "Kenapa Lana? Apakah kau baik-baik saja?"
Lana menganggukkan kepalanya, mengusap air matanya dengan malu,
"Saya baik-baik saja dok..."
Dengan ragu, Dokter Teddy duduk di tepi ranjang,
"Apakah kau bertengkar dengan kekasihmu, Tuan
Mikail.. Aku mengerti, mengingat sifat keras dan dominannya yang
terkenal itu.. pasti berat menjadi kekasihnya"
Lana menatap Dokter Teddy tajam,
"Aku bukan kekasihnya, aku membencinya setengah mati hingga ingin membunuhnya", desis Lana penuh kemarahan.
Dokter Teddy terpana kaget,
"Apa? Bukankah... Bukankah.."
"Dokter, aku bukan kekasihnya, aku disekap di rumahnya
selama ini...", dan semua cerita itu mengalir dari mulut Lana, mulai dari kisah bisnis ayahnya dengan Mikail, kematian
kedua orang tuanya, usahanya membalas dendam, sampai kemudian dia berakhir dalam sekapan Mikail.
Dokter Teddy mendengarkan semua dengan takjub, dan
ketika semua kisah itu berakhir, Dokter Teddy menatap Lana tak percaya,
"Wow....", tunggu sebentar, beri aku waktu, aku tak tahu harus bicara apa"
Lana menatap Dokter Teddy penuh tekad,
"Saya mohon bantuan dokter untuk melepaskan saya
dari sini, hanya dokter dan perawat dokter yang boleh masuk ke ruangan
ini, sedangkan di luar semua penjaga berjaga ketat. Saya mohon dokter,
saya sudah melupakan dendam saya,
yang saya inginkan hanyalah melepaskan diri dari
cengkeraman Mikail, dia lelaki yang sangat jahat dan kejam, mungkin saya
akan berakhir mati di tangannya"
Dokter Teddy tercenung mendengar kata-kata Lana,
"Oke...aku akan mencari cara, meskipun sepertinya
sulit", lelaki itu berdehem, "Aku tidak menyangka kalau reputasi jahat
Tuan Mikail memang benar adanya, menyekap perempuan tidak bersalah dan
memaksanya menjadi
kekasihnya, itu benar-benar tidak bisa dibenarkan", dengan penuh keyakinan, Dokter Teddy menggenggam kedua
tangan Lana, "Aku akan mengabarimu nanti, yang pasti,
aku akan membantumu Lana, supaya kau bisa lepas dari Tuan Mikail yang
jahat
***
Mikail masuk ke kamar, hanya selang beberapa menit
setelah Dokter Teddy pergi, dan Lana senang karenanya, itu berarti tidak
mungkin Mikail mendengar percakapannya dengan dokter Teddy tadi,
"Bagaimana keadaanmu?", Mikail menatap Lana tajam tanpa senyum.
Ketika Lana menatap Mikail, mau tak mau kenangan
percintaan mereka semalam berkelebatan di benaknya, tak tahan akan semua
bayangan erotis itu, Lana memalingkan mukanya,
"Bukan urusanmu"
"Lana", Mikail memanggil nama Lana dengan nada
jengkel, "Kau harus cepat sehat supaya aku bisa membawamu pulang, di
sini tidak aman"
"Kau yang diincar oleh musuh-musuhmu, kenapa aku yang harus repot?", sela Lana marah dengan tatapan berapi-api.
Mikail membalas tatapan Lana tak kalah tajam,
"Karena kau adalah kekasihku, dan Jackal sedang mengincar kita berdua"
Jackal, siapa orang yang mau menyandang nama sebegitu mengerikan? Lana mengernyitkan alisnya, bingung.
"Jackal adalah nama pembunuh bayaran yang disewa
oleh musuhku", Mikail melirik buku jarinya yang memar, yang kemarin
dipakainya untuk menghajar Franky habis-habisan, sampai
lelaki itu terkapar penuh darah, bahkan sudah tak mampu lagi memohon
ampun kepadanya, "Dia selalu berhasil membunuh siapapun yang menjadi
targetnya. Dan kemarin kita berhasil lolos dari kecelakaan yang
direncanakan oleh Jackal... Psikopat itu tidak akan berhenti sebelum dia berhasil membunuh kita berdua".
Bulu kuduk Lana meremang, orang bernama Jackal ini
terdengar begitu mengerikan...
"Kau tidak aman di sini Lana", Mikail mengacak
rambutnya frustasi, "Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Jackal,
tidak ada yang tahu dia laki-laki atau perempuan, dia bisa menjadi siapapun. Bahkan saat ini aku tidak bisa mempercayai pengawal-pengawalku sendiri, kecuali Norman. Di sini keadaanmu sangat riskan, di rumahku kau akan
aman", Dengan tercenung Mikail mengawasi Lana,
"Kurasa kau sudah cukup sehat untuk pulang, nanti malam aku akan
mengurus kepulanganmu dari rumah sakit ini"
Kalau dia pulang, maka kesempatannya untuk melarikan
diri akan menguap begitu saja, pikir Lana panik. Dia tidak boleh pulang
ke rumah itu!
Dengan impulsif Lana memegang kepalanya, pura-pura kesakitan,
"Kenapa Lana?", Mikail langsung bertanya cemas.
"Kepalaku... Kepalaku...", Lana mengerang berusaha sebaik mungkin terdengar sakit.
"Dokter!", Mikail memanggil setengah berteriak dan Dokter Teddy yang kebetulan ada di dekat situ langsung masuk dengan cemas,
"Ada apa Tuan Mikail?"
"Dia kesakitan!", suara Mikail meninggi, "Kupikir
kondisinya lebih baik sehingga besok dia bisa pulang, tetapi dia
kesakitan, kenapa dia kesakitan?? Kau bilang lukanya akan membaik..."
Dengan cepat Dokter Teddy menangkap isyarat mata Lana
dan membaca situasi, dia berdehem mencoba terdengar serius, "Seperti
yang saya bilang, kondisinya masih belum stabil Tuan Mikail, kadang dia
tampak baik, tapi kadang goncangan sekecil apapun bisa membuatnya
kesakitan.
Saya menganjurkan Anda tidak membawanya pulang dulu, atau kesembuhannya akan terhambat"
Mikail tercenung dan menatap Lana frustasi, "Oke. Sembuhkan dia dulu!", gumamnya dingin
Dan Lana mendesah lega dalam hati, kesempatannya untuk melarikan diri masih ada.
***
Malam itu jam delapan, jadwal pemeriksaan Lana oleh
Dokter Teddy, lelaki itu datang tepat waktu, kali ini membawa perawat.
Ketika Lana menyadari Dokter Teddy memasuki ruangan, dia langsung terduduk tegak, waspada.
"Dokter..."
Dokter Teddy memberi isyarat, menyuruh Lana menutup mulutnya. Lalu mempersiapkan jarum suntik.
Yang tidak disangka Lana, ketika perawat itu sedang memeriksa infus Lana, Dokter Teddy tiba-tiba
menusukkan jarum suntik itu ke tubuh perawat itu. Dalam hitungan detik,
tubuh perawat itu langsung ambruk tak sadarkan diri. Dokter Teddy
menopang tubuh perawat itu dan menyandarkannya di ranjang,
"Kau bisa bangun?", Tanya dokter Teddy cepat.
Lana masih terpana akan kesigapan gerakan Dokter
Teddy, sampai kemudian dia sadar bahwa Dokter Teddy sedang bertanya
padanya, dia langsung menganggukkan kepalanya,
"Bagus, bisakah kau menukar bajumu dengan baju
perawat ini? Aku akan menutup tirai untuk memberimu privasi", Dokter
Teddy langsung menutup tirai dan menunggu di luar tirai.
Detik itu juga Lana sadar, ini adalah rencana Dokter Teddy untuk melepaskannya!
Dengan sigap, melupakan bahwa kepalanya masih sakit,
Lana mencoba berdiri, dan ketika bisa, dia langsung melepas pakaiannya dan menukarnya dengan baju perawat itu.
Setelah semua beres, Lana memanggil Dokter Teddy yang
segera mengangkat perawat yang masih pingsan itu dan membaringkannya di
ranjang, lalu menyelimuti perawat itu.
"Kau harus bersikap biasa dan tidak mencurigakan",
gumam Dokter Teddy ketika Lana sedang memasang topi perawat di
kepalanya, lalu mendekap papan pemeriksaan di dadanya, "Ayo"
Jantung Lana berdegup kencang ketika Dokter Teddy membuka pintu.
Dua penjaga yang ditempatkan Mikail di pintu tampak sedang bercakap-cakap. Dokter Teddy mengangguk kepada mereka dan mereka membalas dengan senyum.
Posisi tubuh Dokter Teddy menutupi Lana sehingga
tidak kelihatan, lalu dia menggiring Lana menuju lorong meninggalkan
pengawal itu jauh di belakang.
Ketika akhirnya mereka membelok di lorong tanpa
ketahuan, Lana menarik napas, lega luar biasa. Dokter Teddy mengajak
Lana setengah berlari ke tempat parkir, menuju kebebasannya.
***
Norman menyerahkan berkas-berkas itu kepada Mikail yang duduk di sofa,
"Ini beberapa orang yang mungkin bisa kita curigai"
Mikail mengambil berkas itu dan membacanya, lalu membolak-baliknya. Matanya terpaku pada salah satu foto di berkas itu,
"Kenapa dia masuk ke daftar ini?" Norman melirik berkas itu.
"Karena kami memfilter semua pegawai rumah sakit
yang masuk kurang dari 2 bulan sebelum kejadian kecelakaan itu" Mikail
mengernyit lama. Sebelum kemudian wajahnya
menegang.
"Dia punya akses bebas masuk ke ruangan Lana, kita harus ke rumah sakit segera!"
Mikail meraih jasnya dan melangkah tergesa ke pintu diikuti
Norman. Dan pada sat bersamaan, pintu di sisi lainnya
terbuka, beberapa pengawal Mikail masuk dengan wajah panik dan nafas
terengah.
"Tuan Mikail, Lana melarikan diri dari rumah sakit!!"
***
BAB 9
Dokter Teddy mengendarai mobilnya dengan tenang
menembus kemacetan jalan raya, mereka lalu tiba di
belokan ke luar kota, menuju jalanan yang sepi. Lana yang selama ini
diam karena menahan rasa tegang dalam perjalanan
menoleh dan menatap Dokter Teddy penuh rasa ingin tahu,
“Kita akan kemana dokter?”
Dokter Teddy menoleh lalu tersenyum manis, “Ke rumah
di pinggiran kota, tempatnya seperti villa di pegunungan, kau akan aman
di sana dan Tuan Mikail tidak akan bisa
menjangkaumu”
Lana menganggukkan kepalanya dan menatap lurus ke depan, pemandangan di luar adalah hutan dan jalanan yang berkelok-kelok,
malam makin gelap dan Lana mulai merasa mengantuk. Akhirnya dia
menyandarkan kepalanya dengan nyaman di kursi dan mulai tertidur.
***
Mikail menatap marah pada perawat yang dibius untuk
menggantikan Lana di ranjang. Dua pengawalnya yang tadi berjaga di kamar
Lana berdiri ketakutan dengan wajah lebam bekas pukulan Mikail,
“Kenapa kalian bisa sebodoh itu hah?,” suara Mikail
terdengar tenang, tetapi intensitas kemarahannya membuat bulu kuduk dua anak buahnya berdiri.
Para pengawal itu saling bertatapan mencoba berkata-kata, tetapi tak bisa. Mereka memang bersalah. Norman sebagai atasan mereka telah menginstruksikan untuk memeriksa
siapapun sebelum masuk dan keluar dari ruangan Lana.
Tetapi karena Dokter Teddy tampaknya terbiasa keluar masuk ruangan ini
dengan bebas, mereka jadi lengah dan membiarkannya. Siapa sangka kalau
Dokter Teddy adalah Jackal yang ditakuti itu?
Mikail masih menatap marah kepada kedua pengawalnya,
memikirkan hukuman apa yang cukup kejam untuk dilimpahkan atas
kebodohan mereka. Lana melarikan diri, dan bukan hanya melarikan diri,
Demi Tuhan! Perempuan itu sekarang ada di tangan Jackal.
Norman datang, menyerahkan setumpuk berkas lagi, mengalihkan perhatian Mikail,
“Sepertinya dugaan Anda benar Tuan Mikail, profil
Dokter Teddy sangat mirip dengan profil Jackal. Dia lulusan jenius dari
kedokteran, kehidupannya sangat misterius, dan menurut desas desus,
ibunya meninggal karena bunuh diri. Dia baru masuk mendaftar ke rumah
sakit ini dua bulan yang lalu, dan ketika kami melakukan pengecekan
terhadap masa lalunya, semuanya kosong, tidak ada satupun data
tentangnya, seolah semuanya dihapus”
“Cari sampai dapat,” Mikail menggertakkan giginya, “Apapun
itu, alamat, nomor mobilnya, apapun untuk bisa
mengarahkan kita kepadanya. Kita harus menemukan Lana, sebelum
terlambat,” Mikail memejamkan mata, sejenak merasakan sesak di dadanya.
Lana harus selamat, meskipun sekarang hal itu
diragukan, karena Lana berada di tangan Jackal yang sangat kejam. Mikail
akan menempuh segala cara untuk mendapatkan
Lana kembali, selamat, dan hidup-hidup.
***
“Lana, kita sudah sampai,” Dokter Teddy mengguncang bahu
Lana lembut.
|
Lana membuka matanya dan
|
menemukan
|
|
mobil mereka
|
diparkir
|
di sebuah villa
|
tua berwarna putih yang
|
sangat indah
|
dihujani
|
cahaya lampu yang
|
Dokter Teddy turun terlebih dahulu, lalu membuka
pintu penumpang dan membantu Lana turun. Mereka berjalan bersisian
memasuki teras rumah, ketika Dokter Teddy membuka kunci pintu rumah itu,
Lana mengernyit dan bertanya,
“Ini rumah Dokter Teddy?”
Lelaki itu tersenyum lagi dan menggeleng,
“Bukan, ini properti milik sahabatku yang dititipkan kepadaku,
sekarang dia sedang di luar negeri. Kupikir tempat ini adalah tempat yang paling aman untukmu sekarang-sekarang ini….
Kau bisa bersembunyi di sini sementara, karena aku tahu Tuan Mikail pasti sedang sangat marah sekarang dan pasti
dia akan menggunakan segala cara untuk mencarimu”.
Lana menggigil mendengar kemungkinan itu, dan
membiarkan dirinya dihela masuk ke dalam vila itu.
Bagian dalam villa itu sangat indah, secantik bagian luarnya, dengan
ornamen Belanda yang kuno dan rapi, tampak begitu
nyaman untuk ditinggali,
“Ayo, kuantar kau ke kamar sementaramu, kau bisa
beristirahat di sana, aku yakin kau pasti capek
setelah perjalanan panjang.” Dokter Teddy melangkah melalui anak tangga
dan Lana mengikutinya.
Kamar untuk Lana adalah kamar sederhana yang tertata
rapi, dan ranjang bulu angsa berseprai putih di tengah ranjang tampak
sangat empuk dan menggoda untuk ditiduri. Tanpa sadar Lana menguap dan
Dokter Teddy terkekeh,
‘Tidurlah Lana, semoga besok pagi kau bangun dengan lebih segar”.
Lana menganggukkan kepalanya,
“Terima kasih dokter, terima kasih atas segalanya, saya tidak
tahu bagaimana harus berterimakasih kepada dokter karena
sudah menyelamatkan saya dari Mikail”
Dokter Teddy melangkah ke pintu, senyumnya tampak misterius di balik cahaya remang-remang,
“Tidak apa-apa Lana, aku senang bisa membawamu ke sini,” Lalu lelaki itu melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.
***
Lana terbangun karena rasa haus yang amat sangat, dia terduduk di ranjang dan sedikit terbatuk-batuk. Dengan pelan dia memandang ke sekeliling, masih gelap. Mungkin ini
masih dini hari.
Dengan langkah hati-hati Lana turun dari ranjang, dan keluar dari kamar. Dimanakah dapurnya? Dia ingin minum….
Lorong lantai dua tampak gelap, tetapi ada cahaya
putih di ujung sana, mungkin itu dapurnya.. pikir Lana dalam diam. Dia
lalu melangkah hati-hati menuju cahaya itu, dan terbawa ke sebuah pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong.
Lana membukanya, dan tertegun. Ini bukan dapur. Dia
sudah hendak membalikkan badan, ketika pandangan matanya terpaku pada
sesuatu, dan wajahnya memucat.
Di sana, di salah satu sisi tembok itu penuh dengan foto-foto yang ditempel. Dan itu bukan foto-foto biasa, itu foto-foto Mikail sedang melakukan aktivitasnya, beberapa di
antaranya ada Mikail yang sedang bersama Lana. Dan melihat ekspresi Mikail di sana, tampaknya foto-foto itu diambil dengan kamera tersembunyi, tanpa seizin objeknya.
“Ada pepatah, kalau rasa ingin tahu yang besar suatu saat akan menjadi penyebab kematianmu”
Lana terlonjak kaget, mendengarkan suara yang
mendesis itu, dia membalikkan badannya dan berhadapan dengan Dokter
Teddy yang berdiri diam di balik bayang-bayang. Lelaki itu
tersenyum, seperti biasanya, tetapi senyumnya yang sekarang bukanlah
senyum manis secerah Matahari, melainkan seringai jahat yang menakutkan.
***
“Kita sudah berhasil melacak mobilnya,” Norman datang
dengan terengah, mendatangi Mikail yang menunggu sambil mondar-mandir tak tenang di ruangannya.
Mikail langsung berdiri dan bergegas, dia menyiapkan
senjatanya, belati berat yang selama ini ada di kakinya dan sebuah
magnum miliknya. Kalau dia harus membunuh demi Lana, akan dia lakukan.
Lelaki itu memejamkan matanya,
semoga dia tidak terlambat datang.
***
Mata Lana hanya bisa menatap dalam ketakutan, lelaki
di depannya ini sudah berubah total, dari lelaki ramah dan baik hati
menjadi monster yang menakutkan, Tubuh Lana diikat di sebuah kursi dan
Lana sepenuhnya tidak bisa bergerak, di bawah kuasa psikopat gila yang
sekarang sedang berjalan mondar-mandir sambil memainkan pisau di tangannya.
“Membunuh dengan pisau adalah favoritku,” Dokter Teddy
memainkan pisau itu di dekat Lana, membuat kilatannya
menyilaukan dalam kegelapan. “Karena itulah aku dipanggil Jackal,”
lelaki itu terkekeh mengerikan melihat sinar ketakutan yang terpancar
dari mata Lana, “Yah kenalkan, akulah Jackal yang kalian cari-cari itu”
Lana mencoba meronta, kengerian merayapi dirinya
ketika menyadari bahwa lelaki di depannya ini bukan saja orang jahat,
tetapi dia adalah psikopat menakutkan yang diceritakan oleh Mikail.
Dokter Teddy tertawa melihat usaha Lana yang sia-sia untuk melarikan diri, kemudian mendorong kursi Lana ke dinding dan menekankan pisaunya di pipi Lana,
“Pisau ini sangat tajam,” Dokter Teddy memain-mainkan pisau itu di pipi Lana, “Aku ragu apakah Mikail masih mau menjadikanmu pelacurnya kalau mukamu rusak,”
diletakkannya besi dingin itu di pipi Lana membuat mata Lana terpejam ketakutan.
Tetapi kemudian kata-kata Dokter Teddy menyulut amarahnya, dia bukan pelacur Mikail!
“Aku bukan pelacur Mikail!,” dengan Lantang Lana
meneriakkan bantahannya. Dan rupanya bantahannya itu malahan memancing emosi Dokter Teddy,
“Bukan pelacurnya katamu? Kau tidur dengannya dan
menikmatinya, kau menerima segala fasilitas darinya dengan suka rela,
dan kau membayar dengan tubuhmu. Dari pengamatanku, kau adalah pelacur
yang paling disukai dan istimewa di mata Mikail dibandingkan pelacur-pelacurnya yang lain, dan aku membayangkan kepuasan yang
kudapatkan ketika dia menyaksikan tubuhmu yang sudah
mati, penuh dengan sayatan pisau,”
Lalu Dokter Teddy tertawa dengan mengerikan, “Mari kita mulai ritual ini…. Aku akan menyayatmu pelan-pelan di bagian-bagian tubuhmu hingga kau akan mati pelan-pelan
kehabisan darah….,” pisau itu berkelebatan dengan main- main di depan
Lana, “Lalu aku akan membuang tubuhmu tepat di depan mata Mikail, pasti
aku akan puas sekali….
Sebelum kemudian akan kuhabisi Mikail dengan tanganku
sendiri,” Dengan tawa mengerikannya yang terkekeh dan
menakutkan, Dokter Teddy mengayunkan pisaunya, dan sekejap, Lana merasakan pedih karena sayatan besi tajam itu di lengannya.
***
Mikail memasuki rumah itu dengan marah, Norman dan yang lain-lain
sudah mengepung villa putih itu. Villa itu tenang dan sepi seolah tidak
ada siapapun di sana. Lalu mata Mikail mengarah ke pintu di ujung
lorong yang setengah terbuka,
dan melangkah kesana, lalu masuk dengan marah ketika melihat apa yang terjadi di sana.
Dokter Teddy sudah melukai Lana dengan dua sayatan
berdarah di lengan Lana, membuat Lana meringis menahan sakit dan nyeri
dalam kondisi terikat di kursi dan hampir kehilangan kesadarannya.
“Lepaskan dia, Jackal,” suara Mikail dingin, mencoba
menahan kemarahannya dengan terkendali. Lelaki itu
sedang memegang pisau di dekat Lana, dia tidak ingin Lana terluka lebih
dari ini.
Dokter Teddy membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat Mikail berdiri di ruangan itu,
“Ah… sang pangeran penyelamat akhirnya datang,” dengan
tenang Dokter Teddy mengacungkan pisaunya ke arah
Mikail, “Kau lihat Mikail, pelacurmu ini sedang dalam proses
meregang nyawa, tadinya aku ingin mempersembahkannya mati dan tersayat kepadamu. Tetapi rupanya kau terlalu
cepat datang”.
“Aku akan membunuhmu, kau tahu itu,” geram Mikail marah.
Tawa Dokter Teddy membahana ke seluruh ruangan. “Tentu
saja, sekarangpun aku tahu bahwa seluruh pengawalmu sedang mengepung tempat ini, siap menembakku kapanpun
aku lengah,” dengan cepat Dokter Teddy bergerak ke
sebelah Lana dan menempelkan pisau tajam itu ke lehernya,
“Tapi sebelum kau membunuhku, aku akan membunuh pelacur ini dulu”.
Lana terkesiap, menahan sakit dan ketakutan ketika
besi dingin itu menempel di lehernya, lapisannya yang tajam telah
menyayat lehernya, menimbulkan sedikit perih di sana.
“Kalau kau lakukan sesuatu kepadanya, aku bersumpah
kau akan mati dengan mengerikan,” Kali ini Mikail sudah tidak bisa
menahan kemarahannya, “Aku akan membunuhmu
dengan pelan dan mengerikan hingga kau akan merasakan setiap detik-detik menjelang kematianmu”
“Kau ketakutan Mikail, kau takut aku menyakiti pelacur ini, bisa kulihat di matamu,” Dokter Teddy menatap Mikail
dengan senyuman gilanya, memain-mainkan pisaunya di
leher Lana, “Satu sayatan saja, aku akan memotong
nadinya, tepat di leher… darahnya akan memancar keluar dan dia akan mati
dengan cepat… tepat di depan kedua
matamu…dan aku rela mati demi kepuasan menyaksikan adegan itu,” Lalu dengan gerakan secepat kilat, Dokter
Teddy mengangkat pisaunya, lalu membuat gerakan menghujam untuk menikam leher Lana.
Lana memejamkan matanya, menanti detik-detik
kematiannya. Tetapi kemudian dia tidak merasakan sakit, apakah memang
kematian tidak terasa sakit? Dengan ragu di bukanya matanya, dan dia
terkesiap dengan pemandangan
di depannya.
MIkail sedang menahan pisau itu, dengan tangan
telanjang. Bagian tajam pisau itu mengiris telapak tangannya, tetapi
lelaki itu menggenggam pisau itu tanpa ekspresi, meskipun darah mulai
bercucuran dari tangannya, mengenai Lana.
Sekali lagi, Mikail menyelamatkan Lana dari kematian.
Dokter Teddy tampak terperangah dengan gerakan Mikail yang tak disangkanya itu, dia berusaha menarik pisaunya
dari genggaman Mikail, tetapi Mikail menarik pisau itu dan melemparnya jauh-jauh,
“Aku akan menghajarmu sebelum membunuhmu…,” Mikail
menerjang dokter Teddy ke lantai, dan mereka
bergulat saling memukul. Tetapi Dokter Teddy, Jackal itu tidak terbiasa
berkelahi dengan tangan kosong sehingga dia kewalahan, Mikail terus dan
terus menghajarnya tanpa ampun, ketika kemudian rintihan Lana
menghentikannya.
Mikail melihat Lana kehilangan kesadarannya, mulai oleng
dalam kondisi terikat di kursi, Perhatian Mikail teralih, dan dia berdiri untuk meraih Lana, pada saat itulah, Dokter Teddy
yang sudah babak belur mencoba meraih pisau yang
dilemparkan Mikail tadi, dia berhasil meraihnya dan mengarahkannya untuk
menikam punggung Mikail
dan…DOR!
Tubuh Dokter Teddy ambruk ke lantai karena tembakan
itu. Mikail menoleh ke belakang, melihat Dokter Teddy ambruk dengan
pisau masih di tangannya, dan dia lalu menoleh ke pintu, ke arah Norman
yang memegang pistol di tangannya.
“Bereskan dia,” Mikail memerintah cepat, lalu perhatiannya
sepenuhnya terarah kepada Lana, tidak dirasakannya
telapak tangannya yang tersayat dalam, dia membuka ikatan Lana, dan
perempuan itu langsung jatuh ambruk ke pelukannya
***
Ketika kesadarannya kembali, Lana berada di ruangan
putih itu, dan dia memejamkan matanya lagi, tak pernah sebelumnya dia
merasa begitu bersyukur berada di ruangan ini.
Kengerian masih merayapinya, membayangkan pisau yang
berkelebatan di mukanya, di tubuhnya, di lengannya….
Aduh!
Lana merasa nyeri yang amat sangat dan menoleh ke
arah lengannya, lengannya itu sudah dibalut perban yang amat tebal,
nyerinya masih terasa tetapi lebih karena trauma mendalam Lana akibat
pengalaman buruknya itu.
Lana terduduk, MIkail telah menyelamatkannya, sekali
lagi. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya? Apakah benar karena dia
dianggap sebagai pelacur istimewa Mikail? Karena dia melayani Mikail
dengan tubuhnya? Dengan pucat Lana memalingkan mukanya, merasa dirinya
begitu rendah.
Lelaki itu menyelamatkannya. Lana memejamkan
matanya, membayangkan bagaimana Mikail, menghalangi pisau yang hendak
menikamnya dengan tangannya. Lana masih ingat darah yang mengalir itu,
dan mau tidak mau Lana menyadari
kalau dihitung-hitung sudah beberapa kali
dia diselamatkan oleh Mikail. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya? Itu
adalah pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Bertahun-tahun Lana menumbuhkan kebencian di hatinya, memupuk rasa dendam
yang mendalam, dengan pengetahuan bahwa Mikail yang
jahat telah menghancurkan keluarganya. Yah, Mikail memang jahat. Tetapi
selain mengurung Lana, dia memperlakukan Lana dengan baik.... Apakah dia
memang menganggap Lana sebagai kekasihnya?
Pipi Lana memerah membayangkan itu semua. Apakah semua kebaikan Mikail murni disebabkan karena dorongan gairah?
Seharusnya Lana merasa terhina, tetapi tidak,
perasaannya terasa hangat tanpa dia mau. Dia tidak boleh merasa seperti
ini. Kebenciannya adalah satu-satunya senjata menghadapi
lelaki itu... Kalau sampai Lana merasakan perasaan lebih kepada
Mikail... Lana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan yang
menggayutinya.
Dengan gemetar dia meraba lengannya yang di perban, dan menangis. Seluruh kehidupannya berubah hanya dalam
waktu singkat, seluruh rencana yang dibuatnya matangmatang telah hancur, dan dia sekarang terpuruk di sini.
Kembali dalam cengkeraman lelaki iblis itu, dan bahkan sekarang berutang nyawa kepadanya.
“Jangan menangis”.
Lana terlonjak ketika suara itu terdengar di dekatnya, dengan ketakutan dia menoleh dan mendapati Mikail di sana, duduk
di sofa tak jauh dari ranjang dan mengamatinya.
Dengan kasar Lana menghapus air matanya dan menatap Mikail marah,
“Semua ini gara-gara kau!,” serunya menuduh, “Kalau kau tidak melibatkanku dalam kehidupanmu yang penuh musuh
itu, aku tidak akan mengalami ini!”
“Dan kalau kau tidak gampang tertipu oleh bujuk rayu dokter
yang selalu tersenyum itu, kau tidak akan diculik dengan
mudah,” sela Mikail tajam.
“Aku hanya ingin lepas darimu, kenapa kau tidak
melepaskan aku?,” kali ini Lana berteriak penuh frustrasi, “Aku mohon
aku sudah muak berada di sini… aku…”
“Tidakkah engkau bahagia di sini Lana?,” Mikail mendekat ke
ranjang dan menyentuh dagu Lana dengan jemarinya. Pada saat itulah Lana melihat, telapak tangan Mikail di balut
perban, “Aku memenuhi kebutuhanmu, aku memberimu apa
yang tidak bisa kau beli dengan uangmu sendiri, apakah
menurutmu itu tidak cukup?”
“Aku bukan pelacur,” desis Lana tajam, “Kekayaan dan
ketampananmu sama sekali tidak ada pengaruhnya
untukku, yang aku inginkan hanya kematianmu, karena kau telah
menghancurkan keluargaku. Tetapi jika itupun tidak
kudapatkan, aku sudah cukup puas bisa lepas darimu!,” Lana
menatap Mikail dengan tatapan menantang.
Lelaki itu menatap Lana tajam, lalu mengangkat bahunya dan menatap Lana lurus-lurus,
"Sudahlah, Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu,” ditatapnya Lana dengan serius, “Bagaimana kondisimu?",
Mikail menunduk dan mengamati Lana.
Lana terdiam, otomatis memalingkan wajah dari Mikail,
"Lana", Mikail memanggil Lana dengan penuh penekanan, membuat Lana akhirnya mau menatap matanya,
"Aku baik-baik saja", jawab Lana ketus, "Biarpun aku tahu semua ini terjadi karena kau dan musuh-musuhmu".
Mikail terkekeh, "Hmm... Mengingat kau sudah kembali
galak kepadaku, aku yakin kau sudah sembuh", Mikail menyentuhkan
jemarinya di pipi Lana, "Maafkan aku".
Lana tertegun karena permintaan maaf Mikail, dia menatap Mikail dengan hati-hati. "Kenapa kau meminta maaf?"
"Karena membuatmu terlibat dalam situasi ini", lelaki
itu mengangkat bahu, "Situasi seperti ini tidak akan bisa terhindarkan,
mengingat kondisiku. Tetapi kau harus tahu, ketika kau bersamaku, aku
akan menjagamu"
Lana mendengus,
"Aku lebih memilih tidak bersamamu. Kalau aku sendirian aku pasti akan lebih baik-baik saja"
Mikail menatap Lana tajam,
"Tidak bisa, situasi kemarin membuat kau dikenal
sebagai kesayanganku. Orang yang mengincarku pasti akan mengincarmu,
karena kaulah yang paling lemah. Itu membuatmu harus selalu bersamaku,
di bawah perlindunganku", Mikail menatap Lana lurus-lurus, "Kau adalah kelemahanku"
Pipi Lana memerah, bukan cuma karena arti mendalam dalam kata-kata
Mikail. Tetapi karena cara Mikail mengucapkannya, begitu erotis dan
penuh makna seolaholah Mikail mengucapkan sesuatu yang sensual dari
perkataannya yang biasa itu.
Dan Mikail tampaknya sengaja. Sialan lelaki itu. Dia sengaja mengucapkan kata-katanya dengan nada sensual untuk mempengaruhi Lana.
“Kau bebas keluar masuk seisi rumah ini, tapi aku mohon
padamu, jangan mencoba melarikan diri dari rumah ini. Aku memang jahat, tapi aku akan menjagamu, tidak demikian halnya dengan musuh-musuhku,” Mikail mengangkat tangannya yang terluka untuk mengusap rambutnya, dan
Lana langsung teringat peristiwa itu, ketika Mikail
dengan cepat menggenggam pisau itu, menghalanginya untuk terluka, tanpa
sadar dia bergidik ngeri.
“Ya,”
gumam Mikail, memperhatikan reaksi Lana, “Kau
seharusnya takut Lana, karena mereka semua akan
melakukan apa saja untuk melukaiku lewat dirimu. Kau aman disini,
bersamaku. Dan aku yakin kau berpikiran sehat sehingga tahu bahwa kau
lebih baik bertahan di sini”
***
Kebebasan keluar masuk kamar ini dinikmati oleh Lana
sepenuhnya. Oh, dia memang masih bermaksud pergi, tapi tidak sekarang.
Dia masih trauma akan kejadian itu. Setidaknya di rumah ini dia aman.
Norman masih mengawasinya diam-diam ketika dia mondar-mandir keluar kamar, terutama ketika dia berjalan-jalan di taman. Tetapi Lana belajar untuk mengabaikannya.
Sore itu, suasana rumah sangat sepi, dan Lana berjalan menelusuri area lantai satu rumah itu. Rumah itu sangat luas dengan lorong-lorong
yang tidak tahu akan menuju kemana, sepertinya tidak cukup satu hari
untuk menjelajahi keseluruhan rumah itu. Lana berhenti di sebuah pintu
yang terbuka dan sedikit mengintip. Dia terpesona menemukan rak-rak tinggi yang memenuhi dinding-dindingnya, penuh dengan buku!
Dengan bersemangat Lana memasuki ruangan itu, dan berdiri terkagum-kagum sambil mengamati buku-buku di dalam rak itu. Mikail rupanya penggemar buku-buku sastra klasik, berbagai bacaan tampak menggoda siap untuk dinikmati,
“Kau sepertinya suka membaca,” suara Mikail mengejutkan
Lana, dia menoleh dan saat itu baru menyadari kalau Mikail duduk di sudut ruangan, di meja kerjanya yang besar dan mempelajari berkas-berkas perusahaannya, lelaki itu menatapnya dengan mata cokelatnya yang tajam.
Dengan angkuh Lana mendongakkan dagunya, “Ya aku suka
membaca, tetapi buku-buku mahal di sini termasuk yang
tidak bisa kubeli,” Lana tanpa sadar mengernyit.
“Kau boleh membaca di sini,” Mikail menawarkan tampak
begitu berbaik hati. Tetapi Lana merasakan ada sesuatu di
sana, sesuatu yang berbeda yang sedikit menakutkan
baginya. Ketegangan seksual yang memenuhi ruangan ini terasa begitu
tidak nyaman. Dan meskipun tawaran Mikail terasa begitu menggoda, Lana
tidak berani.
“Aku tidak akan mengganggumu,” Mikail mengangkat alis melihat Lana nampak ragu-ragu. “Aku tidak akan mengganggumu, Lana,” lelaki itu mengulang lagi katakatanya, “Aku bahkan tidak akan berdiri dari kursi ini”
Lana menatap Mikail curiga, “Tidak bisakah aku meminjam buku-buku ini dan membawanya ke kamarku?”
Mikail menggelengkan kepalanya. Oh, tentu saja bisa,
gumam Mikail dalam hati, tetapi dia akan kehilangan kenikmatan menggoda
Lana, dia ingin Lana terpaksa berada
di ruangan ini, bersamanya, “Tidak bisa buku-buku itu mahal, aku tidak yakin kau akan menjaganya dan tidak
merusakkannya”
menggoda. Dan lelaki itu jelas-jelas
menantangnya, menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara
mereka, dan memaksa Lana menunjukkan diri apakah akan menjadi pengecut
ataukah berani menghadapi Mikail.
Lana sedikit mengentakkan kakinya dan melangkah
mendekati sofa, diambilnya salah satu buku di rak itu dan dia duduk, berusaha tampil nyaman di sana.
Mikail tersenyum. Gadis itu jelas-jelas ingin menantangnya. Dan kehadiran Lana di ruangannya sangat menarik
perhatiannya, dia bahkan tidak tertarik lagi akan pekerjaan di mejanya. Dilipatnya kedua tangannya di meja dan dia
mengamati Lana yang sedang berakting membaca itu dengan intens.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?,” Lana akhirnya
mencetuskan apa yang ada di dalam pikirannya, Mikail
sudah sejak beberapa menit lalu hanya duduk dan menatapnya. Lelaki itu
memang tidak mengganggu, bahkan
lelaki itu sama sekali tidak beranjak dari tempat
duduknya. Tetapi pandangan matanya yang intens dan penuh gairah itu
terasa sangat mengganggu. Membuat seluruh saraf tubuh
Lana mengejang ke dalam gelenyar panas yang membuat suhu ruangan ber-AC itu tiba-tiba terasa panas.
“Aku hanya ingin mengetahui seberapa jauh kau akan purapura berakting membaca. Setelah itu mungkin kau bisa
menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara
kita,” gumam Mikail dengan tenang, tidak bergeser sedikitpun
dari tempat duduknya, tetapi tampak begitu mengancam.
Pipi Lana memerah mendengar perkataan Mikail itu, dengan
marah dibantingnya buku itu di sofa dan berdiri, “Kurasa sebaiknya aku pergi”
“Takut, Lana?,” Mikail bergumam dengan nada mencemooh, “Kau takut kalau kau akan menyerah dalam pelukanku ya?
Aku tadi menawarimu di sini, ingin melihat seberapa jauh kau
berani berdua saja bersamaku di dalam satu ruangan…
ternyata kau lari ketakutan seperti kelinci yang akan
dimangsa”
Oh Ya! Tatapan Mikail kepadanya memang seperti elang
yang akan memangsa kelinci buruannya. Lana merasa sudah sewajarnya dia
ingin menyelamatkan diri.
“Aku akan keluar dari sini”
‘Kau memang harus keluar dari sini, karena kalau tidak pilihanmu hanya satu, berbaring di ranjangku”
“Itu hanya ada dalam mimpimu!,” Lana setengah berteriak,
berlari ke pintu dan membanting pintunya keras-keras, masih didengarnya tawa Mikail mengiringi kepergiannya.
***
“Lana,” suara Mikail mengagetkan Lana yang sedang
termenung di balkon. Balkon yang sama tempat dia
dilempar Mikail dengan cara mengerikan ke kolam di bawahnya beberapa
waktu yang lalu.
Lana menoleh dan mendapati Mikail sedang berdiri di ambang pintu balkon, menatapnya dengan tenang. Lelaki itu
sepertinya baru saja pulang dari tempat kerjanya, Lana tidak tahu, karena dari balkon ini pemandangannya hanyalah
halaman belakang dan kolam renang yang luas.
“Kenapa kau berdiri di balkon malam-malam begini?,” Mikail mengernyit mengamati hujan rintik-rintik yang turun makin deras, bahkan airnya bercipratan mulai membasahi Lana
yang memang berdiri sambil menatap halaman di bawah.
Sejak Lana dibebaskan, inilah pertama kalinya dia
bisa menikmati hujan secara langsung. Dulu ketika dikurung di kamar
putih Lana hanya bisa menikmati hujan dari jendela, tanpa menyentuhnya.
Sekarang bisa merasakan percikan air membasahi tubuhnya terasa begitu
luar biasa untuknya.
“Aku sedang menikmati hujan,” Lana membalikkan tubuhnya
membelakangi Mikail, mencoba mengacuhkan lelaki itu.
“Kau akan membuat dirimu sendiri sakit,” Mikail mulai
menggeram, tampaknya lelaki itu menahan marah.
Lana menoleh lagi dan menatap Mikail dengan menantang,
“Entah apa yang kau katakan tentang memberikan
kebebasan padaku itu bohong, atau kau memang suka mengatur-atur dan menggangguku. Aku bisa mengurus diriku
sendiri dan kuharap kau tidak menggangguku”
“Oke,” Tatapan Mikail kepada Lana terasa membakar di suasana hujan yang begitu dingin, “Terserah, silahkan buat
dirimu sendiri sakit, aku harap kau tidak merepotkanku nantinya".
Lelaki itu membalikkan badan, tetapi setelah beberapa langkah dia memutar tubuhnya kembali dan menatap Lana,
“Setelah kau siap aku ingin bicara denganmu”
“Tentang apa?,” Lana mengernyitkan kening, mulai merasa
terganggu dengan interupsi-interupsi dari Mikail. Dia sedang ingin menikmati hujan dan lelaki itu tampaknya selalu
muncul di saat yang tidak tepat dan mengucapkan kata-kata yang tidak tepat pula.
“Nanti, ini mengenai ulang tahunmu yang ke dua puluh lima”
***
BAB 10
Lana tertegun. Ulang tahunnya yang kedua puluh lima
sebentar lagi. Kenapa Mikail bisa mengetahui detail hari ulang tahunnya?
Lana tertarik, tetapi dia akan memuaskan Mikail kalau dia mengikuti
Mikail untuk berbicara dengannya. Jangan-jangan memang itu tujuan Mikail, supaya dia tidak berhujan-hujanan dan mengikuti Mikail.
“Nanti aku akan menyusulmu kalau aku sudah puas disini”.
Api menyala di mata Mikail, dan tampak jelas lelaki itu mencoba menahan diri,
“Terserah, nanti temui aku di ruang kerjaku,” suaranya lebih
seperti geraman, kemudian membalikkan badan dengan marah.
***
Setelah puas menikmati hujan, Lana masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian dan makan malam. Dia sengaja tidak
menemui Mikail, lagipula sepertinya lelaki tadi hanya
asal bicara ketika bilang ingin berbicara tentang hari ulang tahunnya.
Dan Lana tidak yakin kalau Mikail akan menunggunya. Lelaki itu
sepertinya sangat sibuk dan punya banyak urusan.
“Kenapa kau tidak menemuiku di ruang kerjaku?” , suara di
kegelapan itu mengagetkan Lana. Dia menajamkan matanya dan melihat Mikail duduk di sana, di keremangan kamarnya.
“Kenapa kau masuk ke kamarku tanpa izin?,” Lana berteriak
kaget, tangannya meraba-raba saklar lampu di diniding, berusaha menghilangkan kegelapan yang menyelubungi
Mikail, karena lelaki itu tampak lebih menyeramkan di antara cahaya yang remang-remang.
Lana berhasil menyalakan lampu dan cahaya itu
langsung menyelubungi MIkail. Lelaki itu duduk di sofanya, dengan
santai, hanya memakai piyama sutera warna hitam dan disebelah tangannya
memegang gelas minuman. Lana
melirik ke botol brendy yang entah berasal dari mana,
yang sepertinya sudah dituang Mikail selama menunggunya. Apakah lelaki
itu mabuk? Jantung lana mulai berdegup. Dalam keadaan sadar saja emosi
Mikail sangat tidak mudah ditebak, apalagi dalam kondisi mabuk.
“Apa yang kau lakukan disini Mikail?”
Mikail mendengus dan menatap Lana dengan tajam, “Kau
pikir apa? Aku menunggumu di ruang kerjaku dan kemudian menyadari bahwa kau, dengan kepalamu yang keras kepala
itu memutuskan untuk melawanku”
Lana mundur ke belakang, melirik pintu putih itu, dan
berusaha sedekat mungkin di sana, sehingga ketika Mikail bertindak di
luar batas dia bisa segera melarikan diri.
Mikail tersenyum melihat tingkah Lana,
“Kau seperti kelinci ketakutan lagi Lana, apakah kau takut
aku akan melakukan sesuatu yang kejam? Seperti
mencampurkan obat di minumanmu, atau …
melemparkanmu dari balkon lagi?,” Mikail menyeringai, meletakkan gelasnya dan berdiri, makin lama makin mendekati Lana.
“Apakah kau mabuk Mikail?,” Lana melirik ke arah pintu,
hanya butuh beberapa detik kalau Lana ingin melarikan diri dari Mikail. Dia pasti bisa melakukannya.
“Mikail Raveno tidak pernah mabuk,” Mikail melangkah
mendekat dengan tenang, seperti singa yang mengendap
endap mengincar mangsanya. “Dan kau…. Seharusnya kau mendengarkan apa yang kuperintahkan, Lana”
Lana tahu di situlah titiknya. Di situlah titik Mikail kehilangan kesabarannya, karena itulah Lana langsung melompat dan
mencoba melarikan diri ke pintu. Dia berhasil
membuka pintu itu sedikit, sebelum dengan gerakan lebih cepat dan tanpa
suara, Mikail sudah ada dibelakangnya, mendorong pintu itu menutup
kembali sebelum sempat terbuka.
Mikail mendorongnya rapat ke pintu, dan dengan
terkejut Lana bisa merasakan kejantanan Mikail yang mendesak keras di
bagian belakang tubuhnya. Dia ingin bergerak dan menghindar, tetapi
ternyata Mikail sudah menahannya di semua sisi.
Lana ketakutan. Apakah dia akan dipaksa lagi? Udara mulai terasa menyesakkan dan Lana mulai terengah-engah.
“Aku tidak pernah bercinta sambil berdiri,” Mikail berbisik di
telinganya dengan bisikan panas yang membuat sekujur tubuh Lana menggelenyar, “Dan kau membuatku ingin melakukannya”
Lana terkesiap, mencoba meronta sekuat tenaga. Tetapi percuma karena Mikail begitu kuatnya,
“Apakah kau akan memaksaku lagi, Mikail Raveno?,” Lana berteriak di tengah usahanya membebaskan diri, “Kalau iya,
maka kau sudah membuktikan kepadaku, kalau kau memang adalah lelaki bajingan yang hanya bisa mendapatkan wanita
dari pemerkosaan”
“Sialan akau dasar perempuan!!,” Mikail berbisik marah di
telinga Lana dan meninggalkannya.
Sendirian, Lana berusaha menyandarkan dirinya di pintu, napasnya terengah-engah
dan dia merasa lepas. Gairah Mikail ternyata juga mempengaruhinya. Dan
Lana semakin takut akan tiba saatnya baginya, menyerah ke dalam pelukan
Mikail.
***
Hari ini hari Minggu, seharusnya menjadi hari
istirahat yang menyenangkan bagi semua orang. Tetapi emosi Mikail luar
biasa buruknya pagi itu dan menyebar ke seluruh penjuru rumah. Suasana
rumah jadi menegangkan. Seluruh pelayan berbicara sambil berbisik-bisik ketakutan, membicarakan
Tuan mereka yang marah-marah seharian ini.
Pagi tadi Mikail sudah membanting gelas di meja
hingga anggurnya berceceran menodai taplak meja yang berwarna putih,
hanya karena minumannya tidak cocok dengan seleranya, dia memanggil
Norman dan membentaknya
karena beberapa pengawal belum berjaga di gerbang
depan. Bahkan sekretaris dan pengatur keuangan rumah tangganya pun ikut
kena semprot ketika dia memeriksa laporan di ruang kerjanya tadi.
Sekarang semua orang saling bersembunyi berusaha
menghindari berurusan dengan tuan mereka yang begitu mengancam, seperti
beruang yang terluka.
Norman masuk dengan hati-hati ke ruang kerja Mikail,
“Ada apa?”
“Bagus”
“Apakah kita harus memesan pakaian sebanyak itu?
Bukankah tuan sendiri bilang tidak akan menahan Lana lebih
lama?”
“Tutup mulutmu Norman!,” Mikail menggeram, “Biarkan aku mengurus apa yang menjadi urusanku sendiri!”
Norman mengangguk, menyadari bahwa tuannya sudah
hampir meledak marah dan memilih pergi daripada terkena dampratannya
seperti pagi tadi.
Mikail berdiri mondar-mandir di
ruangannya, kemudian berhenti dan menuangkan segelas vodka murni untuk
dirinya sendiri. Dia meneguknya, dan cairan putih itu serasa begitu
membakar di ternggorokannya.
Tubuhnya begitu bergairah. Mengingat sekian lama dia menahan diri. Dia bisa saja melampiaskan gairahnya kepada perempuan-perempuan
yang memujanya dan pasti bersedia melakukan apapun untuknya. Tetapi dia
tidak ingin sembarang wanita, dia ingin Lana. Sialan! Kenapa pikirannya
terus-menerus tertuju kepada perempuan itu?
Dengan rasa frustrasi yang masih memenuhinya, ia melangkah panjang-panjang ke arah kamar Lana, membuka kamar itu tanpa permisi, dan menemukan Lana ada di kamar.
Theo ada di sana, memamerkan baju-baju pesanan yang baru datang untuk Lana, sedangkan perempuan itu hanya duduk di sana, menatap pakaian-pakaian mahal itu dengan bosan.
Theo langsung menghentikan kegiatannya dan meminta izin keluar begitu Mikail masuk dengan wajah muram.
“Kau menyukai pakaian-pakaian itu?
“Apakah pendapatku penting?”
Mikail menatap Lana marah, “Apa maksudmu?”
“Bukankah dirumah ini apa yang diinginkan Mikail Raveno
bagaikan perintah raja yang harus dituruti? Aku melihat sendiri bagaimana orang-orang hilir mudik, panik seharian mengatasi sikap marah-marahmu yang tak ada habisnya itu.”
“Oh ya? Dan kau pikir itu karena siapa?”
Lana menegakkan dagunya menantang, “Karena siapa?” “Karena kau, dasar perempuan kecil yang keras kepala!”
Lana mengernyit marah,
“Dan apa yang kulakukan padamu wahai tuan Mikail yang baik hati?”
“Kau selalu menantangku hingga aku harus menahan diri di batas kesabaranku, sikapmu itu membuatku muak!”
“Kau pikir aku harus bagaimana Mikail? Kau musuhku,
meskipun sekarang aku memutuskan sedikit bekerjasama dengan tidak
mencoba kabur, kau tetap musuhku. Dan ketika aku merasa keadaan sudah
baik, aku tetap menuntut dibebaskan”
“Selalu ke arah itu,” gumam Mikail kesal, “Aku masih
belum ingin membahasnya,” lelaki itu menatap Lana tajam, “Aku memintamu
melakukan sesuatu untukku”
Lana mengangkat alisnya, tertarik, Mikail tidak pernah
meminta sesuatu. Lelaki itu terbiasa memerintah lalu ketika itu tidak
dituruti, dia akan memaksakan apapun yang diinginkannya.
“Ya aku memintamu menghilangkan rasa permusuhanmu itu dan mencoba menerimaku sebagai kekasihmu”
Lana melangkah mundur tanpa sadar, “Menerimamu sebagai apa…? Apa kau sudah gila?”
“Hmm…. Aku bahkan punya rencana yang lebih gila dari
itu, lebih daripada yang bisa kau bayangkan, kau akan tahu nanti,”
matanya menatap Lana penuh rahasia, “Tapi yang pasti, gairah di antara
kita begitu membara dan aku tidak munafik mengakuinya di depanmu, aku
selalu terangsang ketika melihatmu. Aku terangsang ketika
membayangkanmu, aku ingin menidurimu setiap waktu..”
“Hentikan kata-kata vulgarmu itu!!!,” Lana berteriak ingin menutup telinganya yang terasa panas.
Mikail terkekeh, “Mungkin kau perlu merasakan sendiri, bagaimana aku tergila-gila pada tubuhmu,” Lelaki itu meraih Lana ke dalam pelukannya dengan lembut, dan langsung
melumat bibirnya.. Mikail melumat seluruh bibir
Lana, dan kemudian lidahnya masuk, menjelajahi lidah Lana, bertautan
dengan lidah Lana dan kemudian menjelajahi seluruh diri Lana, bibirnya
bergerak melumat bibir Lana tanpa ampun. Lelaki itu begitu bergairah
tetapi tetap bersalut kelembutan, dan sejenak Lana terhanyut dalam
ciuman yang luar biasa
itu, sampai kemudian dia merasakan kejantanan Mikail yang begitu keras kembali menekan tubuhnya.
Dengan napas terengah-engah Lana melepaskan dirinya dari pelukan Mikail,
“Lana.. sudah siap untukku” mata Mikail menyala
penuh gairah, “Kenapa kau tidak mau mengakuinya dan tidak saling
menyiksa seperti ini?”
“Aku tidak menginginkanmu sebagai kekasihku dan aku tidak siap untuk apapun yang berhubungan denganmu.” Bantah
Lana keras.
Mikail menyipitkan mata, menatap Lana dengan tatapan menuduh,
“Oh ya? Tadi kau hanyut dalam ciumanku, bibirmu panas dan melembut untukku, siap menerimaku”
Siapa yang tidak menginginkan lelaki yang luar biasa
tampan ini? Semua perempuan pasti bermimpi bisa ada di dalam
pelukannya, semua pasti membayangkan bagaimana kalau
lelaki sekejam Mikail berperilaku lembut. Oh, Lana
pernah merasakannya, beberapa kali malahan, dan ingatan tentang hal itu
membuat tubuhnya memanas
“Kau adalah pembunuh orangtuaku”, Lana menatap Mikail
dengan penuh kebencian, “Dan bagiku itu adalah dosa tak termaafkan, aku
akan selalu menyalahkanmu atas hal itu”
Tertegun sejenak, lalu Mikail mundur selangkah dengan begitu dingin,
“Oke”
Dan ketika Lana mengangkat kepalanya, Mikail sudah
keluar dari ruangan itu. Lana menghembuskan nafas panjang. Apakah dia
salah? Tetapi bukankah semua yang dilakukan Mikail atas dasar nafsu?
Lelaki itu jelas-jelas bergairah kepadanya dan
menginginkannya. Tetapi setelah itu apa? Lana tidak mau jatuh dalam
jerat rayuan Mikail seperti perempuan murahan. Seperti para kekasih
Mikail yang
dicampakkan begitu saja setelah lelaki itu puas.
Setidaknya meskipun dia gagal membalaskan dendamnya, dia bisa pergi dari
kehidupan Mikail dengan penuh harga diri.
***
Mikail berdiri malam itu di tengah taman di depan
rumahnya, berharap udara dingin bisa meredakan gairahnya yang membuat
tubuhnya begitu panas. Ditatapnya jendela kamar Lana di lantai dua.
Jendela itu terbuka, dan cahaya temaram memantul dari
sana, tampak begitu jelas. Mikail menatap jendela itu
dengan frustrasi. Perempuan itu ada di sana dan Mikail seharusnya bisa
dengan mudah memilikinya. Tetapi sikap perempuan itu seolah-olah membuatnya merasa menjadi bajingan
menjijikkan kalau dia sampai memaksakan kehendaknya kepada Lana.
Mikail tertegun ketika melihat bayangan Lana
terpantul dari kamar. Sepertinya Lana berdiri dekat lampu tidur di
samping ranjangnya, karena bayangannya muncul dari gorden jendela
bagaikan siluet gelap yang erotis.
Lana tampak sedang berjalan mondar-mandir
di kamarnya, dan Mikail menatapnya dengan penuh minat. Lalu perempuan
itu membuat gerakan membuka gaunnya. Mikail menelan ludah, melirik ke
sekelilingnya yang sepi, mulai merasa tidak nyaman karena membuat
dirinya seperti seorang pengintip mesum yang mengintip siluet perempuan
berganti baju dengan penuh gairah.
Siluet Lana melepas kemejanya, dan tubuh bagian
atasnya yang polos terpantul dalam bayangan gelap dengan bentuk tubuh
yang menggoda. Lalu Sialan! Mikail mulai mengumpat ketika bayangan Lana
di jendela membuat gerakan mengangkat salah satu kakinya ke ranjang dan
tampaknya melepas celana panjangnya.
Gerakan itu tampak sangat seksi di bawah sini, dan Mikail menggertakkan giginya dengan marah. Ia benar-benar siap meledak, dan Lana malahan memperburuk keadaan dengan pantulan bayangannya di jendela –
meskipun dia tidak sengaja –
Dan Mikail sungguh-sungguh siap meledak dalam
arti yang sebenarnya saat ini mengingat
kejantanannya sudah begitu keras hingga terasa menyakitkan. Dengan
geraman marah, Mikail melangkah terburu-buru menaiki
tangga, membanting kakinya di setiap langkahnya, dibukanya pintu kamar
itu dengan kasar. Matanya membara dan dia siap untuk bertengkar, dan
menemukan Lana sedang duduk di sofa, sudah berganti dengan gaun tidurnya
dan sedang membaca sebuah buku.
Lana mengangkat alis melihatnya, tampak begitu tenang,
“Ada apa Mikail?”
Mikail terengah menahan kemarahan, “Jendela itu!,”
tunjuknya marah, lalu melangkah lebar-lebar
menyeberangi ruangan dan menutup kaca jendela itu dengan kasar, dia
membalikkan tubuhnya menghadap Lana dengan posisi siap bertarung, “Lain
kali tutup rapat-rapat jendela itu kalau sudah malam!!,” teriaknya marah.
Lana menatap Mikail bingung, “Memangnya kenapa?”
Karena aku melihatmu berganti pakaian bagaikan siluet erotis dari bawah!! Karena pemandangan itu membuatku
terangsang sampai terasa nyeri!! Karena….
Mikail berdiri dengan tatapan membakar, siap
memuntahkan emosinya, tetapi kemudian menyadari bahwa dia hanya akan
tampak bodoh kalau meluapkan apa yang ada di pikirannya. Ditatapnya Lana
dengan dingin dan mendesis pelan,
“Pokoknya tutup jendela itu kalau sudah malam!,” Dan
dengan penuh harga diri, Mikail melangkah keluar dari kamar Lana, meninggalkan pintu berdebam di belakangnya.
***
Pagi itu tak seperti biasa ada dua pelayan muda yang
membereskan kamar Lana, sepertinya mereka orang baru. Lana masih duduk
di sana selepas mandi dan membiarkan para pelayan itu membereskan
ranjangnya.
Salah seorang pelayan itu menarik bed cover Lana tampak memeriksa sepreinya, lalu berbisik-bisik satu sama lain dan tertawa cekikikan, ketika Lana menatap mereka dengan dahi
berkerut, dua pelayan perempuan itu memasang muka datar dan bergegas pergi.
Lana menoleh ke arah Theo, yang juga ada di ruangan itu, sedang membereskan baju-baju Lana yang sepertinya tidak ada habisnya dan terus berdatangan itu ke dalam lemari pakaian Lana,
“Kenapa mereka bersikap seperti itu?,” tanya Lana ingin
tahu.
Theo melirik ke arah kepergian pelayan itu dan tersenyum,
“Mereka orang baru, dan tentu saja sangat penasaran denganmu”
“Penasaran denganku?”
“Kekasih Tuan Mikail yang terbaru,” jawab Theo datar, “Ah,
kau tidak tahu ya, semua orang kan membicarakan kalian. Bahkan, namamu sempat muncul di beberapa tabloid gosip dan acara-acara gosip, yang membahas kekasih terbaru Mikail Raveno yang misterius. Kau adalah satu-satunya perempuan yang pernah tinggal bersama Mikail, dan mereka menebak-nebak serta mencari bukti bahwa kalian telah
bercinta, karena itulah tadi para pelayan tertawa cekikikan
ketika memeriksa sepraimu”
Pipi Lana merah padam, tetapi Theo sepertinya tidak menyadarinya, dan tetap melanjutkan kata-katanya, “Yah para pelayan itu mungkin saling berspekulasi dan menanti, kapan saat mereka ahkirnya bisa menemukan bukti-bukti
bahwa kalian tidur bersama untuk dijadikan bahan gosip selanjutnya,”
gumamnya dalam senyum, Lalu menatap Lana sambil mengangkat alisnya, “Hei
aku juga penasaran, kalau mereka serius mencarinya, apakah mereka akan
menemukan bukti-bukti itu Lana?” tanyanya penuh arti, membuat pipi Lana semakin merah padam.
***
“Nona Lana?”, Norman masuk dan mengangkat alis melihat
Lana mondar-mandir di kamarnya dengan gelisah.
“Apa?”, suara Lana tanpa sadar menegang. Semua yang
berhubungan dengan Mikail membuatnya tegang dan ingin mengumpat-umpat siapapun yang ada di dekatnya.
“Tuan Mikail ingin bertemu anda”,
Bagus. Lana menganggukkan kepalanya dan mengikuti
Norman, lalu tertegun setengah mengernyit ketika Norman membawa Lana ke
kamar Mikail,
“Di kamar ini?”
Norman mengangguk, dan entah Lana salah lihat atau
tidak, hanya sedetik dia sempat melihat sinar geli di mata lelaki itu.
Kurang ajar. Jangan-jangan mereka semua mentertawakan ketakutannya pada Mikail.
“Ya Nona, tuan Mikail ingin menemui anda di kamar ini”
Sejenak Lana ingin kabur saja. Tetapi Lana sadar, ini sebuah tantangan, Mikail menantangnya dan Lana tidak akan kalah.
“Baiklah”, Lana menghela napas dalam-dalam dan membiarkan Norman membukakan pintu untuknya,
Dia langsung berhadapan Mikail yang berdiri dengan begitu tampan di tengah ruangan. Lelaki itu menunggu Norman
menutup pintu dan meninggalkan mereka berdua sendirian, lalu berkata tenang,
“Selamat malam Lana”, Mikail tersenyum tenang, “Sebenarnya aku ingin membahas hal-hal yang berkaitan dengan ulang tahunmu ke duapuluh lima….”, senyumnya berubah misterius, “Tetapi kemudian aku sadar bahwa
pembiacaraan baik-baik tidak akan ada gunanya di antara
kita, jadi aku langsung saja”
Hening, Mikail terdiam dan Lana menunggu dengan ingin tahu apa yang akan dikatakan lelaki itu,
“Aku sudah memutuskan masa depanmu.” Mata Mikail
begitu kelam seperti danau kecoklatan di kegelapan malam.
Masa depannya? Memangnya siapa lelaki ini bisa
memutuskan masa depannya? Lana ingin meledak dalam kemarahan, tetapi
tidak mampu. Mikail tampak berbeda, dia tampak begitu tenang tetapi
dibalut kemarahan berbahaya, begitu dingin sekaligus mempesona.
Lagipula, kenapa Lana berpikir bahwa Mikail mempesona? Sambil mengutuk
dirinya sendiri, Lana mencoba menghapus pikiran-pikiran yang mengarah kepada keterpesonaannya kepada Mikail.
Lana mengamati Mikail lagi dan sedikit merasa tidak
nyaman, karena melihat Mikail begitu tenang, tanpa sedikitpun emosi
malah terasa menakutkan.
Lana tidak suka, dia lebih suka Mikail yang meledak-ledak dan marah daripada Mikail yang seperti ini.Dengan Mikail yang meledak-ledak
Lana bisa melawan dengan emosinya, tetapi dengan Mikail yang begitu
dingin yang bisa dilakukan Lana hanyalah menyurut mundur, ketakutan.
Mikail mengamati reaksi Lana melemparkan pandangan menilai, lalu melanjutkan kata-katanya,
“Kau harus menjadi kekasihku yang sebenar-benarnya, Lana. Mulai malam ini,” Mikail mulai berdiri, “Aku hanya
sekali memberikan penawaran. Kau jadi kekasihku, dan aku akan memperlakukanmu dengan baik. Kalau kau menolak,
aku akan menganggapmu tak berharga dan melemparmu kepada pengawal-pengawalku”
Apa?
Keringat membasahi dahi Lana, Mikail bercanda bukan? Apa maksudnya melemparnya kepada pelayan-pelayannya?
Apakah Mikail ingin memberikannya supaya diperkosa
para pengawalnya? Mikail tidak mungkin sekejam itu bukan? Lana menatap
mata Mikail dengan ketakutan, mencoba mencari kebenaran di sana, tetapi
dia tidak menemukannya.
Lelaki ini kejam, dan siapa tahu apa yang akan dilakukannya?
“Bagaimana Lana? Aku atau kau dibuang ke para pengawalku?”
Lana menatap Mikail marah, “Kau tidak akan berani melakukan hal menjijikkan semacam itu”
“Jangan menantangku Lana” desis Mikail tajam, “Aku
bukannya belum pernah melakukannya kepada perempuan
yang kuanggap tidak berguna lagi”
Lana tertegun. Apakah Mikail benar-benar serius?
“Kau hidup disini dengan mewah, diperlakukan seperti puteri
raja, dihormati layaknya kekasih Mikail Raveno dan aku
sudah muak dengan kelakuanmu yang selalu menantangku
setiap ada kesempatan. Sekarang hanya ini pilihanmu dan kau akan
memutuskan sekarang. Aku atau dibuang kepada
para pengawalku”
Apakah dia bisa melarikan diri dari sini? Lana ingin
berteriak panik, ataukah dia harus bunuh diri saja? Tetapi Lana yakin
Mikail tidak akan membiarkannya. Oh, dengan
kekejamannya mungkin Mikail akan membiarkan Lana mati, tetapi dia akan memastikan Lana menderita dulu sebelumnya.
“Kau,” Lana menelan suara yang dikeluarkannya dengan
berat.
Ada nyala di mata Mikail, “Apa Lana? Aku tidak mendengar”
Mikail sengaja dan Lana menggeram marah dalam hatinya,
kurang ajar lelaki itu!
,”Kau, aku memilih kau”
Senyum di bibir Mikail adalah senyum kemenangan yang dingin.
“Kalau begitu, datanglah kemari kekasihku,” Lelaki itu
membuka tangannya, dan Lana melangkah dengan tertahan ke arahnya.
Dengan sensual, lelaki itu meraih Lana dan mengecup bibirnya sekilas,
“Bagus, jangan uji kesabaranku, aku tidak mau dilawan malam ini”
***
BAB 11
Mikail membaringkan Lana ke atas ranjang. Jemarinya
menyusup ke balik rok Lana dan langsung menyentuh pusat kewanitaannya.
Sentuhan itu membakar sekaligus menyejukkan dan Lana langsung mengangkat
tubuhnya penuh gairah. Mikail menundukkan kepalanya, mengecup leher dan
pundak Lana sambil menurunkan kemejanya, menikmati betapa Lana menyerah
kepada gairahnya.
“Ah sayangku, kau begitu indah,” Mikail menangkup buah
payudara Lana di telapaknya, merasakan dan menikmati
kelembutan itu. Lalu bibir panasnya turun dan menangkup pucuknya,
melumatnya penuh gairah, membuat Lana hampir menjerit karena siksaan
kenikmatan yang berbaur menjadi satu.
Lelaki itu menurunkan rok Lana dan mulai menyentuhnya, dimana-mana,
meninggalkan gelenyar panas yang membakarnya. Jemari Mikail menyentuh
pusat kewanitaannya dan Lana merasakan dorongan yang amat sangat untuk
memohon agar Mikail mau memasukinya.
Dan Mikail sudah siap, Lelaki itu terasa begitu keras dan panas di bawah sana. Lana mendesak-desakkan tubuhnya dengan frustrasi, permohonan tanpa kata.
“Tenang sayangku,” Mikail mulai terengah, menahan pinggul Lana yang bergairah di bawahnya, “Aku akan meuaskanmu sebentar lagi”
Mikail menyentuhkan dirinya, dan langsung
menggertakkan giginya, melawan dorongan kuat untuk memasuki Lana dengan
kasar. Lana sudah sangat siap menerimanya, tetapi
Mikail bertekad memperlakukannya dengan lembut, memberikan tubuhnya untuk kenikmatan Lana.
Ketika kehangatan Mikail merasukinya, tenggelam
dalam tubuhnya yang panas dan basah, Lana mengerang dan memejamkan mata.
Oh astaga! Rasanya begitu tepat, kenikmatan ini, kedekatan ini yang
telah dia sangkal selama ini. Rasanya luar biasa tepatnya!
Mereka bergerak dalam alunan gairah yang keras, berusaha memuaskan gejolaknya sendiri-sendiri.
Sampai akhirnya tubuh Lana terasa melayang, mencapai puncak
kenikmatannya didorong oleh rasa klimaks yang begitu dalam. Ketika
mendengar erangan, Mikail mengikutinya. Menyerah dalam orgasme
bersamanya.
***
Ada yang berbeda dalam hubungan mereka. Lana menyadari pagi itu, mengingat senyum lembut Mikail ketika Lana terbirit-birit kembali ke kamarnya ketika hari hampir menjelang pagi. Terutama perasaan Lana ke Mikail, ada yang berubah.
Ternyata selama ini dia juga frustrasi oleh gairah
yang tertahan, sama seperti yang dirasakan Mikail. Dan ketika semalaman
mereka saling memuaskan gairah masingmasing, pagi ini perasaannya luar
biasa bahagia. Lana
bahkan merasa ingin bersenandung.
Pagi ini, karena Mikail biasanya sudah berangkat bekerja jam-jam
segini. Lana memutuskan untuk mengisi waktunya dengan menjelajah
seluruh isi rumah. Dia memutuskan untuk menjelajahi area sayap kanan
rumah yang besar itu.
Tanpa di temani siapapun, Lana menyusuri lorong-lorong,
ruangan demi ruangan, sampai akhirnya tiba di ujung lorong, dengan
dinding yang sepenuhnya terbuat dari kaca, memantulkan cahaya matahari
ke seluruh lorong dan pemandangan yang luar biasa indahnya di balik
kaca. Pemandangan kebun mawar berwarna merah tua yang
merambat dan memenuhi taman kecil di sana.
Lana terpesona hingga hampir sesak napas. Dia
berdiri cukup lama di depan taman itu, lalu kemudian mengerutkan
keningnya ketika menyadari, bahwa sayap kanan rumah ini, meskipun tampak
bersih dan terawat, tampaknya hampir tidak pernah digunakan.
Lana menoleh ke kiri, dan menemukan sebuah pintu
besar berwarna keemasan, dengan penuh rasa ingin tahu dia membuka handle
pintu itu. Sepertinya susah dan macet, tetapi kemudian setelah Lana
mencoba beberapa kali, pintu itu terbuka dengan mudahnya, dengan suara
berderit karena engsel yang sudah lama tak diminyaki.
Ruangan itu temaram, karena jendela kamarnya tertutup rapat oleh gorden, baunya pengap seperti sudah lama tidak dimasuki. Lana meraba-raba
dinding dan menemukan saklar di kamar itu, ditekannya saklar kamar itu,
dan cahaya kekuningan yang lembut langsung menyinari seluruh ruangan.
Itu sebuah kamar. Kamar yang sangat feminim dengan
nuansa merah muda yang lembut, hampir putih. Lana mengitarkan
pandangannya ke kamar itu dan mememukan
sesuatu yang membuatnya tertegun…. Dan memucat.
Ada sebuah lukisan besar yang digantung di kamar itu. Lukisan yang sangat besar dengan bingkai keemasan yang
sangat indah. Tetapi bukan besarnya lukisan itu atau
indahnya bingkai itu yang membuat Lana tertegun, tetapi orang dalam
lukisan itu.
Di sana terlukis seorang perempuan yang sedang
berdiri di tengah taman mawar, dengan gaun merah muda dan rambut cokelat
tuanya yang panjang dan berkilau, sedang tertawa bahagia, seolah-olah perempuan itu tidak bisa menahan senyumnya kepada siapapun yang melukisnya. Perempuan
itu memeluk perutnya yang sedikit buncit, sedang hamil
muda. Perempuan itu tampak penuh bahagia… penuh cinta,
dan yang membuat Lana luar biasa kagetnya, wajah
perempuan itu…. Wajah perempuan itu…. Sama persis
dengan wajahnya.
Oh ya Tuhan! Sama persis! Bagaikan pinang di belah
dua. Meskipun perempuan di lukisan itu tampak lebih anggun dan lebih
feminim, Lana sangat yakin bahwa selain semua alasan itu, wajah mereka
berdua tampak begitu serupa!
Tapi Lana yakin itu bukan lukisan dirinya. Dia tidak
pernah mengenakan gaun merah muda, dia tidak pernah dilukis di tengah
taman mawar, dan yang pasti, dia tidak pernah hamil sebelumnya!
Jadi siapakah perempuan itu? Siapakah dia…?
“Seharusnya Anda tidak boleh ke area ini”
Suara dingin dan tenang di belakangnya membuat Lana
terlonjak kaget. Dia menolehkan kepalanya gugup dan menemukan Norman
berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan dingin yang biasanya.
“Siapakah perempuan di lukisan itu Norman?”
Norman melirik sekilas pada lukisan di dinding itu,
Lana merasa melihat sepercik kesedihan di sana, meskipun dia tidak
yakin, karena ketika menatap Norman lagi, lelaki itu sudah kembali
memasang ekspresi datar.
“Saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda, Tuan Mikail akan sangat marah….”
“Kumohon,” Lana menyela dengan cepat, “Jika kau tidak
mau mengatakannya kepadaku, aku akan menanyakan
langsung kepada Mikail”
Wajah Norman mengeras, “Anda tidak boleh melakukannya, saya tidak akan membiarkannya karena itu akan menyakiti
Tuan Mikail”
Perkataan Norman itu makin membuat Lana penasaran.
Ada apa ini sebenarnya? Apakah inilah jawaban kenapa Mikail menyekapnya
selama ini?
Lana akan mengejar jawaban itu dari Norman, apapun
yang terjadi, ditatapnya Norman dengan keras kepala, “Kalau begitu
jelaskan padaku siapa perempuan ini, kenapa wajahnya begitu sama
denganku, dan apakah ini penyebab
MIkail menyekapku?”
Norman menghela nafas panjang,
“Baik akan saya jelaskan, tetapi jangan di sini, ayo ikut saya,”
Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan bergegas keluar dari kamar, seolah-olah berada di dalam kamar itu terasa menyesakkannya. Tiba-tiba Lana juga merasa sesak
sehingga dia langsung mengikuti langkah Norman keluar dari kamar itu.
***
“Perempuan itu adalah Nyonya Natasha Raveno,” Norman
bergumam datar, menatap mata Lana dalam-dalam.
Mereka sekarang duduk di ruang duduk di bagian belakang rumah yang berakses langsung ke taman belakang dan dilengkapi dengan sofa-sofa cantik yang nyaman dan meja kopi yang saat ini menyediakan kopi hangat yang mengepul di meja.
Lana mengernyit mendengar informasi itu, Natasha Raveno? Apakah dia ibu Mikail? Tetapi setahunya, ibu Mikail bernama Francessa.
“Bukan ibu tuan Mikail,” Norman sepertinya bisa membaca pikiran Lana, “Nyonya Natasha Raveno adalah almarhum isteri Tuan Mikail”
Lana terperangah dan tiba-tiba merasa sesak napas, dadanya seperti dihantam oleh ribuan ton batu sehingga
terasa nyeri. Isteri?? Mikail pernah punya isteri sebelumnya? Dan kenapa wajah perempuan itu sama persis dengannya?
“Tuan Mikail menikahi Nyonya Natasha ketika masih sangat
muda, di Italia ketika Tuan Mikail lulus dari kuliahnya, pada usia 20 tahun. Mereka pasangan muda yang saling
mencintai. Setahu saya, Tuan Mikail sangat mencintai
isterinya,” Norman berdehem, “Saya sudah mulai bekerja kepada Tuan Mikail ketika itu… Dulu, beliau adalah orang
yang baik, sangat mudah tertawa dan
ramah….tetapi….Nyonya Natasha memang berbadan lemah
sejak awal, dia mempunyai penyakit jantung dengan katup
yang tidak sempurna…..,” Norman menghela nafas panjang,
seolah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bercerita,
“Kemudian Nyonya Natasha hamil… mereka sangat bahagia sekaligus cemas… bahagia karena itu adalah anak pertama
mereka, dan cemas karena itu adalah kehamilan yang
sangat beresiko……. Nyonya Natasha seharusnya tidak
boleh hamil karena kondisi penyakitnya, tetapi dia perempuan yang keras kepala di balik tubuhnya yang
lemah…,” Norman tanpa sadar tersenyum, melembutkan garis-garis datar di wajahnya, “Dia bertekad untuk hamil dan melahirkan anak Tuan Mikail, meskipun semua orang
menentangnya, bahkan Tuan Mikail sendiri”
“Mikail menentangnya?,” Lana membayangkan seorang
perempuan dengan tubuh lemah, tetapi mampu menantang
seluruh dunia demi calon anak yang dikandungnya, sungguh perempuan yang
luar biasa.
“Ya, sudah pasti Tuan Mikail menentangnya, kehamilan
itu berbahaya, nyawa Nyonya Natasha taruhannya,” Norman menundukkan
kepalanya sedih, “Kemudian Nyonya Natasha
keguguran".
Lana tertegun. Keguguran, jadi bayi mereka tak pernah lahir? Tiba-tiba Lana merasa sedih mengingat senyuman Natasha
di lukisan itu, senyuman seorang calon ibu yang
sangat bahagia, dengan tangan memeluk perutnya seperti melindungi sang
buah hati yang sedang terlelap di sana.
“Tubuh nyonya Natasha ternyata terlalu lemah untuk
menumbuhkan seorang bayi dalam rahimnya, dia tidak
mungkin mengandung sampai anak itu lahir….kenyataan itu
menghancurkan perasaan Nyonya Natasha dan membuat
kondisi fisiknya makin lemah….,” Norman menghela nafas, “Nyonya Natasha
semakin hari semakin sakit, hingga
akhirnya sudah tak mampu bangun dari ranjangnya. Di suatu pagi, Tuan Mikail menemukannya sudah meninggal dalam
tidurnya”
Air mata Lana menetes, meninggal karena patah hati. Lana teringat kepada ibunya. Mereka berdua meninggal karena
patah hati…. Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka
egois? Meninggalkan semua beban di dunia ini dengan
lepasnya, tanpa memikirkan bahwa mereka juga meninggalkan patah hati
bagi siapapun yang mereka tinggalkan?
Sejak kematian Nyonya Natasha, sepuluh tahun yang
lalu… Tuan Mikail berubah, dia menutup hatinya. Dan menenggelamkan diri
dalam pekerjaan. Dia tidak pernah sama lagi sejak saat itu.
Lana mengusap air matanya dan menatap Norman tajam.
“Jadi, karena itukah Mikail menyekapku di sini? Karena wajahku sama persis dengan almarhumah isterinya?”
Norman menatap Lana dalam-dalam,
“Anda seharusnya tahu bahwa…..”
“Norman”
Suara dingin Mikail dari arah pintu membuat mereka berdua menoleh. Wajah Norman memucat menemukan Mikail
sedang berdiri di sana, berdiri bersandar di pintu dengan wajah tidak terbaca.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengganggu kau yang sedang asyik bergosip dengan Lana,” Mata Mikail menajam, “Tetapi
aku membutuhkanmu sekarang. Ada sesuatu yang perlu kita
bahas”
Secepat kilat Norman berdiri, meskipun ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya, dia telah melangkahi
wewenangnya dengan menceritakan tentang Nyonya Natasha kepada Lana. Entah apa yang akan dilakukan Tuannya ini kepadanya.
Mikail bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah Lana, dia membalikkan badan dan membiarkan Norman mengikutinya.
***
Lana termenung di kamarnya, seluruh kata-kata Norman terngiang di telinganya, berulang-ulang. Kisah tentang Natasha Raveno yang cantik dan sempurna dan betapa Mikail mencintainya.
Jadi, selama ini dia hanya dipakai sebagai pengganti
dari Natasha. Entah kenapa perasaan sedih yang samar menyeruak di dada
Lana, terasa begitu menyakitkan. Mikail menyekap dan mempertahankan
dirinya di sini karena wajahnya mirip dengan Natasha. Bahkan Mikail
bercinta dengannya mungkin juga sambil membayangkan Natasha. Kemiripan
wajahnya dengan almarhumah isteri Mikail-lah yang menyelamatkannya, mungkin. Kalau tidak dia sudah dibunuh dan dihancurkan oleh Mikail atas percobaannya melukai lelaki itu.
Ternyata bahkan gairah Mikail yang meluap-luap itu bukan ditujukan kepadanya. Dia hanyalah sosok pengganti dari perempuan yang benar-benar diinginkan oleh Mikail.
“Aku berani bertaruh bahwa pikiran-pikiran yang buruk sedang berkecamuk di kepalamu yang mungil itu”
Karena sibuk dengan pikirannya, Lana tidak menyadari kedatangan Mikail. Lana mengamati Mikail, lelaki itu tampak lelah,
“Aku ingin segera keluar dari sini, setelah aku mengetahui
semuanya, kau tidak berhak lagi memanfaatkanku dan menahanku di sini,” Lana mendongakkan dagunya dengan angkuh.
Mikail melangkah mendekat, berdiri di sofa di depan Lana duduk, dan menatap tajam,
“Kupikir semalam kita sudah mencapai kesepakatan”
“Semalam terjadi karena kau mengancamku!!,” Napas Lana terengah menahan emosi, “Sekarang aku sudah kembali ke pikiran warasku”
“Tidakkah kau ingin bersamaku Lana? Kita begitu cocok di
ranjang, kau dan aku. Kita bisa menjalin hubungan yang
saling menguntungkan”
“Aku menolak untuk dimanfaatkan untuk menjadi pengganti siapapun”
“Kau bukan pengganti siapapun!,” Mikail menyela tampak
marah.
Mereka berdiri berhadap-hadapan saling mengukur kekuatan masing-masing. Akhirnya Lana berkata,
“Aku sudah mengetahui semua kebenarannya Mikail. Aku
memang bersalah mencoba mencelakaimu. Tetapi itu
tidak penting lagi. Kau memang bersalah atas kematian kedua orang tuaku,
dan aku berhak merasa benci dan dendam kepadamu. Tetapi kau juga sudah
menyelamatkan nyawaku, jadi aku menganggap kita impas. Kalau kau
melepaskanku, aku berjanji tidak akan muncul dalam kehidupanmu lagi dan
tidak akan pernah berusaha mencelakaimu lagi,” Lana
menatap Mikail sungguh-sungguh, “Itulah penawaran terbaik yang bisa kuberikan”
“Penawaran katamu?,” Mikail mengibaskan tangannya
jengkel, “Kau boleh berprasangka dengan semua kebencian tak beralasanmu
itu, yang harus kau tahu, semua yang kau
pikirkan di dalam kepala cantikmu itu salah”
“Aku tahu mana yang salah dan benar Mikail. Dan kali ini aku sungguh-sungguh,” Lana menatap Mikail dengan tatapan mengancam, “Pilihanmu hanya dua, melepaskanku, atau mendapati aku mati”
***
Lana melaksanakan ancamannya. Dia mogok makan. Di hari pertama Mikail masih menganggap remeh ancaman Lana yang kekanak-kanakan itu, dan menertawakannya.
Tetapi sekarang sudah hampir dua hari, dan Norman melapor bahwa Lana sama sekali tidak menyentuh makanan dan minumannya.
“Sama sekali?,” Mikail berdiri dari duduknya dan menatap
Norman frustrasi.
“Dia sama sekali tidak menyentuh makanannya, kami
meletakkan makanannya di kamar dan dia hanya tidur di
sana. Ketika kami menengok nampannya, dia tidak menyentuhnya sama
sekali, bahkan minumannya pun tidak disentuhnya. Anda harus melakukan
sesuatu sebelum
perempuan itu membahayakan dirinya sendiri,” jawab
Norman datar, meskipun ada nada khawatir di sana.
“Aku akan menengoknya”
Mikail melangkah memasuki kamar putih itu, dan menemukan Lana terbaring lemah di ranjang. Perempuan ini benar-benar keras kepala.
“Kenapa kau tidak memakan makananmu?,” Mikail mendesis menahan kemarahannya, “Apakah kau ingin membunuh dirimu sendiri?”
Lana membalikkan badan dan menatapnya, membuat Mikail
mengernyit, wajah Lana tampak pucat dan bibirnya kering, perempuan itu
juga tampak lemah.
“Kau harus memakan makananmu Lana, kalau tidak kau akan sakit dan membahayakan dirimu sendiri”
Lana menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Mikail.
Mikail mengacak rambutnya frustrasi.
“Oke, Kau mau apa?! Kau ingin bebas? Baik! Kau akan dapatkan apa yang kau mau, asalkan kau mau makan!”
Pernyataan itu membuat Lana menolehkan kepalanya
lagi menatap Mikail, dia berdehem, tenggorokannya terasa kering
membuatnya susah berbicara, perutnya terasa nyeri, dan kepalanya pusing,
“Kau… berjanji…?,” gumamnya lemah.
Mikail menatap Lana marah, “Kau pikir aku bisa berbuat
lain?? Aku berjanji, kau bisa pegang janji seorang Raveno.
Sekarang, biarkan aku membantumu minum!”
Sambil berdehem kembali karena tenggorokannya sakit, Lana berusaha menantang tatapan marah Mikail dan
membaca arti yang tersirat di dalamnya. Ya, Mikail
Raveno selalu menjunjung harga dirinya, dia tidak akan mengingkari
janji. Setelah merasa yakin, Lana menganggukkan
kepalanya.
“Astaga Lana,” Mikail mendesah lega, meraih gelas air putih
yang tak tersentuh, tak jauh dari ranjang, lalu duduk di samping ranjang dan membantu Lana duduk,
“Kau bisa minum?”
Lana haus sekali, dan keinginannya yang paling besar
adalah langsung minum dari gelas itu dengan sekali teguk. Ketika
menerima gelas itu, Lana langsung meneguknya dengan rakus, tetapi
berhenti di tegukan pertama karena tersedak dan sakit di tenggorokannya.
minuman di gelas itu,
Selanjutnya yang terjadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lana. Mikail duduk menerjangnya dan melumat bibirnya, sekaligus mengalirkan air minum itu ke tenggorokannya.
Air minum itu meluncur dengan mulus ke tenggorokan
Lana, membasahinya yang kehausan. Sejenak, ketika air itu telah
seluruhnya berpindah, Mikail masih bermain-main di bibir Lana, mempermainkannya.
Kemudian, sedikit terengah, Mikail melepaskan bibir
Lana, mereka duduk dengan wajah berhadapan, sangat dekat hingga napas
panas mereka bersahutan.
Lalu dengan gerakan tiba-tiba Mikail menjauhkan tubuhnya dari Lana dan menatapnya tegang,
“Besok Theo akan membantu mengemasi pakaianmu dan Norman akan mengantarkanmu pulang”
“Aku tidak mau membawa apapun dari sini, aku datang kesini
tanpa membawa apapun, dan begitupun ketika aku keluar
dari sini”
Mikail mendesis tajam, “Aku memaksa, Lana dan jangan bermain-main dengan kesabaranku”
Lana terdiam. Mikail membebaskannya, itu sudah cukup.
Dan kalau konsekwensinya Lana harus bertoleransi dengan sikap arogan
lelaki itu, mungkin itu cukup sepadan.
***
Pegawai Mikail sudah mengatur barang-barang itu dengan rapi di bagasi, dan Norman sudah berdiri di sisi mobil, mempersilahkan Lana masuk untuk diantar pulang.
Lana melirik ke arah rumah besar itu, Mikail tidak ada dari pagi tadi, lelaki itu pergi entah kemana tadi pagi-pagi sekali dan Lana tidak berani bertanya kepada Norman.
Seharusnya Lana berbahagia, Dahi Lana berkerut
memikirkan perasaannya. Tetapi entah kenapa dia tidak bahagia. Rasanya
menyesakkan dada dan menyedihkan entah kenapa. Dan Lana menahan diri kuat-kuat atas dorongan emosi yang membuatnya ingin menangis.
Dengan cepat, tanpa berani menoleh ke arah rumah
Mikail, Lana memasuki mobil hitam itu. Norman menutup pintu penumpang
dan duduk di kursi supir bersama seorang
pengawal lain. Pelan, mobil itu meluncur melalui taman besar di halaman Mikail dan melewati gerbang.
Detik itulah Lana memberanikan diri menatap rumah
Mikail, mungkin ini akan jadi yang terakhir kalinya. Dia menyerap
pemandangan rumah itu dan mengenangnya, sampai
kemudian pintu gerbang hitam yang tinggi itu tertutup, menghalangi pandangannya.
Selamat tinggal Mikail Raveno. Lana mengusap setitik air mata di sudut matanya. Setelah ini aku tidak akan memikirkanmu lagi.
***
BAB 12
Hari pertamanya dalam kebebasan dan Lana luar biasa menikmatinya. Rumah mungil yang dikontraknya masih tertata rapi seolah-olah tidak pernah ditinggalkan sebelumnya. Mungkinkah Mikail mengirimkan orangorangnya untuk membersihkan rumah ini? Lana
menggelengkan kepalanya dan mencoba menghapus
bayangan MIkail dari pikirannya. Dia harus melupakan lelaki itu dan melangkah maju.
Pagi itu yang dilakukan oleh Lana pertama kali
adalah memeriksa kulkasnya dan mengerutkan kening ketika menemukan
kulkasnya penuh bahan makanan. Ini pasti pekerjaan lelaki itu, gumam
Lana, menolak menyebut nama Mikail demi usahanya melupakannya. Tetapi
Lana tidak mau membiarkan gangguan ini merusak hari pertama
kebebasannya.
Diambilnya sayuran, daging sapi, dan telur. Lalu dia
membuat tumis daging dengan sayuran dan telur yang berbau harum,
setelah menuang masakan harum itu dari wajan, Lana menuang teh hangat
yang sudah diseduhnya tadi pagi ke cangkir berwarna putih, dan
meletakkan semuanya di meja. Sambil menyantap makanannya Lana menyalakan
komputernya. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari
pekerjaan, karena Lana harus bertahan hidup. Seperti semula.
Seingat Lana, dirinya masih punya tabungan di
rekeningnya, tidak banyak memang hanya cukup untuk bertahan hidup selama
satu sampai dengan dua bulan setelah dikurangi pembayaran kontrak rumah
kecil ini secara bulanan. Setelah itu Lana harus bekerja untuk
menghidupi dirinya sendiri sekaligus membayar tempat tinggalnya, kalau
Lana tidak
bisa melakukannya, dia akan menjadi gelandangan. Jadi, waktunya untuk mencari pekerjaan sangatlah sempit.
Oh ya, hal kedua yang harus dilakukannya adalah
mengambil uang tabungannya, mungkin nanti siang dia akan ke bank. Lana
menghirup tehnya yang terasa harum dan meneguknya dengan tegukan panas
yang nikmat. Lalu mulai menyantap sarapannya sambil membuka situs
pencari pekerjaan di komputernya.
Lowongan kerja… lowongan kerja yang cepat dan sesuai
kualifikasinya… mata Lana bergerak cepat dan mencatat
beberapa perkerjaan yang sesuai. Dia mengirimkan
email surat lamaran ke beberapa perusahaan tersebut sambil menghabiskan
sarapannya.
Ketika Lana selesai melakukan kegiatannya, waktu
sudah hampir jam dua belas siang. Lana teringat bahwa dia harus ke Bank,
dengan bergegas Lana mengambil tas kecilnya dan hendak keluar rumah
ketika ada yang mengetuk pintunya.
Seketika Lana waspada. Dia tidak pernah punya teman
sebelumnya. Jadi, itu tidaklah mungkin teman yang bertamu. Lagipula,
dalam penyamarannya waktu itu karena berencana membalas dendam kepada
Mikail, tidak banyak yang tahu kalau Lana tinggal di rumah mungil ini.
Apakah itu musuh Mikail yang
|
ingin mencelakainya? Lana
|
|||
bergidik ngeri. Kemudian menggelengkan
|
kepalanya,
|
|||
berusaha menenangkan
|
diri. Tidak, musuh
|
Mikail pasti
|
sudah
|
|
mengurus masalah itu
|
sebelum
|
memutuskan
|
melepaskan
|
|
Lana. Jadi, siapa yang sedang mengetuk
|
pintunya saat
|
ini?
|
Dengan hati-hati Lana mengintip melalui jendela sebelah dan menemukan seorang lelaki dengan setelan jas mahal dan
resmi berdiri di depan pintunya. Dari penampilannya, tampaknya lelaki itu lelaki baik-baik.
Tetapi penampilan bisa menipu bukan? Lana masih tidak bisa percaya
bahwa Dokter Teddy yang begitu baik dan selalu tersenyum itu ternyata
adalah psikopat berjiwa kejam.
Lana meraih pisau dapur dan membuka pintu dengan hatihati, membiarkan rantai tetap menahan pintu itu,
“Siapa?,” Lana menatap pria tampan dalam balutan jas rapi
itu sambil mengerutkan keningnya.
“Selamat siang, Anda Nona Lana? Saya Freddy, pengacara yang dikirim kemari”
Pengacara?, “Pengacara untuk apa? Saya tidak berkaitan dengan masalah hukum apapun,” Lana masih mengintip dari
pintu, belum mau membukanya, menatap Freddy dengan curiga.
“Saya dikirim untuk menyerahkan dokumen-dokumen kepada Anda,” Freddy tampak berdehem memikirkan sesuatu, “Anda
mungkin tidak mengenal saya, tapi saya teman Damian dan
Serena”
Lana tertarik, “Apakah Serena yang mengirimmu kemari”
“Sayangnya bukan, meski Serena menitip salam dan
berharap kalian bisa bertemu di lain kesempatan,” Freddy mengangkat
bahu, “Saya dikirim oleh Mikail”
Lana mengernyitkan kening, setelah berpikir sejenak,
dia berpendapat bahwa lelaki yang mengaku pengacara ini tampak
meyakinkan. Dia meletakkan pisaunya dan masih dengan waspada dia membuka
pintunya.
“Boleh saya masuk, Anda boleh tenang, saya bukan orang jahat,” Freddy tersenyum dengan gaya profesional.
Lana mempersilahkannya masuk, dan dia duduk menatap lelaki itu mengeluarkan berkas-berkas yang tampak penting dari tas kerjanya.
“Ini adalah surat kepemilikan rumah ini, Mikail telah
membelinya atas nama Anda. Dan ini nomor rekening yang dibukakan Mikail atas nama Anda, seluruh kelengkapannya
ada di dalam amplop, Anda tinggal menggunakannya,”
Freddy meletakkan berkas-berkas itu dalam map terbuka di
meja lalu tersenyum lagi, ‘Saya hanya diperintahkan
menyerahkan berkas-berkas ini kepada Anda, kalau semua
sudah lengkap, saya akan berpamitan,” Lelaki itu beranjak
dari duduknya meninggalkan Lana yang masih menatap kertas-kertas di meja itu dengan kaget.
Surat rumah? Rekening tabungan? Matanya melirik sekilas pada surat-surat itu. Semua atas namanya!
“Tunggu dulu! Saya tidak tahu sebelumnya tentang suratsurat ini! Saya tidak bisa menerimanya!’
‘Nona,” Freddy menyela sudah siap pergi dari rumah itu, “Saya hanya menyampaikan apa yang ditugaskan kepada
saya, kalau Anda ada pertanyaan, mungkin Anda bisa
menghubungi langsung Mikail”
Dan Freddy pun pergi meninggalkan Lana yang masih tercenung dan bingung menatap berkas-berkas di depannya.
***
“Saya ingin bertemu tuan Mikail Raveno.” Lana bergumam
gugup kepada resepsionist di lobby kantor yang mewah itu.
Kemewahan lobby itu begitu mengintimidasi dan Lana
merasakan semua mata memandangnya, seolah dia orang aneh yang salah
tempat. Tangannya memeluk amplop berkas yang diberikan Freddy kepadanya
tadi siang dan berusaha menantang tatapan mata tajam dari resepsionist
yang menatapnya curiga.
“Mikail Raveno kata Anda? Anda yakin? Kalau Anda ingin melamar pekerjaan, mungkin bisa Anda titipkan di sini…”
“Saya tidak ingin melamar pekerjaan,” Lana mulai merasa
jengkel menerima tatapan meremehkan dari resepsionist itu,
“Tolong atur pertemuan saya dengan Mikail Raveno”
“Nona, saya tidak bermaksud menyinggung Anda, tetapi
Tuan Mikail Raveno tidak mungkin bisa ditemui semudah itu, Anda harus membuat janji pertemuan yang rumit dengan
sekretarisnya dulu…”
“Biarkan dia masuk, dia datang bersamaku. Saya ada janji temu dengan Mikail jam dua,” sebuah suara yang dalam di
sebelah Lana mengagetkannya.
Lana menoleh dan menyipitkan matanya. Sedikit silau
akan ketampanan lelaki yang berdiri di sebelahnya. Well satu lagi lelaki
dengan anugerah kesempurnaan fisik yang luar biasa. Batin Lana sambil
menatap Damian yang memakai jas warna hitam dan tersenyum samar di
sebelahnya. Tapi untunglah
yang satu ini lelaki baik dan menyayangi isterinya. Mau tak mau Lana mengingat kemesraan Damian dan Serena di
pesta malam itu, dan merasa kagum melihat besarnya cinta yang terpancar dari Damian dan Serena ketika mereka bertatapan.
Resepsionist itu menatap Damian dan sudah pasti mengenalinya,
“Oh, Tuan Damian Marcuss, selamat datang,” sikapnya
berubah ramah dan Lana mencibir atas perbedaan
perlakuan yang diterimanya, apalagi resepsionist itu menatap Damian
dengan tatapan memuja, “Mohon maaf, tadi siang kami sudah mengirimkan
pesan kepada sekretaris Anda bahwa pertemuan hari ini dibatalkan, Tuan
Mikail mendadak harus ke luar negeri".
Damian dan Lana sama-sama mengerutkan keningnya. Mikail ke luar negeri?
“Aku tidak menerima pesan itu,” gumam Damian tajam,
membuat resepsionist itu menunduk gugup hingga Lana merasa kasihan. Tetapi kemudian Damian mengangkat
bahunya, “Baiklah kalau begitu, aku akan kembali ke kantor dan mengganti waktuku yang tersia-siakan untuk kemari,” Damian menoleh kepada Lana, “Kalau waktuku tersia-siakan aku akan terlambat pulang ke rumah”.
Lana mau tak mau menahan senyum. Damian tampak lebih
kesal karena terpaksa terlambat pulang daripada karena batal bertemu
Mikail.
“Aku akan kembali ke kantor, oh ya, Serena menitip salam kepadamu,” dengan senyumnya yang mempesona, Damian
mengedipkan sebelah matanya ramah, lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari lobby itu.
Lana menatap punggung Damian yang menjauh dan
akhirnya tersenyum. Betapa beruntungnya Serena memiliki pasangan yang luar biasa seperti Damian…
“Nona Lana?,” kali ini sebuah suara yang familiar
menyapanya. Lana menoleh dan mendapati Norman yang
berdiri menatapnya, baru saja keluar dari lift, “Apa yang Anda lakukan di sini?”
Lana mengerjapkan matanya, “Aku mencari Mikail,” ditunjukkannya amplop berkas itu kepada Norman, “Ini… aku ingin mengembalikan berkas-berkas ini”
Norman menatap berkas-berkas itu dan mengerti, “Tuan Mikail ingin Anda menerimanya”
“Aku tidak mau menerimanya, aku tidak ingin berhutang budi kepadanya”
“Itu uang anda,” sela Norman tenang, “Itu adalah bagian
saham Anda dari perusahaan ayah Anda yang sudah di take over oleh Tuan Mikail”
Lana tertegun. Bagian sahamnya? Dia tidak pernah mendengar ini sebelumnya
“Bagian saham ini, sesuai dengan surat perjanjian jual beli akan diberikan kepada Anda begitu usia Anda genap 25
tahun,” Norman menatap sekelilingnya yang ramai dan tampak tidak nyaman, “Mari saya akan jelaskan kepada Anda”
***
Dia dibawa ke sebuah ruangan dengan perabot kayu dan
nuansa cokelat dan elegan di lantai dua. Norman duduk di sofa di
depannya dan mempersilahkan Lana duduk,
“Mari duduk dulu, Anda ingin kopi?”
Lana menggelengkan kepalanya, terlalu tercengang dengan semuanya yang tampak begitu tiba-tiba.
“Tuan Mikail saat ini sedang ada di Italia ada
beberapa urusan yang mendesak di sana,” Norman mengubah posisi duduknya
supaya nyaman, “Seharusnya dari awal saya
menceritakan ini kepada Anda, tetapi Tuan Mikail menahan
saya.”
Cerita apalagi? Kejutan apa lagi? Jantung Lana berdegup kencang.
“Tuan Mikail tidak pernah menghancurkan perusahaan
ayah Anda, apalagi membuat ayah Anda bangkrut,” Norman mengangkat
bahunya, “Anda boleh tidak percaya, tetapi
Anda bisa mencari informasi di manapun, yang dilakukan Tuan Mikail bukanlah membangkrutkan perusahaanperusahaan, dia menolong perusahaan-perusahaan yang
sudah hampir bangkrut dan menghidupkannya lagi. Banyak perusahaan yang sudah dia take over menjadi berlipat-lipat
lebih maju berkat kehebatan tuan Mikail”
Lana mengerutkan keningnya membantah, “Tetapi perusahaan ayahku baik-baik saja sebelum ayah membuat
perjanjian dengan Mikail, kami sama sekali tidak bangkrut!,”
Lana teringat gaun-gaun dan perhiasan mewah yang dibelikan ayahnya untuk ibunya, pelayan-pelayan yang hilir mudik siap sedia memenuhi kebutuhan mereka, rumah
mewah mereka yang nyaman, mobil dan segala kemewahan lainnya yang dicukupkan ayahnya waktu itu. Ayahnya tidak mungkin bangkrut!
“Ayah Anda menyembunyikan hal ini dari keluarganya,
dia tidak ingin ibu dan Anda merasa cemas,” Norman menghela nafas, “Anda
boleh tidak percaya kepada saya, tetapi biarkan
saya bercerita dulu, setelah itu Anda boleh
memutuskan. Apapun penerimaan Anda nanti, saya tidak akan
mempermasalahkan, yang pasti tidak ada sedikitpun
kebohongan dari saya kepada Anda”
Mata Norman menerawang ke masa lalu ketika mulai bercerita.
“Ayah Anda datang kepada Tuan Mikail waktu itu, memohon
suntikan dana dan perjanjian kerja sama. Tuan Mikail sebenarnya tidak tertarik dan dia sudah siap menolak mentah-mentah.
Perusahaan ayah Anda yang sudah benarbenar kolaps akibat manajemen yang
kacau balau, akan membutuhkan biaya dan perhatian yang luar biasa besar
untuk memperbaiki semuanya. Tetapi kemudian ayah Anda
memberikan penawaran kepada tuan Mikail”
“Penawaran?”
Norman menatap Lana hati-hati, “Ya… penawaran yang sebenarnya konyol, tapi langsung membuat tuan Mikail
berubah pikiran”
“Penawaran apa?”
“Anda”
Lana tertegun, pucat pasi, “Aku?”
Ayah Anda sepertinya sudah sangat putus asa sebelum meminta bantuan kepada tuan Mikail, harap Anda
memaklumi,” Norman menghela nafas, “Mungkin Andalah
Lana hampir tidak bisa berkata-kata,
lidahnya kelu. Ayahnya menawarkannya kepada iblis jahat itu sebagai
ganti suntikan dana untuk perusahaannya?? Tidak mungkin!! Ayahnya tidak
mungkin melakukan itu!!
“Saya tahu Anda tidak percaya, tetapi kami memiliki bukti penawaran itu yang nanti akan saya tunjukkan kepada Anda.
Sekarang saya akan melanjutkan cerita saya,” Norman
berdehem tampak amat mengerti berbagai emosi yang
berkecamuk, silih berganti di wajah Lana, “Segalanya pasti
akan berbeda jika yang ditawarkan bukan Anda. Tuan Mikail, saya yakin akan menolak mentah-mentah ayah Anda. Tetapi Tuan Mikail langsung berubah pikiran ketika beliau melihat
foto Anda”
Fotonya yang sangat mirip dengan almarhumah isteri Mikail. Dada Lana terasa perih menyadari kenyataan itu.
“Yah Anda mengerti kan…walau hanya dengan tatapan
sekilas saja pasti mudah menyadari kemiripan Anda dengan…,” Norman menghentikan kata-katanya, menyadari wajah Lana yang pucat pasi, “Anda tidak apa-apa nona?”
Lana menganggukkan kepalanya, “Tidak, aku tidak apa-apa,” suaranya terdengar serak, susah payah berusaha dikeluarkannya.
“Tuan Mikail langsung menyetujuinya, tetapi dia tidak mau
mas kawinnya dibayar di muka, Tuan Mikail tidak
pernah melakukan take over kepada perusahaan ayah Anda, dia hanya
memberikan dana yang luar biasa besar sesuai
dengan permintaan ayah Anda….,” Norman menatap Lana miris, “Tetapi ayah Anda rupanya bekerja dengan
manajemen yang tidak becus dan mengkhianatinya, uang
itu ludes dalam sekejap dan bahkan perusahaan ayah Anda, bukannya
terselamatkan malahan makin hancur. Ayah Anda
lalu datang kembali meminta tolong kepada tuan Mikail”
Lana hanya termenung berusaha menyerap kata-kata Norman sebaik-baiknya. Apakah Norman berbohong? Tetapi
lelaki itu tampak lurus dan jujur….. Lana cuma masih belum
bisa menerima bayangannya selama ini terhadap
ayahnya hancur lebur begitu saja. Jika apa yang dikatakan oleh Norman
adalah kebenaran, maka Lana harus menerima kenyataan bahwa kehidupannya
dulu bersama ayahnya yang bagaikan di negeri dongeng, sebagian besar
hanyalah kebohongan semata.
Lana sudah dijual menjadi isteri Mikail di ulang
tahunnya yang ke 25, itu seminggu lagi. Lana mengernyit, dia sudah
dibayar di muka. Rasanya seperti dihina dan dihantam secara bersamaan.
Ingin rasanya dia berteriak kalau dia bukan barang, dia manusia dan dia
punya kehendak yang bebas.
“Tuan Mikail sangat marah kepada ayah Anda, kesempatan yang diberikannya disia-siakan begitu saja oleh ayah Anda, dan tuan Mikail tidak mau memberikan kesempatan kedua
lagi. Perusahaan itu tidak boleh ada di tangan ayah
Anda lagi kalau tidak mau lebih hancur. Jadi, Tuan Mikail membelinya,
dengan harga yang pantas, bahkan masih memberikan jatah bulanan kepada
keluarga Anda setiap bulannya meskipun
ayah Anda tidak berhak menerimanya,” Norman menatap Lana dalam-dalam, “itu semua karena Tuan Mikail mengkhawatirkan Anda”
Mikail mengkhawatirkannya? Tidak mungkin! Lelaki itu hanya cemas, karena Lana adalah perempuan yang berwajah sama
dengan isteri yang dicintainya, perempuan yang
diharapkannya bisa menggantikan isterinya….
“Saya mengerti perasaan Anda, tetapi ada beberapa hal
yang belum sempat saya jelaskan kepada Anda waktu itu
ketika Tuan MIkail menyela pembicaraan kita,” Norman bekata-kata
lagi, “Memang Anda pasti akan melihat bahwa Tuan Mikail hanya
menganggap Anda sebagai pengganti Nyonya Natasha. Tetapi tidak. Seiring
dengan berjalannya
waktu, yang dilihat Tuan Mikail adalah benar-benar Anda, diri
anda sendiri”
Seiring berjalannya waktu?
Norman mengangguk, seolah bisa membaca pertanyaan di mata Lana,
“Yah selama ini kami mengawasi Anda. Rumah mungil yang
Anda tempati bersama keluarga Anda waktu itu, merupakan
salah satu properti milik tuan Mikail…. Semua sudah diatur
supaya kehidupan Anda baik-baik saja meskipun ayah Anda
bangkrut”
dia dapat tanpa sengaja, seperti rumah mungil itu yang bisa didapat ayahnya dengan harga yang sangat murah….
“Kami bahkan tahu bahwa Anda berencana membalas dendam atas kematian orang tua Anda,” wajah Norman
melembut melihat pipi Lana merona merah, lalu menatap
Lana dengan menyesal, “Kematian orang tua Anda juga
mengejutkan kami, Lana. Percayalah, tuan Mikail
terkejut atas hal itu. Dia memang terkenal kejam dan jahat tapi yang
pasti dia tidak pernah bermaksud melukai orang yang lemah. Dia sudah
berusaha membantu ayah Anda – demi Anda,”
Norman menekankan kata-katanya, “Semua yang terjadi bukan kesalahan Tuan Mikail”
Lana merasa malu. Bagaimana lagi? Perasaan itulah yang sekarang menyergapnya. Jika kata-kata Norman ini benar… dan sepertinya memang semua adalah kebenaran.. maka Lana harus merasa malu,
Semua dendamnya selama ini, pemikirannya selama ini,
kemarahannya selama ini, dan kebenciannya semua ini, semuanya dibangun
atas persepsi yang benar-benar salah. Dan Mikail bahkan
tidak pernah membela diri dengan segala cacian, makian, dan tuduhannya.
Kenapa Mikail tidak pernah membela diri dan membiarkannya makin liar
dengan emosi
dan kemarahan membabi butanya?
“Sebentar lagi ulang tahun Anda… sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani oleh ayah Anda… Mikail akan memperisteri Anda”
Lana membelalakkan matanya. Apakah Mikail masih menganggap perjanjian bertahun-tahun
lalu itu dengan serius? Tetapi perjanjian itu melibatkan uang yang
tidak sedikit, yang diberikan MIkail kepada ayahnya dan kemudian disia-siakan begitu saja. Kalaupun Lana menolak Mikail, maka dia menanggung hutang yang sangat besar kepada lelaki itu.
“Apakah… apakah Mikail menyuruh Anda mengatakan semua ini kepada saya…?”
Norman langsung menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan Lana itu,
“Tidak. Tidak ada satupun perintah dari Tuan Mikail kepada
saya untuk menceritakan ini semua, bahkan Tuan Mikail
berkesan merahasiakan semua ini dari Anda,” Norman tersenyum, “Saya hanya memikirkan cara-cara
Tuan Mikail, mengingat wataknya, beliau tidak akan menjelaskan apapun
kepada Anda. Mungkin beliau akan menculik Anda lagi dan memaksakan
pernikahannya dengan Anda, saya hanya menyiapkan Anda kalau itu benar-benar terjadi”
Lana mengernyit, “Mengingat selama ini dia selalu
memaksakan kehendaknya, aku yakin dia akan melakukannya… jadi dia
membebaskanku hanya sementara?”
Norman mengangguk, minta permakluman, “Semoga Anda bisa menghilangkan semua dendam yang tidak perlu. Yang pasti -saya bisa menjamin itu-Tuan Mikail benar-benar
peduli kepada Anda. Perlu Anda tahu, Tuan Mikail
benarbenar serius ingin menikahi anda, beliau saat ini berada di Italia,
mengunjungi makam nyonya Natasha.
Meminta izin kepada isterinya. Lana memejamkan matanya pedih. Setelah dendam itu menghilang, yang ada di dadanya
hanyalah kekosongan yang perih… kekosongan yang menyesakkan dadanya…. Hampir seperti… patah hati.
***
Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Lana sudah tahu
hari ini akan tiba. Entah kenapa dia tahu, bahwa Mikail akan datang
menjemputnya dan merenggutnya kembali, dan jantungnya berdegup kencang.
Ketukan di pintu rumahnya membuatnya terlonjak, meskipun Lana sudah mengantisipasinya. Dan ketika membuka pintu,
Lana bertatapan wajah dengan Mikail. Lelaki itu
tampak luar biasa tampan, bahkan lebih tampan dari terakhir mereka
bertemu. Mengenakan kaca mata hitam dan kemeja biru berlapis jacket
khaki dan celana yang senada, dengan
rambut cokelatnya yang acak-acakan. Dia seperti malaikat yang diturunkan di depan pintu Lana.
“Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan,” Lana berkata,
mencoba mencari-cari mata Mikail, tetapi kesulitan karena kacamata hitam itu menghalanginya.
Mikail terdiam, “Aku tahu kalau kamu tahu, Norman
menceritakan pertemuan kalian,” Lelaki itu menoleh ke belakang Lana,
“Bolehkah aku masuk?”
***
BAB 13
Lana mundur dengan tidak nyaman. Membiarkan Mikail
Raveno masuk ke rumahnya sama seperti membiarkan iblis menguasai
kehidupannya. Tetapi tidak ada pilihan lain. Mereka harus berbicara,
panjang lebar. Dan mereka tidak mungkin berbicara di ambang pintu
seperti ini.
Lana memiringkan tubuhnya mempersilahkan Mikail masuk
ke rumahnya yang mungil tetapi indah itu. Mikail
langsung duduk di sofa cokelat itu, tampak nyaman, kemudian melepaskan
kacamata hitamnya dan meletakkan di meja,
“Apa yang kau rencanakan di hari ulang tahunmu?,” Mikail
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
“Tidak ada,” Lana punya cheese cake strawberry di kulkasnya. Tapi itu untuk dia makan sendiri nanti malam.
Tanpa gangguan Mikail.
Mikail menatap Lana seolah mengukur-ukur,
“Aku bisa mengadakan pesta untukmu”
“Aku tidak butuh pesta darimu”
“Hmm,” Lelaki itu mendesah, lalu ketika menatap Lana, tatapannya berubah serius, “Kau tahu kan kenapa aku kemari?”
Lana mengangguk, “Dan sebelum kau katakan maksudmu, aku ingin membuat penawaran baru untukmu”
“Penawaran?,” Mikail mengangkat alisnya, “Oke jelaskan”
“Aku akan mengembalikan semua uang yang pernah kau berikan kepada ayahku”
“Lana,” Mikail terkekeh, “Utang itu begitu besar hingga kau
mungkin hanya bisa menggantinya dengan tubuhmu. Tidak.
Aku menolak penawaranmu. Dan kau…,” mata Mikail
berubah sensual, “Kau akan menjadi isteriku sebentar lagi sesuai perjanjian”
***
“Aku bukan barang yang bisa dibeli seenaknya, dan kenapa
kau begitu santai?? Ini masalah pernikahan bukan jual beli
perusahaan”
“Aku hanya ingin kau menjadi isteriku,” Mikail bersedekap, menatap Lana yang mulai emosi, “Itu sudah kutetapkan sejak awal mula”
“Kenapa?,” Lana tidak bisa menahan suara tajam di lidahnya, “Karena kau ingin menjadikanku boneka pengganti Natasha?”
Wajah Mikail mengeras ketika Lana menyebut nama Natasha, bibirnya mengetat, “Jangan hubung-hubungkan dia dengan ini semua”
“Bagaimana aku bisa tidak menghubungkan?,” Lana sudah menahan diri, tetapi suaranya meninggi, “Semua ini karena
wajah ini, karena wajah yang sama dengan almarhumah
isterimu! Kau tidak bisa menganggapku sebagai penggantinya Mikail! Kami
orang yang berbeda, dan aku
menolak diperlakukan seperti itu!”
“Aku tahu kalian orang yang berbeda,” Mikail berdiri di depan Lana, siap berkonfrontasi, “Percayalah, aku benar-benar
tahu, karena gairah semacam ini, tidak pernah kurasakan
dengan siapapun!”
Lelaki itu meraih Lana ke pelukannya dan langsung mencium bibirnya. Dengan lembut. Tidak memaksa seperti biasa,
dengan pelan dia menguak bibir Lana, mencicipinya pelanpelan kemudian melumatnya lembut. Lidahnya menelusuri
seluruh bibir Lana dan kemudian bermain-main dengan lidah Lana, mencecapnya habis-habisan. Ketika akhirnya ciuman itu selesai mereka sama-sama terengah-engah,
“Apakah pada akhirnya kau mengakui kalau kau merindukanku?”
“Dalam mimpimu, Mikail Raveno,” Lana menjawab dengan ketus, membuat Mikail terkekeh geli.
“Kita adalah pasangan yang sangat cocok,” Mikail
mendekatkan tubuh Lana ke tubuhnya, dalam rangkuman
dadanya, “Kaitkan kakimu di kakiku”
Lana menatap Mikail dengan cemas, “Apa yang sedang kau coba lakukan Mikail?”
“Lakukan saja sayang,” jemari Mikail menyentuh paha Lana.
Mungkin sudah waktunya mereka berhenti berkata-kata dan berkomunikasi dengan bahasa nonverbal yang sudah sangat mereka kuasai.
Jemari Mikail membimbing agar paha Lana
melingkarinya, “Aku ingin menunjukkan padamu, bahwa kau tidak akan
diperlakukan sebagai boneka. Kau bukan boneka, boneka hanya untuk
dipajang di dalam rak. Aku ingin kau berada di tanganku, untuk disentuh,
dipuaskan dan dimiliki dengan
cara yang kusuka”
Lana terkesiap, merasakan jemari Mikail menyelusup ke balik roknya dan menyentuh bagian tubuhnya yang paling sensitif.
“Ya sayang… seperti ini… “, Mikail mendesah di telinga
Lana, ia menyelipkan satu jari dan mencumbu Lana, berusaha sepelan mungkin meski hasratnya sudah hampir menggelegak,
Lana terpekik dan mencengkram pundak Mikail dengan
erat. Mikail menunduk, tangannya yang bebas meraih tali atasan Lana dan
menurunkannya, untuk membuka jalannya ke payudara Lana. Saat tangan
Mikail menangkup payudaranya, Lana mengigit bibir Mikail,
“Menggigit, Lana?,” Mikail menyeringai, “Ck…ck…ck,” jari
Mikail bergerak lebih dalam lagi.
Gairah bercampur penentangan berkelebat di mata Lana
ketika menatap Mikail, “Kau akan membayar untuk semua ini, Mikail Raveno”
Mikail mulai mencium leher Lana, bertanya-tanya
apakah Lana tahu betapa menggairahkannya dirinya dengan bagian atas
kemejanya yang terbuka, menampilkan sebagian payudaranya yang begitu
indah. Rambutnya tergerai berantakan di bahu dan sebelah kakinya
melingkari pinggul Mikail dengan lembut. Mendadak Mikail tidak sanggup
menahan diri lagi.
Dan ia pun bercinta dengan Lana-nya yang cantik. Saat itu juga hingga mereka berdua sama-sama dibutakan oleh hasrat yang membara.
***
Mikail mengetatkan pelukannya ke punggung Lana yang
setengah tertidur, dipeluknya Lana yang masih lemas setelah orgasme yang
mereka lalui. Lana akan menjadi isterinya. Bahkan ketika Lana menolak
Mikail dengan kata-kata, Mikail tahu bahwa tubuh Lana tidak akan mampu menolaknya.
“Setelah ini apakah kau akan menerima lamaranku?”
Lana terdiam, memejamkan matanya dalam pelukan Mikail. Masih bertanya-tanya mengapa bercinta dengan seorang
pria berbaju lengkap sementara dirinya sendiri
telanjang bisa terasa begitu erotis. Walaupun sekarang ia tidak tahu
bagaimana mereka bisa berakhir di ranjang ini, di tempat tidur ini. Dia
sekarang telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya bertebaran
dari ruang tamu sampai
ke lantai di sebelah.
Mikail benar-benar serius dengan apa
yang dikatakannya. Ini akan menjadi pernikahan tanpa cinta. Lana
memejamkan matanya, setidaknya bukan dari dirinya.
Ketika mengetahui bahwa Mikail bukanlah penyebab
kematian kedua orangtuanya, perasaan Lana langsung terjun bebas, jatuh
ke dalam pesona Mikail yang begitu deras.
Lelaki ini luar biasa pandai bercinta, dan dia sudah
memiliki tubuh Lana. Kalaupun Lana menolak lamarannya, Lana yakin
Mikail tidak akan pernah melepaskannya, apalagi membiarkannya menjalin
hubungan dengan lelaki lain.
“Apakah kalau aku menolak kau akan memaksaku?,” Lana
menyuarakan pertanyaan di dalam pikirannya.
Hening sejenak, lalu Mikail mengusap punggung Lana dengan lembut,
“Mungkin,” lelaki itu menghela nafas panjang, “Lana. Aku
bukan lelaki baik, mungkin kita akan menghabiskan hari-hari kita dengan penuh pertengkaran dan meledak-ledak. Tapi
kau harus tahu satu hal, aku akan menjaga isteriku”
Ucapan itu bagaikan janji, yang diungkapkan di kegelapan kamar itu. Tetapi pertanyaan-pertanyaan
masih berkecamuk di benak Lana. Kalau kau tidak mencintaiku kenapa kau
ingin menikahiku? Bahkan Lana sudah tahu jawabannya. Karena wajahnya,
karena dia begitu mirip dengan kekasih sejati Mikail.
Kalau Lana mengambil resiko dengan menikahi Mikail, akankah suatu saat nanti Mikail akan benar-benar
memandang wajahnya dan mengakui bahwa itu Lana? Bukan Natasha? Akankah
suatu saat nanti Lana diakui sebagai suatu pribadi yang asli, bukan
pengganti dari
siapapun? Resikonya terlalu besar. Tetapi godaan untuk jatuh ke dalam pelukan iblis ini terlalu menarik untuk dilepaskan.
“Ya Mikail. Aku bersedia menjadi isterimu”
Mikail memejamkan matanya dan memeluk Lana erat, “Dan aku berjanji padamu, kau akan dijaga sebaik-baiknya.
Begitu saja lamaran itu, tanpa pernyataan cinta yang romantis, tanpa perasaan menggebu-gebu
yang biasanya dimiliki oleh pasangan yang terlibat romansa. Lana tidak
pernah membayangkan bahwa dia akan dilamar dengan cara seperti itu.
***
Pernikahan itu, karena dilaksanakan dengan gaya
Mikail Raveno, menjadi sebuah pesta pernikahan yang luar biasa mewah.
Segalanya yang terbaik. Gaun Lana didatangkan langsung dari Perancis,
makanannya yang paling enak, langsung dari restaurant milik Mikail. Perempuan-perempuan
menatapnya iri dan para lelaki memujinya karena pada akhirnya bisa
membuat Mikail Raveno berlabuh. Semua perempuan pasti memimpikan pesta
pernikahan yang seperti ini, pesta pernikahan yang bagaikan mimpi untuk
puteri di negeri dongeng.
Tetapi tidak dengan Lana. Tiba-tiba dia dihinggapi ketakutan yang diam-diam melandanya. Dia sekarang sudah menjadi
isteri Mikail Raveno. Tetapi bayang-bayang isteri Mikail
Raveno yang terdahulu, Natasha yang cantik, yang sebenarbenarnya ada di hati Mikail terasa menyesakkan dadanya.
Dan malam ini, di malam pernikahannya. Lana duduk di
tepi ranjang Mikail. Merasakan perasaan resah yang begitu mengganggu.
Apakah aku menyesali ini? Kenapa aku mau
saja dinikahi oleh lelaki arogan ini? Sebegitu besarkah pesona lelaki ini hingga membuatku rela hanya menjadi boneka pengganti?
Pintu terbuka dan Mikail masuk, lelaki itu masih memakai jas yang dipakainya untuk pesta meski dasinya sudah dilepas
dan kancing kemeja di bagian atasnya sudah dibuka.
“Kenapa dahimu berkerut?,” Mikail melepaskan jasnya
hanya mengenakan kemeja putih, lalu berdiri di depan Lana, ‘Kau sudah
berganti baju, hmm,” dengan lembut Mikail menghela pundak Lana supaya
berdiri menghadapnya, “Kau tampak
lelah, apakah kau ingin tidur atau..,” tatapan Mikail tampak
sensual.
Lana menatap Mikail dalam-dalam. Apakah hanya gairah yang ada di dalam benak lelaki ini. Bahkan sampai sekarangpun Lana masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya ada di dalam hati Mikail.
“Aku ingin membuat pengaturan,” Lana bergumam cepat, sebelum dia kehilangan keberaniannya, “Tentang pernikahan kita”
“Pengaturan?,” Mikail mengerutkan kening, tampak tidak senang, “Apa maksudmu?”
“Pengaturan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pernikahan kita”
Mata cokelat Mikail membara, “Kau isteriku Lana, dan aku berhak atasmu”.
“Kau bilang kau akan menghormatiku dalam pernikahan
ini,” Lana menatap Mikail tajam, “Kalau kau tidak mau berkompromi atas
pengaturanku ini aku ….”
“Apa? Kau akan melarikan diri lagi? Akan mogok makan lagi?,” Mikail melepaskan pegangannya dari Lana dengan
pahit.
Pipi Lana merona malu, tetapi dia menegarkan diri, “Aku
hanya ingin menetapkan beberapa hal yang membuatku
merasa aman”
“Oke,” desis Mikail, “Cepat katakan apa maumu dan aku
akan memilah mana yang bisa kuterima dan mana yang
tidak”
“Pertama, aku tidak mau dipaksa untuk bercinta denganmu kalau aku tidak mau… apalagi memakai obat itu”
Mikail mengangkat alisnya dan menatap Lana dengan sensual,
“Diterima. Lagipula sepertinya aku tidak membutuhkan obat itu lagi,” tambahnya penuh arti, membuat pipi Lana makin
merona.
“Kedua aku ingin hubungan yang saling menghormati, aku
akan menjaga kesetiaanku karena aku isterimu, dan aku mau kau juga”
Mikail terkekeh, “Diterima,” jemarinya menyentuh pipi Lana lembut, “Kau menjadi posesif kepadaku, eh?,” godanya.
Lana berusaha mengabaikan kalimat-kalimat Mikail yang menjurus itu,
“Ketiga, aku tidak mau dibelikan apapun tanpa persetujuanku,” masih teringat di pikiran Lana betapa banyaknya baju-baju yang dibelikan Mikail untuknya, belum lagi aksesoris dan perhiasan-perhiasan mahal yang dibeli Mikail seolah membeli sesuatu yang tidak berharga. Mikail harus belajar bahwa memperlakukan perempuan dengan
baik bukan berarti melimpahinya dengan harta dan benda.
“Ditolak,” tatapan Mikail menajam lagi, “Kau isteriku Lana, aku berhak membelikanmu apapun yang aku mau”
Lana mengernyit dan menantang mata Mikail, mereka saling bertatapan tajam sampai akhirnya Lana menyerah,
“Oke…kau boleh membelikan asal tidak berlebihan”
Mikail mengangkat bahunya. “Apakah ini sudah selesai?
Atau aku harus menunggu lebih lama untu berlanjut ke babak
selanjutnya?”
Pipi Lana merona dan menatap Mikail dengan waspada,
babak selanjutnya?
“Malam pertama kita,” Mikail mengucapkannya lambatlambat dengan nada yang sangat sensual hingga membuat
seluruh tubuh Lana menggelenyar, “Kau tidak berpikir aku akan melewatkannya kan?”
BAB 14
“Aku masih punya satu syarat lagi,” Lana tanpa sadar
melangkah menjauhi Mikail, “Aku ingin tinggal di kamar putih yang dulu…
kau.. eh bisa mengunjungiku kalau kau perlu sesuatu…”
“Cukup! Sekarang giliranku memberikan pengaturan untuk pernikahan kita!,” kesabaran Mikail tampaknya sudah habis,
lelaki itu meraih pinggang Lana dan merapatkan di tubuhnya membuat Lana merasakan tubuh Mikail yang mengeras di
sana, “Kau rasakan itu?,” Mikail menatap Lana, marah sekaligus bergairah, “Aku berniat untuk menjadikanmu
isteriku yang sesungguhnya. Bukan kekasih yang kukunjungi
jika aku perlu bercinta,” Jemari Mikail menuruni sisi lengan
Lana dengan sensual dan kemudian berhenti di sisi
payudaranya, meremasnya lembut, “Dan jika kita melakukan
itu, kita tidak akan tidur di kamar yang terpisah!”
Hening.
“Kenapa? Kau tidak suka dengan syarat dariku?,” Mikail
terus menahan payudara Lana dengan posesif. Lana
adalah isterinya, sekarang dia harus menerima seluruh dirinya, tidak
lagi berusaha menentangnya sekehendak hatinya. Pilihannya adalah mereka
suami isteri atau tidak sama sekali, “Jika kau tidak menyukainya, lebih
baik kita berhenti di sini sekarang
juga,” sambil berusaha menahan keposesifannya,
Mikail memperlembut tuntutannya, “Malam ini cukup sampai di sini kalau
kau tidak siap”
persyaratannya di depan Mikail dan Mikail
menghargainya, dan karena itu ia bersedia memberikan waktu sebanyak yang
diinginkan Lana.
Lana hanya terdiam di sana, menatap Mikail dengan
tatapan kosong. Astaga, apa sebenarnya yang ada di dalam kepala mungil
itu? Lana pasti sudah larut dalam persepsi dan pemikirannya sendiri.
Apalagi setelah dia mengetahui kisah tentang Natasha.
Mikail sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya.
Memang pada mulanya, dia menginginkan Lana karena kemiripannya dengan
Natasha. Tetapi sekarang, dia merasa Tuhan telah memberikannya
kesempatan kedua, dalam wujud
perempuan yang sangat mirip dengan Natasha. Tidak, dia tidak pernah membayangkan Natasha. Tidak lagi. Setelah malam-malam
kelam yang menghancurkan hati, yang dia lalui karena kematian Natasha
dulu, Natasha telah berubah menjadi bayang samar yang kadang hadir dalam
bentuk kenangan masa lalu yang indah. Mikail bahkan sudah
berhasil tidak memikirkan Natasha lagi sejak bertahun-tahun lalu.
Lana terasa… berbeda… tetapi bagaimana dia
menjelaskannya kepada Lana? Perempuan itu tidak akan percaya bahwa gairah yang meluap-luap ini memang murni untuk dirinya. Mikail menyadari bahwa ia menginginkan pernikahan yang nyata, bersama Lana.
Lana bagaikan malaikat yang menariknya dari
kegelapan. Hatinya yang kelam telah tersentuh secercah Matahari sejak
kehadiran Lana. Dan Mikail tidak ingin melepaskannya.
“Baiklah,” suara pelan terdengar dari bibir Lana, terdengar
enggan seolah-olah Lana tidak benar-benar setuju dengan
dominasi Mikail dalam hubungan ini. Dan itu membuat
Mikail senang, seorang isteri yang selalu setuju dengan pendapat
suaminya sama sekali tidak menyenangkan. Di dalam kehidupan pernikahan
yang nyata, terdapat banyak ketidaksepakatan, sebanyak kasih sayang,
tawa, maupun kesetiaan.
Mikail tersenyum dan menatap Lana dengan penuh
bergairah, “Apakah kau sudah siap untukku Lana?,” jemari
Mikail mengusap ujung payudara Lana dengan lembut.
“Aku…..,” sekujur tubuh Lana bergetar,
“Mungkin aku perlu memeriksanya dulu,” Mikail meluncurkan
sebelah tangannya dari payudara Lana, mengusap perut Lana yang basah dan terus bergerak turun. Dan karena kaki
Mikail, entah sejak kapan, berada di antara kakinya, Lana tidak bisa menghalangi niat Mikail kalaupun ia ingin.
Mikail bergerak perlahan-lahan, memperhatikan isyarat sekecil apapun kalau-kalau
Lana ingin berhenti. Di luar dugaan, Lana tidak menolaknya, tubuh
perempuan itu menyambutnya, membuat Mikail harus menggertakkan gigi
menahan hasratnya yang makin menggelegak.
Lana membiarkan jemari Mikail menyentuhnya. Tubuh
Lana begitu lembut, dan ia gemetar ketika Mikail menyentuh tubuhnya di
bagian yang paling sensitif , berusaha menemukan pusat dirinya. Ketika
akhirnya menemukannya, Mikail menggerakkan jemarinya dengan lembut.
Hanya sekedar menggoda. Lana mengerang, tubuhnya bergetar hebat. Tubuh
Mikail sendiri sudah menegang putus asa.
“Ya, kau memang sudah siap,” ucap Mikail sangat parau,
Lalu mendorong Lana terbaring di ranjangnya yang berseprai satin hitam.
Mikail mengangkat kedua tangan Lana, meskipun Lana
sedikit melawan. Sambil meletakkan kedua tangan Lana ke atas kepalanya,
Mikail bergerak menindih Lana. Lana menatap Mikail dengan liar, teringat
peristiwa yang mirip, ketika Mikail mengikat kedua tangan Lana di atas
kepala dengan dasinya, apakah Mikail akan mengikatnya lagi?
“Aku tidak perlu mengikatmu sayang,” Mikail melepaskan
tangan Lana dan mengecup bibirnya penuh gairah,
jemarinya menyentuh kembali payudara Lana, membuat seluruh tubuh Lana
menggelenyar,
“Mikail….,” tubuh Lana bergetar karena gairah,
“Betul sayang, ucapkan namaku,” Mikail bergeser turun dan
menunduk, lalu mengulum puncak payudara Lana dalam bibirnya yang panas.
Lana mengerang setengah meronta, “Mikail… please… please…”
Erangan itu membuat Mikail ingin menyerah kepada
Lana. Tubuhnya sendiri sudah sangat bergairah sampai terasa nyeri,
Tetapi ia tahu betapa pentingnya mencumbu Lana
sebelum bercinta dengannya. Setelah bercinta nanti,
ia pasti ingin mencicipi Lana, lagi dan lagi dan dia ingin isterinya
terus menginginkannya dengan hasrat yang sama besarnya.
Mikail menelusurkan tangannya ke bawah dan
mengangkat pinggul Lana. Lana melingkarkan kedua kakinya di tubuh
Mikail, mendekap Mikail ke tubuhnya, membuka diri,
“Belum, sayang,” Ketika Lana membuka bibirnya untuk
memprotes, Mikail menciumnya.
Karena bibir Lana telah terbuka, ciuman itu
berlangsung dengan sangat sensual. Mikail menggoda Lana dengan belaian
dan jilatan lidahnya dan kemudian mencicipi bibir Lana dengan sedikit
lebih dalam.
Kedua tangan Lana mencengkeram rambut Mikail, untuk sejenak Lana tampak ragu, tetapi kemudian lidahnya
membalas, membelai bibir Mikail dengan malu-malu dan hatihati. Mikail tidak dapat menahan diri lagi.
Ia sudah berada di dalam tubuh Lana sebelum mereka sempat menarik napas.
Lana merapat, berusaha agar mereka menyatu lebih dalam lagi. Mikail menahan diri, meskipun gairah membuat tubuhnya menegang,
“Cium aku sayang, cium aku seperti kau menginginkanku
untuk berada jauh di dalam dirimu, di dalam tempat yang
belum pernah didatangi oleh siapapun”
Lana merespon dengan malu-malu tetapi
tepat, tubuh Lana sedikit maju ke atas, lalu menangkup wajah Mikail
dengan kedua tangan dan menciumnya. Kelembutan sikap Lana mengguncang
Mikail, dan meruntuhkan segenap kendali dirinya.
Sambil menjalin jemarinya dengan jemari Lana, Mikail
mendesak lebih dalam. Api gairah berdesir di dalam tubuhnya,
mendesaknya untuk menandakan kepemilikannya pada diri Lana.
Sambil menggertakkan gigi untuk melawan godaan melakukannya dengan cepat, Mikail bergerak sedikit demi
sedikit ke dalam tubuh Lana. Sebagian dirinya yang benarbenar primitif menggeramkan kepemilikannya. Lana adalah
miliknya. Selamanya. Hanya dirinya yang boleh memiliki Lana.
Mikail meraih bibir Lana dengan ciuman rakus, dan
bergerak kembali dengan kekuatan penuh, bagi Lana kenikmatan yang
dirasakannya tak terlukiskan. Sementara bibir mereka bertautan, sebelah
tangan Mikail kembali bergerak ke payudara Lana, membelainya. Lana
hampir kehilangan kewarasannya akibat cumbuan itu dan dia berusaha
menahan dirinya,
“Lepaskan sayang, jangan menahan diri lagi,” Mikail seolah
mengerti apa yang dirasakan Lana, permintaan panas itu dibisikkan ke mulut Lana yang nyaris tenggelam dalam hasrat gairahnya.
Dan ketika jemari Mikail menyentuh sekujur tubuhnya,
Lana menyerahkan dirinya. Tubuhnya mendesak di tubuh Mikail sementara
gelombang kepuasan mendera tubuhnya.
Orgasme Lana menggiring Mikail hingga ke ambang
batas kesadarannya, ia mulai mempercepat iramanya dan merasakan dirinya
meledak, di dalam tubuh Lana. Terbenam dalam puncak kepuasannya.
***
Kehidupan perkawinan mereka berlangsung seperti yang
seharusnya. Setiap malam Mikail selalu menyentuhnya, gairahnya seperti
tak pernah habis.
Tetapi hanya itulah saat mereka bisa dekat. Lana mengernyit menyadari bahwa dia hanya bisa dekat dengan suaminya
ketika mereka bercinta. Mikail memang berubah menjadi
pribadi yang lebih baik, dia tidak pernah kasar dan memaksakan
kehendaknya lagi.
Lelaki itu hanya mengangkat alisnya ketika Lana mulai membantah kata-katanya, kemudian melangkah pergi. Memilih menghindari konfrontasi.
Pernikahan mereka sudah berlangsung hampir dua bulan
dan Lana masih merasakan ada yang mengganjal di
hatinya. Oh ya, dia menyadari bahwa landasan pernikahan ini sudah salah
dari awal. Hanya berlandaskan kontrak kerja yang dilapisi hasrat. Belum
lagi alasan yang tidak mau diakui Mikail, bahkan sampai sekarang ini :
bahwa Lana hanyalah pengganti Natasha.
Lana tidak pernah lagi mengunjungi sayap rumah yang menyimpan lukisan Natasha itu, dan Norman bahkan sudah
tidak pernah menyinggung tentang isteri pertama Mikail lagi. Lana curiga bahwa Mikail melarang Norman dan semua
orang di rumah ini membahasnya.
Karena Mikail sendiripun tampak tak pernah
menjelaskannya, Lana menjadi semakin bingung. Akan seperti apakah
pernikahan ini nantinya? Salahkah ia ketika menerima lamaran Mikail
waktu itu? Dan satu lagi pertanyaan yang mulai mengusik hatinya, apakah
ia mencintai Mikail?
Semakin Lana mencoba memikirkannya,
|
semakin kepalanya
|
|
terasa sakit. Ah, dia memang sering
|
merasa pusing akhirakhir
|
|
ini,
|
pusing yang aneh karena timbul
|
tenggelam tanpa
|
tahu
|
waktu.
|
“Lana?,” Mikail tiba-tiba sudah ada di depannya, “Kau kenapa?,” Lelaki itu mengernyit melihat Lana yang berjalan
Lana mencoba berdiri tegak, tetapi pusing kali ini benarbenar menyerangnya dengan kuat sehingga dia oleng.
Seketika itu juga Mikail langsung menangkapnya.
“Lana?,” Suara panik Mikail masih terdengar sebelum
semuanya ditelan dalam kegelapan.
***
“Nyonya Raveno hamil, selamat tuan,” dokter tua itu
menyalaminya dengan penuh semangat, “akhirnya ada calon penerus nama
Raveno yang akan terlahir”
Mikail pucat pasi. Dokter itu terus berceloteh
tentang kehamilan dan calon bayi mereka, tetapi yang ada di benak Mikail
hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang selama ini coba dia lupakan,
tetapi sekarang kembali datang menghampirinya.
Mikail menyuruh Norman mengantar kepergian dokter
itu, dan kemudian Norman kembali dan menatap Mikail dengan cemas. Lelaki
itu tentu tahu apa yang berkecamuk di dalam hati Mikail.
“Dia hamil,” Mikail mengulang pemberitahuan dokter tadi,
meskipun dia tahu Norman sudah mendengarnya, dia hanya ingin mengucapkannya supaya benar-benar yakin bahwa mimpi buruk itu ternyata telah menjadi nyata.
“Kondisi nyonya sangat sehat tuan…”
“Sehat katamu??,” Mikail membentak marah, “Dia tadi
pingsan di depanku, tampak pucat dan begitu lemah!” “Tetapi Nyonya Lana
tidak sama dengan…”
“Diam!,” Mikail menggeram marah, “Lana tidak boleh hamil!,”
serunya memutuskan.
***
Lana membuka matanya dalam cahaya temaram di kamar
Mikail. Yang ditemukan pertama kalinya adalah Mikail yang sedang duduk
muram di kursi samping ranjang, sepertinya lelaki itu sedang menunggunya
tersadar.
“Apa yang terjadi?,” tanya Lana lemah, memegang
kepalanya dan mengernyit, masih pusing.
Mikail menatapnya tajam, tampak tidak suka dengan pemandangan Lana yang mengernyit kesakitan.
“Kau hamil,” gumamnya datar.
“Oh,” Lana terkesiap, otomatis langsung memegang perutnya
dan menutupinya dengan gerakan melindungi.
Mikail mengikuti arah pandangan Lana dan ekspresi wajahnya mengeras.
“Kau harus menggugurkannya.”
Kali ini Lana benar-benar terkejut dengan kata-kata Mikail sampai hampir terduduk dari ranjang. Tetapi rasa pusing langsung menghantamnya, hingga dia terbaring lagi.
“Apa Mikail??,” Lana menatap Mikail tak percaya. Dia tahu
lelaki ini memang kejam. Tetapi meminta Lana
mengugurkan kandungannya, yang adalah darah dagingnya sendiri benarbenar
di luar dugaan.
“Aku tidak menginginkan anak itu, kau harus menggugurkannya”
***
BAB 15
“Tidak!,” Lana berseru. Seketika wajahnya pucat pasi,
tangannya langsung melindungi perutnya. Lana tidak
tahu bagaimana perempuan hamil, dia tidak punya pengalaman. Tetapi
begitu sadar bahwa ada bayi yang tumbuh dan berkembang di dalam
tubuhnya, Lana langsung tahu bahwa ada ikatan di antara mereka, bahwa
seorang ibu secara alami akan melindungi anaknya. “Kau harus membunuhku
dulu kalau kau berniat melaksanakan niatmu itu Mikail Raveno! Aku tidak
tahu kegilaan apa yang ada di dalam otakmu, tapi kau seharusnya malu.
Anak ini adalah darah dagingmu sendiri, dan kau berniat membunuhnya
bahkan
sebelum dia tumbuh!”
Mikail menatap Lana dengan pandangan kesakitan, “Aku
tidak bisa Lana, aku tidak bisa kalau kau hamil!,” lelaki itu
mengacak rambutnya dan berdiri menyeberangi ruangan,
menuangkan brandy untuknya dan meneguk cairan keras itu sekali teguk.
Ketika membanting gelasnya dan menatap Lana, matanya menyala-nyala, “Natasha….. dia sempat hamil kau tahu… kemudian keguguran…”
Lana tercekat ketika akhirnya topik itu dilepaskan oleh Mikail. Nama Natasha seakan tabu untuk diucapkan ketika Lana
masuk ke rumah ini sebagai Nyonya Raveno. Dan sekarang Mikail sendiriah yang mengangkat topik itu ke permukaan.
“Tetapi kondisiku dan Natasha berbeda, aku sehat-sehat saja…”
“Yang tidak orang lain ketahui adalah Natasha hamil
lagi setelah keguguran itu,” Mata Mikail nyalang, ingatannya kembali ke
masa lalu, seakan tidak menyadari ada Lana di
ruangan itu, “Aku tidak tahu bagaimana caranya dia
membuatku lengah dan hamil lagi. Demi Tuhan aku sudah
berusaha agar dia tidak hamil lagi, aku bahkan sudah membuat janji temu
dengan dokter untuk operasi vasektomi. Tapi Natasha berhasil hamil lagi
dan dengan keras kepala dia menyimpan rahasia itu dariku dan semua
orang. Takut kalau kami mengetahuinya dia akan meminta kami
menggugurkannya,” Nafas Mikail tercekat, “Ketika dia
meninggal seperti tidur di atas ranjang, dokter baru
mengetahui dan mengatakan padaku bahwa Natasha sudah hamil tiga bulan.
Kehamilannya itulah yang memperburuk
kondisinya dan membuatnya semakin lemah….. kehamilan itu yang membunuhnya!”
“Tapi aku tidak sama dengan Natasha, Mikail,” Lana
menyela, berusaha mengembalikan Mikail ke masa kini, “Aku sehat dan kuat
dan bayi ini tidak akan membebaniku”
“Aku tidak mau kau sakit karena kehamilanmu!,” Mikail
menyela marah, dan ketika menyadari wajah Lana memucat karena suaranya yang meninggi, MIkail memperlembut
suaranya, tatapannya memohon, “Aku minta padamu Lana,
gugurkan bayi itu. Tidak akan pernah ada bayi di rumah ini, tidak akan pernah ada bayi di pernikahan kita. Aku tidak
menginginkan bayi”
***
Dada Lana bergemuruh oleh perasaan yang bercampur
aduk, teganya Mikail dan betapa egoisnya dia! Betapapun Mikail merasakan
trauma dan ketidaksukaan yang mendalam
atas kehamilan Lana, seharusnya lelaki itu sadar
kalau yang ada di perut Lana ini adalah darah dagingnya, anaknya!
Sebegitu tidak berharganyakah Lana di mata Mikail sehingga dia harus
mengorbankan janin yang dikandungnya atas
nama kenangan Mikail kepada Natasha?
“Tidak Mikail,” Lana menegakkan dagu, menahankan sakit hatinya yang meluap-luap. “Aku tidak akan pernah mengugurkan bayi ini apapapun alasannya, meskipun kau
hanya menganggapnya sampah…,” Lana menatap Mikail
dengan tatapan terluka yang dalam, “Meskipun kau melupakan fakta bahwa
dia ada karena dirimu juga…dia
adalah anakku, dan sekarang dia bertumbuh di dalam diriku. Seperti yang kubilang kepadamu tadi, kalau kau
memaksakan kehendakmu kepadaku, kalau aku sampai kehilangan anak ini karena kesengajaanmu, maka yang kau
dapatkan adalah kematianku”
Mikail tertegun mendengar ancaman Lana itu, dia menatap Lana dan menyadari perempuan itu terluka. Mikail terlalu terburu-buru mengucapkan isi hatinya, dan itu melukai Lana. Dengan frustrasi diacaknya rambutnya setengah marah,
“Dengar Lana, jangan kekanak-kanakan, kalau kau hanya ingin menentangku…”
“Aku tidak ingin menentangmu!,” Lana setengah berteriak, kali ini emosinya pecah dan berderai, “Aku tidak peduli
perasaanmu atas masa lalumu dengan Natasha, tetapi
aku sekarang ada di sini, hidup dan bernafas saat ini. Dan kau memaksaku
untuk menggugurkan anakku! Menurutmu apa
yang harus kulakukan selain melindungi anakku sekuat tenaga? Anakmu juga!!”
Anakmu juga. Kata-kata itu terasa menusuk dada Mikail
hingga membuatnya mengernyit. Anaknya juga…. Tetapi
anak itu bisa menjadi pembunuh, Mikail pernah mengalaminya sekali. Dan jika dia harus mengalaminya
lagi…
“Mungkin nanti kau akan berubah pikiran”
“Tidak akan Mikail.” Lana menyentuh kepalanya yang mulai
Dan Mikail menatapnya dengan cemas, “Apakah kau pusing lagi?”
“Ya,” Lana mengerang dan memijit kepalanya.
“Aku akan mengambilkanmu air,” Mikail menuang air itu ke
dalam gelas dan duduk ditepi ranjang, lalu menyerahkan
gelas itu kepada Lana, “Ini… minumlah”
Lana menerima gelas itu dan meneguknya. Setelah selesai Mikail meletakkan gelas itu kembali di tepi ranjang.
Mereka diam di sana dalam keheningan, saling
bertatapan. Biasanya suasana tidak secanggung ini. Biasanya setiap malam
Mikail langsung mengajaknya masuk kamar dengan bergairah yang berlanjut
dengan percintaan yang luar biasa dan mereka langsung tertidur sampai
pagi. Tetapi sekarang keadaan berbeda. Mikail tidak bisa memecahkan
keheningan dengan bercinta. Dan pembicaraan tadi ternyata telah menguras
emosi mereka berdua.
Mikail menatap ke sisi tempat tidur yang kosong. Sisi miliknya. Dan tiba-tiba
merasa lelah. Lana menggeser tubuhnya memudahkan MIkail untuk
berbaring. Lelaki itu berbaring di sebelahnya dengan tenang tanpa suara,
hanya suara berdesir kain yang bergesekan.
Lama mereka berdua berbaring dengan mata yang nyalang, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Sampai akhirnya mereka lelap tertelan tidur.
***
Pagi harinya suasana begitu dingin, Mikail seolah
tidak mau membahas percakapan mereka semalam, tetapi walaupun begitu,
Lana tetap waspada. Mengingat sifat Mikail, tidak menutup kemungkinan
lelaki itu akan melakukan segala cara untuk melaksanakan keinginannya.
Dengan memasukkan
obat penggugur di minumannya misalnya, siapa yang
tahu? Mengingat lelaki itu pernah membiarkan minumannya dicampuri obat
oleh Norman.
Lana mengelus perutnya dan mengernyit sedih,
meskipun bayi ini tidak diinginkan oleh ayahnya, meskipun perasaannya
sekarang terluka karena Mikail lebih mementingkan kenangannya akan
Natasha daripada dirinya yang sekarang ada dan hidup di depannya, Lana
harus berusaha tegar dan kuat, demi anak ini.
“Anda akan mempertahankan anak itu kan?,” suara Norman
menyentakkan Lana dari lamunannya. Lelaki itu sedang memasuki ruangan yang sama dengan Lana.
Lana menatap Norman dan mencoba tersenyum, Norman
sangat baik dan sopan padanya ketika dia memasuki rumah ini. Norman
pulalah yang menjelaskan kepadanya kebenaran dan merubah semua
pandangannya akan Mikail.
“Aku akan menjaganya dengan nyawaku. Kau harus
berhadapan denganku dulu kalau kau ingin mencelakai anak
ini”
Senyum terukir di bibir Norman, “Tidak nyonya, Tuan Mikail
tidak pernah menyuruh saya mencelakai anak itu. Bahkan jika tuan Mikail menyuruhpun, saya akan menolak, anak itu
adalah keturunan Raveno yang harus saya hormati pula”
Kelegaan meliputi hati Lana, setidaknya ada orang yang mau membela anaknya. Kemudian Lana menatap Norman
dengan ragu,
“Apakah kau tahu bahwa Natasha meninggal karena dia mencoba mengandung untuk kedua kalinya?”
Noman menatap Lana hati-hati dan
menganggukkan kepalanya, “Saya tahu, setelah kematian nyonya Natasha.
Hal itulah yang menghancurkan Tuan Mikail, bahwa dia sebenarnya
berkontribusi dalam kematian Nyonya Natasha. Nyonya Natasha bisa hidup
lebih lama seandainya tidak hamil….,” Norman menghela nafas panjang dan
menatap Lana lembut, “Saya harap Anda memahami perasaan Tuan Mikail”
“Dia selalu menganggapku sebagai pengganti Natasha,
dia menganggapku sama seperti Natasha,” Lana memejamkan matanya pedih,
“Anak ini anaknya, tetapi dia menyuruhku mengugurkannya,”
Norman menatap perut Lana dan tatapannya melembut di
sana, “Saya yakin Tuan Mikail tidak pernah menganggap
Anda sebagai pengganti Nyonya Natasha. Jika dia hanya
menganggap Anda sebagai boneka pengganti, dia tidak akan menunjukkan
emosinya kepada Anda. Anda tidak akan diperlakukan olehnya dengan begitu
hormat, yang bisa saya katakan, apa yang dilakukan Tuan Mikail adalah
karena dia peduli kepada Anda?
Peduli kepadanya?? Bagaimana bisa?? Mikail menyuruhnya menggugurkan anaknya. Bagaimana bisa itu disebut kepedulian?
“Tuan Mikail menginginkan anak itu digugurkan karena dia
mencemaskan keselamatan Anda. Dia takut Anda akan
celaka dan meninggal seperti Natasha, dia takut kehilangan
Anda”
Lana menatap Norman dengan tak percaya, “Dia tak mungkin takut kehilanganku”
“Percayalah kepada saya,” Norman tersenyum lembut. “Tuan
Mikail memang tidak pernah pandai menunjukkan
perasaannya, tetapi kalau memperhatikan Anda akan tahu,”
Norman membungkukkan tubuhnya, lalu berpamitan dan meninggalkan Lana dalam keheningan.
***
“Apakah kau sudah berubah pikiran tentang usulanmu semalam?,” Lana menatap Mikail yang baru saja memasuki
kamar, tidak biasanya Mikail memasuki kamar sedemikian larut, dan lelaki itu tampak lelah.
Mikail menatap Lana sekilas, lalu melepas pakaiannya
dan masuk ke kamar mandi, ketika keluar dari sana, lelaki itu tampak
segar dengan piyama hitamnya,
“Aku tidak mau membahasnya lalu membuatmu marahmarah sepanjang malam,” dengan kasar Mikail
menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah, kemudian
melempar handuk itu dan menatap Lana, “Kau pasti akan keras kepala dan
tetap pada pendirianmu, mempertahankan
anak itu”
“Tentu saja, aku tidak akan menerima kemauan konyolmu untuk menggugurkan anak ini karena anak ini tidak bersalah”
“Kita akan berdebat lagi malam ini ya,” Mikail
mendesah lelah, “Aku lelah Lana, yang aku tahu, anak ini akan melukaimu
lalu membunuhmu”
“Mikail,” seru Lana setengah marah, “Dia hanya janin kecil yang tidak berdaya!”
“Oke!,” lelaki itu membentak, tampak tak tahan dengan
semua perdebatan mereka, “Silahkan, lanjutkan kehamilanmu itu…
tetapi..,” mata Mikail menajam, “Kalau
sampai kau kenapa-kenapa gara-gara kehamilan ini, aku
tidak akan berkompromi”
Mikail mengalah. Lana terpana, sebelumnya MIkail
tidak pernah mengalah secepat itu. Lana tadi sudah mempersiapkan argumen
yang panjang, pembelaan mati
matian, bahkan ancaman putus asa menyangkut kehamilannya ini. Dan Mikail semudah itu mengalah kepadanya.
“Kenapa?,” Mikail menatap Lana marah, tampak tak nyaman
dengan tatapan takjub Lana,
Lana langsung mengalihkan pandangannya dengan pipi merona, “Tidak-tidak ada apa-apa”
“Tetapi aku punya satu syarat,” gumam Mikail tenang,
Lana terkesiap dan menatap Mikail waspada, dan reaksi itu membuat Mikail menahan tawanya.
“Tenang Lana, kau tegang seperti senar yang akan putus,
aku tidak sedang akan menjatuhkan bom ke kepalamu” “Apa syaratmu?”
Pandangan Mikail berubah sensual, “Aku tidak mau kehamilan itu menggangguku jika aku menginginkanmu”
Pipi Lana memerah, tersipu sekaligus marah atas kata-kata egois Mikail. Jangan-jangan itu adalah salah satu usaha
Mikail mengganggu kehamilannya…
“Baik,” Lana mendongakkan kepalanya, mencoba
terlihat menantang, “Asalkan kau melakukannya dengan lembut dan tidak
melukai bayiku”
Mikail hanya menganggukkan kepalanya, ketika dia akhirnya
menatap Lana, matanya menyala dengan sensual, “Apakah kau masih pusing seperti semalam?”
Lana tidak pusing lagi. Tetapi kearoganan Mikail yang tersirat itu membuatnya ingin menantangnya. Mikail pasti akan
bercinta dengannya ketika Lana sudah tidak pusing. Dan Lana tidak akan bisa. Tidak akan mampu menolak pesona gairah Mikail.
Dengan berpura-pura dia memegang kepalanya, mengernyit,
“Sebenarnya aku masih pusing”
“Benarkah?,” Mikail menatapnya tajam bercampur
kecemasan, “Kau sudah minum obat penambah darah dari dokter? Mereka
bilang kau kurang darah”
“Sudah…,” sedikit geli Lana melirik Mikail, tetap berusaha
berakting kesakitan.
Lelaki itu menatap Lana lama dan intens, tampak
menggertakkan gigi. Semula Lana bingung kenapa, tetapi ketika dia
melirik ke bawah, dia menyadari bahwa Mikail sudah siap, keras, dan
bergairah di sana.
Lelaki itu sudah begitu bergairah, dan Lana tinggal
bilang ya, lalu mereka akan bercinta di ranjang dengan penuh gairah
seperti biasa… tetapi tidak! Lana tidak akan membuat itu begitu mudah
bagi Mikail, Lana ingin menghukum Mikail
karena hatinya masih sakit atas usulan Mikail untuk menggugurkan kandungannya.
“Aku pusing sekali,” Lana sengaja membuat suaranya terdengar lemah, “Aku mau tidur,” Dengan gerakan sakit dibuat-buat Lana mengangkat selimut ke bahunya dan membuat posisi tidur yang nyaman.
Mikail hanya berdiri sejenak di tengah ruangan itu
dan menatap Lana. Dia sudah dua hari tak bercinta dengan isterinya itu.
Biasanya setiap hari. Dan itu semua karena kehamilan itu. Tapi mau
bagaimana? Dia tidak mungkin memaksa Lana yang sedang sakit kan?
Sedikit mendesah, merasakan kejantanannya yang begitu keras sampai terasa nyeri. Mikail melangkah ke ranjang dan
membaringkan diri, tetapi Sialan! Dia tidak bisa tidur, gairah terlalu menggelegak di dalam dirinya, meminta dipuaskan.
“Mikail,” suara Lana menggugah penyiksaan yang
dialaminya.
“Apa Lana?,” Mikail menjawab kasar.
“Aku… aku pusing…, maukah kau memijit kepala dan pundakku?”
***
BAB 16
Mata Mikail menyala ketika menatap mata Lana.
Perempuan ini menatapnya tanpa dosa. Tidakkah dia tahu bahwa
permintaannya ini menambah penderitaan Mikail? Memijit Lana? Dalam
kondisi bergairah dan ingin dipuaskan seperti ini? Bagaimana Mikail bisa
menahan diri, ketika jemarinya menyentuh kelembutan kulit Lana di
tangannya?
“Oke, berbaliklah,” Mikail menggeram lagi. Lana tidak pernah
meminta tolong kepadanya, dan kalau Lana melakukannya, itu berarti Lana benar-benar kesakitan.
Jemari Mikail bergerak menyentuh kepala Lana, ke
helaian rambut seperti sutera yang terasa lembut di jemarinya. Helaian
itu biasanya adalah tempat Mikail menenggelamkan kepalanya ketika dia
mencapai orgasmenya yang luar biasa
nikmat di atas tubuh isterinya…. Sial! Jangan pikirkan tentang itu, Man!
Mikail memijit dan seolah belum cukup siksaannya,
selama proses itu, Lana terus menerus mendesah keenakan karena pijatan
Mikail. Bahkan kadang mengerang, persis seperti erangannya ketika Mikail
mencumbunya, dan itu luar biasa menyiksanya. Kejantanan Mikail sudah berdenyut-denyut, dan Mikail merasa dirinya hampir meledak karena gairah, gairahnya kepada Lana.
“Sudah cukup?”
“Aku masih sedikit pusing di sisi ini,” Lana memiringkan
kepalanya, memamerkan pundaknya yang hangat dan halus, membuat Mikail ingin mengigit lembut di bagian lunak di
sebelah sana…
Sial. Sial. Sial! Sambil terus memijit Lana, Mikail
menyumpah terus menerus dalam hati, Kemudian ketika Lana tampak santai,
Mikail melepaskan pijitannya dengan hati-hati.
Bagus. Lana sudah tertidur. Sekarang mungkin dia
akan mandi dengan air dingin, kalau tidak dia akan terbakar semalaman di
atas ranjang ini. Menderita karena tak
terpuaskan. Dengan tak kalah hati-hati, Mikail bergerak turun dari ranjang, hendak melangkah ke kamar mandi.
“Mikail”
Hampir saja Mikail mengerang mendengar panggilan Lana,
“Apa Lana?,” desis Mikail serak
“Sekarang aku sudah tak pusing lagi”
Hening.
Mikail tertegun sejenak, kemudian menyadari arti kata-kata Lana, dia langsung membaringkan kembali tubuhnya di ranjang, sepenuh gairahnya.
“Bagus,” bisiknya parau lalu membalikkan tubuh Lana dan
melumat bibirnya tanpa ampun, Gairahnya yang
menggelegak tidak ditahan-tahannya lagi, Mikail menyentuh Lana di mana-mana,
menikmati kepemilikannya atas tubuh isterinya, menikmati betapa tubuh
Lana yang lembut dan hangat itu menggelenyar di setiap sentuhannya.
Payudara Lana tampak lebih berisi, mungkin karena
kehamilannya. Ketika akan menyentuhnya seperti biasanya, Mikail tertegun
dan menatap Lana,
“Apakah aku akan menyakitimu?”
Lana tersenyum meminta pengertian, “Sedikit nyeri di bagian situ,” desahnya.
Mikail tidak mengatakan apa-apa, lelaki
itu hanya mengecup ujung payudaranya, lalu mamainkannya dengan lidahnya
lembut, tangannya menelusur ke bawah dan menyentuh
pusat kewanitaan Lana, menemukan bahwa Lana sudah siap dan bergairah untuknya,
Dengan menahan dirinya, Mikail menindih Lana dan menyatukan tubuhnya, berusaha menahan diri supaya berhati-hati, karena isterinya ini sedang hamil, Ya ampun!
Tubuh mereka menyatu, dan Mikail bergerak selembut yang dia bisa. Tetapi gairah menyala-nyala
di seluruh aliran darahnya ketika akhirnya Lana mencapai orgasme,
membawanya juga terjun bebas dalam jurang kepuasan yang dalam.
***
Hubungan mereka membaik kembali meskipun sedikit
kaku. Dan semakin bertambahnya usia kehamilannya. Lana menyadari bahwa
dia menyayangi suaminya. Ya, Lana menyadarinya ketika dia merindukan
Mikail saat lelaki itu tidak ada di sisinya. Astaga… merindukan Mikail
Raveno adalah hal terakhir yang ada di pikiran Lana, tetapi itu memang
terjadi.
Sembilan bulan telah berlalu, sekarang perut Lana sudah benar-benar buncit dan gerakannya lamban. Lana bahkan sudah tidak bisa melihat lututnya sendiri karena terhalang perutnya.
Dengan lembut Lana mengusap perutnya, mungkin karena
anak ini, mungkin juga karena perubahan hormon. Lana
tidak tahu, yang pasti setiap dia ada di dekat Mikail, perasaannya
menjadi hangat.
Oh, Mikail tidak berubah. Masih sama, begitu dingin, kaku, dan menakutkan bagi para pegawai dan rekan-rekan
kerjanya, sekaligus begitu penuh kasih sayang di ranjang. Gaya bercinta
Mikail berubah sejak Lana hamil,, bahkan ketika usia kehamilan Lana
beranjak makin tua, lelaki itu tidak menyentuh Lana lagi. Dia hanya
mengusap lembut rambut Lana sebelum tidur. Dan meskipun masih belum
kelihatan bisa menerima kehamilan Lana, setidaknya Mikail terlihat
mencoba berkompromi.
Benarkah Mikail sebenarnya mencemaskannya? Benarkah
Mikail sebenarnya tidak menganggapnya sebagai boneka pengganti Natasha?
Lana tidak tahu. Memikirkan itu semua membuat dadanya terasa sesak.
Teringat akan sikap Mikail selama kehamilannya. Lelaki itu memang
bersikap lembut dan baik kepadanya, tetapi lelaki itu selalu berpura-pura bahwa kehamilan Lana tidak ada.
Lana tahu Mikail seperti memperhatikannya. Pernah di suatu siang, ketika Lana membawa buku-buku
yang berat untuk dibawa ke kamarnya, dari sekelebat matanya, Lana tahu
bahwa Mikail sudah akan berdiri untuk membantunya mengangkat buku-buku itu, tetapi tertahan karena Norman sudah membantunya duluan. Pernah juga Lana membaca
buku tentang kehamilan dan persalinan di ranjang, tetapi Mikail bahkan tidak mau meliriknya dan berpura-pura tidur. Lana juga teringat ketika usia kandungannya lima bulan, Mikail pernah memeluknya dalam tidur, mereka bercumbu
siap bercinta, kemudian bayi itu menendang. Terasa
kencang hingga menohok ke perut Mikail. Mikail langsung mundur, mengucapkan berbagai alasan dan beranjak pergi.
Sebegitu paranoidkah Mikail dengan kehamilannya?
Sebegitu takutkah Mikail dengan bayi ini? Bukankah keberhasilan Lana
mengandung bayi ini hingga usia sembilan bulan tanpa permasalahan yang
berarti sebenarnya sudah bisa membuktikan kepada Mikail bahwa Lana
adalah calon ibu yang kuat dan sehat?
“Padahal kau tidak tahu apa-apa, Nak,” Lana mengusap perutnya dengan sayang, “Maafkan ayahmu yang konyol itu”
“Nyonya, ada yang ingin bertemu,” Norman tiba-tiba muncul di pintu, mengalihkan Lana dari lamunannya.
Serena muncul di belakang Norman, menggendong anak
kecil yang begitu tampan, mungkin baru berusia dua tahun. Anak itu seperti malaikat dengan mata biru pucatnya yang menyala-nyala, mata Damian,
“Aku dengar tanggal kelahiran pangeran kecil ini
sudah dekat, dua minggu lagi ya?,” Serena masuk, meletakkan Romeo dengan
lembut di sofa dan memeluk Lana. Sejak pernikahannya dengan Mikail,
Lana bersahabat erat dengan Serena, dan Mikail membiarkannya karena
memang Serena adalah satu-satunya teman Lana.
“Bagaimana kondisimu sayang?,” mereka duduk di sofa,
yang terlihat membuncit, “Kau harus banyak istirahat dan
menjaga diri, awal-awal kehamilan adalah saat-saat yang
paling penting”
Lana menganggukkan kepalanya dan tersenyum, “Semoga
anak ini kuat, aku hanya merasa pusing-pusing dan mual
setiap saat’
Serena tertawa, “Aku juga merasakan hal yang sama ketika
mengandung Romeo, tapi di awal kehamilan bukan di akhir
kehamilan,” dengan sayang dia melirik putera pertamanya
yang sekarang sudah melompat dari sofa dan asyik bermainmain di karpet dengan balok-balok yang dibawanya dari
rumah, “Rahasianya ada pada teh mint dan biskuit asin,
makan itu setiap bangun pagi dan kau akan bisa mengatasi
morning sickmu”
“Terima kasih Serena,” Lana menyentuh lengan Serena, benar-benar tulus dengan ucapannya. Berhari-hari
dilewatkannya bersama Mikail yang selalu bersikap bahwa bayi itu tak
pernah ada di perut Lana, kini rasanya begitu menyenangkan bisa bercakap-cakap berbagi keluhannya dengan teman yang mengerti dirinya.
Serena menatap Lana prihatin, “Bagaimana dengan Mikail?,”
Serena tahu kisah tentang Natasha tentu saja.
Lana mendesah,
“Dia bersikap seolah-olah anak ini tidak
ada…. Dan dia… tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa dia menyayangi
aku.. aku jadi tidak yakin apakah aku hanya pengganti
Natasha atau..”
“Lana….,” Serena menyela dengan lembut, “Kadang-kadang ada laki-laki yang tidak bisa mengungkapkan cinta dengan kata-kata. Kau sendiri, pernahkah kau mengungkapkan cinta kepada Mikail?
“Tidak mungkin! Dia akan menggilasku begitu saja kalau aku mengatakannya,” pipi Lana merah padam.
Serena tersenyum, “Dan apakah kau mencintai suamimu, Lana?’
“Aku tidak tahu,” Lana memegang pipinya yang mulai terasa panas, “Perasaanku berubah,,,, dulu aku begitu
membencinya, tetapi kemudian aku dihadapkan pada kenyataan demi kenyataan, bahwa dia bukan seperti yang
aku kira… Lalu aku memandangnya dengan lebih baik…
sekarang bahkan aku merindukannya ketika dia tidak ada,
apakah itu cinta, Serena?’
Senyum Serena melembut, “Aku pernah ada di posisi di saat aku bertanya-tanya
tentang perasaanku, rasanya memang membingungkan Lana. Kuharap kau
menyadari perasaanmu terlebih dahulu sebelum kau meminta Mikail
menjelaskan perasaannya".
Lana menganggukkan kepalanya, kemudian serangan kram
itu datang. Hanya sekejap seperti hantaman yang begitu keras. Ketika
Lana menggerakkan tubuhnya, hantaman itu terasa lagi. Lebih keras dan
menyakitkan. Lalu dia merasakan basah, basah yang aneh.
Dia mendengar suara Serena yang terkesiap, dan mengikuti
arah pandangan Serena, ke tengah pahanya….. di sana,
merembes darah yang banyak menembus pakaiannya.
Wajahnya pucat pasi, apakah bayinya akan lahir lebih
cepat dari tanggal perkiraan? Tetapi setahu Lana proses kelahiran bayi
tidaklah seperti ini, biasanya didahului dengan air
ketuban yang pecah atau keluarnya darah…tapi bukan
pendarahan seperti ini.
Ketika merasakan hantaman rasa sakit yang terus
menerus memukulnya, Lana mengernyitkan matanya, darah itu terus
mengucur, terus, dan terus hingga membasahi roknya. Ada sesuatu yang
salah di sini!
“Oh Tuhan, Lana, aku harus memanggil ambulance…”
Norman langsung datang dengan sigap, begitu pula para
pelayan, tetapi ketika kesakitan yang begitu kuat menghantamnya untuk
kesekian kalinya, Lana tidak kuat. Kegelapan langsung menelannya,
membuatnya tak sadarkan diri.
***
Ketika Mikail menerima telepon itu, dia sedang
berada ditengah meeting penting. Dia langsung melupakan semuanya dan
meluncur secepat dia bisa ke rumah sakit tempat Lana katanya dibawa.
Terengah Mikail berlari ke ruang gawat darurat dan hampir bertabrakan dengan Norman.
Napas Mikail terengah dan menatap Norman yang tampak
pucat dan cemas, Mikail melihat darah. Darah di lengan dan baju Norman
yang kebetulan berwarna putih,
“Kenapa ada darah di bajumu,” suara Mikail bergetar,
menahan perasaan cemas yang mulai menggelegak.
“Nyonya… nyonya pendarahan.. saya menggendongnya…”
Pendarahan?? Kenapa ada darah? Mau tak mau ingatan
Mikail melayang ke masa bertahun-tahun lalu ketika Natasha mengalami keguguran, pendarahan yang sama, kesakitan
yang sama.
“Di mana Lana??!”
“Dokter masih menanganinya Tuan”
“Mikail,” suara Serena yang lembut mengalihkannya, “Kondisi
Lana kritis, dokter bilang ada yang salah dengan posisi plasentanya, yang mengakibatkan pendarahan. Mereka
sedang berusaha mengeluarkan bayinya”
“Bagaimana dengan Lana?,” suara Mikail bagaikan erangan
menahan siksaan,
“Lana tidak sadarkan diri sejak dibawa ke ambulance, Mikail,” Serena memandang Mikail cemas, “Mereka sedang
berusaha di dalam sana,” Serena menoleh pada ruang operasi di sudut dengan lampu merah yang menyala di
atasnya, “Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa”
Berdoa? Mikail sudah lama tidak berdoa, dia pernah
berdoa sebelumnya. Jiwanya yang kelam ini dulunya putih bersih. Percaya
bahwa yang namanya Tuhan itu ada dan selalu tersedia untuk menolongnya.
Tetapi Tuhan ternyata tidak ada ketika Natasha yang dulu dicintainya
meregang nyawa.
Tuhan tidak ada. Itulah yang dipercaya Mikail setelah
menguburkan Natasha, sekaligus menguburkan seluruh kepercayaan yang
dulunya pernah di pegangnya.
Mikail membuang hatinya, menjadi manusia berjiwa
kelam yang jahat, dan kemudian lama kelamaan wataknya berubah menjadi
kejam. Tidak ada yang bisa menyentuh belas kasihan Mikail, tidak ada
lagi.
Sampai ayah Lana datang dan menunjukkan foto anaknya untuk ditawarkan padanya. Mikail menyadari kemiripan itu,
meskipun penampilan Lana di foto berbeda dengan Natasha, dengan kacamata tebal dan potongan rambut kunonya.
Mikail tidak menampik, ketika membuat perjanjian
pernikahan di usia Lana yang ke dua puluh lima itu murni karena ingin
menjadikan Lana sebagai pengganti Natasha.
Tetapi kemudian entah kenapa Mikail jatuh cinta kepada
Lana, entah sejak kapan Mikail tidak tahu. Mungkin sejak dia selalu menerima foto-foto hasil pengintaian dari Norman
yang membuatnya sadar bahwa Lana telah berkembang menjadi perempuan yang mandiri. Mungkin setelah
percintaan yang dahsyat di malam pertama itu, atau
mungkin juga setelah perkawinan mereka, Mikail tidak tahu. Yang dia tahu
pasti, Lana tersimpan di hatinya. Hati yang dulu sudah dia buang,
Ternyata selama ini hatinya masih ada di sana, menunggu untuk diisi
kembali.
Dan sekarang, isteri dan anaknya sedang meregang
nyawa di ruang operasi. Dan yang bisa Mikail lakukan hanyalah menunggu
di sini seperti orang bodoh.
Isteri dan anaknya astaga! Bahkan Mikail selalu menutup mata, berpura-pura bahwa dia tidak mengakui keberadaan
anak itu, selalu mengalihkan mata ketika menatap
perut Lana yang semakin dan semakin membuncit setiap harinya. Lana
berjuang sendirian selama masa-masa kehamilannya.
Sangat jauh dari yang dilakukannya ketika Natasha
mengandung, dia merawatnya, dia menjaganya di setiap langkahnya.
Memastikan Natasha sehat dan bahagia di
setiap detiknya. Dan sekarang, kepada Lana,
isterinya, yang sesungguhnya sangat dicintainya, Mikail telah berbuat
luar biasa jahat. Bagaimana jika nanti tidak ada kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya? Tuhan… jika dia benar
benar ada, Mikail rela berdoa di setiap detiknya demi keselamatan Lana.
“Kalau Lana tidak dapat diselamatkan…,” Suara Mikail
tertelan di tenggorokannya, “Aku belum pernah bilang kalau aku
mencintainya”
Norman menundukkan kepalanya, tidak tahu bagaimana caranya menghibur tuannya yang sedang cemas. Sementara
Serena diam-diam menyusut air matanya.
Jadi lelaki ini, yang katanya begitu kejam dan jahat, ternyata mencintai
isterinya. Ternyata mencintai Lana. Dengan sepenuh hatinya Serena
berdoa,
Kau harus hidup Lana, suamimu di sini, mencemaskanmu. Dia kelihatan sangat menderita, dulu dia jahat dan kejam
dengan hati yang hitam, tetapi kau telah sedikit
demi sedikit mengangkatnya ke dalam cahaya. Dan kalau kau
meninggalkannya, mungkin dia akan terpuruk lagi, jatuh ke dalam jurang
yang lebih kelam
***
BAB 17
Entah berapa jam proses operasi yang menyiksa itu dan
Mikail duduk di sana dengan seluruh tubuh menegang dan tersiksa. Norman
masih menungguinya di sana, sementara Serena sudah berpamitan, karena
puteranya membutuhkannya. Serena bilang akan kembali besok pagi.
Lalu terdengar tangis bayi. Tangis bayi yang sangat kuat dan keras, seakan memompa seluruh udara yang ada ke dalam paru-parunya.
Mikail terkesiap dan saling berpandangan dengan Norman, tubuhnya makin menegang. Apakah itu suara anaknya?
memanggilnya, “Tuan Mikail Raveno”
Mikail diajak masuk ke ruangan dalam di bagian ruang
persiapan operasi, yang menjadi pembatas antara ruang tunggu dengan
ruang operasi,
“Ini Putera anda Tuan Mikail, kami menunjukkannya sebelum dia dibawa ke kamar bayi”
Bayi itu menangis begitu keras, seolah-olah memprotes kenapa dia direnggut dari kehangatan yang nyaman di perut ibundanya ke dunia yang penuh marabahaya ini.
Mikail mengamati bayi itu dengan takjub, mahluk
kecil tak berdaya itu, yang selama ini tumbuh di perut Lana, darah
dagingnya, yang tumbuh dari percintaannya dengan Lana.
Makhluk itu begitu tak berdaya, dan ingatan bahwa Mikail memusuhinya dulu terasa begitu konyol.
Anak laki-laki ini anaknya. Buah cintanya dengan Lana.
Perawat itu menunjukkan alat kelamin bayi itu, anak laki-laki yang sehat. Dan wajahnya itu, yang bahkan sudah
menunjukkan kemiripannya dengan seluruh keturunan Raveno, lalu membawa sang bayi ke ruangan khusus.
Sejenak Mikail masih tertegun di sana, lalu teringat kepada Lana… Lana.. bagaimana isterinya?
“Suster,” Mikail memanggil suster itu, berusaha agar tidak terdengar panik, “Bagaimana dengan isteri saya?”
Suster itu melirik ke ruang operasi, “Masih belum sadar tuan,
kondisinya cukup stabil meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi waktu-waktu
mendatang, Anda bisa menengoknya nanti ketika dia sudah dipindah dari
ruangan operasi ke ruangan iccu". Lalu suster itu pergi meninggalkannya,
memaksanya menunggu ke dalam ketidakpastian yang menyiksa lagi.
Kalau dulu, Mikail pasti akan membentak, memaksa,
menggunakan cara kasar agar bisa dituruti kemauannya. Dia ingin melihat
Lana segera! Kenapa para dokter tidak becus itu begitu lama
menanganinya???
Tetapi Mikail menahan dirinya. Tidak. Mereka sedang
menyelamatkan Lana. Dia tidak boleh mengganggu mereka, karena nyawa Lana
taruhannya.
***
Ruangan iccu itu sepi, hanya ada Lana dan suara detak
jantungnya yang dimonitor. Lana masih belum sadarkan diri, dan menurut
penjelasan dokter tadi, kondisinya masih belum lepas dari kritis.
Mikail duduk di sana, di samping ranjang Lana,
mengamati wajah Lana yang terbaring pucat pasi. Dia pernah mengalami ini
sebelumnya dan ternyata Natasha tidak pernah terbangun lagi. Akanlah
Lana melakukan hal yang sama pada dirinya?
“Kau tidak boleh meninggalkanku Lana,” Mikail menggeram parau, “Kau tidak boleh meninggalkanmu sebelum aku
mengizinkanmu, putera kita menunggu di sana, ingin disusui jadi kau harus bangun dan menyusuinya, membantunya
tumbuh menjadi anak yang sehat..yang..,” suara Mikail
tertelan, menyadari bahwa dia sudah berkata-kata terlalu banyak.
Mikail lalu menyentuh jemari Lana dan menggenggamnya,
“Maafkan aku,” bisiknya parau, “Maafkan aku karena selalu
memaksamu, menyakitimu, bahkan ketika kau mengandung anakku, aku tidak pernah memperhatikanmu seperti
seharusnya,” Dengan lembut Mikail mengecup jemari Lana, “Bangunlah sayang, dan akan kutebus semua kesalahanku”
Hening, Hanya suara monitor jantung yang terdengar teratur di ruangan itu,
Mikail menggenggam jemari Lana makin erat,
“Bangun sayang, apakah kau akan tega meninggalkanku dan putera kita? Kau bahkan belum memberinya nama, akan aku
panggil apa dia?”
Mata Mikail terasa panas membakar. Dia tidak pernah
menangis sebelumnya, tetapi kediaman Lana yang begitu berbeda dengan
kesehariannya yang berapi-api membuatnya merasakan aliran dingin merayapi benaknya.
Ketika kemudian panas membakar itu berubah menjadi
tetesan hangat yang mengalir di sudut matanya, suara Mikail berubah serak,
“Aku mencintaimu Lana, isteriku. Dan aku bersumpah akan
mengabdikan seluruh kehidupanku kepadamu jika kau mau
bangun dari tidur pulasmu yang menakutkan ini”
Air mata Mikail menetes di jemari Lana. Dan kemudian
jemari itu bergerak, membuat Mikail terpaku. Jemari itu bergerak lagi,
samar. Dan kemudian gerakannya lebih mantap.
Bersamaan dengan itu, bulu mata Lana bergerak-gerak,
membuat Mikail menunggu dengan cemas. Lalu setelah penantian yang
sepertinya terasa seumur hidupnya, mata Lana terbuka langsung menatap
mata Mikail yang basah,
“Kenapa…. Kau…menangis,,,?”
Mikail langsung memasang muka sedatar mungkin meskipun perasaannya meluap-luap,
“Mataku kemasukan debu”
“Oh,” Lana memejamkan mata lagi, sepertinya percakapan itu membuatnya lelah, “Anakku?”
“Dia laki-laki kecil yang sehat dan sempurna, tangisannya sangat keras membuat para suster harus menutup telinga
dengan kapas ketika mengurusnya”
Lana tersenyum, dan mencoba membuka matanya lagi,
“Namanya …”
“Apa Lana?”
“Aku mempersiapkan namanya…,” suara Lana melemah, “A…..Angel”
“Angel?,” Mikail mengerutkan keningnya, dari sekian banyak
nama, kenapa Lana memilih nama Angel?
Lana tersenyum lemah,
“Dia… putera… dari seorang … malaikat”
Aku iblis yang jahat! Bukan malaikat! Batin Mikail berteriak keras membantah. Setelah semua yang dia lakukan kepada
Lana, perempuan itu masih menganggapnya sebagai malaikat?
“Men…cin….”
“Apa Lana?,” Mikail berusaha mendekatkan telinganya ke
bibir Lana karena suara Lana semakin lemah,
“Mencintaimu….Mikail.” Lalu Lana kembali tak sadar,
meninggalkan Mikail kembali dalam tidur lelapnya.
Air mata mengalir lagi di mata Mikail, mata seorang
iblis yang telah disentuh oleh sang malaikat. Lana salah, dia bukanlah
malaikat. Lana adalah malaikatnya. Dan pernyataan cinta
Lana membuat dada Mikail terasa sesak. Sesak oleh perasaan meluap-luap yang tak pernah terungkapkan sebelumnya.
***
Kondisi Lana membaik seiring berjalannya hari, bahkan pagi ini dia sudah diperbolehkan menyusui Angel, untuk pertama kalinya.
Lana menerima bayi itu di pelukan lengannya degan
takjub. Bayinya, puteranya, yang selama ini bertumbuh di perutnya dan
dikandung olehnya. Sekarang ada di dunia nyata, dengan rambut tebal
cokelatnya dan mata cokelat milik ayahnya, yang sekarang sedang penuh
air mata. Ya, Angel sedang menangis keras-keras sekarang.
“Dia lapar,” suster Ana terkekeh geli dan membantu Lana
setengah duduk, Lana membuka gaun pasiennya dan
mendekatkan payudaranya, Secara otomatis Angel langsung mencari dan
melahap putting itu. Lalu menghisapnya dengan begitu rakus. Lana takjub
merasakan bahwa puteranya berbagi makanan dengan dirinya, bahwa
tubuhnyalah yang memberikan makanan untuk puteranya.
“Dia sepertinya sangat lapar,” suara itu berasal dari ambang
pintu dan Lana menoleh. Mendapati Mikail berdiri di
sana. Hari ini jam sembilan pagi, dan Mikail sepertinya belum pernah
pulang dari rumah sakit, lelaki itu tampak lelah.
Mikail berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang,
matanya tak lepas dari puteranya yang menyusu. Puteranya sedang menyusu
di tubuh isterinya. Sungguh pemandangan yang
luar biasa indahnya.
“Kau tampak lelah”, Lana menatap Mikail lembut.
Lelaki itu mengalihkan pandangan dari puteranya ke mata Lana, menatap Lana dengan mata beningnya yang berwarna cokelat,
“Aku belum pulang, Norman membawakanku baju ganti dan
aku mandi serta bercukur di sini, di lantai atas aku punya
kamar sendiri”
Lana baru sadar bahwa ini rumah sakit yang sama tempatnya dirawat setelah kecelakaan dan kemudian diculik
oleh psikopat kejam itu. Ini adalah rumah sakit milik Mikail,
“Yah ini rumah sakit yang sama,” Mikail tersenyum
meminta maaf, “Tetapi kali ini tidak ada lagi penjagaan di depan, aku
sibuk mengurusmu sampai aku tidak sempat mencari
musuh”.
Lana tersenyum mendengarnya. Tepat ketika Angel
melepaskan putingnya dan tertidur lelap dengan pipi montoknya masih
menempel di payudara ibunya.
Diperbaikinya posisi tidur Angel sehingga nyaman, dan MIkail mengikuti semua itu dengan pandangannya.
“Kau mungkin bisa pulang dan beristirahat Mikail”
Mikail mengangkat bahu, “Aku akan pulang untuk beberapa urusan, mungkin beberapa jam, lalu aku akan kembali,”
dengan canggung Mikail berdiri, sejenak hanya menatap lama, lalu mengangguk dan melangkah pergi.
Seorang suster masuk dan berpapasan dengan Mikail di pintu, dia bertugas mengambil Angel dan membawanya ke kamar bayi.
“Sungguh Anda isteri yang beruntung memiliki suami
sebaik itu,” suster itu tersenyum menatap punggung Mikail yang hilang di
balik pintu. “Dan seorang MIkail Raveno pula, Anda sungguh beruntung
dicintai seperti itu”
Lana mengernyit, menyerahkan Angel untuk digendong sang suster dengan hati-hati.
“Beruntung? Apakah maksud suster itu dia beruntung karena memiliki suami seperti Mikail Raveno?
“Oh Anda tidak tahu ya?,” suster itu meletakkan Angel
dengan lembut di kereta kaca khusus bayi yang dibawanya,
“Tuan Mikail sangat setia menunggui ketika Anda tak
sadarkan diri hampir 2 hari lamanya. Dia selalu ada
di sana tak pernah meninggalkan Anda. Kondisi Anda saat itu masih belum
pasti, kadang Anda tersadar dan menceracau. Lalu
tak sadarkan diri lagi, kadang kondisi Anda sangat
drop sehingga kami harus menangani Anda secara intensif, dan tuan Mikail
menuntut untuk ada di sini, setiap detiknya mendampingi Anda. Ketika
kondisi Anda stabil, dia ada di sebelah ranjang Anda, mengajak Anda
berbicara dan menggenggam tangan Anda. Sepertinya semua
penantiannya tidak sia-sia karena akhirnya Anda bangun dan
membaik,” suster itu tersenyum memuji, “Sungguh suatu anugerah yang tak terkira, bisa memiliki suami sebaik itu”
Lalu dengan mendorong kereta bayi suster itu pergi
meninggalkan Lana yang masih termenung di atas ranjang. Benarkah Mikail,
Mikailnya yang sombong, arogan, dan pemarah itu melakukan semua yang
dikatakan oleh sister itu? Benarkah Mikail mencemaskannya sampai
sedemikian?
Rasanya tidak bisa dipercaya….
***
Lana sudah boleh pulang bersama Angel, dan Mikail
menjemputnya tepat waktu. Lelaki itu tidak berubah, tetap begitu dingin
hingga Lana berpikir jangan-jangan yang dikatakan suster
waktu itu hanyalah kebohongan atau khayalan semata. Mikail duduk di
sebelah Lana dalam mobil itu diam dan menatap ke jendela, tampak menjaga
jarak,
“Kau.. eh, sudah baikan,” Akhirnya Mikail memecah
keheningan, menatap ringan pada Angel yang tertidur di
pelukan Lana, dan tatapannya melembut, “Dia sepertinya sangat sehat”
“Dia menyusu dengan kuat,” Lana tersenyum dan mengecup
dahi Angel dengan sayang. Semula Lana merasa sedikit
takut atas reaksi Mikail kepada Angel. Lelaki itu membenci Angel dengan alasannya ketika dia di dalam kandungan
Lana, apakah lelaki itu akan membenci Angel ketika dia sudah lahir ke dunia ini?
Sepertinya Mikail menyayangi Angel, meski tidak ditunjukkannya dengan kata-kata.
Lana sering menangkap tatapan penuh kelembutan yang dilemparkan Mikail
kepada Angel. Oh ya, Lana mengerti, seorang Mikail mungkin tidak bisa
lepas dalam menunjukkan kasih sayangnya kepada
anak kecil, tetapi Angel telah mencuri hati Mikail
dan Lana mensyukuri itu. Mereka sampai di rumah, dan dengan takjub Lana
menyadari bahwa kamar bayi sudah disiapkan. Kamar
itu terletak di kamar kecil yang memiliki pintu
penghubung dengan kamar mereka sehingga Lana bisa dengan mudah
mendatangi Angel ketika putera mereka membutuhkannya.
Dengan lembut, Lana meletakkan Angel yang tertidur pulas
di boks bayi barunya. Bayi itu sangat pandai, tidak rewel, dan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan suasana di
tempat barunya. Mikail berdiri di ambang pintu penghubung dan mengamati Lana, kemudian membalikkan badannya
hendak pergi,
“Mikail,”
Lelaki itu langsung menghentikan langkahnya dan menatap Lana,
“Ada apa?”
“Apakah… apakah setelah sekarang kita mempunyai
putera, kau masih menganggapku sebagai pengganti Natasha?.” Lana harus
bertanya, dia tak tahan lagi memendamnya. Sekarang mereka sudah
mempunyai seorang putera dan
Lana tidak mampu hidup dalam ketidakpastian semacam
ini. Anaknya harus tumbuh di keluarga yang saling mencintai, dan ketiika
Mikail tidak bisa memberikannya. Maka Lana akan pergi,
“Apa?,” ada nyala di mata Mikail dan itu seharusnya sudah
bisa menjadi tanda peringatan buat Lana, tetapi dia tidak mau mundur, dan dia tidak bisa.
“Kau selama ini selalu menganggapku sebagai pengganti
Natasha. Sekarang kita mempunyai Angel, aku hanya ingin menunjukkan
sikapku. Aku tak mau menjadi pengganti
seseorang, jadi mungkin aku akan pergi bersama Angel”
Wajah Mikail mengeras. “Kau pikir apa yang sedang kau katakan?”
“Aku sudah mempelajari surat perjanjian itu, dalam surat itu dikatakan bahwa aku harus menikahimu di usiaku yang ke
dua puluh lima tahun, tidak dituliskan klausul apabila kita
berpisah… saat ini aku ingin berpisah”
Kau bilang waktu itu kau mencintaiku! Mikail ingin meneriakkan kata-kata itu di depan Lana, dia begitu marah hingga jemarinya mengepal,
Raveno!”
***
BAB 18
Wajah Lana tampak sedih sekaligus kuat membalas tatapan Mikail yang membara.
“Aku tidak bisa hidup hanya sebagai boneka pengganti
seseorang. Aku juga punya kepribadian sendiri dan aku
lelah”
Kemarahan Mikail yang semula menggelegak langsung
surut mendengar perkataan Lana. Kenapa Mikail tidak menyadarinya? Yang
diinginkan Lana hanyalah pengakuan bahwa dia bukanlah pengganti Natasha.
Hanya itu. Dan
Mikail bodoh karena selama ini tidak menyadarinya. Baiklah, jika memang itu yang diinginkan Lana, dia akan memberikannya,,,
“Ikut aku,” Mikail mengambil tangan Lana dan
membawanya keluar kamar, dia setengah menyeret Lana yang kebingungan
menuruni tangga, langsung menuju sayap kebun mawar itu. Sayap rumah di
mana lukisan Natasha terpasang rapi di balik pintu bernuansa emas.
Para pelayan tampak mengintip mendengar keributan
itu, bahkan Norman juga muncul dari depan dengan waspada. Tetapi
kemudian langsung mundur ketika menyadari bahwa Mikail membawa Lana ke
sayap rumah itu.
Mikail berhenti menyeret Lana ketika mereka berada di pintu kamar emas itu,
“Kau ingin jawaban bukan?,” Mikail melangkah masuk dan
kemudian keluar lagi sambil membawa lukisan Natasha
yang semula tergantung di dinding. Lalu melangkah dengan langkah
berderap marah meninggalkan Lana.
Dengan segera Lana mengikutinya, ingin tahu apa yang
akan dilakukan Mikail kepada lukisan itu. Mikail melangkah ke halaman
belakang, membanting lukisan itu di tanah, dan ketika Lana menyadari apa
yang akan dilakukan oleh Mikail, semuanya sudah terlambat,
“Jangan!!!”
Terlambat. Mikail sudah melempar api ke lukisan itu,
dan dalam sejejam api itu sudah membakar kanvasnya yang rapuh. Seluruh
lukisan Natasha yang sedang hamil muda
dan tersenyum itu habis menjadi arang tipis yang
kehitaman dilalap oleh api yang begitu ganas. Lana berdiri terpaku
menatap sisa pembakaran itu dan menoleh menatap Mikail
dengan bingung, “Kenapa kau melakukannya?”
“Karena,” Mikail tiba-tiba meraih Lana
dan merenggutnya ke dalam pelukannya. Ciumannya kasar sekaligus
mendamba, penuh gairah. Bibir Mikail melahap bibir Lana seolah-olah
akan mati kalau tidak mencecapnya. Lidahnya menjelajah dengan
bergairah, mencicipi seluruh rasa manis Lana yang sudah lama tidak
dicecapnya. Mikail memuaskan kerinduannya, amarahnya, dan rasa
frustrasinya dalam ciuman itu. Sebuah ciuman menggelora yang hanya
dilakukan oleh pasangan yang luar biasa merindu.
Ketika Mikail melepaskan ciumannya yang membara itu, tubuh Lana lemas hingga MIkail harus menopangnya.
Dengan gerakan tegas, lelaki itu mengangkat dagu Lana dan menghadapkan ke arahnya.
“Karena Nyonya Lana Raveno, aku mencintaimu, Sungguh mencintaimu, sebagai Lana yang menjengkelkan dan keras
kepala yang selalu menentangku,” Mikail melumat bibir Lana
yang menganga takjub dengan penuh gairah.
“Kau tersimpan di hatiku,” dengan lembut Mikail
membawa tangan Lana ke dadanya, “Hati ini dulu sudah kubuang jauhjauh ke
dasar, tapi kau membawanya ke permukaan lagi dan meletakkan dirimu di
sana. Aku tidak bisa mengeluarkanmu
dari sana setelahnya,” Mikail menatap lukisan yang sudah terbakar habis itu, “Aku pernah mencintai Natasha
sebelumnya. Tetapi sekarang, dia hanyalah kenangan yang harus kuhormati. Hanya itu. Cintaku kepadanya sudah pergi pelan-pelan
seiring berjalannya waktu, dan kutegaskan padamu Nyonya Lana Raveno,
aku memperisterimu bukan karena kau harus menggantikan siapapun, aku
memperisterimu karena aku mencintaimu, dan ternyata kita
sangat cocok di ranjang merupakan bonus”
“Mikail” pipi Lana memerah, berusaha menahan Mikail
mengucapkan kata-kata vulgar yang lebih
parah. Mereka ada di ruang terbuka dan Lana tahu para pelayan yang
terkejut dengan kehebohan itu sedang berkumpul di sudut-sudut, berusaha menguping dan mencari tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
Mikail menghentikan ucapannya dan menyadari bahwa
banyak yang mengintip mereka dengan diam-diam, tetapi dia tak peduli lagi.
“Sekarang Nyonya Lana Raveno, waktumu untuk menjawab!,” Mikail berdiri di situ menatap Lana dengan
tatapan arogannya, sejenak memunculkan dorongan hati Lana untuk melawannya.
Rupanya Mikail menyadari niat Lana entah dari ekspresi wajahnya, atau mungkin dari kilatan matanya,
“Dan jangan mencoba membantah,” Gumam Mikail sombong, “Aku tahu kau juga mencintaiku”
Lana merasa pipinya memerah, panas sampai ke telingatelinganya.
“Darimana kau berkesimpulan seperti itu?”
“Aku mendengar pengakuan itu langsung dari bibirmu,” Mikail tersenyum puas menatap Lana yang kebingungan, “Ketika
kau terbaring koma, kau berkali-kali mengigau dan mengucapkan ‘aku mencintaimu Mikail' berulang-ulang dengan kerasnya hingga semua dokter dan suster mendengarnya".
Sebenarnya Lana hanya mengucapkan satu kali, dan
hanya Mikail yang mendengarnya, tetapi sungguh memuaskan melihat wajah
Lana yang makin memerah karena malu ketika mendengar kata-katanya.
“A… aku tidak mungkin mengucapkan itu… mana buktinya?”
Mikail bersedekap, menatap Lana dengan puas, “Para dokter dan perawat bisa menjadi saksi,” dia mulai merasa geli
melihat ekspresi Lana yang tampak amat malu.
“Mungkin… mungkin itu akibat pengaruh obat,” Lana
berusaha menghindari tatapan Mikail, merasa amat sangat malu. Benarkah dia meneriakkan kata-kata cinta kepada Mikail ketika dia sedang tidak sadar? Astaga alangkah malunya dia, dia tidak mau ke rumah sakit itu lagi.
Mikail terkekeh melihat ekspresi Lana yang berubah-ubah, dengan lembut dirangkumnya wajah Lana di kedua tangannya,
“Lana, kau sungguh keras kepala. Di sini aku, seorang Mikail Raveno menyatakan cintanya kepadamu, dan kau bahkan
masih menyangkal perasaanmu kepadaku,” tawa di mata
Mikail menghilang dan berubah menjadi sensual. Bibirnya mendekat ke bibir Lana dan mengecupnya dengan kecupan
yang panas dan menggoda, “Katakan kau mencntaiku".
Lana mengerang dalam hati merasakan ciuman itu,
Mikail curang telah memanfaatkan pesona tubuhnya untuk memaksa Lana
mengakui perasaannya. Bibir Mikail mengecupnya dengan kecupan-kecupan kecil menggoda di
sekitar bibrinya, membuat Lana ingin meminta lebih banyak lagi.
“Katakan Lana,” bibir Mikail menggoda Lana lagi, lelaki itu
sudah sangat mengenal Lana dan mengetahui kelemahan
Lana, ketika Mikail mengigit bibirnya lembut dan melepaskannya. Lana
setengah menjerit, setengah mengerang,
“Ya!!”
, seru Lana hampir berteriak, marah karena didesak,
“Aku mencintaimu Mikail!!”
Mikail langsung melumat bibir Lana, memuaskan gairahnya dan mencium Lana lagi, dan lagi tanpa ampun.
Para pelayan hanya menatap takjub kepada tuan dan
nyonyanya yang berciuman dengan mesra di taman, dan Norman yang
mengamati sedari tadi tersenyum samar, lalu membalikkan badan memasuki
rumah dengan perasaan
lega. Lega karena tuannya, Mikail Raveno, akhirnya menemukan cahaya yang membawanya kembali kepada kebahagiaan.
***
Pesta itu berlangsung elegan, sebuah jamuan makan malam yang diadakan Mikail bersama rekan-rekan bisnisnya, untuk keberhasilan proyek mereka yang terbaru.
Lana ada di sana bersama Serena dan isteri-isteri pengusaha lainnya, mengamati Mikail yang ada di seberang ruangan, sedang mengobrol dengan rekan-rekannya.
Jantung Lana berdegup kencang. Dia sudah menghitung di kalendernya.
Malam ini dia sudah bebas. Dan memang kondisi tubuhnya sudah membaik
sejak hampir dua bulan melahirkan. Dan Mikail masih belum tahu itu.
Mikail sendiri merasakan Lana sedang mengamatinya,
dan gairahnya naik, gelenyar ketegangan seksual telah menggeletar di
antara mereka mengingat telah lama mereka tidak bercinta. Mikail
menunggu dengan sabar dan menahan diri, meskipun lama-lama
hal itu membuatnya sedikit frustrasi, dorongan untuk memeluk Lana,
merasakan Lana menyerah di dalam pelukannya sangat kuat. Mereka belum
pernah bercinta sejak pernyataan cinta yang hebat itu, dan Mikail
terobsesi, ingin menunjukkan kepada Lana, betapa hebatnya sebuah
percintaan jika kedua pasangan telah terbuka untuk saling mencintai.
“Mikail,” suara Damian menggugah Mikail dari lamunannya,
dia menoleh dan mendapati Damian sedang bersama dengan seorang lelaki.
“Aku ingin memperkenalkan salah satu rekan bisnisku, kami mengembangkan kerja sama di bidang properti,” Damian
mengedikkan bahunya, dan menyebut nama sebuah
perusahaan yang cukup terkenal karena maju pesat dalam waktu singkat.
Gosipnya karena pemiliknya adalah
seseorang yang jenius, “Dia pemilik perusahaan itu,” jelas
Damian tenang, “Kenalkan Mikail Raveno, ini Rafael Alexander.”
Mikail menjabat tangan yang kuat itu dan menatap mata Rafael dalam-dalam. Lelaki yang kuat jiwanya, batinnya.
“Semoga ke depannya kita bisa bekerjasama,” Rafael
menggumam dengan suaranya yang tenang, lalu mengangguk untuk berpamitan karena ada urusan lain.
Damian dan Mikail menatap kepergian Rafael,
“Dia si jenius yang membuat perusahaan luar biasa itu?”
Damian tersenyum, “Kenapa? Tidak sesuai bayanganmu?,”
Entah sejak kapan Mikail dan Damian berteman. Mungkin karena kedekatan isteri-isteri mereka.
“Sama sekali tidak sesuai bayanganku. Aku membayangkan
seorang laki-laki aneh yang serius dengan penampilan tak kalah serius, Rafael terlalu tampan untuk menjadi seorang
jenius yang menghebohkan”
Kali ini Damian terkekeh mendengar kata-kata Mikail, “Dia memang tampan, tapi dia tak pernah punya reputasi sebagai
playboy, seperti kita sebelum menikah ”, Damian melirik
Mikail dengan tatapan menyindir.
Mikail tersenyum miring, “Mungkin agar tidak merusak
reputasi jeniusnya,” sahut Mikail, “Kurasa aku akan menyukainya kalau
ada kesempatan mengenalnya”
Damian tersenyum lagi, “Yah kau akan lebih sering bertemu
dengannya nanti, kami sudah bersahabat sejak lama. Dia sudah menjadi patner bisnis resmiku sejak sebulan yang
lalu,” Damian melirik jam tangannya, “Sudah malam, kami
harus segera berpamitan. Terima kasih atas pesta yang luar
biasa ini”
***
Tamu terakhir sudah pulang dan para pelayan mulai
membersihkan seluruh rumah supaya esok hari seluruh bagian rumah sudah
bersih dan sempurna.,
Lana sedang duduk di
|
depan meja rias setelah mencuci
|
|||
muka, Dia mengganti
|
bajunya
|
dengan gaun tidur. Saat itulah
|
||
Mikail
|
masuk,
|
tampak
|
begitu
|
tampan dan mempesona,
|
dengan
|
kemeja
|
putih
|
yang sudah dibuka dua kancingnya.
|
“Hmmmm,” aromamu sangat menyenangkan,” Mikail
memeluk Lana dari belakang dan menempelkan bibirnya ke leher Lana, mengecupnya lembut.
Lana tersenyum menatap rambut coklat Mikail yang
terpantul di cermin sementara lelaki itu mencumbu lehernya. Kehidupan
pernikahan mereka luar biasa baiknya setelah pernyataan cinta itu. Semua
salah paham sudah dilepaskan,
Mikail berhasil meyakinkan Lana bahwa di satu titik
tertentu dia sudah jatuh cinta kepada Lana tanpa dia menyadarinya, Lana
percaya karena dia pun merasakan hal yang sama,
Tidak ada yang tahu kapan cinta itu muncul, Sungguh
tak terduga, Lana tidak menyangka akan jatuh cinta dan berbahagia
menjadi seorang isteri dari lelaki yang bahkan di pertemuan pertama
mereka menyekapnya di dalam bagasi, melemparnya dari balkon, menculik
dan menahannya di rumahnya dan menghujaninya dengan berbagai arogansi
yang tidak terkira. Tetapi Lana memang jatuh cinta, kepada Mikailnya yang tampan, yang meskipun emosinya masih meledak-ledak dan arogansinya sering muncul ke
permukaan, lelaki itu ternyata juga mencintai Lana dan memperlakukannya dengan luar biasa lembut.
Ketika tidak ada penghalang di antara mereka, Mikail
ternyata adalah suami yang baik. Dia memperlakukan Lana dengan hormat
dan penuh kasih sayang. Kadang mereka masih beradu argumentasi, tetapi
mereka menikmatinya
sebagai rutinitas suami-isteri, bukan sebagai ajang luapan kebencian. Dan terhadap Angel, Mikail benar-benar
menjadi ayah yang luar biasa. Begitu penuh kasih sayang dan ketakjuban,
layaknya seorang ayah baru dengan putera pertamanya. Lana membayangkan
betapa Angel nanti akan begitu mirip ayahnya, dan mungkin menjadi anak
yang memuja ayahnya, semoga begitu. Mengenai kehidupan percintaan mereka
di ranjang… Well selama ini mereka
belum bisa melakukannya karena Lana belum boleh
melakukannya setelah melahirkan. Tetapi hari ini bisa. Lana mengingat
hitungan kalender itu, dan jantungnya berpacu liar,
Mikail sekarang sedang menggigit ringan telinga Lana, lalu membalikkan tubuh Lana dengan lembut dan memeluknya
erat. Pelukan itu begitu erat hingga Lana bisa merasakan kejantanan Mikail yang menekan tubuhnya dengan kerasnya.
“Mungkin aku harus memelukmu beberapa lama, sebelum
aku masuk ke balik selimut, mencoba tidur dan
menjadi gila seperti biasanya,” Mikail menyentuh bibir Lana dengan
jemarinya, lalu mengecupnya lembut
“Malam ini aku sudah bebas.” Lana berbisik pelan sambil
berjinjit di telinga Mikail.
Lana bisa merasakan bahwa di bawah sana Mikail makin mengeras menekan tubuhnya.
“Jadi…,” suara Mikail terdengar parau, “Kau sudah bisa…”
Lana menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
Detik itu juga Mikail langsung mengecup bibirnya
dengan penuh kehausan, tanpa ampun, malam ini mereka bisa menuntaskan
kerinduan mereka, yang telah tertahan sekian lama. Tanpa melepas
kecupannya, Mikail mengangkat tubuh Lana, lalu membaringkannya di
ranjang dan menindihnya, senyumnya penuh gairah dan matanya penuh cinta.
“Aku mencintaimu, Nyonya Lana Raveno, dan kuharap aku
bisa menjadi lelaki yang bisa kau andalkan,” tatapan lembut
Mikail membuat mata Lana berkaca-kaca.
Mereka telah melalui segalanya, kebencian yang meluap, kemarahan,
kesalahpahaman, dan kemudian kekecewaan, Tetapi pada akhirnya mereka
dipersatukan oleh cinta, yang luar biasa dalam dan tumbuh begitu saja
tanpa di sadari,
Lana menatap Mikail dengan lembut dan kemudian
memejamkan mata ketika bibir Mikail menunduk ke arahnya, hendak
mengecupnya dengan kecupan lembut, “Dan aku
juga mencintaimu, Mikail Raveno, suamiku, ayah dari
anakku,” suara Lana berubah menjadi desahan ketika bibir
Mikail melumat bibirnya dalam gairah cinta yang menggelora.
END
A ROMANTIC STORY ABOUT SERENA THE EPILOG
A Romantic Story About Serena
The Epilog
Serena mulai larut dalam kantuknya ketika suara
berderap terdengar di lorong kamar rumah sakit itu. Matanya terbuka,
bersamaan dengan sosok Damian, acak-acakan dengan
rambut berantakan, dasi dilonggarkan seadanya dan mata yang menatap tajam. Setengah panik.
Dengan menahan geli, Serena menatap Damian yang sedang mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan
tempat Serena berbaring. Ketika pada akhirnya mata
mereka bertatapan, seulas senyum tampak di mata mereka. Senyum yang sama
yang selalu mereka bagi ketika mereka bertatapan, bahkan sejak 5 tahun
yang lalu di hari pernikahan mereka.
"Aku pikir aku terlambat.", Damian mengusapkan jemari
di rambutnya yang berantakan, "Mereka menelepon kantor dan bilang kau
di bawa ke rumah sakit karena sudah kontraksi, aku tadi ke sekolah Romeo
dulu baru kesini"
Serena tersenyum, menatap perutnya yang membuncit. "Belum Damian, kata dokter aku harus menunggu sebentar lagi"
Damian mendesah melangkah masuk, dan duduk di tepi
ranjang, digenggamnya tangan Serena penuh kasih, "Aku panik", matanya
menatap Serena cemas, "Bagaimana rasanya sayang? Apakah kau sakit?
Apakah kau merasa nyaman?"
Serena mengangguk sambil membalas remasan jemari
Damian, kemudian seperti menyadari sesuatu, tatapannya melirik ke
belakang punggung Damian, "Dimana Romeo?"
Dengan senyum dikulum, Damian ikut menoleh ke arah
pintu, "Tertahan di pintu seperti biasanya, suster-suster sibuk mengagumi dan merubunginya, dan meskipun masih kecil
sepertinya dia menikmati banyaknya perhatian dari perempuan-perempuan itu", Alis Damian tampak berkerut bersungguh-sungguh ketika mengucapkan kata-kata itu sehingga Serena terkekeh geli,
"Mungkin karena dia putra Damian Marcuss, seorang playboy sejati." canda Serena sambil menahan tawa.
Serena menatap suaminya dengan penuh perasaan
sayang. selama lima tahun perkawinan mereka, Cintanya kepada suaminya
semakin dan semakin dalam, oh.. Damian memang tidak berubah, dia masih
lelaki yang sama, yang
arogan dan keras kepala dengan mata biru menyala
ketika marah, tetapi lelaki itu sekaligus berubah menjadi lembut dan...
Banyak tertawa. Pada awal mulanya Damian masih membatasi diri, tetapi
sekarang sudah tidak ada lagi batasan di antara mereka. Damian ternyata
bisa menjadi suami yang begitu penyayang dan lembut, membuat Serena
merasa
menjadi isteri yang luar biasa bahagia dan dicintai.
Mendengar perkataan Serena, Damian cemberut meskipun ada senyum menari-nari di matanya, dikecupnya jemari Serena lalu matanya mendongak, menatap nakal,
"Playboy sejati yang akhirnya tunduk di bawah kuasa nyonya Marcuss yang mempesona", godanya setengah berbisik.
Pipi Serena memerah, dalam kondisi hamil sembilan
bulan, dia tampak cantik dan berisi, apalagi dengan pipi merona yg
begitu menggoda,
Tatapan Damian meredup penuh arti, "Dan sekarang
nyonya Marcuss yang cantik, mengingat sudah cukup lama aku tidak
menyentuhmu, maukah kau setidaknya memberikan kecupan dibibir suamimu
yang merana ini?", tambahnya nakal
Pipi Serena makin terasa panas oleh godaan Damian
itu, dan rupanya itu , membuat Damian gemas, dengan lembut disentuhnya
dagu Serena, di dekatkannya bibirnya ke bibir ranum Serena yang sedikit
membuka, menanti. Napasnya
mulai terengah, ah... Betapa manisnya ciuman ini...Damian amat rindu merasakan bibir mereka berpadu dalam tautan panas yang....
Suara berdehem keras membuat bibir mereka yang
hampir bersentuhan menjauh seketika. Damian mengumpat pelan, sedangkan
Serena menoleh dengan penuh rasa bersalah ke arah pintu.
"Aku harap aku tidak mengganggu", gumam suster Ana
dengan senyuman lebar tanpa rasa bersalah, "Tetapi bocah kecil yang
kalian lepaskan ini membuat para perawat sibuk merubunginya dan lupa
pada pekerjaannya"
Dalam gendongan suster Ana, tampak Romeo Marcuss, putra pertama Damian dan Serena yang baru berusia 4
tahun. Bocah lelaki itu sudah mewarisi ketampanan
ayahnya, dengan rambut cokelat berkilau, mata biru pucat yang tajam dan
struktur wajah aristrokrat yang diwarisi turun temurun oleh setiap
keturunan keluarga Marcuss, sudah pasti di tahun-tahun mendatang dia akan memikat hati banyak wanita.
Romeo meluncur turun dari gendongan suster Ana begitu melihat Serena, lalu berlari ke arah ranjang,
Damian langsung mengangkat Romeo dan meletakkannya
ke pangkuannya, bocah kecil itu tampak begitu pas
dalam pelukan ayahnya, "Lihat mama yang aku bawa", seru Romeo memamerkan
barang bawaannya.
Serena mengernyit melihat barang-barang yang dibawa oleh Romeo, ada sekantong permen, cokelat, berbagai kembang gula dan makanan-makanan manis lainnya, dan senyumnya muncul, "Darimana kau mendapatkannya sayang?"
"Dari suster-suster yang berlomba-lomba memberikannya hadiah", suster Ana mendekat dan tersenyum pada Serena, lalu menatap serius pada Damian, "Kau benar-benar harus menjaga bocah kecil ini Damian, dia benar-benar
menimbulkan keributan di divisiku tadi", gumamnya dalam tawa, lalu
matanya menatap Serius ke arah Serena, "Bagaimana kondisimu sayang?
Apakah kau dan putri kecil di dalam perutmu baik-baik saja?"
Serena mengangguk, tanpa sadar mengusap perutnya,
diikuti tatapan lembut Damian, "Dokter bilang tinggal tunggu... Sudah
pembukaan empat, biasanya kontraksi makin cepat....." wajah Serena tiba-tiba mengerut, "Tapi perutku terasa sakit...", Serena memegang perutnya.
Wajah Damian langsung pucat pasi, "Serena? Serena? Kau tidak apa-apa?"
Suster Ana langsung bergerak sigap keluar, memanggil dokter supaya datang ke ruangan,
"Sepertinya aku kontraksi lagi...", Serena menatap Damian panik, "Sepertinya si kecil tak mau menunggu lebih lama..."
"Tahan ya sayang", kali ini wajah Damian benar-benar pucat sehingga mau tak mau meskipun menahan nyeri kontraksi di perutnya, Serena tertawa.
"Kenapa kau malahan tertawa?!", Damian mengerutkan
keningnya setengah membentak, tetapi kemudian ikut tertawa melihat
ekspresi Serena, lelaki itu mengacak-acak rambutnya dengan gugup, "Maafkan aku...aku terlalu berlebihan ya?"
"Dari ekspresi kalian, kupikir Damianlah yang akan
melahirkan, bukan Serena", suster Ana terkekeh ketika masuk bersama
dokter dan beberapa perawat, menyiapkan Serena untuk dibawa ke ruangan
bersalin, Suster Ana menatap Serena dan tersenyum, "Tenang sayang, si
kecil yang ini sepertinya ingin cepat keluar"
Serena tersenyum dan menggenggam tangan Damian yang
langsung merangkumnya erat dalam jemarinya. Damian selalu ada. Kapanpun
dia membutuhkannya, Damian selalu ada untuknya. Perasaan Serena menjadi
hangat, kenangan akan hari kelahiran Romeo, putera pertama mereka
menyeruak, Ketika itu dia melahirkan tengah malam, dan
lebih cepat tiga minggu dari jadwal yang seharusnya,
Damian mengebut seperti orang gila dan menyumpahi siapapun yang
menghalangi jalannya ke rumah sakit malam itu, dan mereka sampai tepat
waktu. Ketika proses kelahiran Romeo pun, Damian ada di sampingnya,
Ketika Serena mengerang
Damian mengerang, seolah ikut merasakan sakit, dan
selama proses itu, Damian menyediakan lengannya yang kuat sebagai
pegangan bagi Serena.
Serena meringis lagi ketika rasa nyeri bercampur ketegangan kontraksi menyerangnya lagi, dan makin lama jedanya semakin cepat.
"Mari kita lahirkan putri kecil kita di dunia", bisik Serena dalam senyum, menenangkan Damian.
***
Proses kelahiran bayi mungil mereka berlangsung
cepat dan lancar, selama proses itu, Damian terus mendampingi Serena,
memberikan semangat dan kekuatan sampai akhir. Dan akhirnya Elissa
Marcuss, bayi perempuan mungil mereka lahir ke dunia ini. Bayi itu
sangat cantik. Bahkan dalam kondisi tertidurpun, dia begitu mempesona
bagaikan malaikat. Rambutnya lebat dan berwarna cokelat muda, dengan
bibir merah muda yang merona, dengan tubuh yang montok dan sehat khas
bayi.
Serena mengecup dahi bayi dalam gendongannya dan
menghirup aroma khas bayi dengan bahagia. Gerakannya membuat Ellisa
terbangun, bayi kecil itu membuka mata birunya, mata yang serupa dengan
mata ayahnya. Dan kemudian, memutuskan untuk menangis keras-keras sebagai bentuk protesnya karena diganggu dari tidur nyenyaknya.
Damian, yang duduk di tepi ranjang terkekeh
melihatnya, "Satu lagi keturunan Marcuss yang keras kepala", gumamnya
geli melihat Ellisa yang menangis sambil mengepalkan kepalanya,
memutuskan bahwa dia sudah merasa lapar dan memprotes karena belum
disusui.
Serena membalas senyum Damian, lalu menyusui Ellisa,
bayi itu langsung melahap puting Serena dan mengisapnya kuat sehingga
menimbulkan bunyi isapan keras, "Iya, dan
putrimu ini sepertinya akan menjadi putri yang tangguh", diusapnya dahi Ellisa dengan penuh rasa sayang
"Seperti ibunya", bisik Damian lembut, menikmati
pemandangan menakjubkan di depannya, dimana wanita yang dicintainya
sedang menyusui anaknya, buah cinta mereka. “Putri tangguh yang berjuang
dengan penuh
keyakinan, hingga membuatku bertekuk lutut di pelukannya”
Serena tersenyum lembut mendengar kata-kata
Damian dan melanjutkan menyusui Ellisa. Beberapa menit kemudian, Ellisa
rupanya memutuskan bahwa dia sudah kenyang, dia langsung tertidur dan
melepaskan puting ibunya, tampak begitu damai dalam pelukan Serena.
Serena mengamati Damian yang menatapnya penuh sayang,
lalu mengamati Romeo, yang tertidur pulas, berbaring meringkuk
dipangkuan Damian, bagaikan miniatur dari sang ayah.
Keluarganya. Serena dulu pernah kehilangan seluruh
keluarganya, berjuang sendirian atas dasar keyakinannya. Dan Tuhan
begitu baik kepadanya, dia memberikan seorang suami yang luar biasa dan
dua malaikat kecil yang membahagiakan. Tidak henti-hentinya Serena bersyukur atas semua anugerah ini,
“Mikail dan Lana akan datang menengok segera setelah
sampai kemari, Mereka masih tertahan di bandara di Paris”, Damian
tersenyum, “Aku rasa perjalanan bulan madu kedua
mereka bersama si malaikat kecil itu, Angel pastilah sangat menyenangkan, aku akan mengajakmu ke Paris lagi kalau
kau sudah sehat.”
Serena tersenyum lembut, yah, Lana sudah
menelephonenya sebelum ini, bercerita bahwa Mikail mengajaknya dan Angel
ke makam Natasha. Hubungan Mikail dan Lana, meskipun awalnya penuh
dengan permusuhan, sekarang menjadi begitu baik dan mesra, Serena benar-benar ikut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya itu.
"Oh ya, dan Rafi menitip salam tadi lewat telepon
ketika kau masih beristirahat", Damian tersenyum lembut, "Kata Rafi,
dengan terapi dari dokter Vanessa dan teman ahlinya di
sana, dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan kruk
sekarang, dan beberapa saat lagi dia pasti sudah bisa berlari. Sembuh
sepenuhnya", mata Damian melembut melihat kebahagiaan
di mata Serena yang berkaca-kaca,
"Katanya dia akan pulang tiga bulan lagi dan memperkenalkan Rachel,
perempuan yang dia ceritakan itu, yang telah berhasil mencuri hatinya"
Serena mengangguk, "Aku tidak sabar bertemu dengan
Rachel, dia pasti perempuan yang baik, aku bersyukur Rafi bisa menemukan
kekasih sejatinya"
"Seperti aku yang akhirnya bisa menemukanmu", Damian
menggenggam tangan Serena, "Terimakasih waktu itu sudah memilihku
Serena, terimakasih sudah menjadi isteriku, mengandung dan melahirkan anak-anakku, terimakasih sudah menjadikanku Lelaki paling bahagia di dunia"
Air mata mengalir di pipi Serena, mengenang masa-masa
dulu. Segala kesakitan, kelelahan, kebahagiaan bercampur aduk, dan pada
akhirnya cintalah yang memenangkan segalanya. Perasaan cinta yang
membuncah membuat
dadanya terasa penuh sehingga dia tak mampu berkata-kata.
Dengan lembut, meskipun gerakannya terbatasi oleh
Romeo yang masih lelap dipangkuannya, Damian mengusap dahi Serena. lalu
merangkum pipi Serena di kedua tangannya, "Aku mencintaimu Serenaku"
Serena mengangguk dan mengecup jemari Damian, "Aku juga mencintaimu Damianku"
Lelaki itu mendekatkan bibirnya, dan mengecup bibir Serena, mulanya adalah ciuman yang lembut, tetapi kemudian
menjadi bergairah, bibir Damian menikmati bibir
Serena, mencecap rasanya dan menghirupnya, lidahnya menelusuri bibir
lembut Serena dan kemudian berpadu dengan lidah Serena.
Geliat Romeo dalam tidurnya di pangkuan Damian membuat bibir mereka terlepas, Damian memandang Serena lalu mereka tertawa bersama-sama.
Dua anak manusia itu berpelukan, dengan buah cinta yang terlelap di
antara mereka. Dua anak manusia yang pada akhirnya berpadu, dalam suatu
ikatan perkawinan yang luar biasa indahnya. Penuh kebahagiaan.
End of Epilog
TENTANG PENULIS:
Santhy Agatha, sang penulis, adalah perempuan biasa-biasa saja. Seorang isteri merangkap seorang wanita karier yang mencuri waktu untuk menuliskan rangkaian kata-kata yang terpendam di otaknya, di sela-sela kesibukannya setiap hari. Santhy Agatha mengkhususkan genre novelnya pada genre romantic karena tak habis-habisnya dia mengagumi begitu banyak kisah indah yang bisa dimunculkan dari dua manusia yang saling mencintai.
Novel ‘A Romantic Story About Serena'
Saat ini, Santhy Agatha hidup di kota Bandung, di
tengah hujan, dan dalam rumah mungil yang ditinggalinya bersama suami
tercinta. Masih aktif menulis cerpen, puisi, dan apapun untuk
merangkaikan kata-kata yang ada di benaknya.
0 Response to "Novel Sleep With The Devil"
Post a Comment