
NOVEL SUNSHINE BECOMES YOU
Wednesday, April 20, 2016
JUDUL : SUNSHINE BECOMES YOU
PENULIS : ILANA TAN
Prolog
Never seek to tell thy love,
Love that never told can be;
For the gentle wind doth move
Silently, invisibly.
I told my love, I told my love,
I told her all my heart,
Trembling, cold, in ghastly fears.
Ah! She did depart!
Soon after she was gone from me,
A traveller came by,
Silently, invisibly
He took her with a sigh
Love’s Secret, William Blake (1757-1827)
1
Bab Satu
RAY
HIRANO bersiul pelan sambil melihat ke kiri dan ke kanan
sebelum berjalan cepat menyeberangi jalan ke arah salah satu bangunan
bertingkat empat yang berderet di seberang jalan, di salah satu area
pemukiman di Reverside Drive. Langit kota New York terlihat cerah,
secerah suasana hati Ray sendiri. Hari yang indah selalu bisa membuat
semua orang gembira, bukan?
Yah, sebenarnya tidak juga. Tidak semua orang. Ray yakin ada seseorang
yang mungkin sama sekali tidak menyadari langit kota New York yang
cerah. Dan bahkan mungkin tidak menyadari daun-daun sudah berubah warna
menjadi kuning, cokelat, dan merah. Tidak sadar dan tidak peduli.
Dan seseorang itu adalah kakak laki-lakinya.
Ray yakin Alex Hirano terlalu sibuk untuk menyadari apa pun yang terjadi
di sekelilingnya akhir-akhir ini. Ia baru saja merampungkan konser
pianonya di Eropa, dan minggu depan ia akan memulai konsernya di Amerika
Serikat. Dan seperti biasa, kalau Alex sudah sibuk, ia jarang mau
menjawab telepon dan jarang mau meluangkan waktunya yang berharga untuk
membalas pesan atau semacamnya. Karena itu Ray akhirnya memutuskan pergi
menemui Alex secara langsung. Setidaknya untuk memastikan kakaknya
masih hidup. Juga untuk memastikan kakaknya tidak membuat langit New
2
York berubah mendung, semendung suasana hatinya. Oh, kedengarannya
memang berlebihan, tapi percayalah, Alex mampu membuat orang-orang di
sekitarnya menjadi tidak bisa menikmati hari yang indah kalau ia sendiri
sedang tidak ingin menikmati hari yang indah.
Ray berlari-lari kecil menaiki anak tangga di depan gedung, masih tetap
bersiul pelan. Ia baru hendak menekan bel interkom apartemen di lantai
empat ketika pintu depan terbuka dan seorang wanita dan seorang anak
perempuan kecil keluar dari gedung. Tangan Ray terulur menahan pintu
tetap terbuka sementara pasangan ibu dan anak itu berjalan lewat dan
menuruni tangga batu sambil bercakap-cakap.
Ray melangkah masuk ke dalam gedung dan pintu depan pun tertutup serta
terkunci secara otomatis di belakangnya. Satu menit kemudian ia sudah
berdiri di depan pintu bercat putih dilantai empat dan tangannya
terangkat menekan bel.
Pintu baru dibuka setelah Ray menekan bel untuk ketiga kalinya. Raut
wajah kakaknya yang berdiri di ambang pintu menegaskan dugaan Ray bahwa
suasana hati kakaknya memang tidak terlalu ceria.
"Hai." Ray tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangan untuk menyapa.
Alex Hirano menatap adiknya dengan alis berkerut samar, "Kau rupanya,"
gumamnya, lalu melangkah ke samping membiarkan Ray lewat.
3
"Ya," sahut Ray ringkas dan berjalan ke ruang duduk yang luas dan rapi.
Ray menyadari pemanas sudah dinyalakan. Setidaknya kakaknya tidak
terlalu sibuk sampai lupa menyalakan pemanas. Cahaya matahari menembus
kaca jendela yang berderet di salah satu sisi ruangan, membuat ruangan
itu terasa hangat, terang, dan sangat nyaman. Ruang duduk itu dilengkapi
sofa besar yang empuk, dua kursi berlengan, dan meja rendah dari kayu
di tengah-tengah ruangan. Lantainya berlapis karpet tebal. Rak yang
dipenuhi berbagai jenis buku—kebanyakan buku musik—menutupi salah satu
dinding di sana. Ray melirik piano hitam yang berdiri di sisi lain
ruangan. Piano itu dalam keadaan terbuka, dan partitur-partitur musik
penuh coretan berserakan di sekitarnya, di atas piano, di bangku piano,
di meja kecil samping piano, dan juga di lantai di sekeliling piano.
"Kukira kau masih di Atlanta." Suara Alex terdengar di belakangnya.
Ray memang pernah memberitahu kakaknya bahwa ia dan krunya, Groovy Crew,
akan mengikuti perlombaan b-boy yang diadakan di Atlanta. Ternyata
kakaknya masih ingat, Ia berbalik menatap kakaknya yang berjalan
menyusul ke ruang duduk. "Aku kembali ke New York kemarin sore," sahut
Ray ringan.
Walaupun keturunan Jepang, mereka adalah generasi ketiga keluarga Hirano
yang lahir, besar, dan menetap di Amerika Serikat. Itulah sebabnya
mereka selalu bicara dalam bahasa Inggris, bahkan dengan orangtua
mereka.
Alis Alex terangkat. "Benarkah?" Ia menggeleng pelan dan duduk di bangku
pianonya.
4
Ray berbalik dan berjalan ke arah dapur. "Ada minuman? Aku haus setengah
mati. "Ia membuka pintu kulkas dan berseru, "Kau tidak punya apa-apa
selain air mineral?"
"Entahlah. Cari saja sendiri." Terdengar jawaban setengah hati dari
kakaknya.
Ray mendesah dan mengambil sebotol air mineral lalu menutup pintu
kulkas. Ia berjalan kembali ke ruang duduk, di mana kakaknya sudah
kembali menghadap piano dan menempatkan jari-jarinya di atas tuts,
memainkan beberapa nada ringan. "Jadi apa yang membuatmu begitu sibuk
sampai tidak bisa menjawab telepon dari adikmu? Persiapan untuk konsermu
minggu depan?" tanyanya, lalu meneguk airnya langsung dari botol.
"Bukan," gumam Alex. Ia tidak memandang Ray, malah memberengut menatap
tuts piano. "Aku hanya ingin menyelesaikan ini." Jemarinya kembali
bergerak-gerak lincah di atas tuts, dan denting piano yang indah
memenuhi apartemen itu. Lalu tiba-tiba saja Alex menghentikan
permainannya dan menggerutu pelan, "Ini tidak benar."
Ray mengerjap. "Kenapa? Menurutku itu bagus," komentarnya. "Lagu
barumu?"
Alex tidak menjawab. Ia kembali memberengut ke arah tuts piano dan
sepertinya sudah kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
―Alex?‖
Yang dipanggil tidak menjawab, padahal Ray berdiri tepat di sampingnya.
5
―Alex,‖ panggil Ray lagi. Kali ini sedikit lebih keras
Tetap tidak ada reaksi.
―Alex!‖
Kali Ini Alex mengangkat wajah, menatap Ray dengan jengkel.
―Apa?‖
Ray melotot menatap kakaknya. ―Kau harus menjauh dari
pianomu untuk sementara,‖ katanya tegas. ―Kau harus keluar dari
apartemen ini. Sudah berapa lama kau mendekam terus di sini? Sejak
kembali dari Eropa minggu lalu? Ini tidak sehat, kau tahu?‖
―Aku keluar kemarin,‖ bantah Alex, namun nada suaranya
tidak terdengar meyakinkan.
―Oh, ya?‖
―Ya, aku keluar untuk… untuk…‖ Alex terdiam, lalu mendongak menatap Ray
dengan kening berkerut. ―Kenapa pula aku harus menjelaskan semuanya
kepadamu?‖
Ray mendesah. ―Oke. Kita harus keluar dari sini. Ayo, kutraktir makan
siang.‖
‗Tidak usah, Aku tidak lapar.‖
―Jadi apa yang akan kau lakukan? Duduk di sini dan terus memelototi
pianomu?‖ tanya Ray. ―Ayo, kita pergi. Siapa tahu
setelah makan dan berjalan-jalan melihat dunia di luar sana kau bisa
mendapat inspirasi untuk melanjutkan lagu barumu itu. Ayo.‖
Alex mendesah keras. ―Kadang-kadang aku lupa kau bisa sangat
menjengkelkan,‖ gerutunya. Namun ia bangkit juga dari
bangkunya dan memandang ke sekeliling ruang duduk. ―Di mana
kutaruh kunci sialan itu?‖
6
Ray mengangkat setumpuk kertas penuh coretan not balok
dari meja kopi dan menemukan kunci mobil yang dicari. ―Ayo, kita
pergi sekarang.‖
―Omong-omong, kau belum melakukan apa yang ingin kau
lakukan dengan datang menemuiku hari ini,‖ kata Alex kepada Ray
ketika mereka sudah keluar dari apartemennya dan menuruni tangga. ―Kau
lupa?‖
Ray menoleh menatap kakaknya dengan alis terangkat heran.
―Apa maksudmu?‖
Alex tersenyum. ―Kau datang ke sini untuk berkoar-koar memamerkan diri
karena berhasil memenangi perlombaan b-boy di
Atlanta itu, bukan?‖
Ray menatap kakaknya dengan ekspresi terluka. ―Asal kau tahu saja,
berhubung kau sama sekali tidak menjawab telepon dari keluargamu, aku
datang ke sini untuk memastikan kau masih hidup dan masih waras. Untuk
mengingatkanmu bahwa kau masih punya ayah, ibu, dan adik yang
mengkhawatirkanmu,‖ katanya panjang— lebar.
―Hmm.‖
―Dan untuk berkoar-koar memamerkan diri karena kami berhasil memenangkan
perlombaan itu,‖ lanjut Ray sambil tersenyum lebar. ―Kau mengenalku
dengan baik, bukan?‖
Alex tertawa. ―Sebaik kau mengenalku.‖
Alex tidak akan mengakui hal ini kepada adiknya, tetapi ia memang merasa
lebih baik setelah keluar dari apartemennya. Kepalanya tidak lagi
terasa berat. Meninggalkan pekerjaannya
7
sejenak dan berjalan-jalan menghirup udara segar di luar mungkin memang
ada baiknya.
Sebenarnya Alex bukan orang yang gila kerja. Pada awalnya, setelah
merampungkan konsernya di Eropa, ia memutuskan untuk beristirahat
sejenak, benar-benar bersantai sebelum kemudian memulai konsernya di
Amerika Serikat. Tetapi dalam penerbangan kembali ke New York, mendadak
saja ia mendapat inspirasi untuk membuat lagu baru. Namun lagu baru ini
tidak bisa diselesaikannya karena inspirasinya menguap begitu saja
ketika ia menginjakkan kaki kembali di New York. Kenyataan bahwa ia
tidak bisa menyelesaikan lagu itu membuatnya uring-uringan karena ia
adalah jenis orang yang harus menyelesaikan sesuatu yang sudah
dimulainya.
―Jadi, kita mau makan di mana?‖ tanya Alex ketika mereka
sudah berada di dalam mobil dan meluncur mulus di jalan raya.
―Ada restoran bagus yang selalu ramai dikunjungi orang di dekat studio
tariku. Kau mau mencobanya?‖ tanya Ray.
―Setahuku tidak ada restoran bagus di dekat studio tarimu,‖
kata Alex sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat.
Di dekat studio tariku yang biasa memang tidak ada,‖ Ray membenarkan.
―Yang kumaksud adalah studio tari tempatku mengajar sekarang. ―Di dekat
Greenwich Village. Beberapa minggu
terakhir ini aku menyempatkan diri mengajar kelas hip-hop dan
sedikit teknik b-boy kepada anak-anak remaja.‖
Alex melirik adiknya sekilas dengan alis terangkat. ―Kau?
Mengajar?‖ katanya denga nada tidak percaya. Oke, adiknya
memang b-boy yang sangat berbakat. Ia dan krunya sudah sering
8
memenangi pertandingan b-boy nasional dan internasional. Tetapi Ray
Hirano sama sekali bukan tipe orang yang bisa mengajari orang lain. Ia
memang cerdas dan bisa belajar dengan sangat cepat. Namun mengajari
orang lain? Tidak. Ray bukan orang yang sabar dan ia sama sekali tidak
berbakat menjadi guru. Alex adalah kakak kandungnya yang tumbuh besar
dengannya, jadi ia tahu benar soal itu.
Ray tersenyum lebar kepada kakaknya. ―Hanya kadang-kadang. Tapi,
mengejutkan, bukan? Kau tidak menyangka aku bisa
mengajar?‖
―Tentu saja tidak,‖ sahut Alex blak-blakan. ―Jadi apa yang
membuatmu tiba-tiba memutuskan mengajar anak-anak?‖
Ray mendesah, namun senyumnya masih tersungging di
bibirnya. ―Karena dia memintaku melakukannya.‖
―Dia? Siapa?‖
―Mia.‖
―Mia siapa?‖
―Mia Clark.‖
Alex mengerutkan kening dan berusaha mengingat apakah ia mengenal nama
itu, karena dari cara Ray menyebut nama itu, sepertinya semua orang
seharusnya mengenal siapa Mia Clark. Tapi tidak, Alex yakin ia tidak
mengenal seorangpun dengan nama seperti itu.
―Dia bertanya padaku apakah aku bisa datang sesekali dan
mengajar kelas hip-hop di studio tari tempatnya mengajar—dia juga
penari, kau tahu? Penari kontemporer. Sangat berbakat. Aku pernah
9
melihatnya menari. Dan aku langsung… terpesona.‖ Ray terdiam
sejenak, seolah-olah kembali tenggelam dalam pesona yang
disebut-sebutnya itu. Lalu ia melanjutkan, ―Pokoknya dia bertanya padaku
apakah aku bisa mengajar kelas hip-hop karena mereka kekurangan
instruktur hip-hop yang layak. Bagaimana aku bisa menolak
kesempatan untuk bertemu dengannya lagi?‖
―Mmm,‖ gumam Alex sambil mengangguk-angguk mengerti.
―Jadi kau menyukai gadis itu.‖
―Ya,‖ jawab Ray terus terang, ―Aku dan sekitar selusin laki-laki lain.‖
―Ah. Gadis yang popular,‖ komentar Alex.
―Bisa dibilang begitu,‖ Ray membenarkan, lalu tersenyum tipis. ―Dia
gadis yang manis. Dan menyenangkan. Dan… entahlah, dia membuat segalanya
terasa baik. Kau mengerti maksudku?‖
Ya tuhan. Adikku berubah cengeng, desah Alex dalam hati. ―Jadi, apakah
dia juga menyukaimu?‖ ia balik bertanya.
Kali ini Ray menghela napas panjang. ―Itulah masalahnya.
Aku tidak tahu.‖
Alex melirik adiknya sekilas dan kembali memperhatikan jalan
di depan. ―Kau tidak tahu?‖
―Aku benar-benar tidak tahu, ― kata Ray lagi. ―Kadang-kadang kupikir dia
menyukaiku. Kau tahu, ada saatnya ketika dia menatapku, tersenyum
padaku, atau ketika dia berbicara kepadaku, kupikir dia menyukaiku. Tapi
kemudian aku sadar bahwa dia juga menatap, tersenyum, dan berbicara
kepada orang lain seperti itu.
Jadi…. Yah, aku tidak tahu.‖
10
Alex tertawa keras. ―Ray, kau sudah dipermainkan,‖ katanya
tanpa basa-basi. ―Kalau dia memang gadis popular, bisa
kubayangkan dia pasti sudah ahli mengendalikan laki-laki yang
mengerubunginya. Termasuk kau, Ray yang malang.‖
Ray menggeleng-geleng. ―Tidak, dia tidak seperti itu. Dia buka
tipe gadis seperti itu,‖ bantahnya pelan. ―Dengar, kenapa kau tidak
mampir sebentar di studio dan aku akan memperkenalkanmu
kepadanya. Setelah itu kau akan tahu bahwa penilaianmu salah.‖
Alex tidak menjawab, hanya tersenyum lebar dan mengangkat
bahu.
―Dau kalau kau memang ahli menilai wanita, mungkin setelah
melihatnya dan memperbaiki penilaian awalmu tentang dia, kau bisa
memberikan sedikit petunjuk kepadaku tentang cara mendekatinya,‖
tambah Ray lagi.
*****
―Ini tempatnya. Ayo, masuk.‖
Alex berhenti melangkah dan menatap gedung batu bertingkat tiga di
hadapannya. Pada papan nama yang tergantung di atas pintu masuk tertulis
Small Steps Big Steps Dance Studio. Alex mengikuti Ray yang sudah masuk
ke dalam gedung dan melewati meja resepsionis. Ray menyapa wanita
setengah baya di balik meja resepsionis, yang balas menyapa sambil
tersenyum lebar.
―Itu yang namanya Mia?‖ gurau Alex.
11
―Haha. Lucu,‖ gumam Ray datar. ―Biasanya dia ada di ruang
latihan di lantai atas. Ayo.‖
Alex terkekeh dan mengikuti Ray menaiki tangga ke lantai
atas. ―Coba ceritakan bagaimana kau bisa bertemu dengan Mia ini.‖
Sebelum Ray sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara terkesiap keras
dari atas mereka, disusul bunyi keras. Mereka berdua serentak mendongak.
Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Alex sama sekali tidak melihat
apa yang terjadi. Sesuatu terjatuh dari lantai atas, menubruknya dengan
keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di
tangga.
―Alex!‖
Alex mendengar seruan Ray sebelum dirinya mendarat di lantai dan
kepalanya membentur sesuatu yang keras. Pandangannya menggelap sesaat
dan kegelapan serasa berputar-putar di balik kelopak matanya. Sesuatu
yang besar menindihnya. Ia tidak bisa bicara. Dan hampir tidak bisa
bernapas.
―Alex! Alex, kau tidak apa-apa?‖
Alex mendengar suara Ray yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab.
―Mia?‖ Suara Ray terdengar lagi. Kali ini nada suaranya
terdengar lebih cemas lagi, ―Mia, kau tidak apa-apa?‖
Alex membuka mata dan langsung menyadari apa yang sebenarnya menindihnya
dan membuat dadanya terasa berat.
Gadis berwajah Asia dan berambut pendek sebahu yang menindih Alex itu
mengerjap satu kali, lalu mata hitamnya terbelalak
12
kaget. ―Oh! Oh, astaga. Oh, astaga! Maafkan aku.‖ Ia cepat-cepat
berusaha berdiri.
―Mia, kenapa…? Apa yang terjadi?‖ tanya Ray sambil menarik
lengan gadis itu untuk membantunya berdiri.
Gadis itu meringis ketika kaki kanannya menginjak lantai.
―Aduh, Aduh. Sebentar…‖
―Kakimu terkilir?‖ tanya Ray khawatir.
Alex menatap adiknya dengan tatapan tidak percaya. Ray sibuk mengurusi
gadis itu dan tidak peduli pada kakaknya yang tergeletak tak berdaya di
lantai? Lihat saja, Ray Hirano akan menerima balasannya nanti. Alex
berusaha duduk. Ia menggerakkan tangan untuk menopang tubuhnya dan
langsung diserang oleh rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung.
―Ada luka lain?‖ Suara Ray terdengar lagi dan sudah pasti pertanyaan itu
bukan ditujukan kepada Alex. ―Kepalamu terbentur? Ayo, sebaiknya kita
pergi ke rumah sakit.‖
―Tidak!‖ bantah gadis itu cepat. ―Kenapa harus ke rumah sakit? Tidak.
Aku baik-baik saja.‖
―Tapi sebaiknya kau memeriksakan diri ke rumah sakit.
Hanya untuk memastikan,‖ kata Ray lagi.
―Tidak perlu. Sudah kubilang aku tidak apa-apa.‖ ―Tapi…‖
Alex duduk dengan susah payah dan menyela adiknya,
―Kurasa kita harus ke rumah sakit.‖
Gadis itu menoleh ke arah Alex. ―Sungguh. Aku tidak perlu ke
rumah sakit. Aku…‖
13
―Bukan kau,‖ sela Alex tajam sambil mengertakkan gigi
menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk pergelangan tangan
kirinya. ―Tapi aku.‖
Kali ini Ray menoleh ke arah Alex. ―Oh, astaga.‖
14
Bab
Dua
―APA? Kakakmu seorang pianis?‖ Mia Clark menatap Ray yang
duduk di sampingnya dengan mata terbelalak lebar. “Pianis?”
Ray balas menatapnya dan tersenyum tipis, namun Mia bisa melihat
ekspresi cemas di wajah laki-laki itu. ―Ya. Malah dia cukup terkenal,‖
sahut Ray pelan.
Mia merasa sekujur tubuhnya berubah dingin. ―Aku mematahkan tangan
seorang pianis terkenal,‖ gumamnya lirih. Lalu
ia memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
―Ya Tuhan.‖
―Hei, ini bukan kesalahanmu,‖ kata Ray sambil memegang
bahu Mia dan mengguncangnya pelan, mencoba menghiburnya.
―Kau juga bukannya sengaja tersandung karpet dan menjatuhkan diri
dari tangga untuk mencelakainya.‖
Mia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Ia dan
Ray sedang duduk di deretan bangku di koridor rumah sakit, menunggu Alex
Hirano yang masih berada di ruang pemeriksaan dokter. Ajaibnya, Mia
sendiri tidak terluka setelah terjatuh dari tangga. Hanya ada sedikit
memar di pahanya. Pergelangan kakinya tadi juga hanya terkilir ringan
dan sekarang sudah sembuh sama sekali.
15
Sedangkan Alex Hirano… Mereka tidak tahu separah apa cedera yang dialami
Alex, tetapi melihat bagaimana laki-laki itu memejamkan mata dan
mengertakkan gigi menahan sakit selama perjalanan ke rumah sakit, Mia
sudah mempersiapkan diri menerima yang terburuk. Tetapi, ia benar-benar
tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apa yang harus kau
lakukan apabila kau mematahkan tangan pianis terkenal?
Yah… Tentu saja hal pertama yang harus kau lakukan adalah meminta maaf.
Mia belum sempat melakukannya tadi. Ya, ia harus meminta maaf setelah
itu? Selain meminta maaf, apa lagi yang harus kau lakukan apabila kau
mematahkan tangan pianis terkenal? Membayar biaya perawatannya?
Bagaimana kalau Alex Hirano tidak bisa bermain piano lagi? Gagasan itu
tiba-tiba menyelinap ke dalam benak Mia dan Mia
pun menegang. Ya Tuhan, semoga hal itu tidak terjadi. Ia pasti merasa
sangat berdosa kalau hal itu sampai terjadi.
Mia kembali menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang
dibencinya membuat dadanya terasa berat dan sesak. Telinganya menangkap
suara-suara di sekitarnya. Suara para dokter dan perawat yang membahas
pasien tertentu dalam istilah kedokteran yang tidak dipahami orang awam,
suara bernada monoton yang terdengar dari pengeras suara, dering
telepon, bunyi ranjang beroda yang didorong cepat sepanjang koridor,
bunyi berdenting ketika pintu lift terbuka. Semua suara itu membuat Mia
semakin tertekan. Ia ingin segera keluar dari sini. Ia ingin…
16
Tiba-tiba Ray melompat berdiri di sampingnya. Mia mendongak dan melihat
Alex Hirano keluar dari ruang pemeriksaan bersama seorang dokter tua.
Sepertinya sang dokter sedang mengatakan sesuatu dan Alex Hirano
mendengarkan sambil mengangguk muram. Mata Mia berahli ke tangan Alex
Hirano. Tangan kirinya dibebat dan tergantung kaku di depan dadanya.
Jadi… tangannya benar-benar patah?
―Bagaimana tanganmu? Apa kata dokter?‖ Ray bertanya
ketika Alex Hirano sudah selesai bicara dengan dokter dan menghampiri
mereka.
Mia ikut berdiri dengan perlahan. Saat itu juga mata Alex Hirano berahli
ke arahnya dan Mia merasa jantungnya berhenti sejenak dan napasnya
tercekat. Mata hitam yang menatapnya dengan dingin itu membuat Mia
berharap bumi menelannya detik itu juga. Seandainya tatapan bisa
membunuh, Mia pasti sudah terkapar tak bernyawa.
Kemudian tatapan mematikan itu berahli ke arah Ray.
―Kenapa dia masih ada di sini?‖ tanya Alex Hirano dengan suara
rendah dan pelan.
Mia menggigit bibir dan melirik Ray sekilas. Ia tahu pasti siapa
―dia‖ yang dimaksud. Begitu pula Ray.
―Alex, ayolah. Mia tidak mencelakaimu dengan sengaja. Kau
tahu itu,‖ kata Ray berusaha menenangkan kakaknya.
Alex Hirano tidak berkata apa-apa. Tanpa melihat ke arah Mia
lagi ia berjalan melewati adiknya dengan langkah lebar.
―Alex,‖ panggil Ray. ―Alex!‖
17
Mia menatap punggung Alex Hirano yang berjalan pergi menyusuri koridor
dengan perasaan bercampur aduk. Bingung. Cemas. Takut.
Ray mendesah berat dan menoleh menatap Mia sambil
tersenyum. ―Ayo,‖ katanya.
Mia menatap Ray, lalu menatap sosok Alex yang menjauh, lalu
kembali menatap Ray. ―Eh… kurasa aku tidak…‖
―Ayolah,‖ sela Ray sambil meraih siku Mia dan menariknya
menyusul Alex yang sudah tiba di depan pintu lift di ujung koridor.
Begitu pintu lift terbuka dan mereka melangkah masuk, Mia
langsung berdiri menempel di sudut. Alex Hirano tidak berbicara sepatah
kata pun. Ray menatap Mia dan kakaknya bergantian, lalu mengembuskan
napas pelan.
―Jadi apa kata dokter?‖ Ray mencoba bertanya kepada Alex
sekali lagi.
Mia memberanikan diri melirik Alex Hirano. Ia tidak bisa melihat
laki-laki itu dengan jelas dari tempatnya berdiri, tetapi dari apa yang
bisa dilihatnya, wajah Alex Hirano masih terlihat menakutkan. Setelah
sejenak, terdengar suara Alex Hirano yang rendah, ―Aku tidak boleh
menggerakkan tanganku. Dan tanganku akan tetap dibebat seperti ini
selama dua bulan ke depan. Setelah itu kita baru bisa tahu dengan pasti
apakah ada kerusakan permanen,
dan apakah aku bisa menggerakkan tanganku seperti dulu lagi.‖ ―Dua
bulan?‖ tanya Ray kaget. Ia menatap kakaknya, ―Berarti
konsermu minggu depan…‖ ―Mm.‖
18
Konser? Minggu depan? Konser apa? Mata Mia berahli dari Alex Hirano ke
Ray, lalu kembali ke Alex Hirano. Apa yang sedang mereka bicarakan?
Jangan-jangan…
―Harus dibatalkan.‖
Tepat setelah Alex Hirano berkata seperti itu, terdengar bunyi
berdenting dan pintu lift terbuka. Alex Hirano dan Ray melangkah keluar
dari lift, namun Mia mematung sejenak sebelum tersadar dan cepat-cepat
menyusul mereka.
Jadi Alex Hirano seharusnya mengadakan konser minggu depan? Dan sekarang
ia harus membatalkan konser itu karena tangannya cedera? Mia memang
tidak tahu banyak tentang penyelenggaraan konser, tetapi membatalkan
suatu pertunjukan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada masalah
ganti rugi dan semacamnya… Bukankah begitu?
Astaga, masalah ini semakin rumit.
Setelah mereka masuk ke dalam mobil—Ray mengemudi, Alex Hirano menempati
kursi penumpang di sampingnya, dan Mia duduk di kursi belakang yang
agak sempit—dan mobil melaju meninggalkan rumah sakit, Mia berusaha
menenangkan diri dan mengumpulkan keberaniannya. Ia memejamkan mata,
menarik napas panjang diam-diam, dan baru hendak membuka mulut untuk
meminta maaf ketika Alex Hirano mengeluarkan ponsel dari saku celananya,
menekan salah satu tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
Mia mengurungkan niatnya dan menutup mulutnya kembali.
―Kau menelpon siapa?‖ tanya Ray.
19
―Karl‖
―Manajermu?‖
―Mm.‖ Lalu, ―Karl? Ini aku. Aku ingin kau membatalkan konser minggu
depan.‖
Mia menggigit bibir.
―Tidak, bukan hanya konser di New York ini. Semuanya… Ya, semuanya…
Chicago, L.A, Boston… Ya, Karl, semuanya. Batalkan semua jadwalku sampai
akhir tahun.‖
Mia mulai menggigiti kuku jarinya. Jadi bukan hanya satu
konser? Apakah keadaan ini bisa lebih buruk lagi?
―Akan kuceritakan besok,‖ kata Alex Hirano. ―Sekarang
katakan padaku apa yang bisa kau lakukan tentang pembatalan ini?‖
Mia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan setelah itu. Alex Hirano
lebih banyak mendengarkan, kadang-kadang menyela untuk bertanya atau
bergumam pendek. Mia memandang ke luar jendela, namun tidak benar-benar
mengamati sesuatu. Pemandangan di luar sana melesat lewat dalam bentuk
bayangan samar.
Hari ini bukan hari yang mudah bagi Mia, dan bukan hanya karena masalah
Alex Hirano. Harinya sudah terasa salah sejak Mia membuka mata pagi ini.
Dan dari sana segalanya bertambah buruk.
Ray membelok ke Riverside Drive. Tidak lama kemudian ia melambatkan laju
mobilnya dan berhenti di depan salah satu gedung bertingkat empat di
tepi jalan. Alex Hirano menutup ponsel dan
menoleh ke arah Ray. ―Aku harus menemui Karl besok pagi. Kau bisa
mengantarku ke sana?‖ Ia menggerakkan tangan kirinya yang digantung di
depan dada. ―Aku tidak bisa mengemudi.‖
20
―Maaf, besok tidak bisa,‖ sahut Ray dengan nada menyesal.
―Kami harus tampil dalam acara amal untuk anak-anak.‖
―Aku bisa.‖ Dua kata itu meluncur dari mulut Mia sebelum
sempat diproses otaknya.
Kedua laki-laki yang duduk di depannya menoleh menatapnya. Yah,
sebenarnya Ray yang menoleh menatapnya. Alex Hirano hanya memiringkan
kepala sedikit, melirik Mia sekilas, lalu kembali menatap lurus ke
depan.
―Aku…,‖ gumam Mia agak salah tingkah. ―Aku bisa…
Maksudku…‖
Alex Hirano menghela napas panjang, lalu bergumam, ―Tidak perlu.― Lalu
kata-kata berikutnya lebih ditujukan kepada Ray, ―Biar
kusuruh Karl datang ke sini saja besok pagi.‖
Mia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak sempat, karena
Alex Hirano sudah membuka pintu mobil dan keluar.
Ray melemparkan seulas senyum menenangkan ke arah Mia, lalu bergegas
membuka pintu mobil dan menyusul kakaknya yang sudah mulai menaiki
tangga batu di luar gedung. Mia juga keluar, namun ia tetap berdiri di
samping mobil di trotoar, melihat Ray memegang bahu Alex dan mengatakan
sesuatu kepadanya. Mia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan dari
tempatnya berdiri, tetapi Alex Hirano hanya mendengarkan Ray tanpa
berkata apa-apa. Alex Hirano menyipitkan mata menatap adiknya, lalu
menoleh ke arah Mia. Tanpa sadar Mia menelan ludah ketika mata gelap itu
menatapnya. Dan tanpa sadar pula ia melangkah mundur dan punggungnya
langsung menempel di mobil. Kemudian Alex kembali
21
menatap Ray, mengatakan sesuatu yang singkat, lalu berjalan masuk ke
dalam gedung. Pintu depan tertutup di belakang Alex Hirano dan saat itu
barulah Mia bisa mengembuskan napas yang ternyata ditahannya sejak tadi.
Ray menuruni tangga dan menghampiri Mia. ―Jangan khawatir. Alex tidak
menyalahkanmu,‖ katanya sambil tersenyum
menenangkan.
Mia menatapnya dengan alis terangkat ragu. ―Kau yakin? Asal kau tahu
saja, dia terlihat sangat menakutkan bagiku.‖
Ray tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu berkata, ―Aku akan
mengantarmu kembali ke Small Steps.‖
Mia menggeleng. ―Tidak perlu. Sebaiknya kau menemani kakakmu saja,‖
sahutnya tegas. Melihat Ray sepertinya ragu dan
hendak membantah, Mia cepat-cepat memaksa bibirnya tersenyum
dan berkata, ―Aku akan menelponmu nanti. Oke?‖
*****
Mia berlari-lari kecil menaiki tangga dan memasuki gedung Small Steps
Big Steps Dance Studio. Agnes yang duduk di balik meja resepsionis
mengangkat wajah. Begitu melihat siapa yang datang, wanita setengah baya
iu langsung terkesiap, melompat berdiri dan bergegas menghampiri Mia.
Kecelakaan di tangga tadi sempat menghebohkan orang-orang di sana dan
Agnes hanya ingin memastikan Mia tidak menderita luka parah atau
semacamnya. Tanpa memberikan penjelasan mendetail tentang Alex Hirano,
Mia
22
menegaskan kepada Agnes bahwa dirinya baik-baik saja dan malah bisa
langsung mengajar kelas berikutnya tanpa masalah. Dan Agnes berjanji
akan membakar karpet tua sialan yang membuat Mia tersandung dan akhirnya
terjatuh dari tangga.
Setelah itu Mia pergi ke ruang loker untuk bersiap-siap. Jam yang
tergantung di dinding ruang loker menunjukkan bahwa kelasnya akan
dimulai setengah jam lagi.
Mia sudah menjadi instruktur tari kontemporer di Small Steps Big Steps
Dance Studio selama kurang-lebih satu tahun terakhir ini. Ia menyukai
pekerjaannya. Setidaknya dengan begini ia masih bisa menari. Walaupun
menjadi instruktur di studio tari tidak sama dengan menjadi penari utama
dalam pertunjukan besar di Broadway, setidaknya ia masih bisa menari.
Itulah yang terus-menerus dikatakannya pada diri sendiri. Setidaknya ia
masih bisa menari.
Menari adalah hidupnya. Menari adalah jiwanya. Ia tidak punya keahlian
selain menari. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi
padanya apabila ia tidak bisa menari lagi.
Mia sadar ia sama sekali tidak bisa dibilang berotak encer. Nilai
pelajarannya di sekolah dulu biasa-biasa saja. Ia tidak menonjol dalam
mata pelajaran apa pun. Dulu ia adalah gadis kecil yang teramat sangat
biasa. Tidak terlalu cantik, tidak terlalu pintar. Tetapi juga tidak
jelek dan tidak bodoh.
Berbeda dengan orangtuanya. Ayahnya adalah professor matematika di
universitas dan ibunya adalah akuntan. Kata orang, buah tidak akan jatuh
dari pohonnya. Tetapi disitulah letak permasalahannya. Mia bukan anak
kandung orangtuanya. Ia
23
diadopsi oleh pasangan Clark sejak bayi. Kenyataan bahwa dirinya adalah
anak adopsi sudah diketahui Mia sejak kecil. Bagaimana tidak? Mia yang
bermata gelap dan berambut hitam sangat berbeda dengan orangtuanya yang
bermata biru dan berambut pirang. Namun orangtuanya menyayanginya
sepenuh hati, selalu menganggap Mia sebagai anak kandung, dan selalu
mendukung Mia. Mia tidak pernah kekurangan kasih sayang atau apa pun.
Tetapi kadang-kadang ketika ia masih kecil—hanya kadang-kadang, dan ini
sangat jarang terjadi—ia ingin tahu siapa dirinya sebenarnya.
Ia tahu dirinya diadopsi dari panti asuhan di Amerika Serikat. Tetapi
tidak ada yang tahu siapa orangtua kandungnya, latar belakangnya, atau
apakah orangtuanya warga Negara Amerika atau bukan. Wajah Mia
menunjukkan ia memiliki keturunan Asia, tetapi ia tidak tahu tepatnya
Asia bagian mana.
Mia membuka pintu loker dan mengeluarkan tasnya. Lalu ia duduk di bangku
panjang di tengah-tengah ruangan dan menarik napas panjang.
Ia tidak pernah benar-benar ingin bertemu dengan orangtua kandungnya.
Untuk apa bertemu? Memangnya ada gunanya?
Ia mengeluarkan tabung plastik kecil dari dalam tas, membuka tutupnya,
menjatuhkan sebutir pil ke telapak tangan dan langsung memasukkannya ke
mulut.
―Mia?‖
Mia tersentak dan menoleh. ―Oh, Lucy,‖ gumamnya ketika
melihat rekan kerjanya sesama instruktur di Small Steps.
24
Lucy membuka pintu loker di sebelah loker Mia. Ia menggerakkan dagunya,
menunjuk tabung plastik yang ada dalam
genggaman Mia. ―Kau sakit?‖ tanyanya.
Mia melempar tabung plastik itu ke dalam tasnya dan
mendesah. ―Sakit kepala.‖
―Gara-gara jatuh di tangga tadi?‖
―Bagaimana kau bisa tahu tentang kejadian di tangga tadi?‖
Mia balas bertanya. ―Bukankah kau tadi tidak ada?‖
Lucy tertawa kecil. ―Agnes memberitahuku begitu aku
kembali sehabis makan siang. Katanya Ray dan temannya juga ada di sana
waktu itu dan mereka yang mengantarmu ke rumah sakit.‖
Mia mengernyit ketika teringat pada Alex Hirano. ―Dia bukan teman Ray,
tapi kakaknya,‖ gumamnya. ―Dan bukan aku yang terluka, tapi dia.‖
―Oh, ya? Tapi dia tidak apa-apa, bukan?‖
Mia mendesah berat. ―Tangannya terkilir dan harus dibebat selama dua
bulan ke depan.‖
―Oh? Tapi apakah dokter mengatakan sesuatu? Apakah cederanya serius?‖
Mia mengangkat bahu. ―Tidak. Entahlah.‖
―Kalau dia memang cedera parah, dokter pasti sudah berkata begitu.
Mungkin hanya terkilir sedikit. Bukan masalah besar,‖ kata
Lucy.
Mia menatap temannya dan tersenyum samar. ―Mudah-mudahan saja begitu.‖
25
Lucy melepas jaketnya dan menggantungnya ke bagian
belakang pintu loker. ―Aku lega kau tidak terluka, tapi aku ingin
sekali melihat reaksi Ray ketika melihatmu jatuh dari tangga,‖
katanya. ―Dia pasti panik setengah mati.‖
Mia berdiri dan memasukkan tasnya kembali ke dalam loker.
―Oh, ya? Kenapa?‖
Lucy menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. ―Kenapa?
Mia, dia jelas-jelas menyukaimu. Dia setuju mengajar di sini juga karena
kau memintanya. Jangan katakan padaku kau tidak
menyadarinya.‖
Oh, ya. Mia menyadarinya. Tetapi ia hanya tersenyum dan
berkata, ―Ray memang baik.‖
Lucy menutup pintu lokernya dan menyandarkan sebelah
bahu di sana, menghadap Mia. ―Dia memang baik. Jadi apa lagi yang kau
tunggu?‖
Mia menoleh menatap temannya. ―Apa?‖
―Dia baik, menyenangkan, dan menurutku enak dipandang.
Jadi apa lagi yang kau tunggu?‖ tanya Lucy sekali lagi. ―Kau tidak
menyukainya?‖
―Aku menyukainya,‖ bantah Mia.
―Tapi bukan dalam pengertian yang itu.‖
Mia menutup pintu loker dan tersenyum kepada temannya.
―Ayo, kita pergi. Kelas akan dimulai sebentar lagi.‖
―Lagi-lagi mengalihkan pembicaraan,‖ gerutu Lucy, lalu
mengikuti Mia keluar dari ruangan loker.
26
Bab
Tiga
ALEX berjalan menyusuri trotoar, kembali ke gedung apartemennya,
sambil menyesap kopinya dengan perasaan lega. Ia tidak bisa berfungsi
dengan baik sebelum minum secangkir kopi setiap pagi. Karena itu pagi
ini ia hampir gila karena tidak bisa membuat kopi seperti biasa. Sejak
kemarin ia baru menyadari bahwa ada banyak hal sederhana yang tidak bisa
dilakukannya hanya dengan sebelah tangan, termasuk membuat kopi.
Satu-satunya hal yang berhasil dilakukan Alex dengan sebelah tangan
adalah membuat dapurnya berantakan.
Semua ini gara-gara gadis itu.
Alex mengumpat dalam hati. Tidak, ia tidak akan memikirkan gadis itu.
Tidak sekarang. Kalau ia memikirkan gadis itu, yang ingin dilakukannya
sekarang adalah meremukkan wadah plastik berisi kopinya dan meninju
sesuatu. Jadi, tidak, ia tidak akan memikirkan gadis itu sekarang.
Sekarang ia hanya ingin menikmati kopinya, walaupun kopi yang dibelinya
dari kafe di ujung jalan ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan
kopi buatannya sendiri. Tapi hanya ini yang bisa didapatkannya sekarang.
Dan ia harus puas dengan ini. Kopi ini saja sudah cukup. Ia tidak perlu
sarapan walaupun ia kelaparan. Ia juga tidak perlu…
27
Alex menghentikan jalan pikirannya seiring langkah kakinya yang berhenti
mendadak di tengah anak tangga di depan gedung apartemennya.
Terkutuklah dirinya. Alex melihat gadis itu berdiri dipintu depan gedung
apartemennya.
Gadis itu
Mimpi buruknya. Malaikat kegelapannya.
Dan suasana hati Alex pun kembali buruk.
Gadis itu berdiri membelakangi Alex, menghadap interkom yang terpasang
di samping pintu, menekan bel apartemen Alex berulang-ulang. Setelah
menunggu beberapa detik dan tidak mendapat jawaban, ia menghela napas
panjang. Tentu saja, ia belum sadar bahwa Alex tidak ada di apartemen
karena Alex sebenarnya sedang berdiri tepat di belakangnya.
Alex mengerutkan kening menatap malaikat kegelapannya yang mendadak
muncul di depan matanya. Kenapa gadis itu datang ke sini?
Gadis itu masih berdiri menghadap interkom. Sebelah tangannya terangkat
sekali lagi hendak menekan bel, tetapi tidak jadi. Tangannya diturunkan
kembali. Ia mendesah pelan, lalu berbalik. Dan langsung terkesiap
melihat Alex.
Mata gadis itu melebar kaget dan ia berdiri mematung di hadapan Alex.
Alex tidak berkata apa-apa. Ia hanya memberengut menatap gadis yang
telah menghancurkan dunianya dan membuatnya cacat dalam sekejap.
28
Gadis itu membuka mulut, tetapi Alex lebih cepat. ―Jangan
coba-coba jatuh lagi,‖ katanya tajam.
Gadis itu menatapnya dengan bingung. Lalu ia menunduk dan sepertinya
menyadari apa yang dimaksud Alex. Ia berdiri di puncak tangga di depan
gedung apartemen, sementara Alex berdiri di tengah-tengah tangga. Ketika
ia kembali menatap Alex, wajahnya
terlihat merah. ―Tidak, aku…‖
―Sedang apa kau di sini?‖ Alex lagi-lagi menyela, dan sama sekali tidak
mencoba membuat suaranya terdengar ramah. Kau tentu tidak mungkin mau
bersikap ramah pada malaikat kegelapan, bukan?
―Aku datang untuk meminta maaf,‖ kata gadis itu cepat, lalu
menelan ludah dan menatap Alex sambil menggigit bibir.
Alex menyipitkan mata. Ekspresinya tetap tidak berubah. Gadis itu
menggerakkan sebelah tangannya tanpa maksud
tertentu dan melanjutkan, ―Aku belum sempat minta maaf. Kemarin,
maksudku. Jadi hari ini aku datang untuk meminta maaf. Aku sangat
menyesal. Sungguh, aku benar-benar tidak sengaja.‖
Alex tidak berkata apa-apa selama sepuluh detik penuh. Lalu,
―Baiklah. Kau sudah mengatakannya. Sekarang pergilah,‖ katanya
dan berjalan menaiki anak tangga ke arah pintu depan. Ia merasa harus
segera menyingkir dari posisinya yang berbahaya di tengah tangga,
sebelum gadis itu jatuh lagi, menubruk dirinya, dan mematahkan kedua
tangan serta kakinya.
―Aku ingin membantu,‖ kata gadis itu tiba-tiba.
29
Alex menoleh menatapnya, masih dengan alis berkerut.
―Apa?‖
Gadis itu tetap berdiri di tempatnya dan menatap Alex lurus-lurus. ―Aku
ingin membantu,‖ ia mengulangi kata-katanya tadi, namun dengan suara
yang lebih pelan. ―Bagaimanapun, akulah yang membuatmu menjadi seperti
ini. Jadi…‖
―Dan bagaimana kau berencana membantuku?‖ tanya Alex
datar, sama sekali tidak berniat menerima bantuan apa pun dari
gadis itu.
Malaikat kegelapannya ragu sejenak, lalu berkata dengan nada
bertanya, ―Aku… bisa menjadi tangan kirimu?‖
―Kau bisa bermain piano?
―Eh… tidak.‖
―Kalau begitu tidak ada gunanya kau menjadi tangan kiriku,‖
tukas Alex, lalu berbalik ke arah pintu. Dan tertegun. Matanya menatap
kenop pintu, lalu ia menunduk menatap tangan kirinya yang dibebat dan
tangan kanannya yang memegang wadah kopi.
Oh, sialan.
―Kau mau aku memegangi kopimu sementara kau
mengeluarkan kunci?‖
Alex menoleh ke arah gadis itu dengan perasaan dongkol tetapi tidak
menemukan ekspresi mengejek di wajah gadis itu. Malaikat kegelapannya
itu hanya menatapnya dengan ragu.
Tanpa menunggu jawaban, gadis itu meraih kopi Alex dan mau tidak mau
Alex terpaksa membiarkan gadis itu mengambil alih kopinya. Sementara
Alex merogoh saku celana jinsnya, gadis itu
30
melanjutkan, ―Aku bisa menyiram tanamanmu kalau kau punya
tanaman.‖
Alex mengeluarkan kunci dan memasukkannya ke lubang
kunci.
―Aku bisa memberi makan anjingmu… atau kucingmu…
kalau kau punya anjing atau kucing.‖
Alex memutar kuncinya dan langsung menyadari kesulitan lain yang
dihadapinya. Untuk membuka pintu dari dalam, yang perlu dilakukannya
hanyalah memutar kenop dan pintu akan terbuka. Tetapi untuk membuka
pintu dari luar, ia harus memutar kunci dan kenop pintu sekaligus. Nah,
bagaimana pula…
Tiba-tiba gadis itu mengulurkan tangannya yang lain ke depan
Alex dan memutar kenop pintu. ―Aku bahkan tidak keberatan
disuruh bersih-bersih,‖ lanjutnya.
Alex menoleh ke arah malaikat kegelapannya yang balas menatapnya dengan
penuh harap. Siapa nama gadis ini? Alex bertanya-tanya dalam hati.
Apakah Ray pernah menyebutkannya? Mungkin. Entahlah. Ia tidak tahu dan
tidak peduli.
―Jadi,‖ kata gadis itu lagi ketika Alex diam saja, ―Bagaimana
menurutmu?‖
Alex menari napas dan mengembuskan dengan kesal. Lalu ia mendorong pintu
dan masuk ke dalam gedung tanpa berkata apa-apa.
*****
31
Mia menahan pintu dengan sebelah tangan sebelum pintu itu tertutup di
depan wajahnya. Ia menggigit bibir menatap Alex Hirano yang berjalan
masuk ke dalam gedung apartemennya dan mengarah ke tangga. Kemarin
malam, ketika Ray meneleponnya, laki-laki itu sudah memperingatkan Mia
bahwa Mia tidak akan mendapat sambutan hangat dari kakaknya. Tanpa
diperingatkan pun, sebenarnya Mia sudah bisa menduganya. Kalau boleh
jujur, ia tidak ingin bertemu dengan Alex Hirano lagi. Kenapa? Pertama,
karena malu. Ia telah mencederai tangan seorang pianis sehingga
mengharuskan pianis itu membatalkan pertunjukannya, yang tentunya
menyebabkan masalah-masalah rumit lain menyangkut kerugian yang sangat
besar. Kedua, karena takut. Alex Hirano sangat marah padanya dan itu
sudah terlihat jelas kemarin. Hari ini pun laki-laki itu masih marah.
Dan tatapan dingin laki-laki itu membuat Mia ingin mundur teratur,
berbalik, lalu berlari pergi.
Namun apakah setelah mencederai tangan seseorang— walaupun itu tidak
disengaja—kau bisa berbalik pergi begitu saja tanpa merasa bersalah dan
tanpa merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanmu? Well,
Mia tidak bisa. Perasaan bersalah terus menghantuinya sejak kemarin dan
membuat perasaannya sangat tidak enak.
Jadi di sinilah dirinya. Berusaha meminta maaf kepada Alex Hirano dan
melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Berusaha bertanggung jawab.
Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.
32
Mia mengembuskan napas putus asa. Apakah sebaiknya ia pergi saja? Karena
menghadapi Alex Hirano lagi sepertinya tidak ada gunanya. Malah
laki-laki itu akan semakin membencinya. Ya, sepertinya yang terbaik yang
bisa dilakukan Mia untuk membantu Alex Hirano adalah menyingkir dari
hadapannya. Setidaknya untuk sementara, sampai laki-laki itu sedikit
lebih tenang.
Tapi… Mia menunduk menatap kopi Alex Hirano yang masih
dipegangnya. Aih…
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan diri, Mia pun
menyusul Alex Hirano masuk ke dalam gedung dengan berat hati.
―Tunggu,‖ panggil Mia ketika ia melihat Alex Hirano berjalan
menaiki tangga. ―Kopimu…‖
Tentu saja Alex Hirano tidak menjawab. Yah, mungkin ia tidak mendengar
panggilan Mia karena sosoknya sudah menghilang ketika ia berbelok di
tengah tangga. Mia mendesah dan bergegas menyusulnya.
Kenapa laki-laki itu tidak menggunakan lift? Mia tidak tahu. Tetapi
napas Mia sudah tersengal ketika ia tiba di lantai empat. Mia berdiri di
puncak tangga sambil berpegangan pada dinding dan berusaha mengatur
napas.
―Kenapa kau mengikuti?‖
Mia mengangkat kepala mendengar suara yang dalam dan tajam itu. Alex
Hirano berdiri di depan pintu yang sudah pasti adalah pintu apartemennya
dan menatap Mia dengan kening berkerut.
33
Mia mengangkat tangannya yang masih memegang kopi.
―Ini…‖
Alex Hirano memiringkan kepada sedikit, menatap Mia. ―Naik
tangga sedikit dan kau sudah kehabisan napas? Kukira Ray pernah
berkata bahwa kau penari.‖
Mia menegakkan tubuh. ―Penari juga manusia,‖ sahutnya
datar.
Alex Hirano berkacak pinggang dan mengembuskan napas
kesal. ―Kenapa kau terus mengikutiku? Apa sebenarnya yang kau
inginkan?‖
Mia memejamkan mata sejenak. Ia harus mengendalikan diri.
Tarik napas… keluarkan… tenangkan diri… Lalu ia membuka mata dan menatap
Alex Hirano. ―Baiklah, aku akan mengatakannya padamu sekali lagi,‖
katanya dengan nada pelan dan jelas. ―Aku datang ke sini untuk meminta
maaf dan aku sebenarnya ingin bertanggung jawab atas semua yang sudah
kulakukan. Ray merasa kau membutuhkan bantuan dan karena dia tidak bisa
menemanimu
setiap saat, kupikir aku mungkin bisa membantu.‖ Ia berhenti sejenak
untuk menarik napas, lalu melanjutkan, ―Aku sudah meminta maaf
dan aku sudah menawarkan bantuan. Tapi sepertinya kau tidak bersedia
menerima keduanya. Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah
melakukan apa yang harus kulakukan dan sekarang aku tidak
perlu merasa bersalah lagi.‖
Alex Hirano menatapnya dengan alis terangkat, walaupun raut wajahnya
sulit dibaca.
34
Mia menghampiri Alex Hirano dan menyodorkan kopi yang
masih dipegangnya ke arah laki-laki itu. ―Ambil ini,‖ katanya
pendek.
Alex Hirano menerimanya, namun masih tidak berkata apa-
apa.
―Semoga harimu menyenangkan,‖ gumam Mia datar dan
tanpa nada tulus dalam suaranya, lalu berjalan ke arah lift. Ia tidak
sudi turun melalui tangga.
―Siapa namamu?‖
Mia berhenti melangkah dan berbalik menatap Alex Hirano dengan curiga.
Apa lagi sekarang? Laki-laki itu mau melaporkanku
ke polisi? ―Mia,‖ jawabnya datar. ―Mia Clark.‖ ―Kau benar,‖ kata Alex
Hirano.
Mia mengerutkan kening. ―Apa?‖
―Kau benar,‖ kata Alex Hirano sekali lagi. Seulas senyum kecil
yang hambar tersungging di bibirnya. Mia tidak yakin ia suka
melihat senyum seperti itu. ―Kau memang bersalah. Dan kalau
dipikir-pikir, kau memang harus bertanggung jawab karena telah
membuatku cacat dan mengacaukan hidupku.‖
―Cacat? Kau tidak cacat,‖ sela Mia. ―Tanganmu akan sembuh dalam beberapa
bulan.‖
―Tidak ada yang menjamin tanganku bisa kembali seperti sediakala,‖ balas
Alex Hirano. ―Dan semua itu gara-gara kau.‖
Mia menelan ludah diam-diam. ―Aku tahu, karena itulah…‖
35
―Baiklah,‖ sela Alex Hirano tanpa menghiraukan kata-kata
Mia. ―Kalau kau memang ingin menjadi pesuruhku, kuizinkan kau
menjadi pesuruhku.‖
36
Bab
Empat
KUIZINKAN kau menjadi pesuruhku? Yang benar saja!
Mia memberengut dongkol selagi mengikuti Alex Hirano masuk ke dalam
apartemen yang luas.
―Jangan berpikir aku tidak ingin meminta ganti rugi darimu.‖
Mia berhenti mengagumi ruang duduk yang dibanjiri cahaya matahari dan
menoleh ke arah suara Alex Hirano.
Alex Hirano meletakkan kopinya di atas meja kecil yang dipenuhi kertas
dan buku. Lalu ia menegakkan tubuh dan menatap
Mia. ―Kau tahu seberapa besar kerugian yang kau timbulkan?‖ ―Tidak,‖
gumam Mia jujur.
―Kata Ray, kau tidak mungkin sanggup membayar kalau aku meminta ganti
rugi darimu.‖
Mia terdiam. Jemarinya tanpa sadar mencengkeram tali tasnya
dengan erat. Sepertinya kerugian yang ditimbulkannya memang
sangat besar.
―Jadi asal kau tahu, Ray yang memintaku untuk tidak
menyulitkanmu.‖ Alex Hirano mendengus, lalu bergumam,
―Menyulitkanmu. Coba lihat siapa yang kesulitan di sini.‖
Mia tetap diam. Apa yang bisa dikatakannya dalam situasi
seperti ini? Tidak ada.
37
Alex Hirano mengulurkan tangan kanannya, telapak tangan menghadap ke
atas.
Mia menatap tangan itu, lalu menatap Alex Hirano.
―Kunci,‖ gumam Alex Hirano.
―Oh.‖ Mia tersadar dan cepat-cepat mengembalikan kunci apartemen
laki-laki itu yang masih dipegangnya, karena tadi ia yang membantu Alex
Hirano membuka pintu apartemen.
―Nah, kau pasti sudah tidak sabar ingin mulai bekerja,‖ kata
Alex Hirano sambil melemparkan kunci apartemennya ke atas meja.
―Bagaimana kalau kau membuatkan sarapan? Dapurnya di sebelah
sana.‖
Mia menoleh ke arah yang ditunjuk, lalu mendesah dalam hati. Ia sendiri
yang menginginkan hal ini, bukan? Ia sendiri yang datang menawarkan diri
untuk membantu laki-laki itu. Ia sendiri
yang mencari masalah. Jadi… oh, baiklah! Ia juga tidak bisa menarik
kembali kata-katanya sekarang.
―Kau mau sarapan apa?‖ tanya Mia enggan sambil berjalan ke
arah dapur.
―Bagaimana kalau kau memberiku kejutan?‖ balas Alex
Hirano acuh tak acuh dan melemparkan seulas senyum hambar ke
arah Mia. ―Aku suka kejutan.‖
Mendadak langkah Mia terhenti dan ia mengerjap menatap keadaan dapur
yang kacau-balau. Biji-biji kopi tersebar di meja dan di lantai,
bercampur dengan pecah-pecahan cangkir dan botol. Genangan air terlihat
di permukaan meja dan juga di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi di
sini?
38
―Oh, ya, kau boleh membersihkan dapurnya sekalian.‖
―Apa yang terjadi di sini?‖ tanya Mia. Namun Alex Hirano
tidak menjawab. Mia menoleh dan menyadari Alex Hirano sudah tidak berada
di tempatnya tadi. Sedetik kemudian Mia mendengar bunyi pintu ditutup.
Sepertinya laki-laki itu sudah masuk ke kamar.
Mia mendengus dan kembali menatap kekacauan di hadapannya. Ia bisa
menebak apa yang terjadi di dapur ini. Sepertinya Alex Hirano ingin
membuat kopi, tetapi ia tidak terbiasa menggunakan satu tangan.
Beginilah hasilnya.
Mia menoleh ke balik bahunya, menatap ruang duduk yang
kosong, dan bergumam, ―Dan apa katanya tadi? Dia tidak butuh
bantuan?‖ Ia mendengus pelan. ―Yah, yang benar saja.‖
*****
Alex Hirano duduk tertegun menatap sarapan yang disiapkan
Mia untuknya. ―Apa-apaan ini?‖ tanyanya. ―Apa?‖ tanya Mia polos.
―Kenapa?‖
―Susu dan sereal?‖ tanya laki-laki itu dengan nada tidak percaya sambil
mendongak menatap Mia. ―Hanya ini yang bisa kau lakukan?‖
Mata Mia menyipit mendengar nada mencemooh dalam suara
Alex Hirano. ―Hanya ini yang bisa kutemukan di dapurmu,‖ katanya
membela diri.
―Aku yakin masih ada bacon dan telur,‖ gumam Alex.
39
―Tidak ada,‖ sahut Mia tegas, ―kecuali kau menyembunyikannya di kamar
tidurmu.‖
Alex memberengut menatapnya. ―Roti,‖ katanya. ―Aku yakin masih ada
roti.‖
Mia mengangguk, ―Memang benar, tapi sudah berjamur. Aku
membuangnya karena kupikir kau pasti tidak mau makan roti yang
sudah berjamur.‖
Alex Hirano masih memberengut seolah-olah Mia yang membuat rotinya
jamuran.
―Sungguh, tidak ada apa-apa di dapurmu,‖ Mia menegaskan sekali lagi.
Lalu ia menambahkan dengan suara yang lebih pelan,
―Seharusnya kau tahu itu karena kau yang tinggal di sini.‖
Alex Hirano menyipitkan matanya menatap Mia dan Mia kembali merasakan
keinginan untuk mundur teratur.
―Kalau kau mau, aku bisa membantumu membeli persediaan
makanan atau apa pun kau butuhkan dan membawanya ke sini sore
nanti, setelah aku selesai mengajar,‖ Mia menawarkan diri.
Sebelum Alex Hirano sempat menjawab, bel pintu berbunyi. Mia otomatis
menoleh ke arah pintu, lalu kembali menatap Alex.
―Apa yang kau tunggu?‖ tanya Alex.
Mia menatapnya tidak mengerti.
―Buka pintunya.‖
―Oh.‖
Mia mendesah dalam hati mendengar nada tajam dalam suara Alex Hirano.
Sungguh, ia tidak tahu kenapa Alex Hirano harus… Oh,
40
baiklah, kalau mau jujur, ia tahu kenapa Alex Hirano bersikap sinis,
terutama padanya.
Dengan enggan, Mia berjalan ke pintu dan membukanya. Seorang laki-laki
muda, jangkung, berkulit gelap dan berkepala botak menatapnya dengan
alis terangkat. ―Siapa kau?‖ tanya laki-laki itu tanpa basa-basi, namun
tidak ada nada tajam dalam suaranya.
Sebelum Mia sempat menanyakan hal yang sama, suara Alex Hirano terdengar
di belakangnya. ―Masuklah, Karl.‖
Mia menepi memberi jalan. Laki-laki yang terlihat seperti
peman bola basket profesional yang dipanggil ―Karl‖ itu masuk dan
berjalan melewati Mia ke ruang duduk.
―Siapa gadis itu?‖ Mia mendengar Karl bertanya kepada Alex. ―Dan apa
maksudmu kau ingin membatalkan—Astaga! Apa yang terjadi padamu? Tanganmu
kenapa?‖
Mia menutup pintu dan mengikuti tamu Alex ke ruang duduk.
―Karena itulah kubilang semua jadwalku sampai akhir tahun harus
dibatalkan,‖ kata Alex sambil duduk bersandar di sofa.
―Ini bencana,‖ gumam Karl. Lalu ia mengeluarkan ponsel dari saku dan
mulai menekan beberapa nomor. ―Aku harus segera
menghubungi orang-orang. Ini benar-benar bencana. Tapi, ceritakan
padaku bagaimana tanganmu bisa berakhir seperti itu?‖
Alex menoleh ke arah Mia dan tersenyum samar. ―Orang yang
berdiri di belakangmu itulah yang membuat tanganku berakhir
seperti ini,‖ katanya pada Karl.
41
Karl berputar dan menatap Mia. ―Kau?‖ tanyanya dengan nada heran. ―Kau
mematahkan tangannya?‖
―Tidak! Itu tidak disengaja‖ sahut Mia cepat. Lalu menambahkan dengan
suara yang lebih pelan, ―Dan tangannya tidak patah.‖
Karl memiringkan kepalanya sedikit. ―Sengaja atau tidak, kita tetap
harus menghitung ganti ruginya.‖
―Eh, itu…‖ Mia mengerjap, melirik ke arah Alex yang
menyandarkan kepala ke sandaran sofa dan menatap langit-langit, lalu
kembali menatap Karl.
―Dia teman Ray.‖
Mia dan Karl serentak menoleh ke Arah Alex.
―Dia teman Ray,‖ kata Alex sekali lagi.‖ Jadi kau tidak usah repot-repot
mencoba meminta ganti rugi darinya.‖
Karl mengangkat bahu tidak peduli. ―Teman Ray atau bukan…‖
―Dia juga tidak akan sanggup mengganti kerugian sebesar itu,‖ sela Alex.
Matanya berahli dari Karl ke arah Mia. ―Tapi dia sudah memikirkan cara
lain untuk menggantinya.‖
Karl mengangkat sebelah alis. ―Bagaimana?‖
―Karl, kenalkan,‖ kata Alex sambil mengayunkan lengannya ke arah Mia,
―Ini… tunggu, siapa namamu tadi? Ah, terserahlah. Karl, ini pengurus
rumahku yang baru.‖
Pesuruh dan pengurus rumah. Mia mendesah dalam hati.
Sepertinya itulah posisinya di rumah ini.
Karl tersenyum kecil. ―Pengurus rumah?‖
42
Apa lagi yang bisa Mia lakukan saat itu selain mengulurkan
tangan ke arah Karl dan berkata, ―Halo, aku Mia. Mia Clark.‖
Senyum Karl melebar dan ia menjabat tangan Mia dengan
tegas. ―Karl Jones. Aku agen sekaligus manajer Alex,‖ katanya. ―Jadi kau
temannya Ray?‖
―Ya, begitulah.‖ Mia mendapat kesan bahwa Karl Jones ini
sepertinya orang baik.
―Kalian bisa melanjutkan basa-basi kalian nanti,‖ sela Alex tajam.
―Sekarang ada hal penting yang harus kita bicarakan.‖
Karl menoleh ke arah Alex. ―Oke, oke.‖
Teringat pada posisinya, Mia bertanya ragu, ―Mau minum
kopi?‖
―Boleh juga,‖ sahut Karl cepat. ―Terima kasih.‖
Mia menyadari Alex menatapnya dengan tatapan curiga. Apa? sebagai
pengurus rumah ini di sini aku harus menyuguhkan minuman untuk tamu,
bukan? Gerutu Mia dalam hati. Kenapa laki-laki itu menatapnya seperti
itu, seolah-olah ia tidak percaya Mia mampu membuat kopi sendiri. Atau
apakah ia curiga Mia akan memasukkan sesuatu ke dalam kopinya dan
membuatnya lebih celaka lagi?
―Kau mau juga?‖ tanya Mia pendek.
Alex masih terlihat ragu, lalu akhirnya menjawab, ―Boleh.‖
*****
Alex dan Karl masing-masing berbicara di telepon ketika Mia kembali ke
ruang duduk. Alex Hirano sama sekali tidak mengangkat
43
wajah ketika Mia meletakkan cangkir kopi di atas meja di hadapannya,
tetapi ia berdiri dari sofa, berjalan ke pintu beranda dan berdiri di
sana. Mia menatapnya sejenak, lalu mengalihkan perhatian kepada Karl
Jones yang sudah selesai berbicara di telepon.
―Terima kasih,‖ kata Karl sambil meraih cangkir kopinya. ―Aku sudah
membuat masalah besar, bukan?‖ tanya Mia.
Karl menatapnya. ―Tentu saja,‖ jawabnya, namun nada
suaranya ringan.
Mia menggigit bibir dan mencengkeram pinggiran nampan di
tangannya. ―Seberapa parah?‖
―Jangan berdiri saja di sana. Duduklah,‖ kata Karl, lalu
menyesap kopinya. ―Wah, kopi ini enak sekali.‖
Mia duduk tegak di hadapan Karl, masih mencengkeram
pinggiran nampan. ―Seberapa parah?‖ tanyanya sekali lagi.
―Tenang saja,‖ sahut Karl ringan sambil tersenyum lebar. ―Serahkan saja
padaku. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi.‖
Jawaban Karl yang penuh percaya diri itu entah kenapa membuat Mia merasa
sedikit lebih tenang. Ia melirik Alex yang masih berdiri menghadap
pintu kaca beranda, memandang ke luar sambil berbicara di ponsel. Mia
mencondongkan tubuh ke depan dan
berbisik, ―Apakah dia sangat terkenal?‖
Karl ikut mencondongkan tubuh ke depan. ―Alex? Tentu saja.‖ Mata Mia
melebar. ―Benarkah?‖
Karl terkekeh pelan, ―Dia memang tidak terkenal dikalangan remaja dan
umum seperti kebanyakan penyanyi pop,‖ katanya, ―tapi
44
namanya terkenal di kalangan tertentu. Kalau kau pianis atau musisi,
kau pasti pernah mendengar namanya.‖
Mia mengangguk-angguk pelan. ―Oh, begitu.‖
Tepat pada saat itu Alex kembali bergabung dengan mereka di sofa.
Ponselnya dilemparkan ke atas meja.
―Bagaimana?‖ tanya Karl padanya.
―Kacau,‖ sahut Alex muram. ―Memangnya apa lagi yang kau
harapkan?‖
Alex meraih cangkirnya dan menyesap kopinya. Lalu ia tertegun menatap
kopi itu sejenak dan tanpa sadar Mia menahan napas. Apa? Apa lagi
sekarang? Tetapi Alex tidak berkata apa-apa. Ia hanya menyesap kopinya
sekali lagi. Dan lagi. Dan Mia pun akhirnya mengembuskan napas yang
ditahannya.
―Kenapa menatapku seperti itu?‖ tanya Alex tiba-tiba dan
menoleh ke arah Mia.
Mia tersentak dan mengerjap. ―Apa? Tidak. Aku tidak menatapmu.‖
Mata Alex menyipit. ―Kau sedang menikmati kekacauan yang kau timbulkan?‖
―Tidak!‖ bantah Mia cepat. ―Aku bukan orang seperti itu.‖ Alex
mengangkat bahu. ―Siapa tahu?‖ gumamnya acuh tak
tacuh, lalu kembali menyesap kopinya.
Oh, laki-laki ini benar-benar… Mia menggigit bibir dan berusaha
menahan diri supaya tidak melempar nampan yang dipegangnya ke
kepala Alex Hirano. Ia berdiri dan bergumam. ―Aku harus pergi.‖
45
―Oh, jangan biarkan Alex membuatmu kesal,‖ kata Karl. ―Dia memang selalu
begitu.‖
Alex melotot ke arah temannya.
Mia tersenyum kepada Karl. ―Bukan begitu. Aku harus mengajar siang hari
ini.‖
―Mengajar apa?‖ tanya Karl.
―Tari kontemporer.‖
―Ah, kau penari rupanya. Hebat.‖
―Kau sudah membersihkan dapur?‖ sela Alex dengan nada
datar.
Mia mendesah dalam hati. Aneh sekali, bagaimana Alex Hirano bisa membuat
perasaan seseorang menjadi berat dan muram
hanya dengan satu kalimat singkat. ―Sudah,‖ sahut Mia. ―Kau mau
memeriksanya dulu?‖
―Nanti saja,‖ kata Alex dan kembali menyesap kopinya.
―Baiklah kalau begitu. Masih ada kopi di dapur kalau kalian mau,‖ kata
Mia, lalu berjalan ke dapur untuk meletakkan nampan
dan mengambil tasnya. Ia kembali ke ruang duduk dan Karl berdiri dari
sofa.
―Aku akan mengantarmu ke pintu,‖ kata Karl.
Mia tersenyum cerah kepadanya. Karl laki-laki yang baik, pikir Mia.
Sangat berbeda dengan laki-laki yang satu lagi yang duduk di sofa dengan
tangan dibebat dan wajah memberengut.
Mia berbalik, lalu berhenti. Ia ragu sejenak. Ia pasti sudah gila karena
merasa harus bertanya, namun akhirnya ia menoleh ke arah
46
Alex dan bertanya enggan, ―Apakah kau ingin aku datang lagi nanti
sore?‖
Mia setengah berharap laki-laki menjawab: Tidak, terima kasih
banyak. Aku tidak butuh apa-apa, jadi jauh-jauhlah dariku.
―Tidak,‖ sahut Alex Hirano pendek.
Harapannya terkabul. Mia mengangguk. ―Baiklah.‖
―Kami juga akan pergi sebentar lagi,‖ jelas Karl kepada Mia. ―Ada banyak
orang yang harus kami temui dan banyak masalah yang harus kami
selesaikan. Jadi kami akan sibuk sepanjang hari ini.‖ ―Ya, kami harus
menyelesaikan masalah yang kau timbulkan,‖
tambah Alex datar.
Mia menoleh ke arah Alex. Sungguh, ia tidak perlu diingatkan
setiap menit tentang ―masalah‖ yang ditimbulkannya. Kalau tidak,
kenapa lagi ia masih berada di sini dan menahan diri menerima
semua ini?
Lagi pula, ―masalah‖ ini sebenarnya juga bukan sepenuhnya
kesalahan Mia. Kalau Mia memang benar-benar ingin membuat Alex Hirano
celaka, ia pasti tidak hanya akan membuat tangan kiri laki-laki itu
terkilir. Mia pasti sudah melakukan sesuatu yang lebih buruk.
Misalnya…
―Tapi kau boleh datang besok pagi,‖ kata Alex Hirano,
memotong jalan pikiran Mia yang mulai melantur.
―Ya?‖
―Besok pagi jam delapan tepat,‖ kata Alex datar.
―Apa yang akan kalian lakukan? Aku bisa membantu kalau boleh,‖ sela Karl
menatap Mia dan Alex bergantian.
47
Alex menatap Karl. ―Kau mau menjadi manajer merangkap pengurus rumahku?‖
Karl tersenyum lebar. ―Tidak, terima kasih banyak. Menjadi manajermu
saja sudah cukup merepotkan.‖
―Bagus.‖ Alex kembali menoleh ke arah Mia. ―Kau boleh pergi sekarang.‖
Sungguh. Kata-kata terakhir Alex Hirano dan caranya mengucapkan
kata-kata itu membuat Mia merasa seolah-olah ia memang telah menjadi
pesuruh laki-laki itu. Mia hampir tidak percaya ia sendirilah yang
dengan sukarela melemparkan diri ke dalam masalah ini. Tapi siapa yang
menduga Alex Hirano bisa begitu menyebalkan?
Memang benar kata orang. Penyesalan selalu datang terlambat.
48
Bab
Lima
BUNYI samar piring-piring yang berdenting membuat Mia terjaga.
Matanya terbuka dan ia memandang ke sekeliling kamarnya yang gelap. Ia
menjulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan meraih
beker. Hampir jam enam. Berarti ia hanya sempat tidur tiga jam. Malah
tidak sampai tiga jam.
Mia turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Ia menyibak tirai
tebal dan memandang langit yang masih gelap.
Sudah seminggu terakhir ini ia tidak bisa tidur. Ia lelah, tetapi tidak
bisa tidur. Lalu kemarin ia berpikir mungkin sebaiknya ia menginap di
rumah orangtuanya di Huntington. Ia berpikir pasti bisa menenangkan
pikiran sejenak di rumah tempatnya dibesarkan, di dekat orangtuanya.
Tetapi ternyata hasilnya sama saja. Ia tetap tidak bisa tidur nyenyak
dan bunyi sekecil apa pun langsung membuatnya terjaga.
Apakah ini wajar?
Apakah insomnia ini akan berlangsung terus? Apakah ia harus minum obat
tidur?
Ia menarik napas dan merasa dadanya sesak.
Bunyi samar yang menandakan kegiatan di dapur lantai bawah membuat Mia
tenang. Ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur, seperti
yang dilakukannya setiap hari selama 32
49
tahun perkawinannya. Sebentar lagi ayahnya akan bangun dan bergabung
dengan ibunya di dapur untuk sarapan bersama. Ayah dan ibunya sarapan
dan makan malam bersama setiap hari. Ketika ia masih tinggal di sini
bersama orangtuanya, Mia juga selalu melakukan hal yang sama. Acara
makan bersama itu selalu menyenangkan karena mereka membicarakan hal-hal
menarik.
Mia tersenyum kecil. Sebaiknya ia segera turun kalau ia ingin sarapan
bersama orangtuanya.
*****
Mia sedang membantu ibunya menyiapkan sarapan ketika ayahnya muncul di
dapur.
―Halo, Princess, kau tidur nyenyak semalam?‖ tanya ayahnya
sambil mengecup puncak kepala Mia.
―Pagi, Dad,‖ kata Mia sambil tersenyum lebar. ―Tidurku nyenyak sekali.‖
Berbohong sedikit demi kebaikan tidak ada salahnya, pikir
Mia. Ia tidak ingin menambah kecemasan orangtuanya.
Ayahnya menangkup pipi Mia dan mengamatinya dengan
saksama. ―Matamu agak bengkak,‖ gumam ayahnya dengan alis berkerut
samar. ―Bagaimana perasaanmu pagi ini?‖
―Oh, Dad,‖ erang Mia, tetapi senyum masih tersungging di bibirnya, ―aku
baik-baik saja. Jangan khawatir. Dan mataku akan kukompres dengan
mentimun nanti. Oke?‖
50
‖Kau tahu ayahmu sangat protektif,‖ kata ibunya sambil
meletakkan sepiring sandwich buatan sendiri di atas meja bundar di
tengah-tengah dapur.
―Aku tahu,‖ sahut Mia. ―Dan itu karena Dad menyayangiku.‖ Ayah menepuk
pipi Mia. ―Benar sekali, Princess.‖
―Sayang, kau tentu tahu kami ingin kau kembali tinggal di sini bersama
kami, bukan?‖ tanya ibunya.
Mia meremas tangan ibunya dan tersenyum menenangkan.
―Aku baik-baik saj, Mom. Sungguh. Percayalah padaku. Aku akan
menelpon kalian kalau ada apa-apa.‖
Ibunya mendesah dan mengangguk. ―Baiklah. Kau akan baik-baik saja.
Semuanya akan baik-baik saja. Ayo, kita makan.‖
Mia meraih sepotong sandwich dan menggigitnya. ―Mm, sandwich ini enak
sekali.‖
―Kau mau membawa beberapa potong untuk… siapa nama temanmu itu?‖ tanya
ibunya sambil berpikir-pikir.
―Teman yang mana?‖ Mia balas bertanya. ―Teman-teman di
Small Steps?‖
―Temanmu yang tangannya terkilir.‖
Mia nyaris tersedak. ―Maksud Mom, Alex Hirano?‖
Mia memang sudah bercerita kepada orangtuanya tentang Alex Hirano,
tentang kecelakaan yang menyebabkan tangan kiri laki-laki itu harus
dibebat, juga tentang Mia yang membantunya karena Mia-lah yang
menyebabkan kecelakaan itu, walaupun tidak disengaja. Yah, tentu saja
Mia tidak bercerita tentang sikap buruk Alex Hirano dan kenyataan bahwa
laki-laki itu membencinya.
51
Orangtuanya tidak perlu tahu soal itu. Ayahnya pasti ngamuk kalau tahu
putri semata wayangnya diperlakukan seperti pesuruh oleh Alex Hirano.
―Dia bukan temanku,‖ bantah Mia, sebal karena teringat pada
laki-laki menjengkelkan itu. ―Dia kakak temanku. Dan satu-satunya alasan
aku membantunya adalah karena kalian mendidikku dengan
baik, mendidikku menjadi orang yang baik.‖
―Kau memang harus membantunya karena kau yang
membuatnya cedera,‖ kata ayahnya. Ketika melihat Mia membuka
mulut hendak mengatakan sesuatu, ia cepat-cepat menambahkan,
―Tentu saja itu tidak disengaja.‖
―Bawalah beberapa potong untuknya,‖ kata ibunya sambil
berdiri dan mulai mencari-cari kotak plastik di lemari dapur untuk
tempat sandwich.
Mia mendesah enggan dan bertanya-tanya sendiri apakah ibunya masih tetap
akan memberikan sandwich kepada Alex Hirano apabila ia tahu bagaimana
sikap laki-laki itu pada Mia. Yah, mungkin saja. Karena bagaimanapun
Mia-lah yang menyebabkan tangannya
terkilir. Aih…
*****
Satu jam kemudian Mia sudah bersiap-siap kembali ke New York City. Ia
masuk ke dalam mobil VW Beetle kuningnya dan meletakkan kotak plastik
berisi sandwich di kursi penumpang.
52
―Kau sudah membawa semuanya? Tidak ada yang ketinggalan?‖ tanya ibunya
seperti yang selalu dilakukannya setiap kali Mia meninggalkan rumah.
―Dompet? Ponsel? Obat?‖
Mia memeriksa isi tasnya. ―Yap. Sudah ada semuanya. Tidak ada yang
tertinggal.‖
―Hati-hati,‖ kata ayahnya. ―Telepon kami kalau kau butuh sesuatu.‖
―Tentu, Dad.‖ Mia memasang sabuk pengaman, melambai
kepada orangtuanya dan melajukan mobilnya meninggalkan rumah. Ia tahu
orangtuanya sangat mengkhawatirkan dirinya. Ia
sendiri juga kadang-kadang mengkhawatirkan dirinya sendiri. Tapi tidak
apa-apa. Ia bisa menjaga diri. Ia akan baik-baik saja.
Mia melirik jam di dasbor mobil dan mendesah dalam hati. Sepertinya ia
akan terlambat tiba di tempat Alex Hirano. Semoga jalanan tidak macet.
53
Bab
Enam
GADIS itu belum datang.
Alex Hirano memberengut menatap jam di atas piano. Sekarang sudah pukul
sembilan tepat dan gadis itu masih belum datang. Hebat. Hebat sekali.
Alex sudah uring-uringan sejak tiga puluh menit yang lalu. Dan ia akan
tetap uring-uringan sampai ia mendapatkan kopi paginya. Ia membutuhkan
kopi. Ia membutuhkan gadis itu untuk membuat kopi untuknya. Kalau gadis
itu ciut dalam sehari dan memutuskan untuk tidak datang, Alex terpaksa
harus pergi ke kafe di ujung jalan untuk membeli kopi lagi. Dan ia akan
kebingungan lagi saat harus membuka pintu gedungnya dari luar.
Alex menatap tuts piano di hadapannya dan suasana hatinya semakin muram.
Piano itu mengingatkan dirinya pada tangannya yang patah. Hmm, terkilir
sebenarnya lebih tepat. Tapi apa bedanya, pokoknya tangan kirinya jadi
tak bisa digunakan, kan? Ia menggerutu dan mulai berjalan mondar-mandir
di ruang duduk.
Bukankah ia sudah mengatakan dengan jelas kemarin bahwa gadis itu harus
tiba di sini jam delapan tepat? Apakah kata-katanya kurang jelas?
Apakah…
Bel interkom berbunyi dan memotong jalan pikirannya. Alex melangkah
lebar menghampiri interkom yang terpasang di dinding
54
dan menatap layar kecil di sana. Itu dia malaikat kegelapannya. Akhirnya
datang juga.
Alex menekan tombol untuk membuka pintu depan gedung dan menunggu. Dua
menit kemudian bel pintu apartemennya berbunyi.
Alex membuka pintu dengan satu sentakan cepat dan menatap Mia Clark yang
ternyata sedang berdiri dengan ponsel ditempelkan ke telinga. Melihat
Alex, gadis itu cepat-cepat bergumam, ―Eh, Rick,
aku harus pergi sekarang. Kutelepon lagi nanti, ya?‖
Alis Alex berkerut. ―Kau terlambat,‖ katanya ketika gadis itu sudah
menutup ponsel. ‖Satu jam tiga menit.‖
Mia meletakkan tas dan kantong plastik yang dibawanya di
salah satu kursi berlengan di ruang duduk. ―Akan kubuatkan kopi
untukmu.‖
―Jadi kenapa kau datang terlambat padahal sudah kubilang kau harus tiba
di sini jam delapan tepat?‖ tanya Alex masam.
―Jalanannya macet sekali hari ini. Biasanya aku tidak membutuhkan waktu
selama itu dari Huntington ke Manhattan,‖
sahut Mia sambil mengangkat bahu.
―Kau tinggal di Huntington?‖
―Tidak, aku punya apartemen di sini, di Manhattan, di
Greenwich Village. Orangtuaku yang tinggal di Huntington. Aku
menginap di rumah orangtuaku kemarin.‖
Alex hanya bergumam sambil lalu dan menjatuhkan diri ke sofa. Lalu ia
mendongak menatap Mia yang masih belum beranjak
55
dari tempat berdirinya. ―Bukankah kau bilang kau akan membuat kopinya
sekarang?‖ tanya Alex.
―Oh, ya. Benar,‖ kata Mia cepat dan berbalik hendak berjalan ke dapur.
Tetapi ia teringat sesuatu dan berbalik kembali. ―Omong-
omong, aku bawa sandwich. Karena kau belum sarapan, kau bisa
makan dulu sementara aku buat membuat kopi .‖
Alex mengamati sandwich dalam kotak plastik yang
diletakkkan Mia di atas meja di hadapannya. ―Tidak usah. Aku tidak
butuh sarapan.‖
―Semua orang harus sarapan. Masa kau hanya minum kopi
setiap pagi?‖
―Ya.‖
―Coba dulu.‖
―Tidak.‖
―Kenapa? Takut aku akan meracunimu?‖
Alex mendongak mendengar nada kesal dalam suara gadis itu.
―Mungkin,‖ sahut. ―Siapa tahu?‖
Alex mengamati mata Mia Clark menyipit dan bibirnya terkatup rapat,
seolah-olah gadis itu berusaha menahan diri. Akhirnya gadis itu menarik
napas dalam-dalam dan berkata, ―Tidak ada racun. Ibuku yang membuat
sandwich-nya. Dia menyuruhku memberikannya kepadamu. Memangnya kau pikir
ibuku berniat
meracunimu?‖
Alis Alex berkerut heran. ―Ibumu mengenalku?‖
―Tidak. Tapi dia tahu tentang kecelakaan itu dan dia tahu aku
akan membantumu selama tanganmu masih dibebat.‖ Mia berhenti
56
sejenak, lalu menambahkan dengan nada tidak sabar, ―Demi Tuhan,
makan saja. Kau tidak perlu menghabiskannya kalau tidak mau.‖
Alex tidak menjawab. Ia menatap sandwich di hadapannya
dengan masam, lalu kembali mendongak menatap Mia. ―Mana
kopiku?‖
Mendengar pertanyaannya, Mia Clark mengembuskan napas kesal, berbalik,
dan berjalan ke dapur sambil menggerutu tidak jelas.
Beberapa menit kemudian Mia kembali ke ruang duduk membawa secangkir
kopi. Alex Hirano masih duduk di tempatnya tadi sambil mencoret-coret
sesuatu di kertas di atas meja. Kotak berisi sandwich yang diletakkan
Mia di atas meja tadi masih belum dibuka. Mia mendesah dalam hati dan
meletakkan cangkir kopi di atas meja.
Alex Hirano langsung meraih cangkir itu dan menyesap
kopinya. Lalu ia mendongak menatap Mia. ―Kau boleh mulai
membersihkan rumah. Pengisap debu dan semua yang kau butuhkan
untuk bersih-bersih ada di lemari di samping pintu masuk. Dan
ingat,‖ katanya dengan nada tajam yang sudah mulai dikenal Mia.
―Jangan sentuh pianoku dan jangan sentuh kertas-kertasku.‖
Mia melirik kertas-kertas penuh coretan not balok yang tersebar di atas
meja. Baiklah, ia tidak akan mengelap atau merapikan meja ini. Oke,
Tidak masalah. Beres. Apa lagi?
Tetapi Alex Hirano tidak berkata apa-apa lagi. Ia berdiri dari sofa
dengan cangkir kopi di tangan dan berjalan ke kamar tidurnya. Mia
menatap pintu kamar yang ditutup dengan tegas itu dengan mata
disipitkan, lalu mendesah pelan dan berjalan ke arah lemari yang
ditunjuk Alex tadi untuk mengeluarkan mesin pengisap debu.
57
*****
Alex melepaskan headphone yang terpasang di kepalanya dengan kasar dan
melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia menjauhi keyboard-nya dan
berjalan mondar-mandir di kamar. Ini benar-benar menjengkelkan. Bermain
piano dengan satu tangan terasa sangat menyedihkan. Ditambah lagi, ia
belum mendapat inspirasi untuk melanjutkan lagunya.
Semua ini gara-gara tangannya yang cacat! Dan tangannya cacat gara-gara
gadis itu! Omong-omong soal gadis itu…
Alex berhenti melangkah dan menatap pintu kamar tidurnya. Ia memiringkan
kepalanya sedikit, memasang telinga. Hening. Tidak terdengar apa-apa.
Beberapa menit setelah Alex masuk ke kamarnya tadi, ia mendengar mesin
pengisap debu dinyalakan. Ia mengenakan headphone dan memperbesar volume
musiknya untuk meredam bunyi berisik itu sementara gadis itu bekerja.
Tetapi sekarang tidak terdengar apa-apa lagi di luar sana.
Alex melirik jam. Ternyata sudah lama juga ia mengurung diri di kamar.
Alex membuka pintu kamar dan melongok ke luar. Tidak ada siapa-siapa. Ia
berjalan ke ruang duduk, lalu ke dapur, lalu kembali ke ruang duduk.
Tidak ada siapa-siapa di apartemennya selain dirinya sendiri. Lalu di
mana gadis itu?
58
Mungkin sudah pulang, pikir Alex dalam hati dan mengangkat bahu tidak
peduli. Tapi, tunggu dulu, apakah masih ada kopi di dapur?
Alex berjalan kembali di dapur dan mendesah lega ketika menemukan masih
ada tersisa kopi di sana. Bagus. Berikutnya makanan. Alex membuka lemari
dapur dan memberengut. Apa-apaan ini? Tidak ada makanan. Alex teringat
kata-kata gadis itu dan terpaksa mengakui bahwa gadis itu benar. Tidak
ada apa-apa di dapurnya. Benar-benar menyedihkan.
Ia kembali ke ruang duduk dan mengempaskan diri ke sofa. Ia hendak
meraih remote control untuk menyalakan televisi ketika matanya terpaku
pada kotak berisi sandwich di atas meja. Perutnya berbunyi. Baiklah, ia
akan memakan sandwich-nya sekarang karena gadis itu sudah tidak ada.
Dan sandwich itu sangat enak. Ia juga merasa lebih baik setelah makan.
Lebih tenang.
Alex sedang mengunyah potongan sandwich terakhir sambil menonton
televisi ketika bel pintunya berbunyi. Alex berdiri dan berjalan ke
pintu sambil bertanya-tanya kenapa bukan interkomnya yang berbunyi,
melainkan bel pintunya. Apakah salah seorang tetangganya datang
berkunjung? Tidak mungkin. Alex nyaris sama sekali tidak mengenal
tetangga-tetangganya.
Ia membuka pintu dan langsung berhadapan kembali dengan malaikat
kegelapannya. Malaikat kegelapan yang memeluk dua kantong belanjaan.
59
―Hai,‖ kata Mia Clark sambil berjalan melewati Alex dan
masuk ke dalam apartemen. ―Kau mau pasta untuk makan siang?‖
Alex mengerjap dan menatap Mia Clark yang langsung berjalan ke dapur.
Apa maksudnya ini? Ia menutup pintu dan menyusul gadis itu ke dapur. Mia
meletakkan kantong belanjaannya di meja dapur dan mulai mengeluarkan
barang-barang dari kantong.
―Apa ini?‖ tanya Alex bingung.
Mia Clark menatapnya dan tersenyum kecil. ―Karena tidak
ada apa pun di dapurmu, aku memutuskan pergi membeli sedikit
persediaan makanan,‖ jelasnya. ―Tadi aku sempat mengetuk pintu
kamarmu untuk memberitahumu, tapi kau tidak menjawab. Kupikir kau sedang
beristirahat dan aku tidak ingin mengganggu, jadi kuputuskan untuk
langsung pergi saja.‖
―Lalu bagaimana caranya kau bisa membuka pintu di bawah? Kau membawa
kunciku?‖ tanya Alex dengan kening berkerut.
―Tentu saja tidak,‖ sahut gadis itu cepat, terlihat agak jengkel.
Lalu ia menggumamkan sesuatu dengan nada rendah dan tidak terdengar oleh
Alex.
Alex menyipitkan mata. ―Apa katamu?‖
―Pintu di bawah terbuka lebar,‖ sahut gadis itu, tapi Alex yakin sekali
bukan itu yang digumamkannya tadi. ―Jadi kau langsung masuk.‖
―Tentu saja.‖ Gadis itu tersenyum sekilas, lalu kembali meneruskan
kesibukannya mengeluarkan barang-barang belanjaan
dari dalam kantong.
―Apa yang kau beli?‖ tanya Alex.
60
―Makanan sehat,‖ sahut Mia tanpa mendongak. ―Jadi kau mau
pasta untuk makan siang? Atau kau sudah kenyang makan sandwich?‖
Alex terkejut mendengar bahwa gadis itu tahu ia telah menghabiskan
sandwich tadi, tetapi ia berhasil menjaga raut wajahnya tetap datar dan
acuh tak acuh. ―Sandwich saja tidak bisa membuatku
kenyang,‖ katanya. ―Pastikan saja pastamu itu bisa di makan.‖
Mia mendengus pelan, tetapi tidak berkata apa-apa.
Alex menatap barang-barang belanjaan Mia dengan kening
berkerut dan bertanya, ―Apakah aku harus membayar untuk semua
ini?‖
―Tidak,‖ sahut Mia sambil memasukkan bahan-bahan
makanan ke dalam kulkas dan lemari. ―Bagaimanapun, aku harus membayar
ganti rugi kepadamu, bukan? Jadi anggap saja ini
semacam ganti rugiku padamu.‖ Alex mengangguk. ―Bagus.‖
―Omong-omong, kau tidak ingin pergi kemana-mana hari ini?‖ tanya Mia.
―Pergi ke mana?‖
Mia mengangkat bahu. ―Entahlah. Maksudku, kalau kau bosan di rumah terus
dan ingin ke suatu tempat—pergi menemui temanmu, misalnya, atau ke mana
pun—aku bisa mengantarmu.‖
―Kenapa kau ingin mengusirku dari rumahku sendiri?‖
Mia Clark berhenti menyusun barang belanjaannya dan menoleh menatap Alex
dengan kesal. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi dengan
cepat mengurungkan niatnya.
61
Akhirnya gadis itu berkata, ―Lupakan saja. Aku juga tidak tahu kenapa
aku bertanya.― Lalu ia menggerutu pelan dan Alex hanya bisa
menangkap kata ―bodoh‖ dan ―gila‖.
Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel. Mia meninggalkan pekerjaannya,
bergegas menghampiri tas tangannya dan mengeluarkan ponselnya yang
berdering-dering. Ia menatap layar
ponsel sebelum menekan tombol ―jawab‖ dan menempelkan ponsel
ke telinga. ―Ya, Ray?‖
Alex mengangkat alis. Ternyata adiknya.
―Aku?‖ Mia melirik sekilas. ―Aku ada di rumah kakakmu
sekarang.‖
Saat itu Alex baru ingat bahwa ia belum memberitahu Ray bahwa gadis yang
dikejar-kejarnya kini menjadi pengurus rumah Alex. Alex ingin tahu
bagaimana reaksi Ray bila tahu soal ini.
―Membantunya,‖ kata Mia lagi ditelepon, sepertinya sedang menjelaskan
keberadaannya di apartemen Alex kepada Ray. ―Karena sepertinya dia
memang sangat membutuhkannya.‖
Alex menggeleng membantah, namun Mia mengabaikannya
dan memalingkan wajah.
―Aku baik-baik saja. Ya. Tidak, kau tidak perlu datang,‖ lanjut Mia.
Lalu ia terdiam dan alisnya terangkat heran. ―Apa? Kau sudah ada di
sini?‖
Alex dan Mia serentak menoleh ketika bel pintu berbunyi. Lagi-lagi bel
pintu.
Mia berjalan keluar dari dapur dan pergi membuka pintu. Alex tidak
menyusul. Ia duduk di salah satu bangku tinggi di dapur
62
dan memeriksa barang-barang yang dibeli gadis itu. Roti gandum,
mentega, susu, buah-buahan, sayuran hijau, daging, jamur…
―Hai, Ray. Apa kabar?‖ Ia mendengar suara Mia yang riang menyapa Ray.
Lalu, ―Kau sudah makan siang? Belum? Aku akan membuat pasta. Kau mau?‖
Alex menoleh ketika Mia dan adiknya muncul di dapur. Ray
menatapnya dengan tatapan heran bercampur waswas.
―Bagaimana kau bisa membuka pintu di bawah?‖ tanya Alex
pada adiknya. Sungguh, keamanan di gedung ini perlu
dipertanyakan kalau semua orang bisa masuk begitu saja.
―Sepertinya ada orang yang sedang pindah rumah. Pintu di
bawah terbuka lebar,‖ sahut Ray dan menempati bangku tinggi di
samping Alex. Ia menoleh menatap Mia, yang sudah kembali sibuk
dengan barang-barang belanjaannya tadi, dan kembali menatap Alex.
―Jadi kenapa Mia ada di sini?‖
―Aku sendiri yang menawarkan bantuan, Ray,‖ Mia
membenarkan.
―Kau dengar, bukan?‖ tanya Alex pada Ray dengan nada puas. ―Dia sendiri
yang memaksa ingin mnjadi tangan kiriku, ingin
membantuku bersih-bersih, ingin menyiram tanamanku kalau aku
punya tanaman, dan ingin memberi makan anjing dan kucingku
kalau aku punya anjing dan kuncing.‖
―Ya, begitulah,‖ Mia membenarkan sekali lagi.
―Tapi bagaimana dengan jadwal mengajarmu? Tidak terganggu?‖ tanya Ray
kepada Mia yang sedang mengisi panci
dengan air.
63
―Sama sekali tidak,‖ sahut Mia tanpa menoleh. ―Aku sudah
melepas beberapa kelasku, jadi jadwal mengajarku tidak terlalu padat
lagi sekarang.‖
―Oh, ya? Kenapa?‖ Alex mendengar Ray bertanya dengan
nada heran, seolah-olah Mia tidak boleh mengurangi jadwal
mengajarnya.
―Tidak kenapa-napa.‖ Mia mengangkat bahu. ―Kurasa aku
hanya ingin punya waktu untuk menari lagi sendiri. Tidak hanya
mengajar.‖
―Jadi kau berencana mengambil kelas menari lagi?‖ tanya Ray.
Sekali lagi Mia mengangkat bahu. ―Mungkin,‖ katanya sambil
tersenyum.
Tepat pada saat itu bel pintu berbunyi lagi dan Alex
menggerutu, ―Apa lagi sekarang?‖
―Akan kulihat siapa itu,‖ kata Ray kepada Mia sambil turun
dari bangku tinggi yang didudukinya.
―Tidak apa-apa. Biar aku saja. Membuka pintu adalah salah satu tugasku
di sini,‖ kata Mia sambil berjalan keluar dari dapur dan
pergi melihat siapa yang membunyikan bel.
Setelah Mia pergi, Ray menoleh menatap Alex. ―Kuharap kau memperlakukan
Mia dengan baik,‖ katanya sambil tersenyum kecil.
―Dia masih di sini. Belum berlari terbirit-birit,‖ kata Alex acuh tak
acuh. ―Tapi kau boleh membawanya pergi dan membuat hidupku
lebih tenang. Aku selalu merasa dia akan mematahkan tanganku
yang lain.‖
64
Ray terkekeh. ―Kurasa aku tidak akan bisa membujuknya
melupakan niatnya membantumu. Dia merasa sangat bersalah dan
dia hanya ingin melakukan sesuatu untuk membantu,‖ katanya. Lalu ia
menatap tangan Alex. ―Bagaimana tanganmu?‖
―Kau bisa lihat sendiri. Masih cacat.‖ Lalu Alex teringat sesuatu dan
bertanya, ―Kau tidak memberitahu Mom dan Dad soal ini, bukan?‖
Ray menggeleng. ―Tentu saja tidak. Aku tidak ingin membuat mereka
jantungan di tengah-tengah liburan.‖
―Bagus,‖ gumam Alex. Saat ini kedua orangtuanya sedang
menikmati liburan tahunan mereka di Jepang dan ia tidak ingin
mereka mempersingkat liburan hanya gara-gara dirinya.
―Oh, Karl.‖ Alex mendengar suara Mia menyapa manajernya di depan pintu.
―Alex ada di dapur bersama Ray. Omong-omong, kau sudah makan siang?‖
―Karl? Kenapa dia datang?‖ gumam Alex. Dan ia mengulangi
pertanyaannya kepada Karl ketika laki-laki itu masuk ke dapur
bersama Mia.
―Aku? Aku datang karena aku tahu aku bisa menemukan Mia di sini.‖ Karl
tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. ―Hai,
Ray. Apa kabar?‖
Alex melirik Ray yang menatap Karl lurus-lurus.
―Kau sudah mengenal Mia? Kapan?‖ tanya Ray dengan nada
tajam bercampur heran.
65
―Kemarin,‖ sahut Karl ringan, sama sekali tidak menyadari kenyataan
bahwa Ray kini tidak lagi memandangnya sebagai teman, tetapi saingan.
Alex yakin Ray tahu bahwa Karl selalu ramah pada wanita mana pun, karena
adiknya sering menggoda Karl tentang hal itu. Tetapi ketika wanita yang
menjadi sasaran perhatian Karl adalah Mia Clark, sepertinya Ray tidak
lagi menganggap semua itu lucu.
―Dia membuat kopi yang enak sekali kemarin. Bukankah begitu, Mia?‖ kata
Karl sambil duduk di bangku tinggi terakhir di
samping Ray dan tersenyum kepada Mia.
Mia tertawa. ―Harus kukatakan bahwa kau bukan orang pertama yang jatuh
dalam pesona kopiku.‖
―Aku jadi penasaran seperti apa rasanya,‖ kata Ray dengan
kening berkerut.
―Rasanya susah dijelaskan,‖ kata Karl walaupun Ray tidak bertanya
langsung kepadanya. ―Tanya saja pada Alex. Dia juga mencobanya kemarin.
Kopi buatan Mia enak sekali, bukan, Alex?‖
―Biasa saja,‖ sahut Alex datar. ―Itu merek kopi yang selalu
kubeli. Dan itu merek kopi yang sama yang kau minum setiap kali
kau datang ke sini. Tidak ada bedanya.‖
―Oh, ya? Kupikir itu kopi yang berbeda. Karena rasanya tidak
pernah seenak itu kalau aku membuatnya sendiri. Atau kalau kau
kau yang membuatnya,‖ kata Karl.
―Bagiku sama saja,‖ kata Alex.
―Aku tetap ingin mencobanya,‖ kata Ray.
66
Mia menatap ketiga laki-laki yang duduk bersebelahan itu
bergantian, lalu berkata, ―Aku bisa membuatkan kopi untuk kalian
setelah makan siang, kalau kalian mau.‖
Ray dan Karl mengiyakan. Alex memilih untuk tidak
berkomentar.
Mia tersenyum. Ia menatap Karl dan berkata, ―Bukankah tadi kau bilang
ada yang ingin kau bicarakan dengan Alex?‖
Karl menggeleng. ―Tidak. Tidak ada masalah. Kau tahu benar
tidak ada yang tidak bisa kuatasi. Aku hanya ingin mengabarkan
perkembangannya kepadamu. Oh, dan ada yang ingin kutanyakan tentang
jadwal kerjamu akhir tahun ini.‖
Sebelum Alex sempat menjawab, Mia menyela, ―Bagaimana
kalau kalian mengobrol di ruang duduk saja sementara aku
menyiapkan makan siang?‖
―Kenapa kau berusaha mengusirku dari dapurku sendiri?‖
tanya Alex sambil menyipitkan mata.
Mia memutar bola mata dan balas bertanya, ―Memangnya kau
lebih suka mengobrol di sini? Kukira kau lebih suka jauh-jauh
dariku.‖
Alex mengangguk. ―Kau benar. Sebaiknya aku memang jauh-jauh darimu,‖
katanya sambil turun dari bangku tingginya.
―Panggil saja kalau kau butuh bantuan, Mia,‖ kata Karl
sebelum turun juga dari bangkunya.
―Kau yakin tidak butuh bantuan?‖ tanya Ray kepada Mia. ―Tidak, terima
kasih,‖ kata Mia sambil tersenyum
menenangkan. ―Aku bisa mengatasinya.‖
67
Alex menatap adik dan manajernya bergantian, lalu mendesah dalam hati.
Ada apa sebenarnya dengan mereka berdua dan gadis ini? Apakah sebaiknya
ia memberitahu Karl bahwa Ray tertarik pada Mia Clark dan meminta Karl
tidak macam-macam?
Tidak. Mereka berdua sudah dewasa dan Alex akan membiarkan mereka
menyelesaikan masalah mereka sendiri. Itu juga kalau memang ada masalah.
Ia tidak akan ikut campur dalam sesuatu yang tidak menyangkut dirinya.
Alex tidak mengerti apa yang membuat Ray dan Karl tertarik pada gadis
itu. Terutama Karl, Karena Karl baru bertemu Mia Clark kemarin. Apakah
karena kopi yang dibuat gadis itu?
Mia Clark memang bisa membuat kopi yang sangat enak. Alex tidak tahu
bagaimana gadis itu melakukannya, tetapi terkutuklah ia jika sampai
bertanya kepada gadis itu atau mengakui bahwa kopinya enak.
Dan Alex juga sudah pasti tidak akan pernah mengakui bahwa ia akan
membiarkan gadis itu datang ke apartemennya dan membahayakan keselamatan
dirinya—bagaimanapun juga Alex masih merasa gadis itu adalah malaikat
kegelapannya—asal gadis itu tetap membuatkan kopi untuknya setiap pagi.
68
Bab Tujuh
MIA membalas lambaian murid-muridnya yang keluar dari ruang
kelas. Setelah murid terakhirnya keluar dari ruangan dan menutup pintu,
Mia mengeluarkan sekeping CD dari tasnya dan memasukkannya ke dalam
player. Ia menekan tombol play, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan
dan berdiri menghadap bayangan dirinya di cermin besar yang memenuhi
dinding. Beberapa detik kemudian lagu L‘Aura, Una Favola, mulai mengalun
dan Mia pun mulai bergerak mengikuti irama.
Saat-saat paling membahagiakan bagi Mia adalah ketika ia menari. Ia bisa
melupakan segalanya, bahkan siapa dan apa dirinya, selama lagu masih
mengalun dan tubuhnya masih bergerak.
Ketika lagu berakhir, Mia mendengar tepuk tangan dari arah pintu. Mia
menoleh dan melihat Lucy berdiri di sana.
―Mendengarkan lagu tadi dan melihat tarianmu… astaga,
indah sekali,‖ desah Lucy sambil menggeleng-geleng kagum. ―Itu
arabesque penchee1, grand jete2, dan pirouette3 paling sempurna yang
pernah kulihat. Tapi, apa lagi yang bisa diharapkan dari lulusan
Juilliard selain kesempurnaan?‖
1 Posisi tubuh di mana penari berdiri dengan satu kaki dan kaki lain
diangkat lurus ke belakang
2 Lompatan panjang dan horizontal, diawali dengan satu kaki dan mendarat
dengan kaki lain. Juga dikenal sebagai split di udara
3 Berputar dengan bertumpu pada satu kaki
69
Mia tersenyum. ―Kau terlalu berlebihan,‖ katanya. ―Tapi
terima kasih.‖
The Juilliard School, atau yang lebih dikenal dengan Juilliard, adalah
salah satu sekolah seni pertunjukan paling bergengsi di dunia. Divisi
tarinya sangat terkenal di dunia tari-menari karena kualitas pendidikan
dan pelatihan artistiknya sangat baik.
Ketika Mia masih kecil, ibunya pernah mengajaknya menonton pertunjukan
tari oleh kelompok penari dari Juilliard. Pengalaman itu sangat berkesan
bagi Mia dan sejak saat itu impian terbesar Mia adalah belajar menari
di Juilliard. Awalnya, Mia sangat ragu ia bisa diterima, mengingat di
antara ribuan yang mendaftar masuk ke sekolah itu, setiap tahunnya hanya
5-7 persen pendaftar yang diterima.
Namun Mia berhasil. Ia diterima. Dan hari ketika ia menerima surat dari
Juilliard yang menyatakan bahwa ia diterima adalah hari paling
membahagiakan dalam hidupnya. Dan tahun-tahunnya menari di Juilliard
adalah tahun-tahun terbaik dalam hidupnya.
Di Juilliard, semua penari, termasuk Mia, mendapat pelatihan balet
klasik dan tari modern, karena Juilliard Dance ingin menciptakan
penari-penari kontemporer sejati. Para lulusan Juilliard biasanya
bergabung dengan kelompok-kelompok balet dan tari modern di seluruh
Amerika Serikat dan bahkan di luar negeri. Banyak yang menjadi direktur
kelompok-kelompok tari ternama. Banyak juga yang meniti karier sebagai
koreografer dan meraih sukses.
70
Bahkan sebelum lulus dari Juilliard, Mia sudah mendapat tawaran untuk
bergabung dengan salah satu kelompok tari terkenal. Tetapi sayangnya
kenyataan tidak berjalan sesuai keinginan.
Mia duduk di lantai dan meraih botol minuman. ―Kau masih ingin mencoba
mengikuti audisi Juilliard?‖ tanyanya pada Lucy.
―Tentu saja,‖ sahut Lucy sambil duduk di samping Mia. ―Aku tidak akan
menyerah hanya gara-agara ditolak dua kali.‖
Lucy sebenarnya adalah penari yang sangat baik, tetap Juilliard memang
terkenal memiliki standar sangat tinggi. Entahlah, Mia juga tidak
mengerti apa yang mereka cari dalam diri seorang penari ketika audisi.
Teknik yang sempurna? Potensi? Bakat? Entahlah.
―Omong-omong, aku mau menonton pertunjukan di
Broadway malam ini. Mau ikut?‖ tanya Lucy.
Mia meringis. ―Maaf, aku tidak bisa,‖ katanya sambil
tersenyum menyesal.
―Ah, kau harus ke tempat kakak Ray?‖ kata Lucy.
Mia mengangguk.
―Jadi bagaimana keadaannya sekarang?‖
―Biasa saja,‖ sahut Mia pendek sambil mengangkat bahu. ―Dia masih marah
padamu?‖
―Entahlah. Tapi kurasa masih,‖ sahut Mia ragu. ―Dia memang
sudah tidak terlalu sinis padaku, tapi dia juga tidak bersikap ramah
padaku.‖
Sudah dua minggu berlalu sejak Mia memutuskan membantu Alex Hirano.
Selama dua minggu terakhir ini ia menghabiskan
71
sebagian besar waktunya di apartemen Alex, melakukan tugas-tugasnya
sebagai ―pengurus rumah‖, seperti istilah laki-laki itu. Namun selama
itu ia jarang berbicara dengan Alex Hirano. Laki-laki itu lebih sering
menghabiskan waktunya di kamar saat Mia ada di sana. Ia hanya keluar
untuk mengambil kopi dan makan. Kadang-kadang Karl datang berkunjung dan
mereka berdua akan membahas masalah pekerjaan. Kalau Karl dan Alex
harus pergi menemui seseorang Mia diizinkan pulang.
―Bagaimana dengan Ray?‖ tanya Lucy.
―Dia sering datang ke apartemen kakaknya untuk melihat
keadaanku. Katanya, dia ingin memastikan kakaknya
memperlakukanku dengan baik,‖ kata Mia sambil tersenyum.
―Dia selalu baik padamu,‖ kata Lucy.
Senyum Mia perlahan-lahan memudar, kilatan di matanya
meredup dan ia bergumam pelan, ―Padahal kuharap dia tidak
bersikap sebaik itu padaku.‖
*****
Mia menekan bel interkom dan menunggu Alex Hirano membukakan pintu dari
atas, seperti biasa. Tetapi kali ini suara laki-
laki itu terdengar dari interkom. ―Clark?‖ ―Ya, ini aku,‖ sahut Mia.
―Kau bawa mobil?‖ ―Ya. Kenapa?‖ ―Tunggu di sana.‖
72
Mia tidak tahu apa yang diinginkan Alex Hirano, jadi ia menuruti
laki-laki itu. Ia duduk di tangga batu di depan gedung dan menunggu.
Sementara ia menunggu, ponselnya berbunyi.
―Hai, Billy,‖ kata Mia riang setelah menempelkan ponsel ke
telinga. ―Ya, Lucy tadi mengajakku tapi aku tidak bisa ikut hari ini.
Maaf… aku tahu.. Apa? Benarkah? Ia tertawa. ―Aku tidak pernah
menyangka dia…‖
Tiba-tiba terdengar suara berdeham di belakangnya. Mia berbalik dan
mendongak menatap Alex Hirano yang balas menatapnya dengan kening
berkerut.
―Billy, aku harus pergi sekarang… Tentu, kau boleh menelponku lagi
nanti.‖ Mia menutup ponsel, lalu berdiri dan menepuk-nepuk bagian
belakang celana jinsnya. ―Jadi ada apa?‖
tanyanya pada Alex.
Alex terlihat sangat enggan, tetapi ia berkata, ―Antarkan aku ke rumah
sakit.‖
Mata Mia melebar kaget. ―Kenapa? Ada yang salah dengan tanganmu?‖
Alex menatapnya dengan kening berkerut. ―Tidak. Aku hanya ingin dokter
memeriksanya dan mengganti perbannya.‖
―Oh.‖
―Karl sedang rapat, jadi dia tidak bisa mengantarku,‖ lanjut
Alex.
―Dan Ray sudah berangkat ke San Fransisco untuk menghadiri festival
hip-hop,‖ tambah Mia sambil mengangguk.
73
―Jadi pilihannya hanya taksi atau kau,‖ kata Alex. Ia menatap Mia
sejenak dengan ragu. ―Mungkin sebaiknya aku memanggil taksi saja.‖
Mia memutar bola matanya. ―Sudahlah. Aku akan mengantarmu ke rumah
sakit,‖ katanya sambil menuruni tangga
batu dan berjalan ke arah mobilnya yang diparkir tidak jauh dari
sana. Alex mengikutinya dari belakang.
Mia membuka pintu penumpang dan berkata, ―Masuklah.‖ Alex menatap mobil
Mia dengan tatapan tidak percaya. ―Ini
mobilmu? Beetle?‖ ―Ya. Kenapa?‖
―Aku tidak bisa naik mobil ini.‖
Mia mengangkat alis. ―Kenapa tidak?‖
Alex menunjuk mobil Mia dengan tangan kanannya yang
tidak dibebat. ―Tidak ada laki-laki yang mau terlihat menaiki mobil ini.
Dan warnanya kuning!‖
Mia menatap mobilnya, lalu menoleh menatap Alex. ―Mobil ini imut,‖
katanya membela diri.
―Itulah masalahnya,‖ gerutu Alex.
―Lalu kau mau kita memakai mobilmu? Boleh saja. Aku tidak
keberatan.‖
―Dan mengambil risiko kau menghancurkan Lexus-ku?‖
―Kalau begitu...‖ Mia tidak menyelesaikan kalimatnya, hanya mengayunkan
tangan ke arah mobilnya penuh arti. ―Lagipula, bukan kau yang mengemudi,
tapi aku. Jadi masuk saja. Oke?‖
74
Alex masih menggerutu ketika ia masuk ke dalam mobil yang
menurutnya terlalu kecil dan sempit baginya. ―Kurasa kakiku bisa
kram,‖ gumamnya.
―Tidak akan kram,‖ kata Mia datar. ―Tunggu, jangan duduki
jaketku.‖
Mia menarik jaketnya dari kursi penumpang dan melemparkannya ke kursi
belakang. Tetapi Alex sempat melihat tulisan yang dijahit dengan benang
putih di bagian dada jaket tipis itu.
―Juilliard?‖ tanya Alex dengan nada tidak percaya. ―Kau
benar-benar lulusan Juilliard atau seseorang memberikan jaket itu
kepadamu?‖
―Lulusan Juilliard bukan hanya kau, kau tahu?‖ balas Mia
sambil memasang sabuk pengaman. Lalu ia menoleh ke arah Alex
yang masih menatapnya dengan heran. ―Tolong pasang sabuk pengamanmu.‖
―Jadi kamu memang lulusan Juilliard?‖ gumam Alex sambil memasang sabuk
pengaman, lalu tertegun. ―Tapi bagaimana kau bisa tahu aku lulusan
Juilliard?‖
Mia melirik kaca spion dan melajukan mobilnya di jalan. ―Ray pernah
mengatakannya padaku.‖
―Kurasa adikku memang banyak mulut,‖ gerutu Alex. ‖Apa lagi yang
dikatakannya?‖
―Tidak banyak,‖ sahut Mia. Namun, melihat senyum kecil
yang tersungging di wajah gadis itu. Alex merasa Ray pasti sudah
75
bercerita lebih banyak kepada Mia Clark demi mendapatkan
perhatian gadis itu.
―Ray tidak pernah bilang kau lulusan Juilliard,‖ kata Alex. ―Itu karena
dia tidak tahu,‖ sahut Mia ringan.
―Ray tidak tahu? Kenapa tidak?‖ ―Dia tidak pernah bertanya.‖
Alex melirik gadis yang mengemudi di sampingnya. Kelihatannya Ray memang
sudah bercerita banyak tentang dirinya sendiri—dan bahkan
keluarganya—kepada gadis ini, tetapi Alex bertanya-tanya seberapa banyak
yang benar-benar diketahui Ray tentang Mia Clark?
*****
Alex keluar dari ruang pemeriksaan dengan perban baru dan pernyataan
dokter bahwa tangannya tidak akan sembuh secara ajaib dalam waktu dua
minggu jadi ia harus bersabar. Bersabar? Bagaimana ia bisa bersabar
kalau setiap kali ia melihat tangannya yang tergantung tak berdaya ini
ia merasa ingin menghancurkan sesuatu?
Alex mengembuskan napas kesal dan menoleh ke arah deretan kursi tunggu
di depan ruang pemeriksaan. Di mana gadis itu? Katanya dia akan menunggu
di kursi tunggu, tapi kenapa tidak ada? Alex memandang berkeliling,
lalu matanya tertuju pada sosok Mia Clark yang berdiri di dekat meja
perawat dan sedang berbicara dengan dokter pria setengah baya
berkacamata.
76
Si dokter terlihat seperti menanyakan sesuatu kepadanya dan Mia menjawab
sambil tersenyum. Saat itu gadis itu menoleh dan melihat Alex. Matanya
melebar sedikit, lalu ia kembali menoleh ke arah si dokter dan
mengatakan sesuatu, mungkin mengatakan bahwa ia harus pergi sekarang.
Ketika Mia hendak berbalik, si dokter menahannya dan mengatakan sesuatu
lagi. Kemudian Alex melihat Mia menyentuh lengan si dokter, tersenyum
kepadanya dan balas mengatakan sesuatu. Si dokter akhirnya menghela
napas dan mengangguk. Ia sempat menatap Alex sejenak sebelum berbalik
pergi.
―Apa kata dokter?‖ tanya Mia ketika sudah berada di hadapan
Alex.
Alex tidak bertanya apa yang dibicarakan gadis itu dengan dokter tadi,
karena menurutnya itu sama sekali bukan urusannya. Jadi ia menjawab,
―Belum ada perubahan berarti.‖
―Kau akan baik-baik saja,‖ hibur Mia.
―Mudah bagimu mengatakannya,‖ gerutu Alex.
Mia mengabaikannya dan bertanya, ―Sekarang kau mau pergi ke mana?
Pulang?‖
Alex terdiam sejenak. Ketika ia membicarakan Juilliard dengan gadis itu,
tiba-tiba saja ia merasa ingin mengunjungi guru pianonya. Sudah lama
sekali sejak ia terakhir kali bertemu guru yang banyak membimbingnya
dulu. Namun selama ini Alex jarang memiliki waktu luang di antara jadwal
kerja dan jadwal latihannya yang padat. Sekarang berbeda. Sekarang
karena praktis sudah menjadi orang cacat dan pengangguran, ia memiliki
seluruh waktu di dunia
77
untuk melakukan hal-hal yang dulu tidak sempat dilakukannya.
Seperti mengunjungi guru-guru dan teman-temannya.
―Aku ingin mengunjungi guruku,‖ putus Alex.
―Di mana rumahnya?‖ tanya Mia sambil mengeluarkan kunci
mobil dari tasnya.
―Saat seperti ini dia pasti masih ada di sekolah,‖ sahut Alex. ―Kita ke
Lincoln Center.‖
―Lincoln Center? Maksudmu kau mau pergi ke Juilliard?‖ ―Ya.‖
―Kau tahu, susah sekali mencari tempat parkir di sana.‖
―Itu urusanmu. Kau cukup menurunkanku di pintu depan lalu kau bisa cari
tempat parkir sendiri. Aku akan meneleponmu kalau
aku sudah selesai. Berapa nomor teleponmu?‖
*****
Mengobrol tentang musik dan hal-hal menyenangkan lainnya dengan
orang-orang menyenangkan memang membuat waktu terlalu cepat berlalu.
Tanpa terasa Alex telah mengobrol dengan guru-gurunya selama tiga jam
lebih, mengenang masa lalu dan bercerita tentang kabar masing-masing.
Seharusnya ia lebih sering melakukan hal-hal seperti ini dulu, mengambil
sedikit waktu luang unuk bersantai dan tidak melulu memikirkan
pekerjaan.
―Senang sekali bertemu denganmu lagi, Alex,‖ kata salah
seorang gurunya yang sudah tua, Mr. Philips, ketika Alex pamit dan
berkata bahwa sebaiknya ia tidak mengganggu gurunya lebih lama
78
lagi. ―Datanglah lagi kapan-kapan dan mengobrol denganku. Atau kalau
tanganmu sudah sembuh, kau bisa datang ke sini dan menunjukkan
kemampuanmu kepada murid-murid di sini. Mereka pasti sangat senang
apabila bila Alex menjadi instruktur mereka
walau hanya sehari.‖
Alex tertawa. ―Tentu saja, Mr. Philips. Terima kasih.‖
Setelah keluar dari ruangan gurunya, Alex mengeluarkan ponsel dan
menelpon Mia Clark. Tetapi gadis itu tidak mengangkat telepon. Alex
mencoba sekali lagi. Gadis itu tetap tidak mengangkat telepon.
Nah, ada di mana dia sekarang? Tanya Alex dalam hati. Kenapa tidak
mengangkat telepon? Alex memasukkan ponselnya kembali ke saku celana
jinsnya. Tadi gadis itu berkata bahwa ia juga ingin menemui beberapa
orang sementara Alex menemui gurunya. Mungkin gadis itu ada di studio
tari di lantai tiga. Karena ia sedang tidak terburu-buru dan karena
suasana hatinya juga sedang baik setelah melewatkan siang yang
menyenangkan bersama gurunya, Alex memutuskan untuk berkeliling
melihat-melihat gedung yang sudah lama ditinggalkannya sambil mencari
Mia Clark. Lagi pula, ia belum pernah melihat-lihat divisi tari
Juilliard. Dan siapa tahu ia bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.
Gadis itu tidak ada di studio tari di lantai tiga. Tetapi salah seorang
penari berwajah manis yang ditemui Alex di sana berkata,
―Penari-penari senior sedang berlatih di teater untuk pertunjukan
bulan depan, mungkin orang yang kau cari ada di sana.‖
79
Alex tahu teater yang dimaksud. Setelah mengucapkan terima kasih, Alex
berjalan ke sana. Teater luas dan megah dengan kapasitas 993 penonton
itu biasanya digunakan untuk pertunjukan-pertunjukan para murid
Juilliard. Alex sendiri pernah tampil di sini beberapa kali. Ia
mendorong pintu dengan hati-hati dan alunan musik yang lembut langsung
terdengar. Alex melongokkan kepala ke balik pintu dan teater itu nyaris
kosong selain belasan penari pria dan wanita yang sedang berlatih di
panggung di bawah sana. Alex menyelinap masuk dan berdiri di deretan
kursi penonton paling belakang. Ia mencoba mencari gadis itu di antara
para penari. Tetapi karena posisinya terlalu jauh, ia pun menuruni anak
tangga dan berjalan lebih dekat ke arah panggung untuk melihat lebih
jelas. Matanya menatap penari-penari itu satu per satu, tetapi gadis itu
tidak terlihat. Alex mengembuskan napas kesal dan baru hendak berbalik
pergi ketika alunan musik mendadak berhenti.
―Oke, istirahat sepuluh menit,‖ seru seorang wanita yang
memiliki suara menggelegar dari barisan pertama kursi penonton. Alex
mendapati dirinya bertanya-tanya apakah semua instruktur tari memiliki
suara sekeras itu.
Alex sudah berjalan menaiki tangga ketika wanita dengan
suara menggelegar itu kembali berkata, ―Dan aku ingin kalian
berkenalan dengan Mia Clark.‖
Langkah Alex terhenti dan berbalik.
―Dia salah seorang penari terbaikku ketika masih di sini.
Kulihat beberapa diantara kalian sudah pernah mendengar
namanya.‖
80
Alex melihat sosok Mia Clark berdiri di samping wanita bersuara keras
itu. Sepertinya Mia Clark sudah berganti pakaian dan mengenakan jaket
tipis untuk menari berwarna hitam, yang hampir diduduki Alex di mobil
tadi.
―Karena kebetulan dia datang berkunjung ke sini, aku berhasil
membujuknya untuk menunjukkan beberapa gerakan kepada kita,‖ lanjut
wanita itu lagi. ―Kalian bisa belajar banyak darinya. Jadi perhatikan
dan pelajari.‖
Semua penari yang berada dipanggung duduk bersila di tepi panggung dan
mengamati Mia dengan tatapan kagum. Alex mendapati dirinya kembali
menuruni tangga ke deretan tengah kursi penonton dan duduk di sana. Ia
penasaran. Sebenarnya rasa penasarannya sudah timbul sejak ia tahu Mia
Clark lulusan Juilliard. Sekarang rasa penasarannya bertambah setelah
mendengar pujian yang dilontarkan instruktur tari tadi.
Mia menyerahkan sesuatu kepada instruktur, yang menyerahkan apa pun itu
kepada seorang pria di sisi panggung. CD? Entahlah, Alex tidak bisa
melihat dengan jelas. Lalu Mia naik ke atas panggung dengan kaki
telanjang dan itulah pertama kalinya Alex melihat Mia Clark dalam
pakaian menarinya. Jaket ketat lengan panjang dan celana pendek ketat
seperti yang dikenakan kebanyakan penari lain.
Di atas panggung, beberapa orang penari melambaikan tangan dan
mengatakan sesuatu kepada Mia. Mia membalas lambaian mereka dan balas
mengatakan sesuatu sambil tertawa. Setelah itu ia mengambil posisi di
tengah-tengah panggung. Dan musik pun mulai
81
mengalun di seluruh penjuru teater. Alex mengenali lagu itu. Una Favola.
Begitu nada pertama terdengar, Mia Clark mulai bergerak mengikuti alunan
lagu. Gerakannya halus, namun terkendali. Ayunan tangan dan kakinya
anggun, namun juga kuat. Seluruh tubuhnya bergerak. Seluruh tubuhnya
menari dari ujung jari tangan sampai ujung jari kakinya. Bahkan raut
wajahnya berubah mengikuti emosi tariannya.
Teknik Mia Clark tanpa cela, Ia melompat tinggi seolah-olah melayang, ia
berputar tanpa goyah sedikit pun. Singkatnya, itu tarian yang indah.
Alex belum pernah melihat seseorang yang menari seperti itu. Ia bisa
merasakan kisah yang ingin diceritakan Mia Clark melalui tarian itu. Ia
bisa merasakan emosi gadis itu. Jiwanya. Hatinya.
Seperti semua orang yang ada di teater itu, Alex tidak bisa mengalihkan
tatapannya dari gadis yang sedang menari di atas panggung. Gerakan gadis
itu seolah-olah memiliki kekuatan yang menyihir semua orang yang
melihatnya. Membuat semua orang terpaku.
Ketika alunan lagu berhenti dan gerakan Mia Clark berhenti, selama
beberapa detik tidak terdengar apa pun di teater itu. Segalanya hening.
Lalu, seolah-olah baru tersadar dari mimpi, semua orang mulai bertepuk
tangan dan bersorak.
Alex masih menatap sosok Mia di atas panggung, yang dikerumuni para
penari lain. Mia terlihat agak terengah-engah, tetapi ia tersenyum lebar
kepada orang-orang yang mengelilinginya.
82
Lulusan Juilliard memang pasti bisa menari dengan indah. Dan Mia Clark
menari dengan sempurna. Terlihat jelas sekali bahwa ia menari dengan
seluruh jiwa dan raganya. Ia berhasil membuat Alex yakin bahwa ia memang
penari yang sangat berbakat.
Namun ia juga membuat Alex bertanya-tanya. Seorang penari sehebat itu
seharusnya bergabung dengan kelompok tari terkenal dan menari dalam
pertunjukan-pertunjukan besar di seluruh dunia. Lalu kenapa Mia Clark
memilih mengajar di studio tari yang tidak terkenal?
83
Bab Delapan
“OH, Celaka!‖ Mia terkesiap kaget ketika mengeluarkan ponsel dari
tasnya. Alex Hirano sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tetapi
Mia tidak menyadarinya karena ponselnya berada di dalam tasnya yang
ditinggalkan di kursi penonton. Ia bergegas mengenakan celana jins dan
sepatu, lalu berpamitan kepada guru tarinya.
Laki-laki itu pasti marah besar, pikir Mia cemas dan cepat-cepat
menelpon Alex Hirano. Mia berlari-lari kecil menyusuri koridor di antara
deretan kursi penonton ke arah pintu keluar.
Pada deringan kedua, suara Alex Hirano pun terdengar di
ujung sana. ―Clark? Kenapa kau tidak menjawab teleponku?‖
Mia mengernyit. ―Maaf,‖ katanya cepat. ―Aku tidak mendengar bunyi
telepon.‖
―Apakah kau tahu sudah berapa lama aku menunggu?‖ ―Maaf,‖ ulang Mia.
―Kau ada di mana sekarang? Aku akan
segera ke sana.‖
―Berhenti,‖ kata Alex Hirano tiba-tiba.
Mia otomatis berhenti melangkah walaupun ia tidak mengerti
apa yang dimaksud laki-laki itu. ―Apa?‖
―Ya, berhenti seperti itu,‖ kata Alex. ―Sekarang berputar ke
kiri.‖
Mia menuruti kata-kata Alex Hirano.
84
Dan mata Mia melebar kaget, ketika melihat Alex Hirano duduk beberapa
kursi jauhnya dari tempatnya berdiri. Laki-laki itu tersenyum kecil
kepadanya sambil menurunkan ponsel dari telinga.
Mia mengerjap heran. Pertama, karena Alex Hirano tersenyum. Laki-laki
itu belum pernah tersenyum kepadanya selama Mia mengenalnya. Alex memang
sering tersenyum hambar dan sinis,
tetapi itu tidak bisa dihitung sebagai ―senyuman,‖ bukan? Kedua,
karena Alex Hirano ada di sana. Mia tidak tahu mana yang lebih
mengherankan baginya.
―Kenapa kau bisa ada di sini?‖ tanya Mia sambil menoleh ke
kiri dan ke kanan, seolah-olah mencari seseorang yang bisa menjelaskan
kenapa Alex Hirano ada di sana, lalu kembali menatap laki-laki itu.
―Sudah berapa lama kau di sini?‖
Alex Hirano memasukkan ponselnya ke saku celana dan berkata ringan,
―Omong-omong, kau sudah boleh menurunkan
ponselmu.‖
Mia tersentak dan menyadari ponselnya masih ditempelkan ke telinga. Ia
buru-buru memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia baru ingin mengulang
pertanyaannya ketika Alex menyelanya.
―Jadi itu yang dinamakan tari kontemporer,‖ gumam Alex
sambil memandang ke arah panggung tempat para penari sibuk berlatih.
Mia tidak tahu apakah Alex Hirano sedang membicarakannya atau para
penari di panggung itu. Apakah laki-laki itu melihatnya menari tadi?
85
―Aku tidak menyangka kau mendengarkan lagu-lagu Italia,‖ lanjut Alex
sambil kembali menoleh ke arah Mia.
Oh ya, laki-laki itu sudah ada di sini ketika Mia menari tadi.
Mia mengangkat bahu dan membalas, ―Aku bahkan tidak
menyangka kau tahu lagu itu lagu Italia.‖
Alex Hirano menatap Mia dengan mata disipitkan, tetapi kali ini Mia
tidak merasa ingin mundur teratur. Tatapan Alex kali ini bukan tatapan
dingin dan bermusuhan. Dan omong-omong, Alex juga tidak marah–marah
karena tidak bisa menghubungi Mia dan terpaksa harus menunggu.
Mengherankan sekali.
―Aku ini musisi,‖ sahut Alex dengan sebersit nada angkuh
dalam suaranya. ―Tentu saja aku tahu semua jenis lagu dan musik.‖
Mia ingin membalas bahwa bukan musisi saja yang perlu tahu tentang
musik. Penari juga tahu. Tetapi saat itu Alex berdiri dari tempat
duduknya dan melangkah keluar dari deretan kursi penonton, jadi Mia
mengurungkan niatnya dan menyingkir sedikit untuk memberi jalan.
Alex keluar dari teater dan Mia mengikutinya dari belakang.
―Jadi kau sudah bertemu dengan gurumu?‖ tanya Mia berbasa-basi
sambil mengenakan jaket luarnya.
Alex mengangguk. ―Sudah.‖ ―Gurumu masih ingat padamu?‖
―Tentu saja,‖ sahut Alex dengan nada tersinggung, seolah-olah
semua orang di Juilliard pasti tahu siapa dirinya. Mia tidak
berkomentar.
86
Alex ragu sejenak. Lalu akhirnya bertanya, ―Yang tadi itu guru
tarimu?‖
Mia melirik Alex. Sungguh, laki-laki itu agak berbeda hari ini. Ia
mengajaknya mengobrol, padahal biasanya ia hanya akan bicara dengan
kalimat pendek dan seperlunya. Sepertinya suasana hati Alex Hirano
sedang baik hari ini.
―Ya,‖ sahut Mia singkat. ―Salah satunya.‖ ―Dia sangat memujimu tadi.‖
―Benarkah?‖ gumam Mia sambil lalu.
Alex menoleh menatapnya. ―Katanya kau salah satu penari terbaiknya.‖
―Oh ya?‖ Mia mengangkat bahu. ―Banyak penari lain yang
lebih baik dariku. Omong-omong, kau mau pergi ke mana sekarang?
Pulang? Bagaimana kalau kau tunggu di pintu depan dan aku akan
pergi mengambil mobil…‖
Alex menggeleng dan menyela, ―Aku belum ingin pulang.‖
―Oh? Lalu kau mau pergi ke mana?‖
Alex berpikir sejenak. Lalu sekali lagi seulas senyum samar
tersungging di bibirnya dan ia berkata, ―Toko musik.‖
*****
Mia mengenakan salah satu headphone yang tersedia dan mulai memilih lagu
yang ingin didengarnya. Ini yang pertama kali dilakukannya setiap kali
ia mengunjungi toko musik, memanfaatkan fasilitas mendengar lagu-lagu
sebelum pergi memutuskan apa yang
87
ingin dibelinya. Alex Hirano sudah pergi ke bagian musik klasik, jadi
Mia bisa bersantai sendiri untuk sementara.
Sebenarnya suasana hati Alex Hirano yang sedang baik perlahan-lahan
mencairkan ketegangan yang selalu Mia rasakan setiap kali berada di
dekat laki-laki itu. Tidak, mereka belum bisa disebut teman, tetapi
setidaknya untuk saat ini Alex Hirano sepertinya tidak membenci Mia
karena membuat tangannya cedera. Itu kemajuan yang berarti. Kalau
mengobrol beberapa jam dengan guru pianonya bisa membuat Alex Hirano
berubah sedikit lebih menyenangkan seperti ini, Mia bersedia
mengantarnya menemui gurunya setiap hari.
Mia tidak tahu sudah berapa lama ia berdiri di sana dan mendengarkan
lagu, tetapi ia sama sekali tidak menyadari Alex Hirano sudah berdiri di
sampingnya sampai tanpa sengaja menoleh dan melihat laki-laki itu. Mia
tersentak dan melepaskan headphone.
―Kau sudah selesai?‖ tanyanya sambil melirik beberapa keping CD
yang ada di tangan kanan laki-laki itu.
―Apa yang sedang kau dengarkan?‖ Alex balas bertanya. Ia
memperhatikan CD yang terlihat berputar di dalam kotak kaca.
―L‘Aura?‖
Mia mengangguk. ―Irraggiungibile,‖ katanya, menyebutkan
judul lagu yang sedang didengarnya.
―Kalau kau suka lagi Italia…‖ Alex memperhatikan deretan CD yang
tersedia untuk didengarkan. ―Kau sudah pernah mendengar lagunya Elisa?‖
―Dancing?‖ tanya Mia.
88
―Selain itu?‖ kata Alex.
Mia menggeleng
―Kalau begitu, coba dengarkan yang ini,‖ kata Alex sambil menekan tombol
untuk menjalankan CD yang dipilihnya. ―Kenakan
headphone-mu.‖
―Lagu apa ini?‖ tanya Mia dengan mengenakan headphone-nya
kembali.
―Eppure Sentire.‖
Mia tidak tahu apa artinya. Tetapi judul itu terdengar bagus ketika Alex
menyebutnya. Mia memejamkan mata dan mendengarkan alunan musik di
telinganya, lalu perlahan-lahan seulas senyum tersungging di bibirnya.
Lagu itu sangat lembut dan sangat bagus. Lagu itu berhasil menyusup ke
dalam jiwanya, membuat bulu kuduknya meremang dan membuat dirinya
seolah-olah melayang. Gerakan-gerakan tari mulai terbentuk secara
otomatis dalam kepala Mia. Oh, lagu ini bagus! Ia bisa menari dengan
lagu ini.
Setelah lagu berhenti, Mia mendongak dan tersenyum senang
pada Alex. ―Aku harus mencari lagu ini,‖ katanya dengan penuh
semangat dan mata berkilat-kilat. ―Lagu ini sangat bagus. Kau
memang genius. Terima kasih banyak.‖
Dan ia tersenyum lebar kepada Alex.
Alex tertegun, sadar bahwa senyum itu pertama yang dilemparkan Mia Clark
kepadanya. Ia merasa aneh. Gadis itu memang sering tersenyum. Kepada
Ray, kepada Karl, kepada semua orang. Tetapi tidak pernah kepada Alex.
Tentu saja Alex tahu, itu karena ia sendiri tidak pernah memberi Mia
alasan untuk tersenyum
89
padanya. Kenapa harus? Kenapa kau ingin malaikat kegelapanmu tersenyum
padamu?
Tetapi sekarang setelah melihat bagaimana gadis itu tersenyum kepadanya,
Alex harus mengakui bahwa ia tidak pernah tahu ada malaikat kegelapan
yang bisa tersenyum seperti itu.
Mia menoleh ke kiri dan ke kanan. ―Aku harus mencari.. Oh, halo.‖ Ia
mencegat salah seorang pegawai toko musik yang kebetulan berjalan
melewatinya. ―Kuharap kau tidak keberatan membantuku,‖
kata Mia sambil tersenyum.
―Tentu saja tidak,‖ sahut pemuda jangkung yang mengenakan kaus
bertuliskan nama toko musik itu sambil tersenyum lebar.
―Aku ingin mencari CD ini,‖ kata Mia sambil menunjuk CD Elisa di dalam
kotak kaca. ―Di mana aku bisa menemukannya?‖
―Ah, Elisa? Di sebelah sini. Ayo, kuantar.‖ ―Terima kasih. Kau baik
sekali.‖
Mereka berdua pergi sambil bercakap-cakap, meninggalkan Alex sendiri.
Alex mendesah dan menggeleng-geleng. Ia mengenakan headphone yang
dilepaskan Mia tadi dan mulai mendengarkan lagu sementara menunggu.
Lima belas menit berlalu dan gadis itu belum kembali. Alex melepaskan
headphone dan pergi mencari gadis itu. Ia berhasil menemukan gadis itu,
tetapi bukan di tempat mereka memajang album Elisa seperti yang
diduganya. Ia mendapati gadis itu mengobrol dengan pegawai tadi di
bagian CD instrumental.
90
Mia melihat Alex mendekat. Mata gadis itu berkilat-kilat
senang ketika ia berkata, ―Lihat apa yang ditemukan Dylan
untukku.‖
Dylan? Alex melirik pin yang terpasang di bagian dada si pegawai toko.
Namanya Dylan. Ia mengalihkan perhatiannya kembali kepada Mia yang
mengacungkan sebuah CD. ―Apa itu?‖ tanya Alex.
―Albummu,‖ sahut Mia Clark sambil tersenyum lebar. ―Aku
bertanya pada Dylan apakah mereka punya albummu dan ternyata mereka
punya. Aku akan membeli satu karena aku belum mendengar
lagumu.‖
Alex mendengus pelan. Ia ingin berkata bahwa ia bisa memberikan CD-nya
secara gratis kalau gadis itu mau, tetapi
mengurungkan niatnya. Sebaliknya ia bertanya, ―Memangnya kau
mendengarkan lagu instrumental juga?‖
―Tentu saja.‖
Saat itu Dylan menatap Alex dan mengerjap. ―Oh, jadi kau Alex Hirano?‖
Alex menatapnya tanpa ekspresi. ―Ya.‖
―Wow, keren! Aku juga punya albummu. Boleh minta tanda tangan?‖ tanya
Dylan kagum. Lalu matanya berahli ke tangan Alex yang dibebat dan
tergantung di depan dada. ―Tapi tanganmu kenapa?‖
Alex melirik Mia yang diam saja. Ia kembali menatap Dylan
dan menjawab, ―Kecelakaan.‖ Rasanya tidak perlu menjelaskan
91
panjang-lebar kepada si pegawai toko. ―Kau bilang kau menginginkan tanda
tanganku?‖
―Ah, benar. Maaf, boleh tunggu sebentar? Aku akan
mengambil CD-ku.‖
Sepeninggal Dylan, Mia memandang Alex sekilas dan
bertanya ragu. ―Jadi… apa yang kau beli?‖
Alex menunjukkan CD-CD yang dipegangnya. Kebanyakan CD musik klasik.
Mia menunjuk salah satu CD yang memiliki tulisan bahasa
Jepang. ―Lagu Jepang?‖ tanyanya.
―Pianis Jepang,‖ sahut Alex. ―Kurasa kau tidak mengenalnya.‖ Mia
menggeleng. ―Kau bisa membaca tulisan Jepang?‖ ―Tentu saja.‖
―Benar juga,‖ gumam Mia. ―Ray pernah bilang dia diharuskan
mempelajari bahasa Jepang sejak kecil, walaupun kalian berbicara
dalam bahasa inggris.‖
Alex mengangguk. ―Apa bahasa ibumu?‖
Mia ragu sejenak, yang membuat Alex heran, lalu berkata
pendek, ―Bahasa Inggis.‖ ―Maksudku…‖
―Aku tahu maksud pertanyaanmu,‖ sela Mia. Lalu ia mengangkat bahu dan
berkata, ―Aku diadopsi dan aku tidak tahu dari mana asalku sebenarnya.
Begitulah.‖
Alex terdiam
Mia menyungging senyumnya yang biasa. ―Jadi bahasa ibuku
bahasa inggris.‖
92
Tepat pada saat itu Dyan kembali dengan CD Alex dan spidol. Alex
menandatangani buklet yang ada di dalam kotak CD dan dengan enggan
menyetujui permintaan Dylan untuk foto bersama. Mia yang diminta menjadi
fotografer dadakan.
―Dia meminta berfoto denganku padahal keadaanku seperti ini,‖ gerutu
Alex ketika ia dan Mia keluar dari toko musik.
Mia tertawa, ―Tenang saja. Aku sudah memastikan tanganmu tidak
terlihat,‖ katanya.
―Terima kasih,‖ kata Alex, masih dengan nada menggerutu.
Alex berhenti di samping mobil di bagian penumpang dan mengamati Mia
mengelilingi mobil ke arah pintu pengemudi.
―Omong-omong, Clark,‖ katanya.
Mia membuka pintu dan mendongak. ―Ya?‖
Alex ragu apakah ia perlu mengatakannya atau tidak, apakah ia akan
terlihat aneh kalau mengatakannya, tetapi akhirnya ia
berkata, ―Kurasa kau mirip orang Jepang.‖
Awalnya Mia terlihat tidak mengerti, lalu perlahan-lahan
senyumnya mengembang. ―Sebenarnya aku tidak merasa seperti itu,‖
katanya sambil memiringkan kepala sedikit, ―tapi terima kasih.‖
93
Bab Sembilan
WALAUPUN sikap Alex Hirano pada Mia membaik, tidak berarti ia
mendadak berubah menjadi pangeran berkuda putih. Ketika mereka mampir di
toko swalayan untuk membeli persediaan makanan, laki-laki itu tetap
bersikap seolah-olah Mia adalah pesuruhnya.
―Clark, ambil trolinya.‖
―Clark, tidak bisa cepat sedikit?‖ ―Ambil itu.‖
―Bukan yang itu. Tapi yang itu.‖
―Apakah aku masih punya kopi di rumah?‖ Dan akhirnya, ―Clark, bayar.‖
Bahkan Mia yang mengangkut semua barang belanjaan ke mobil. Alex Hirano
tenang-tenang saja. Ia hanya beralasan, ―Kau tentu tidak berharap aku
bisa membantu dengan tangan seperti ini, bukan?‖
Mia memasukkan barang-barang ke dalam mobil sambil menggerutu dalam
hati. Lihat saja nanti. Mia akan membalas. Untuk makan malam nanti. Mia
akan menambahkan lada banyak-banyak di dalam sup. Atau Mia akan
membuatkan makanan yang tidak bisa dimakan dengan satu tangan. Misalnya
steak. Biar laki-laki itu tahu
rasa. Atau…
94
Seolah-olah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Mia,
Alex tiba-tiba berkata, ―Aku ingin makan di luar malam ini.‖
Mia yang sedang memasang sabuk pengamannya,
menghentikan gerakan dan menatap Alex. ―Apa?‖
―Aku ingin makan di luar. Ada restoran yang sudah lama tidak
kukunjungi,‖ ulang Alex. ―Di Upper West Side. Nanti kutunjukkan
jalannya.‖
Jadi rencana sup lada itu pun batal. Mia mendesah pelan dan membelokkan
mobilnya ke jalan raya.
Mengikuti arah yang ditunjukkan Alex, mereka akhirnya tiba di depan
sebuah restoran Italia yang ramai dan belum pernah Mia kunjungi. Mia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan membaca
papan nama restoran itu. Moratti‘s. ―Di sini tempatnya?‖ tanyanya
agak heran. Ia selalu menduga Alex Hirano bukan tipe orang yang suka
makan di restoran yang penuh sesak.
―Ya, di sini tempatnya,‖ sahut Alex sambil membuka pintu
mobil dan turun.
―Tapi coba lihat itu,‖ gumam Mia sambil menatap orang-orang
yang berdiri di sekitar pinu depan restoran, menunggu meja kosong.
―Restorannya sudah penuh.‖
―Aku selalu mendapat meja di sini.‖
―Tapi…‖
―Begini, kau boleh menunggu di sini kalau mau,‖ kata Alex
tidak peduli. ―Terserah kau saja.‖
Mia mengembuskan napas dengan kesal, lalu turun dari mobil
dan bergegas menyusul Alex yang sudah berjalan dengan langkah
95
lebar ke arah pintu restoran. Alex menyelinap melewati kerumunan orang
yang menunggu, mengabaikan tatapan heran dan kesal yang dilemparkan ke
arahnya. Mia menudukkan kepala karena malu, berusaha mengabaikan
orang-orang di sekitar mereka, dan melangkah cepat mengikuti Alex.
Sebenarnya apa yang diharapkan laki-laki itu dengan memaksa masuk ke
dalam restoran? Memangnya ia berharap bisa mendapatkan meja kosong kalau
ia memaksa masuk? Memangnya ia mengenal pemiliknya? Apakah pemiliknya
bisa menyediakan meja untuknya pada jam sibuk seperti ini?
Memangnya….
Tiba-tiba Alex berhenti melangkah dan kepala Mia—yang
masih tertunduk—membentur punggungnya. ―Aduh! Kenapa tiba-
tiba berhenti?‖
―Alex!‖
Mendengar seruan ramah itu, Mia mengangkat wajah dan mengintip dari
balik punggung Alex. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berusia
sekitar enam puluh tahun menatap Alex dengan wajah berseri-seri.
Walaupun kumisnya yang lebat hampir menutupi bibirnya, Mia tahu pria itu
sedang tersenyum lebar, karena mata hijaunya berkilat-kilat senang.
―Paolo,‖ Alex balas menyapa sambil tersenyum.
Pria yang dipanggil Paolo itu dengan segera menghampiri Alex dengan
kedua tangan terentang lebar, seolah-olah ingin memeluk Alex. Namun
tiba-tiba ia berhenti ketika matanya terpaku pada tangan kiri Alex yang
dibebat. ―Astaga, Nak, apa yang terjadi
padamu?‖ tanyanya dengan logat Italia yang kental.
96
―Hanya kecelakaan kecil.‖ Sahut Alex ringan. ―Nanti saja
kuceritakan.‖
Mia melirik Alex sekilas. Entah kenapa Mia bisa merasakan bahwa Alex
tidak ingin pria bernama Paolo itu khawatir. Gagasan bahwa Alex lebih
mementingkan perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri agak asing
bagi Mia.
Paolo mengangguk dan menepuk bahu Alex dengan sayang.
―Baiklah, kita bicara nanti. Naiklah ke apartemen. Eleanor ada di
sana. Aku akan menyusulmu setelah membereskan kekacauan di
sini,‖ katanya. Lalu saat itu ia baru melihat Mia dan ia tersenyum
ramah. ―Oh, halo. Kau teman Alex? Silahkan naik saja. Silahkan. Aku akan
menyusul nanti.‖
Masih agak bingung. Mia membalas senyum Paolo sebelum
bergegas mengikuti Alex yang sudah berjalan ke belakang restoran.
―Siapa pria tadi?‖ tanya Mia ketika Alex membuka pintu
belakang yang mengarah ke tangga kayu kokoh yang menuju lantai
atas. ―Dan kita mau ke mana?‖
―Paolo Moratti,‖ jawab Alex dan mulai menaiki tangga. ―Dia
dan istrinya, Eleanor, adalah pemilik restoran terkenal ini.‖
Karena Alex tidak menjawab pertanyaan keduanya, Mia
bertanya lagi, ―Kita mau ke mana sekarang?‖ ―Menemui Eleanor,‖ sahut
Alex pendek.
―Kukira kau mau makan malam,‖ gumam Mia, masih agak
heran.
―Memang.‖
97
Karena sepertinya Alex tidak ingin menjelaskan lebih jauh, Mia juga
tidak bertanya lagi.
Hanya ada sebuah pintu kayu di puncak tangga. Alex menekan bel dan
menunggu sebentar. Beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki
seseorang mendekati pintu, lalu pintu dibuka oleh seorang wanita
bertubuh langsing, berambut gelap keriting, berusia setengah baya. Mia
mengamati senyum wanita itu mengembang, seperti Paolo tadi, ketika ia
mengenali siapa yang berdiri di depan pintu.
―Alex,‖ sapanya dengan suara jernih. ―Alex!‖
―Halo Eleanor,‖ balas Alex ramah dan merangkul wanita itu dengan
tangannya yang tidak dibebat. ―Apa kabar?‖
―Ada apa dengan tanganmu?‖ tanya Eleanor sambil menatap tangan kiri
Alex. Kecemasan jelas-jelas terdengar dalam suaranya.
―Tidak apa-apa,‖ kata Alex menenangkan. ―Hanya cedera ringan.‖
―Tapi… oh, masuklah. Kenapa berdiri saja di sana? Masuklah,‖ kata
Eleanor cepat sambil menyingkir memberi jalan, lalu matanya yang
berwarna cokelat cerah berahli ke Mia.
Merasa Alex tidak akan memperkenalkan dirinya kepada Eleanor, Mia pun
mengambil inisiatif sendiri dan mengulurkan
tangan kepada wanita yang lebih tua. ―Halo, Ma‘am. Namaku Mia
Clark. Senang berkenalan dengan Anda.‖
―Eleanor Moratti,‖ kata Eleanor sambil menjabat tangan Mia. ―Panggil
saja aku Eleanor. Teman Alex adalah teman kami juga. Masuklah.‖
98
Mia memutuskan untuk tidak menjelaskan kepada wanita baik itu bahwa ia
bukan teman Alex Hirano. Ia melangkah memasuki apartemen yang didominasi
warna kayu dan pastel itu dan mencium aroma yang sangat enak.
“Pollo all’arrabbiata4?” tanya Mia.
Alex menatapnya dengan alis terangkat heran, sementara
Eleanor tersenyum lebar. ―Benar sekali. Kau punya hidung yang
sangat tajam, young lady,‖ katanya dengan nada terkesan. ―Ayo, kita
ke dapur. Supaya kita bisa mengobrol sementara aku memasak.
Kuharap kalian belum makan malam.‖
―Tentu saja belum,‖ sahut Alex riang. ―Itulah sebabnya kami
datang ke sini.‖
Alex boleh-boleh saja berbicara seperti itu karena sepertinya ia memang
sudah dekat dengan pasangan Moratti, tetapi Mia merasa seperti tamu tak
diundang yang mendadak muncul di depan pintu dan mengganggu acara
keluarga. Karena itu ia cepat-cepat berkata,
―Sebenarnya aku tidak tahu Alex berencana makan malam bersama
Anda di sini. Maksudku, aku tidak ingin menganggu…‖
―Kau sama sekali tidak mengganggu, Sayang,‖ sela Eleanor ramah. ―Aku
suka menerima tamu di rumahku. Dan aku suka
memberi makan tamu-tamuku. Lagi pula, aku senang mendapat teman bicara
sesama perempuan kalau Paolo dan Alex mulai membicarakan hal-hal yang
menyenangkan bagi mereka namun
membosankan bagiku.‖
Mia tersenyum ragu. ―Tapi…‖
4 Ayam dengan saus tomat pedas
99
Eleanor berkacak pinggang. ―Young lady, apakah kau tidak mau mencoba
pollo all’arrabbiata-ku?‖ tanyanya. Lalu ia menoleh ke arah Alex. ―Alex,
jangan diam saja di situ. Ayo, ajak temanmu makan bersama kita.‖
Alex mengangkat bahu dan menoleh ke arah Mia. ―Kau akan menyesal kalau
tidak mencicipi masakan Eleanor,‖ katanya. Lalu ia tersenyum dan
menambahkan, ―Tapi tentu saja aku tidak akan memaksamu tinggal kalau kau
memang tidak mau.‖
Mia menatap Alex dengan mata disipitkan, lalu ia menoleh kembali kepada
Eleanor yang menatapnya dengan penuh harap.
―Terima kasih atas undangannya,‖ kata Mia tulus. ―Dan tentu saja aku
ingin mencoba all’arrabbiata Anda.‖
*****
Dalam waktu singkat, gadis itu sudah akrab dengan pasangan Moratti.
Mengherankan sekali, pikir Alex sambil mengamati Mia yang sedang
menyusun meja makan. Sepertinya gadis itu bisa cepat akrab dengan siapa
pun yang ditemuinya. Ia menawarkan diri membantu Eleanor di dapur, yang
diterima Eleanor dengan senang hati, dan mereka berdua mengobrol dan
tertawa seperti dua remaja yang sudah bersahabat sejak kecil.
―Jadi, Mia, apakah kau juga pianis?‖ tanya Paolo ketika
mereka berempat sudah duduk berkumpul di meja makan. Paolo
100
naik ke apartemen setelah Eleanor meneleponnya untuk mengatakan bahwa
makan malam sudah siap.
―Bukan,‖ sahut Mia. ―Aku tidak bisa bermain piano.‖ ―Tapi dia penari,‖
sela Eleanor. ―Di Juilliard juga.‖
―Oh, begitu,‖ gumam Paolo sambil mengangguk-angguk.
―Ternyata kalian teman satu sekolah.‖
Alex melirik Mia yang duduk di sebelahnya. Ia ingin tahu bagaimana Mia
mengomentari pernyataan Paolo tadi. Tetapi Mia diam saja.
Ketika Alex menduga Mia benar-benar tidak akan berkomentar, gadis itu
berkata, ―Sebenarnya kami bukan teman satu sekolah. Maksudku, kami tidak
berkenalan di sekolah.‖
―Oh, ya?‖ tanya Eleanor dengan nada mengisyaratkan agar
Mia meneruskan ceritanya.
Mia melirik Alex sekilas, lalu kembali menatap Eleanor dan
Paolo. ―Sebenarnya, suatu hari Alex datang ke studio tari tempatku
mengajar. Hari itu benar-benar…‖ Mia tertawa kecil. ―Banyak sekali hal
yang terjadi hari itu. Singkatnya, aku terjatuh dari tangga, menubruk
Alex, dan membuat tangannya jadi seperti sekarang ini.‖
―Oh.‖ Paolo menatap Alex. ―Jadi apa kata dokter tentang tanganmu?‖
Alex tersenyum, ―Akan sembuh total dalam dua bulan. Tidak masalah,‖
katanya walaupun ia sebenarnya sama sekali tidak yakin pada ucapannya
sendiri. Ia hanya tidak ingin Paolo dan Eleanor khawatir.
101
―Tapi pertemuan yang luar biasa, bukan?‖ kata Eleanor sambil
menatap Mia dan Alex bergantian. ―Itu yang dinamakan takdir.‖
Alex tidak mengerti apa maksud ucapan Eleanor. Dan sepertinya Eleanor
tidak bermaksud menjelaskan lebih jauh karena pertanyaannya yang berikut
sama sekali tidak berhubungan dengan
ucapannya sebelumnya. ―Berarti, Mia, kau tidak mengenal Valentino?‖
―Tidak,‖ sela Alex cepat. ―Dia tidak mengenal Valentino.‖
Mia melirik Alex sekilas, lalu kembali menatap Eleanor. ―Siapa
Valentino?‖
―Valentino adalah putra bungsu kami,‖ jawab Eleanor sambil tersenyum.
―Dia dan Alex sama-sama belajar piano di Juilliard dan mereka bersahabat
baik.‖
―Oh, begitu. Lalu di mana Valentino sekarang?‖ tanya Mia dan
Alex memejamkan mata.
―Valentino sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu,‖ sahut Eleanor.
Alex bisa mendengar nada sedih yang masih menghiasi suara wanita itu
setiap kali ia membicarakan putranya yang sudah tiada.
―Kecelakaan lalu lintas,‖ tambah Paolo pendek.
―Aku turut prihatin,‖ kata Mia. Alex mendengar ketulusan dan seberkas
kekhawatiran dalam suaranya. ―Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuat
kalian sedih.‖
Eleanor menggeleng tegas dan tersenyum lebar. ―Tidak apa-apa. Kami
baik-baik saja. ― Lalu ia menoleh ke arah suaminya.
―Bukankah begitu, sayang?‖
102
Paolo menatap istrinya dan tersenyum kecil. ―Tentu saja,‖
katanya. Lalu ia menatap Mia. ―Semuanya berkat Alex. Dia banyak
membantu. Dia sering datang mengunjungi kami dan kami sudah
menganggapnya seperti anak sendiri.‖
Alex memaksakan seulas senyum. ―Justru kalian yang banyak
membantuku.‖
―Baiklah,‖ kata Eleanor tiba-tiba. ―Sebaiknya kita tidak
membicarakan hal-hal sedih saat makan malam. Mari kita bicarakan hal
lain.
Alex dengan senang hati membicarakan hal lain. Dan ia yakin Mia juga
merasa begitu.
―Oh, ya, Mia,‖ kata Eleanor, ―seorang keponakanku sangat
suka menari dan dia sangat ingin masuk Juilliard. Tapi kurasa pasti
sulit sekali diterima di sekolah itu kalau tidak punya latar belakang
menari.‖
―Ya,‖ sahut Mia, merasa agak lega karena mereka mengubah
topik pembicaraan. ―Kau sudah harus punya pengalaman menari
beberapa tahun dan sudah harus menguasai teknik-teknik dasarnya
agar bisa ikut audisi.‖
―Kurasa keponakanku itu akan kecewa sekali mendengarnya,‖
gumam Eleanor sambil menggeleng-geleng. Ia menoleh ke arah
suaminya dan berkata, ―Kau ingat Cecilia, Sayang? Anak itu sangat
suka menari walaupun bentuk tubuhnya terlalu montok untuk
menjadi penari.‖ Lalu ia kembali menatap Mia. ―Kau pasti sudah
sangat sering ikut dalam pertunjukan tari.‖
―Hanya beberapa pertunjukan,‖ kata Mia merendah.
103
Alex teringat pada tarian Mia di Juilliard tadi. Penari seperti Mia
tidak mungkin hanya ikut dalam satu atau dua pertunjukan. Ia pasti
disertakan dalam semua pertunjukan yang ada.
―Kau tidak bergabung dalam kelompok tari tertentu?‖ tanya
Eleanor lagi.
Mia terdiam sejenak, lalu, ―Tidak.‖ ―Kenapa tidak?‖
Mia tidak langsung menjawab. Alex bisa merasakan ketegangan dan
keengganan gadis yang duduk di sampingnya.
Paolo menyentuh lengan istrinya. ―Sayangku, kurasa kau
terlalu menginterogasi tamu kita,‖ katanya ringan. ―Ini kunjungan
pertamanya ke rumah kita. Jangan membuatnya terkejut. Nanti dia
tak mau datang lagi.‖
―Oh, kau benar,‖ kata Eleanor. ―Aku minta maaf aku terlalu banyak tanya
dan terlihat ingin ikut campur.‖
―Tidak, tidak. Tidak apa-apa,‖ sela Mia sambil tertawa kecil. ―Kenapa
aku tidak bergabung dengan kelompok tari tertentu? Yah, sebenarnya
sederhana saja. Karena aku lebih suka mengajar.‖
Alex menatap Mia yang sudah kembali menyantap ayamnya. Entah kenapa Alex
merasa jawaban gadis itu tadi adalah jawaban standar yang selalu
diberikannya kepada orang-orang yang bertanya kepadanya tentang kenapa
ia lebih memilih menjadi guru daripada bergabung dengan kelompok tari
terkenal tempat masa depannya akan terjamin.
Entah kenapa Alex merasa jawaban Mia tadi bukan jawaban yang jujur.
104
*****
―Dia anak baik.‖
Mia menatap Eleanor tidak mengerti. ―Siapa?‖
Saat itu mereka sudah selesai makan malam dan Mia membantu Eleanor
membereskan meja sementara Alex dan Paolo pindah ke ruang duduk sambil
membahas pertandingan olahraga.
―Alex,‖ sahut Eleanor. ―Dia anak baik. Kurasa selain aku dan
Paolo, Alex adalah orang yang paling terpukul ketika Valentino
meninggal.‖
―Kau Bilang mereka bersahabat baik, ― kata Mia.
―Ya. Alex menyaksikan kecelakaan yang dialami Valentino,‖ kata Eleanor
sambil menatap Mia. ―Bisa kulihat kau terkejut
mendengarnya. Tapi itu benar. Hari itu Alex, Valentino, dan beberapa
orang teman mereka makan malam bersama. Ketika acara makan-makan itu
selesai, Valentino menawarkan diri mengantar Alex pulang. Alex menolak.
Katanya dia masih ingin mengobrol lebih lama dengan teman-teman yang
lain dan menyuruh Valentino mengendarai mobilnya pergi. Tetapi saat itu
tiba-tiba sebuah SUV melaju kencang dari arah berlawanan, oleng, dan
langsung menabrak sedan yang dikemudikan Valentino. Semua terjadi begitu
cepat dan
di depan mata Alex,‖
―Yah Tuhan,‖ gumam Mia tanpa sadar.
―Ya,‖ kata Eleanor muram. ―Alex-lah yang menghubungi 911. Valentino
memang masih bernapas ketika tiba di rumah sakit, tetapi
105
hal itu tidak berlangsung lama. Ia sudah meninggal ketika aku dan
Paolo tiba di sana.‖
Mia tidak berkata apa-apa, ia hanya menggenggam tangan Eleanor, berharap
bisa memberikan sedikit hiburan, dukungan.
Mata Eleanor berkaca-kaca ketika ia melanjutkan, ―Kami bertiga menangis
bersama hari itu. Alex menangis, Paolo juga menangis. Dan aku menangis
meraung-raung.‖ Ia terdiam sejenak, lalu meremas tangan Mia yang
menggenggam tangannya dan tersenyum. ―Tapi sekarang kami baik-baik saja.
Hidup terus berlanjut dan Valentino tidak akan suka kalau kami
berkabung selamanya.‖
―Kau benar,‖ kata Mia serak sambil tersenyum.
―Dan kami senang Valentino pernah memiliki Alex sebagai sahabat.‖
Eleanor menghapus sebutir air mata yang jatuh bergulir di pipinya yang
berkeriput halus. ―Dia anak baik. Juga pianis hebat. Kau sudah pernah
mendengar permainannya?‖
―Belum,‖ sahut Mia. ―Tapi aku sudah membeli CD-nya.‖ ―Kau harus
mendengar permainannya secara langsung,‖ kata
Eleanor. Lalu seakan teringat kondisi tangan Alex saat itu, ia
menambahkan, ―Suatu hari nanti.‖
―Suatu hari nanti,‖ kata Mia menegaskan.
―Baiklah, sekarang sebaiknya kita membuatkan kopi untuk
pria-pria itu sebelum mereka bertanya apa yang kita gosipkan di
dapur selama ini,‖ kata Eleanor. Ia mengeluarkan cangkir-cangkir kopi
dari dalam lemari dan meletakkannya di atas nampan. ―Kau tahu, dia tidak
pernah mengajak temannya ke sini sebelumnya,‖ kata Eleanor dengan nada
ringan. ―Ini pertama kalinya.‖
106
Mia tertawa. Ia bisa menebak Eleanor memiliki jiwa yang romantis dan ia
tahu apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu. Tetapi Eleanor salah
besar mengira ada sesuatu di antara Mia dan
Alex. ―Percayalah padaku, Eleanor,‖ kata Mia, masih tertawa kecil.
―Tidak ada yang terjadi antara aku dan Alex. Aku jamin. Tidak ada.‖
Eleanor mengangkat bahu dan mengedipkan mata. ―Kau tidak
akan pernah tahu.‖
Mia hanya bisa tersenyum dan menggeleng-geleng.
*****
Alex dan Paolo masih sibuk membahas pertandingan olahraga kemarin ketika
Mia masuk ke ruang duduk sambil membawa kopi untuk mereka.
―Oh, kau memang malaikat,‖ kata Paolo sambil menerima
cangkir kopi yang disodorkan Mia.
―Ya, aku tahu,‖ balas Mia dan tertawa kecil.
Kata terakahir Paolo mengingatkan Alex pada julukan yang diberikannya
pada Mia. Malaikat kegelapannya. Dulu Mia Clark memang malaikat
kegelapannya. Alex selalu takut gadis itu akan
membuatnya lebih celaka. Tetapi sekarang…
Alex mengamati Mia yang sedang menuangkan kopi ke cangkir Paolo.
Sekarang gadis itu memang tidak terlihat seperti malaikat kegelapan.
Yah, mungkin kalau kau sudah terlalu sering melihat malaikat kegelapan,
kau pun akan terbiasa dengan kehadirannya.
107
Alex masih mengamati Mia ketika gadis itu tiba-tiba menoleh dan menatap
lurus ke arahnya. Alex tersentak dan cepat-cepat melihat ke arah lain.
―Kopi?‖ Ia mendengar Mia bertanya.
Alex berdehem pelan. ―Terima kasih.‖
Paolo baru saja membuka mulut untuk melanjutkan pembicaraannya dengan
Alex ketika istrinya memanggilnya dari dapur.
―Paolo, pintu lemari ini lagi-lagi tidak bisa dibuka. Aku ingin
mengeluarkan stoples besarku.‖
Paolo bangkit dari kursi dan tersenyum kepada Mia dan Alex.
―Aku akan segera kembali,‖ katanya, meninggalkan Mia dan Alex di
ruang duduk.
Alex menyesap kopinya dan tertegun. ―Kopi ini,‖ katanya sambil menatap
Mia, ―kau yang membuatnya?‖
Mia menempati sofa yang berhadapan dengan Alex. ―Ya. Kenapa? Rasanya
aneh?‖
Alex menggeleng. ―Tidak,‖ gumamnya, lalu menyesap
kopinya lagi. Alex tahu Mia yang membuat kopi ini karena rasanya sama
seperti kopi yang dibuatkan gadis itu untuknya setiap pagi. Rasa kopi
yang tidak asing itu membuatnya merasa nyaman. Bagaimanapun, sesuatu
yang sudah tidak asing pasti membuatmu merasa nyaman. Bukankah begitu?
―Kau tahu?‖ kata Mia tiba-tiba.
―Tahu apa?‖ balas Alex sambil menatap Mia.
108
Mia memiringkan kepala sedikit. ―Sebenarnya, awalnya aku tidak mengerti
kenapa Eleanor menganggapmu anak baik.‖
Alex mendengus dan menyandarkan punggung ke sandaran
sofa. ―Terima kasih.‖
Mia terkekeh. ―Tapi kurasa itu karena aku tidak melihat apa yang sudah
dilihatnya,‖ katanya ringan.
―Memangnya apa yang sudah dilihatnya?‖ tanya Alex. ―Dirimu yang
sebenarnya, kurasa,‖ sahut Mia sambil
mengangkat bahu. Lalu ia menatap Alex lurus-lurus dan
melanjutkan, ―Setelah melihat bagaimana sikapmu kepada Paolo dan
Eleanor hari ini, setelah mendengar cerita Eleanor…‖
Alex mengangkat alis. ―Apa yang dikatakan Eleanor padamu?‖
Mia mengabaikan pertanyaan Alex dan melanjutkan kata-
katanya. ―Kurasa di balik semua sikap kasar, dingin, suka memerintah…‖
Alex mengangkat tangan kanannya yang tidak dibebat. ―Wow, wow, tunggu
sebentar.‖
―…yang kulihat selama ini, masih ada sesuatu yang baik dalam dirimu.‖
Alis Alex terangkat.
―Walaupun hanya sedikit,‖ kata Mia sambil mengacungkan
tangan untuk menunjukkan seberapa sedikitnya dengan jari telunjuk
dan ibu jarinya. Lalu ia tersenyum lebar.
109
Siapa pun pasti akan terbiasa dengan keberadaan malaikat kegelapan kalau
malaikat kegelapannya tersenyum seperti itu, pikir Alex tanpa sadar.
―Oh.‖ Tiba-tiba Mia tersentak kaget, lalu cepat-cepat mengeluarkan
ponsel yang bergetar tanpa suara dari saku celana jinsnya. Ia melirik
layar ponsel sekilas sebelum menempelkannya ke
telinga. ―Hai, Ray,‖ katanya.
Alex menyipitkan mata.
Mia melirik Alex sekilas, senyum lebar yang sama masih
tersungging di bibirnya, lalu ia kembali berbicara di ponsel, ―Ya, aku
masih bersama kakakmu. Kami baru selesai makan malam… Ya, semuanya
baik-baik saja di sini… Bagaimana festivalmu?‖
Sementara Mia terus berbicara dengan Ray sambil tersenyum dan
kadang-kadang tertawa kecil, Alex tiba-tiba teringat pada apa yang
pernah dikatakan Ray kepadanya dulu, ketika Alex bertanya kepada Ray
apakah Mia juga menyukainya. Nah, apa yang dikatakan Ray waktu itu?
Kadang-kadang kupikir dia menyukaiku. Kau tahu, ada saatnya ketika dia
menatapku, tersenyum padaku, atau ketika dia berbicara kepadaku, kupikir
dia menyukaiku. Tapi kemudian aku sadar bahwa dia juga menatap,
tersenyum, dan berbicara kepada orang lain seperti itu.
Itulah yang dikatakan Ray. Dan Ray memang benar.
Cara Mia menatap Alex tadi, caranya tersenyum dan berbicara kepada Alex
tadi, sama seperti caranya menatap, tersenyum, dan
110
berbicara kepada Karl, teman-temannya di Juilliard tadi, dan bahkan
kepada Dylan, si pegawai toko musik.
Alex merasa agak aneh.
Mungkin karena ia tidak ingin adiknya merasa kecewa karena hal ini
sedikit-banyak membuktikan bahwa Mia Clark tidak memiliki perasaan
khusus kepada Ray.
Ya, pasti itu alasannya.
111
Bab Sepuluh
BAYANGAN dirinya samar-samar memantul di kaca jendela di
ruang duduknya. Langit di luar terlihat hitam kelam. Alex berdiri di
sana dan memandang ke luar jendela tanpa benar-benar memandang sesuatu.
Ia sudah berdiri di sana sejak setengah jam yang lalu, ketika Mia
mengantarnya pulang ke apartemen. Keningnya berkerut samar. Otak
kreatifnya berputar. Bayang-bayangan jelas berkelebat dalam benaknya.
Bayangan gadis itu ketika sedang menari di atas panggung.
Seperti melayang. Seperti…
Tiba-tiba Alex berputar dan berjalan cepat ke arah pianonya. Ia meraih
setumpuk partitur yang kosong dan meletakkannya di atas penyangga buku
musik. Tangan kanannya mulai menari-nari di atas tuts piano, memainkan
beberapa nada, lalu ia berhenti dan meraih pensil untuk menuliskannya di
atas kertas. Proses itu berulang terus. Ia tidak bisa menggunakan
tangan kirinya, tetapi tidak apa-apa. Ia bisa membayangkan gabungan
nadanya, kord-kord yang akan menemani melodi ini. Ia bisa membayangkan
keseluruhan lagunya. Ia bisa mendengarnya.
112
Ia bukan melanjutkan lagunya yang belum selesai waktu itu. Ia sedang
menulis lagu baru. Lagu yang tiba-tiba saja tebersit dalam pikirannya
dan mengalun cepat dalam benaknya.
Alex Hirano akhirnya mendapat inspirasi.
*****
Hari ini adalah hari yang melelahkan, pikir Mia sambil menelan pil
terakhir yang ada di telapak tangan kirinya, lalu merangkak ke atas
ranjang. Melelahkan, namun menyenangkan.
Sangat menyenangkan malah. Mia tersenyum sendiri sementara meringkuk di
balik selimut, mencari posisi yang enak. Suasana hati Alex Hirano yang
baik, kunjungan ke Juilliard, kembali menari diatas panggung—walaupun
hanya sebentar dan bukan untuk pertunjukan apa pun, berkenalan dan
mengobrol dengan pasangan Moratti.
Mia mendesah senang. Tubuhnya terasa berat. Kelopak matanya juga mulai
terasa berat. Hal terakhir yang terlintas dalam benak Mia sebelum ia
tertidur adalah semoga suasana hati Alex Hirano tetap baik untuk
seterusnya.
Malam itu adalah malam pertama dalam tiga minggu terakhir ketika Mia
akhirnya berhasil tidur selama enam jam tanpa terbangun.
113
Bab Sebelas
RAY HIRANO menekan bel interkom gedung apartemen kakaknya
dan menunggu. Tidak ada jawaban. Ia menekan bel sekali lagi. Tetap tidak
ada jawaban.
―Kemana mereka?‖ gumam Ray heran. Yah, mungkin
kakaknya pergi bersama Karl, jadi Mia juga pasti sudah tidak ada di
sini, pikir Ray. Ia mengeluarkan ponsel dan menekan nomor telepon Mia.
Telepon berdering berkali-kali tetapi gadis itu tidak menjawab. Akhirnya
Ray menutup ponsel dan berpikir. Mungkin saat ini Mia berada di Small
Steps, jadi sebaiknya Ray pergi ke sana.
Ray berbalik dan menuruni anak tangga gedung. Ia bertanya-tanya apakah
Mia baik-baik saja, apakah Alex memperlakukannya dengan baik. Terakhir
kali Ray melihat mereka dua minggu yang lalu, Alex masih uring-uringan
dan sama sekali tidak berusaha bersikap ramah kepada Mia.
Ray baru menginjak trotoar ketika melihat mobil VW Beetle kuning milik
Mia melambat dan berhenti di seberang jalan. Pintu penumpang terbuka dan
alis Ray terangkat heran melihat Alex turun dari mobil. Alex mengitari
mobil ke sisi pengemudi dan menunggu sementara Mia membuka pintu dan
turun. Ray memperhatikan tangan kiri Alex tidak lagi tergantung di depan
dada walaupun pergelangan tangannya masih diperban.
114
Mereka menyeberangi jalan ke arah Ray, tetapi masih belum melihat Ray
yang berdiri di sana. Alex mengatakan sesuatu kepadanya dan Mia membalas
mengatakan sesuatu sambil mencari-cari sesuatu di dalam tas tangannya.
Saking sibuknya mengaduk-aduk tas mencari apa pun yang dicarinya itu,
kunci mobil Mia terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. Tanpa di
suruh, Alex membungkuk dan memungutnya.
Ray tertegun, lalu tersenyum kecil. Wah… ada seseorang yang
mulai berubah, pikirnya.
―Kau ini benar-benar merepotkan,‖ gerutu Alex sambil
menyodorkan kunci mobil kepada Mia.
―Pegang dulu sebentar,‖ kata Mia, masih mengaduk-aduk isi tasnya.
―Dimana…?‖
Alex mendesah. ―Jangan katakan kau menghilangkan kunci rumahku.‖
―Aku yakin sudah memasukkannya ke dalam tas tadi. Aku yakin… Ah! Ini
dia!‖ Mia mendongak dan mengacungkan kunci
rumah Alex dengan penuh kemenangan. Tepat pada saat itu ia
melihat Ray dan senyumnya mengembang. ―Hai, Ray!‖
Alex ikut menoleh. ―Oh, kau sudah kembali dari San
Fransisco?‖
Ray tersenyum lebar kepada mereka berdua, lalu matanya
terpaku pada Mia. ―Halo, Mia.‖ Ia tidak melihat Alex memutar bola
matanya dan menggeleng pelan. ―Kalian dari mana?‖
―Kami baru dari rumah sakit,‖ sahut Mia. ―Pemeriksaan rutin. Lihat, kata
dokter tangannya tidak perlu digantung lagi.‖
115
Ray menoleh ke arah kakaknya. ―Itu berita bagus, bukan?‖ ―Kalau kau
berpikir begitu,‖ gumam Alex. ―Aku masih belum
bisa menggerakkan tanganku.‖
―Kurasa sebaiknya kau tidak mengibas-ngibaskan tanganmu seperti itu,‖
kata Mia.
―Aku tidak mengibas-ngibaskannya,‖ bantah Alex. ―Aku hanya ingin
menunjukkannya kepada Ray.‖
―Tadi aku menelponmu,‖ kata Ray kepada Mia.
―Baru saja? Ternyata kau yang menelpon?‖ tanya Mia sambil
mengeluarkan ponselnya dari tas.
―Ya, tapi kau tidak menjawab. Kukira kau sedang mengajar.‖ Mia melirik
Alex sekilas. ―Alex melarangku menjawab telepon
ketika sedang mengemudi. Padahal kau…‖
―Tentu saja kau tidak boleh menelepon sambil mengemudi,‖
sela Alex.
―Padahal aku selalu menggunakan speaker phone. Aku tahu aku tidak boleh
memegang ponsel ketika sedang mengemudi,‖ Mia
melanjutkan kata-katanya sambil menatap Alex yang balas
memelototinya.
―Baiklah,‖ sela Ray dengan nada riang untuk mencegah Mia
dan Alex bertengkar lagi padahal hubungan mereka sepertinya
sudah membaik. ―Omong-omong, Mia, kau tidak mengajar hari ini?‖
Mia terkesiap dan melirik jam tangannya. ―Aduh, aku lupa.
Aku harus pergi sekarang.‖ Lalu ia menatap Ray dan tersenyum.
―Untunglah kau ada di sini. Kau bisa menemani kakakmu. Ini.‖ Ia
menyodorkan kunci rumah Alex kepada Ray.
116
Ray menerima kunci itu dengan bingung. Sudah seminggu ini ia tidak
melihat Mia dan sekarang setelah bertemu sebentar gadis itu malah mau
pergi? ‖Tapi, Mia…‖
Namun Mia sudah berbalik dan berjalan ke arah mobilnya.
―Clark,‖ panggil Alex.
Mia berhenti melangkah dan menoleh. ―Ya?‖
―Kau melupakan sesuatu,‖ tanya Alex sambil mengacungkan
kunci mobil Mia yang masih dipegangnya.
Mia tertawa malu dan berlari-lari kecil menghampiri Alex.
―Terima kasih,‖ katanya sambil mengambil kuncinya dari tangan
Alex.
Sebelum Mia sempat berbalik dan berlari pergi lagi, Ray cepat-
cepat bertanya, ―Mia, kau ada waktu malam ini?‖
Mia menoleh menatapnya. ―Malam ini? Ya, kurasa begitu. Ada
apa?‖
―Makan malam denganku?‖ Mia tersenyum. ―Tentu saja.‖
Ray tersenyum lebar. Oh, ia baru ingat… Ia menoleh ke arah
Alex yang berdiri di sampingnya tanpa berkomentar apa-apa.
―Omong-omong, kau tidak membutuhkan bantuan Mia malam ini,
bukan?‖
Alex tidak langsung menjawab. Ia menatap Ray sejenak
dengan tatapan aneh, lalu akhirnya berkata, ―Tidak.‖
―Bagus,‖ kata Mia sambil bertepuk tangan sekali. ―Kalau begitu sampai
jumpa nanti malam, Ray.‖
117
*****
―Jadi,‖ kata Ray sambil membuka pintu apartemen Alex dan
melangkah masuk. ―Semuanya baik-baik saja selama aku tidak ada?‖
―Seperti yang bisa kau lihat sendiri,‖ sahut Alex pendek.
Ray mengempaskan diri ke sofa dan berkata, ―Kau tahu Mom dan Dad akan
segera kembali ke New York, bukan?‖
Alex berjalan ke dapur sambil berkata, ―Ya, Mom meneleponku sebelum
mereka naik pesawat.‖
―Mom pasti akan mendapat serangan jantung kalau dia tahu soal tanganmu.‖
―Oh, Mom sudah tahu. Dan dia sudah berteriak-teriak kepadaku di
telepon,‖ kata Alex masam. ―Hei, kau mau minum
apa?‖
―Apa saja,‖ Ray balas berseru. ―Lalu apa kata Mom?‖
Alex kembali ke ruang duduk sambil membawa sebutir apel
dan sebotol jus jeruk dengan satu tangan. ―Dia bertanya bagaimana
tanganku bisa sampai cedera. Minum ini.‖
Ray menatap jus jeruk yang disodorkan kepadanya dengan
alis terangkat. ―Hei, kau kira aku anak kecil atau apa?‖
―Dia menjejali kulkasku dengan buah dan jus. Kalau kau tidak
suka jeruk, masih ada tomat, apel, dan entah apa lagi. Cari saja
sendiri.‖
―Dia? Maksudmu Mia? Yah, jeruk juga tidak apa-apa,‖ kata Ray sambil
mengangkat bahu ―Lalu kau memberitahu Mom soal
Mia?‖
118
Alex duduk di bangku piano dan menggigit apelnya. ―Tidak.
Kubilang padanya aku jatuh dari tangga. Dan itu memang benar. Aku memang
terjatuh, setelah ditabrak gadis itu.‖
―Kau harus bersiap-siap,‖ kata Ray. ―Kurasa Mom akan langsung datang ke
sini setelah turun dari pesawat.‖
―Yah, aku tahu,‖ sahut Alex dan mendesah keras.
―Kau tahu, aku senang kau tidak lagi sinis pada Mia,‖ kata
Ray sambil tersenyum senang. ―Dia gadis yang menyenangkan, bukan?‖
―Oh, ya?‖ balas Alex acuh tak acuh.
―Jangan terlalu keras padanya,‖ bujuk Ray. ―Dia hanya ingin membantumu.‖
Alex hanya bergumam tidak jelas dan kembali menggigit
apelnya.
―Omong-omong,‖ kata Ray sambil menunjuk ke arah deretan
pot tanaman kecil yang ada di bingkai jendela ruang duduk, ―apa
itu?‖
Alex memandang ke arah yang ditunjuk dan menjawab,
―Gadis itu yang membawanya ke sini. Katanya tanaman-tanamannya
bisa mendapatkan lebih banyak cahaya matahari di sini daripada di
apartemennya.‖
Ray menoleh menatap kakaknya dengan heran. ―Mia yang membawanya ke
sini?‖ tanyanya.
Alex mengangguk. ―Dia suka tanaman.‖
―Dan kau mengizinkannya membawa semua itu ke sini?‖
119
Alex mengangkat bahu. ―Dia suka tanaman,‖ katanya sekali lagi,
seolah-olah itu sudah menjelaskan semuanya.
Ray mengerjap, lalu menoleh menatap pot-pot kecil itu. Mia suka tanaman?
Kenapa selama ini ia tidak tahu? Apa lagi yang disukai Mia? Apakah
kakaknya tahu? Ray kembali menoleh ke arah Alex dan berkata ragu.
―Akhir-akhir ini Mia lebih banyak menghabiskan waktunya bersamamu di
sini. Jadi kurasa kau lebih
tahu…‖ Ray terdiam sejenak, lalu bertanya, ―Apa lagi yang kau ketahui
tentang Mia?‖
―Apa?‖ tanya Alex bingung.
―Apa lagi yang kau ketahui tentang Mia?‖ tanya Ray sekali lagi. ―Kau
harus membantuku, Alex. Dia sering bersamamu dan kau
pasti memperhatikan sesuatu tentang dirinya selama ini. Kau tahu aku
ingin mendekatinya, tetapi selama ini aku merasa tidak tahu apa-apa
tentang dirinya. Apakah dia pernah berbicara tentang aku?
Bagaimana pendapatnya tentang aku?‖
Alex mengangkat tangan yang memegang apel, yang tinggal setengah, untuk
menghentikan banjir kata-kata Ray. Ray menutup
mulut dan Alex menatapnya dengan kening berkerut samar. ―Kalau
kau memang menyukainya,‖ kata Alex, ―kalau kau memang ingin
mengenalnya lebih baik, kenapa kau tidak bertanya padanya secara
langsung? Bukankah kalian berdua cukup dekat?‖
―Aku… aku tidak tahu,‖ jawab Ray jujur. ―Entahlah,
walaupun dia selalu bersikap baik, aku mendapat kesan dia masih menjaga
jarak. Aku jadi tidak berani bertanya, takut menanyakan sesuatu yang
tidak seharusnya ditanyakan dan dia akan semakin
120
menjaga jarak dariku.‖ Ray menatap Alex dengan bingung. ―Aku
tidak tahu bagaimana menghadapinya.‖
Alex menatap Ray sejenak, lalu menarik napas dan
mengembuskannya dengan perlahan, seolah-olah menyerah. ―Dia penari,‖
kata Alex pelan.
―Aku tahu itu,‖ kata Ray sambil mengibaskan tangannya. ―Lulusan
Juilliard.‖
Ray menatap Alex. ―Apa?‖ ―Kau tidak tahu itu, bukan?‖
Ray menggeleng. Kenapa ia tidak tahu Mia lulusan Juilliard?
Kenapa ia bisa tidak tahu?
―Dia penari yang hebat,‖ lanjut Alex. ―Tapi kau tentu sudah
tahu itu karena kau bilang kau pernah melihatnya menari.‖
Ray membuka mulut ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak
jadi.
―Dia suka lagu Italia.‖ ―Lagu Italia?‖
―Dan makanan Italia.‖
―Kalau begitu aku harus membawanya ke restoran Italia malam ini,‖ gumam
Ray, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu karena
Alex tidak melanjutkan kata-katanya, Ray mengangkat wajah
menatap kakaknya dan bertanya, ―Apa lagi?‖ ―Dia...‖
―Dia apa?‖
―Tidak apa-apa,‖ kata Alex sambil berdiri dari bangkunya. ―Kadang-kadang
dia bisa sangat merepotkan. Itu saja.‖
121
Ray menatap kakaknya dengan kecewa. ―Apa? Hanya itu yang
bisa kau ceritakan kepadaku?‖
―Kau sudah mengenalnya lebih dulu sebelum aku mengenalnya,‖ kata Alex
datar. ―Seharusnya kau yang tahu lebih
banyak tentang dirinya.‖
―Seharusnya memang begitu,‖ Ray membenarkan. ―Tapi kau
lihat sendiri, aku bahkan tidak tahu dia lulusan Juilliard.‖
―Itu karena kau tidak pernah bertanya.‖
Ray terdiam. Kakaknya benar. Ia tidak pernah bertanya. Tetapi seperti
yang dikatakannya tadi, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakannya dan
apakah yang ingin ditanyakannya itu pantas atau tidak. Walaupun selalu
terlihat tenang, riang, dan ceria, sebenarnya Ray selalu merasa salah
tingkah dan tidak yakin di depan Mia. Ia tidak tahu apakah Mia hanya
menganggapnya sebagai teman atau apakah Mia pernah memandangnya sebagai
laki-laki. Bagaimana caranya membuat Mia memandangnya dan hanya dirinya?
―Jangan bertanya padaku. Kau yang harus memikirkannya
sendiri,‖ kata Alex.
Ray mendongak dan menyadari bahwa ia sudah
mengucapkan apa yang dipikirkannya. ―Kurasa begitu,‖ katanya
dengan nada merenung. ―Aku harus melakukan sesuatu yang bisa
membuatnya terkesan. Sehingga aku akan terlihat berbeda di
matanya dibandingkan laki-laki lain.‖
Alex tidak berkomentar.
―Aku bukan satu-satunya orang yang berusaha mendekatinya,
kau tahu?‖ tanya Ray.
122
―Mm, aku tahu itu,‖ gumam Alex. ―Kau tahu?‖
―Dia sering mendapat telepon,‖ kata Alex pendek. ―Dari laki-laki.
Katanya semua itu temannya.‖
―Nah, kau lihat, kan?‖ Ray merentangkan tangannya dengan menggebu-gebu.
―Itulah masalahnya. Aku harus bergerak cepat.‖
―Semoga beruntung.‖
Ray memberengut sejenak. Lalu menggeleng-geleng dan
berkata. ―Ah, nanti saja kupikirkan caranya.‖ Ia meneguk jus jeruknya
dan menoleh ke arah Alex. ―Jadi apa yang akan kau lakukan malam ini?‖
Alex mengangkat bahu. ―Entahlah. Menyelesaikan laguku, mungkin.‖
―Oh? Sudah mendapat inspirasi?‖
―Kurasa aku sudah bisa membuat album baru dengan semua lagu yang ada di
kepalaku sekarang.‖
―Wah, tanganmu terkilir dan kau mendadak mendapat
inspirasi. Mungkin kau harus sering-sering mencederai tanganmu,‖
gurau Ray dan tertawa.
―Lucu,‖ balas Alex datar.
Ray menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya
dengan keras. Lalu ia menepuk pahanya dan berkata, ―Baiklah, aku
harus pergi sekarang. Aku harus memikirkan kata-kata yang tepat
untuk menyatakan perasaanku.‖
Alex tertegun menatap Ray. ―Kau ingin menyatakan
perasaanmu padanya? Malam ini?‖
123
―Tentu saja,‖ tegas Ray. ―Memangnya sampai kapan aku harus
berdiam diri begitu? Aku harus melakukannya sebelum orang lain
melakukannya.‖
Alex tidak berkata apa-apa. Hanya kembali menggigit
apelnya.
Ray mengangkat bahu. ―Siapa tahu Mia bersedia memberiku kesempatan?‖
―Mm, siapa tahu?‖ gumam Alex.
Ray berdiri dan berjalan ke pintu, lalu menoleh. ―Doakan supaya aku
sukses malam ini.‖ katanya sambil tersenyum lebar.
Ia membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu
jawaban kakakanya.
Dan tanpa menyadari bahwa kakaknya sama sekali tidak
menjawab.
124
Bab Dua Belas
ALEX menekan tuts yang menghasilkan nada mi rendah dengan
telunjuk. Setelah beberapa detik, ia mengangkat jarinya. Lalu ia menekan
tuts yang sama sekali, menahannya sebentar, dan mengangkat jarinya
lagi. Ia melakukannya berulang-ulang sampai hanya satu nada monoton
menyedihkan itulah yang bergema di apartemennya yang sunyi.
Tadinya Alex berencana menghabiskan malam ini di depan piano, menulis
lagu. Tetapi begitu ia duduk di depan piano, pikirannya mendadak buntu.
Tidak ada satu ide pun terlintas dalam benaknya. Otaknya kosong
melompong.
Bosan…
Lapar…
Alex bangkit, berjalan ke dapur, dan memandang berkeliling. Gadis itu
tidak menyiapkan makan malam untuknya. Dan ia sendiri tidak bisa
menyiapkan makanan yang layak dengan satu tangan tanpa membuat dapurnya
kacau-balau. Ia tidak bisa menggoreng telur dengan satu tangan. Ia tidak
bisa membuka makanan kaleng dengan satu tangan. Ia tidak bisa mengupas
kentang dengan satu tangan. Ia tidak bisa melakukan apa pun dengan satu
tangan!
125
Yah, sebenarnya ia mungkin bisa melakukannya kalau mau mencoba.
Masalahnya, ia tidak mau. Karena selama ini gadis itulah yang melakukan
segala hal untuknya. Karena selama ini gadis itu selalu ada di sini.
Dan hari ini gadis itu tidak ada. Tidak ada orang yang bisa
disuruh-suruh.
Itulah alasan Alex uring-uringan. Benarkah itu alasannya?
Sebenarnya selama ini Mia Clark juga tidak pernah tinggal di apartemen
Alex sampai malam. Ia selalu pulang sebelum jam tujuh, setelah
menyiapkan makan malam untuk Alex. Alex tidak pernah keberatan atau
uring-uringan sebelumnya. Lalu kenapa hari ini berbeda?
Karena gadis itu pergi makan malam bersama Ray?
Alex tertegun ketika pikiran itu berkelebat dalam benaknya. Karena gadis
itu pergi makan malam bersama Ray dan
membiarkanku kelaparan sendirian di sini, koreksi Alex dalam hati.
Itulah alasannya.
Alex kembali ke ruang duduk dan mengempaskan diri ke sofa. Matanya
terpaku pada ponsel di atas meja. Ia bisa menyuruh gadis itu datang ke
sini setelah makan malam dengan Ray. Gadis itu pasti akan datang. Yah,
begitu saja.
Karena tidak ingin mengganggu acara kencan Ray, Alex memutuskan mengirim
pesan ke ponsel gadis itu.
Kau bisa datang ke sini setelah acara makan malammu selesai?
126
Beberapa menit berlalu tidak ada balasan. Alex tetap menatap ponselnya
dengan tajam, menunggu bunyi singkat yang menandakan pesan masuk. Kalau
pandangan bisa menghancurkan sesuatu, ponsel Alex pasti sudah hancur
lebur. Alex sedang berpikir apakah sebaiknya ia menelepon gadis itu
secara langsung dan mengambil resiko merusak kencan Ray ketika ponselnya
akhirnya berbunyi. Alex cepat-cepat meraih ponselnya dan membaca pesan
yang masuk. Memang dari gadis itu. Tetapi hanya satu kata.
Kenapa?
Kenapa? Gadis itu bertanya kenapa? Pikir Alex jengkel. Bukankah sudah
jelas? Ia pun mengetik.
Karena kau belum menyiapkan makan malam untukku.
Satu menit tiga puluh detik kemudian ponsel Alex berbunyi
lagi.
Bagaimana kalau kau mengajak Karl makan bersama hari ini?
Alex membalas. Karl sudah punya janji makan malam dengan orang lain.
Dan balasan dari gadis itu, Mungkin Ray bisa menemanimu.
Ray? Pikir Alex. Ia melirik jam tangan. Jam delapan lewat sedikit.
Apakah kencan mereka sudah selesai? Cepat sekali. Kalau begitu mungkin
Ray bisa menemaninya makan di luar. Tapi…
Alex kembali menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Kenapa
sepertinya gadis itu menolak datang? Kalau kencannya dengan Ray sudah
selesai, seharusnya ia bisa datang. Apakah…?
Alex benar-benar tidak suka berpikir seperti itu, tetapi apakah Mia
127
Clark sedang bersama laki-laki lain? Salah seorang laki-laki yang selalu
meneleponnya?
Mencoba menghentikan pikiran-pikiran tidak masuk akal yang melintas
dalam benaknya. Alex berkata pada diri sendiri bahwa itu sama sekali
bukan urusannya. Kalau gadis itu mau berkencan dengan orang lain setelah
berkencan dengan Ray, itu sama sekali bukan urusannya.
Sebaiknya kau datang ke sini sekarang juga, ketik Alex, lalu ia menekan
tombol ―kirim‖ dengan tenaga lebih besar dari pada yang diperlukan.
*****
Sebaiknya kau datang ke sini sekarang juga.
Mia membaca pesan terakhir dari Alex dan mendesah. Ini benar-benar…
Apakah laki-laki itu tidak bisa membiarkannya tenang sedikit?
Tanpa beranjak dari posisinya yang telentang di tempat tidur, Mia
mengangkat sebelah tangan ke dada. Sudah tidak terlalu sakit, tetapi
napasnya belum terlalu lancar. Tangannya terangkat ke kening dan ia
memejamkan mata, berusaha menenangkan diri dan mengatur napas.
Gara-gara terlalu lelah. Ia tidak boleh terlalu lelah.
Ponselnya yang tergeletak di ranjang bergetar. Mia meraihnya dan membaca
pesan yang masuk.
Kau akan datang atau tidak?
128
Mia menggigit bibir dengan kesal. Dan ia membalas dengan satu kata
pendek.
Baiklah
Ia melemparkan ponselnya ke samping dan menarik napas dalam-dalam. Lalu
ia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Kakinya terasa lemah.
Ia melirik tabung plastik kecil yang diletakkannya di meja kecil di
samping tempat tidur. Ia sudah minum obat tadi, tapi apakah ia harus
minum lagi?
Ia harus pergi ke apartemen Alex sekarang, jadi sebaiknya ia minum
sebutir lagi.
*****
―Ray, kau ada di mana?‖
―Aku bersama teman-temanku. Main boling. Kenapa?‖ ―Bukankah seharusnya
kau makan malam bersama Clark?‖ ―Ah, itu… Kencannya batal.‖
―Batal? Kenapa?‖
―Katanya dia kurang enak badan, jadi kencannya ditunda sampai…‖
―Kurang enak badan?‖ ―Ya, begitulah katanya.‖
Alex menutup ponsel dengan kening berkerut samar. Gadis itu
sakit?
129
Bab Tiga
Belas
MIA merapatkan jaketnya dan menekan bel interkom gedung
apartemen Alex. Sedetik kemudian terdengar bunyi klik dan pintu
terbuka. Mia mengerjap heran. ―Cepat sekali.‖ Gumamnya pada diri
sendiri. Ia pun masuk dan berjalan ke lift. Ia tidak mungkin naik tangga
hari ini. Ia pasti akan kehabisan napas kalau naik tangga ke lantai
empat. Kehabisan napas dan tidak kuat berdiri.
Pintu lift terbuka di lantai empat. Mia mengembuskan napas berat dan
melangkah keluar dari lift. Namun langkahnya mendadak berhenti ketika ia
melihat Alex berdiri bersandar di pintu apartemennya yang terbuka.
―Kenapa kau berdiri di situ?‖ tanya Mia heran.
Alex menatapnya dengan cara yang membuat Mia agak resah.
―Kenapa kau tidak menjawab teleponmu?‖ laki-laki itu balas
bertanya.
―Telepon?‖ ulang Mia tidak mengerti. ―Aku sudah membalas pesanmu,
bukan?‖
―Bukan pesan,‖ sela Alex. ―Aku meneleponmu berkali-kali
tadi.‖
130
―Oh?‖ Mia mengerjap, lalu membuka tas yang disandangnya
dan mengaduk-aduk isinya. ―Sepertinya ponselku tertinggal di
rumah. Maaf?‖
Semoga saja orangtuaku tidak menelepon malam ini, pikir Mia. Mereka
pasti khawatir dan memikirkan yang terburuk kalau Mia tidak mengangkat
telepon. Mia mengangkat wajah dan menyadari Alex masih mengamatinya
dengan alis berkerut samar.
―Kenapa menatapku seperti itu? Ada sesuatu di wajahku?‖
tanya Mia curiga.
―Masuklah,‖ kata Alex, mengabaikan pertanyaan Mia, dan
berbalik masuk ke apartemennya.
Mia mengikutinya dari belakang dan menutup pintu. Melangkah masuk ke
apartemen Alex langsung membuatnya merasa nyaman. Sebenarnya hal itu
tidak aneh mengingat selama beberapa minggu terakhir ini Mia lebih
sering menghabiskan waktunya di sini daripada di apartemennya sendiri.
Karena itu apartemen Alex tidak lagi asing baginya. Ia mengenal
apartemen itu sebaik ia mengenal apartemennya sendiri. Ia tahu letak
semua barang di sana karena selama ini ia yang membersihkan apartemennya
itu.
Mia melepaskan jaket dan menyampirkannya ke sandaran kursi di ruang
duduk. Tasnya dijatuhkan di lantai di dekat sana.
―Jadi kenapa kau belum makan?‖ tanyanya sambil menggulung
lengan sweternya.
―Karena seseorang tidak menyiapkan makan malam
untukku,‖ sahut Alex acuh tak acuh. ―Memangnya kau pikir aku bisa
memasak sendiri dengan tangan seperti ini?‖
131
Mia menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan.
―Baiklah. Kau mau makan apa?‖ tanyanya.
Ketika ia hendak berjalan melewati Alex ke dapur, tangan Laki-laki itu
terulur menahan lengannya, membuat Mia agak terkejut. Sentuhan itu
singkat saja. Hanya sentuhan sekilas sebelum Alex menurunkan tangannya
kembali. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat Mia berhenti melangkah dan
mendongak menatap laki-laki itu.
―Kau tidak apa-apa?‖ tanya Alex pelan.
Mia mengerjap. Apakah ia salah dengar? Apakah ia benar-benar mendengar
seberkas kekhawatiran dalam suara Alex Hirano?
―Wajahmu pucat,‖ kata Alex lagi.
Mia menelan ludah dan menggeleng. Ia memaksakan seulas
senyum dan berkata dengan nada bergurau, ―Alex Hirano
mengkhawatirkanku? Ini benar-benar kejadian langka.‖ Ketika ia melihat
Alex tidak membalas senyumannya. Mia menambahkan,
―Aku baik-baik saja.‖
Mia berjalan ke dapur dan Alex mengikutinya dari belakang.
Mia membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa di makan. ―Kau mau makan
apa?‖ tanyanya tanpa memandang Alex.
―Apa saja.‖
―Bagaimana kalau sup dengan daging ayam dan kentang?‖
―Boleh.‖
Mia pun menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Ia mengira Alex akan
membiarkannya bekerja sendirian di dapur. Ternyata dugaanya salah. Alex
tetap berdiri bersandar di lemari
132
dapur sambil mengamati gerak-geriknya, membuat Mia semakin
gelisah.
―Bagaimana kencanmu hari ini?‖ tanya Alex tiba-tiba.
Mia ragu apakah ia harus memberitahu Alex bahwa ia membatalkan janji
makan malamnya dengan Ray karena merasa tidak sehat. Bagaimana kalau ia
mengatakannya dan Alex bertanya kenapa Mia masih datang ke sini kalau
memang merasa tidak sehat? Bagaimana kalau Alex bertanya macam-macam?
―Mm.. baik,‖ gumam Mia tidak jelas, tanpa memandang Alex. ―Oh, ya? Kata
Ray, kencan kalian batal. Jadi, kau pergi kencan
dengan siapa hari ini?‖
Kali ini Mia menoleh dan menatap Alex dengan perasaan dongkol. Laki-laki
itu balas menatapnya sambil tersenyum kecil.
―Kenapa masih bertanya kalau sudah tahu?‖ gerutu Mia.
―Kata Ray, kau membatalkan kencan karena tidak enak
badan,‖ jawab Alex, dan senyumnya memudar. ―Sebenarnya setelah
tahu itu aku meneleponmu untuk memberitahu bahwa kau tidak
perlu datang. Tapi kau tidak mengangkat telepon.‖
Mia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia bergumam, ―Oh, begitu.‖ Lalu
berbalik memunggungi Alex dan mengisi panci dengan
air.
Tiba-tiba Mia merasa Alex menghampirinya dan sedetik kemudian ia
merasakan telapak tangan Alex yang dingin menempel di keningnya. Saking
terkejutnya, Mia hampir menjatuhkan panci yang dipegangnya.
133
―Tidak panas,‖ gumam Alex dan menurunkan tangannya
sebelum Mia sempat bereaksi.
Mia berbalik dan jantungnya melonjak lagi ketika menyadari
Alex berdiri menjulang di dekatnya. Terlalu dekat. ―Aku… aku
memang tidak demam,‖ katanya agak tergagap dan ia beringsut menjauh.
Keningnya memang tidak panas, tetapi justru pipinya yang memanas dengan
cepat, dan jantungnya yang malang juga berdebar keras dan cepat. Ini
sangat tidak normal. Ada apa dengan dirinya?
―Jadi kau sakit apa?‖ tanya Alex.
Mia ragu sejenak. Lalu, ―Aku… hanya kecapekan.‖
Alex terdiam. ―Dan aku menyuruhmu datang ke sini malam-malam begini,‖
gumamnya.
Mendengar kalimat yang bisa diartikan sebagai permintaan maaf itu, Mia
tersenyum. ―Tidak apa-apa. Kalau hanya masak sup,
sama sekali tidak sulit,‖ katanya.
Tetapi Alex menjulurkan tangan kanannya melewati Mia dan
mematikan keran yang masih menyala. ―Lupakan saja,‖ katanya, lalu
mengambil panci dari tangan Mia dan meletakkannya di meja. ―Aku tidak
lapar.‖
―Tapi… aku baik-baik saja. Sungguh.‖
―Sebaiknya hari ini kau istirahat saja,‖ kata Alex. ―Pulang-
Mia menatap Alex sejenak. ―Tadi kau bilang kau kelaparan,‖
katanya.
―Itu tadi,‖ Alex mengelak. ―Sekarang tidak lagi.
Tepat pada saat itu perut Alex berbunyi, seolah-olah
memproses ucapan Alex sebelumnya. Mia mengerjap kaget dan
134
perlahan-lahan seulas senyum mulai tersungging di bibirnya.
―Sepertinya kau masih lapar.‖
Alex menghela napas panjang. ―Ini benar-benar memalukan,‖
gerutunya. ―Abaikan saja. Aku bisa makan apel lagi atau apa pun yang kau
jejalkan ke dalam kulkasku.‖
―Kau tahu,‖ sela Mia, ―sebenarnya aku juga belum makan malam.‖
Alis Alex berkerut. ―Kenapa belum makan?‖
Mia mengangkat bahu. ―Karena tadi aku tidak lapar,‖ katanya
ringan. Dan sebenarnya karena ia terlalu lemah dan sakit untuk
berpikir soal makanan, tetapi Alex tidak perlu tahu itu. ―Dan
sekarang aku mulai lapar.‖
Alex menoleh dan menatap Mia dengan tatapan bertanya.
―Benarkah? Jadi kau sudah merasa lebih sehat?‖
Mia mengangguk dan tersenyum. ―Sebenarnya aku merasa
jauh lebih baik setelah datang ke sini.‖
Alex memiringkan kepala sedikit dan mengamati wajah Mia.
―Sepertinya kau tidak terlalu pucat lagi.‖
Ditatap seperti itu dan tiba-tiba teringat bagaimana Alex menyentuh
keningnya tadi, rasa panas pun kembali menjalari pipi Mia.
Lalu Alex tersenyum. ―Baguslah kalau begitu.‖
Senyum itu membuat jantung Mia yang malang kembali melonjak dan berdebar
begitu keras sampai-sampai Mia takut Alex bisa mendengarnya. Hanya satu
senyuman bisa membuat Mia berdebar-debar seperti itu?
135
Celaka… Jantungnya berulah lagi.
*****
Sebenarnya aku merasa jauh lebih baik setelah datang ke sini.
Entah kenapa Alex merasa senang ketika mendengar gadis itu
mengatakannya. Tentu saja, gadis itu mungkin tidak bermaksud apa-apa
ketika mengatakannya, dan Alex merasa bodoh karena berharap… berharap…
Tunggu, apa sebenarnya yang diharapkannya? Entahlah.
Mereka makan di ruang duduk. Alex harus menyingkirkan tumpukan
partiturnya dari meja rendah supaya mereka bisa meletakkan
mangkuk-mangkuk sup dan makan di sana sambil duduk di karpet hangat di
lantai. Mereka makan sambil menonton dan mengomentari acara
bincang-bincang malam di telivisi.
Saat itu adalah saat Alex merasa paling nyaman bersama Mia Clark. Selama
dua minggu terakhir ini ia memang sudah terbiasa dengan kehadiran gadis
itu di rumahnya, tetapi malam ini ia merasa mereka berdua seperti dua
orang yang sudah bersahabat sejak kecil. Makan malam bersama sambil
duduk di lantai dan menonton televisi, berbicara dan menertawakan
hal-hal kecil yang tidak berarti. Kapan Alex pernah merasa sesantai ini
mengobrol dengan seseorang? Ia tidak ingat.
Selesai makan, Mia mendorong mangkuknya menjauh dan menyandarkan
punggung ke sofa di belakangnya. ―Aku merasa lebih
136
baik setelah makan,‖ katanya senang. ―Mungkin tadi aku lemas
karena belum makan.‖
Alex menoleh menatap gadis yang duduk di sampingnya dan
tersenyum kecil. ―Aku senang kau sudah merasa lebih baik.‖
Mia membalas senyunya dan berkata lagi. ―Terima kasih karena sudah
membantu.‖
Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. ―Bukan masalah.‖
Ia memang terus menemani Mia di dapur sementara Mia menyiapkan sup untuk
makan malam mereka. Walaupun ia merasa wajah gadis itu tidak lagi
sepucat ketika baru tiba, ia tetap ingin memastikan gadis itu baik-baik
saja. Jadi ia memutuskan untuk membantu gadis itu sebisanya, misalnya
dengan mengangkat dan mengambilkan apa pun yang diinginkan gadis itu.
―Alex,‖ panggil Mia tiba-tiba.
Sesuatu dalam dada Alex terasa aneh ketika ia mendengar gadis itu
memanggil namanya. Aneh, tapi sama sekali bukan dalam
arti buruk. Alex menoleh. ―Apa?‖
―Aku harus mengakui sesuatu,‖ kata Mia sambil menatap
Alex dengan matanya yang hitam gelap dan misterius. Seulas
senyum kecil tersungging di bibirnya. ―Aku memang sudah membeli
albummu, tapi aku belum pernah mendengarkannya.‖
―Kenapa kau membelinya kalau tidak mau
mendengarkannya?‖ gerutu Alex.
―Karena Eleanor pernah berkata seharusnya aku
mendengarkan permainanmu secara langsung,‖ kata Mia ringan.
137
―Yah, kau harus menunggu lama untuk itu,‖ kata Alex sambil
mengangkat tangan kirinya dan mengamati pergelangan tangannya
yang masih dibebat.
Mia menatap tangan Alex dan wajahnya berubah muram.
―Maaf,‖ gumamnya dengan nada menyesal.
Alex menoleh. ―Apa?‖ tanyanya bingung dan terlambat
menyadari bahwa gadis itu meminta maaf karena telah melukai tangannya.
Alex sama sekali tidak bermaksud membuat gadis itu merasa lebih bersalah
dan tidak ingin mendengar gadis itu meminta maaf lagi. Karena itu ia
cepat-cepat berkata, ―Sudahlah. Kau sudah
cukup sering meminta maaf.‖
Mia terdiam dan menatap lurus ke arah televisi walaupun
tidak benar-benar memperhatikan.
Alex melirik Mia sekilas, lalu berkata, ―Kau akan mendengarkannya secara
langsung saat tanganku sembuh nanti.‖
Mia tersenyum. ―Terima kasih.‖
―Tapi kalau kau mau mendengarnya sekarang juga boleh,‖
lanjut Alex sambil meraih remote control televisi dan mematikan
suaranya. Lalu ia meraih remote control lain untuk menyalakan CD
player-nya.
―Kau suka memamerkan diri rupanya,‖ gurau Mia sambil
menoleh menatap Alex.
Alex mengangguk. ―Begitulah. Karena aku tahu aku hebat.‖
Mia tertawa dan Alex mendapati dirinya bertanya-tanya
bagaimana ia dulu bisa menganggap gadis itu malaikat
138
kegelapannya. Sungguh, malaikat kegelapan tidak mungkin tertawa semanis
itu.
Alex tertegun. Tunggu… Manis? Manis? Sejak kapan ia menggunakan
kata-kata seperti itu? Astaga, ia mulai tidak waras.
Ia menyingkirkan pikiran aneh itu dan menekan remote control untuk
menjalankan CD ketiga dalam player. Beberapa detik kemudian, dentingan
piano yang merdu pun mengalun di ruang duduk.
―Mmm,‖ gumam Mia sambil memejamkan mata.
―Apa maksudmu ‗mmm‘?‖ tanya Alex. ―Bagus? Biasa saja?
Tidak sesuai harapan?‖
―Sangat indah,‖ sahut Mia. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas
membentuk senyum kecil. Lalu ia membuka mata dan menatap
Alex. ―Kau benar. Kau memang hebat.‖
Dan Alex menolak berpikir kenapa ia merasa senang hanya karena satu
kalimat sederhana dari gadis itu.
Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka duduk berdiam diri sambil
mendengarkan alunan musik dari CD player itu ketika Alex
menyadari kepala gadis itu terkulai ke samping. ―Clark?‖ panggil
Alex pelan.
Tidak ada jawaban.
Teringat Mia sedang tidak enak badan dan takut ia tiba-tiba pingsan.
Alex mencondongkan tubuh ke arah Mia untuk memastikan.
Ternyata gadis itu hanya sedang tidur.
139
―Dia bilang laguku bagus, tapi malah ketiduran
mendengarnya,‖ gerutu Alex. Ia melirik jam tangan. Sebaiknya ia
membangunkan gadis itu dan menyuruhnya pulang sebelum malam semakin
larut. Ia kembali menatap gadis itu, hendak membangunkannya, tetapi
ketika menatap wajah Mia Clark yang sedang tidur, Alex mengurungkan
niat. Mungkin sebaiknya ia membiarkan gadis itu tidur sebentar.
Alex tidak tahu kenapa ia melakukannya, tetapi ketika melihat kepala Mia
terkulai miring seperti itu, ia perlahan-lahan bergeser lebih dekat ke
arah Mia, lalu dengan satu tangan ia meraih sisi kepala Mia dan
mendorongnya dengan hati-hati sampai bersandar di bahunya.
―Mia Clark, kau ini benar-benar merepotkan,‖ gumamnya
pelan.
Tetapi ia tidak bisa menjelaskan kenapa ketika kepala Mia bersandar di
bahunya, segalanya terasa benar.
*****
―Clark… Clark…‖
Mia mendengar suara yang tidak asing itu memanggil namanya dengan pelan.
Matanya terasa berat, tetapi ia memaksa diri membukanya dan mendapati
dirinya duduk bersandar pada Alex Hirano.
Mia menegakkan tubuh dan memandang berkeliling. ―Dimana
aku?‖ tanyanya dengan suara ngantuk.
140
―Di apartemenku,‖ sahut Alex. ―Aku belum membawamu ke
mana-mana.‖
Mia mengerjapkan matanya untuk menyadarkan diri dan
tersenyum malu. ―Maaf, aku ketiduran.‖
Alex tersenyum dan berdiri. ―Ayo, aku akan mengantarmu
pulang.‖
Mia menatap jam tangannya dan mengerjap. Sudah hampir
tengah malam. ―Mengantarku?‖ ulang Mia sambil berdiri. ―Tapi mobilku ada
di bawah. Aku bisa pulang sendiri.‖
―Sudah malam. Dan kau juga sedang sakit,‖ kata Alex sambil berjalan ke
kamar tidurnya. ―Tinggalkan saja mobilmu di sini.‖
―Tapi bagaimana…?‖
Sesaat kemudian Alex keluar dari kamarnya sambil
mengenakan jaket. ―Taksi sudah menunggu di bawah.‖
Mia mengenakan jaketnya dengan patuh ―Kau menelepon taksi? Kapan?‖
―Ketika kau masih tidur,‖ sahut Alex. ―Kau tidak tahu betapa keras
usahaku meraih ponsel dalam posisiku tadi.‖
Mia merasa pipinya memanas mengingat ia tertidur di bahu
Alex tadi. ―Maaf,‖ gumamnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bersandar
pada laki-laki itu, tetapi ada dua hal yang membuatnya heran. Pertama,
ia heran Alex membiarkan Mia tidur bersandar padanya dan tidak mendorong
Mia jauh-jauh. Kedua…
―Kau menelepon taksi ketika aku tidur dan aku tidak terbangun?‖ tanya
Mia heran.
141
Alex membuka pintu dan membiarkan Mia keluar lebih dulu.
―Kelihatannya tidurmu nyenyak sekali.‖ Kening Mia berkerut. ―Benarkah?
Aneh.‖ ―Aneh kenapa?‖
―Sebenarnya akhir-akhir ini aku tidak pernah tidur nyenyak,‖ aku Mia.
―Aku selalu terbangun mendengar suara sekecil apa pun.‖
―Oh, ya?‖ Alex menekan tombol lift, lalu menatap Mia. ―Kenapa begitu?‖
Mia mengangkat bahu.
―Sudah berapa lama kau tidak bisa tidur?‖ tanya Alex lagi. ―Hampir dua
bulan.‖ Sahut Mia.
Lift berdenting pelan dan pintu terbuka. Alex membiarkan
Mia masuk lebih dulu.
―Kalau begitu, mungkin sebaiknya tadi aku tidak membangunkanmu,‖ kata
Alex sambil berpikir-pikir.
Mia mengibaskan tangannya. ―Aku juga tidak mungkin tidur
di sini semalaman, bukan?‖
―Kenapa tidak?‖
Mia mendongak menatap Alex dengan heran.
Alex mengangkat bahu. ―Sebenarnya aku bisa saja
membiarkanmu tidur di sini sepanjang malam, tapi kupikir tidur
dalam posisi seperti itu pasti tidak nyaman. Dan aku tidak bisa
menggendongmu ke sofa dengan tangan begini.‖
Mia mengerjap. Yah… Kalau ia mau jujur, sebenarnya ia sama
sekali tidak merasa tidak nyaman tadi. Malah ia merasa sangat
nyaman. Terlalu nyaman.
142
―Wajahmu merah,‖ kata Alex tiba-tiba.
Mia tersentak kaget dan tangannya otomatis terangkat ke
wajah.
―Kau tidak apa-apa?‖ tanya Alex lagi.
Mia menggeleng cepat. ―Tidak… Ya… Maksudku, aku tidak
apa-apa.‖
Tiba-tiba telapak tangan Alex kembali menempel di kening
Mia dan jantung Mia… jantungya.
―Agak hangat,‖ gumam Alex, menurunkan tangannya. ―Kau
yakin tidak apa-apa?‖
Tapi pada saat lift berdenting lagi dan pintu terbuka. Alex melangkah
keluar dan Mia baru bisa bernapas kembali. Tapi kenapa ia menahan napas?
Entahlah. Mia juga tidak mengerti.
Mereka masuk ke dalam taksi yang menunggu dan Mia menyebutkan alamatnya
kepada sopir taksi. Lalu ia menoleh ke arah
Alex yang duduk di sampingnya. ―Omong-omong, bagaimana caranya kau
membuka pintu depan ketika kau kembali nanti?‖
―Aku bisa meminta salah seorang tetanggaku untuk membuka pintu dari
atas,‖ sahut Alex ringan.
―Tengah malam begini?‖
―Aku tahu ada seorang tetanggaku yang tidak bisa tidur sebelum jam dua
pagi.‖
Ketika taksi mereka akhirnya tiba di depan gedung apartemen
Mia di Greenwich Village, Mia turun dari taksi dan Alex juga turun.
143
―Kita sudah sampai. Apartemenku di lantai dua,‖ kata Mia
sambil berbalik menghadap Alex. ―Sekarang kau bisa pulang dengan
tenang.‖
Alex mendongak menatap gedung abu-abu yang menjulang di
depannya, lalu menatap Mia dan mengangguk, ―Masuklah. Udara sangat
dingin malam ini.‖
―Terima kasih sudah mengantarku pulang,‖ kata Mia. Alex tersenyum.
―Baiklah. Jaga dirimu. Sampai besok.‖
Aneh. Senyum itu membuat Mia ikut tersenyum, membuat sekujur tubuh
terasa hangat dan ringan, seolah-olah melayang. Aneh sekali. Ia tidak
bisa menjelaskannya dan ia juga tidak mau memikirkannya saat itu. Ia
hanya ingin menikmati perasaan yang menyenangkan itu selama mungkin.
Dan untuk pertama kalinya sepanjang ingatannya. Mia tidak sabar menunggu
hari esok.
144
Bab Empat
Belas
BUNYI bel pintu membangunkan Alex dari mimpi indahnya. Ia
mengerang dan membuka mata dengan susah payah. Ia menyipitkan mata
menatap jam kecil di meja di samping tempat tidurnya. Jam 07.30. Siapa
yang membunyikan bel pagi-pagi begini? Clark? Tumben gadis itu datang
sebelum jam delapan.
Bel pintunya kembali berbunyi. Alex bergegas turun dari tempat tidur dan
berjalan ke pintu dengan langkah diseret-seret. Ia menekan tombol
interkom di samping pintu dan bertanya dengan
suara serak. ―Clark?‖
Lalu suara seorang wanita balas bertanya, ―Siapa Clark?‖
Alex mengerutkan kening. Bukan Mia? Lalu siapa ini? ―Siapa
ini?‖
Suara wanita itu kembali terdengar. ―Orang yang melahirkanmu ke dunia
ini.‖
Alex mengerjap terkejut. Kantuknya hilang seketika. ―Mom?‖
tanyanya setelah mengenali suara ibunya.
―Satu-satunya,‖ balas ibunya dan Alex bisa mendengar tawa dalam
suaranya. ―Buka pintunya sebelum ayah dan ibumu membeku di sini.‖
145
Alex segera menekan tombol untuk membuka pintu di bawah dan beberapa
saat kemudian ayah dan ibunya sudah berada di apartemennya.
―Apa yang terjadi?‖ tanya ibunya tanpa basa-basi begitu masuk apartemen
Alex. Ia meraih tangan kiri Alex dan memeriksanya.
―Tenanglah, Mom. Aku tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil,‖ sahut Alex
sambil tertawa kecil. Lalu ia berpaling ke arah ayahnya. ―Hai, Dad.
Bagaimana penerbangannya?‖
―Melelahkan,‖ kata ayahnya sambil duduk di sofa. ―Sebenarnya aku ingin
pulang dan mandi dulu sebelum datang ke
sini, tapi ibumu sudah tidak sabar ingin melihat keadaanmu. Ibumu
mengira dia akan menemukanmu terbaring di ranjang dengan kaki
dan tangan diperban dan digantung.‖
Alex tertawa.
―Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tanganmu bisa sampai terluka
seperti ini?‖ tanya ibunya lagi sambil memukul bahu
Alex.
―Aku terjatuh dari tangga,‖ jawab Alex singkat, merasa tidak
perlu bercerita tentang keterlibatan Mia.
Ibunya mendecakkan lidah dengan jengkel. ―Kenapa tidak hati-hati?‖
gerutunya.
―Seharusnya kita membeli makanan dulu sebelum datang ke sini,‖ kata ayah
Alex kepada istrinya. ―Aku lapar.‖
―Benar juga. Alex pasti tidak punya makanan di sini. Kau mau minum kopi
dulu? Akan kubuatkan sekarang,‖ tanya ibu Alex. Lalu
146
ia berkata pada Alex, ―Kau tahu ayahmu sangat pemilih. Dia tidak suka
makanan di pesawat. Kau masih punya kopi?‖ Tanpa
menunggu jawaban Alex, ibunya beranjak ke dapur.
―Sebenarnya aku punya banyak makanan di dapur,‖ kata
Alex. Tetapi sepertinya ibunya tidak mendengar.
Ayah Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menatap
partitur-partitur yang tersebar di meja. ―Lagu baru?‖ tanyanya
tertarik. Ayahnya dulu juga pianis, tetapi kini lebih aktif berperan
sebagai produser.
Alex mengangguk. ―Dad mau mencoba memainkannya? Aku
belum pernah benar-benar memainkannya gara-gara tangan ini.‖
―Tentu saja,‖ kata ayahnya sambil berdiri dan berjalan ke arah
piano Alex. ―Coba kita dengar seperti apa lagu ini.‖
Ayahnya memainkan beberapa baris dan terlihat terkesan.
―Lumayan,‖ gumamnya.
Alex mengangkat alis. ―Hanya lumayan?‖
Jemari ayahnya masih menari-nari di atas tuts piano. ―Lebih
dari lumayan,‖ tambahnya. Melihat raut wajah Alex, ayahnya
tertawa kecil dan berkata, ―Baiklah, aku mengaku. Lagu ini sangat
bagus.‖
―Sudah kuduga,‖ gumam Alex sambil tersenyum.
―Judulnya?‖
Tetapi sebelum Alex sempat menjawab, ibunya memanggilnya
dari dapur.
―Ya?‖ tanya Alex ketika ibunya muncul kembali di ruang
duduk.
147
Ibunya memandang sekeliling ruang duduk dengan saksama sebelum akhirnya
menatap Alex lurus-lurus.
―Ada apa?‖ tanya Alex heran.
―Kau sudah punya pacar?‖ tanya ibunya tiba-tiba.
―Apa?‖
―Pacarmu tinggal di sini?‖
―Apa?‖
Ibunya kembali memandang ke sekeliling ruangan dengan
tajam. ―Hmm, aku sudah tahu ada yang aneh. Kulkas dan lemari di
dapur yang biasanya kosong melompong kini penuh makanan. Apartemenmu
sekarang juga terlihat jauh lebih rapi. Dan pot-pot tanaman kecil di
jendela itu… Sejak kapan kau suka menghiasi apartemenmu dengan tanaman?‖
Alex menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya dan melihat pot-
pot tanaman milik Mia yang berderet di jendela. ―Itu… Dia…‖
―Jadi kau sudah punya pacar?‖ Kali ini ayahnya yang
bertanya.
―Tidak! Alex menatap ayah dan ibunya bergantian sambil tersenyum geli.
―Ada apa dengan kalian? Aku tiba-tiba merasa
seperti anak kecil yang dituduh makan biskuit cokelat sebelum
makan malam.‖
―Jadi siapa dia?‖ tanya ibunya dengan mata berkilat-kilat
penasaran.
―Dia datang ke sini setiap hari untuk membantuku sejak aku tidak bisa
menggunakan tanganku.‖ Melihat ibunya membuka mulut
148
ingin bertanya, Alex cepat-cepat menyela, ―Tidak, dia bukan pacarku.
Dia juga tidak tinggal di sini. Dia hanya teman. Teman. Oke?‖
Alex melihat ibunya menutup mulut kembali. Namun seulas senyum kecil
tersungging di bibir ibunya dan Alex bertanya-tanya apa maksud senyum
itu.
―Teman?‖ tanya ayahnya.
―Ya, teman,‖ jawab Alex tegas. Lalu ia menambahkan, ―Lebih
tepatnya, dia itu teman Ray. Dan jangan sampai Ray tahu Mom
pernah berpikir dia itu pacarku.‖
Ibunya mengangkat alis. ―Teman Ray?‖ ―Oh.‖
―Apa maksudnya ‗oh‘?‖ tanya Alex kepada ibunya.
Ibunya hanya mengangkat bahu. ―Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir apakah
mungkin kedua putraku menyukai gadis yang
sama.‖
―Mom, apa…?‖ Alex mengerang dan menatap ayahnya
meminta bantuan.
Ayahnya juga ikut mengangkat bahu dan memutuskan tidak ikut campur dalam
perdebatan ibu dan anak itu. Ia kembali menoleh ke arah piano dan
memainkannya.
―Baiklah, kalau begitu. Karena ada banyak makanan di dapur, aku akan
membuatkan sarapan untuk kalian,‖ kata ibu Alex sambil berbalik dan
berjalan kembali ke dapur. ―Aku jadi ingin bertemu
gadis itu. Dia sudah membantumu, jadi seharusnya aku berterima
kasih padanya.‖
149
Tahu benar sifat ibunya, Alex yakin ibunya bukan sekadar ingin berterima
kasih pada Mia. Mungkin sebaiknya ia menghubungi Mia dan memberitahu
gadis itu supaya tidak perlu datang ke sini pagi ini. Ya, itulah yang
dilakukannya. Kalau orangtuanya sudah pulang, ia baru akan menyuruh
gadis itu ke sini. Namun ketika Alex hendak pergi ke kamar mengambil
ponselnya, bel interkom berbunyi.
O-oh, gadis itu sudah datang.
*****
Mia keluar dari lift dan alisnya terangkat heran melihat Alex Hirano
berdiri di depan pintu apartemennya yang tertutup. ―Kenapa kau
berdiri di situ?‖ tanya Mia heran.
―Aku baru saja mau meneleponmu,‖ kata Alex tanpa
menjawab pertanyaan Mia.
―Oh, ya? Ada apa?‖
Namun Alex lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya. Laki-laki itu menatap
wajah Mia dengan kening berkerut samar, lalu
berkata, ―Kau masih terlihat agak pucat. Bagaimana keadaanmu pagi
ini?‖
Mia mengerjap dan berdeham. ―Aku sudah sehat,‖ sahutnya.
Tanpa sadar ia mundur selangkah, tidak ingin Alex mengulurkan
tangan dan meraba keningnya seperti kemarin, karena tindakan laki-
laki itu tidak berakibat baik bagi jantungnya. Sungguh. ―Jadi kenapa
kau ingin meneleponku?‖ tanya Mia.
150
―Untuk menyuruhmu tidak usah datang hari ini,‖ sahut Alex
ringan.
―Oh? Memangnya kenapa?‖ Mia melirik pintu apartemen
yang tertutup dengan curiga. Apakah ada wanita..? Matanya kembali
mengamati Alex dari atas ke bawah. Penampilannya berantakan,
sepertinya baru bangun tidur. Apakah…?
Suara Alex menyela jalan pikiran Mia. ―Aku tidak tahu apa
yang sedang kau pikirkan, tapi kuyakinkan padamu bahwa
alasannya bukan apa pun yang kau pikirkan itu.‖
Mia tidak bisa menahan senyum mendengar nada tersinggung
dalam suara Alex. ―Jadi apa alasannya?‖
Sebelum Alex sempat menjawab, pintu apartemen terbuka di belakangnya dan
Mia melihat seorang wanita cantik berusia setengah
baya dan bertubuh kecil ramping berdiri di ambang pintu. ―Alex, sedang
apa… Oh.‖ Mata wanita itu melebar melihat Mia. Lalu ia tersenyum ramah
dan bertanya, ―Apakah kau teman Ray yang sudah membantu Alex?‖
―Ya?‖ Mia mengerjap tidak mengerti, lalu menatap Alex.
Alex mendesah pelan dan tersenyum kecil. ―Inilah alasannya,‖ gumamnya
pelan. Lalu ia berkata dengan suara lebih keras, ―Clark, ini ibuku. Mom,
ini Mia Clark.‖
Mia langsung memasang senyum dan mengulurkan tangan ke
arah ibu Alex. ―Halo, Mrs. Hirano.‖
Senyum ibu Alex mengembang dan ia menjabat tangan Mia
sambil berkata. ―Jadi kau orangnya. Senang bertemu denganmu.‖
151
Mia masih tidak mengerti apa yang dimaksud wanita itu,
tetapi ia tersenyum saja.
―Tadi aku ingin meneleponmu untuk memberitahu bahwa kau
tidak perlu datang hari ini karena ibuku ada di sini dan
ibuku
memaksa membuatkan sarapan untukku,‖ Alex menjelaskan.
Mia mengangguk-angguk. ―Oh, begitu.‖
―Tapi karena kau sudah ada di sini, kita bisa sarapan
bersama,‖ ajak ibu Alex.
Mia menatap Alex, lalu kembali menatap wanita berwajah
ramah dihadapannya. ―Tapi aku tidak ingin mengganggu…‖
Ibu Alex mengibaskan sebelah tangan. ―Tidak menggangu sama sekali,‖
selanya. ―Lagi pula, aku ingin berterima kasih padamu karena sudah
membantu anakku. Ayo, masuk.‖
Tanpa menunggu jawaban Mia, ibu Alex sudah berbalik dan
masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Mia dan Alex di sana.
―Aku…‖ Mia menatap Alex dengan bingung, meminta
pendapat.
Akhirnya Alex mendesah dan menggerakkan kepalanya ke
arah pintu. ―Masuklah. Sebaiknya kau menyapa ayahku juga sebelumnya dia
ikut keluar ke sini.‖
―Ayahmu juga ada di sini?‖ tanya Mia dan ia berhenti melangkah. Ia
mendongak menatap Alex dengan ragu. ―Apakah aku mengganggu acara
keluarga?‖
―Tidak,‖ sahut Alex. Ia meraih pergelangan tangan Mia dan
menariknya, tidak mendengar Mia yang terkesiap pelan ketika
152
tangan Alex menyentuh tangannya. ―Mereka baru tiba dari Tokyo dan mereka
hanya ingin melihat keadaanku. Tidak ada acara resmi.‖
―Ini suamiku,‖ kata ibu Alex kepada Mia ketika Mia dan Alex masuk ke
ruang duduk. Alex melepaskan tangan Mia dan Mia mendapati dirinya bisa
bernapas kembali dengan normal. Ia memaksakan seulas senyum kepada pria
berwajah serius namun memiliki senyum ramah yang sedang duduk di depan
piano Alex.
Sementara berjabat tangan dengan Mr. Hirano, Mia mendengar Mrs. Hirano
berkata kepada Alex, ―Sebaiknya kau menelepon adikmu dan suruh dia
datang ke sini untuk sarapan bersama kalau dia mau. Dan kau boleh pergi
mandi. Biar aku yang menemani Mia.‖
―Tapi…‖ Alex terlihat enggan.
Ibunya memukul bahu Alex dan mengomel, ―Tidak ada tapi-tapi. Pergi mandi
sekarang. Setelah itu kita akan sarapan.‖
Mia tersenyum melihat adegan kecil itu. Ia melihat Alex menghampirinya
dan bertanya dengan suara pelan, ―Sebaiknya aku
mandi dulu. Kau… kau tidak apa-apa, bukan?‖
Tidak mengerti kenapa laki-laki itu bertanya seperti itu, Mia hanya
tersenyum dan menggeleng. ―Tidak apa-apa. Aku akan
membantu ibumu di dapur.‖
Tiba-tiba Alex Hirano tersenyum, membuat Mia terpaku
sasaat. ―Baiklah,‖ kata Alex. ―Aku tidak tahu kenapa aku sempat
ragu meninggalkanmu bersama orangtuaku. Seharusnya aku tahu
kau pasti bisa menghadapi mereka dengan baik. Seperti biasa.‖
153
Kemudian Alex berbalik dan berjalan ke kamar tidurnya, meninggalkan Mia
yang masih berdiri mematung di tempat. Sungguh, bukan hanya sentuhan
laki-laki itu yang berakibat buruk bagi jantung Mia, tetapi senyumnya
juga. Bagaimana ini?
*****
Alex mandi secepat mungkin. Sebenarnya ia memang agak ragu meninggalkan
Mia sendirian bersama orangtuanya, terutama ibunya, karena itu ibunya
akan mulai menginterogasi Mia. Tetapi ia merasa Mia bisa menghadapi
ibunya. Mia sepertinya selalu bisa bergaul baik dengan siapa pun juga.
Walaupun begitu Alex tetap mandi dan berganti pakaian dengan cepat,
secepat yang bisa dilakukannya dengan satu tangan.
Ketika ia kembali ke ruang duduk, ia tidak menemukan siapa pun di sana.
Orangtuanya sedang duduk di bangku tinggi dan Mia sedang menuangkan kopi
untuk mereka. Mereka bertiga terlihat seperti teman lama yang sedang
minum kopi sambil bercakap-cakap. Melihat Mia dan orangtuanya di dapur
membuat Alex merasakan sesuatu yang aneh yang sulit dijelaskan.
Mia-lah yang pertama kali merasakan kehadiran Alex. Gadis itu menoleh
dan tersenyum lebar kepadanya. Dan perasaan aneh di dada Alex semakin
nyata. Apa yang terjadi padanya?
―Aku sudah menyiapkan kopimu,‖ kata Mia ketika Alex
masuk ke dapur dan duduk di bangku tinggi di samping ayahnya.
154
―Kau tahu? Mia bisa membuat kopi yang sangat enak,‖ kata
ayahnya.
―Aku tahu, Dad,‖ gumam Alex semntara Mia meletakkan
secangkir kopi dihdapannya.
Sementara ayahnya bercerita kepada Mia tentang pertunjukan orkestra yang
akan digelarnya bulan depan, Alex melihat ibunya turun dari bangku
tinggi dan berjalan ke arahnya.
―Kau tidak pernah memberitahuku bahwa Mia-lah yang
menyebabkan tanganmu cedera,‖ kata ibunya dengan suara rendah
setelah ia berdiri di samping Alex. Suaranya tidak terdengar marah,
malah Alex menangkap seberkas nada geli di sana.
―Oh, ya?‖ gumam Alex berpura-pura bodoh.
―Mia yang memberitahuku. Katanya itulah sebabnya dia memutuskan
membantumu sampai tanganmu sembuh,‖ kata ibunya
lagi.
Alex tidak berkomentar.
―Kenapa? Kenapa tidak memberitahu soal itu? Takut aku
marah-marah padanya? Takut aku melakukan sesuatu padanya atau
melakukan yang buruk padanya?‖
―Tidak,‖ sahut Alex cepat. lalu ia menatap ibunya dengan tatapan
menyelidik. ―Apakah Mom akan marah-marah padanya atau melakukan sesuatu
yang buruk padanya?‖
Ibunya mendengus pelan dan tersenyum. ―Sepertinya kita agak protektif,
bukan?‖
Alex tahu maksud ibunya dengan ―kita‖ adalah Alex sendiri.
155
―Tenang saja. Aku tidak marah.‖ Ibunya tersenyum penuh
arti. ―Sepertinya dia gadis yang baik. Ray beruntung punya teman
seperti dia.‖
―Apa?‖ Alex menatap ibunya tidak mengerti.
―Katamu di teman Ray, bukan? Dan dari apa yang kau
katakan tadi, aku mendapat kesan Ray menyukai gadis itu.‖
―Yah… Yah, begitulah,‖ sahut Alex agak ragu.
―Makanya kubilang Ray beruntung.‖
Alex menoleh menatap Mia yang sedang tertawa karena sesuatu yang
dikatakan ayah Alex. Menyadari tatapan Alex, gadis itu enoleh ke
arahnya, masih tersenyum.
―Omong-omong,‖ kata ibunya tiba-tiba dengan suara yang
lebih keras, ―aku sudah meminta Mia menelepon Ray ketika kau
mandi tadi. Kata Ray, dia akan segera datang. Mia dan aku sudah
membuat panekuk. Kalian mau makan dulu atau mau menunggu
Ray?‖
―Aku mau makan dulu,‖ sahut ayahnya cepat. ―Aku tidak yakin bisa
menunggu sampai anak itu datang.‖
―Hei, ada apa?‖
Alex mengangkat wajah dan melihat Mia sudah berdiri di hadapannya dan
menatapnya dengan tatapan bertanya. Ia tidak mungkin memberitahu gadis
itu bahwa ia merasa terusik dengan kata-kata ibunya tadi, jadi ia hanya
tersenyum kecil dan menggeleng.
―Tidak apa-apa.‖
―Kau mau makan sekarang?‖ tanya Mia.
―Tentu.‖
156
Mia tersenyum. ―Aku akan memotong-motong panekuknya
jadi kau bisa langsung memakannya dengan satu tangan.‖
―Kulihat kau sudah berteman baik dengan orangtuaku,‖
gumam Alex, masih heran melihat bagaimana gadis itu bisa dengan
mudahnya mendekatkan diri dengan orang-orang.
―Orangtuamu sangat menyenangkan,‖ kata Mia sambil
mengangkat bahu.
Alex baru membuka mulut hendak mengatakan sesuatu ketika
bel interkom berbunyi.
Mia menoleh ke arah pintu dan berkata, ―Ah, Ray sudah
datang.‖
157
Bab Lima Belas
KIM HIRANO diam-diam mengamati kedua putranya selama
sarapan. Ray jelas-jelas menyukai Mia Clark. Semua itu terlihat dari
caranya memandang, caranya berbicara, dan caranya tersenyum kepada gadis
itu. Astaga, Ray bahkan tidak berusaha menyembunyikannya. Gadis itu
pastilah buta atau benar-benar bodoh kalau tidak menyadari Ray
menyukainya.
Sedangkan Alex… Kim tidak tahu apa yang dipikirkan putra sulungnya. Anak
itu lebih sulit dibaca daripada adiknya. Alex lebih pendiam daripada
Ray, lebih tenang dan lebih pandai menyembunyikan perasaan. Tetapi
sesekali Kim melihat Alex memandang ke arah Mia Clark ketika gadis itu
tidak menyadarinya. Kim tidak bisa mengartikan pandangan itu, tetapi ia
yakin ada sesuatu di sana. Ada sesuatu yang terjadi antara Alex dan
gadis itu. Sesuatu yang masih belum jelas.
Menurut pengamatan Kim, di antara kedua putranya, Ray-lah yang terlihat
lebih akrab dengan Mia. Ray-lah yang lebih sering mengobrol dengan Mia
dan melibatkan Mia dalam percakapan di meja makan. Tetapi anehnya,
kelihatannya Alex-lah yang lebih mengenal gadis itu. Kim melihat
bagaimana Alex mengambil serbet dan mengulurkannya kepada Mia ketika
melihat gadis itu mencari-
158
cari sesuatu. Kim juga melihat bagaimana Alex otomastis mendorong
mangkuk kecil berisi potongan lemon di atas meja di hadapannya ke arah
Mia ketika gadis itu keluar dari dapur sambil membawa cangkir teh dan
duduk di antara Alex dan Ray di meja makan.
Ini menarik, pikir Kim. Ray lebih akrab dengan Mia, tetapi Alex-lah yang
lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan Mia. Bagaimana dengan gadis itu
sendiri? Kim penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran Mia Clark.
Mia sepertinya memperlakukan Ray dan Alex dengan cara yang sama.
Sepertinya ia tidak memiliki ketertarikan khusus pada salah satu putra
Kim. Gadis itu menatap mereka dengan cara yang sama, berbicara dengan
mereka dengan cara yang sama, dan tersenyum kepada mereka dengan cara
yang sama.
Alis Kim berkerut samar. Apakah gadis itu tidak tertarik pada kedua
laki-laki tersebut? Lebih buruk lagi, apakah gadis itu hanya
mempermainkan mereka? Tidak, tidak mungkin. Sikapnya tidak seperti sikap
wanita yang suka mempermainkan dua pria sekaligus. Kim cukup yakin
tentang hal itu. Ia percaya pada nalurinya. Naluri wanita tidak boleh
diremehkan. Kali ini naluri Kim berkata bahwa Mia Clark tidak sedang
mempermainkan kedua putranya. Mungkin Mia memang tidak tertarik pada
mereka berdua.
Anak-anakku yang malang, desah Kim dalam hati.
Saat itu Mia berdiri dan mengangkat piringnya yang sudah kosong, lalu ia
menoleh ke arah Alex yang duduk di sampingnya. Alex mengangguk kecil
dan Mia juga mengangkat piring Alex. Lalu Mia terlihat mengatakan
sesuatu kepada Alex. Kim tidak bisa
159
mendengar apa yang dikatakan Mia karena saat itu Ray dan ayahnya sedang
membicarakan topik yang menurut mereka seru. Golf. Kim juga pura-pura
tertarik pada golf dan sesekali ikut menimpali obrolan mereka walapun
diam-diam terus melirik Alex dan Mia.
Sepertinya Mia bertanya kepada Alex apakah ia mau kopi lagi, karena Alex
menunduk menatap cangkir kopinya yang hampir kosong dan mengangguk.
Kemudian ketika Mia meletakkan piring Alex ke atas piringnya di tangan
kiri dan hendak meraih cangkir kopi Alex dengan tangan kanannya, Alex
menghentikannya. Ia mengatakan sesuatu dan menggerakkan tangannya
memberi isyarat. Mia pun meninggalkan meja dan berjalan ke dapur. Alex
meraih cangkir kopinya dan menyusul Mia ke dapur.
Kim harus mengubah posisi duduknya supaya bisa melirik ke arah dapur. Ia
melihat Alex duduk di salah satu bangku tinggi di sana sementara Mia
menuangkan kopi ke cangkir Alex. Mia mengatakan sesuatu yang membuat
Alex tersenyum. Lalu gadis itu sendiri juga tersenyum.
Kim tertegun. Tidak, perkiraannya tadi salah. Dari apa yang dilihatnya,
Mia Clark mungkin saja berbicara kepada Ray dan Alex dengan cara yang
sama. Ia mungin saja tersenyum kepada mereka berdua dengan cara yang
sama. Tetapi ia sudah pasti tidak menatap mereka dengan cara yang sama.
Itu tidak diragukan lagi.
Karena Kim Hirano melihat perbedaannya dengan mata kepala sendiri.
Ini menarik sekali.
160
*****
―Jadi kau akan membantu ayahmu mengurus penyelenggaraan
pertunjukan okestranya?‖ tanya Mia pada Alex yang duduk di
hadapannya sambil menyesap kopi yang baru dituangkan untuknya.
Alex mengangguk, lalu mendengus pelan, ―Kau tidak dengar
apa kata ayahku tadi? Katanya dia senang aku tidak bisa menggerakkan
tanganku dan terpaksa membatalkan konser-konserku, karena dengan begitu
aku baru punya waktu untuk
membantu mengurus orkestranya.‖ Ia menatap Mia sejenak, lalu
menggerutu, ―Tadinya kupikir dia akan berterima kasih padamu
karena sudah membuat tanganku patah.‖
Mia menyipitkan mata mendengar kata-kata terakhir Alex,
tetapi ia memutuskan untuk mengabaikannya dan berkata, ―Tapi kurasa kau
juga senang bisa membantu ayahmu.‖
Alex mengangkat bahu acuh tak tacuh. ―Bagaimanapun, aku sedang tidak
sibuk. Jadi aku punya waktu luang untuk
membantunya.‖
Mia memutar bola matanya dan menggeleng-geleng.
―Jadi,‖ gumam Alex sambil menatap Mia dengan ragu,
―karena aku harus mulai bekerja dengannya besok, aku akan jarang
ada di rumah.‖
―Oh.‖
161
Alex masih terlihat ragu, tetapi kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku
celananya dan meletakkannya di atas meja dapur. Mia menatap benda yang
tergeletak di atas meja itu. Kunci?
―Kunci?‖ tanyanya tidak mengerti dan kembali menatap Alex. ―Itu kunci
pintu bawah dan kunci apartemen ini,‖ gumam Alex cepat. ―Dengan begitu
kau bisa datang ke sini walaupun aku
tidak ada di rumah.‖
Mia mengerjap. ―Tapi kenapa?‖
Mata Alex menyipit menatapnya. ―Kau belum lupa bahwa kau harus
membersihkan apartemenku setiap hari, bukan?‖ tanyanya.
Oh. Mia baru mengerti. ―Oh,‖ gumamnya. Benar. Ia masih
harus membersihkan apartemen laki-laki itu. Kenapa tadi ia berpikir…?
Mia menggeleng-gelengkan kepala untuk menyadarkan
diri.
―Dan kau juga harus mengurus tanaman-tanamanmu,‖
tambah Alex.
―Tentu,‖ kata Mia sambil meraih kunci di atas meja.
―Tapi kau tidak perlu menyiapkan makanan untukku,‖ tambah Alex. ―Salah
satu keuntungan bekerja dengan ayahku adalah dia yang akan memastikan
aku makan dengan teratur.‖
Mia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aneh sekali. Kenapa ia tiba-tiba
merasa kesepian?
―Kalau aku membutuhkan bantuan atau apa pun, aku akan
meneleponmu,‖ tambah Alex.
Mia mengangguk lagi dan menarik napas dalam-dalam untuk menyingkirkan
sebersit perasaan kecewa dalam dadanya.
162
Sejenak mereka berdua tidak berkata apa-apa. Mia hanya menunduk menatap
kunci di tangannya dan Alex kembali menyesap kopinya. Beberapa detik
kemudian keheningan itu dipecahkan oleh
suara riang Ray. ―Hei, kalian. Apa yang sedang kalian bicarakan?‖
tanyanya sambil berjalan ke arah kulkas, membukanya dan
mengambil sebotol air.
―Tentang aku yang akan membantu Dad mengurus pertunjukan orkestranya,‖
sahut Alex ringan.
Ray berdiri di samping Mia dan tersenyum lebar. ―Itu berita bagus untuk
kalian berdua,‖ katanya. Ia menggerakkan botol air yang dipegangnya ke
arah Alex dan melanjutkan, ―Kau jadi punya kesibukan dan Mia jadi punya
waktu luang. Bagus, bukan?‖
Alex mengangkat bahu. ―Tentu. Kalau kau berkata begitu.‖ Ray menoleh
menatap Mia. ―Jadi apakah kau sudah tahu apa
yang ingin kau lakukan untuk mengisi waktu luangmu?‖
Mia tersenyum. ―Belum,‖ sahutnya. ―Aku baru tahu hari ini
bahwa aku akan punya banyak waktu luang. Tapi kurasa banyak yang bisa
kulakukan. Aku punya lebih banyak waktu untuk latihan. Aku juga bisa
keluar dan menghabiskan waktu dengan teman-
temanku lagi karena aku tidak perlu selalu berada di sini.‖
Mia mengabaikan tatapan yang dilemparkan Alex ke arahnya.
―Kau selau bisa meneleponku kalau sedang bosan,‖ kata Ray menawarkan
diri. ―Kau tahu aku akan senang hati menemanimu.‖
Mia tertawa. ―Bukankah kau tadi bilang Groovy Crew akan sibuk dengan
kampanye hip-hop yang akan dimulai minggu depan?‖
163
―Aduh, kau benar,‖ erang Ray. ―Aku lupa soal itu. Yah, kurasa aku bisa
menemanimu setelah kampanye itu selesai.‖
―Tentu,‖ sahut Mia ringa. ―Telepon saja aku kalau kau sudah punya
waktu.‖
Lagi-lagi Mia merasa Alex menatapnya, tetapi ketika ia menoleh ke arah
laki-laki itu, Alex sudah memalingkan wajah dan menatap ke arah lain.
Memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu, Mia melirik jam tangannya dan
berkata, ―Aku harus pergi sekarang.‖
―Ke Small Steps?‖ tanya Ray.
Mia mengangguk. Ia menoleh ke arah Alex dan bertanya,
―Kau mau aku datang lagi nanti sore?‖
Alex tidak langsung menjawab. Ia menunduk menatap kopinya sambil
berpikir-pikir, lalu akhirnya mendongak menatap
Mia dan berkata, ―Tidak, tidak perlu.‖
Mia tertegun mendengar nada tajam dalam suara Alex. Mata yang menatap
Mia pun kini terlihat datar tanpa ekspresi seolah-olah Alex Hirano yang
dikenal Mia selama beberapa hari terakhir ini tiba-tiba menghilang tanpa
bekas dan laki-laki itu kembali ke dirinya semula, seperti ketika
pertama kali Mia bertemu dengannya. Apa yang terjadi?
―Oh,‖ gumam Mia serak. Kenapa suaranya mendadak serak? Ia berdeham dan
melanjutkan, ―Baiklah kalau begitu. Sebaiknya aku berpamitan kepada
orangtua kalian.‖ Ia hendak berjalan ke ruang
duduk ketika teringat sesuatu. Ia menoleh dan bertanya kepada Alex
yang masih duduk di tempatnya, ―Apakah kau melihat kunci
164
mobilku? Sepertinya kunci mobilku tertinggal di sini kemarin
malam.‖
―Kunci mobil?‖ tanya Ray Heran.
―Mungkin ada di meja di ruang duduk. Coba cari saja di
sana,‖ sahut Alex datar.
Mia mengangguk, lalu keluar ke ruang duduk untuk mencari kunci mobilnya
dan berpamitan pada Mr. dan Mrs. Hirano.
*****
―Mia, bagaimana kunci mobilmu bisa tertinggal di tempat Alex?‖
tanya Ray ketika mereka sudah keluar dari gedung apartemen Alex dan
masuk ke mobil Mia.
Ketika Mia berpamitan dengan orangtuanya, Ray memutuskan ikut dengan
gadis itu ke Small Steps. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu bisa
meninggalkan kunci mobilnya di tempat Alex sementara Ray melihat sendiri
gadis itu meninggalkan apartemen Alex kemarin sore setelah mengantar
Alex ke rumah sakit untuk diperiksa. Gadis itu mungkin kembali ke
apartemen Alex setelah mengajar karena Alex sendiri yang berkata bahwa
ia tidak membutuhkan bantuan Mia ketika Ray bertanya padanya sebelum
mengajak Mia makan malam bersama. Bukankah begitu?
―Oh, aku datang ke sini kemarin malam,‖ jawab Mia sambil
melirik kaca spion sebelum melajukan mobilnya di jalan.
165
Kening Ray berkerut. Mia membatalkan janji makan malan
mereka karena katanya ia sedang tidak enak badan, tetapi kenapa…? ―Tapi
Kau bilang kau merasa tidak enak badan kemarin.‖
―Memang,‖ sahut Mia sambil lalu, ―tapi dia memintaku
datang.‖
―Alex?‖
―Ya.‖
―Kenapa dia memintamu datang? Aku sudah
memberitahunya bahwa kau sedang tidak enak badan dan dia masih
memintamu ke sana?‖
―Sebenarnya dia sudah berusaha menghubungiku untuk
menyuruhku tidak usah datang setelah dia tahu aku sedang tidak enak
badan. Tapi aku sudah terlanjur dalam perjalanan dan ponselku
tertinggal di rumah,‖ jelas Mia.
Ray menatap gadis di sampingnya. Keningnya masih berkerut.
―Lalu kenapa dia memintamu ke sana?‖
―Dia ingin aku menyiapkan makan malam untuknya.‖ ―Apa? Dia…‖
―Saat itu aku juga belum makan dan aku lapar,‖ sela Mia sambil tersenyum
menenangkan Ray. ―Lagi pula aku sudah minum obat dan sudah merasa lebih
baik saat itu, jadi tidak masalah.‖
―Jadi kalian makan bersama?‖
Mia mengangguk. ―Setelah itu dia mengantarku pulang.
Mobilku kutinggal di rumah kakakmu.‖ ―Alex mengantarmu pulang?‖
166
Mia mengangguk lagi, sama sekali tidak menyadari perubahan nada suara
Ray.
Ray memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela. Ia tidak tahu apa
yang seharusnya dipikirkannya setelah mendengar bahwa Mia membatalkan
janji makan malam dengannya tetapi akhirnya makan malam bersama Alex. Ia
akui ia tidak suka mendengarnya, tetapi Mia juga bukannya sengaja
membatalkan janji dengannya gara-gara Alex. Walaupun Alex sudah tidak
lagi bersikap sinis dan dingin pada Mia—dan itu perubahan yang bagus—Ray
tidak bisa membayangkan Alex mengejar-ngejar Mia dan berusaha menarik
perhatiannya.
Ray tidak tahu apakah ia harus merasa cemburu pada kakaknya.
167
Bab Enam Belas
“MIA… Mia…
Mia…!‖
Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap Lucy yang
duduk di hadapannya. ―Apa?‖
―Kau melamun lagi?‖ tanya Lucy dengan nada menuduh,
walaupun seulas senyum kecil tersungging di bibirnya.
―Tidak,‖ sahut Mia dan menyesap tehnya yang ternyata sudah
dingin. Sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini? Entahlah.
―Akhir-akhir ini kau sering melamun,‖ tambah lucy sambil mengamati Mia
dengan tajam. ―Kau tidak mendengar kata-kataku tadi, bukan?‖
Mia mengabaikan pertanyaan temannya. ―Apa yang kau katakan tadi?‖ ia
balas bertanya.
Lucy menyandarkan punggung ke sandaran kursi. ―Hari ini
Billy berulang tahun dan dia ingin mengajak kita makan malam. Kau
ikut, bukan?‖
Mia mengangkat bahu, lalu mengangguk. ―Tentu. Kenapa
tidak?‖
Lucy mendecakkan lidah melihat sikap temannya. ―Kau
terlihat antusias sekali,‖ katanya sinis. Lalu ia tertawa kecil. ―Kau
tahu, Billy sebenarnya ingin mengajakmu makan malam berdua, tapi
168
karena dia terlalu pemalu dan pengecut akhirnya dia juga mengajakku dan
Rick. Entah dia ingin menjodohkanku dengan Rick atau dia hanya butuh
pendamping untuk berkencan denganmu, tapi yang pasti dia tidak tahu
bahwa Rick juga bermaksud
mendekatimu.‖
Mia mengaduk-aduk tehnya dengan pelan. Ia mengabaikan kalimat terakhir
Lucy dan memutuskan mengomentari yang pertama. ―Kenapa harus malu? Aku
tidak pernah menolak ajakan
makan malam.‖
―Kau tahu sendiri waktu itu kau sempat sibuk mengurus
kakak Ray dan tidak punya waktu untuk teman-temanmu. Bahkan
aku juga jarang melihatmu,‖ kata Lucy. ―Untunglah dua minggu
terakhir ini dia tidak mengganggumu, jadi kau punya waktu untuk
bernapas sedikit dan bersantai.‖
Mia tersenyum mendengar gerutuan Lucy, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia
kembali memandang ke luar jendela dan memandangi para pejalan kaki yang
lalu-lalang. Tanpa sadar ia menghela napas panjang dan mengembuskannya
dengan perlahan.
Sudah dua minggu ia tidak bertemu Alex Hirano karena laki-laki itu sibuk
dengan pertunjukan orkestra yang akan diselenggarakan ayahnya. Selama
dua minggu terakhir ini Mia ke apartemen laki-laki itu setiap pagi untuk
bersih-bersih. Kalau dipikir-pikir sebenarnya Mia tidak perlu pergi ke
apartemen itu setiap hari, karena apartemen itu tidak mungkin berubah
berantakan dalam sehari. Bagaimanapun, Alex Hirano hampir tidak pernah
ada di rumah.
169
Lalu kenapa Mia pergi ke sana setiap hari? Entahlah. Mungkin karena ia
sudah terbiasa berada di apartemen itu. Mungkin juga karena ia berharap
bisa bertemu dengan laki-laki itu, walau hanya sebentar.
Tetapi kenapa aku ingin bertemu dengan Alex Hirano? Mia menarik napas
dalam-dalam. Entahlah… Namun, harapannya tidak terkabul. Ia sama sekali
tidak bertemu dengan laki-laki itu. Alex juga tidak pernah
menghubunginya dan tidak pernah meninggalkan pesan apa pun untuk Mia di
apartemennya.
Apalagi seminggu terakhir ini Mia mendapati ranjang laki-laki itu tidak
ditiduri. Itu berarti sudah seminggu Alex Hirano tidak pulang ke
apartemennya. Lalu ke mana dia?
Mia mendesah pelan dan merasa konyol. Konyol dan kesepian. Perasaan
kesepian yang tidak pada tempatnya itu membuatnya merasa lebih konyol
lagi.
―Oh, berhentilah mendesah.‖ Suara Lucy membuyarkan lamunan Mia. ―Ada apa
denganmu?‖
―Tidak ada apa-apa.‖
―Kalau begitu, waktu istirahat selesai. Ayo, kita lanjutkan acara
belanja kita,‖ kata Lucy sambil mengumpulkan kantong-
kantong plastik yang diletakkan di lantai di dekat kursinya.
Mia tertawa, seraya meraih kantong-kantong belanjaannya
sendiri.
―Setelah ini kau ikut pulang ke apartemenku saja supaya nanti malam kita
bisa pergi ke acara ulang tahun Billy bersama,‖ usul Lucy.
Mia mengangkat bahu. ―Baiklah.‖
170
―Kata Billy, dia sudah memesan tempat di Ramses,‖ celetuk
Lucy.
―Ramses?‖ ulang Mia heran. Ia pernah mendengar tentang
restoran yang terkenal itu. Sulit sekali mendapatkan meja di sana kalau
kau tidak memesan jauh-jauh hari sebelumnya.
Lucy tersenyum. ―Dia ingin membuatmu terkesan. Kasihan anak itu. Apakah
dia belum sadar bahwa dia berusaha mendekati Mia Clark yang tidak ingin
didekati laki-laki manapun?‖
*****
―Makan malam di luar?‖ tanya Alex sambil mendongak menatap
ayahnya dari tempat duduknya. Ia dan ayahnya sedang membahas beberapa
hal mengenai pertunjukan di ruang kerja ayahnya ketika ayahnya berkata
bahwa ia akan mentraktir beberapa musisi yang bergabung dalam
orkestranya makan malam di luar hari ini.
―Ya, aku sudah memesan meja di restoran temanku,‖ jawab
ayahnya.
Alex meringis. ―Dad, bagaimana kalau aku tidak ikut?‖ ―Memangnya kenapa?
Ada acara?‖
―Tidak. Hanya lelah,‖ sahut Alex sambil memutar-mutar bolpoin di antara
jemari tangan kanannya. ―Dan malas berbasa-basi dengan orang lain. Aku
makan malam di rumah saja.‖
―Hari ini ibumu pergi seharian bersama teman-temannya.
Katanya dia akan pulang setelah makan malam,‖ kata ayahnya.
Alex mengerang
171
―Ikut saja,‖ desak ayahnya sambil tersenyum. ―Kau tahu, aku
sudah janji pada gadis-gadis itu bahwa aku akan memaksamu ikut
malam bersama kami.‖
Alex menatap ayahnya dengan curiga. ―Gadis-gadis yang
mana?‖
―Gadis-gadis muda yang tergabung dalam orkestraku. Pemain
biola.‖ Ayahnya terkekeh. ―Mereka sangat terkesan padamu.
Sepertinya mereka berpikir tanganmu yang diperban itu sangat
seksi.‖
Alex mendengus. ―Aku sungguh tidak punya waktu untuk ini,‖ gerutunya
pelan.
Saat itu terdengar ketukan di pintu ruang kerja ayahnya dan
salah seorang pegawai ayahnya melongokkan kepala dari balik pintu.
―Mr. Hirano, boleh bicara sebentar?‖
―Tentu.‖ Ayahnya bangkit dari kursi dan berjalan ke arah
pintu. Tetapi sebelum keluar, ia menoleh ke arah Alex dan berkata,
―Jadi kau ikut makan dengan kami atau tidak?‖
―Biar kupikir-pikir dulu.‖
Ayahnya mengangkat bahu, lalu keluar meninggalkan Alex sendirian di
ruang kerjanya.
Alex menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan menatap langit-langit.
Ia benar-benar lelah. Yang diinginkannya hanya pulang ke rumah dan
beristirahat. Tetapi ibunya tidak akan ada di rumah, jadi tidak ada
orang yang akan menyiapkan makan malam untuknya. Ia mendengus kesal.
172
Tetapi ia masih punya pilihan lain. Ia bisa menelepon Mia Clark dan
menyuruh gadis itu datang ke apartemennya lalu membuatkan makan malam
untuknya, itu pilihan utamanya dan pilihan yang paling menarik.
Sudah dua minggu terakhir ini Alex tidak bertemu dengan Mia, dan selama
dua minggu terakhir ini ia berulang kali ingin menelepon gadis itu,
tetapi akhirnya selalu tidak jadi. Kenapa? Karena ia tidak tahu apa yang
harus dikatakannya kepada gadis itu. Apakah aku sedang menghindari Mia
Clark? Pikir Alex. Bisa dibilang begitu. Gadis itu membuat perasaannya
kacau. Berada di dekat Mia Clark membuat Alex bingung. Ia jadi tidak
mengerti apa yang diinginkannya dan apa yang dirasakannya sendiri.
Walaupun begitu, Alex tetap ingin bertemu dengan gadis itu. Ingin
mendengar suaranya. Demi Tuhan, jangan tanya kenapa karena Alex sendiri
tidak mengerti dan tidak mau memikirkannya terlalu jauh.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menatap benda itu selama beberapa saat. Ia
sedang berpikir apakah sebaiknya menelepon gadis itu atau tidak ketika
sesuatu terpikirkan olehnya.
Kenapa Mia Clark juga tidak berusaha menghubunginya selama ini?
Alex memberengut memikirkan pertanyaan itu. Kalau gadis itu memang tulus
ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dan ingin membantu Alex,
seharusnya ia menelopon Alex untuk memastikan Alex baik-baik saja,
bukan? Seharusnya ia menelepon
173
Alex dan bertanya apakah Alex membutuhkan bantuannya, bukan? Seharusnya
begitu, bukan? Tidak?
Kerutan di kening Alex semakin dalam sementara ia menatap ponselnya
seolah-olah ponselnya sudah melakukan kesalahan besar padanya. Gadis itu
pasti sedang bersenang-senang saat ini, pikir Alex, karena akhirnya ia
punya waktu luang untuk melakukan apa pun yang ingin dilakukannya.
Setelah berpikir dengan perasaan jengkel, akhirnya Alex menekan beberapa
tombol di ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Beberapa saat
kemudian, ―Dad? Aku akan ikut makan malam
dengan kalian. Di mana tempatnya?‖ ia mendengar jawaban
ayahnya. ―Ramses? Baiklah.‖
174
Bab Tujuh Belas
“INI pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Ramses,‖ kata Lucy
dengn nada senang ketika ia dan Mia melangkah masuk ke dalam
restoran yang dinobatkan sebagai salah satu restoran paling bergengsi di New York.
―Berterimakasihlah pada Billy,‖ gumam Mia sambil
tersenyum.
―Oh, ya, aku akan berterima kasih padanya,‖ sahut Lucy, ―walaupun
dia melakukan semua ini hanya karena ingin membuatmu terkesan.‖
Mia mengabaikan kata-kata temannya dan tersenyum kepada
maître ď yang menyambut mereka. ―Billy Parkinson,‖ kata Mia ketika sang
maître ď bertanya apakah mereka sudah memesan tempat.
―Silahkan ikut saya.‖ Sang maître ď berjalan mendahului mereka masuk ke
ruangan utama.
Saat itu waktunya makan malam dan restoran itu cukup ramai. Mia tidak
melihat ada meja yang kosong yang berarti cerita tentang sulitnya
mendapatkan meja di Ramses memang benar. Para pelayan mengenakan seragam
putih bersih, para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka, ruangan itu
luas dan berkelas. Mia yakin makanannya juga pasti sangat lezat. Dan
mahal tentu saja.
175
―Apakah menurutmu mereka sudah datang?‖ tanya Mia pada
Lucy.
―Entahlah,‖ jawab Lucy. ―Oh, itu mereka.‖
Mia melihat Billy dan Rick, teman-temannya sesama penari, melambai ke
arah mereka. Ia tersenyum lebar dan balas melambai.
―Clark?‖
Suara itu membuat Mia menoleh dan matanya melebar kaget melihat orang
yang berdiri di dekat bar.
Alex Hirano.
Lalu jantung Mia mulai berdebar dua kali lebih cepat. Oh, celaka.
Alex Hirano menatapnya sejenak, lalu perlahan-lahan seulas
senyum tersungging di bibirnya. ―Aku tidak menyangka bertemu
denganmu di sini, Clark. Ini benar-benar kejutan.‖
Mia membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tidak ada kata-kata yang
keluar. Ia tidak menyangka melihat sosok Alex Hirano setelah sekian lama
lelaki itu membuat pikirannya kacau.
―Mia?‖
Kepala Mia berputar lagi. Kali ini ia menatap Lucy yang sedang
menunggunya dan menatapnya dengan heran. Billy dan Rick yang berdiri
dari kursi mereka juga menatapnya. Ah, ia harus menyapa teman-temannya
lebih dulu. Tapi…
Ia kembali menoleh ke arah Alex dan berkata, ―Tunggu
sebentar. Tetap di situ. Aku akan segera kembali.‖
176
Mia meninggalkan Alex dan menghampiri teman-temannya.
―Hai, Rick. Hai, Billy. Selamat ulang tahun,‖ katanya sambil
tersenyum lebar, memeluk Billy sekilas dan mencium kedua pipinya.
―Aku tidak menyangka kau akan mengundang kami makan
malam di sini,‖ kata Lucy.
Wajah Billy berseri-seri. Ia menggumamkan sesuatu yang
tidak jelas, lalu mempersilakan mereka duduk.
―Ah, maaf. Aku tadi meihat seorang temanku di bar. Aku ingin menyapanya
dulu,‖ sela Mia. ―Kalian boleh memesan dulu kalau mau.‖
Lucy mencengkeram pergelangan tangan Mia dan berbisik,
―Siapa laki-laki itu?‖
―Alex,‖ Mia balas berbisik. ―Oh, Alex yang itu.‖
―Kau mau kami memesankan sesuatu untukmu?‖ tanya Billy. Mia tersenyum.
―Tentu. Pesankan apa saja untukku. Aku akan
segera kembali.‖
Ia meninggalkan teman-temannya dan berjalan kembali ke bar. Alex Hirano
masih ada di sana, duduk di salah satu bangku tinggi, sedang mengatakan
sesuatu kepada bartender yang bertugas. Saat itu debar jantung Mia sudah
kembali normal, karena itu ia bisa tersenyum kepada Alex ketika
laki-laki itu berbalik menghadapnya.
―Hai. Maaf, tadi aku ingin menyapa mereka dulu,‖ kata Mia
sambil menggerakkan ibu jarinya ke arah meja yang ditempati
teman-temannya.
177
Alex menatap arah yang ditunjuk dan mengangguk kecil.
―Kencan ganda?‖ tanyanya dengan nada datar.
Mia ragu sejenak. ―Yah… Ya, mungkin bisa dibilang begitu.‖ ―Tentu saja,‖
gumam Alex, masih dengan datar yang sama.
Lalu ia mendengus pelan. ―Semua orang juga bisa menduganya dari pelukan
dan ciuman tadi.‖
―Apa?‖ Mia tidak mengerti apa maksud Alex, tetapi laki-laki itu balas
bertanya, ―Kau sendiri sedang apa di sini?‖
Alex menggerakkan kepalanya ke arah meja panjang yang
ditempati banyak orang. ―Aku datang bersama ayahku, dan beberapa
anggota orkestranya.‖
―Oh, ayahmu juga ada di sini?‖
―Ya, dia ada di sana. Kau mau menyapa?‖
Mia menoleh ke arah meja yang ditunjuk dan menggeleng.
―Nanti saja. Kelihatannya dia sedang membahas hal penting dengan
temannya.‖
Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Alex mengetuk bangku di
sampingnya dengan jari telunjuk. ―Duduklah.‖
Mia menurut. ―Sudah lama kita tidak bertemu. Jadi bagaimana
kabarmu?‖ tanyanya ringan, mencoba berbasa-basi, mencoba meredakan
kekesalan Alex, walaupun ia tidak tahu kenapa laki-laki itu terlihat
kesal, walaupun ia juga tidak tahu kenapa ia merasa perlu menghibur
laki-laki itu.
Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. ―Biasa saja.‖
―Bagaimana tanganmu?‖
178
Alex mengangkat tangan kirinya, menunjukkannya kepada
Mia. ―Aku sudah bisa menggerakkan pergelangan tanganku sedikit. Jadi
kata dokter tanganku akan sembuh total.‖
―Itu berita bagus, bukan?‖ kata Mia gembira.
―Begitulah,‖ gumam Alex. Lalu ia menatap Mia dan bertanya, ―Kau sendiri?
Bagaimana kabarmu?‖
―Sangat baik,‖ sahut Mia sambil tersenyum cerah untuk
menegaskan ucapannya.
Entah kenapa Alex sepertinya tidak percaya. Ia menatap wajah Mia dengan
tajam dan rasa panas mulai menjalari pipi Mia.
―Apa? Kenapa?‖ tanya Mia agak resah.
―Kau terlihat pucat. Dan lelah,‖ gumam Alex dan keningnya
berkerut samar. Ia menatap Mia dari atas ke bawah, lalu kembali
menatap wajahnya. ―Kau juga lebih kurus. Kau yakin baik-baik saja?‖
Mia menahan napas. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu? Teman-teman
dekatnya sendiri tidak pernah berkomentar tentang wajahnya yang pucat
atau berat badannya yang berkurang.
―Berapa jam kau tidur semalam?‖
Suara Alex membuat Mia tersentak. ―Apa?‖ ―Berapa jam kau tidur semalam?‖
ulang Alex.
―Setelah dua minggu menghilang tanpa kabar, kau ingin tahu berapa jam
aku tidur semalam?‖ tanya Mia sambil mengangkat alis.
Ya, ia memang mencoba mengalihkan pembicaraan.
―Aku tidak menghilang tanpa kabar.‖
Mia memutar bola matanya. ―Aku pergi ke apartemenmu setiap hari dan
tidak melihatmu di sana.‖
179
Alex tersenyum samar dan berkata. ―Aku pergi pagi-pagi
sekali untuk sarapan bersama ayahku dan kami sibuk bekerja
sepanjang hari.‖
―Dan kau bahkan tidak pulang sama sekali selama seminggu
terakhir,‖ tambah Mia, berusaha membuat suaranya terdengar acuh tak
acuh.
Alex menoleh menatap Mia dengan alis terangkat dan baru hendak
mengatakan sesuatu ketika suara seorang wanita menyela
pembicaraan mereka. ―Alex? Tadi katanya kau mau memesan
minuman?‖
Mata Mia langsung beralih ke gadis jangkung berambut cokelat panjang
yang muncul di belakang Alex. Lalu matanya bergerak turun dan berhenti
di tangan gadis itu yang menyentuh lengan Alex.
―Aku sudah memesannya. Nanti mereka akan mengantar minumannya ke meja,‖
sahut Alex sambil tersenyum kecil kepada gadis itu. ―Tunggu saja di
sana. Aku ingin berbicara sebentar dengan temanku.‖
―Oh, baiklah,‖ gumam gadis berambut cokelat itu sambil
menatap Mia dan tersenyum tipis—yang dibalas Mia dengan senyum
manis yang dipaksakan—sebelum berbalik dan kembali ke mejanya.
―Hm, sekarang aku mengerti kenapa kau tidak pulang ke
rumah,‖ gumam Mia datar.
Alex menoleh menatapnya. ―Apa maksud…? Wow, tahan
pikiran itu, Clark. Aku tidak tahu kenapa aku menjelaskan ini
180
kepadamu, tapi seminggu terakhir ini aku tinggal di rumah orangtuaku.‖
―Kau benar. Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa kepadaku. Aku juga tidak
tahu kenapa aku sempat khawatir karena kau tidak pulang,‖ gumam Mia
sebelum bisa menahan diri.
Alex mengeluarkan suara yang setengah tertawa setengah mendengus.
―Clark, kalau kau memang benar-benar khawatir
padaku, kau bisa meneleponku, kau tahu?‖
Mia menatap Alex dengan mata disipitkan. ―Aku memang
sempat berpikir untuk meneleponmu, tapi kemudian aku ingat kau pernah
berkata bahwa kau akan meneleponku kalau kau butuh bantuan. Jadi kupikir
karena kau tidak menelponku, maka kau akan pasti baik-baik saja.‖
Alex balas menatap Mia sambil tersenyum kecil, ―Sesuatu
yang buruk mungkin saja terjadi padaku selama itu. Mungkin aku
membutuhkan bantuanmu, tapi aku tidak bisa meneleponmu. Mungkin ponselku
hilang atau dicuri orang. Atau…‖
―Kalau sesuatu terjadi padamu, aku yakin orangtuamu adalah orang-orang
pertama yang tahu, mengingat kau bekerja dengan ayahmu selama ini. Dan
kalau sesuatu terjadi padamu, orangtuamu akan memberitahu Ray dan Ray
pasti akan memberitahuku,‖ Mia menyimpulkan dengan nada puas.
Alex mendengus lagi. ―Kurasa sebenarnya kau memang tidak
pernah mengkhawatirkan keadaanku. Kurasa kau terlalu sibuk
menikmati waktu luangmu.‖
181
Mia mengangguk. ―Tentu saja aku senang karena tidak perlu mengurusmu
sepanjang hari dan punya waktu lebih untuk
melakukan apa pun yang ingin kulakukan.‖
―Misalnya apa? Berkencan dengan pengangummu?‖
Mia tidak tahu kenapa Alex sepertinya mulai kesal lagi. Astaga,
laki-laki ini benar-benar menyulitkan. Memutuskan membiarkan laki-laki
itu berpikir sesuka hatinya, Mia menjawab
ringan, ―Mungkin.‖
Alex tidak menatap Mia, tetapi Mia bisa melihat rahangnya mengertak. Mia
heran, tetapi ia sungguh tidak ingin berada di dekat Alex kalau suasana
hati laki-laki itu sedang buruk. Jadi ia berkata,
―Sebaiknya aku kembali kepada teman-temanku.‖
―Ya, sebaiknya kau kembali kepada teman kencanmu.‖
Mia mendesah mendengar suara Alex yang bernada
mencemooh itu. ―Kau juga sebaiknya kembali kepada temanmu,‖ katanya. Ia
turun dari bangku tinggi di bar dan berbalik hendak pergi ketika
teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Alex.
―Omong-omong, kalau kau berencana tetap menginap di rumah orangtuamu,
kurasa aku tidak perlu datang membersihkan apartemenmu setiap hari.
Maksudku, apartemen kosong tidak akan berubah kotor dan berantakan dalam
satu atau dua hari. Aku bisa datang tiga kali seminggu atau bahkan dua
kali seminggu untuk
membersihkannya. Bagaimana menurutmu?‖
Alex menatapnya, berpikir sejenak, lalu berkata pendek,
―Tidak.‖
―Tidak?‖
182
―Tidak,‖ kata Alex lagi. ―Aku berencana pulang malam ini,
jadi pastikan kau datang besok pagi dan menyiapkan sarapan
untukku seperti biasa.‖
―Tapi…‖
Alex turun dari bangku dengan satu gerakan mulus dan berjalan kembali ke
mejanya, meninggalkan Mia yang berdiri tercengang di tempat. Apa-apaan
itu? Apa-apaan itu? Apakah laki-laki itu akan kembali bersikap seperti
itu kepadanya setelah mereka sempat mengalami kemajuan? Apa-apaan…?
Mia berusaha meredam kejengkelan dan mengatur napas untuk menenangkan
diri. Setelah merasa dirinya agak tenang, ia baru berjalan kembali ke
meja yang ditempati teman-temannya. ―Maaf,
aku sudah membuat kalian menunggu,‖ gumamnya sambil
tersenyum meminta maaf.
―Tidak apa-apa. aku sudah memesankan makanan untukmu.
Salmon. Kau suka?‖ tanya Billy sambil tersenyum lebar.
Mia balas tersenyum. ―Tentu saja.‖
Lucy mencondongan tubuh ke arah Mia dan berbisik pelan,
―Jadi itu tadi kakak Ray?‖
Mia mengangguk.
―Dia sangat keren,‖ bisik Lucy lagi.
Mia melihat Alex sudah kembali ke mejanya. Laki-laki itu menempati kursi
di samping wanita berambut cokelat yang tadi menyela pembicaraannya
dengan Mia. Dan di hadapannya duduk dua wanita lain yang berambut
pirang. Mia menyipitkan mata
183
melihat Alex menggumamkan sesuatu kepada ketiga wanita itu,
membuat mereka tertawa.
Mia mencondongkan tubuh ke arah Lucy dan berbisik, ―Dia
adalah bukti nyata bahwa kau tidak bisa menilai seseorang dari
penampilannya saja.‖
*****
Kenapa dia harus selalu tersenyum seperti itu kepada semua orang? pikir
Alex sementara matanya terus mengawasi Mia Clark dari mejanya. Gadis itu
menertawakan sesuatu yang dikatakan oleh laki-laki berambut gelap yang
duduk di hadapannya, lalu ia menoleh menatap teman perempuannya yang
duduk di sampingnya dan tertawa lagi. Setelah itu ia mencondongkan tubuh
di atas meja dan mengatakan sesuatu kepada si laki-laki berambut gelap
tadi dan membuat laki-laki itu tersenyum lebar.
Demi Tuhan, kenapa melihat Mia Clark yang sedang tersenyum gembira
membuat perasaan Alex muram, semuram langit mendung ketika badai
menjelang?
Karena gadis itu tersenyum pada orang lain? Sebuah suara kecil melintas
dalam pikirannya. Alex mendengus dalam hati. Oh, yang benar saja.
Gagasan macam apa itu?
Alex tidak keberatan Mia Clark tersenyum pada siapa pun. Sungguh.
Sungguh! Yang membuatnya agak dongkol adalah sikap
gadis itu ketika melihat Alex tadi. Ia bersikap… yah, seperti biasa! Ia
tersenyum kepada Alex seperti biasa, menyapa Alex seperti biasa,
184
seolah-olah mereka baru bertemu kemarin dan bukannya sudah tidak bertemu
selama dua minggu. Itu! Itu yang membuat Alex kesal.
Menghindari gadis itu selama dua minggu ternyata tidak memberikan hasil
yang diharapkannya. Awalnya Alex memutuskan menjaga jarak dari gadis itu
karena merasa bersalah pada Ray dan ingin memberikan kesempatan kepada
adiknya. Ia merasa bersalah karena malam itu Mia seharusnya makan malam
bersama Ray. Malam itu seharusnya Mia bisa mendengarkan pengakuan Ray.
Tetapi Mia malah menghabiskan malam itu bersama Alex, makan malam
dengannya, mengobrol dengannya, menemaninya. Alex merasa bersalah karena
merampas kesempatan adiknya, walaupun tanpa sengaja.
Sebenarnya kalau Alex mau mengakuinya, alasan ia merasa bersalah bukan
hanya karena ia merasa telah merampas kesempatan adiknya bersama Mia,
tetapi karena tanpa sadar Alex merasa gembira Mia ada di sana bersamanya
malam itu. Ya, ia merasa gembira karena Mia akhirnya makan malam
bersamanya, mengobrol dengannya, menemaninya malam iu.
Tetapi coba lihat apa yang dilakukan adiknya selama dua minggu Alex
tidak menemui Mia. Tidak ada! Ray tidak melakukan apa-apa! Ketika Alex
bertanya pada adiknya apakah ia telah melakukan sesuatu, Ray berkata
bahwa ia belum menemukan waktu dan kesempatan yang tepat untuk untuk
mengutarakan perasaannya. Ia memang sempat bertemu Mia beberapa kali dan
makan siang atau makan malam bersama, tetapi katanya saat-saat itu
bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakannya.
185
Anak bodoh! pikir Alex kesal. Menurutnya, yang namanya kesempatan itu
tidak bisa dicari, tetapi harus diciptakan. Ia tidak tahu kenapa ia
berniat membatu adiknya. Anak ini sama sekali tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Mulai sekarang Alex tidak akan ikut campur lagi. Ray bisa
mengurus masalahnya sendiri. Alex tidak akan menghindari Mia lagi demi
Ray. Ia ingin Mia membuatkan kopi untuknya lagi setiap pagi. Ia ingin
Mia membuatkan makanan lagi untuknya setiap hari. Ia ingin Mia kembali
melakukan apa pun yang ia minta setiap hari. Ia ingin Mia kembali berada
di tempat yang bisa dilihatnya. Ia ingin Mia kembali berada di
dekatnya.
Alex tertegun dan menyipitkan mata. Tunggu, ia akan mengabaikan dua poin
terakhir tadi. Ia pasti sudah tidak waras karena ingin malaikat
kegelapannya kembali berada di tempat yang bisa dilihatnya ataupun di
dekatnya.
*****
Ia kembali melirik ke arah Mia Clark. Ia tidak heran melihat gadis itu
masih tersenyum. Tetapi kali ini Alex memperhatikan sesuatu yang
berbeda. Mia memang tersenyum, tetapi sepertinya ia tidak benar-benar
mendengarkan obrolan teman-temannya. Ia hanya mengangguk sesekali dan
mendorong-dorong makanan di piringnya. Alex tersenyum samar. Mia Clark
terlihat bosan.
*****
186
Mia mendengarkan pembicaraan teman-temannya dengan setengah hati sambil
bergumam sesekali untuk menunjukkan bahwa ia masih mendengarkan mereka.
Teman-temannya sedang membicarakan pertunjukan yang akan diselenggarakan
Dee Black Dance Company minggu depan dan Mia sama sekali tidak ingin
membicarakan hal itu.
Bunyi pendek yang menandakan ada pesan masuk di ponselnya membuat Mia
tersentak sekaligus lega, karena sekarang ia punya alasan untuk tidak
mendengarkan permbicaraan teman-temannya. Ia mengeluarkan ponsel dan
membuka pesan yang masuk. Alisnya terangkat heran ketika ia melihat
bahwa pesan itu dari Alex Hirano.
Kau terlihat bosan
Apa maksudnya? Mia memberengut samar dan menoleh ke arah Alex di
seberang ruangan. Laki-laki itu menatapnya dan Mia yakin ia melihat Alex
tersenyum tipis sebelum menoleh dan berbicara kepada wanita berambut
cokelat yang duduk di sampingnya.
Mia kembali menatap ponselnya dan membalas.
Aku tidak bosan.
Balasan dari Alex tiba dalam waktu kurang dari satu menit.
Tidak apa-apa kalau kau tidak mengaku. Aku tahu kau bosan. Aku juga
bosan. Temani aku ngobrol.
Aku yakin kau tidak kekurangan teman ngobrol di sana. Tapi, baiklah, apa
yang ingin kau obrolkan?
Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Berapa jam kau tidur semalam?
187
Diam-diam Mia memutar bola matanya membaca pesan itu
Seperti biasa.
Seperti biasa? Berarti kau masih tidak bisa tidur nyenyak sampai
sekarang?
Itu bukan hal baru. Aku sudah terbiasa.
Kau sudah mencoba tidur sambil mendengarkan laguku? Waktu itu kau
langsung mengantuk dan tertidur begitu mendengar laguku.
Sudah. Tidak berhasil.
Mia memberengut dan mendengus pelan.
―Mia? Kau sedang apa?‖
Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap Lucy. ―Ya?‖ ―Kau sedang
mengirim SMS kepada siapa?‖
―Eh, ibuku,‖ sahut Mia cepat, lalu menyunggingkan senyum meminta maaf
kepada ketiga temannya. ―Dia ingin tahu aku ada di mana dan sedang apa.
Maaf.‖
―Orangtua memang selalu mencemaskan anak mereka,‖ komentar Rick sambil
mengangkat bahu maklum, ―terutama anak perempuan. Orangtuaku juga sangat
mencemaskan keadaan adikku,
padahal…‖
Mia tidak lagi mendengarkan kata-kata Rick selanjutnya, Diam-diam ia
menoleh ke arah Alex dan menatap laki-laki itu dengan tajam. Tetapi Alex
hanya mengangkat alis dan menatap Mia dengan tatapan seolah-olah
bertanya. ―Memangnya apa yang kulakukan?‖
Mia tidak membalas pesan Alex dan memaksakan diri mendengarkan
pembicaraan teman-temannya. Tetapi tidak lama kemudian ponselnya
bergetar lagi.
188
Oh, ya, Clark, jangan buat janji kencan dengan penggemarmu besok
malam.
Mia menggigit bibir dengan jengkel.
Kenapa? Kau ingin mengajakku kencan?
Aku tidak tahu ternyata kau ingin aku mengajakmu kencan. Lupakan
kata-kataku. Memangnya apa yang harus kulakukan besok
malam?
Akan kuberitahu besok.
Mia mendesah dalam hati. Ia sedang berpikir apakah ia harus membalas
pesan itu atau tidak ketika ponselnya bergetar lagi.
Dan, Clark, habiskan makananmu kalau kau tidak ingin terlihat seperti
penderita anoreksia.
Kali ini Mia melemparkan tatapan tajam ke arah Alex yang tersenyum polos
ke arahnya dan memasukkan ponselnya dengan tegas ke dalam tas
tangannya, menandakan bahwa ia tidak sudi melanjutkan obrolan kecil
mereka lagi.
189
Bab Delapan Belas
ALEX membuka matanya yang berat, lalu mendesah pelan. Ia
membiarkan dirinya berbaring menikmati ranjangnya sedikit lebih lama
sebelum mengulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan
meraih jam tangannya. Jam 08.20. Baiklah. Waktunya bangun.
Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu kamar tidurnya. Begitu
ia membuka pintunya, aroma kopi yang harum menerjang hidungnya, membuat
rasa kantuknya menguap tak berbekas. Aroma kopi itu membuat perasaannya
senang dan sekujur tubuhnya terasa hangat.
Gadis itu sudah datang, pikir Alex sambil tersenyum. Ia memejamkan mata
sejenak dan menghirup aroma kopi yang sudah lama dirindukannya.
Tepat pada saat itu telinganya menangkap alunan musik yang samar. Piano?
Alex berjalan tanpa suara menyusuri koridor ke ruang duduk. Alunan
musik itu semakin jelas. Tiba di ambang pintu ruang duduk, langkah Alex
terhenti. Seulas senyum tersungging di bibirnya ketika ia melihat Mia
Clark menari mengikuti irama musik yang mengalun dari CD player.
190
Sebenarnya gadis itu tidak bisa dibilang benar-benar menari. Sepertinya
ia hanya mencoba-coba beberapa gerakan, karena kadang-kadang ia berhenti
sejenak setelah melakukan satu gerakan, berpikir dengan kepala
dimiringkan sedikit, lalu mulai bergerak lagi.
Walaupun begitu Alex mendapati dirinya kembali terpesona, sama seperti
ketika pertama kali melihat Mia menari di Juilliard. Ia menyandarkan
bahu ke dinding dan matanya tidak lepas dari gadis yang menari mengikuti
alunan musik tidak jauh darinya, sama sekali tidak menyadari
keberadaannya. Alex suka melihat Mia Clark menari. Ia merasa bisa
berdiri di sana mengamati gadis itu menari sepanjang hari, dan ia juga
akan melakukannya dengan senang hati.
Mia melakukan gerakan berputar dan tepat pada saat itu matanya menatap
Alex. Ia memekik kaget, kakinya tergelincir dan ia pun jatuh terduduk
dengan keras di lantai kayu ruang duduk apartemen Alex.
Alex bergegas menghampiri Mia. Senyumnya melebar ketika ia melihat gadis
itu menggigit bibir sambil mengusap bokongnya
yang pasti terasa sakit. ―Selamat pagi,‖ gumam Alex dengan nada
geli sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Mia.
Mia mendongak menatapnya sambil tersenyum malu. ―Pagi,‖
gumamnya pelan dan menyambut uluran tangan Alex, membiarkan
Alex menariknya berdiri. ―Apakah aku membuatmu terbangun?‖
tanyanya ketika ia sudah berdiri, walaupun tangannya masih berada
dalam genggaman Alex.
―Tidak,‖ sahut Alex ringan. ―Sudah berapa lama kau di sini?‖
191
―Hampir setengah jam. Tadi aku sempat melongok ke
kamarmu untuk melihat apakah kau memang ada di rumah atau
tidak. Lalu ketika kulihat kau tidur begitu nyenyak, aku memtuskan
membiarkanmu tidur.‖ Mia menatap Alex dengan pandangan bertanya.
―Biasanya kau tidak tidur sampai sesiang ini.‖
Alex tersenyum tipis. ―Aku menemani ayahku dan para anggota orkestranya
sampai larut malam kemarin.‖
Mia bergumam pelan, lalu menunduk menatap sesuatu. Alex mengikuti arah
pandangnya dan tatapannya jauh pada tangan kanannya yang masih
menggenggam tangan kiri Mia. Aneh sekali. Alex tahu ia harus menarik
kembali tangannya sebelum keadaan jadi terlalu cengeng. Tetapi anehnya
ia tidak ingin melakukan itu. Anehnya, tangan Mia terasa tepat di
tangannya. Anehnya, memegang tangan gadis itu terasa benar.
Tapi akhirnya Alex memaksa dirinya melepaskan pegangannya dan
menjejalkan tangannya ke saku celana panjangnya. Ia berdeham, memandang
ke sekeliling ruang duduk lalu berkata,
―Jadi rupanya kau sering berlatih menari di rumahku?‖
Wajah Mia kembali merona malu. ―Itu karena kau punya koleksi lagu yang
sangat bagus. Seperti lagu ini…‖
―Lagu karya Ludovico Einaudi? Fairy Tale?‖ sela Alex, merujuk musik yang
masih mengalun memenuhi ruang duduk.
Mia mengangguk dan matanya berkilat-kilat gembira. ―Itu dia judulnya.
Fairy Tale. Aku jatuh cinta pada lagu ini.‖ Ia memejamkan matanya
sejenak, kembali mendengarkan lagu itu, seulas senyum menghiasi
bibirnya. Lalu ia membuka mata dan menatap Alex
192
dengan cara yang membuat Alex menahan napas tanpa sadar, dan
berkata, ―Tadi aku memikirkan koreografi baru dengan lagu ini.‖
Alex mengangguk, dan harus mundur selangkah sebelum bisa
bernapas kembali. ―Kurasa kau sudah membuat kopi untukku?‖
tanyanya.
―Tentu saja,‖ sahut Mia langsung. ―Akan kuambilkan untukmu.‖
Mia berjalan ke dapur dan Alex mengikutinya dari belakang. Ia menempati
salah satu bangku tinggi di sana dan mengamati gadis itu menuangkan kopi
untuknya. Melihat Mia di dapurnya anehnya membuat Alex merasa senang.
Sepertinya ia suda terbiasa dengan kopi buatan Mia, sehingga dua minggu
terakhir tanpa kopi gadis itu membuatnya gampang uring-uringan.
Sebenarnya kalau ia mau mengaku, masalahnya bukan hanya terletak pada
kopi buatan gadis itu. Menjalani dua minggu terakhir tanpa bertemu Mia
Clark juga memengaruhi Alex. Alex tidak tahu sejak kapan, tetapi yang
pasti keberadaan Mia Clark di apartemennya tidak lagi terasa aneh,
rasanya seolah-seolah Mia Clark memang harus berada di sana, menjaga
semuanya tetap seimbang dalam hidup Alex. Apakah itu masuk akal? Apakah
itu berlebihan?
Alex menangkup cangkir kopi dengan kedua tangan dan
mendesah lega. ―Akhirnya,‖ gumamnya pelan. ―Akhirnya,
akhirnyanya, akhirnya.‖
Mia tersenyum. ―Aku tahu kau merindukanku, Alex Hirano,‖
guraunya.
193
Alex menyesap kopinya dan balas tersenyum. ―Kopimu, Clark. Aku
merindukan kopimu.‖
―Sama saja. Kopiku. Aku.‖ Mia mengangkat bahu acuh tak acuh. ―Kalau kau
tidak bisa hidup tanpa kopiku, berarti kau hampir tidak bisa bisa hidup
tanpaku,‖ lanjutnya sambil tertawa. ―Aku jadi
bertanya-tanya bagaimana kau bisa melanjutkan hidupmu setelah
semua ini berakhir.‖
―Apa yang berakhir?‖ tanya Alex tidak mengerti. ―Ketika tanganmu
sembuh.‖
―Memangnya kenapa kalau tanganku sembuh?‖
―Alex, kalau tanganmu sudah sembuh, kau tidak lagi membutuhkan pesuruh
untuk membuatkan kopi, bukan?‖
Alex mengernyit mendengar Mia menyebut kata ―pesuruh‖.
Awalnya ia memang kesal pada gadis itu dan dengan senang hari menganggap
Mia pesuruhnya. Tetapi sekarang keadaannya berbeda. Ia tidak lagi
menganggap Mia Clark sebagai pesuruhnya. Sama sekali tidak. Ia malah
mulai berpikir gadis ini adalah… adalah… apa?
Entahlah. Yang penting bukan pesuruh.
Tunggu, apakah Mia Clark berkata bahwa ia akan meninggalkan Alex setelah
tangan Alex sembuh? Alex tertegun. Gagasan itu... Alex
menggeleng-geleng kepala. Ia sama sekali tidak suka gagasan itu.
Alex menunduk menatap tangan kirinya yang diperban. Ia sudah mulai bisa
menggerakkan pergelangan tangannya dan rasanya tidak terlalu sakit lagi.
Ia tahu tidak lama lagi tangan kirinya akan berfungsi baik seperti
biasa. Dokternya sendiri yang berkata begitu.
194
Berarti tangan Alex sembuh, Mia tidak akan membuatkan kopi untuknya
lagi? Tidak akan datang ke apartemennya lagi? Apakah Mia akan
memindahkan semua pot tanamannya kembali ke apartemennya sendiri?
Apakah ada cara supaya gadis itu tetap seperti ini walaupun tanganku
sembuh? pikir Alex.
Sebelum Alex sempat memikirkan jawabannya, bunyi ponsel Mia membuyarkan
lamunannya. Mia berjalan cepat ke ruang duduk dan tidak lama kemudian
Alex mendengarnya berkata, ―Halo? Hai, Ray.‖
Alex mendesah dan menyesap kopinya.
―Maaf, aku tidak bisa.‖ Alex mendengar Mia berkata dengan nada menyesal.
―Aku sudah janji akan menemani kakakmu malam ini.‖
Alex mengangguk-angguk sendiri. Ia bisa menebak apa yang diinginkan Ray.
Tapi sayang sekali, adik kecil, pikir Alex sambil tersenyum puas, kau
terlambat selangkah.
Suara Mia kembali terdengar. ―Aku juga tidak tahu. Akan kutanyakan
padanya nanti… Oke, tentu saja. Bye, Ray.‖
Beberapa detik kemudian Mia muncul kembali di dapur. ―Itu tadi Ray,‖
katanya tanpa ditanya. ―Dia bertanya padaku apakah aku
punya acara malam ini. Kukatakan padanya aku sudah berjanji akan
menemanimu melakukan sesuatu. Kemudian aku teringat bahwa kau
belum memberitahu kau ingin aku melakukan apa malam ini.‖
―Apa yang diinginkan Ray?‖ tanya Alex tanpa menjawab
pertanyaan tidak langsung Mia tadi.
195
Mia mengangkat bahu. ―Dia tidak berkata apa-apa.‖
Alex tersenyum kecil. ―Kurasa dia punya gagasan yang sama denganku.‖
―Gagasan apa?‖
―Aku yakin dia ingin mengajakmu ke pesta yang akan kami
hadiri malam ini. Hanya saja dia tidak tahu bahwa kau memang akan
pergi ke pesta itu bersamaku.‖ ―Pesta apa?‖
―Kau pernah mendengar tentang Dee Black Dance Company?‖
Alex balas bertanya.
―Dee Black Dance Company?‖ Mia terdiam sejenak, lalu berkata. ―Ya,
tentu. Itu nama salah satu kelompok tari terkenal di
Amerika Serikat yang berbasis di Florida. Kudengar mereka akan
mengadakan pertunjukan di New York minggu depan.‖
Alex mengangguk. ―Malam ini mereka akan mengadakan
pesta merangkap konferensi pers, untuk mengumumkan pertunjukan
mereka secara resmi,‖ jelasnya. ―Karena direkturnya, Dee Black, adalah
teman orangtuaku, kami diundang ke pestanya malam ini.‖
―Oh.‖
―Tadinya aku tidak ingin pergi karena kupikir aku pasti tidak
mengenal siapa pun di sana. Tapi kemudian aku teringat padamu. Kupikir
karena kau juga penari, kau pasti ingin menghadiri pesta yang
diselenggarakan kelompok tari terkenal. Lagi pula, kalau kau
ada di sana, aku tidak akan bosan. Kau bisa menemaniku.‖
―Oh.‖
196
Alex mengamati gadis yang berdiri di hadapannya dengan heran. Tadinya ia
mengira Mia akan senang diajak ke pesta yang diselenggarakan salah satu
kelompok tari paling berpengaruh di Amerika Serikat, tetapi sepertinya
ia salah. Mia tidak terlihat antusias.
―Sepertinya kau tidak terlalu antusias,‖ komentar Alex sambil
menatap Mia dengan mata disipitkan.
Mia balas menatapnya. ―Memangnya kau ingin aku berkata
apa?‖
Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menumpukan
kedua tangannya di atas meja dapur. ―Entahlah. Sesuatu seperti, ‗Astaga,
Alex, terima kasih kau mengundangku ke pesta yang
diselenggarakan oleh salah satu kelompok tari paling terkenal di
Amerika Serikat‘?‖
Mia tersenyum kecil.
―Dan kau pasti senang bisa bertemu dengan penari-penari
terkenal di sana. Kudengar Dee Black memiliki beberapa penari
terbaik di negeri ini,‖ lanjut Alex.
―Aku tahu,‖ gumam Mia. Ia menatap Alex sejenak, lalu
berkata. ―Baiklah. Terima kasih banyak, Alex, karena kau
mengundangku ke pesta yang diselenggarakan oleh salah salah satu
kelompok tari paling terkenal di Amerika Serikat.‖
Alex mengangkat alis. ―Dan?‖
―Dan apa?‖
―Kau belum menjawab apakah kau mau pergi denganku atau
tidak.‖
197
―Aku tidak tahu kau sedang menunggu jawaban,‖ sahut Mia jujur, dan agak
heran. ―Kukira kau hanya memberikan perintah seperti biasa.‖
―Aku tidak akan menanggapi kata-katamu,‖ kata Alex, mengabaikan nada
sinis Mia. ―Jadi kau mau pergi denganku atau tidak?‖
Mia menarik napas dan berkata. ―Baiklah. Memangnya aku punya pilihan
lain?‖
―Tidak,‖ jawab Alex sambil tersenyum lebar. ―Oh, dan asal
tahu, pestanya pesta formal. Maksudku, aku akan mengenakan
tuksedo dan kau…‖
―Harus mengenakan gaun pesta.‖ Mia tersenyum kecil. ―Aku tahu. Kau
tenang saja. Aku tidak akan membuatmu malu.‖
―Baiklah, sekarang aku mandi dulu dan kau…‖
―Aku akan menyiapkan sarapan untukmu. Aku tahu,‖ sela
Mia sambil mengibaskan sebelah tangan.
―Gadis baik,‖ gumam Alex. Ia turun dari bangku dan berjalan
keluar dapur. Di ambang pintu dapur, ia berbalik dan menambahkan,
―Oh, ya, setelah sarapan…‖
―Aku akan mengantarmu ke studio ayahmu dan ke mana pun
tujuanmu,‖ Mia lagi-lagi menyelanya. ―Aku tahu.‖
Alex mengerjap menatap gadis yang sedang memeriksa lemari
dapurnya. Merasa diperhatikan, Mia menoleh ke arah Alex dan
bertanya, ―Apa?‖
―Clark, kau bisa membaca pikiranku,‖ kata Alex dengan mata
disipitkan. ―Itu menakutkan.‖
198
―Benarkah?‖ Mia tertawa kecil dan mengangkat bahu. ―Kurasa
itu salah satu akibat aku terlalu sering bersamamu.‖
―Hmm, kalau begitu aku tidak bisa mengeluh,‖ gumam Alex.
―Apa katamu?‖
―Tidak apa-apa.‖ Alex melemparkan seulas senyum lebar ke
arah Mia, berbalik dan berjalan keluar dari dapur.
199
Bab Sembilan Belas
“AKHIRNYA ayam kung pao-ku datang,‖
gumam Karl gembira
ketika makanan kesukaannya diantarkan kepadanya. Ia mendongak menatap
wanita kurus berambut keriting yang mengantarkan
makanannya dan tersenyum lebar. ―Terima kasih, Mrs. Li. Asal anda
tahu, ayam kung pao Anda yang paling enak di seluruh Chinatown.‖
Mrs. Li, wanita setengah baya pemilik restoran Eastern Sea di Chinatown,
yang sudah sering menerima pujian Karl, menepuk bahu
Karl dengan pelan. ―Simpan bualanmu, anak muda, dan makanlah,‖
katanya, walaupun ia tertawa senang menerima satu pujian dari Karl Jones
yang terkenal pandai bicara. Ia menoleh ke arah Alex dan
bertanya, ―Kau bisa makan dengan tangan seperti itu?‖
Alex mengalihkan tatapan dari ponsel di atas meja dan tersenyum. ―Aku
sudah bisa menggerakkan tanganku, Mrs. Li. Tenang saja.‖
―Kalau tanganmu sudah sembuh, kita bisa mulai merencanakan konsermu yang
tertunda,‖ kata Karl setelah Mrs. Li meninggalkan mereka. ―Mungkin di
bulan Februari atau Maret?‖
―Kita akan membahas soal konser itu setelah tanganku benar-benar
sembuh,‖ sahut Alex datar sambil kembali menatap ponselnya dengan kening
berkerut samar. ―Tidak perlu terburu-buru.‖
200
Karl mengangkat alis. ―Kalau aku tidak salah ingat, dulu kau
sendiri yang tidak sabar ingin cepat sembuh dan segera kembali
bekerja. Sekarang kelihatannya kau tenang-tenang saja. Sudah bisa
hidup bermalas-malasan?‖
―Bukan bermalas-malasan,‖ bantah Alex. ―Hanya berusaha
menikmati waktu libur yang tersisa.‖
―Baiklah, terus saja bermalas-malasan,‖ gerutu Karl. ―Biarkan
manajermu ini yang menghadapi orang-orang yang mendesak ingin
tahu kapan kau bisa mengadakan konser.‖
Alex terkekeh pelan. ―Bukankah Karl Jones bisa mengatasi masalah apa
pun?‖
―Tentu saja. Tidak ada yang tidak bisa kuatasi,‖ kata Karl tegas. ―Tapi
aku butuh beberapa dokumen yang waktu itu
kutinggalkan di apartemenmu. Kita bisa mampir dulu di sana setelah
makan siang?‖ ―Tentu.‖
―Apakah kita akan bertemu Mia di apartemenmu?‖ tanya Karl
penuh harap.
Alex mendongak menatap temannya. ―Memangnya kenapa?‖ Karl mengangkat
bahu. ―Karena sudah lama aku tidak
melihatnya. Jadi apakah dia ada di apartemenmu?‖
―Tidak,‖ sahut Alex. ―Tadi katanya dia ada janji makan siang dan
ibunya.‖
―Sayang sekali,‖ desah Karl. ―Kalau begitu, tolong sampaikan
salamku kalau kau bertemu dengannya. Tidak, tidak usah. Biar aku
201
yang meneleponnya nanti. Mungkin aku akan mengajaknya makan
malam hari ini.‖
―Tidak mungkin,‖ sela Alex cepat. Terlalu cepat. ―Kenapa tidak?‖
―Karena kami akan menghadiri pesta yang diadakan Dee Black Dance
Company.‖
Alis Karl terangkat heran. ―Oh? Bukankah waktu itu kau bilang kau tidak
mau pergi?‖
―Aku berubah pikiran.‖ Alex kembali melirik ponselnya. ―Benar juga. Aku
tidak tahu nomor apartemennya. Aku harus bertanya kepadanya,‖ gumamnya
sambil meraih ponsel.
Karl mengerjap, lalu perlahan-lahan seulas senyum lebar
tersungging di bibirnya. ―Alex, apakah kau sedang mencari-cari alasan
untuk menelepon Mia?‖
―Apa?‖ Alex berhenti mengutak-atik ponselnya. ―Tentu saja tidak.‖
Karl terkekeh. ―Benarkah? Tapi asal tahu, kau tidak perlu alasan untuk
menelepon gadismu.‖
―Dia bukan gadisku,‖ gerutu Alex pelan. ―Ah, tapi kau ingin dia menjadi
gadismu.‖
Alex mengabaikan Karl. ―Aku tidak mendengar kata-katamu,‖
katanya datar dan kembali memusatkan perhatiannya kepada ponsel di
tangannya. Ia menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke
telinga.
Beberapa detik kemudian di ujuang sana terdengar suara yang
sudah sangat dikenalnya dan sangat ingin didengarnya. ―Ya, Alex?‖
202
Tanpa sadar seulas senyum kecil tersungging di bibir Alex sebelum ia
berkata, ―Kau belum memberitahu aku nomor
apartemenmu.‖
*****
Mia mendesah pelan dan meletakkan majalah Cosmopolitan edisi bulan lalu
di kursi kosong di sebelah kanannya. Hanya beberapa kursi di antara
deretan kursi di sepanjang dinding putih itu yang terisi. Seorang pria
tua duduk sendirian di kursi paling ujung, lalu ada sepasang pria dan
wanita setengah baya, setelah itu ada Mia dan ibunya.
Mia menoleh menatap ibunya yang duduk di sebelah kirinya.
―Kau tahu, Mom, aku bisa datang sendiri. Mom tidak perlu
menemaniku,‖ katanya.
Ibunya mengangkat wajah dari majalah O edisi terbaru di
pangkuannya dan tersenyum. ―Aku mau menemanimu, Sayang.‖ Ia
mengulurkan sebelah tangannya dan menggenggam tangan Mia.
―Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir.‖
Mia memaksakan seulas senyum, karena walaupun ia meragukan kata-kata
ibunya, ia merasa ibunya ingin melihatnya
tersenyum. ―Ya, tentu saja. Semuanya akan baik-baik saja,‖
gumamnya. Lalu Ia mengalihkan pembicaraan, ―Setelah ini kita akan
makan siang di mana? Atau Mom harus kembali ke kantor?‖
203
Ibunya menggeleng. ―Tidak, aku tidak akan kembali ke kantor
hari ini. Jadi, kita bisa makan siang bersama. Oh, terserah saja kau
mau makan di mana, Sayang. Ada ide?‖
Mia berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. ―Bagaimana kalau makanan
Italia? Aku tahu ada satu restoran Italia yang enak di Upper
West Side. Moratti‘s. Mom pernah mendengarnya?‖ ―Tidak. Kau sudah pernah
ke sana?‖
―Ya. Bersama Alex.‖
―Oh, temanmu yang tangannya patah itu?‖ ―Tangannya tidak patah, Mom.‖
―Ya, ya. Kau tahu maksudku. Apa kabarnya?‖ ―Tangannya sudah hampir
sembuh.‖
―Itu bagus.‖ Ibu kembali menunduk menatap majalah O di pangkuannya,
tetapi sesaat kemudian ia kembali menatap Mia.
―Omong-omong, Mia, apakah dia tahu?‖
―Tahu apa?‖ tanya Mia. Tetapi kemudian dia mengerti
maksud ibunya. Mia mengalihkan pandangannya dan berkata pelan,
‖Tidak, dia tidak tahu. Kurasa tidak ada alasan kenapa dia harus tahu.‖
Ibunya mengangkat bahu. ―Aku hanya berpikir karena kau sering
menghabiskan waktu bersamanya, mungkin dia tahu.‖
―Tidak, dia tidak tahu,‖ gumam Mia sekali lagi dengan lebih
pelan.
―Apakah kau berencana memberitahunya?‖
Ponsel Mia berbunyi nyaring, menyelamatkannya dari keharusan menjawab
pertanyaan ibunya. Ia bergegas mengeluarkan
204
ponsel dari tas tangannya. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat ketika
ia melirik nama yang muncul di layar ponsel. Mia menarik napas
dalam-dalam sebelum menempelkan ponsel ke telinga dan
memastikan suaranya terdengar biasa ketika menyapa, ―Ya, Alex?‖ ―Kau
belum memberitahu aku nomor apartemenmu,‖ kata
Alex di ujung sana.
―Apa?‖ tanya Mia tidak mengerti.
―Nomor apartemenmu. Sudah kubilang, aku akan
menjemputmu malam ini, tapi aku lupa menanyakan nomor apartemenmu. Aku
hanya tahu alamatmu dan bahwa apartemenmu
di lantai dua,‖ kata Alex.
―2-A. Nomor apartemenku 2-A,‖ sahut Mia. ―Tapi kalau kau
sudah tiba, kau hanya perlu meneleponku dan aku akan turun.‖
―Kita lihat saja nanti.‖
Mia tidak mengerti, tapi tidak bertanya.
―Jadi… apa yang sedang kau lakukan?‖
Mia menggigit bibir dan melirik ibunya yang sudah kembali membaca
majalahnya. ―Aku bersama ibuku.‖
―Sedang makan siang?‖ ―Mm… Ya. Kau sendiri?‖
―Aku juga sedang makan siang. Bersama Karl. Dia titip salam untukmu,‖
sahut Alex. Ia terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba berkata, ―Tidak,
aku tidak akan membiarkanmu bicara dengannya.
Aku sudah menyampaikan salammu, bukan? Jadi sekarang
diamlah.‖
Mia mengerjap kaget. ―Apa?‖
205
―Maaf. Kata-kata tadi itu untuk Karl, bukan untukmu,‖ kata
Alex cepat.
Mia tersenyum kecil. ―Sampaikan salamku pada Karl.‖
Alex menggerutu tidak jelas.
―Kalian makan siang di mana?‖ tanya Mia. ―Chinatown.‖
―Kedengarannya menyenangkan.‖
―Aku akan mengajakmu ke sini lain kali,‖ kata Alex. ―Menurut
Karl, ayam kung pao Mrs. Li yang paling enaknya di seluruh
Chinatown.‖
Mia tertawa kecil. ―Benarkah? Aku percaya saja padanya.‖
Tiba-tiba Mia mendengar seseorang memanggil, ―Mia? Dr. Schultz akan
menemuimu sekarang.‖
―Oh, Alex, aku harus pergi sekarang,‖ kata Mia kepada Alex. Mm… Sampai
jumpa nanti malam?‖
―Oke. Sampai jumpai nanti malam.‖
Mia menutup ponsel dan berdiri dari kursi, disusul oleh ibunya. Mereka
memasuki ruang periksa lalu menyapa dokter setengah baya dan berkacamata
yang sudah mereka kenal baik.
Dr. Harold Schultz salah seorang kardiolog terbaik di rumah sakit itu,
menyapa ibu Mia, lalu menoleh menatap Mia sambil
tersenyum ramah. ―Jadi, Mia, bagaimana keadaanmu? Apakah ada
perkembangan atau perubahan yang harus kuketahui?‖
*****
206
―Aku akan mengambil dokumen yang kau perlukan,‖ kata Alex setelah ia dan
Karl masuk apartemennya. ―Kalau kau mau minum, ambil saja sendiri di
dapur.‖
Alex berjalan ke kamar tidurnya sementara Karl berjalan ke dapur.
Setelah menemukan dokumen yang dicarinya, ia keluar dari kamar dan
berjalan ke ruang duduk.
―Hei, Alex,‖ panggil Karl dari dapur. Alex agak heran
mendengar nada suara Karl yang serius.
―Apa?‖ seru Alex dari ruang duduk.
Tidak lama kemudian Karl muncul di ruang duduk sambil membawa tabung
plastik kecil berwarna cokelat. Ia menatap Alex dengan kening berkerut
curiga.
―Apa?‖ tanya Alex sekali lagi.
―Apakah ada sesuatu yang tidak kau ceritakan kepadaku?‖
tanya Karl. Nada suaranya masih terdengar serius. Dan khawatir.
―Apa maksudmu?‖ tanya Alex tidak mengerti.
Karl mengacungkan tabung plastik yang dipegangnya. ―Pil-pil ini. Apakah
milikmu?‖
Alex menggeleng. ―Bukan. Di mana kau temukan itu?‖ ―Di meja dapur,‖
sahut Karl pendek.
―Mungkin itu milik Clark,‖ tebak Alex.
―Milik Mia?‖ gumam Karl, lebih kepada dirinya sendiri. ―Mungkin
ketinggalan di sini ketika dia datang pagi tadi.‖
Alex mengangkat bahu.
Karl terlihat ragu. ―Tapi obat ini…‖ ―Kenapa? Kau tau obat apa itu?‖
207
Karl mengangguk. ―Bibiku, Edith—dia adik perempuan ibuku—juga minum obat
ini. Aku tahu benar karena kadang-kadang Bibi Edith suka menyuruhku
menebus obat-obatannya.‖
Alex menunggu Karl melanjutkan kata-katanya.
Lalu Karl menatap Alex dan bertanya, ―Apakah Mia menderita
penyakit jantung?‖
208
Bab Dua Puluh
“DI mana? Di mana kutaruh?‖ gumam Mia sambil mengaduk-aduk
isi tasnya dengan kening berkerut cemas. Tidak menemukan apa yang
dicarinya, ia pun menuangkan seluruh isi tasnya ke atas meja. Tidak ada.
Obatnya tidak ada
Mia berputar, menggigit bibir dan berjalan cepat ke kamar mandi. Ia
membuka lemari obat di sana, memeriksa deretan tabung plastik kecil di
sana, tetapi obat yang dicarinya tidak ada. Ia menutup pintu lemari
obatnya dengan keras dan memandang bayangan wajahnya sendiri di cermin.
Di mana obat sialan itu? Ia butuh obat
itu. Ia butuh…
Tiba-tiba bel interkom apartemennya berbunyi. Mia
melangkah ke pintu dan menekan tombol interkom di sana. ―Ya?‖
―Ini aku.‖
Mia tersenyum kecil mendengar suara Alex di interkom. Ia menekan tombol
lain untuk membuka pintu di bawah, lalu berputar memandang sekeliling
ruang duduk apartemennya untuk mencari tas tangannya. Baiklah, ia akan
mencari obatnya sepulangnya dari pesta. Semoga ia tidak membutuhkan
obatnya malam ini. Semoga ia bisa bertahan sampai pesta itu berakhir.
209
Tepat setelah ia meraih tas tangan dan mantelnya, bel pintunya berbunyi.
Ia menarik napas dalam-dalam, membuka pintu dan tersenyum lebar kepada
Alex Hirano yang berdiri di
hadapannya. ―Kau sangat tepat waktu,‖ kata Mia.
Alex balas tersenyum. Ia mengamati Mia dengan alis terangkat, lalu
matanya menyusuri gaun panjang Mia yang berwarna
hijau gelap dan akhirnya kembali ke wajah Mia. ―Dan kau terlihat…
cantik,‖ pujinya.
Mengabaikan jantungnya yang mendadak berdebar lebih kencang dan berharap
semoga pipinya yang mendadak terasa panas tidak merah padam, Mia
berusaha tersenyum ringan seperti biasa dan berkata, ―Tentu saja. Sudah
kubilang aku tidak akan membuatmu malu, Alex.‖
―Aku tidak meragukannya,‖ kata Alex sambil tersenyum lebar. Ia
mengulurkan lengannya ke arah Mia. ―Kita berangkat sekarang?‖
―Baiklah,‖ sahut Mia. Ia menggandeng lengan Alex tanpa ragu
dan sekali lagi berusaha mengabaikan getaran aneh yang menjalari
sekujur lengannya ketika tangannya menyentuh lengan Alex.
―Jadi, apakah kau baik-baik saja?‖ tanya Alex setelah Lexus hitam
mengilap miliknya melaju di jalan raya.‖
―Hm? Apa maksud mu?‖ tanya Mia sambil menoleh menatap
Alex yang duduk di sampingnya di kursi belakang sementara seorang sopir
berseragam duduk di balik kemudi. Alex menyewa jasa sopir untuk
mengemudikan mobilnya malam ini karena tidak mungkin mengemudi sendiri
dengan tangan masih diperban.
210
―Kau tidak terlihat terlalu baik kemarin malam di Ramses,‖
kata Alex.
Mia teringat pada komentar Alex kemarin tentang wajahnya
yang pucat dan berat badannya. ―Mm. Aku bak-baik saja.‖ ―Sungguh? Kau
sungguh baik-baik saja?‖
―Sungguh.‖ Mia menoleh menatap Alex. Melihat laki-laki itu sepertinya
tidak percaya pada kata-katanya, Mia tersenyum kecil dan
menambahkan, ―Aku hanya agak lelah. Hanya itu.‖ ―Berapa jam kau tidur
semalam?‖
Mia mendesah. ―Kenapa sepertinya kau terobsesi sekali dengan jam
tidurku?‖ ia balas bertanya, berharap bisa mengalihkan
pembicaraan.
―Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan seperti kemarin,‖ sela Alex
cepat. ―Berapa jam?‖
―Dua atau tiga jam.‖ Mia memalingkan wajah. ―Tapi aku sudah terbiasa.‖
Alex terdiam sejenak, lalu bertanya, ―Kau sudah mencoba berkonsultasi
dengan dokter?‖
Mia kembali menatap Alex dengan kening berkerut. Ia tidak
suka mendengar kata ―dokter‖. ―Untuk apa?‖ tanyanya tajam.
―Kau sudah menderita insomnia selama… berapa lama? Tiga bulan?‖ kata
Alex. ―Kau tahu itu tidak normal dan sudah seharusnya kau berkonsultasi
dengan dokter.‖
―Itu tidak perlu,‖ sahut Mia tegas. ―Aku bisa mengatasinya.
Sudah kubilang aku sudah terbiasa. Kau tidak usah khawatir. Ini
sama sekali bukan masalah.‖ Ia melihat Alex membuka mulut
211
hendak membantah, jadi ia mengangkat sebelah tangan dan berkata,
―Aku tidak mau membicarakannya lagi.‖
Alex menyerah dan tidak berkata apa-apa lagi. Mia menghela napas dan
menatap ke luar jendela, tetapi ia tetap menyadari tatapan dari belakang
kepalanya. Akhirnya ia menoleh kembali ke arah Alex dan balas
menatapnya lurus-lurus. ―Apa?‖ tanyanya langsung.
Alex mengeluarkan sesuatu dari saku bagian dalam jasnya dan
bertanya, ―Apakah ini milikmu?‖
Mia menatap benda di tangan Alex dan terkesiap.
*****
Alex mengacungkan tabung plastik kecil yang ditemukan Karl di
apartemennya tadi siang dan mendengar gadis itu terkesiap. Melihat
reaksi gadis itu, Alex yakin obat ini memang miliknya.
―Di mana kau menemukannya?‖ tanya Mia setelah berhasil
mengendalikan ekspresi wajahnya.
―Kau meninggalkannya di apartemenku,‖ sahut Alex dan mengulurkan tabung
kecil itu kepada Mia. Alisnya berkerut samar ketika melihat tangan gadis
itu agak gemetar saat menerima tabung tersebut. ―Jadi,‖ kata Alex
dengan suara yang diusahakan terdengar ringan, ―obat apa itu?‖ Tentu
saja ia tahu obat apa itu, tetapi ia ingin
mendengarnya langsung dari gadis itu.
Mia berdeham. ―Vitamin,‖ sahutnya pendek tanpa
memandang Alex. ―Hanya vitamin.‖
212
―Vitamin?‖ ulang Alex sambil menatap Mia dengan saksama.
Ia berpikir sejenak, lalu berkata, ―Kata Karl, itu obat untuk penyakit
jantung.‖
Apakah wajah Mia Clark memucat? Entahlah. Sulit memastikannya karena
mereka sedang berada di dalam mobil dan penerangannya sama sekali tidak
cukup.
―Karl berkata begitu?‖ tanya Mia pelan. Ia berdeham sekali lagi. ―Apa
lagi katanya?‖
―Hanya itu,‖ jawab Alex. ―Jadi?‖
―Ini vitamin untuk jantung,‖ sahut Mia cepat dan memasukkan tabung
plastik itu ke dalam tas tangan kecilnya.
―Dokter menyarankannya untukku karena sebagai penari aku harus menjaga
kondisi jantungku.‖
―Apakah ada masalah dengan jantungmu sampai dokter mengharuskanmu minum
vitamin itu?‖ tanya Alex.
―Tidak ada serius.‖ ―Kau yakin?‖
Mia menoleh dan Alex melihat seulas senyum samar tersungging di bibir
gadis itu. Kemudian ia kembali memandang ke luar jendela dan bergumam
pelan, ―Apakah kita masih jauh?
Kuharap kita tidak terlambat.‖
Sudah jelas Mia tidak ingin membahas masalah itu lebih lanjut dan sudah
jelas ia berusaha mengalihkan pembicaraan, jadi sekali lagi Alex
memutuskan tidak akan mendesak gadis itu. ―Terlambat juga tidak apa-apa.
Mereka tidak mengharuskan kita datang tepat
waktu,‖ katanya sambil tersenyum menenangkan.
213
*****
Empat puluh menit kemudian mereka tiba di gedung tempat pesta diadakan.
Setelah Alex menitipkan mantel mereka di tempat penitipan dan
menyebutkan namanya kepada penerima tamu, ia dan Mia melangkah memasuki
aula luas yang dipenuhi orang berpakaian indah. Perhatian semua orang
terarah ke panggung, tempat wanita cantik berusia awal lima puluhan
tengah memberikan kata sambutan kepada para tamu.
Alex menyentuh siku Mia yang sedang mengagumi ruangan tengah itu untuk
menarik perhatiannya. Mia menoleh dan mengikuti pandangan Alex ke arah
wanita anggun yang berdiri di atas panggung. Alex mencondongkan tubuh ke
arah Mia dan berkata
pelan, ―Itu Dee Black.‖
Mia mengangguk-angguk.
―Kau mau minum?‖ tanya Alex, masih dengan suara pelan.
Mia mengangguk lagi.
―Kalau begitu, ayo.‖ Alex meraih tangan Mia dan mengajaknya ke arah meja
minuman. ―Fruit punch?‖
―Beralkohol?‖ tanya Mia ragu.
―Mungkin sedikit.‖
―Kalau hanya sedikit kurasa tidak apa-apa.‖
Alex mengulurkan segelas punch yang diambilnya dari meja kepada Mia,
lalu menerima segelas sampanye dari salah seorang
214
pramusaji yang berkeliling ruangan menawarkan sampanye dan
anggur.
Mereka menyesap minuman masing-masing dan mengarkan
Dee Black mengakhiri kata sambutannya. ―Sekali lagi, terima kasih
atas kehadiran Anda semua. Silahkan menikmati hidangan kecil yang
kami sediakan dan silakan mengajak pasangan Anda berdansa.‖
Para tamu bertepuk tangan sementara Dee Black turun dari panggung dan
band mulai memainkan lagu untuk mengiringi pasangan-pasangan yang ingin
berdansa.
―Alex, aku tidak menyangka kau akan datang ke sini.‖
Alex menoleh ke arah suara itu dan tersenyum kepada ibunya
yang entah bagaimana sudah berdiri di sampingnya. ―Hai, Mom. Di mana
Dad?‖
―Dia sedang mengobrol dengan temannya di sana,‖ sahut ibunya sambil
melirik ke balik bahu. ―Biarkan saja.‖
―Hai, Mrs. Hirano,‖ sapa Mia.
Kim Hirano berseri-seri melihat Mia. ―Oh, hai, Mia. Kau juga datang
rupanya.‖ Matanya mengamati Mia dari kepala sampai ujung kaki. ―Kau
terlihat sangat cantik, Mia.‖
Wajah Mia merona. ―Eh, terima kasih, Mrs. Hirano. Anda juga terlihat
mengagumkan.‖
Ibu Alex mengibaskan sebelah tangannya sambil tersenyum
lebar. ―Omong-omong, kalian sudah bertemu Ray?‖ tanyanya sambil
memandang ke sekeliling ruangan, mencari putra bungsunya.
―Belum,‖ sahut Alex. ―Dia sudah datang?‖
―Sudah. Dia datang bersama Kelly.‖
215
Alex mengangkat alis dan tersenyum geli. ―Dia mengajak
Kelly ke sini?‖
Ibunya terkekeh. ―Kelly tahu kita akan menghadiri pesta ini dan dia
praktis memohon—atau memaksa?—Ray mengajaknya ke
sini.‖
Mia menoleh ke arah Alex dan bertanya, ―Siapa Kelly?‖ ―Kelly adalah
saudara sepupu kami. Aku tidak tahu apa yang
membuat Ray setuju mengajaknya ke sini. Yah, mungkin Kelly memang sangat
berambisi menjadi penari walaupun dia tidak memiliki bakat sedikit pun.
Walaupun begitu, Kelly bukan tipe gadis yang bisa kau ajak menghadiri
pesta-pesta resmi seperti ini.‖
―Kenapa?‖
Alex tersenyum lebar. ―Karena Kelly—walaupun dia sebenarnya gadis yang
manis dan cerdas—termasuk gadis yang…
tidak bisa mengendalikan mulutnya.‖
Mia mengangkat alis tidak mengerti.
Ibu Alex memukul lengan anaknya dengan pelan, lalu
menatap Mia. ―Kelly orang yang blakblakan. Dia akan mengatakan
apa dipikirkannya tanpa ragu dan tanpa memikirkan orang lain. Dia juga
sangat suka berdebat mengenai apa saja, dengan siapa saja, dan di mana
saja. Mungkin itu akibatnya kalau seseorang terlalu pintar. Hanya saja
kadang-kadang sebagian orang tidak terlalu suka berbicara dengan gadis
yang menurut mereka terdengar sok tahu.‖ Ia
memandang melewati bahu Mia dan berkata, ―Oh, itu Ray.‖
216
Alex menoleh mengikuti pandangan ibunya dan melihat Ray sedang berjalan
ke arah mereka sambil tersenyum lebar. Yah, sebenarnya senyum lebar itu
dilemparkan ke arah Mia.
―Hai, Alex. Ini kejutan yang menyenangkan. Biasanya kau
tidak menghadiri pesta-pesta macam ini,‖ kata Ray ketika sudah berdiri
di dekat mereka. Ia menoleh ke arah Mia dan menambahkan, masih sambil
tersenyum, ―Alex, selalu mengeluh bosan kalau ia terpaksa hadir.‖
―Karena ituah aku mengajak Clark,‖ sahut Alex datar.
―Supaya dia bisa menemaniku dan aku tidak bosan.‖
―Tapi kuharap kau tidak keberatan aku meminjamnya sebentar,‖ kata Ray.
Dan sebelum Alex sempat menjawab, ia menoleh menatap Mia dan bertanya,
―Kau terlihat cantik malam ini, jadi maukah kau berdansa denganku?‖
Mia tersenyum dan baru hendak menerima ajakan Ray ketika teringat bahwa
ia seharusnya menemani Alex. Ia menatap Alex dengan ragu. ―Kau tidak
keberatan, bukan?‖ tanyanya pelan.
Keraguan gadis itu membuat Alex senang. Setidaknya Mia tidak langsung
menerima ajakan Ray dan meninggalkan Alex berdiri sendiri seperti orang
bodoh.
―Alex tidak keberatan,‖ jawab Ray, walalupun bukan dirinya
yang ditanya.
―Kata Mom kau datang bersama Kellly. Di mana dia?‖ tanya
Alex agak ketus.
―Kelly sedang… entahlah, tadi kulihat dia sedang berkenalan dengan
beberapa penari pria di sebelah sana,‖ jawab Ray acuh tak
217
acuh. ―Jadi sementara dia sedang sibuk mengumpulkan mangsa-mangsa baru,
Mia bisa menemaniku berdansa. Ayo, Mia.‖
Alex memberengut melihat Ray meraih tangan Mia dan menyelipkannya
dilekukan sikunya.
Mia tertawa kecil, tetapi kembali menoleh ke arah Alex dan tatapan
bertanya terlihat jelas di matanya.
Alex menatap gadis itu, lalu mengembuskan napas pelan. Ia mengambil
gelas punch dari tangan gadis itu dan berkata, ―Pergilah.
Aku akan menunggumu di sini.‖
Seulas senyum cerah tersungging di bibir Mia dan matanya
berkilat-kilat gembiara. ―Aku akan segera kembali,‖ katanya sebelum
ia membiarkan Ray menariknya ke tengah-tengah ruangan tempat
beberapa pasangan mulai berdansa mengikuti irama musik.
―Alex, apakah kau sedang memberikan kesempatan pada
adikmu?‖ tanya ibunya.
―Sebaiknya dia sadar bahwa ini untuk terakhir kalinya,‖
gumam Alex sebelum ia benar-benar memahami maksud ucapannya sendiri.
Matanya terus mengamati sosok Mia yang sedang berdansa dan tertawa
dengan Ray dengan kening berkerut. Siapa yang menduga seorang b-boy
seperti Ray bisa berdansa waltz?
―Melihat caranya tersenyum, sepertinya Mia juga menyukai
Ray.‖
Kepala Alex berputar cepat ke arah ibunya, kerutan di
keningnya semakin dalam. ―Mia selalu tersenyum seperti itu kepada
semua orang.‖
218
―Ah, kau benar,‖ gumam ibu Alex, sama sekali tidak
menanggapi nada suara Alex yang tajam atau wajahnya yang
memberengut. ―Dia tersenyum pada semua orang dengan cara yang
sama. Tapi, tunggu. Hm, tidak. Itu tidak benar. Aku pernah melihat
dia menatap seseorang dengan cara yang berbeda.‖
―Apa maksud Mom?‖
Ibunya tersenyum lebar kepadanya lalu mengulurkan tangan
dan menepuk pipi Alex dengan pelan. ―Jangan memasang wajah
menakutkan seperti itu. Kau tahu…‖
―Kim! Alex! Senang sekali kalian bisa datang malam ini.‖
Alex dan ibunya serentak menoleh ke arah Dee Black yang
sedang berjalan menghampiri mereka dengan kedua lengan
terentang lebar.
―Oh, Dee. Tentu saja aku tidak melewatkan pestamu,‖ balas ibu Alex
sambil merangkul temannya. ―Pestamu selalu hebat.‖
―Alex, Alex, Alex.‖ Dee Black menoleh ke arah Alex yang berhasil
melenyapkan kerutan di wajahnya. ―Senang melihatmu lagi.
Kau datang berdua bersama ibumu?‖
Sebelum Alex sempat menjawab, ibunya menyela, ―Tentu saja
tidak. Kurasa dia tidak mungkin mau menjadi pasangan ibunya di
pesta-pesta seperti ini. Ayahnya sedang berbicara dengan temannya entah
di mana dan Ray baru saja menculik pasangan Alex. Jadi aku
terpaksa menemaninya.‖
Alex harus berusaha keras tidak memberengut ke arah ibunya.
Dee tertawa. ―Ah, Ray juga datang?‖
219
―Ya, itu dia,‖ sahut Alex sambil menunjuk ke arah orang-orang yang
berdansa. ―Kau bisa melihatnya?‖
Dee memanjangkan leher dan menyipitkan mata menatap ke
arah yang ditunjuk. Lalu ia tersenyum. ―Ya, ya, aku melihatnya.
Dia—oh… oh!‖
―Apa? Ada apa?‖ tanya Alex ketika ia melihat mata Dee
melebar dan terpaku ke arah Ray.
―Astaga, bukankah yang berdansa dengannya itu Mia Clark?‖
Suara Dee terdengar takjub.
Alex terkejut. ―Kau mengenalnya?‖
―Tentu saja,‖ sahut Dee tegas. Ia menoleh menatap Alex dan ibunya
bergantian, seolah-olah tidak mengerti kenapa mereka tidak mengenal
siapa Mia Clark sebenarnya. Lalu ia kembali mengarahkan pandangannya ke
arah Mia. ―Dia penari terbaik yang pernah bergabung dengan kelompok
tariku dan salah satu dari lima penari kontemporer terbaik di dunia saat
ini. Dan aku sangat, sangat kecewa ketika dia tiba-tiba mengundurkan
diri tahun lalu.‖
220
Bab Dua Puluh Satu
KETIKA ia dan Ray berjalan kembali ke tempat Alex dan ibunya
berdiri setelah lagu berakhir, Mia melihat Dee juga ada di sana. Dee
melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar dan Mia yakin Dee sudah
memberitahu Alex bahwa ia dulu pernah bergabung dengan kelompok tarinya.
Mia mendesah dalam hati. Alex pasti ingin tahu kenapa Mia tidak pernah
menyinggung soal itu. Bagaimana ia harus menjawabnya?
―Mia!‖ seru Dee dengan wajah berseri-seri dan merentangkan
kedua lengannya lebar-lebar. ―Ini kejutan yang menyenangkan! Apa
kabar?‖
Mia membiarkan dirinya dipeluk erat oleh sahabat sekaligus
gurunya. ―Hai, Dee, sudah lama sekali tidak bertemu denganmu,‖
balasnya hangat. ―Dan kabarku sangat baik. Bagaimana denganmu?‖
Ray memandang mereka berdua bergantian dengan heran.
―Kalian saling kenal?‖
Mia melepaskan pelukan Dee dan menoleh ke arah Ray. ―Ya. Dee adalah
guruku dan aku sudah belajar banyak darinya.‖
―Omong kosong. Kau tahu kau penari terbaik yang pernah
kumiliki dan kau sudah menguasai semua yang perlu dikuasai. Aku
tidak mengajarimu apa-apa,‖ bantah Dee sambil tertawa. ―Aku ingin
221
mengobrol banyak denganmu, Sayang, tapi aku harus menyapa tamu-tamuku
yang lain lebih dulu. Kau jangan pulang dulu. Kita harus mengobrol. Oh,
ya, kau sudah bertemu Aaron?‖
Mia tersentak mendengar nama itu dan matanya berkilat-kilat
senang. ―Aaron? Dia ada di sini?‖
―Tentu saja dia ada di sini. Aku akan memberitahunya bahwa kau juga ada
di sini. Dia pasti ingin bertemu denganmu,‖ kata Dee
sebelum akhirnya memohon diri untuk menyapa tamu-tamunya
yang lain. Namun sebelum pergi ia masih sempat menoleh ke arah
Mia dan mengingatkannya sekali lagi, ―Dan kau jangan ke mana-
mana, young lady. Ada yang harus kubicarakan denganmu.‖
Setelah Dee pergi, ibu Alex juga meninggalkan mereka, berkata bahwa ia
sebaiknya pergi mencari suaminya yang kini entah berada di mana.
―Wah, Mia, aku tidak menyangka kau pernah bergabung dengan Dee Black,‖
kata Ray dengan nada takjub. ―Kenapa kau tidak
pernah berkata apa-apa selama ini?‖
Mia mengangkat bahu. ―Aku hanya merasa hal itu tidak perlu
dibesar-besarkan.‖
―Ray,‖ tiba-tiba Alex membuka suara, kurasa sebaiknya kau pergi mencari
Kelly. Tidak baik kalau kau meninggalkannya begitu
saja sendirian.‖
Ray mengerang. ―Kurasa kau benar. Sebaiknya aku pergi mencarinya sebelum
dia memangsa semua di sini. Apa yang kupikirkan tadi ketika memutuskan
mengajaknya ke sini?
Seharusnya aku mengajak orang lain.‖
222
Ray berbalik dan berjalan pergi sambil menggerutu pelan, meninggalkan
Alex dan Mia berdua. Mia melirik Alex sekilas dan menunggu laki-laki itu
menanyakan sesuatu yang kurang lebih sama seperti yang ditanyakan Ray
tadi.
Tetapi ketika Alex berbicara, yang keluar dari mulutnya
adalah, ―Mau berdansa denganku?‖
Alis Mia terangkat kaget. ―Denganmu?‖
Alex meletakkan kedua gelas mereka yang sejak tadi dipegangnya ke atas
meja. ―Clark, aku memang tidak tahu apa-apa soal tarian waltz, hip-hop,
atau kontemporer, tapi aku jelas tahu cara menari,‖ katanya dengan nada
menggerutu. ―Sedikit-sedikit.‖
Mia tersenyum kecil. ―Kalau begitu, baiklah. Mari kita lihat
kemampuanmu menari.‖
―Kau akan tercengang,‖ gumam Alex sambil tersenyum lebar
sementara meraih tangan Mia dan menuntunnya ke lantai dansa. Getaran
hangat kembali menjalari lengan Mia. Ia selalu
merasakannya setiap kali Alex menyentuh lengannya atau menggenggam
tangannya. Tetapi ia mengenyahkan perasaan itu dan
berkata, ―Tolong jangan injak kakiku.‖
Mia seorang penari. Jadi sudah pasti ini bukan pertama kalinya ia
berdiri berhadapan begitu dekat dengan laki-laki. Ini juga sudah pasti
bukan pertama kalinya ia menyentuh laki-laki. Tetapi ini pertama kalinya
ia berdiri begitu dekat dengan Alex Hirano. Ini pertama kalinya ia
meletakkan sebelah tangannya di bahu Alex sementara tangannya yang lain
berada dalam genggaman Alex.
223
Mia membasahi bibir dengan gugup. Jantungnya berdebar begitu keras dan
ia hampir tidak berani mendongak menatap wajah Alex. Dan ketika tangan
kanan Alex meraih pinggangnya dan menariknya lebih dekat, Mia pun hampir
lupa cara bernapas.
Oh, demi Tuhan, Mia, kendalikan dirimu! Mia mengomeli dirinya sendiri
dalam hati.
Kemudian Alex mulai bergerak dan Mia mendapati dirinya mengikuti gerakan
Alex dengan mudah. Oh, Alex memang bukan penari profesional dan ia
tidak berusaha menari waltz, tetapi ada sesuatu yang terasa menyenangkan
dari gerakannya yang ringan. Mia berubah santai. Ia tidak lagi
memikirkan teknik benar atau postur tubuh yang tepat. Tangan Alex yang
menggenggam tangannya terasa hangat. Tangannya yang lain yang menempel
di punggungnya juga mengirimkan getaran hangat menjalari sekujur
tubuhnya. Mia merasa begitu nyaman sampai harus berusaha keras mencegah
dirinya menyandarkan dagu di bahu Alex.
Ini menyenangkan, pikir Mia sambil memejamkan mata.
Menyenangkan, tapi berisiko. Ia menghela napas dalam-dalam. Ia tidak
bisa mengambil resiko saat ini. Untuk mengendalikan pikirannya
yang mulai melantur, Mia berusaha membuka percakapan. ―Kau
tidak ingin bertanya kepadaku kenapa aku tidak pernah bercerita bahwa
aku mengenal Dee?‖ tanyanya kepada Alex. Ia agak heran karena Alex belum
bertanya apa-apa tentang hal itu karena ia yakin laki-laki itu pasti
penasaran.
Alex mengangkat bahu dan memutar Mia dengan pelan.
Ketika Mia kembali dalam pelukannya, Alex berkata, ―Ray sudah
224
bertanya dan kau sudah menjawab. Walaupun tentu saja kau tidak
benar-benar menjawab dan bukan itu jawaban yang sebenarnya.‖
Mia hendak membuka mulut untuk membantah, tapi Alex menyelanya. ―Tapi
kurasa kau punya alasan sendiri kenapa kau tidak mau—atau lebih
tepatnya, belum mau—mengatakan yang
sebenarnya.‖
Mia mendongak menatap Alex. Yang dikatakan Alex memang benar dan Mia
kaget ketika menyadari laki-laki itu mengenal dirinya dengan baik.
―Jadi aku tidak akan mendesakmu,‖ lanjut Alex sambil
menunduk menatap Mia. Seulas senyum samar tersungging di
bibirnya. ―Kau akan mengatakannya kepadaku saat kau memang
ingin mengatakannya kepadaku.‖
Mia menghela napas lega karena Alex tidak mendesaknya menjelaskan
segalanya. Nah, siapa yang menyangka Alex Hirano bisa bersikap penuh
pengertian seperti ini? ‖Terima kasih,‖ gumamnya lirih.
―Tapi ada satu hal yang harus kutanyakan,‖ kata Alex,
membuat Mia menegang kembali.
―Apa itu?‖
―Siapa Aaron?‖
*****
Mata hitam yang menatap Alex melebar sedikit, lalu kecemasan yang sempat
berkelebat di sana sedetik lalu menghilang. ―Oh, Aaron?‖
225
―Ya, siapa Aaron?‖ tanya Alex sekali lagi.
―Salah seorang penari utama Dee Black Dance Company dan teman yang
sangat baik,‖ sahut Mia. Pandangannya menerawang dan seulas senyum samar
tersungging di bibirnya. ―Sudah lama
sekali aku tidak bertemu dengannya. Aku jadi ingin tahu bagaimana
kabarnya sekarang.‖
―Kalian tidak berhubungan setelah kau mengundurkan diri?‖
tanya Alex.
Mia menggeleng dan tersenyum menyesal. ―Mereka berbasis di Miami,
Florida, sedangkan aku kembali ke New York setelah mengundurkan diri.
Kurasa kami hanya terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing.‖
Alex menatap Mia yang sepertinya masih melamunkan masa
lalunya. Ia tidak ingin bertanya, tetapi ia harus tahu. ―Kau yakin hanya
teman baik?‖ tanya Alex dengan nada yang diusahakan terdengar ringan.
―Sepertinya hubungan kalian lebih dari itu.‖
Mia tertawa kecil dan menatap Alex. ―Kau benar,‖ akunya.
Dan Alex merasa perutnya menegang. ―Dulu aku memang
menyukainya. Bagaimana tidak? Aaron laki-laki yang menarik, berbakat,
baik, dan penuh perhatian. Seandainya aku tidak
mengundurkan diri, kurasa kami pasti sudah bersama.‖
Terlalu banyak informasi, gerutu Alex dalam hati. Terlalu banyak
informasi yang tidak ingin kudengar. Jadi Mia pernah menyukai laki-laki
bernama Aaron itu. Gagasan itu membuat Alex gelisah. Apakah perasaan itu
masih bertahan sampai sekarang?
226
―Kau sangat percaya diri,‖ gumam Alex sambil memberengut.
―Kenapa kau yakin kalian pasti akan bersama kalau kau tidak
mengundurkan diri. Kau yakin dia juga memiliki perasaan yang
sama padamu?‖
Mia terdiam, menarik napas sejenak, lalu berkata pelan, ―Dia
pernah menyatakan perasaannya padaku. Tepat setelah aku
memutuskan mengundurkan diri.‖
Lagi-lagi informasi yang tidak ingin Alex dengar. Mia dan laki-laki itu
saling menyukai. Hebat. Alex mengertakkan rahang dan
bertanya, ―Tapi kenapa kau mengundurkan diri?‖
―Itu… ― Mia mendongak dan tersenyum samar kepada Alex.
―Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain kali.‖
Sebelum Alex sempat berbicara, lagu itu berakhir dan orang-orang
bertepuk tangan. Mia menurunkan kedua tangannya dan mundur selangkah,
memberi jarak di antara mereka. Ini memang gila, tetapi Alex merasa
kehilangan. Berusaha menutupi perasaannya
yang aneh, Alex bertanya, ―Mau minum lagi?‖
―Tentu,‖ sahut Mia ringan.
Namun sebelum mereka sempat meninggalkan lantai dansa, seseorang
memanggil nama Mia dan mereka serentak menoleh. Seorang pemuda jangkung,
ramping, dan berambut gelap berhenti melangkah di hadapan Mia dan
tersenyum lebar kepadanya.
―Ketika Dee memberitahuku kau ada di sini, aku hampir tidak percaya.
Tapi kau benar-benar ada di sini,‖ kata laki-laki itu pelan. Mata
hijaunya menatap Mia yang saat itu terlihat mematung. Perlahan-lahan
sudut-sudut bibir laki-laki itu tertarik ke atas,
227
membentuk seulas senyum yang sangat menawan. ―Halo, Mia. Kau tidak mau
menyapaku?‖
Mia mengerjap sekali, ―Aaron,‖ bisiknya pelan, tetapi Alex
mendengarnya. Sedetik kemudian Mia sudah melemparkan diri ke arah si
laki-laki berambut gelap dan melingkarkan kedua lengannya di leher
laki-laki itu.
Apa-apaan…? Dengan susah payah Alex menahan desakan untuk menarik Mia
dari laki-laki itu. Apalagi ketika laki-laki itu mengangkat kedua
lengannya dan balas memeluk Mia dengan erat.
―Aaron,‖ gumam Mia sambil tersenyum lebar, masih memeluk
laki-laki itu. ―Aaron, Aaron, Aaron.‖
Aaron tertawa lirih. ―Aku juga senang melihatmu lagi, Mia.‖
Tepat ketika Alex merasa tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, Mia
melepaskan pelukannya dan menatap Aaron dengan mata berbinar-binar.
―Jadi bagaimana kabarmu?‖ tanya Aaron. Dan Alex memberengut melihat
laki-laki itu menggenggam tangan Mia.
Mia menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah ingin menjernihkan pikiran,
namun senyum lebar masih tersungging di bibirnya. ―Kabarku sangat baik.
Bagaimana denganmu?‖
―Kau bisa lihat sendiri. Aku juga baik-baik saja,‖ sahut Aaron.
Lalu matanya beralih ke arah Alex yang masih berdiri di sana dan menolak
meninggalkan Mia bersama laki-laki itu.
Seolah-olah baru menyadari keberadaan Alex, Mia menoleh ke arahnya dan
berkata, ―Oh, Alex, kenalkan ini teman baikku. Aaron
Rogers. Aaron, ini Alex Hirano.‖
228
Alex menjabat tangan Aaron yang terulur dan bergumam,
―Halo.‖
―Apa kabar?‖ sapa Aaron ramah. Lalu ia berkata, ―Omong-omong, kuharap
kau tidak keberatan aku berdansa dengan Mia.‖
Alex mengertakkan gigi. ―Tentu. Tapi pastikan kau mengembalikannya
kepadaku setelah itu,‖ katanya sambil tersenyum kecil, mengabaikan
tatapan tajam yang dilemparkan Mia ke arahnya.
Alis Aaron terangkat heran. Ia menatap Mia dengan ragu, lalu kembali
menatap Alex dan berkata, ―Baiklah. Tidak masalah.‖
Alex menoleh menatap Mia dan tersenyum sekilas. ―Aku akan menunggu di
tempat tadi,‖ katanya pelan, lalu berbalik dan berjalan
pergi tanpa menunggu jawaban Mia.
Di tengah jalan ia berpapasan dengan pelayan yang menawarkan sampanye.
Tanpa berpikir panjang, Alex mengambil segelas sampanye dari nampan si
pelayan dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Ia meletakkan gelas
kosongnya kembali ke nampan dan mengambil segelas sampanye lagi sebelum
membiarkan pelayan itu pergi.
―Pasangan yang serasi, bukan?‖
Alex menoleh ke arah Dee Balck yang tiba-tiba saja sudah berdiri di
sampingnya. Ia mengikuti arah pandang wanita itu dan matanya terpaku
pada sosok Mia dan Aaron yang sedang berdansa mengikuti irama musik.
Gerakan mereka sangat tepat dan anggun. Aaron Rogers memang pandai
berdansa. Sialan, mereka memang terlihat serasi.
229
―Tentu,‖ gumam Alex. Matanya masih terpaku pada Mia yang
bergerak ringan seperti kupu-kupu di pagi hari. Kemudian Aaron Rogers
memutar Mia beberapa kali dan ketika ia menarik Mia kembali ke dalam
pelukannya, gadis itu menengadahkan kepala dan tertawa lepas.
Tiba-tiba saja Alex merasa ada sesuatu yang menegang di dadanya.
―Aaron dan Mia dulu adalah pasangan emasku,‖ lanjut Dee
dengan nada bangga. ―Mereka memiliki kemampuan yang sama, teknik yang
sempurna, dan gairah menari yang besar. Dan yang terpenting, mereka
saling menyukai.‖
Alex menatap Dee dengan alis berkerut. Salah mengartikan
ekspresi Alex, Dee berkata, ―Oh, ya, itu sangat penting. Aku pernah
melihat pasangan penari yang sangat serasi dari segi fisik, kemampuan,
dan teknik, tapi saling membenci. Dan itulah yang merusak penampilan
mereka secara keseluruhan. Itu bencana yang
mengerikan.‖
Alex menyesap sampanyenya dan kembali menatap Mia yang masih menatap
Aaron dengan mata berbinar-binar.
Dee mencondongkan tubuh ke arah Alex dan berkata dengan
nada rendah, ―Aku selalu merasa mereka terlihat lebih dari sekedar
teman biasa. Bagaimana menurutmu?‖
Alex memilih untuk tidak menjawab dan kembali menyesap
sampanyenya.
Sama sekali tidak tersinggung karena Alex tidak menjawab,
Dee mendesah dan berkata, ―Seandainya saja Mia tidak
230
mengundurkan diri. Seandainya saja mereka bisa berpasangan dalam
pertunjukanku ini. Yah, tentu saja penari utama wanitaku untuk
pertunjukan ini juga sangat berbakat dan cocok berpasangan dengan Aaron,
tapi tidak ada yang bisa menandingi Mia. Sungguh. Seandainya saja aku
bisa melihat Mia menari dalam pertunjukan ini,
walaupun hanya sekali, aku pasti akan…‖
Tiba-tiba Dee menghentikan aliran kata-katanya dan tertegun.
Alex menoleh menatapnya dan bertanya, ―Ada apa?‖
Dee mengerjap satu kali, lalu menoleh menatap Alex sambil
tersenyum lebar. ―Alex, kurasa aku baru mendapat gagasan bagus,‖
katanya dengan wajah berseri-seri. ―Oh, Alex, aku harus pergi sekarang
dan mengurus beberapa hal.‖
Sebelum Alex sempat berkata apa-apa, wanita itu sudah berbalik dan
berjalan pergi dengan langkah lebar. Alex menggeleng-geleng kepala tidak
mengerti, lalu kembali mengamati Mia dan Aaron yang masih asyik
berdansa dengan kening berkerut.
Tiba-tiba Alex merasa seseorang menggandeng lengan kanannya dan
mendengar suara yang sudah tidak asing baginya berkata, ―Halo, Sepupu,
kenapa kau berdiri sendirian di sini seperti
orang patah hati?‖
Alex menoleh dan tersenyum kepada sepupunya yang balas menatapnya sambil
tersenyum lebar. Kelly Hirano adalah gadis cantik bertubuh kecil,
berambut cokelat panjang, dan bermata cokelat
cerah. Alex memandang ke kiri dan ke kanan, lalu bertanya. ―Di
mana Ray? Kulihat tadi dia sedang mencarimu.‖
231
Kelly mengibaskan sebelah tangannya. ―Oh, dia sudah
berhasil menemukanku tadi. Kemudian dia diculik oleh wanita tua
genit yang memaksa Ray berdansa dengannya. Kasihan Ray, dia tidak bisa
melarikan diri tanpa harus bersikap kasar.‖
Alex tertawa.
―Kurasa teman kencanmu juga diculik orang lain?‖ tanya
Kelly.
Sebagai jawaban, Alex menggerakkan dagunya, menunjuk sosok Mia di lantai
dansa. Kelly mengikuti arah pandangannya dan
mengangguk. ―Itu yang namanya Mia Clark? Gaun hijau, rambut
hitam, dan senyum secerah matahari yang bisa menerangi dunia
itu?‖
―Satu-satunya.‖ Alex mengangguk.
Kelly menoleh ke arah Alex dan berkata, ―Karena pasangan kita sama-sama
diculik orang lain, kurasa kita harus berdansa
bersama. Bagaimana menurutmu?‖
Alex tersenyum dan mengangkat bahu. ―Kurasa itu gagasan yang bagus,
Sepupu,‖ gumamnya sambil meletakkan gelas
sampanyenya di atas meja.
―Aku tahu Ray menyukai gadis itu,‖ kata Kelly ketika mereka
sudah bergabung dengan pasangan-pasangan lain di lantai dansa.
―Siapa?‖ tanya Alex berpura-pura bodoh, walaupun ia bisa
menebak siapa gadis yang dimaksud Kelly.
―Mia Clark.‖
―Oh, ya?‖
232
Kelly mengangguk. ―Tidak sulit menebaknya. Lagi pula Ray sama sekali
tidak merahasiakan perasaannya,‖ katanya acuh tak acuh. ―Dan dari caramu
menatap gadis itu sejak tadi, kurasa kau juga
tertarik padanya dan tidak suka melihatnya berdansa dengan pria
lain.‖
―Kelly, imajinasimu berlebihan.‖
―Apakah Ray tahu kau juga tertarik pada Mia Clark?‖ ―…‖
―Apakah Mia Clark tahu kalian berdua tertarik padanya?‖ ―…‖
―Kurasa dia tahu Ray menyukainya, tapi tidak tahu bahwa kau juga
menyukainya.‖
―…‖
―Aku benar, bukan?‖ ―Kelly?‖
―Ya?‖
―Tidak heran sampai sekarang kau masih belum punya pacar. Kau terlalu
banyak bicara.‖
Kelly melotot kepada Alex. ―Apa?‖ Alex Hirano, asal kau tahu, banyak
laki-laki yang mengejarku dan…‖
Alex tertawa sementara Kelly mulai berceloteh tentang semua laki-laki
yang menurutnya mengejar-ngejar dirinya di kampus. Setidaknya sekarang
Alex berhasil mengalihkan perhatian Kelly dan topik tentang Mia Clark.
Alex memandang melewati kepala Kelly ke
arah Mia yang saat itu sedang… Tunggu, apa yang sedang dilakukan
233
gadis itu? Kenapa ia lagi-lagi berpelukan dengan Rogers? Dan kenapa ia
harus tersenyum kepada Rogers seperti Itu?
Sementara Kelly terus bercerita panjang-lebar tentang kehidupan
cintanya. Alex lagi-lagi mendapati dirinya berusaha menahan diri untuk
tidak berderap ke arah pasangan itu dan menarik Mia dengan paksa dari
Rogers.
Sungguh, Mia harus berhenti memeluk Rogers setiap sepuluh menit. Dan,
demi Tuhan, sebaiknya ia berhenti tersenyum kepada semua orang seperti
itu.
*****
―Mia, kau melamun?‖
Mia tersentak dan mengalihkan pandangannya dari Alex Hirano yang
berdansa dengan gadis cantik berambut gelap panjang
dan kembali memandang Aaron. ―Maaf, kau mengatakan sesuatu?‖
―Aku tadi berkata bahwa kita akan sering bertemu sekarang
karena aku akan tinggal di New York selama satu bulan ke depan,
selama pertunjukan kami di sini.‖
―Oh, begitu,‖ gumam Mia sambil tersenyum lebar. ―Ya, itu
bagus sekali.‖
―Jadi apakah kau punya waktu luang besok siang? Mungkin kita bisa makan
siang bersama?‖
―Oh.‖ Teringat bahwa waktu luangnya kini tergantung pada Alex Hirano,
Mia otomatis kembali memandang ke arah Alex yang saat itu sedang
menertawakan sesuatu yang dikatakan gadis di
234
hadapannya. Mia tertegun. Itulah pertama kalinya Mia melihat Alex Hirano
tertawa. Dan Mia mendapati dirinya bertanya-tanya apa yang dikatakan
gadis itu sampai bisa membuat Alex Hirano tertawa seperti tadi.
―Mia?‖
Mia mengerjap dan kembali menatap Aaron. ―Eh, besok? Ya, ya, tentu
saja,‖ sahutnya.
―Bagus,‖ kata Aaron sambil tersenyum gembira. Mata hijaunya melembut
menatap Mia. ―Aku senang bertemu denganmu lagi, Mia. Aku merindukanmu.‖
Mia balas tersenyum. ―Aku juga, Aaron. Aku juga,‖
gumamnya, lalu berjinjit dan merangkul Aaron sekilas.
Saat itu bayangan Alex Hirano yang sedang tertawa lepas kembali tebersit
dalam benaknya. Tiba-tiba saja Mia mendapati dirinya berharap bisa
melihat tawa itu sendiri. Tiba-tiba saja Mia mendapati dirinya berharap
dirinyalah yang membuat Alex tertawa seperti itu.
235
Bab Dua Puluh Dua
DI mana gadis itu?
Alex melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari sosok Mia
tanpa hasil. Satu jam yang lalu Aaron Rogers sudah
―mengembalikan‖ Mia kepada Alex setelah mereka selesai berdansa.
Kemudian Mia dihampiri oleh beberapa teman lamanya sesama penari yang
dikenalnya di Dee Black Dance Company. Alex membiarkan Mia mengobrol
dengan mereka sementara ia sendiri berbicara dengan beberapa orang yang
dikenalkan ayahnya kepadanya. Lalu Mia berdansa dengan beberapa orang
temannya— setelah memastikan Alex tidak keberatan ditinggal sebentar.
Alex tidak keberatan, karena setelah itu Mia mengajaknya berdansa sekali
lagi.
Tetapi di mana gadis itu sekarang? Sudah dua puluh menit berlalu sejak
gadis itu berkata kepada Alex bahwa ia ingin pergi ke kamar kecil dan
sampai sekarang gadis itu belum terlihat. Alex benar-benar khawatir
karena sepanjang pengetahuannya wanita memang sering menghabiskan banyak
waktu di kamar kecil. Entah bergosip, enatah membedaki hidung mereka,
entah apa lagi. Ia hanya ingin memastikan keberadaan Mia, memastikan Mia
tidak mengalami kesulitan atau semacamnya.
236
Alex menghampiri Kelly yang sedang berdebat sengit dengan dua orang
wanita tentang kelebihan dan kekurangan mencari pasangan melalui
internet dan menyela ringan, ―Maaf, ladies, kuharap
kalian tidak keberatan aku meminjamnya sebentar.‖
Kedua wanita itu merelakan Kelly dengan senang hati. Salah
seorang di antara mereka malah bergumam lirih. ―Kau boleh meminjamnya
selama yang kau inginkan.‖
―Ada apa?‖ tanya Kelly heran ketika Alex menariknya agak
menjauh.
―Aku ingin kau pergi ke kamar kecil dan melihat Apakah Mia ada di sana,‖
kata Alex tanpa ekspresi.
Kelly mendengus keras dan menarik sikunya dari pegangan Alex. ―Astaga,
Alex, dia bukan anak kecil yang harus selalu dijaga. Dia wanita dewasa
yang sangat mampu menjaga dirinya sendiri. Dan asal kau tahu, laki-laki
yang posesif sudah ketinggalan zaman.
Mengerti? Sama sekali tidak menarik.‖
Alex menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Kelly
dengan tajam. ―Aku tidak posesif. Sudah dua puluh menit berlalu
sejak dia pergi ke kamar kecil,‖ katanya dengan tenang. ―Aku hanya
ingin memastikan dia baik-baik saja. Jadi kau hanya perlu masuk dan
melihat apakah dia masih ada di sana.‖
Kelly menatap Alex sejenak dengan mata disipitkan, lalu
menyerah. ―Oh, baiklah,‖ desahnya dan berbalik pergi.
Beberapa menit kemudian Kelly kembali dan berkata pendek,
―Tidak ada.‖
Alex mengangkat alis. ―Dia tidak ada di sana?‖
237
Kelly menggeleng.
―Kalau begitu di mana dia?‖ gumam Alex, lebih kepada dirinya sendiri. Ia
mengeluarkan ponsel, menekan nomor telepon Mia sebelum menempelkannya
ke telinga. Nada sambung terdengar dan Alex berjalan ke arah pintu kaca
ganda yang terbuka lebar ke arah taman kecil yang terawat rapi. Udara
terasa dingin dan Alex memasukkan tangannya yang tidak memegang ponsel
ke saku celana. Taman kecil itu sepi dan gelap, hanya ada empat lampu
taman di setiap sudut yang memberikan penerangan remang-remang. Para
tamu lebih memilih tetap di dalam ruangan yang hangat daripada menggigil
di luar, tetapi Alex ingin menjauh sebentar dari kebisingan supaya bisa
menelepon.
Mia tidak menjawab telepon. Alex kembali menekan nomor gadis itu dan
kembali menempelkan ponsel ke telinga. Ia menuruni tangga batu beranda
dan berdiri di tengah-tengah jalan setapak sementara kembali mendengar
nada sambung monoton di ponselnya.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi samar yang membuatnya tertegun. Ia
menurunkan ponselnya dan memasang telinga. Benar. Ia mendengar dering
ponsel yang samar-samar. Tanpa menutup ponsel, Alex bergerak menyusuri
jalan setapak mencari sumber dering ponsel yang semakin jelas dan yang
kini dikenalinya sebagai dering ponsel Mia. Alex berbelok di sudut
gedung, mengikuti arah jalan setapak, kemudian tiba-tiba langkah kakinya
berhenti dan matanya melebar kaget melihat apa yang ada di depan
matanya.
*****
238
Mia baru saja keluar dari kamar kecil dan hendak kembali ke ruang pesta
ketika dadanya tiba-tiba sakit. Rasa sakitnya begitu mendadak sampai ia
harus berhenti melangkah dan menggapai dinding untuk menahan tubuhnya.
Karena tidak ingin membuat kehebohan, Mia bergegas menghampiri salah
satu pintu kaca di dekatnya dan mendapati dirinya berada di taman kecil
yang sepi dan disinari bulan.
Udara dingin bulan Desember menerjangnya, tetapi Mia tidak sempat
merasakan dinginnya karena begitu ia menginjakkan kaki di taman itu,
rasa sakit di dadanya kembali menyerangnya. Ia mengerang tertahan dan
memejamkan mata erat-erat. Ia berusaha mengatur napas selagi jatuh
tertunduk di salah satu bangku kayu berderet di jalan setapak taman itu.
Obat, pikir Mia sambil menggigit bibir menahan sakit. Obatku. Dengan
susah payah karena tangannya gemetar, ia berusaha membuka tas tangan
kecilnya dan menuangkan isinya yang tidak seberapa ke bangku. Ia meraih
tabung plastik kecil itu dengan panik, membuka tutupnya dan mengeluarkan
sebutir pil yang kemudian dimasukkannya ke dalam mulut. Ia membiarkan
tas tangan dan ponselnya jatuh tergeletak di tanah. Tangannya yang
meremas tabung plastik itu ditempelkan ke dada, berharap hal itu bisa
meredakan rasa sakit di sana, walaupun ia tahu itu sia-sia saja.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Mia hampir tidak menyadarinya karena ia
sedang kesakitan dan berusaha mengatur napas. Pandangannya mulai buram
dan ia harus menopang
239
tubuhnya di bangku itu dengan sebelah tangan supaya tidak jatuh ke
tanah.
Sebutir air mata jatuh bergulir di pipinya sementara ia merintih menahan
sakit. Ia ingin rasa sakitnya berhenti. Ia tidak boleh jatuh pingsan di
sini. Ia tidak boleh.
Tepat pada saat itu suara seseorang menerobos kabut rasa sakit yang
menyelubungi otaknya. Lalu Mia merasa seseorang menahan tubuhnya. Ia
membuka mata dan melihat wajah Alex Hirano yang pucat dan menatapnya
dengan mata terbelalak cemas.
―Clark, ada apa?‖ tanyanya. Mia bisa mendengar nada cemas
dalam suara Alex. ―Ada apa?‖
Oh, astaga. Kenapa Alex Hirano bisa ada di sini? Kenapa laki-laki itu
harus melihatnya dalam keadaan seperti ini? Mia berusaha menggeleng.
Alex duduk di sampingnya dan membiarkan Mia menyandarkan tubuh ke sisi
tubuhnya.
―Kau sakit?‖ tanya Alex lagi. ―Kita harus ke rumah sakit.‖
Mendengar itu Mia cepat-cepat mencengkeram lengan Alex dan menggeleng
lebih keras lagi. ―Tidak,‖ katanya dengan susah
payah. Suaranya hanya terdengar seperti bisikan serak. ―Aku akan
baik-baik saja.‖
Sepertinya Alex hendak memprotes keras, tetapi cengkeraman
Mia di lengannya semakin erat dan Mia menambahkan, ―Sudah
minum obat… Sebentar lagi… aku akan baik-baik saja… Sebentar
lagi.‖
Mia tahu laki-laki itu pasti gusar, tetapi Alex tidak
membantahnya dan membiarkan Mia mencengkeram lengannya,
240
bersandar padanya. Kemudian Alex memperbaiki posisi tubuh Mia
ketika ia melepaskan jasnya, yang kemudian disampirkannya ke
sekeliling tubuh Mia.
―Kau gemetaran.‖ Mia mendengar Alex bergumam dengan
nada kaku. Ia merangkul bahu Mia dan mengusap-usap lengan dan punggung
Mia yang terbungkus jas.
Mia membiarkan matanya tetap terpejam sementara napasnya perlahan-lahan
kembali normal dan rasa sakit di dadanya berkurang. Ia tidak tahu apakah
karena sentuhan Alex atau karena laki-laki itu sendiri, tetapi ia
merasa sedikit lebih baik.
―Apakah sakit sekali?‖ Suara Alex yang lirih dan bernada
khawatir terdengar dekat di telinga Mia.
Mia tersentak dan menggigil. Alex melihatnya dalam keadaan seperti ini.
Ia tidak mungkin membiarkan orang lain melihatnya
seperti ini. Ia harus pergi. Sekarang. ―Aku ingin pulang,‖ bisiknya
dengan suara yang sedikit lebih terkendali. ―Apakah kau keberatan?‖
―Sama sekali tidak,‖ sahut Alex tanpa ragu. Ia mengeluarkan
ponsel dan menelepon sopirnya, memintanya menunggu mereka di
pintu depan. Setelah itu ia menunduk menatap Mia. ―Kau bisa
berdiri?‖
Sebenarnya Mia masih belum merasa cukup kuat untuk bergerak, apalagi
berdiri, tetapi ia tahu ia harus memaksakan diri. Namun sebelum ia
sempat menarik diri menjauh dari Alex, Alex sudah mengambil keputusan
untuknya, Alex menunduk untuk memungut tas tangan dan ponsel Mia,
meletakkannya di pangkuan Mia, lalu berdiri dengan perlahan, sebelah
tangannya merangkul
241
bahu Mia dan tangan yang lain diselipkan di bawah lutut Mia. Dan
tiba-tiba saja Mia sudah terangkat dari kursi dan berada dalam pelukan
Alex.
―A-Alex… kau tidak perlu.‖
―Sst, tidak apa-apa,‖ gumam Alex dengan nada menenangkan.
Ia memperbaiki posisi Mia dalam pelukannya dan berjalan dengan langkah
lebar ke dalam ruangan, menyusuri koridor yang untungnya sepi dan
langsung ke pintu depan.
Mia mendesah pelan. Ia terlalu lemah dan kesakitan untuk memprotes atau
melakukan apa pun selain menyandarkan kepala ke bahu Alex dan memejamkan
mata. Lagi pula ia merasa nyaman dipeluk seperti itu.
*****
Alex tidak mau mengingat bagaimana perasaannya ketika menemukan Mia yang
mengerang kesakitan di bangku taman. Rasa dingin yang menjalari
tubuhnya saat itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan udara dingin
dan itu bukan sesuatu yang pernah dirasakannya atau ingin dirasakannya
lagi. Ketakutan, kebingungan, kecemasan, dan kepanikan bercampur baur
dalam pikirannya sementara ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya
untuk gadis yang menangis menahan sakit di hadapannya.
Dan Mia memang benar-benar kesakitan, karena gadis itu mencengkeram
lengan Alex begitu erat, kuku-kuku gadis itu seolah-olah menembus kemeja
putihnya dan tertancap di kulitnya.
242
Ketika mereka sudah berada di kursi belakang Lexus Alex, Mia mulai
bernapas sedikit lebih teratur walaupun wajahnya masih pucat pasi. Ia
masih membiarkan Alex merangkul bahunya dan ia masih membiarkan dirinya
bersandar di sisi tubuh Alex.
―Mr. Hirano, apakah teman anda sakit?‖ tanya sopir Alex
dengan nada cemas sambil menatapnya melalui kaca spion. ―Kita ke
rumas sakit?‖
Alex ingin membawa Mia ke rumah sakit. Gadis itu benar-benar kesakitan
dan ia tidak ingin mengambil resiko. Tetapi kemudian Mia mengangkat
wajah dari bahunya dan menatap mata Alex dengan tatapan memohon.
―Aku tidak ingin ke rumah sakit. Aku akan baik-baik saja.‖
Bisiknya lirih. Lalu ia menelan ludah dan melanjutkan, ―Ini sudah
pernah terjadi. Aku hanya perlu minum obat dan aku akan baik-baik
saja. Sungguh.‖
Alex menatap Mia dengan kening berkerut ragu.
―Sekarang aku sudah merasa lebih baik,‖ tambah Mia,
berusaha meyakinkan Alex. ―Kalau kau melihatku kesakitan lagi, kau
boleh membawaku ke rumah sakit. Tapi sekarang aku hanya ingin
pulang.‖
Alex memalingkan wajah ke depan, berpikir sejenak, lalu mengangguk
pelan. ―Baiklah.‖ Alex menatap sopirnya melalui kaca spion dan berkata,
―Kita pulang sekarang.‖
―Terima kasih,‖ bisik Mia lagi.
Alex menunduk menatapnya. ―Kita tidak akan pergi ke rumah sakit, tapi
kau akan menginap di tempatku malam ini.‖
243
Mata Mia melebar.
―Aku tidak mungkin dan tidak akan meninggalkanmu
sendirian di apartemenmu dalam keadaan seperti ini,‖ kata Alex
dengan nada suara yang menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah,
―Kita bisa mampir di apartemenmu terlebih dahulu kalau ada obat
lain yang harus kau minum malam ini.‖
Mia memejamkan mata sejenak dan membasahi bibirnya yang kering. Sebelah
tangannya terangkat ke kening, lalu ia menarik napas perlahan dan
mengernyit samar. Ia memutuskan bahwa ia masih terlalu lemah untuk
memprotes, jadi ia akhirnya berkata dengan
nada menggerutu, ―tidak perlu. Aku menyimpan cadangan obat di
apartemenmu,‖ katanya pelan.
244
Bab Dua Puluh Tiga
“JADI selama ini kau menyimpan obat-obatanmu di sana?‖
tanya
Alex sambil menyandarkan sebelah bahunya ke pintu kulkas.
Saat itu mereka sudah berada di apartemennya dan Alex mengamati Mia
mengeluarkan kantong platik bening berisi obat-obatannya dari salah satu
lemari di dapur. Keadaan Mia sudah jauh lebih baik ketika mereka tiba
di apartemen Alex. Walaupun wajahnya masih pucat pasi, gadis itu sudah
bisa berdiri tegak dan berjalan tanpa perlu dipapah.
―Sudah kubilang aku sudah merasa sehat,‖ gerutu Mia sambil memilah-milah
obatnya di atas meja dapur. ―Aku tidak perlu dijaga.‖ Alex menyilangkan
lengan di depan dada. ―Aku tidak mau berdebat denganmu soal itu lagi,‖
katanya tegas. ―Kau tidak akan
pergi ke mana-mana malam ini. Kau bisa tidur di kamar tamu.‖
Mia menelan obatnya satu per satu, lalu melotot kepada Alex yang
membalasnya dengan senyum lebar. Kalau gadis itu sudah bisa merasa gusar
padanya, itu tanda bagus. Setidaknya itu berarti ia sudah merasa cukup
sehat untuk marah-marah.
―Omong-omong,‖ kata Alex sambil mengamati gaun Mia dengan alis berkerut,
―apakah kau juga menyimpan pakaian di sini?‖
―Apa? Tidak. Memangnya kenapa?‖
245
Alex mengangkat bahu. ―Kau terlihat mengagumkan, Clark,
percayalah padaku, tapi kau tidak mungkin merasa nyaman tidur
dengan gaun itu,‖ katanya.
Mia menunduk menatap gaunnya. ―Oh,‖ gumamnya datar.
―Jangan khawatir. Ikut aku,‖ kata Alex sambil berbalik dan berjalan
menyusuri koridor ke arah kamar tidurnya. Mia ragu sejenak sebelum
beranjak dari tempatnya berdiri dan menyusul Alex.
Alex membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan langsung berderap
menghampiri lemari di sisi ruangan. Ia membuka pintu lemari dan
mengamati isinya sejenak sebelum akhirnya
mengeluarkan sweter putih dengan tulisan I ♥ NY di bagian depan
dan sehelai handuk bersih.
―Pakai ini,‖ katanya sambil menjejalkan sweter dan handuk itu ke tangan
Mia. ―Sweter ini pasti jauh lebih nyaman dari pada gaun yang kau kenakan
sekarang.‖
Mia menunduk menatap sweter di tangannya dan tidak tahu harus berkata
apa.
Alex menatap Mia sejenak, lalu tersenyum kecil dan bertanya,
―Kau butuh bantuan?‖
Mia mengangkat wajah dan menatap Alex dengan alis terangkat, lalu
menunduk lagi menatap sweter di tangannya dan gaun hijau yang masih
melekat di tubuhnya. Kemudian ia kembali menatap Alex sambil
mengeluarkan suara yang setengah mendengus
setengah tertawa. ―tidak usah, terima kasih banyak. Aku sudah
merasa cukup sehat untuk berganti pakaian sendiri.‖ katanya sambil
berbalik dan berjalan keluar dari kamar Alex ke kamar tamu.
246
*****
Mia mendesah menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang tergantung
di kamar tamu. Ia sudah berganti pakaian dan sekarang mengenakan sweter
Alex yang panjangnya mencapai lututnya. Ia merentangkan kedua lengan ke
samping dan tersenyum kecil melihat dirinya yang seolah-olah tenggelam
dalam sweter itu. Perlahan-lahan senyumnya memudar. Sweter itu juga
membuatnya terlihat jauh lebih kurus dan mengingatkannya bahwa berat
badannya memang menurun akhir-akhir ini.
Mia menyentuh pipinya yang pucat dan mendesah sekali lagi. Ia tahu ia
harus menjelaskan keadaannya kepada Alex Hirano. Laki-laki itu pasti
membutuhkan penjelasan setelah melihat Mia dalam kondisi seperti tadi.
Mia memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya bagaimana perasaan Alex
ketika melihatnya kesakitan seperti itu. Takut? Panik? Suara laki-laki
itu pada awalnya memang terdengar panik, tetapi kemudian, ketika ia
merangkul Mia dan membiarkan Mia bersandar di tubuhnya, nada suaranya
terdengar terkendali. Saat itu Mia terlalu kesakitan untuk mendengar apa
yang dikatakan Alex, tetapi suaranya yang rendah dan menenangkan
berhasil meredakan ketegangan yang dirasakan Mia.
Ya, Alex pasti mengiginkan penjelasan, tetapi kenapa sampai sekarang ia
belun menanyakan apa pun kepada Mia? Tadinya Mia mengira Alex akan
membanjirinya dengan pertanyaan setelah
247
mereka tiba di apartemennya. Tetapi ternyata laki-laki itu tidak berkata
apa-apa. Kenapa?
Mia mendesah sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar dari kamar
tamu.
Mia menemukan Alex di ruang duduk. Ia sudah melepaskan tuksedonya dan
kini mengenakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu dan celana panjang
putih yang terlihat nyaman. Ia sedang duduk di sofa sambil berbicara
dengan seseorang di telepon ketika Mia muncul. Alex melihat dan memberi
isyarat supaya Mia mendekat.
―Aku tahu,‖ kata Alex di ponselnya, ―tapi kami harus
meninggalkan pesta lebih awal karena aku tiba-tiba teringat bahwa
aku punya janji lain.‖
Mia duduk di samping Alex di sofa dan bertanya, ―Ray?‖
kepada Alex tanpa suara.
Alex mengangguk singkat sebelum berkata di ponsel lagi,
―Akan kujelaskan besok. Tolong sampaikan permintaan maafku pada
Dee, oke?‘
―Kita tidak pamit kepada siapa pun tadi,‖ gumam Mia dengan
kening berkerut samar ketika Alex menutup ponsel dan melemparkannya ke
atas meja seperti biasa. ―teman-temanku pasti heran karena aku
menghilang begitu saja. Dan Dee juga pasti kebingungan mencariku. Tadi
katanya dia ingin berbicara kepadaku
dan menyuruhku jangan pulang dulu.‖
248
―Aku sudah meminta Ray menjelaskan kepergian kita kepada Dee. Kau tidak
usah khawatir,‖ kata Alex. Ia menunjuk dua cangkir cokelat panas di atas
meja. ―Itu untukmu.‖
―Cokelat?‖ tanya Mia dengan mata berkilat-kilat senang. Ia mencondongkan
tubuh ke depan dan meraih cangkir yang paling dekat dengannya. Aroma
cokelat yang harum memenuhi hidungnya. Mia menyesapnya sedikit dan
bergumam senang. Lalu ia menatap Alex dan bertanya hati-hati, ―Apa yang
kau katakan pada Ray?‖
―Tidak ada,‖ sahut Alex, ―jadi kau tidak perlu khawatir.‖
Mia kembali menyesap cokelatnya dan berpikir sejenak. Tanpa
mengangkat wajah, ia bertanya lagi, ―Alex, kenapa kau belum
bertanya apa-apa padaku?‖
Alex mencondongkan tubuh ke depan dan meraih cangkirnya.
―Aku berencana bertanya padamu besok pagi,‖ sahutnya. ―Kupikir
sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya.‖
Alex tidak berpura-pura tidak mengerti maksud Mia dan dia
juga tidak menuntut penjelasan saat ini juga. Karena itu Mia merasa
bersyukur. ―Terima kasih,‖ gumam Mia sambil tersenyum. ―Padahal
kukira kau akan langsung menginterogasiku setibanya kita di
rumah.‖
Alex menatapnya dan balas tersenyum. ―Aku memang penasaran, tapi aku
tidak mungkin menghujanimu dengan pertanyaan sementara kau jelas-jelas
sedang tidak sehat. Jadi kita
akan bicara besok,‖ katanya. Ia menatap Mia sejenak, lalu bertanya
dengan nada lebih lembut, ―Bagaimana perasaanmu sekarang?‖
249
―Aku sudah merasa lebih baik,‖ gumam Mia. Ia menangkup
cangkir cokelatnya dengan kedua tangan, membiarkan rasa hangat menjalari
telapak tangan, lengan, dan sekujur tubuhnya.
―Kau merasa lelah?‖
Mia mengangguk. Ia merasa lelah. Dan mengantuk. Ini aneh, karena ia
jarang mengantuk. Mungkin minuman cokelat ini yang membuatnya mengantuk.
―Kalau begitu, ayo,‖ kata Alex sambil berdiri dan
mengulurkan tangan ke arah Mia. ―Sebaiknya kau beristirahat
sekarang.‖
Mia tersenyum dan menghabiskan cokelatnya sebelum menyambut uluran
tangan Alex. Alex meletakkan kedua tangannya di bahu Mia dan
mendorongnya dengan lembut ke kamar tamu.
―Apakah kau akan menyelimutiku?‖ tanya Mia sambil tertawa
pelan ketika mereka sudah berada di kamar tamu.
Alex mengangkat selimut dan memberi isyarat supaya Mia naik ke tempat
tidur. Mia memutar bola matanya, tetapi ia menurut, merangkak naik ke
atas ranjang dan membiarkan Alex menyelimutinya.
―Apakah sekarang kau akan membacakan dongeng pengantar tidur untukku?‖
gurau Mia sambil tersenyum lebar.
Alex tertawa .
―Siapa tahu itu bisa membantuku tidur nyenyak malam ini,‖
lanjut Mia sambil mengangkat bahu.
*****
250
Alex mendesah, namun ia tersenyum dan memutuskan untuk ikut
bermain. ―Baiklah, kau ingin mendengar cerita tentang apa?‖ ―Tentang apa
saja,‖ sahut Mia sambil meringkuk miring,
mencari posisi yang nyaman di balik selimut. ―Mari kita lihat seberapa
kreatifnya dirimu.‖
Alex duduk di tepi ranjang di dekat Mia dan mulai berpikir.
―Pada zaman dahulu kala,‖ ia mulai bercerita, ―di negeri yang sangat
jauh yang diperintah oleh raja yang bijaksana, hiduplah gadis desa yang
tinggal bersama bibinya yang sudah tua. Gadis desa itu memilki wajah
yang cantik, rambut hitam sehitam arang, mata gelap segelap malam, dan
kulit pucat sepucat bulan purnama. Astaga, sepertinya
gadis itu mirip denganmu, Clark. Mengejutkan bukan?‖
Mia tertawa, berusaha meredakan debar jantungya ketika menyadari bahwa
Alex menyamakan dirinya dengan gadis desa
dalam ceritanya, gadis yang ia bilang cantik. ―Lucu sekali.
Ayo,
lanjutkan ceritanya.‖
―Dan gadis itu suka menari, sama sepertimu,‖ lanjut Alex.
―Dia menari di mana pun ia berada. Di dalam rumah, di tengah jalan, di
alun-alun desa, di mana saja. Dan walaupun sudah dilarang keras oleh
bibinya, gadis itu juga suka menari di hutan, di antara kicauan burung
dan ditemani kupu-kupu.
―Suatu hari, ketika ia sedang menari di hutan seperti biasa, ia
mendengar keributan. Ternyata sang pangeran berburu rubah bersama para
pengawal. Itulah pertama kalinya si gadis melihat sang
251
pangeran dengan mata kepalanya sendiri. Oh, ya, kau mau aku
menggambarkan rupa sang pangeran?‖ tanya Alex kepada Mia.
Mia tersenyum lebar. ―Apakah kau akan berkata bahwa sang pangeran
memiliki ciri-ciri yang sama denganmu?‖
Alex berpura-pura berpikir keras. ―Hmm… Ya, sebenarnya kalau
dipikir-pikir, dia memang hampir mirip denganku. Tampan, tinggi, penuh
pesona, dan memiliki karisma yang luar biasa.‖
Mia tertawa.
―Oke, sampai di mana kita tadi?‖ tanya Alex.
―Sang pangeran sedang berburu,‖ jawab Mia di sela-sela
tawanya.
―Ya, sang pangeran sedang berburu bersama rombongan
pengawalnya. Si gadis desa ingin melihat sang pangeran dari dekat,
supaya ia bisa menggambarkannya dengan jelas ketika ia menceritakan
kejadian langka itu kepada teman-temannya di desa nanti. Namun
gerakannya entah bagaimana membuat kuda hitam sang pangeran terkejut dan
mendompak. Sang pangeran terlempar dari kuda dan jatuh ke tanah dengan
keras. Kecelakaan itu membuat kakinya patah.
―Sang pangeran marah besar. Oh, tentu saja ia marah. Ia
memerintah gadis desa itu diseret ke istana dan dihukum menjadi
pelayan pribadi sang pangeran.‖
Mia menyipitkan mata dan seulas senyum tersungging di
bibirnya. ―Hmm, kau yakin bukan si gadis desa yang menawarkan
diri menjadi pelayan pribadi sang pangeran karena dia merasa
bersalah dan ingin bertanggung jawab?‖
252
Alex berpura-pura berpikir. ―Mungkin si gadis desa memang
ingin membantu, tapi dia sudah pasti tidak dengan sukarela
menawarkan diri menjadi pelayan pribadi sang pangeran.‖
Mia tertawa lagi. ―Lalu bagaimana kelanjutannya? Bagaimana gadis itu
menjalani hukumannya?‖
―Itu,‖ kata Alex tegas, ―adalah cerita untuk lain hari. Sekarang
waktunya tidur.‖
―Astaga, kau terdengar seperti ayahku,‖ gerutu Mia.
Alex mendengus, namun tidak mengomentari kata-kata Mia
tadi. ―Panggil saja aku kalau kau membutuhkan sesuatu. Oke?‖
katanya.
―Alex?‖ panggil Mia ketika Alex sudah mencapai ambang
pintu.
Alex berbalik, sebelah tangannya berada di kenop pintu. ―Ya?‖
Mia bangkit dan duduk di atas ranjang. Ia menatap Alex lurus-lurus dan
berkata dengan nada tulus, ―Terima kasih. Terima kasih
karena kau membuatku merasa jauh lebih baik.‖
Alex tersenyum. ―Selamat malam, Clark,‖ katanya sebelum
keluar dan menutup pintu di belakangnya.
253
Bab Dua Puluh Empat
ALEX membuka matanya yang berat dan duduk di ranjangnya
dalam satu gerakan mulus. Ia menguap sejenak sebelum mengayunkan kakinya
ke lantai dan melirik beker di samping tempat tidurnya. Jam 07.10. Alex
berdiri dan berjalan ke pintu. Ia bermaksud pergi ke kamar sebelah
untuk melihat keadaan Mia, namun begitu membuka pintu, aroma kopi yang
harum menyerangnya. Itu berarti Mia Clark sudah bangun.
Alex menemukan Mia di dapur, masih mengenakan sweter putih Alex yang
kebesaran untuknya. Mia pasti baru bangun, wajahnya terlihat cerah dan
segar karena terakhir kali Alex melihatnya pada pukul 06.20, gadis itu
masih tertidur pulas di balik selimut di kamarnya.
―Hai,‖ sapa Mia sambil tersenyum lebar ketika ia melihat Alex
di ambang pintu dapur. ―Selamat pagi.‖
Alex bergumam tidak jelas dan duduk di salah satu bangku
tinggi di dapur.
―Astaga,‖ kata Mia sambil mengamati wajah Alex dengan
saksama. ―Kau terlihat mengerikan. Ada lingkaran hitam di matamu.
Tidurmu tidak nyenyak semalam?‖
254
Alex memang merasa mengerikan. Ia masih mengantuk dan lelah. Dan semua
itu karena ia bangun setiap jam sepanjang malam untuk memeriksa keadaan
Mia dan memastikan gadis itu baik-baik saja. Ia lega melihat gadis itu
tertidur pulas sepanjang malam. Tetapi tentu saja ia tidak bisa
mengatakan hal itu kepada Mia. Sebagai gantinya ia bertanya, ―Bagaimana
keadaanmu pagi ini?‖
―Sangat baik,‖ sahut Mia senang. ―Dan tidurku sangat
nyenyak kemarin. Ajaib bukan? kau tahu aku jarang tidur lebih dari tiga
jam. Ini benar-benar kejutan yang sangat menyenangkan. Aku tidur selama
hampir tujuh jam semalam. Dan pagi ini aku merasa
sangat sehat.‖
Alex tersenyum. ―Aku senang mendengarnya,‖ katanya. ―Itu
berarti kau memang harus di sini kalau kau ingin tidur lebih dari tiga
jam.‖
Mia tertawa. ―Atau mungkin ini gara-gara ceritamu kemarin malam. Kau
akan melanjutkan ceritanya hari ini?‖
―Tidak masalah,‖ sahut Alex ringan. ―Tapi setelah kau menjelaskan
beberapa hal kepadaku.‖
Mia menghela napas dalam-dalam dan menggigit bibir
menatap Alex. ―Ya, kurasa sebaiknya begitu,‖ katanya pelan sambil
tersenyum masam. ―Kau mau cuci muka dulu sementara aku menggoreng telur
untukmu?‖
Lima belas menit kemudian mereka duduk berhadapan di
meja makan. Alex menyesap kopi sementara Mia meneguk jus buah.
―Jadi kau mau menjelaskan kenapa kau kesakitan seperti itu
kemarin?‖ tanya Alex.
255
―Tidakkah sebaiknya kita sarapan dulu?‖ tanya Mia, berharap
mengulur-ulur waktu walaupun tidak tahu kenapa ia melakukannya,
toh pada akhirnya ia tetap harus memberikan penjelasan.
―Kita bisa bicara sambil makan,‖ sahut Alex. Untuk
menegaskan maksudnya, ia pun memasukkan sepotong telur orak-arik ke
dalam mulut.
Mia meletakkan jus buahnya di atas meja dan menghela napas. Setelah diam
sejenak dan menatap jari telunjuknya yang menelusuri
pinggiran gelas, Mia berdeham dan berkata pelan, ―Ada sedikit masalah
dengan jantungku. Aku tidak boleh terlalu lelah.‖
―Masalah seperti apa?‖ gumam Alex ketika Mia tidak
menunjukkan tanda-tanda hendak melanjutkan kata-katanya.
Mia tidak menjawab.
―Clark?‖ panggil Alex.
Mia mengangkat wajah menatap Alex. ―Kenapa kau selalu memanggilku
Clark?‖
―Usahamu tidak berhasil,‖ sela Alex dengan nada datar, ―jadi sebaiknya
kau berhenti mengalihkan pembicaraan.‖
Mia memberengut, lalu meraih garpu dan mulai menusuk-nusuk telurnya.
―Masalah seperti apa?‖ tanya Alex sekali lagi.
―Jantungku tiba-tiba saja berhenti berfungsi normal sekitar satu
setengah tahun yang lalu dan tidak bisa lagi memompa darah
sekuat seharusnya,‖ sahut Mia dengan nada enggan. Ia tidak
menatap Alex, tetapi tetap menatap gelas jusnya di atas meja.
―Dokter sudah melakukan berbagai macam tes tapi dia tetap tidak
256
tahu apa yang menyebabkan jantungku terus melemah setiap hari. Menurut
dokter ada kemungkinan ini penyakit keturunan., tetapi berhubung aku
tidak tahu siapa orangtua kandungku, kami tidak
bisa memeriksa riwayat kesehatan keluargaku.‖
Mia mengangkat wajah menatap Alex. Laki-laki itu terlihat kaget dan
matanya mengerjap menatap Mia seolah-olah ia tidak percaya pada apa yang
didengarnya tadi. Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara. Alex
tetap menatap Mia sementara Mia memalingkan wajah menatap ke arah lain.
Kemudian suara Alex
terdengar, ―Apa lagi yang dikatakan dokter?‖
Mia menggigit bibir sejenak, lalu berkata, ―Katanya aku tidak
boleh terlalu lelah, aku harus menjaga pola makanku, dan aku harus
minum obat yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi jantungku.‖
Ia berhenti sejenak sebelum akhirnya menambahkan, ―Atau
setidaknya membantu memperlambat proses melemahnya jantungku.‖
―Itukah sebabnya kau mengundurkan diru dari Dee Black
Dance Company?‖ tanya Alex. Pengertian terdengar dalam suaranya.
Mia menggigit bibir lagi dan menghela napas dalam-dalam.
―Dokter berkata aku harus berhenti menari kalau tidak ingin membuat
kondisi jantungku semakin parah. Saat itu sebagian diriku ingin
mengabaikan perintah dokter. Maksudku, aku penari. Menari adalah
hidupku. Apa lagi yang bisa kulakukan kalau aku tidak boleh menari?‖ Ia
mendesah. ―Tapi bagian diriku yang lain sadar bahwa kondisiku yang
seperti ini tidak memungkinkanku untuk menjalani
257
latihan keras setiap hari seperti yang harus dijalani penari lain tanpa
mengalami serangan.‖
―Serangan?‖ tanya Alex dengan kening berkerut. ―Maksudmu serangan
seperti yang kau alami kemarin malam di pesta?‖
―Mm,‖ gumam Mia membenarkan.
Alex terdiam sejenak, terlihat sedang berpikir. Lalu ia bertanya lagi,
―Apakah kau sering mengalami serangan seperti itu?‖
―Hanya kalau aku terlalu lelah atau terlalu memaksakan diri,‖ sahut Mia.
Ia mengangkat bahu. ―Tidak terlalu sering.‖
―Apakah kau pernah mengalami serangan di sini?‖
Mia mendongak dan menatap mata Alex. ―Tidak,‖ jawabnya
tenang.
―Kau yakin?‖ tanya Alex lagi.
―Ya,‖ sahut Mia. ―Alex, membersihkan apartemen dan menyiapkan makanan
untukmu sama sekali bukan pekerjaan berat.‖
Mia mengamati Alex, mengira akan melihat tatapan kasihan yang akan
dilemparkan Alex kepadanya, dan ia sudah mempersiapkan diri. Ia bahkan
sudah siap membela diri apabila Alex mulai menunjukkan rasa kasihan
kepadanya. Ia tidak butuh rasa kasihan, terlebih lagi dari Alex Hirano.
Tetapi ia salah. Ketika ia menatap mata Alex, tidak ada kilatan rasa
kasihan di sana. Malah laki-laki itu terlihat… marah?
―Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku sebelum ini?‖ tanya Alex
tajam sebelum Mia sempat bereaksi.
―Aku tidak melihat ada alasan untuk memberitahu,‖ balas
Mia, masih tidak mengerti kenapa Alex tiba-tiba marah padanya.
258
―Tidak ada alasan untuk memberitahuku?‖ seru Alex tidak
percaya.
Mia mengernyit mendengar suara Alex yang meninggi. ―Ya,‖ balas Mia keras
kepala. ―Ini masalah pribadiku dan tidak ada
hubungannya denganmu. Jadi kenapa aku harus menceritakannya kepadamu?
Dan kenapa kau berteriak-teriak kepadaku?‖
―Perlukah kuingatkan bahwa kau menghabiskan sebagian
besar waktumu di sini?‖ Alex balas bertanya dengan kesal. Oh, ia
masih marah. Tetapi ia berusaha mengendalikan suaranya. ―Apakah kau
sadar bahwa apabila sesuatu terjadi padamu di sini maka akulah
yang mungkin akan disalahkan?‖
Mia mengatupkan bibir rapat-rapat sementara amarahnya sendiri mulai
terbit.
―Bodoh,‖ lanjut Alex, masih terlihat sangat marah, ―apa yang
kau pikirkan, Clark? Kenapa kau melakukan semua ini dengan kondisi
seperti itu? Kenapa kau masih datang ke sini, membersihkan rumah,
menyiapkan makanan dengan kondisi seperti ini? Kau mau aku pulang ke
rumah suatu hari dan menemukanmu tergeletak tak
sadarkan diri di lantai?‖
―Sudah kubilang aku baik-baik saja! Jadi kau tidak perlu takut
menemukanku tergeletak tak sadarkan diri di lantaimu dan tidak ada
orang yang akan meminta pertanggungjawabanmu,‖ bantah Mia
dengan suara keras. Matanya berkilat-kilat marah menatap Alex.
―Kau bertanya kenapa aku melakukan semua ini? Bukankah kau
yang memaksaku menjadi pengurus rumahmu? Kau masih berani
bertanya?‖
259
―Itu karena kau tidak pernah berkata apa-apa tentang kondisimu,‖ balas
Alex sama kerasnya. ―Kalau saat itu aku tahu aku tidak mungkin
membiarkanmu menginjak apartemenku!‖
Mia tersentak dan memucat mendengar kata-kata Alex. Ia menelan ludah,
berusaha mengatur napas yang mendadak tercekat di dada. Ia mengerjap
ketika air mata mulai terasa menusuk-nusuk bagian kelopak matanya.
Selama ini Mia mengira—bahkan yakin—Alex akan merasa kasihan padanya
setelah laki-laki itu tahu kondisi jantungnya. Bukannya Mia mengharapkan
rasa kasihan dari Alex. Sama sekali tidak. Tetapi ia selalu menduga
itulah reaksi umum orang-orang apabila mereka tahu tentang keadaannya.
Ia tidak pernah berpikir Alex akan marah.
Dan Alex Hirano marah karena Mia tidak memberitahunya sejak awal. Ia
marah karena merasa terbebani oleh ―penyakit‖ Mia. Ia marah karena tidak
ingin dipersalahkan kalau sesuatu terjadi pada Mia di apartemennya.
Katanya kalau ia tahu tentang penyakitnya, ia tidak mungkin membiarkan
Mia menginjak apartemennya.
Mia tidak tahu mana yang lebih buruk, dikasihani atau dibenci oleh Alex
Hirano. Yang jelas, saat ini ia merasa seolah-olah seseorang telah
menusuk dadanya. Hatinya terasa nyeri. Dan rasa nyeri itu membuatnya
hampir tidak bisa menahan air mata.
Baiklah. Sudah jelas Alex Hirano tidak ingin Mia berada di dekatnya,
jadi sebaiknya ia pergi.
Tanpa berkata apa-apa dan tanpa melirik Alex sedikit pun, Mia mendorong
kursi ke belakang, berdiri, dan berderap ke kamar
260
tamu. Beberapa detik kemudian ia keluar sambil membawa tas tangannya dan
gaun pestanya yang dikenakannya kemarin malam. Ia langsung berjalan ke
pintu, mengenakan mantel panjang dan sepatu pestanya dengan cepat. Ia
masih tidak berkata apa-apa. Ia takut air matanya akan tumpah keluar
begitu membuka mulut. Tanpa menoleh ke belakang sekali pun, Mia membuka
pintu, berjalan keluar, dan membanting pintu di belakangnya.
*****
Sialan! gerutu Alex dalam hati. Terkutuklah dirinya. Begitu kata-kata
itu meluncur dari mulutnya, ia langsung sadar ucapannya terdengar salah.
Teramat sangat salah. Ia bisa melihat ekspresi Mia berubah dari marah
menjadi… menjadi sesuatu yang membuat Alex ingin melukai dirinya
sendiri.
Oh, ya, ia memang marah pada gadis itu karena merahasiakan kondisi
jantungnya. Menurut Alex, Mia benar-benar bodoh karena mengambil risiko
memperparah kondisi jantungnya dengan membiarkan Alex memperlakukannya
seperti pengurus rumah. Demi Tuhan, Alex bukan monster. Kalau dia tahu
kondisi Mia sejak awal, dia pasti tidak akan memaksa Mia datang
membersihkan apartemennya dan menyiapkan makanan untuknya setiap hari.
Alex juga merasa bersalah. Ia sadar ia tidak selalu bersikap ramah pada
gadis itu. Terutama pada awal pertemuan mereka. Alex berusaha
mengingat-ingat apakah ia pernah melakukan sesuatu yang menyulitkan
gadis itu. Sering. Ia sering menyuruh gadis itu
261
melakukan ini dan itu. Ia bahkan pernah menyuruh Mia datang ke
apartemennya ketika gadis itu sedang sakit. Astaga!
Membayangkan Mia Clark mungkin mendapat serangan dan kesakitan sendirian
di sini, di apartemen Alex, tanpa sepengetahuannya, membuat sekujur
tubuh Alex terasa dingin. Membayangkan Mia Clark mungkin tergeletak tak
sadarkan diri di sini tanpa sepengetahuannya membuat darah Alex
seolah-olah membeku. Ia tidak tahu kenapa ia merasa seperti ini, tetapi
apabila sesuatu terjadi pada Mia Clark… Tidak, ia tidak akan
membiarkannya.
Kalau saja ia tahu kondisi gadis itu sejak awal, ia tidak mungkin
memaksa gadis itu menjadi pengurus rumahnya. Ia tidak mungkin melakukan
apa yang sudah dilakukannya pada gadis itu. Ia tidak mungkin
memperlakukan gadis itu dengan buruk. Itulah maksud kata-kata Alex tadi.
Tetapi perasaan bingung, marah, dan bersalah membuat ucapannya
terdengar lebih kasar daripada maksud sebenarnya.
Sekarang ia malah menyakiti gadis itu. Alex bisa melihatnya. Kilatan
amarah yang sedetik tadi masih terlihat di mata gelap Mia Clark meredup.
Mati. Wajahnya berubah pucat dan gadis itu mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Ia tidak menatap Alex sementara ia menghela dan
mengembuskan napas dengan perlahan.
Sebelum Alex sempat memikirkan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya,
tiba-tiba Mia mendorong kursinya ke belakang dengan keras, berdiri, dan
berjalan pergi. Alex masih terpaku di kursi ketika Mia muncul lagi
sambil membawa tas tangan kecil dan gaun
262
pestanya. Alex menatap gadis itu, mencoba mengira-ngira apa yang sedang
dilakukannya, apa yang dipikirkannya. Tetapi Mia sama sekali tidak
menoleh ke arah Alex. Gadis itu langsung berjalan ke arah pintu
apartemen dengan langkah lebar dan mengenakan mantel panjang serta
sepatunya dengan cepat.
Saat itulah Alex baru sadar bahwa Mia bermaksud pergi. Gadis itu akan
meninggalkannya dengan marah dan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Oh,
sialan, Alex lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri. Apa yang sudah
kulakukan?
Ia tidak ingin Mia pergi. Ia tidak ingin Mia pergi dalam keadaan seperti
ini. Tetapi apa yang harus dilakukannya? Sungguh, saat itu Alex tidak
bisa berpikir jernih. Terlalu banyak yang berlalu-lalang dalam benaknya
sampai ia tidak bisa mengatakan sesuatu, untuk mencegah gadis itu
melangkah melewati pintu apartemennya.
Alex mematung di kursinya ketika Mia membuka pintu dengan satu sentakan
cepat. Ia juga tetap mematung di tempatnya ketika Mia keluar dari
apartemennya dan membanting pintu.
Ketika Mia berjalan keluar dari apartemennya, rasanya seolah-olah Mia
berjalan keluar dari hidupnya. Dan Alex hanya bisa duduk di sana seperti
orang bodoh sementara perasaan hampa perlahan-lahan merayapi dirinya.
263
Bab Dua Puluh Lima
LUCY baru selesai mengajar dan sedang berjalan menyusuri koridor
ke arah tangga ketika mendengar alunan musik yang berasal dari salah
satu ruang kelas di sebelah kirinya. Tahu bahwa ruang kelas itu adalah
ruangan yang sering digunakan Mia dan mengingat Mia tidak ada kelas
siang ini, Lucy menghampiri pintu dan mengintip ke dalam dari jendela
kaca di pintu. Ia mengira akan menemukan Mia sedang menari di dalam sana
seperti biasa, namun dugaannya salah. Lucy mengangkat alis heran ketika
melihat Mia sedang duduk bersila di lantai dengan punggung dan kepala
disandarkan di dinding belakangnya.
―Mia?‖ panggil Lucy sambil membuka pintu dan melangkah masuk. ―Sedang
apa kau di sini?‖
Mia tersentak dan menoleh. ―Hai, Lucy. Kelasmu sudah bubar?‖ tanya Mia
sambil tersenyum.
Lucy mengerjap heran melihat mata Mia yang sembap dan hidungnya yang
merah. Apakah Mia habis menangis? Gagasan iu terasa sangat asing bagi
Lucy karena selama mengenal Mia, ia tidak pernah sekali pun melihat Mia
menangis. Kalau dipikir-pikir lagi, ia bahkan tidak pernah melihat Mia
berwajah muram. Mia selalu terlihat ceria. Selalu.
264
―Mia, ada apa?‖ tanya Lucy sambil menjatuhkan diri di lantai di dekat
Mia. ―Kau terlihat…‖
Mia tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tangan. ―Aku tidak apa-apa,‖
sahutnya ringan. Lalu ia menunjuk hidungnya dan berkata, ―Ini gara-gara
alergi.‖
―Oh, begitu.‖ Lucy tersenyum mengerti dan tidak mendesak
Mia lagi. Benar, Mia tidak mungkin menangis, pikirnya yakin. Ia
mengangguk ke arah CD player di sudut ruangan dan bertanya,
―Lagu apa yang yang sedang kau dengar ini?‖ ―Fairy Tale,‖desah Mia.
―Lagunya bagus,‖ gumam Lucy. ―Kau mau membuat koreografi baru dengan
lagu ini?‖
―Rencananya begitu. Tapi saat ini aku tidak bisa memikirkan satu gerakan
pun.‖ Mia bangkit, berjalan ke arah CD player dan
mematikannya.
―Oh, ya, Mia, bukankah kemarin kau pergi ke pesta yang diselenggarakan
Dee Black Dance Company?‖ tanya Lucy. ―Bagaimana pestanya?
Menyenangkan?‖
―Mm?‖ gumam Mia sambil lalu. ―Biasa saja.‖
Tadinya Lucy berharap mendengar cerita yang lebih mendetail tentang
pesta yang diselenggarakan salah satu kelompok tari tersohor di Negara
ini, tetapi sepertinya hari ini Mia sedang tidak ingin bicara
panjang-lebar. Jadi Lucy pun mengalihkan pembicaraan. ―Omong-omong, hari
ini kau tidak ada jadwal mengajar, bukan? Kau tidak pergi ke apartemen
kakak Ray?‖
―Tidak.‖
265
―Tidak? Kenapa?‖
―Kurasa aku tidak akan pergi ke sana lagi.‖
―Tapi kenapa?‖
―Karena dia tidak membutuhkan bantuanku lagi.‖
Lucy mengernyitkan kening dengan heran. Lalu ia bertanya dengan
hati-hati, ―Kalian bertengkar?‖
Mia tidak menjawab, tetapi Lucy melihatnya mengernyit
sama. ―Kita bicarakan hal lain saja,‖ gumam Mia.
Sikap Mia menguatkan dugaan Lucy bahwa kedua orang itu bertengkar.
Tetapi ia bukan orang yang suka ikut campur, jadi Lucy tidak memaksa.
―Baiklah,‖ kata Lucy dengan nada ceria. ―Bagaimana kalau kita pergi
makan siang?‘
Mia mengernyit lagi. ―Maaf, aku…‖
―Halo, ladies.‖ Sapaan riang yang berasal dari pintu memotong
kata-kata Mia.
Lucy dan Mia serentak menoleh. ―Oh, hai, Ray,‖ Lucy balas
menyapa.
―Apakah aku mengganggu acara bergosip kalian?‖ tanya Ray
sambil berjalan menghampiri mereka.
―Tidak,‖ sahut Lucy.
Ray tersenyum lebar, lalu menatap Mia. ―Tadi aku mampir ke apartemen
Alex. Kukira kau ada di sana.‖
―Oh, ya?‖ gumam Mia acuh tak acuh. ―Seperti yang kau lihat, aku ada di
sini.‖
266
―Ya. Untunglah kau tidak pergi ke sana hari ini,‖ lanjut Ray
sambil meringis. ―Suasana hati Alex sedang sangat buruk. Dan yang
kumaksud dengan sangat buruk adalah sangat, sangat buruk.‖
Lucy mengangkat alis dan melirik Mia yang terlihat tidak
peduli.
―Kau tahu ada apa dengannya?‖ tanya Ray, sama sekali tidak
menyadari raut wajah Mia yang berubah kaku. ―Dia hampir tidak
mau bicara padaku dan terlihat seolah-olah baru diberitahu bahwa
tangannya akan diamputasi sehingga tidak akan pernah bisa bermain
piano lagi seumur hidupnya. Dia salah makan obat atau apa?‖
Mia mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa.
Ray berpikir sejenak, lalu ia juga mengangkat bahu dan
berkata, ―Ah, sudahlah. Biarkan saja dia. Kalian sudah makan siang? Mau
makan siang bersama?‖
Mia tersenyum meminta maaf. ―Kalian berdua saja yang pergi. Aku sudah
punya janji.‖
Alis Ray terangkat. ―Dengan siapa?‖
Lucy memutar bola matanya mendengar nada suara Ray.
Astaga, laki-laki itu bersikap seolah-seolah Mia adalah pacarnya.‖
―Aaron,‖ jawab Mia tenang. ―Kau masih ingat Aaron, bukan?
Aku sudah berjanji padanya kemarin.‖
Siapa Aaron? Pikir Lucy. Ia memperhatikan mata Ray menyipit
mendengar nama itu. Ia penasaran, jadi ia bertanya, ―Siapa Aaron?‖
―Teman lama,‖ sahut Mia. ―Kami bertemu di pesta kemarin.‖
―Oh,‖ gumam Lucy sambil tersenyum. ―Tampan?‖ Kali ini Mia tertawa.
―Sangat,‖ sahutnya.
267
Mulut Lucy kembali membentuk huruf O dan ia juga ikut tertawa.
Satu-satunya yang tidak tertawa di ruangan itu adalah Ray. Jelas saja.
―Boleh aku ikut makan siang dengan kalian?‖ goda Lucy.
Mia pura-pura berpikir sejenak, lalu menggeleng. ―Tidak.‖
―Oh, ayolah.‖
Mia tertawa. Lalu tepat pada saat itu ponselnya berbunyi. Mia meraih tas
dan mengeluarkan ponselnya. Ia tersenyum kecil membaca tulisan di layar
sebelum menempelkannya ke telinga. ―Hei,
Aaron.‖
Oh, Lucy melihat raut wajah Ray berubah. Sungguh, laki-laki itu sama
sekali tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Isi hatinya terlihat jelas
di wajahnya.
―Di mana?‖ tanya Mia di ponsel. ―Ya, aku tahu tempat itu.
Kita bertemu di sana? Baiklah. Aku pergi ke sana sekarang.‖
Mia menutup ponsel dan memandang Lucy serta Ray bergantian. ―Maaf,
Teman-teman, aku harus pergi sekarang. Sampai
jumpa nanti.‖
Setelah Mia membereskan barang-barangnya dan keluar dari ruangan,
meninggalkan Lucy bersama Ray, Lucy mendongak
menatap Ray dan bergumam, ―Sepertinya Mia menyukai laki-laki
bernama Aaron itu.‖
Tentu saja Lucy sebenarnya tidak berpikir begitu. Mia selalu
memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. Tetapi Lucy hanya ingin
menggoda Ray sedikit. Laki-laki itu benar-bnar mudah dipancing. Lihat
saja, mendengar Lucy berkata bahwa Mia mungkin
268
tertarik pada Aaron, Ray langsung mendengus dan mengatup bibir
rapat-rapat.
―Kau akan diam saja?‖ desal Lucy.
Ray menyipitkan mata, lalu menatap Lucy. ―Tentu saja tidak.‖
Oh, Lucy suka melihat sikap tidak wajar para laki-laki yang sedang jatuh
cinta. Kadang-kadang mereka bisa sangat bodoh. Lucy tersenyum geli
melihat Ray berderap keluar dari ruang kelas dengan langkah kesal.
Kasihan Ray, pikir Lucy sambil mendesah. Sepertinya ia benar-benar
menyukai Mia. Tapi ia pasti akan patah hati, Lucy yakin itu.
*****
Alex merasa frustasi sepanjang hari ini. Tidak ada yang bisa memperbaiki
suasana hatinya yang buruk. Semua terlihat salah di matanya, Semua
terasa salah baginya. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya senang.
Udara Desember yang dingin membuatnya marah, suara orang-orang yang
mengobrol di dekatnya membuat kepalanya seolah-olah di hantam palu,
alunan musik di studio ayahnya yang biasanya selalu bisa menenangkan
dirinya hari ini malah terdengar sumbang, jelek, dan membuatnya semakin
jengkel. Pokoknya, hari ini Alex terlihat begitu menakutan seperti wabah
penyakit. Tidak ada yang berani mendekatinya. Kecuali ayahnya.
―Sebelum kau membuat semua stafku bramai-ramai mengundurkan diri,
sebaiknya ceritakan padaku apa yang
269
membuatmu berubah menjadi Mr. Hyde hari ini,‖ kata ayahnya sambil
menatap Alex dengan tajam. Suaranya terdengar tegas dan agak kesal,
tetapi juga geli.
Alex duduk bersndar di sofa di kantor ayahnya yang luas. Alisnya masih
berkerut menakutkan dan raut wajahnya masih gelap segelap langit disaat
badai. Ia menatap ayahnya yang duduk di belakang meja kerja dengan
kesal. ―Staf-staf Dad tidak ada yang becus. Dan pemain-pemain biola itu
tidak pernah menganggap pertunjukan ini serius. Memangnya mereka kira
ini pertunjukan natal di sekolah dasar?‖ Ia mendengus keras. ―Demi
Tuhan, dengan permainan seperti itu aku tidak yakin mereka pantas tampil
dalam pertunjukan Natal taman kanak-kanan sekalipun!‖
Ayahnya tidak berkata apa-apa sementara Alex melampiaskan rasa
frustasinya. Setelah omelan itu berhenti dan Alex menyandarkan kepala ke
sandaran sofa sambil memejamkan mata, ayahnya bertanya pelan, ―kau mau
memberitahuku apa yang menggangu pikiranmu?‖
―Tidak.‖
―Kau mau memberitahu ibumu?‖ ―Tidak.‖
―Kau mau memberitahu Ray?‖
―Tidak!‖ Alex membukn mata dan menatap ayahnya dengan kesal. ―Apa maksud
Dad dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti itu?‖
Ayahnya mendesah keras.‖Sikapmu seperti orang yang belum mengkonsumsi
kafein hari ini.‖
270
―Aku sudah minum kopi. Dan asal Dad tahu, kopi di sini
rasanya mengerikan,‖ gerutu Alex sambil memejamkan mata dan menyandarkan
kepala kembali ke sandaran sofa.
―Kenapa kau tidak minum kopimu sendiri di rumah seperti
yang biasa kau lakukan?‖ tanya ayahnya.
―Sudah. Dan rasanya juga sama mengerikannya.‖
Rasanya tidak sama seperti kopi buatan gadis itu. Alex memberengut keras
ketika gagasan itu melintas dalam benaknya.
Ayahnya menggeleng-geleng. ―Kalau kau tidak mau membicarakan apa yang
membuatmu uring-uringan seperti ini, sebaiknya kau pulang dan tenangkan
dirimu. Kau boleh datang lagi
besok setelah kau mendinginkan kepalamu.‖
Bagus! Pikir Alex muram. Sekarang ayahnya juga tidak menginginkannya.
―Baiklah. Aku pergi,‖ desis Alex dengan rahang mengertak. Ia bangkit,
meraih jaketnya dengan kasar dari gantungan dan tidak lupa membanting
pintu dalam perjalanan ke luar.
Apartemennya terasa aneh ketika ia pulang ke rumah malam itu. Aneh
karena Alex tidak pernah menduga akan terasa sesepi itu. Ketika ia masuk
ke apartemennya dan menyalakan lampu, ia memandang ke sekeliling
apartemennya dan mendesah. Kenapa
apartemennya terasa begitu… kosong?
Tadinya ia berharap—walaupun ia tahu kemungkinan harapannya terkabul
sangat, sangat, sangat tipis, dan bisa dibilang hampir tidak ada, tetapi
ia tetap berharap—ada seseorang yang menunggunya di sana ketika ia
pulang ke rumah, ia berharap mendengar suara gadis itu berseru, ―Alex,
kaukah itu?‖ dari dapur
271
ketika ia membuka pintu. Ia berharap mencium aroma makanan. Ia
berharap… Ia berharap…
Ia berharap melihat Mia Clark di apartemennya ketika pulang. Oh,
terkutuklah dirinya!
Ia sudah hidup selama ini tanpa gadis itu. Kenapa tiba-tiba ia
membutuhkan kehadiran gadis itu sekarang? Alex menggeleng-gelengkan
kepala untuk menjernihkan kepalanya. Ini tidak masuk akal. Ia bersikap
tidak masuk akal. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal dan berharap
besok bisa kembali seperti sediakala.
Tetapi tidak, harapannya tidak terkabul. Keesokan harinya suasana
hatinya masih tetap berantakan. Begitu pula keesokan harinya. Dan
keesokan harinya. Dan keesokan harinya lagi. Alex tetap merasa seperti
di neraka.
Setidaknya ia berusaha mengendalikan emosinya ketika bekerja. Ia
berusaha keras tidak membentak setiap orang yang lewat di hadapannya. Ia
berusaha menahan diri sepanjang hari dan perasaannya sama sekali tidak
membaik ketika ia pulang ke apartemennya setiap malam. Malah ia merasa
dirnya semakin terpuruk.
Apa yang terjadi padanya?
*****
―Apa yang terjadi padaku?‖ gumam Alex sambil menyesap dry
martini-nya perlahan.
272
―Kau, temanku yang baik, sedang kacau,‖ sahut Karl Jones,
yang duduk di sampingnya di bar. ―Meskipun aku tidak tahu apa
yang membuatmu kacau karena kau tidak mau mengatakannya
kepadaku.‖
Setelah lima hari pulang ke apartemennya setiap malam dalam keadaan
frustasi dan emosi berantakan, Alex memutuskan menelpon Karl dan memaksa
teman sekaligus manajernya itu menemaninya minum-minum di luar. Jadi di
sinilah mereka, duduk bersebelahan di bar bernuansa Manhattan tahun
1950-an yang tidak terlalu ramai di Soho.
Alex mendesah panjang lalu mengernyit. ―Dia tidak mau
mengangkat teleponku.‖
―Siapa?‖
―Dia.‖
―Dia siapa?‖
―Clark.‖
Karl menatap Alex dengan alis terangkat heran. ―Jiwa dan
ragamu berubah mengenaskan seperti ini gara-gara Mia tidak
menjawab teleponmu?‖ tanyanya dengan nada tidak percaya.
―Tentu saja tidak!‖ tukas Alex sambil menggeleng keras. ―Maksudku, itu
salah satu penyebab… Tidak, bukan. Maksudku.. Aku… Oh, persetan!‖ Alex
meneguk martini-nya dan mengusap
wajah dengan kesal.
―Dia tidak mau mengangkat teleponmu,‖ gumam Karl sambil memutar-mutar
gelasnya dengan pelan. ―Jadi kalian bertengkar?‖
Alex tidak menjawab.
273
―Mia pasti sangat marah padamu kalau dia sampai
mengabaikannmu seperti ini.‖
Alex hanya memberengut.
―Kau sudah mencoba meminta maaf padanya?
Alex melotot kesal ke arah manajernya. ―Menurutmu
bagaimana aku bisa melakukannya kalau dia tidak mau menjawab
teleponku?‖
―Ah, benar juga. Maaf,‖ gumam Karl sambil mengangguk-angguk. Lalu ia
menatap Karl dengan raut wajah tersinggung. ―Tidak perlu emosi, Alex.
Aku hanya mencoba membantu.‖
Alex mendengus.
―Kau sudah mencoba menemuinya di studio tarinya?‖ ―Sudah. Tapi wanita
keras kepala di meja resepsionis selalu
berkata Clark tidak masuk hari ini atau Clark baru saja pergi,‖ gerutu
Alex jengkel. ―Aku yakin kucing tua itu berbohong.‖ ―Apakah kau sudah
mencoba pergi ke apartemennya?‖
―Sudah. Tapi tidak ada yang menjawab. Entah dia tidak ada di apartemen
atau tidak mau membuka pintu.‖
―Wah, sepertinya dia benar-benar marah padamu, Teman.‖ Alex menatap Karl
dengan kesal. ―Well, terima kasih karena
suda menyadarkanku akan kenyataan itu,‖ katanya sinis.
―Hentikan sikap sinismu itu, kalau tidak aku tidak akan membantumu,‖
kata Karl.
―Aku tidak ingat pernah meminta bantuan padamu.‖
274
―Oh, ya? Jadi kau tiba-tiba mengajakku ke sini bukan untuk
meminta bantuan?‖ pancing Karl. ―Kalau begitu, apakah sebaiknya
aku membiarkanmu dalam penderitaanmu sendiri?‖ ―Hi, guys. Maaf aku
terlambat.‖
Alex, yang sudah membuka mulut hendak membalas kata-kata temannya,
menutup mulutnya kembali ketika Ray mendadak muncul di antara mereka.
Ray mengambil tempat duduk di samping Alex dan memesan gin and tonic
kepada bartender.
―Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?‖ tanya Ray sambil
menoleh menatap mereka berdua.
―Tentang Alex yang tidak mau mengaku bahwa dia butuh bantuanku,‖sahut
Karl ringan.
Ray tersenyum lebar dan menatap kakaknya. ―Bagaimana kabarmu, Alex? Kau
sudah merasa lebih baik?‖
Karl mendengus. ―Lebih baik?‖ dia masih senewen seperti beruang yang
belum menemukan pasangan di musim kawin.‖
―Beruang di musim kawin?‖ Ray tertawa terbahak-bahak sementara Alex
berharap bisa mencekik manajernya yang banyak mulut.
―Sebenarnya dia sedang bertengkar dengan Mia,‖ lanjut Karl.
Desakan yang dirasakan Alex untuk meninju hidung manajernya pun semakin
besar. Demi Tuhan, tidak bisakah Karl menutup mulutnya barang sebentar?
―Kau bertengkar dengan Mia?‖ tanya Ray kepadanya.
―Astaga, Alex, apa lagi yang kau lakukan? Walaupun suasana hatimu sedang
buruk, jangan lampiaskan padanya. Dia tidak tahu apa-apa.‖
275
Alex mendengus dan ingin berkata bahwa Ray-lah yan tidak tahu apa-apa.
Tetapi ia diam saja dan membiarkan Ray menarik kesimpulan sesuka hati.
Bagaimana pun, Alex tidak bisa memberitahu adiknya bahwa suasana hatinya
yang buruk ini ada hubungannya dengan Mia clark.
―Kau bertemu Mia hari ini?‖ sela Karl. ―Apakah dia mengadu padamu bahwa
Alex membuatnya kesal?‖
―Aku bertemu dengannya hari ini, kata Ray. ―Tidak, dia tidak terlihat
kesal. Dia malah terlihat gembira.‖
Kepala Alex berputar cepat ke arah Ray. ―Gembira?‖ tanyanya
heran.
Ray mendesah. ―Kurasa itu gara-gara Aaron Roers.‖
Kening Alex berkerut. Aaron Rogers? Nama itu
kedengarannya tidak asing.
―Ya,‖ kata Ray berapi-api. ―Kau ingat Aaron Rogers, bukan, Alex?
Laki-laki yang berdansa dengan Mia di pesta Dee waktu itu.
Teman lamanya.‖
Oh, laki-laki tu.
―Ma sering menghabiskan waktu bersama laki-laki itu akhir-
akhir ini.‖
Kerutan di kening Alex bertambah dalam.
―Yang kutahu, Mia sering mengunjungi tempat latihan
kelompok tari Dee Black,‖ lanjut Ray sambil mendesah berat. ―Tentu
saja untuk menemui laki-laki itu.‖
Rahang Alex mengertak tanpa sadar.
276
―Kurasa Mia tertarik pada Aaron Rogers,‖ Ray melanjutkan
ceritanya, ―jadi kupikir aku harus melakukan apa yang harus kulakukan.
Apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.‖
Alex mengerjap.
―Apa yang harus kau lakukan?‖ tanya Karl.
Ray tersenyum lebar menatap kedua orang yang duduk di sampingnya.
―Akhirnya aku berhasil menyatakan perasaanku
padanya.‖
Alex tertegun menatap adiknya. Jantungnya seolah-olah berhenti berdebar.
Apa katanya tadi? Dia sudah menyatakan perasaannya kepada Clark?
―Wow, Ray. Jadi kau berhasil mendapatkan Mia?‖ Karl terkekeh. Lalu ia
menambahkan dengan nada bergurau, ―Aduh, seharusnya aku bergerak lebih
cepat. Sayang sekali.‖
Alex menatap adiknya tanpa mengerjap. Pikirannya mendadak kosong.
―Kuucapkan selamat kepadamu, Ray,‖ kata Karl sambil mengangkat gelasnya
untuk bersulang.
Tetapi bukannya ikut mengangkat gelas untuk bersulang, Ray malah
terlihat ragu. ―Yah... gumannya sementara rona merah terlihat menjalari
pipinya. ―Sebenarnya... aku belum tahu bagaimana
perasaannya padaku.‖
―Hah? Apa katamu?‖
Ray menarik napas dan berkata dengan suara yang lebih jelas,
―Aku belum tahu bagaimana perasaannya padaku.‖
―Tapi bagaimana mungkin?‖ tanya Karl bingung.
277
Kali ini Ray terlihat salah tingkah. ―Aku menyatakan perasaanku padanya
tadi siang,‖ jelasnya enggan. ―Kukatakan padanya bahwa... kau tahu,
bahwa aku merasakan sesuatu yang lebih daripada sekedar teman padanya.
Dia tidak terlihat terkejut. Dia malah menatap mataku dengan tenang. Dia
terlihat begitu tenang sementara aku merasa sangat gugup. Jadi sebelum
dia berkata apa-apa, kukatakan padanya bahwa dia tidak perlu menjawab
sekarang. Dia boleh berpikir dulu sebelum memberikan jawabannya
kepadaku.‖
Alex mengembuskan napas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi. Lalu ia
mendengus keras menanggapi kebodohan adiknya. Setelah mengetahui bahwa
Mia belum menjawab pernyataan Ray, ia baru menemukan suaranya kembali.
―Setelah itu kau langsung kabur begitu saja?‖ tebaknya dengan nada
bosan.
―Yah, begitulah,‖ guman Ray malu.
Karl tertawa. ―Astaga, Ray tingkahmu seperti anak remaja ingusan yang
ketakutan,‖ godanya. ―Tapi, omong-omong, kapan kau berencana meminta
jawabannya? Kau tidak mungkin menunggu
selamanya, bukan?‖
Ray mengangkat bahu. ―Kupikir aku akan meminta jawabannya pada
pertunjukan perdana kelompok tari Dee Black Dance Company besok lusa.
Alex tertegun. ―Clark akan menghadiri pertunjukan itu?‖
tanyanya.
―Tentu saja. Bukankah laki-laki bernama Rogers itu salah satu penari
utama dalam pertunjukan itu? Sudah pasti Mia akan pergi ke
278
sana untuk mendukungnya,‖ kata Ray masam. ―Kau juga sudah menerima
undangan dari Dee, bukan, Alex?‖
Alex mengangguk dan berpikir. Ia sudah berusaha menghubungi dan menemui
Mia Clark tanpa hasil beberapa hari terakhir ini. Gadis itu benar-benar
ingin menghindarinya, bukan? Baiklah. Sekarang Alex bisa menemuinya di
pertunjukan perdana Dee Black Company. Gadis itu pasti akan datang. Alex
akhirnya bisa bertemu dengannya di sana. Dan ketika saat itu tiba, Mia
Clark harus mendengarkan penjelasan Alex. Kalau perlu Alex akan
mengikatnya untuk mencegahnya melarikan diri.
―Kau juga akan pergi ke sana?‖ tanya Ray.
Seulas senyum muram menghiasi bibir Alex. ―Sepertinya
begitu.‖
―Hei, Alex, besok lusa kita sudah punya janji makan malam dengan
produser-produsermu,‖ sela Karl tiba-tiba. ―Jangan bilang kau lupa
karena aku sudah mengatakannya padamu.‖
Alex mengerang. ―Kita bisa menggeser acara makan malam itu
ke hari lain, bukan?‖
Karl menggeleng tegas. ―Tidak, tidak, tidak. Kau tahu mereka tidak akan
suka kalau kau tiba-tiba membatalkan rencana padahal kau sudah
menyetujuinya sejak awal.‖
―Aku tidak bermaksud membatalkannya. Aku hanya ingin mengganti harinya,‖
sergah Alex, walaupun ia tahu Karl benar. Ia tidak bisa membatalkan
acara makan malam dengan produser-produser pentingnya. Melihat Karl
mendesah dan menggeleng-
279
geleng, Alex mengerang sekali lagi dan menggerutu, ―Baiklah,
baiklah. Tidak usah bersikap dramatis begitu. Aku akan datang.‖
Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Clark, tambah Alex
dalam hati.
Pokoknya kali ini Mia Clark harus mendengarkan Alex.
280
Bab Dua Puluh Enam
“KAU melamun lagi.‖
Mia mengerjap dan mendongak, menatap Lucy yang duduk di hadapannya.
―Maaf, apa katamu tadi?‖ gumam Mia.
Lucy mendesah dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. ―Nah, aku
benar. Kau tidak mendengar sepatah kata pun yang
kuucapkan sejak tadi.‖
Mia tidak membantah. Ia hanya tersenyum meminta maaf dan menyesap tehnya
perlahan-lahan.
Malam ini adalah malam pertunjukan perdana Dee Black Dance Company di
New York dan walaupun sebenarnya Mia tidak terlalu antusias menyaksikan
pertunjukan ini—karena tidak ingin mengingat kenyataan bahwa ia tidak
bisa mewujudkan mimpinya menari di atas panggung—ia sudah berjanji akan
menemani Lucy. Ia juga sudah berjanji kepada Aaron bahwa ia akan datang
untuk memberikan dukungan. Jadi di sinilah ia, duduk di salah satu kafe
di lobi gedung pertunjukan di Broadway bersama Lucy, menunggu waktu
pertunjukan dimulai dan menunggu pintu teater dibuka.
―Apa yang sedang kaupikirkan, Mia?‖
Mia kembali menatap temannya. ―Apa maksudmu?‖
281
Lucy mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Mia lurus-lurus. ―Kau
terlihat murung akhir-akhir ini. Kau berubah pendiam. Kau juga sering
melamun. Kau selalu terlihat pucat dan kau...‖ Lucy menghentikan
kata-katanya dan menarik napas.
―Dengar, aku tidak akan mendesakmu memberitahuku apa yang mengganggu
pikiranmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kalau kau butuh seseorang
untuk diajak bicara, aku ada di sini. Aku mungkin tidak bisa banyak
membantu, tapi aku bisa mendengarkan.‖
Mia menelan ludah dan berusaha menarik napas dengan susah payah. Dadanya
terasa sakit. Sebelah tangannya terangkat ke dada sementara ia
memaksakan seulas senyum kepada Lucy. ―Terima kasih, Lucy, tapi aku
tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.‖
Lucy balas tersenyum lebar dan mengalihkan pembicaraan.
―Jadi bagaimana hubunganmu dengan penari utama Dee Black
Dance Company?‖
Mia mengembuskan napas lega karena Lucy tidak mendesaknya. ―Maksudmu
Aaron?‖ guman Mia. ―Kami hanya
berteman.‖
"Mengingat kau sering menghabiskan waktumu bersama-samanya akhir-akhir
ini, aku jadi bertanya-tanya apakah kalian memang hanya berteman,‖ goda
Lucy.
―Kami hanya berteman,‖ tegas Mia sekali lagi sambil tertawa kecil.
―Aaron akan kembali ke Miami setelah pertunjukan mereka di sini selesai,
jadi kupikir tidak ada salahnya aku menemaninya selama dia di sini.
Lagi pula, sudah lama kami tidak bertemu.‖
282
Ya, itu alasannya ia sering menghabiskan sebagian besar waktunya bersama
Aaron dan teman-teman lamanya di studio latihan kelompok tari Dee Black
di Broadway. Setidaknya, itulah alasan yang dikatakannya pada diri
sendiri. Bukan karena ia kesepian. Bukan karena ia merasa harus mengisi
kekosongan. Bukan karena ia ingin menyingkirkan Alex Hirano dari
pikirannya.
Kalau begitu, kenapa kemarin malam kau mendapati dirimu berdiri di depan
gedung apartemennya? tanyanya pada diri sendiri.
Mia menggeleng keras mengenyahkan suara kecil menjengkelkan dalam
benaknya itu. Kemarin malam, ketika ia hendak pulang ke apartemennya
sendiri dari studio latihan Dee Black, entah bagaimana ia mendapati
dirinya menghentikan mobil Beetle kuningnya di depan gedung apartemen
Alex di Riverside Drive. Mia sungguh tidak tahu apa yang membuatnya
mengarahkan mobilnya ke apartemen Alex. Ia tidak tahu apa yang
dipikirkannya. Merasa konyol dan yakin bahwa ia mulai kehilangan
kewarasannya, Mia pun bergegas pergi tanpa melakukan apa-apa.
―Lihat? Kau melamun lagi!‖
―Aku tidak melamun,‖ bantah Mia, walaupun tahu ia memang
melamun tadi.
Lucy memandang ke sekelilingnya. ―Omong-omong, aku mau ke toilet. Kau
mau ikut?‖
Mia menggeleng. ―Aku menunggumu di sini saja.‖
Lucy tersenyum. ―Silahkan lanjutkan lamunanmu sampai aku
kembali.‖
283
Sepeninggal Lucy, Mia mendesah dalam hati dan duduk termenung. Ia baru
hendak tenggelam kembali dalam lamunannya ketika ponselnya berbunyi. Mia
mengeluarkan ponsel dari tas dan tertegun menatap nama yang muncul di
layar.
Alex Hirano.
Mia meletakkan ponselnya di atas meja, membiarkannya terus berbunyi dan
bergetar. Pada akhirnya deringan itu akan berhenti dan Mia akan
membiarkannya berhenti berdering dengan sendirinya. Ia tidak akan
menjawab telepon itu. Ia tidak ingin menjawabnya.
Sejenak kemudian ponselnya berhenti berdering dan berhenti bergetar.
Setelah itu barulah Mia mengembuskan napas yang sejak tadi ditahannya
tanpa sadar dan meraih ponselnya.
―Sampai kapan kau akan menghindariku?‖
Mia melompat kaget, sama sekali tidak menyangka akan mendengar suara
rendah bernada datar yang sering menghantuinya akhir-akhir ini. Ia
mendongak dengan cepat dan langsung bertatapan dengan mata hitam gelap
milik Alex Hirano.
Lidah Mia terasa kelu. Sejenak pikirannya kosong. Ia tidak bisa berkata
apa-apa. Ia hanya bisa menatap Alex sementara laki-laki itu duduk di
hadapannya, di kursi yang tadi ditempati Lucy.
Alex menatap Mia lurus-lurus. ―Katakan padaku, sampai kapan kau akan
menghindariku?‖ tanyanya sekali lagi, menyadarkan Mia dari rasa
terkejutnya. ―Dan jangan coba-coba berkata bahwa kau tidak ingin
menghindariku karena kulihat kau sama sekali tidak berniat menjawab
teleponku tadi.‖
284
Mia menghela napas dalam-dalam dan memalingkan wajah.
―Baiklah," gumannya. ―Apa yang kau inginkan?‖
Alex tidak menjawab. Ia menatap Mia lurus-lurus sebelum
akhirnya bertanya pelan, ―Kenapa kau menghindariku?‖
―Aku hanya menghindari orang yang ingin dihindari.‖
―Apa?‖ Kening Alex berkerut. ―Kau pikir aku ingin kau
menghindariku?‖
Mia mengangkat bahu. ―Kalau aku memang ingin dihindari, menurutmu kenapa
aku menelponmu berkali-kali? Menurutmu kenapa aku terus berusaha
menemuimu?‖ balas Alex. Nada frustasi terdengar jelas dalam suaranya.
Hal itu membuat kejengkelan Mia terbit. ―Well, aku tidak tahu,‖ tukasnya
ketus. ―Ketika terakhir kali kita bertemu, kau menyatakan dengan jelas
bahwa kau sama sekali tidak ingin
berurusan denganku, Alex.‖
Alex membuka mulut hendak membantah, tetapi mengurungkan niat dan
menutup mulutnya kembali. Raut wajahnya terlihat marah, namun ia
berusaha mengendalikan dirinya.Karena Alex tidak berkata apa-apa, Mia
mendesah keras dan memaksa diri menoleh menatap laki-laki itu. ―Alex,
sebenarnya apa yang kau inginkan?‖ tanyanya datar.
―Aku...‖ Alex menghela napas dan mengembuskannya dengan
pelan. ―Aku minta maaf.‖
Mata Mia melebar namun ia tidak berkomentar. ―Dengar, Clark,‖ kata Alex
sambil mencondongkan tubuh ke depan dan menatap Mia. ―Aku tidak ingat
lagi apa tepatnya yang kukatakan
285
padamu waktu itu, tapi aku sangat yakin aku tidak bermaksud menyuruhmu
menghindariku. Aku tahu apa yang kukatakan terdengar salah, jadi aku
minta maaf.‖
Mia menatap mata Alex lurus-lurus, mencoba menilai kesungguhannya. Oh,
ya, Mia bisa melihat kesungguhan dalam mata hitam itu. Ia juga melihat
kegugupan di sana. Hal itu membuat Mia ingin tersenyum. Nah, siapa yang
menyangka Alex Hirano bisa merasa gugup di hadapan Mia Clark?
―Kau berteriak-teriak kepadaku waktu itu,‖ kata Mia, masih dengan nada
datar dan dingin yang sama.
Alex mengernyit. ―Aku juga minta maaf soal itu,‖ gumamnya. Mia ingin
tetap marah pada Alex, tetapi ia tahu ia tidak akan bisa melakukannya.
Bahkan ketika ia pertama kali mendongak dan melihat Alex berdiri di
hadapannya, ia tahu ia tidak lagi marah pada laki-laki itu.
Seolah-olah bisa membaca pikiran Mia dan tahu bahwa ia sudah dimaafkan,
Alex tersenyum dan berkata, ―Kau tahu? Kalau kau tidak sibuk
menghindariku selama ini, kau pasti sudah mendengar permintaan maafku
jauh lebih awal.‖
Mia mendengus dan memutar bola matanya, namun ia tidak bisa
menyembunyikan senyum yang mulai menghiasi bibirnya.
―Jadi bagaimana kabarmu?‖
Mia menyadari nada suara Alex yang melembut, dan kenyataan kecil itu
membuat jantungnya berdebar-debar. Oh, ini konyol. Kenapa ia selalu
berubah konyol seperti ini di dekat Alex Hirano? Mia membasahi bibirnya,
berdeham dan mengangguk kecil.
286
―Baik-baik saja,‖ sahutnya. Ia melirik Alex sekilas dan
bertanya,
―Bagaimana tanganmu?‖
Alex mengangkat tangan kirinya yang masih diperban.
―Kurasa sudah tidak ada masalah," katanya. "Aku sudah bisa mengemudi.
Dan sebentar lagi aku pasti bisa bermain piano lagi.‖
―Baguslah kalau begitu.‖
Alex menatap Mia dengan seksama. ―Kau sungguh baik-baik saja? Tidak ada
serangan lagi setelah waktu itu?"
Mia ragu sejenak. Ia memang tidak mengalami serangan seperti waktu itu
lagi, namun akhir-akhir ini dadanya selalu terasa tidak nyaman. Ia juga
merasa dirinya lebih cepat lelah daripada biasanya. Tetapi Alex tidak
perlu tahu semua itu. Setelah melihat reaksi laki-laki itu ketika
mengetahui kondisi jantungnya, Mia tidak ingin mengambil risiko
menambahkan hal-hal yang bahkan belum diketahui dokternya. Tidak
sekarang, ketika sepertinya ia dan Alex baru saja berbaikan.
Ia mendesah dalam hati. Ia harus melaporkan kondisinya kepada dokternya.
Walaupun ia tidak tahu apakah hal itu ada gunanya.
―Clark?‖
Mia mengerjap dan menatap Alex. ―Tidak. Tidak ada serangan lagi,‖
sahutnya ketika teringat pada pertanyaan laki-laki itu.
―Kau bisa tidur nyenyak?‖
Seulas senyum muram tersungging di bibir Mia. Tetapi hanya sebentar.
―Tidak juga,‖ sahutnya, memutuskan untuk mengatakan
yang sebenarnya.
287
―Well, kau tidak sendirian dalam hal itu,‖ guman Alex lirih. Ketika Mia
hendak bertanya apa maksud Alex, ia disela oleh
Lucy yang sudah kembali ke meja mereka. Ia mendongak menatap Lucy yang
menatap Alex sambil tersenyum lebar.
―Hai,‖ sapa Lucy, mengulurkan tangan kepada Alex. ―Aku Lucy Smith, teman
Mia. Kau pasti Alex, kakak Ray.‖
Alex berdiri dan menjabat tangan Lucy. ―Alex Hirano. Senang berkenalan
denganmu,‖ balas Alex sambil tersenyum. ―Dan, ya, harus kuakui bahwa Ray
adikku.‖
―Aku sudah mendengar banyak cerita tentang dirimu,‖ kata Lucy. Ia duduk
di kursi lain di samping Mia, tidak menyadari Mia yang melemparkan
tatapan tajam penuh peringatan ke arahnya.
Alex juga duduk kembali ke kursinya. ―Oh, ya? Cerita seperti
apa?‖
―Kenapa kau lama sekali di toilet?‖ Mia bertanya kepada Lucy. Dari sudut
matanya ia melihat Alex tersenyum geli dan yakin laki-laki itu tahu
bahwa ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
―Lama?‖ ulang Lucy sambil mengangkat alis menatap Mia.
―Kurasa aku tidak terlalu lama.‖
Saat itu ponsel Alex berbunyi. ―Ya, Karl?‖ kata Alex setelah menempelkan
ponsel ke telinga. Ia diam sejenak, mendengarkan, lalu mendesah. ―Aku
tidak lupa. Aku akan ke sana sekarang juga. Dan
berhentilah bersikap dramatis.‖
Mia menoleh ketika Alex menutup ponsel dan
memasukkannya kembali ke saku. ―Ada apa dengan Karl?‖
tanyanya.
288
Alex meringis. ―Dia hanya ingin mengingatkanku bahwa kami
punya janji makan malam dengan produser-produserku,‖ gerutunya.
―Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang.‖
Mia mengerjap heran. ―Sekarang?‖ tanyanya. ―Bukankah kau
datang untuk menonton pertunjukan?‖
Alex melemparkan seulas senyum kecil ke arahnya. ―Tidak,‖
sahutnya ringan.
―Lalu?‖
Alex mengangkat bahu. ―Kau menghindariku. Kau tidak mau menjawab
teleponku. Jadi kupikir kau tidak mungkin bisa menghindar kalau aku
datang menemuimu di sini.‖ Ia berdiri dari kursi dan menjabat tangan
Lucy. ―Sekali lagi, senang berkenalan denganmu, Lucy. Maaf, aku harus
pergi sekarang.‖ Setelah itu ia menatap Mia dan tersenyum. ―Pastikan kau
menjawab teleponmu mulai sekarang,‖ katanya sebelum berbalik dan
berjalan pergi.
Mia melongo. Apa katanya tadi? Alex datang ke sini hanya untuk
menemuinya?
―Astaga, dia menyukaimu.‖
―Apa?‖ Mia menyentakkan kepala ke arah temannya.
Lucy mendesah menatap punggung Alex yang menjauh, lalu
menoleh ke arah Mia. ―Dia menyukaimu Mia.‖
Kata-kata Lucy menimbulkan sebersit perasaan aneh dalam diri Mia.
Perasaan hangat dan menyenangkan yang tanpa disadarinya membuat bibirnya
melengkung membentuk senyum kecil. Walaupun begitu, ia menggeleng pelan
untuk membantah pernyataan Lucy.
289
―Kulihat dia berhasil membuatmu tersenyum kembali.‖
Mia menatap Lucy tidak mengerti. ―Apa?‖
―Akhir-akhir ini kau selalu murung. Ini pertama kalinya aku melihatmu
tersenyum. Benar-benar tersenyum, bukan senyum sopan
atau senyum terpaksa.‖
Mia menyesap tehnya tanpa berkata apa-apa.
Lucy mengerjap, menyadari sesuatu. ―Oh, kau juga...‖
―Tidak,‖ sela Mia tajam dan menoleh menatap temannya dengan panik.
Melihat mata Lucy yang melebar kaget, Mia menelan ludah dan berkata
dengan nada lebih pelan, ―Tidak, tidak seperti
itu.‖
Ia tahu apa yang ingin dikatakan Lucy, tetapi ia tidak ingin
mendengarnya. Ia tidak mau mengakuinya, tetapi jauh di lubuk hatinya ia
tahu ia merasakan hal itu. Tetapi itu perasaan terlarang baginya. Ia
tidak boleh merasakannya. Tidak boleh memikirkannya. Karena itu Lucy
tidak boleh mengatakannya. Apabila Lucy mengatakannya, segalanya akan
terasa nyata dan Mia terpaksa menghadapinya.
Lebih mudah bersikap seolah-olah perasaan itu tidak nyata. Jadi itulah
yang ia lakukan.
Lucy menatap Mia dan tersenyum samar. ―Benarkah? Lalu kenapa kau
langsung bisa tersenyum dan terlihat lebih gembira
setelah bertemu dengannya?‖
―Aku... Aku...‖ Mia tergagap, tidak tahu apa yang harus
dikatakannya.
―Hei, ladies.‖
290
Mia dan Lucy serentak menoleh ke arah Ray yang mendadak sudah berdiri di
samping meja mereka. ―Hai, Ray,‖ sapa Mia sambil tersenyum, lega karena
ia tidak perlu mendengar ocehan Lucy lebih jauh lagi.
―Boleh aku duduk?‖ tanya Ray agak ragu, memandang Mia dan Lucy
bergantian.
―Tentu saja,‖ sahut Lucy. ―Kau datang sendiri?‖
―Ya, begitulah.‖ Ray terlihat agak canggung dan Mia tahu Ray bersikap
begitu gara-gara dirinya. Ia sama sekali tidak bertemu dengan Ray
setelah Ray tiba-tiba menyatakan perasaannya dan pergi begitu saja.
Tidak heran sekarang Ray terlihat agak gugup menghadapinya.
Mia mendesah dalam hati. Ia tidak tahu kenapa Ray tiba-tiba menyatakan
perasaannya. Yah, sebenarnya ia tahu, tetapi ia sudah berusaha mencegah
Ray mengutarakannya. Ia tahu Ray memiliki perasaan khusus kepadanya,
tetapi ia tidak pernah melakukan sesuatu yang memberi kesan pada Ray
bahwa ia menyukai laki-laki itu. Ia memperlakukan Ray seperti teman
biasa, seperti ia memperlakukan teman-teman prianya yang lain.
Menurut Mia pernyataan perasaan adalah sesuatu yang sangat merepotkan,
karena apabila seseorang menyatakan perasaan kepadanya, ia terpaksa
memikirkan cara yang halus namun tegas untuk menolak. Oh ya, ia akan
menolak. Saat ini sudah cukup banyak masalah yang harus dipikirkannya
tanpa perlu ditambah masalah hubungan dan cinta. Salah satu alasan
paling utama tentu saja adalah
291
kondisinya. Coba pikir, apakah dengan kondisi kesehatannya yang sekarang
ia masih sanggup memikirkan cinta? Yang benar saja.
―Kalau tidak salah tadi aku melihat Alex berjalan ke pintu keluar,‖ kata
Ray dengan nada bertanya.
―Ya, tadi kakakmu sempat mampir,‖ Lucy yang menjawab.
―Oh? Kukira dia tidak akan datang karena katanya punya acara lain.‖
―Memang. Dia hanya mampir menemui Mia,‖ lagi-lagi Lucy
yang menjawab.
Ray menoleh ke arah Mia. ―Dia datang untuk menemuimu?‖ Mia mengangguk.
―Ya.‖
―Apakah dia menyulitkanmu?‖
Mia mengangkat alis tidak mengerti. ―Menyulitkanku? Apa maksudmu?‖
Ray tersenyum masam. ―Akhir-akhir ini suasana hati Alex benar-benar
buruk. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi yang pasti dia
terlihat kacau, selalu senewen, dan selalu marah-marah,‖ jelasnya.
―Karena itu aku bertanya-tanya kenapa dia datang menemuimu. Kuharap dia
tidak menyulitkanmu.‖
"Tidak, dia tidak menyulitkanku,‖ sahut Mia. Ia agak heran mendengar
penjelasan Ray karena Alex tidak terlihat marah tadi.‖
―Jadi kenapa Alex datang menemuimu di sini?‖ tanya Ray. Mia tersentak.
Ia tidak bisa menceritakan kejadian yang
sebenarnya kepada Ray. Karena apabila Mia memberitahu Ray bahwa Alex
menemuinya untuk meminta maaf, maka Mia juga harus memberitahu Ray bahwa
Alex meminta maaf kepadanya karena mereka sempat bertengkar, yang
kemudian mengharuskan Mia
292
memberitahu Ray bahwa alasan mereka bertengkar adalah kondisi Mia.
Ia tidak mungkin memberitahu Ray.
―Mia? Kenapa Alex datang menemuimu di sini?‖ tanya Ray lagi. Nada
suaranya tidak mendesak, hanya penasaran.
―Oh, itu...‖ Mia memutar otak mencari alasan yang masuk
akal.
―Ray, kau mau minum apa? Aku sudah menyuruh pelayannya ke sini,‖ sela
Lucy tiba-tiba.
Ray menoleh tepat ketika seorang pelayan berjalan menghampiri meja
mereka. Setelah pelayan itu mencatat pesanan Ray dan berbalik pergi,
Lucy langsung menarik Ray ke dalam pembicaraan lain yang tidak ada
hubungannya dengan Alex. Mia mengembuskan napas lega ketika perhatian
Ray teralihkan darinya dan Ray sepertinya sudah melupakan pertanyaannya
tadi.
Lucy mencondongkan tubunya sedikit ke arah Mia dan
berbisik, ―Kau berutang padaku.‖
Mia tersenyum kecil. ―Aku tahu,‖ ia balas berbisik. ―Terima
kasih.‖
Saat itu ia mendengar ponselnya berdering. Ia mengeluarkan ponselnya dan
membaca nama yang muncul di layar. Alex Hirano. Ia melirik kedua
temannya yang sedang sibuk mengobrol sebelum berbalik memunggungi mereka
sedikit dan menempelkan ponsel ke telinga. ―Halo?‖ gumannya pelan.
―Clark?‖ Suara Alex terdengar di ujung sana.
293
Mia tidak tahu kenapa, tetapi mendengar suara Alex di telepon saja sudah
membuat bibirnya melengkung tersenyum. ―Ya,‖ sahutnya. ―Ada apa?‖
―Hanya ingin memastikan kau menjawab teleponku.‖
Mia mendengus, walaupun bibirnya masih tetap tersenyum. Ia hampir yakin
Alex Hirano juga sedang tersenyum lebar di ujung sana.
―Jadi... kau akan datang besok pagi?‖ tanya Alex.
Mia merasa tidak ada gunanya ia berpura-pura tidak mengerti apa yang
dimaksud Alex. ―Kau masih ingin aku datang ke apartemenmu?‖ ia balas
bertanya.
―Ya.‖
Mia terdiam sejenak, lalu berkata, ―Baiklah.‖
Ia bisa mendengar nada lega dalam suara Alex ketika laki-laki itu
berkata, ―Bagus. Karena aku membutuhkan...‖ jeda sejenak
―...kopimu. Aku sangat membutuhkan kopimu.‖
Mia tertawa kecil. ―Kau memang menyedihkan. Apa jadinya kau tanpa aku?‖
guraunya.
Hening sejenak di ujung sana. Mia bertanya-tanya apakah hubungan telepon
mendadak terputus. Ia baru hendak membuka mulut menyebut nama Alex
ketika ia mendengar Alex berkata dengan nada serius, ―Entahlah. Aku
tidak bisa membayangkannya.‖
294
Bab Dua Puluh Tujuh
DEE BLACK, pendiri Dee Black Dance Company yang merupakan
salah satu kelompok tari paling terkenal di seluruh penjuru Amerika
Serikat, yakin bahwa pertunjukan yang diselenggarakannya pasti sukses.
Dan ia memang benar. Pertunjukan perdananya sukses besar. Tidak ada satu
pun kursi kosong di dalam teater. Para penarinya memberikan pertunjukan
yang luar biasa. Di akhir pertunjukan semua penonton berdiri dan
bertepuk tangan. Ia tidak mungkin mengharapkan hasil yang lebih baik
lagi daripada ini. Malam ini sempurna.
Well, mungkin segalanya bisa sedikit lebih sempurna kalau Mia Clark
masih menari untuknya. Dee
memberi selamat kepada para penarinya yang kembali ke belakang panggung
setelah tirai diturunkan, memeluk mereka satu per satu dan memuji
penampilan mereka.
Sampai saat ini, walaupun ia tidak pernah mengatakannya, di dalam
hatinya ia tetap merasa bahwa Mia Clark seharusnya masih bergabung
dengan kelompok tarinya dan menari untuknya. Bakat alami langka yang
dimiliki Mia seharusnya dipertunjukan kepada dunia. Ia sungguh tidak
mengerti ketika Mia memutuskan keluar dari kelompok tarinya. Saat itu
Mia tidak memberikan alasan yang
295
jelas, hanya berkata bahwa ia harus kembali ke New York untuk
menyelesaikan masalah keluarga. Dee sudah melakukan segala cara untuk
membujuk gadis itu tetap tinggal, tetapi tidak ada yang bisa mengubah
keputusan Mia.
Dee merasa Mia Clark pasti memiliki alasan kuat untuk berhenti walaupun
gadis itu tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Tidak apa-apa. Ia
menghormati keputusan Mia dan tidak akan mendesak gadis itu bergabung
kembali dengan kelompok tarinya. Tetapi ia masih bisa melakukan sesuatu.
Akhir-akhir ini Mia sering mampir ke studio latihan Dee untuk mengobrol
dengan Dee dan teman-teman lamanya. Dan kadang-kadang ia juga ikut serta
dalam latihan mereka. Ketika Dee melihat Mia menari, Dee bisa melihat
bahwa kemampuan gadis itu belum hilang. Mia Clark masih bisa
menghipnotis semua orang dengan tariannya.
Dee Black bukan wanita yang bisa membiarkan bakat seperti itu
disia-siakan. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Jadi ia pun melakukan
sesuatu. Ya, ia sudah menyiapkan segalanya. Yang harus dilakukannya
sekarang adalah memberitahu Mia. Ia yakin Mia Clark pasti gembira
mendengar apa yang akan dikatakannya. Apabila Mia Clark menganggap
dirinya penari—dan demi Tuhan, Mia memang penari!—ia pasti akan
menyetujui tawaran Dee.
Seperti yang sudah diduganya, Dee menemukan Mia di kamar ganti para
penari, sedang memberi selamat kepada teman-temannya dan memeluk Aaron
Rogers erat-erat. Seulas senyum lebar terlihat di
296
wajahnya. ―Terima kasih kau datang, Mia. Kuharap kau menikmati
pertunjukannya,‖ kata Dee ketika ia sudah berdiri di dekat Mia.
Mia menoleh dan menatapnya dengan wajah berseri-seri. ―Oh, Dee aku harus
mengucapkan selamat kepadamu. Pertunjukannya luar biasa,‖ pujinya.
―Tapi kau memang koreografi andal dan kau punya penari-penari yang
hebat, jadi tidak heran pertunjukan ini sukses besar.‖
Dee menarik lengan Mia dan berkata, ―Ikut aku sebentar.‖
Mia menatapnya dengan heran, tetapi menurut dan mengikuti Dee menjauh
dari para penari yang sedang merayakan keberhasilan mereka. Dee
membawanya ke sudut ruangan sehingga pembicaraan mereka tidak akan
terganggu.
―Mia,‖ kata Dee sambil menatap Mia dengan sungguh-sungguh, ―bagaimana
perasaanmu ketika melihat mereka menari di
atas panggung tadi?‖
Mia agak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh menatap
teman-temanya, lalu kembali menatap Dee sambil tersenyum ragu. "‖Apa
maksudmu?‖
―Apakah kau tidak memiliki keinginan untuk menari di atas panggung
seperti mereka?‖ desak Dee.
Mia terdiam dan Dee hampir yakin Mia bahkan menahan napas sejenak. Mia
menggigit bibirnya sejenak sebelum berkata,
―Impian setiap penari adalah menari di atas panggung, Dee. Kau
tahu itu.‖
―Dan kau sendiri?‖
―Aku juga penari. Jadi aku juga memiliki impian itu.‖
297
Dee tidak tahu kenapa suara Mia terdengar sedih ketika mengatakan hal
itu. Malah sebersit kesedihan juga berkelebat di wajahnya. Apakah ia
salah lihat? Dee mengabaikan kecurigaannya dan berkata, ―Kalau begitu
kau tidak akan menolak apabila aku menawarkan kesempatan untuk tampil di
atas panggung, bukan?‖
―Apa?‖ Mia menatapnya tidak mengerti. Dee tersenyum lebar dan
menangkupkan kedua tangan di depan dada. ―Aku ingin kau menari
untukku—sebagai bintang tamu, tentu saja—dalam pertunjukan khusus yang
akan kuselenggarakan di akhir pertunjukan
ini.‖
―Apa? Suara Mia meninggi dan matanya melebar kaget.
―Kau penari yang sangat berbakat, Mia,‖ kata Dee sambil memegang kedua
bahu Mia. ―Aku ingin kau menunjukkan kemampuanmu kepada semua orang. Aku
tahu kau punya alasan tersendiri sehingga kau tidak kau tidak bergabung
dengan kelompok tari mana pun dan aku tidak akan memaksamu melakukan
hal yang
tidak ingin kaulakukan.‖
Mia masih tidak bisa berkata apa-apa, hanya menatap Dee dengan kaget.
―Aku berencana menyelenggarakan satu pertunjukan khusus di akhir
kunjunganku di New York, sebelum kami kembali ke Miami, untuk menegaskan
kemampuan dan kualitas para penariku sekali lagi kepada dunia. Hanya
satu kali, satu pertunjukan. Dan aku ingin kau menjadi penari utamanya.
Bagaimana menurutmu?‖
298
Bab Dua Puluh Delapan
MIA mengunci pintu mobilnya dan melilitkan syal merah di
sekeliling lehernya rapat-rapat. Sebenarnya jarak dari tempat mobilnya
diparkir dan pintu depan gedung apartemen Alex tidak terlalu jauh,
tetapi suhu udara pagi ini turun drastis dan mengharuskannya mengenakan
syal. Mia mendapati dirinya masih menggigil walaupun sudah mengenakan
pakaian tebal. Ia jadi bertanya-tanya apakah New York akan dihadiahi
salju tepat di Hari Natal.
―Mia! Mia Clark!‖
Mia menoleh ke arah suara penuh semangat itu dan melihat Karl Jones
sedang turun dari mobilnya di seberang jalan. Karl mengunci pintu
mobilnya dan berlari-lari kecil ke arah Mia.
―Pagi, Karl. Apa kabar?‖ sapa Mia dari balik syal tebalnya. Karl
berhenti dihadapan Mia dan tersenyum lebar,
menunjukkan barisan giginya yang putih cemerlang. ―Kau sudah berbaikan
dengan Alex, bukan?‖ tanyanya gembira.
Mia mendongak menatap wajah Karl dengan tatapan bertanya. Apakah Alex
memberitahu Karl tentang pertengkaran mereka?
299
Seolah-olah bisa membaca pikiran Mia, Karl berkata, ―Aku tidak tahu apa
yang dilakukannya sampai membuatmu marah dan menghindarinya, tapi aku
sangat, sangat senang kau bersedia memaafkan temanku yang merepotkan
itu. Kau sudah menyelamatkan dunia, Mia Clark. Sadarilah itu.‖
Alis Mia berkerut tidak mengerti. ―Aku tidak mengerti apa
maksudmu. Sungguh.‖
Karl menyelipkan lengannya ke lekukan siku Mia dan menariknya berjalan
ke arah gedung apartemen Alex. ―Apakah kau tahu dia bersikap seperti
orang brengsek selama kau menghindarinya?‖ Melihat Mia yang menatapnya
dengan mata disipitkan, Karl melanjutkan, ―Sungguh! Dia seperti orang
tidak waras yang pemarah. Kau boleh bertanya pada Ray atau ayahnya kalau
tidak percaya. Dia benar-benar menjadi mimpi buruk semua orang. Tapi
setelah dia menemuimu kemarin malam, sikapnya berubah seratus delapan
puluh derajat. Jadi, Mia, tolong jangan menghindarinya lagi.‖
Mereka tiba di pintu depan gedung. Karl baru hendak menekan bel
apartemen Alex ketika Mia menghentikannya dan mengeluarkan kunci dari
tas. Alis Karl terangkat heran melihat Mia membuka pintu dengan kunci
itu.
―Dia memberimu kunci apartemennya?‖ tanya Karl dengan nada tidak percaya
dan melangkah masuk mengikuti Mia.
Mia mengangguk, membiarkan pintu menutup dan terkunci dengan sendirinya
di belakangnya. ―Karena aku datang ke sini setiap
300
hari. Dia tidak mau repot-repot membukakan pintu setiap kali aku
datang,‖ jelas Mia.
Ketika sudah berada dalam lift yang membawa mereka ke lantai empat, Karl
berbalik dan menatap Mia dengan heran. ―Astaga, kau membuatnya bertekuk
lutut, bukan?‖
―Apa lagi yang kau bicarakan?‖ gerutu Mia pelan, mengabaikan kata-kata
Karl. ―Aku tidak membuat siapa pun
bertekuk lutut.‖
Kali ini seulas senyum lebar tersungging di bibir Karl. ―Ah, tapi aku
tahu benar kau membuat Ray bertekut lutut. Dan kurasa kau
juga sudah tahu itu.‖
Mia mendesah pelan. ―Ray dan aku hanya berteman.‖
―Aduh,‖ kata Karl pura-pura kecewa. ―Kau menolak Ray rupanya. Dia
menyatakan perasaannya padamu dan kau menolaknya. Kasihan dia. Kuharap
keadaannya baik-baik saja.‖
Mia melemparkan tatapan tajam kepada Karl. ―Ray baik-baik saja, jadi kau
tidak perlu bersikap dramatis begitu,‖ sahutnya. Lalu ia menggerutu
pelan, ―Aku tidak menyangka laki-laki ternyata suka
bergosip.‖
―Kami tidak bergosip. Kami berdiskusi,‖ koreksi Karl sambil mengedipkan
mata.
Lift yang mereka tumpangi berdenting sekali sebelum pintu terbuka dan
mereka melangkah keluar.
―Aku yakin kau juga berhasil membuat Alex bertekuk lutut, kau tahu?‖
lanjut Karl sambil berpikir-pikir sendiri.
301
―Walaupun harus kuakui, aku sulit membayangkan Alex
bertekuk lutut di hadapan wanita.‖
Mia berhenti di depan pintu apartemen Alex, berbalik menghadap Karl dan
menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Karl.
―Hentikan imajinasimu yang berlebihan itu dan berhentilah mengoceh yang
tidak-tidak.‖
Karl menunduk menatap Mia sejenak, masih terlihat seperti sedang
memikirkan sesuatu. Lalu ia mulai tersenyum dan berkata,
―Bagaimana kalau kita memastikan apakah dugaanku benar atau tidak?‖ Ia
mengangkat sebelah tangannya dan menekan bel pintu.
Mia mengacungkan kunci di tangannya. ―Karl, sudah kubilang aku punya
kuncinya. Kau tidak perlu menekan bel pintu.‖
Masih tersenyum penuh arti, Karl berkata, ―Well, kita harus membuktikan
dugaanku, bukan, Miss Clark?‖
―Apa...?‖
Sebelum Mia sempat melanjutkan kata-katanya, Karl menarik Mia ke arahnya
dengan satu sentakan keras dan memeluk Mia erat-erat, membuat Mia
hampir tidak bisa bernapas.
Tepat pada saat itu pintu di samping mereka terbuka dan Mia—yang
wajahnya kebetulan menghadap ke arah pintu sementara sebelah pipinya
menempel di dada Karl—melihat Alex berdiri di sana menatap mereka. Mia
terkesiap keras dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Karl, tetapi
laki-laki itu mempererat pelukannya, mencegah Mia menarik diri. Sedetik
kemudian...
AApa-apaan...? KARL JONES! KAU PIKIR SEDANG APA?‖
302
Mia mengernyit mendengar suara Alex yang menggelegar. Lalu ia mendengar
Karl terkekeh di sisi wajahnya. ―Kau lihat? Kubilang juga apa?‖ bisik
Karl di telinganya.
Mendadak Mia merasa dirinya ditarik dengan paksa dari pelukan Karl.
Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, ia sudah berdiri di samping Alex
Hirano yang mencengkeram lengannya dan menatap Karl dengan tatapan
membunuh.
Karl tersenyum polos dan mrngangkat kedua tangan tanda menyerah. ―Aku
tidak melakukan apa-apa. Hanya bermaksud
menyapa Mia.‖
Alex menyipitkan mata menatap Karl, lalu menoleh ke arah Mia dan
bertanya, ―Kau tidak apa-apa?‖ Mia menunduk menatap tangan Alex yang
masih mencengkeram lengannya. Cengkeraman Alex tidak kuat dan Mia
sebenarnya bisa melepaskan diri dengan mudah, tetapi ia tidak
melakukannya. Ia menyukai rasa hangat yang mengalir dari tangan Alex ke
sekujur lengannya.
Namun sepertinya Alex salah mengartikan tatapan Mia karena laki-laki itu
melepaskan pegangannya. Mia langsung merasa kehilangan dan harus
berusaha keras mencegah dirinya meraih tangan Alex. Oh, ini benar-benar
bahaya...
*****
Alex mengamati Mia yang sepertinya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Wajahnya pucat, namun ada rona merah samar di pipinya.
Mungkin karena udara dingin. ―Clark?‖ panggil Alex.
303
Suara Alex berhasil menarik gadis itu dari lamunannya. Mia mendongak dan
tersenyum kecil. ―Aku tidak apa-apa. Karl hanya bercanda. Seperti
biasa,‖ katanya sambil mengibaskan sebelah
tangan.
Kepala Alex kembali berputar ke arah Karl. ―Lain kali ucapkan 'halo‘,"
katanya singkat.
Karl mengangguk-angguk. ―Ucapkan 'halo'. Tanpa pelukan. Oke, akan
kuingat itu.‖
Alex memberengut. ―Omong-omong kenapa kau datang ke sini pagi-pagi
begini?‖
"Tentu saja karena aku bermaksud menawarkan diri menemanimu ke rumah
sakit,‖ sahut Karl.
Mia terkesiap. ―Ke rumah sakit?‖ selanya sambil menoleh
menapat Alex. ―Kenapa?‖
Alex menggerakkan tangan kirinya yang diperban. ―Perbanku
akan dibuka hari ini.‖
―Oh.‖ Mia mengembuskan napas lega dan tenang kembali. Karl menatap Mia
dan Alex bergantian, lalu melanjutkan, ―Tapi karena kulihat kalian sudah
berbaikan, aku yakin kau pasti ingin Mia yang menemanimu ke sana. Jadi
kurasa sebaiknya aku pergi.‖ Ia berbalik tanpa menunggu jawaban dari Mia
maupun Alex. Namun sebelum ia melangkah pergi, ia berputar ke arah Mia
dan berkata,
―Mia, kuserahkan dia kepadamu.‖ Ia menggerakkan kepalanya kepalanya ke
arah Alex. ―Dan kumohon, jangan marah padanya lagi. Kasihanilah kami
yang harus menghadapi sikap buruknya kalau kau
menolak bicara dengannya lagi.‖
304
Mia mengerjap tidak mengerti. Ia menatap Karl yang mengedip ke arahnya,
lalu menatap Alex yang terlihat seolah-olah ingin mencekik manajernya.
―Karl Jones, satu patah kata lagi darimu, aku akan melemparmu ke luar
jendela,‖ geram Alex.
Karl mengabaikan ancaman itu dan membalas dengan senyum lebar dan cerah.
―Oke, oke. Aku pergi sekarang. Sampai jumpa lagi,
Mia.‖ Ia baru merentangkan lengan hendak merangkul Mia ketika Alex
meraih siku Mia dan menariknya menjauh, memosisikan dirinya sendiri di
antara Karl dan Mia.
―Kau bilang kau mau pergi, bukan?‖ tanya Alex sambil menatap Karl tajam.
Karl mengangkat kedua tangan di depan dada, tanda menyerah. ―Baiklah,
baiklah. Aku pergi sekarang,‖ katanya sambil terkekeh. Setelah
melambaikan tangan ke arah Mia, Karl pun berbalik dan melangkah pergi
sambil bersiul pelan.
Alex mengembuskan napas kesal setelah Karl menghilang dari pandangan.
―Kurasa aku harus mulai mencari manajer baru,‖
gerutunya pelan.
Mia menatapnya dengan alis terangkat. ―Kenapa?‖ ―Karena kurasa aku akan
memecatnya.‖
Mia tertawa pendek dan menepuk lengan Alex dengan
punggung tangannya. ―Kau tahu benar tidak ada orang lain yang
bisa menghadapimu seperti Karl,‖ katanya.
305
Alex mendengus dan berbalik masuk ke apartemennya. Mia mengikutinya dan
menutup pintu sebelum berjalan ke ruang duduk, tempat Alex sudah kembali
duduk ke sofa.
―Hei, kau merawat tanamanku? tanya Mia senang sambil berjalan ke arah
pot-pot tanamannya yang berderet di bingkai
jendela.
Alex mengangkat bahu acuh tak acuh. ―Hanya butuh disiram.
Bukan masalah besar,‖ gumamnya.
Mia tersenyum dan berjalan menghampiri Alex di sofa. ―Jadi apa maksud
Karl tentang kau yang tidak bersikap ramah pada orang-orang belakangan
ini?‖ tanyanya sambil melepas jaket dan syalnya dan menyampirkannya ke
sandaran kursi.
Alex mendesah berat dan menyandarkan kepala ke sandaran
sofa dengan mata terpejam. ―Itu semua karena kesalahanmu,‖
gumamnya.
―Kesalahanku?‖ Suara Mia meninggi. ―Bagaimana itu bisa menjadi
kesalahanku? Aku bahkan tidak melihatmu selama
seminggu terakhir ini.‖
Alex membuka mata dan menatap Mia. ―Nah, itu sebabnya. Kau sudah
mengatakannya sendiri,‖ katanya dengan nada puas. ―Kau menghindariku
selama seminggu terakhir, yang membuatku tidak minum kopi yang layak
selama seminggu terakhir.‖
Mia mendengus. ―Bagus sekali. Salahkan saja aku kalau itu memang bisa
membuatmu merasa lebih baik.‖
―Yang bisa membuatku merasa lebih baik adalah kopimu,
Clark,‖ gumam Alex.
306
―Kopiku?‖
Alex mengangguk tegas dan tersenyum lebar menatap gadis yang berdiri
berkacak pinggang di hadapannya. Ia tahu bahwa sebenarnya keberadaan Mia
Clark di apartemennyalah yang membuatnya merasa lebih baik. Jauh lebih
baik. Bisa melihat gadis itu, berbicara dengannya, mendengar suaranya,
semua itulah yang membuatnya merasa hidup kembali. Tetapi Alex tidak
berencana mengakuinya kepada gadis itu. Oh, tidak.
―Baiklah, akan kubuatkan kopi untukmu,‖ desah Mia sambil
berderap ke dapur. ―Kau mau kubuatkan sarapan sekalian?‖
Alex bangkit dari sofa dan berjalan menyusul Mia ke dapur.
―Biar aku saja yang menyiapkan sarapan hari ini. Bagaimana kalau
kita makan roti panggang saja?‖ Ia menoleh menatap Mia. ―Apa?‖
tanyanya ketika melihat gadis itu menatapnya dengan alis terangkat heran
bercampur curiga.
―Tidak apa-apa,‖ sahut Mia sambil mengangkat bahu dan tersenyum kecil.
―Hanya saja kupikir menyiapkan sarapan adalah salah satu tugasku sebagai
pesuruh merangkap pengurus rumah di
sini.‖
Alex mengernyit mendengar kata-kata yang dulu pernah dilontarkannya
kepada Mia. Ia dulu benar-benar brengsek, bukan? Alex mengutuk dirinya
sendiri dalam hati.
Ia menarik napas dan menatap Mia dengan ragu. ―Kau tahu aku tidak
menganggapmu seperti itu lagi, bukan?‖ tanyanya.
307
Mia membalas tatapannya dan berpikir sejenak, lalu akhirnya berguman
pelan, ―Aku tahu, Alex.‖" Ia tersenyum menenangkan. ―Aku hanya
bercanda.‖
Alex mengembuskan napasnya yang tanpa sadar ditahannya.
―Baguslah kalau begitu,‖ katanya dan mengangguk-angguk. Merasa canggung,
ia berdehem dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
―Sekarang bersiaplah, Clark,‖ katanya sambil menggulung lengan bajunya
sampai ke siku. ―Bersiaplah untuk jatuh dalam pesonaku setelah kau
mencicipi roti panggangku.‖
*****
―Bersiaplah untuk jatuh dalam pesonaku? Coba jelaskan padaku, pesona
yang mana?‖ tanya Mia sambil menatap sepiring roti panggang dan sebotol
selai kacang yang diletakkan Alex di atas meja dapur.
―Kau mau selai stroberi juga?‖ tanya Alex polos. ―Aku suka
mencampur selai kacang dan selai stroberi untuk rotiku.‖
Mia tertawa dan menggeleng-geleng.
―Hei, hanya ini yang bisa kusiapkan,‖ kata Alex membela diri.
―Aku bukan koki dan kau tahu benar soal itu.‖
―Kalau begitu seharusnya tadi kau membiarkan aku yang menyiapkan
sarapan,‖ kata Mia.
Alex hanya tersenyum menyesap kopinya.
308
Mia meraih sepotong roti dan mengoleskan selai kacang di atasnya. ―Apa?‖
tanyanya ketika ia mendongak dan melihat Alex menatapnya dengan aneh.
―Bagaimana keadaanmu?‖ tanya Alex tiba-tiba. ―Baik,‖ jawab Mia cepat.
Alex tidak berkomentar. Ia hanya mengangkat alis dan terus menatap Mia.
Merasa resah ditatap seperti itu, Mia mendesah keras dan meletakkan roti
yang sudah diolesi selai kacang namun belum dimakannya kembali ke
piring. Nafsu makannya mendadak hilang.
―Oh, baiklah kalau kau memang mau tahu,‖ katanya sambil melirik Alex
sekilas dengan kesal sebelum mengalihkan tatapan kembali ke piring di
hadapannya. ―Belum ada kemajuan berarti.‖
―Belum ada kemajuan?‖ ulang Alex pelan.
Mia mengembuskan napas dengan perlahan. ―Obat-obatan yang diberikan
dokter hanya sedikit memperlambat proses melemahnya jantungku. Kata
kuncinya di sini adalah 'memperlambat'. Jantungku masih tetap melemah.‖
―Tapi doktermu tetap optimis?‖
―Dia... berusaha bersikap optimis.‖ Mia tersenyum kecil. ―Dan
aku juga berusaha bersikap optimis.‖
Alex balas tersenyum sekilas sebelum raut wajahnya kembali terlihat
serius. ―Kau tahu," katanya agak ragu dan berdehem.
―Bukannya ingin bersikap pesimistis, tapi... aku hanya ingin tahu. Kalau
obat-obat itu tetap tidak berpengaruh padamu... lalu apa yang
terjadi?‖
309
―Apa yang terjadi?‖ ulang Mia dan tertawa pelan namun hambar. Ia
mengibaskan sebelah tangannya sambil lalu dan berkata tanpa berpikir,
―Kurasa kau tidak akan melihatku lagi.‖
Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, Mia tahu ia telah melakukan
kesalahan. Tubuh Alex menegang, wajahnya memucat dan rahangnya
mengeras. Sebelum Mia sempat memperbaiki kesalahannya, Alex berkata
lirih, ―Kau tahu bukan itu maksudku,
Clark.‖
Mia menggigit bibir dan menarik napas dalam-dalam. ―Aku
tahu. Maaf,‖ katanya dengan suara serak. ―Aku hanya...‖ Ia
mengangkat bahu, menarik napas panjang sekali lagi, dan membasahi bibir,
―Well, kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada
cara lain selain mencari jantung baru untukku.‖
Hening sejenak. Lalu Alex membuka suara, ―Transplantasi
jantung?‖
Mia mengangguk. ―Tapi itu usaha terakhir,‖ katanya cepat, berusaha
terdengar riang dan percaya diri. ―Saat ini segalanya masih terkendali.
Kondisiku masih bagus. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.‖
Alex menatapnya sejenak, lalu mengangguk dan berkata,
―Baiklah. Apakah kau akan memberitahuku kalau kau merasa tidak
sehat?‖
―Tapi aku sungguh baik-baik saja,‖ bantah Mia.
―Clark?‖
310
―Oh, baiklah. Aku akan memberitahumu,‖ gerutu Mia sambil menyilangkan
lengan di depan dada. ―Sekarang apakah kita bisa
membicarakan hal lain?‖
Alex mengangguk dan Mia melihat ketegangan mulai menguap dari tubuhnya.
Alex meraih sepotong roti dan bertanya ringan, ―Jadi apakah kau bertemu
Ray di pertunjukan Dee kemarin?‖
Mia menggigit rotinya dan bergumam mengiyakan.
―Bagaimana kabarnya?‖
―Baik-baik saja.‖
―Oh, ya? Lalu? Apakah dia mengatakan sesuatu?‖ Mia menyipitkan mata
menatap Alex. ―Apakah kau ingin menanyakan apa yang ditanyakan Karl
kepadaku tadi?‖ tanyanya langsung.
―Memangnya apa yang ditanyakan Karl kepadamu?‖ tanya Alex pura-pura
tidak tahu.
Mia mengerang. ―Astaga, aku benar-benar tidak pernah
menduga laki-laki suka bergosip.‖
―Kami tidak bergosip,‖ sela Alex tegas. ―Kami...‖
―Berdiskusi. Ya aku tahu itu,‖ Mia balas menyela dengan seulas senyum
menghiasi bibirnya.
―Jadi?‖ desak Alex ketika Mia tidak melanjutkan kata-katanya dan terus
mengunyah rotinya. Mia mengangkat bahu. ―Tidak ada
yang terjadi.‖
―Jadi kau menolaknya.‖
Mia agak heran mendengar seberkas nada lega dalam suara
Alex. Tapi mungkin ia salah dengar. ―Ray laki-laki yang baik,‖
guman Mia pelan.
311
Alex tertawa pendek. ―Kalau dia memang laki-laki yang baik,
kenapa kau menolaknya?‖
Mia tidak menjawab. ―Karena kau menyukai orang lain?‖ tanya Alex dengan
alis terangkat.
Mia tersentak dan menahan napas. Matanya terangkat menatap Alex dengan
panik. ―Ti-tidak,‖ sahutnya cepat. Terlalu cepat. Dan, astaga, pipinya
langsung terasa panas. Semoga saja pipinya tidak memerah.
Alex menyipitkan mata sedikit. ―Bagaimana dengan Rogres?‖
desaknya. ―Kau bilang kau pernah memiliki perasaan khusus
padanya.‖
―Aku memang pernah menyukainya. Tapi itu dulu,‖ sahut
Mia. ―Sekarang kami hanya berteman baik.‖
―Lalu kenapa kau menolak Ray?‖
―Apakah kau ingin aku menerima perasaannya?‖
―Tidak. Dan berhentilah membolak-balikkan pertanyaanku
Clark.‖
Mia mengembuskan napas panjang. Setelah menggigit-gigit bibirnya
sejenak, lalu ia memalingkan wajahnya dan berkata, ―Saat ini bukan saat
yang tepat bagiku untuk berpikir menjalin hubungan dengan laki-laki mana
pun.‖
―Kenapa?‖
Mia kembali menggigit bibir dan melemparkan tatapan kepada Alex yang
menyatakan bahwa laki-laki itu seharusnya tahu benar apa maksudnya. ―Kau
sudah tahu tentang kondisiku, Alex. Apakah aku masih harus menjelaskan
alasannya? Kau tentu tahu
312
banyak hal lebih penting yang harus kukhawatirkan tanpa perlu ditambah
masalah hubungan dengan laki-laki,‖ tukasnya. ―Dan soal Ray...‖ Ia
berdiam sejenak, suaranya berubah lirih. ―Rasanya tidak adil membebani
seseorang—seseorang yang baik dan ingin menjalin hubungan serius
denganmu—jika kondisimu seperti ini.‖
Alex terlihat ingin membantah, tetapi mengurungkan niatnya. Setelah
berpikur-pikir sejenak, ia berkata, ―Aku tidak setuju, tapi aku tidak
akan berdebat denganmu tentang hal itu sekarang.‖
Mia tidak mengerti apa yang tidak disetujui Alex, namun ia tidak sempat
bertanya.
―Aku hanya ingin tahu apakah kau akan menerima perasaan Ray seandainya
keadaannya berbeda,‖ lanjut Alex. Ia menatap Mia lurus-lurus dan
mengulangi pertanyaannya, ―Seandainya keadaannya berbeda, seandainya
tidak ada penyakit yang perlu kau cemaskan, seandainya kau bebas
merasakan apa yang ingin kau rasakan, apakah kau akan menerima perasaan
Ray?‖
Seandainya. Mia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Ia sudah
terlalu sering memikirkan ―seandainya‖ sejak menerima diagnosa dokter
mengenai jantungnya yang melemah setiap hari. Kata sederhana itu kini
terasa mengerikan baginya. Karena kata itu merujuk pada mimpi yang tidak
akan tercapai.
―Clark?‖
Mia mengerjap, mengenyahkan air mata yang mengancam mengaburkan
pandangannya, dan mendongak menatap Alex Hirano yang balas menatapnya
dengan tegang. Mia tahu ia semakin sering
313
memikirkan ―seandainya‖ sejak ia bertemu Alex. Sama seperti kata-kata
Alex tadi, seandainya saja keadaannya berbeda, seandainya saja
jantungnya tidak bermasalah, seandainya saja ia bebas merasakan apa pun
yang ingin dirasakannya, dan seandainya saja ia bisa menunjukkan apa
yang dirasakannya.
Seandainya saja ia bisa menunjukkan apa yang dirasakannya...
―Tidak,‖ sahut Mia jujur. ―Aku tetap tidak akan menerima
perasaan Ray walaupun seandainya keadaannya berbeda.‖
Karena ia tahu siapa yang akan dipilihnya seandainya
keadaannya berbeda.
314
Bab Dua Puluh Sembilan
HARI ini benar-benar hari yang indah.
Setidaknya itulah yang dipikirkan Alex sementara berlari menerobos hujan
ke arah mobilnya di pelataran parkir pusat perbelanjaan yang ramai.
Meskipun suhu udara hari inu sangat dingin, meskipun langit mendung, dan
meskipun hujan sudah mulai turun sejak ia dan Mia meninggalkan
apartemennya pagi tadi, Alex tetap merasa hari ini tidak mungkin lebih
sempurna lagi.
Bagaimana tidak? Hari ini perban di tangannya dilepas dan tangannya
sembuh seperti sediakala. Ia bisa menggerakkan pergelangan tangannya
tanpa masalah dan bisa bermain piano kembali.
Alasan lainnya adalah hari ini Mia Clark kembali berada di sampingnya.
Mia Clark kembali ada di dekatnya. Mia Clark kembali bersamanya.
Dan Alex merasa dunianya utuh kembali.
Hari ini Alex tidak akan memikirkan jawaban Mia tentang apa yang akan
terjadi apabila obat yang diberikan dokter tidak berhasil memperbaiki
kondisi jantungnya.
Apa yang akan terjadi? Kurasa kau tidak akan melihatku lagi.
315
Ketika Mia berkata begitu, Alex yakin jantungnya berhenti berdetak
beberapa detik.
Kalau obat-obatan tidak berhasil, tidak ada cara lain selain mencari
jantung baru untukku.
Tidak, Alex tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Setidaknya untuk
saat ini. Alex tidak ingin dipaksa menyadari kenyataan bahwa kondisi Mia
memang tidak baik dan akan memburuk seiring berjalannya waktu. Alex
tidak ingin mempercayainya, jadi ia tidak akan memikirkannya. Mia
baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk terjadi pada gadis itu. Alex
akan memastikannya.
Alex mengarahkan mobilnya ke pintu utama pusat perbelanjaan, tempat Mia
menunggu bersama barang-barang belanjaan mereka.
―Aku sempat berpikir kita tidak akan bisa keluar dan mati sesak di dalam
sana,‖ gerutu Mia sambil membantu Alex memasukkan barang-barang
belanjaannya ke bagasi Lexus-nya, Alex menolak masuk ke dalam VW Beetle
kuning milik Mia lagi karena sekarang sudah bisa mengemudikan mobilnya
sendiri. ―Aku tidak mengerti kenapa kau baru berbelanja keperluan dan
hadiah Natal seminggu sebelum Hari Natal. Apakah kau tahu biasanya
orang-orang berbelanja untuk Natal sejak satu atau dua bulan lalu?‖
―Memangnya kau sendiri sudah membeli semua keperluan Natal? Alex balas
bertanya ketika meeka sudah berada di dalam mobil Alex yang hangat.
316
―Tentu saja,‖ sahut Mia, seraya memasang sabuk pengaman, sementara Alex
melajukan mobilnya keluar dari area pusat perbelanjaan. ―Aku tidak suka
berbelanja di saat-saat terakhir. Tidak suka berdesak-desakan dan
terjepit di antara kerumunan orang
seperti tadi.‖
―Hei, ada apa?‖ tanya Alex agak khawatir ketika melihat Mia memejamkan
mata dan memijat-mijat pelipisnya dengan satu tangan.
Mia menggeleng. ―Hanya pusing sedikit. Kau beruntung aku tidak pingsan
di dalam sana karena kekurangan oksigen,‖ katanya sambil tersenyum
kecil. ―Aku benci tempat ramai. Aku tidak tahu kenapa aku setuju
menemanimu berbelanja di saat-saat seperti ini.‖
Alex terkekeh pelan. ―Mungkin karena aku sudah
mentraktirmu makan siang?‖
Mia mengerutkan hidung, lalu kembali tersenyum. ―Ya, kurasa aku memang
gampang dibujuk dengan makanan enak. Apakah kau akan mentraktirku makan
malam sekalian?‖
Alex mengangkat bahu. ―Tidak masalah. Karena kau sudah bersedia
menemaniku seharian ini, kurasa adil kalau aku juga
mentraktirmu makan malam.‖
―Sungguh?‖ kata Mia dengan mata berkilat-kilat senang.
―Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan malam di Moratti's?‖
―Baiklah,‖ sahut Alex. ―Paolo dan Eleanor juga ingin bertemu
denganmu. Mereka menanyakan kabarmu ketika aku menemui
mereka minggu lalu.‖
―Oh ya?‖ tanya Mia sambil tersenyum. ―Bagaimana kabar
mereka?‖
317
Alex mengangguk. ―Mereka baik-baik saja. Mereka bertanya kenapa aku
tidak mengajakmu ke sana. Ketika kukatakan pada mereka bahwa kita
bertengkar dan kau tidak mau berurusan denganku lagi, mereka langsung
mengomeliku.‖
Mia mengangkat alis. ―Apakah kau memberitahu mereka
alasan kita bertengkar?‖
―Tidak, aku tidak memberitahu mereka tentang kondisimu. Jangan khawatir.
Aku hanya berkata pada mereka bahwa aku mengatakan hal-hal bodoh yang
membuatmu marah dan menolak bicara denganku,‖ kata Alex. ―Seperti yang
sudah kukatakan tadi, mereka mengomeliku dan menyuruhku segera meminta
maaf padamu. Sayangnya mereka tidak tahu bahwa aku memang bermaksud
meminta maaf, tapi kau malah menghindariku siang dan
malam.‖
Mia tersenyum, tapi tidak berkata apa-apa.
―Lalu mereka melarangku datang lagi sebelum berbaikan denganmu,‖ lanjut
Alex.
Mata Mia melebar. ―Mereka tidak mungkin berkata begitu.‖ ―Memang tidak,‖
kata Alex sambil tersenyum lebar, dan Mia
memukul lengannya pelan. ―Mereka hanya menyuruhku
mengajakmu ke sana setelah kita berbaikan lagi.‖
―Kau tahu,‖ kata Mia sambil berpikir-pikir, ―sebelum kita ke sana nanti,
kurasa sebaiknya aku membeli sesuatu untuk mereka. Maksudku sebagai
ucapan terima kasih karena mereka mengundangku makan malam bersama waktu
itu. Bagaimana
menurutmu?‖
318
―Boleh saja,‖ sahut Alex. ―Kalau begitu, sebaiknya aku menelepon Eleanor
dan memberitahu mereka bahwa kita akan
mengunjunginya malam ini.‖
―Oh, dan katakan padanya untuk tidak perlu menyiapkan hidangan penutup
karena kita yang akan menyiapkannya,‖ sela Mia. ―Kita akan mampir di
toko kue sebelum pergi ke sana nanti.‖
―Baiklah,‖ sahut Alex. Ia melirik jam tangannya dan berkata,
―Kita masih punya waktu sebelum pergi ke tempat Paolo dan Eleanor. Apa
yang ingin kau lakukan sekarang? Pulang dulu?‖
―Aku ingin membeli pohon Natal!‖ seru Mia penuh semangat.
―Pohon Natal?‖
―Ya, untuk apartemenmu.‖ ―Apartemenku? Kenapa?‖
―Karena kau tidak punya pohon Natal.‖
―Aku memang tidak pernah memasang pohon Natal di apartemen.‖
―Kenapa tidak?‖ ―Kenapa harus?‖
―Semua orang memasang pohon Natal di musim Natal.‖ ―Aku tidak.‖
―Oh, ayolah. Apartemenmu akan terlihat lebih ceria kalau ada pohon
Natal.‖
―Aku tidak butuh apartemen yang cerah. Lagi pula, memasang dan menghias
pohon Natal itu sangat merepotkan.‖
319
―Menghias pohon Natal itu sangat menyenangkan, Alex! Kalau kau tidak mau
menghiasnya, biar aku saja yang
melakukannya.‖
―Bagaimana kalau tanaman-tanamanmu yang ada di apartemenku itu dijadikan
pengganti pohon Natal saja? Kau bisa menghias tanaman-tanamanmu itu.‖
―...‖
―Bagaimana? Ideku bagus, bukan?‖
―...
Alex menyenggol lengan Mia dengan sikunya. ―Clark? Tidak mau bicara
denganku? Ayolah.‖
Mia tetap memberengut dan menatap ke luar jendela.
Alex mendesah. ―Baiklah, kita akan membeli pohon Natal.‖
Kali ini Mia menoleh, menatapnya dengan wajah berseri-seri.
―Kau tidak akan menyesal, Alex. Lihat saja nanti.‖
Alex tertawa kecil dan menggeleng-geleng. ―Kau benar-benar
merepotkan, Clark.‖
Namun ia tahu benar ia tidak akan menyesali keputusannya. Seperti yang
sudah pernah dikatakannya pada diri sendiri, ia bersedia melakukan apa
saja asal Mia Clark tersenyum kepadanya seperti sekarang.
‖Karena aku sudah setuju membeli pohon Natal, apakah kau akan memberikan
hadiah Natal untukku?‖ tanya Alex lagi.
―Apakah kau mengharapkan hadiah Natal dariku?‖ Mia balas
bertanya sambil mengerjap heran.
320
―Tentu saja, woman,‖ sahut Alex sambil menatap Mia dengan serius.
―Sebaiknya kau menyiapkan hadiah Natal untukku. Kalau tidak, hadiah yang
sudah kusiapkan untukmu akan kuberikan kepada... kepada nenekku!‖
Mia mendengus dan tertawa. ―Kau menyiapkan hadiah untukku? Apakah
hadiahku ada di belakang sana? Di antara barang-
barang yang baru kau beli tadi?‖
―Tidak. Aku sudah membeli hadiahmu minggu lalu.‖
Alis Mia terangkat kaget, namun seulas senyum lebar tersungging di
bibirnya. ―Benarkah? Lalu apa yang kau siapkan
untukku?‖
Alex menggeleng. ―Tidak, aku tidak akan memberitahumu. Itu kejutan. Tapi
seperti yang kukatakan tadi, kalau aku tidak mendapat hadiah, kau juga
tidak akan mendapatkannya.‖
―Baiklah. Akan kupertimbangkan,‖ kata Mia sambil mengangkat bahu.
―Akan kau pertimbangkan?‖ Alex menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
―Apa...?‖
―Oh, berhentilah mengeluh,‖ sela Mia. ―Sekarang kita beli pohon Natal
dulu. Tidak ada pohon Natal, tidak ada hadiah.‖
Nah, sebenarnya sejak kapan posisi mereka berubah seperti ini? Dulu
gadis itulah yang harus menuruti apa pun yang dikatakan Alex. Sekarang
Alex justru mendapati dirinya dengan senang hati melakukan apa pun yang
diinginkan gadis itu. Pengaruh gadis itu atas dirinya cukup meresahkan.
Namun yang lebih meresahkan lagi
321
adalah kenyataan bahwa Alex puas dengan keadaan mereka yang seperti ini.
*****
―Jadi mereka akan mengantar pohon kita ke apartemenmu besok pagi?‖ tanya
Mia ketika mereka sudah masuk kembali ke dalam mobil setelah memilih
pohon Natal yang mereka sukai.
―Ya,‖ sahut Alex sambil menyalakan mesin mobil, ―jadi kau bisa mulai
menghiasnya besok pagi.‖
―Dan kau akan membantuku menghias pohon itu, Alex Hirano.‖
―Oh, astaga,‖ erang Alex walaupun Mia tahu laki-laki itu tidak
benar-benar keberatan membantu. ―Yah, kita lihat saja besok.‖
Mia tertawa kecil dan memalingkan wajah ke luar jendela yang buram
karena hujan. Hujan mulai mereda menjadi gerimis yang tidak pernah gagal
membuat Mia merasa nyaman. Ia suka hujan. Ia suka memandangi hujan dari
balik jendela dengan secangkir cokelat panas ditangannya. Memandangi
hujan menenangkan jiwanya.
Sama seperti menghabiskan waktu bersama Alex. Mia menggigit bibir dan
melirik laki-laki yang sedang mengemudi di sampingnya. Menghabiskan
waktu bersama Alex juga selalu membuatnya merasa... tenang? Damai? Mia
tidak bisa memikirkan kata yang bisa menggambarkan perasaannya. Pokoknya
apa pun yang dirasakannya setiap kali bersama Alex membuatnya bisa
bernapas lebih lega, membuatnya seolah-olah bisa memejamkan mata
322
dan beristirahat sejenak tanpa perlu mencemaskan apa pun. Seperti
itulah.
―Apakah sekarang kita pergi ke toko kue yang kau sebut-sebut tadi?‖
tanya Alex tiba-tiba sambil melirik jam tangannya.
―Hm?‖ Mia mengerjap.
Alex menoleh menatapnya, tersenyum, lalu kembali menatap jalanan di
depan. ―Bukankah tadi kau bilang kau mau membeli kue untuk Eleanor?‖
tanya Alex lagi.
―Ya. Kalau begitu sekarang kita akan ke toko kue yang membuat tartlet
paling enak di seluruh penjuru New York.‖
Dua puluh menit kemudian mereka berhenti di depan toko kecil bergaya
Prancis di Madison Avenue. Pada papan nama di atas pintu masuk toko itu
tertulis A Piece of Cake dalam tulisan berukir yang memberikan kesan
antik.
―Ini tempatnya?‖ tanya Alex kepada Mia ketika mereka sudah keluar dari
mobil lalu ia berdiri di depan toko dan mengintip ke dalam dari jendela.
Mia mengangguk. ―‖Ya, aku dan ibuku sering membeli kue di
sini. Ayo masuk.‖
Alex masih terlihat ragu. ―Clark, aku tidak tahu apakah aku mau masuk ke
dalam.‖
Mia yang sudah berdiri di pintu depan toko, menoleh dan menatap Alex
dengan alis terangkat heran. ―Kenapa?‖
―Toko ini terlalu manis untuk dimasuki laki-laki,‖ gumam Alex dengan
kening berkerut. ―Apakah kau tak berpikir begitu? Coba lihat, toko ini
didominasi warna ungu pucat.‖
323
Mia tertawa. ―Astaga, kau ini konyol sekali. Tidak, aku tidak berpikir
toko ini terlalu 'manis' bagi laki-laki. Bersyukurlah mereka tidak
mengecat toko mereka dengan warna merah muda. Sekarang berhentilah
mengeluh dan masuk.‖
Alex masih tidak bergerak dari tempatnya. Mia mendesah dan melangkah
menghampiri Alex. ―Oh, ayolah, Alex. Jangan merajuk di sini. Sekarang
masih gerimis dan di sini dingin sekali,‖ katanya sambil menyelipkan
tangannya di lekukan siku Alex dan menariknya ke arah toko. ―Kau boleh
meneruskan rajukanmu di dalam.
Bagaimana?‖
Mia membiarkan tangannya meluncur dari lekukan siku Alex ke arah
pergelangan tangannya dan meraih lengan jaketnya, berusaha menarik laki
-laki keras kepala itu. Sepertinya usahanya berhasil karena Alex
mendesah tanda menyerah dan membiarkan Mia menariknya ke pintu toko.
Namun tiba-tiba Alex memutar pergelangan tangannya dan menggenggam
tangan Mia.
Mia yakin jantungnya berhenti berdetak beberapa detik ketika tangan Alex
menyentuh tangannya. Apakah tadi ia sempat mengeluh dingin? Aneh,
karena sekarang ia merasa hangat. Ia mendongak menatap Alex yang tidak
menunjukan ekspresi apa-apa.
―Baiklah,‖ guman Alex pelan dan mendorong pintu toko dengan tegas,
membuat bel kecil di atas pintu berdenting. ―Ayo, kita
selesaikan ini secepat mungkin.‖
Mia menunduk untuk menyembunyikan senyum dibalik syalnya, namun ia
membiarkan Alex tetap menggenggam tangannya sementara mereka masuk ke
dalam toko.
324
*****
Ray sedang berjalan menyusuri trotoar bersama Jake, temannya sesama
anggota Groovy Crew, ketika ia melihat Alex turun dari Lexus hitamnya
yang diparkir di tepi jalan di depan sana.
―Oh, coba lihat. Itu Alex,‖ katanya sambil menepuk dada Jake dengan
punggung tangan untuk menarik perhatian temannya.
―Siapa? Kakakmu?‖ tanya Jake sambil memperbaiki topi rajutannya yang
hampir menutupi mata supaya ia bisa melihat dengan jelas.
Sebelum Ray sempat menjawab, ia melihat Mia turun dari sisi penumpang
mobil Alex. Ray tidak bisa menahan senyum yang otomatis tersungging di
bibirnya. Ia tidak bisa menahan reaksinya. Walaupun gadis itu sudah
menjelaskan bahwa ia hanya menganggap Ray sebagai temannya, Ray tetap
berharap suatu hari nanti perasaan gadis itu bisa berubah. Tidak ada
salahnya berharap, bukan?
Ray baru hendak bergegas menghampiri Mia dan kakaknya ketika melihat Mia
mendadak mengandeng siku Alex, lalu mendongak menatap Alex dan
mengatakan sesuatu sambil tersenyum lebar. Lalu Mia menarik ujung lengan
jaket Alex, berusaha mendesak laki-laki itu mengikutinya.
Namun bukan itu yang membuat Ray mematung di tepi jalan. Yang membuat
Ray berdiri mematung di tempat adalah ketika ia melihat Alex meraih dan
menggenggam tangan Mia. Cara Alex menggenggam tangan Mia terlihat ringan
dan akrab, seolah-olah ia
325
sudah sering melakukannya. Ray tahu hubungan Alex dan Mia sudah membaik
dibandingkan ketika pertama mereka baru pertama kali bertemu, tetapi...
―Yo, Teman, bukankah itu Mia?‖ tanya Jake sambil menyikut
Ray. ―Jadi sekarang dia bersama kakakmu?‖
Ray tidak menjawab sementara ia melihat Alex dan Mia memasuki salah satu
toko yang berderet di sepanjang jalan. Saat itulah kaki Ray baru
bergerak menghampiri toko kue yang dimasuki kedua orang itu tadi. Dari
tempatnya berdiri di depan kaca jendela toko, Ray bisa melihat Mia
sedang berbicara kepada penjaga toko sementara Alex terlihat sedang
mengamati kue-kue yang dipajang di dalam lemari kaca. Kemudian Alex
menggerakkan tangan kirinya— yang masih menggenggam tangan kanan
Mia—untuk menarik perhatian gadis itu. Mia menoleh menatap Alex,
mendengarkan sejenak, lalu tertawa, memukul pelan lengan Alex dengan
tangannya yang bebas dan kembali berbicara dengan penjaga toko.
Ray memang tidak bisa melihat raut wajah Alex karena kakaknya berdiri
memunggunginya, tetapi ia bisa melihat raut wajah Mia dengan jelas
ketika Mia menoleh ke arah Alex. Melihat Mia menatap Alex seperti itu
membuat dada Ray terasa berat. Dan nyeri. Dan ia nyaris tidak bisa
bernapas karena rasa kecewa yang mendadak menyelimutinya.
Melihat Mia menatap Alex seperti itu membuatnya sadar bahwa gadis itu
mungkin saja tersenyum kepada mereka berdua dengan cara yang sama, tapi
gadis itu sudah jelas tidak menatap mereka dengan cara yang sama.
326
Melihat Mia menatap Alex seperti itu membuatnya sadar bahwa gadis itu
menyukai Alex. Jelas sekali terlihat di matanya. Mia Clark menyukai Alex
Hirano.
Lebih daripada menyukai Ray Hirano.
Ray menarik napas dalam-dalam dan tangannya yang dijejalkan ke dalam
saku jaket terkepal tanpa disadarinya.
Jake berdiri di sampingnya, mengamati Alex dan Mia yang berada di dalam
toko, lalu menoleh menatap Ray. ―Hei, kukira kau sedang mengejar-ngejar
gadis itu,‖ tanyanya dengan nada heran, menyentakkan Ray dari
lamunannya.
Ray mengembuskan napas dengan perlahan dan rahangnya mengeras. ―Ayo kita
pergi,‖ gumamnya kepada Jake dan berbalik pergi. Berbagai macam
pertanyaan berkecamuk dalam benak Ray.
Apakah Alex juga menyukai Mia? Sepertinya begitu.
Padahal Alex tahu Ray menyukai Mia, tapi kenapa Alex...? Seumur hidup
mereka, Alex dan Ray tidak pernah
memperebutkan apa pun. Sejak kecil mereka tidak pernah memperebutkan
mainan, tidak pernah memperebutkan kasih sayang orangtua mereka. Mereka
juga tidak pernah memperebutkan wanita.
Sampai sekarang.
Sepertinya sekarang mau tidak mau mereka harus mulai berebut. Karena
untuk yang satu ini Ray tidak ingin berbagi. Dan kalau dugaannya benar,
ia yakin Alex juga tidak ingin berbagi.
327
Bab Tiga Puluh
"SUDAH kubilang aku baik-baik saja,‖ kata Mia untuk yang kesekian
kalinya sambil memberengut menatap Alex yang sedang mengemudi di
sampingnya. ―Kau tidak perlu membatalkan acara makan malam
kita dengan Paolo dan Eleanor.‖
Tidak, sebenarnya ia tidak merasa terlalu baik. Ia masih merasa lemah,
kepalanya masih terasa berputar-putar, dan napasnya masih terasa agak
berat. Tetapi masalahnya, ia tidak ingin menambah kepanikan Alex.
―Clark, gadis penjaga toko kue tadi kaget setengah mati ketika kau
tiba-tiba jatuh pingsan di hadapannya. Kurasa dia sendiri hampir pingsan
juga. Jadi tolong jangan katakan padaku kau baik-baik saja,‖ kata Alex
tajam. Ia melirik Mia sekilas. ―Lagi pula wajahmu masih
pucat.‖
Yap, Mia masih bisa mendengar nada panik dan cemas dalam suara Alex
walaupun laki-laki itu berusaha menyembunyikannya.
Mia mengembuskan napas panjang dan memalingkan wajah menatap keluar
jendela. Ia memang sempat kehilangan kesadaran—
―jatuh pingsan‖ terdengar terlalu berlebihan dan dramatis—ketika sedang
memilih tartlet sambil mengobrol dengan gadis penjaga toko kue. Saat itu
tiba-tiba saja ia merasa sesak napas dan kepalanya
328
berputar-putar. Sedetik kemudian pandangannya menggelap. Dan hal berikut
yang disadarinya adalah ia sudah duduk bersandar dalam pelukan Alex di
sofa kecil yang tersedia di toko kue itu.
Ini pertama kalinya ia kehilangan kesadaran dan sejujurnya Mia merasa
khawatir. Lebih tepatnya, takut. Ia merasa kondisi tubuhnya memburuk
dengan cepat dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Namun Alex Hirano tidak perlu tahu semua itu. Mia tidak ingin membuat
siapa pun khawatir. Jadi ia menoleh kembali ke arah Alex dan membuka
mulut, ―Tapi aku...‖
―Sekali lagi kau berkata bahwa kau baik-baik saja, aku akan mencekikmu,‖
geram Alex.
Mia mendesah keras dan menggigit bibir. Ia memutuskan mengalihkan
pembicaraan. ―Jadi apa yang akan kita lakukan
sekarang? Pulang?‖
―Ya. Kau butuh istirahat,‖ jawab Alex pendek. ―Tapi sebelum itu kita
mampir ke apartemenmu terlebih dahulu supaya kau bisa mengambil apa pun
yang kau perlukan.‖
Kali ini Mia menoleh menatap laki-laki yang duduk di balik kemudi dengan
alis terangkat heran. ―Apa? Kenapa?‖ tanyanya.
―Memangnya kau tidak butuh baju ganti?" Alex balas bertanya dengan
heran. ―Clark, aku bisa meminjamkan pakaianku kepadamu. Aku punya sikat
gigi baru di rumah yang bisa kuberikan kepadamu. Aku bisa menyediakan
apa pun yang mungkin kau butuhkan, kecuali satu. Aku tidak punya pakaian
dalam wanita di apartemenku.‖
329
Mia melotot menatap Alex dengan mulut menganga. ―Alex! Bukan itu
maksudku!‖ ia berseru tertahan sambil memukul bahu Alex dengan
keras—yah, tidak sekeras yang diinginkannya karena memukul membutuhkan
tenaga besar yang tidak dimiliki Mia saat itu. Wajahnya memanas dengan
cepat.
―Aduh, woman. Sakit,‖ protes Alex setengah hati. ―Asal kau tahu saja,
kulitku gampang memar.‖
―Maksudku, kenapa aku harus membawa baju ganti ke apartemenmu?‖ tuntut
Mia tanpa mempedulikan protes Alex.
―Karena kau akan menginap di tempatku hari ini,‖ sahut Alex seolah-olah
hal itu sudah sangat jelas. Melihat alis Mia yang berkerut, ia
melanjutkan, ―Clark, kau tidak mungkin berpikir aku akan meninggalkanmu
sendirian di apartemenmu hari ini setelah apa yang terjadi, bukan? Dan
tolong jangan berdebat denganku sekarang. Kau pernah menginap di
tempatku, jadi aku tidak melihat ada masalah
dalam hal ini.‖
Mia mendengus, lalu menatap Alex dengan tajam. ―Tapi kau bisa bertanya
dulu padaku sebelum mengambil keputusan sendiri.‖
Alex mendesah pelan, lalu menoleh menatap Mia sejenak.
―Baiklah,‖ katanya sambil mengangguk. "Clark, bagaimana kalau kau
menginap di tempatku malam ini?‖
―Kenapa harus?‖
―Karena kita berdua ingin tidur nyenyak malam ini. Kau tahu kau bisa
tidur lebih nyenyak di apartemenku daripada di apartemenmu sendiri. Dan
aku baru bisa tidur nyenyak malam ini
330
kalau aku bisa memastikan kau baik-baik saja,‖ jelas Alex. ―Jadi
bagaimana menurutmu?‖
Mia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan.
―Baiklah,‖ gumamnya.
―Oh, ayolah, Clark. Apa salahnya—tunggu, apa katamu tadi?‖
Alex mengerjap menatap Mia.
―Kubilang baiklah,‖ kata Mia sekali lagi.
―Baiklah?‖ Alex mengulangi ucapan Mia. Sepertinya ia tidak menduga Mia
setuju secepat itu.
Mia mengangkat bahu. ―Kurasa aku tidak ingin sendirian hari ini,‖ Lalu
ia mendesah panjang, meraba keningnya, dan tersenyum muram. ―Dan kau
benar. Aku tidak merasa terlalu baik.‖
Alex terlihat cemas. ―Kau mau pergi ke dokter?‖
Mia menggeleng dan memejamkan mata. ―Tidak perlu. Aku akan baik-baik
saja setelah minum obat. Lagi pula aku dan ibuku sudah membuat janji
bertemu dengan dokterku besok siang. Aku memang harus menjalani
pemeriksaan sebelum pergi ke Minnesota.‖
―Kau akan pergi ke Minnesota?‖
―Ya. Besok lusa. Apakah aku lupa memberitahumu?‖ ia balas bertanya
sambil menoleh menatap Alex. ―Karena kakek dan nenekku dari pihak ibu
sudah meninggal, aku dan orangtuaku selalu menghabiskan liburan Natal
dan Tahun Baru bersama kakek dan nenekku dari pihak ayah. Mereka tinggal
di Eden Prairie, Minnesota. Semua keluarga besar ayahku akan berkumpul.
Tradisi keluarga.‖
―Oh, begitu,‖ gumam Alex sambil mengangguk-angguk.
―Eden Prairie. Kudengar itu kota yang indah.‖
331
Mia tersenyum membayangkan keindahan alam yang tersebar di Eden Prairie.
Danau-danaunya, jalan-jalan setapaknya. ―Memang indah. Sangat jauh
berbeda dari New York City,‖ gumamnya dengan nada melamun. Lalu ia
menoleh dan bertanya, ―Kau sendiri?‖
―Karena kakek dan nenekku dari pihak Mom ada di Jepang, kami akan
menghabuskan Natal bersama kakek dan nenekku dari pihak Dad. Meeka
tinggal di Bayside, Queens. Jadi aku tidak akan
meninggalkan negara bagian ini.‖
―Hmm,‖ guman Mia pelan. Ia kembali memejamkan mata dan menyandarkan
kepala ke sandaran kursi. Sebelah tangannya terangkat ke kening.
Hening sejenak, lalu Alex membuka suara, ―Maafkan aku.‖
Mia membuka mata dan menatap Alex dengan heran. ―Untuk
apa?‖
Penyesalan terlihat jelas di wajah Alex. ―Aku sudah tahu kau tidak boleh
terlalu lelah, tapi aku malah membuatmu sibuk sepanjang hari ini.
Memaksamu menemaniku...‖
―Alex,‖ sela Mia cepat dengan alis berkerut samar, ―apakah
kau menyesal mengajakku keluar hari ini?‖Alex tidak menjawab,
namun Mia melihat rahang laki-laki itu mengeras.
―Kuharap tidak,‖ lanjut Mia tanpa menunggu jawaban Alex,
―karena aku bersenang-senang hari ini.‖
Alex terlihat ragu. ―Benarkah?‖
Mia tersenyum. ―Ya. Sangat.‖
Alex menarik napas panjang. ―Aku tidak menyesal
menghabiskan waktu denganmu, Clark,‖ gumamnya.
332
―Bagus,‖ guman Mia puas. ―Aku juga senang menghabiskan waktu denganmu,
Alex Hirano.‖
*****
―Aku bukan orang cacat, kau tahu?‖ tegur Mia ketika Alex kembali ke
ruang duduk sambil membawa panci sup jamur dan semangkuk salad.
Alex meletakkan panci sup dan mangkuk salad di atas meja rendah di
hadapan Mia, lalu menoleh menatap gadis yang duduk memberengut di sofa.
―Astaga, aku tahu kau tidak cacat,‖ katanya dan duduk di samping Mia.
―Tapi berhubung tanganku sudah sembuh, sekarang aku bisa menyiapkan
makanan sendiri tanpa perlu membuat dapurku berantakan. Kau sedang
sakit, jadi aku menyuruhmu duduk manis di sini. Apakah aku salah?‖
Mia masih memberengut, tetapi tidak berkata apa-apa.
―Sekarang makanlah,‖ kata Alex sambil menuangkan sup ke
mangkuk Mia. ―Kuharap rasanya tidak terlalu parah.‖
Kali ini Mia mendengus dan tersenyum. ―Mari kita lihat
kemampuan memasakmu.‖
―Hei, aku tidak sepenuhnya tidak berguna di dapur, kau tahu?‖ protes
Alex, pura-pura tersinggung. ―Dulu aku memintamu memasak untuku karena
aku tidak bisa masak dengan satu tangan dan karena kau menawarkan diri
membantuku.‖
333
Mia tertawa dan mencicipi sup jamur Alex. ―Mm,‖ gumamnya
sambil berpikir-pikir. Lalu ia mengangkat sebelah bahunya. ―Tidak
terlalu buruk.‖
Alex menyipitkan mata menatap Mia. Gadis itu balas menatapnya sambil
tersenyum lebar kepadanya, lalu mulai menyantap sup jamurnya dengan
lahap. Tidak terlalu buruk katanya? Alex yakin gadis itu menyukai sup
jamurnya.
―Omong-omong, Alex,‖ kata Mia setelah ia menghabiskan supnya, ―kau
pernah berkata bahwa aku bisa mendengar permainan pianomu secara
langsung kalau tanganmu sudah sembuh.‖
―Maksudmu kau ingin mendengarnya sekarang?‖ tanya Alex. Mia mengangguk
bersemangat. ―Baiklah, aku juga ingin
melihat apakah pergelangan tanganku sudah bisa digerakkan seperti
biasa.‖ Alex beranjak dari sofa dan berjalan menghampiri pianonya. Mia
juga berdiri dan mengikutinya. Alex duduk di bangku piano, menempatkan
kesepuluh jemarinya yang panjang di atas tuts piano dan mulai memainkan
beberapa nada dengan cepat. ―Sepertinya tidak masalah,‖ gumamnya, lebih
pada diri sendiri. Lalu ia menengadah menatap Mia yang berdiri di
sampingnya. ―Sini, duduklah,‖ katanya sambil menepuk bangkunya.
Mia menurut dan duduk di samping kanan Alex. ―Lagu apa yang akan kau
mainkan?‖
―Sunshine Becomes You,‖ sahut Alex. Ia menatap Mia dan tersenyum kecil.
―Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini. Dan kalau kau bertanya apa
hubungannya dengan matahari, well, itu
334
karena setiap kali melihatmu, aku selalu teringat pada sinar matahari.
Jangan tanya mengapa, karena aku juga tidak tahu.‖
Tanpa menunggu reaksi Mia, jari-jari Alex mulai bergerak anggun di atas
piano, memenuhi seluruh penjuru apartemennya dengan alunan nada indah
yang bisa menghangatkan malam-malam musim dingin.
*****
Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini.
Kata-kata Alex itu membuat Mia tercengang. Dan walaupun ia tidak ingin
mengakuinya, perasaan hangat dan ringan mulai menjalari dadanya. Seulas
senyum tanpa alasan mulai mengancam tersungging di bibirnya. Mia tidak
bisa mencegah dirinya bertanya-tanya apakah Alex benar-benar
memikirkannya ketika menulis lagu yang indah ini.
Lagu yang dimainkan Alex ini membuat Mia membayangkan hangatnya matahari
di padang rumput yang luas dan hijau, rumput-rumput yang bergoyang
ditiup angin, langit biru tak berawan, dan aroma musim semi. Dan Alex
Hirano.
Mia membuka mata yang tanpa sadar dipejamkannya tadi dan mengerjap
beberapa kali. Alex tadi berkata bahwa ia memikirkan Mia ketika menulis
lagu ini. Dan sekarang Mia memikirkan Alex ketika mendengar lagu ini.
Sebelum Mia bisa berpikir lebih jauh, lagu indah itu berakhir.
335
―Bagaimana?‖ tanya Alex sambil menoleh menatap Mia penuh
harap.
Mia tersenyum, lalu mendongak menatap Alex. ―Sangat, sangat bagus. Dan
aku sangat, sangat menyukainya.‖
―Kau tahu, awalnya lagu tadi memiliki judul yang lebih jelas dan
sederhana,‖ kata Alex sambil kembali melarikan jari-jarinya di atas
piano, memainkan lagu lain.
―Oh ya? Apa judul awalnya?‖
“Thinking of Clark.”
Mia mengerjap. ―Tapi setelah kupikir-pikir, judul itu terdengar sangat
salah. Orang-orang pasti menganggap Clark itu nama laki-laki,‖ lanjut
Alex sambil terkekeh pelan. ―Jadi supaya orang-orang tidak salah paham
kuputuskan untuk mengubahnya. Bagaimana
menurutmu?‖
Berusaha mengabaikan rasa panas yang menjalari pipinya, Mia berdeham dan
berusaha mengalihkan pembicaraan, ―Kenapa kau selalu memanggilku Clark?
Kau bisa memanggilku dengan nama depan, kau tahu, sama seperti yang
lainnya.‖
―Karena sudah terbiasa. Lagi pula, aku suka menjadi satu-satunya orang
yang memanggilmu Clark,‖ sahut Alex sambil mengangkat bahu. Gerakan
kecil itu membuat bahu mereka bersentuhan dan membuat jantung Mia
berjumpalitan. Lalu Alex tertawa kecil melanjutkan, ―Kurasa satu-satunya
hal yang bisa membuatku memanggil nama depanmu adalah kalau kau menikah
denganku.‖
336
Kali ini Mia merasa jantungnya melonjak dan ia menatap Alex dengan mata
melebar kaget.
Alex balas menatapnya sambil tersenyum lebar. ―Kalau itu terjadi,
berarti kau menjadi Mia Hirano. Dan saat itu aku tidak mungkin
memanggilmu dengan nama belakang, bukan?‖
Mia tidak berkata apa-apa. Ia tidak sadar dirinya menahan napas. Ia
hanya tahu jantungnya mendadak berdebar begitu cepat dan keras sampai ia
takut akan mendapat serangan lagi.
*****
Alex menunggu reaksi Mia atas gurauannya. Yah, sebenarnya ia setengah
bergurau setengah serius. Ia memang tidak pernah berpikir tentang
pernikahan atau ingin menikah sebelum ini, tetapi sekarang, setelah
mengenal gadis yang duduk diam di sampingnya ini, ia mulai merasa
menikah bukanlah sesuatu yang mengerikan. Gagasan itu membuat Alex
tertegun. Astaga, sepertinya ia benar-benar sudah tak tertolong lagi.
Ia mengamati rona merah samar yang menjalari pipi Mia yang pucat
sementara gadis itu menekan salah satu tuts piano dengan jari
telunjuknya. Kemudian Mia menengadah dan menatap Alex sambil tersenyum.
―Teknisnya, kau juga harus memanggil nama depanku kalau aku menikah
dengan Ray,‖ katanya.
―Wow, berhenti,‖ sela Alex cepat dan menatap Mia dengan
kening berkerut. ―Katakan padaku kau tidak serius.‖
337
Mia tertawa. ―Memangnya kenapa? Kata-kataku benar, bukan?‖
―Aku menolak menjawabnya karena aku menolak memikirkan kemungkinan itu.‖
Setelah tawa Mia mereda, Mia berkata, ―Mainkan satu lagu
lagi.‖
―Kurasa sebaiknya kau beristirahat sekarang,‖ kata Alex. ―Aku berjanji
akan memainkan satu lagu untukmu besok pagi sementara kau menghias pohon
Natal-mu.‖
Mendengar kata ―pohon Natal‖ mata Mia berkilat-kilat senang. ―Ah, benar.
Mereka akan mengantar pohon Natal-nya ke sini
besok pagi.‖
Melihat gadis itu gembira, Alex juga merasa gembira.
―Pergilah,‖ katanya, ―biar aku yang membereskan mejanya.‖
Mia mengangguk dan berdiri dari bangku piano. Namun ia baru berjalan
beberapa langkah ketika berhenti dan berbalik kembali menatap Alex. ―Oh
ya, Alex, apakah hari ini kau akan melanjutkan dongengmu waktu itu?‖
tanyanya.
―Dongeng? Dongeng apa?‖ tanya Alex tidak mengerti.
―Tentang pangeran dan gadis desa.‖
―Ah, dongeng itu,‖ gumam Alex ketika ia teringat pada dongeng yang
diceritakannya kepada gadis itu minggu lalu. ―Apakah aku bisa mendengar
kelanjutannya hari ini?‖
―Sampai di mana ceritaku waktu itu?‖
―Sampai gadis desa dibawa ke istana untuk dijadikan pelayan
pribadi sang pangeran.‖
338
Alex berpikir sejenak, lalu berkata, ―Tapi aku belum tahu
bagaimana akhir ceritanya.‖
Mia mengangkat alis dengan heran. ―Kenapa begitu?‖
―Kau lihat,‖ kata Alex sambil memutar tubuhnya sehingga ia duduk
menghadap Mia, ―ketika si gadis desa mulai menjadi pelayan pribadi sang
pangeran, pada awalnya sang pangeran sama sekali tidak ingin berurusan
dengannya. Dia menganggap gadis itu adalah malaikat kegelapan yang akan
mematahkan kakinya yang satu lagi, bahkan kedua tangannya, kalau gadis
itu terus berada di dekatnya.‖
Alex melihat raut wajah Mia berubah, namun gadis itu tidak berkata
apa-apa. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu Alex
melanjutkan kata-katanya.
Dan Alex pun melanjutkan, ―Tapi perlahan-lahan sang pangeran mulai
terbiasa dengan keberadaan gadis desa itu. Awalnya dia merasa gadis itu
teman bicara yang menyenangkan, lalu dia mulai menyadari dia suka
melihat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai berharap dirinya bisa
selalu membuat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai meletakkan
kepentingan gadis itu di atas kepentingannya sendiri, dia mulai berharap
gadis itu akan tetap berada di sisinya, dan dia mulai berharap gadis
itu juga merasakan
apa yang dirasakannya.‖
Alex melihat berbagai emosi berkelebat dalam mata hitam gadis itu, namun
ia tidak bisa mengartikannya. Alex merasa jantungnya sendiri berdebar
keras dan ia tidak pernah merasa segugup ini. Tetapi ia harus
melakukannya. Ia harus mengatakannya. Ia tidak mungkin mundur lagi
setelah melangkah sejauh ini. Jadi ia
339
pun menatap mata Mia lurus-lurus dan berkata, ―Karena sang pangeran
jatuh cinta pada gadis desa itu.‖
Dunia serasa berhenti berputar sementara Alex menahan napas menunggu
reaksi Mia. Ia sudah mengatakannya dan kini semuanya terserah pada gadis
itu. Ia bukan orang yang biasa mengungkapkan perasaannya, dan hanya
inilah cara yang bisa dipikirkannya untuk menjelaskan maksudnya tanpa
mengatakannya secara langsung.
―Jadi kau mengerti, bukan, ketika bahwa aku belum tahu bagaimana akhir
ceritanya?‖ lanjut Alex sambil tersenyum kecil, berusaha meredakan
kegugupan yang dirasakannya. ―Karena aku tidak tahu apakah gadis desa
itu membalas perasaan sang pangeran.‖
*****
Alex melongok ke dalam kamar yang ditempati Mia. Setelah melihat gadis
itu sudah tertidur pulas, ia memastikan pintu kamar tidak tertutup rapat
supaya ia bisa mendengar apabila gadis itu memanggilnya atau
membutuhkan sesuatu. Ia kembali ke ruang duduk dan memandang
berkeliling, memastikan semuanya sudah beres sebelum ia sendiri masuk ke
kamarnya dan bersiap-siap tidur.
Ia berdiri tepat di tempat Mia berdiri satu jam yang lalu ketika ia
menyatakan perasaannya secara tidak langsung. Setelah mendengar
pengakuan Alex, Mia tidak bereaksi selama tiga puluh detik penuh.
Kemudian ia mengerjap, tersenyum kecil, dan
340
bergumam, ―Baiklah. Kalau kau sudah tahu akhir ceritanya, jangan
lupa ceritakan padaku.‖
Alex harus mengakui bahwa ia merasa kecewa mendengarnya. Ia sebenarnya
tidak mengharapkan jawaban, ia hanya ingin mengutarakan perasaannya.
Dalam hati ia tahu Mia tidak akan memberikan jawaban yang diinginkannya
karena gadis itu pernah berkata bahwa saat ini ada banyak hal yang lebih
penting yang harus dikhawatirkannya. Walaupun begitu, Alex tetap merasa
agak kecewa. Ia mengembuskan napas yang ditahannya dan menunduk.
Bibirnya melengkung membentuk seulas senyum yang menyesali ketololannya
sendiri karena berharap terlalu banyak.
―Tapi, Alex,‖ kata Mia tiba-tiba, ―menurutku gadis desa itu juga
menganggap sang pangeran sebagai teman bicara yang
menyenangkan.‖
Alex mengangkat wajah dan menatap Mia yang balas menatapnya sambil
tersenyum samar. Sebersit harapan kembali terbit dalam dirinya tanpa
bisa dicegah.
―Dan aku yakin gadis itu menganggap sang pangeran laki-laki
yang sangat baik.‖
Alex menunggu Mia meneruskan kata-katanya, tetapi ternyata hanya itu
yang ingin dikatakannya. Setelah itu Mia mengucapkan selamat malam dan
masuk ke kamarnya.
Sampai sekarang Alex masih tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.
Tetapi setidaknya Mia tidak menolaknya secara langsung. Jadi semuanya
masih baik-baik saja. Mungkin ia masih boleh berharap... sedikit.
341
Ia baru hendak memadamkan lampu di ruang duduk ketika sesuatu yang
berkerlap-kerlip di atas meja menarik perhatiannya. Ponsel Mia. Alex
menghampiri neja, memungut ponsel yang berkerlap-kerlip tanpa suara itu
dan membaca tulisan yang tertera di layar.
Mom.
Sejenak Alex ragu apakah ia harus menjawab telepon dari ibu Mia atau
membiarkannya saja. Kalau ia tidak menjawab, ia takut ibu Mia akan
khawatir mengingat Mia pernah bercerita bahwa orangtuanya merasa harus
menelpon dan memeriksa keadaannya sejak ia didiagnosis mengidap penyakit
jantung. Tetapi kalau Alex menjawab telepon itu, ia harus menjelaskan
kenapa ia yang menjawab dan bukan Mia, kemudian dia harus menjelaskan
kenapa Mia menginap di apartemennya.
Alex menatap ponsel yang masih berkerlap-kerlip di tangannya, berpikir.
Lalu ia menekan tombol ―jawab‖, menempelkan ponsel itu ke telinga dan
berkata, ―Halo? Mrs. Clark?‖
342
Bab Tiga Puluh Satu
TANGAL 24 Desember. Seluruh keluarga besarnya sudah
berkumpul di Eden Prairie. Rumah kakek dan neneknya sudah dihias
besar-besaran untuk menyambut Natal. Obrolan, canda, dan tawa yang
terdengar di setiap sudut rumah. Perapian besar di ruang duduk juga ikut
menghangatkan suasana. Saat ini para wanita sibuk di dapur, para pria
mengobrol di ruang duduk dan memperbaiki sesuatu di garasi, para sepupu
Mia bermain salju di pekarangan depan.
Mia sendiri berdiri mengamati bayangannya di depan cermin meja rias dan
berusaha menyamarkan lingkaran hitam di matanya dengan rias wajah. Tidak
terlalu berhasil, tetapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Tentu
saja seluruh keluarganya tahu tentang kondisinya, tetapi Mia tidak
merasa perlu menambah kekhawatiran mereka, terlebih lagi dalam suasana
Natal yang dipenuhi kebahagian seperti ini.
Sebenarnya hasil pemeriksaan yang dilakukan Dr. Schultz sebelum Mia dan
orangtuanya datang ke Eden Prairie tidak terlalu baik. Dr. Schultz
mengganti jenis dan dosis obat-obatan Mia, dengan harapan bisa lebih
membantu. Dan itu sama sekali bukan pertanda baik.
343
Tiba-tiba Mia mendengar suara sepupunya yang memanggilnya dari halaman
depan. Ia berjalan ke jendela kamar tidur yang ditempatinya bersama dua
sepupu perempuannya di lantai dua rumah kakek dan neneknya, membukanya
dan melongok keluar.
Lima sepupunya, dua perempuan dan tiga laki-laki berusia antara 9 sampai
20 tahun, sedang bermain salju di halaman. Sepupu laki-lakinya yang
paling kecil sepertinya berusaha membuat orang-orangan salju tanpa
hasil.
"Mia, sedang apa kau di atas sana? Kami butuh bantuanmu membuat
orang-orangan salju," seru salah seorang sepupu perempuannya sambil
tertawa.
"Aku akan segera turun," Mia balas berseru. Ia cepat-cepat menutup
jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya sambil menggigil. Ia baru
hendak keluar dari kamar ketika ponsel di sakunya berdenting menandakan
pesan masuk. Seulas senyum tersungging di bibir Mia ketika tahu siapa
pengirim pesan itu. Alex.
Sedang apa?
Mia pun membalas. Baru akan keluar membuat orang-orangan salju bersama
sepupu-sepupuku. Kau sendiri?
Baru tiba di rumah kakek dan nenekku untuk malan malam bersama. Kau
sudah terima hadiahnya?
Mia mengerutkan kening. Hadiah apa?
Berarti kau belum menerimanya. Mereka berjanji kau akan menerima
hadiahnya hari ini.
Mereka siapa?
344
Orang-orang dari jasa pengiriman. Kau mengirimkan hadiah untukku?
Ya. Hadiah Natal. Aku mengirimkannya ke rumah kakek dan nenekmu.
Ah, jadi itu sebabnya kau menanyakan alamat kakek dan nenekku waktu itu.
Ya. Telepon aku kalau kau sudah menerimanya. Oke?
Sebelum Mia sempat membalas pesan terakhir itu, ia mendengar kehebohan
di lantai bawah dan namanya dipanggil berkali-kali. Ia bergegas keluar
dari kamar dan menuruni tangga. "Apa? Ada apa?" tanyanya kepada
orang-orang yang berkumpul di dekat pintu depan.
"Mia, kau mendapat kiriman. Coba lihat, manis sekali!" seru salah satu
sepupu perempuannya sambil menarik tangan Mia.
Sedetik kemudian Mia dihadapkan pada boneka beruang raksasa paling
besar, paling imut, dan paling putih yang pernah dilihatnya. Boneka itu
masih terbungkus plastik bening dan berada dalam pelukan petugas
pengantar barang yang terlihat agak kesusahan.
"Mia Clark?" tanya si petugas sambil berusaha melongok dari balik
punggung boneka beruang raksasa itu.
"Ya," sahut Mia setelah kekagetannya mereda dan ia menemukan suaranya
kembali. Salah seorang sepupu Mia mengambil alih boneka beruang itu dari
si petugas pengiriman barang sehingga ia bisa menyodorkan formulir yang
harus ditandatangani Mia. Saat itu hampir semua keluarganya sudah
345
bergerombol di pintu depan untuk melihat kehebohan yang sedang terjadi.
Semua orang sepertinya berbicara pada saat bersamaan.
"Astaga, coba lihat boneka beruang itu. Untuk siapa? Siapa yang
mengirimnya?"
"Ini untuk Mia."
"Aku belum pernah melihat boneka sebesar itu." "Dari pacarmu, Mia?"
"Biasanya hadiah seperti ini memang dari laki-laki." "Doug belum
mengirimkan hadiah untukku."
"Aku boleh meminjam bonekamu malam ini, Mia? Boleh, ya?" "Oh, kau
membuatku iri, Mia!"
"Kenapa anak perempuan suka boneka?"
"Mom, aku juga mau boneka seperti boneka Mia."
Mia tidak benar-benar mendengar banjir kata-kata di sekelilingnya. Ia
mengembalikan formulir yang sudah ditandatanganinya kepada si petugas
pengiriman. Setelah mengucapkan selamat Natal kepada mereka semua,
petugas itu berbalik pergi dan Mia menutup pintu.
"Ayo, buka plastik pembungkusnya, Mia," desak sepupu perempuannya.
Mia tertawa menatap boneka yang lebih besar dan lebih tinggi daripada
dirinya itu sebelum menuruti permintaan sepupunya. Bulu boneka itu
terasa sangat halus dan lembut di tangannya.
"Mia ada kartu," kata sepupunya sambil menyodorkan secarik kartu yang
tertempel di pita leher si boneka.
346
Mia menerima kartu itu dan menjauh dari kerumunan orang yang mengagumi
bonekanya untuk membaca isi kartu. Ia sudah bisa menebak siapa
pengirimnya, tetapi tetap ingin membaca isi kartunya.
Peluk beruang yang manis ini kalau kau merindukanku.
Selamat Natal.
—Alex
Mia tidak bisa menahan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.
"Dari Alex, bukan?"
Mia tersentak dan mengangkat wajah menatap ibunya yang tiba-tiba sudah
berdiri di sampingnya. Ia tidak menjawab, hanya tetap tersenyum dan ia
yakin ibunya mengerti.
"Aku sudah menduga dia laki-laki yang penuh perhatian," kata ibunya
sambil tersenyum penuh arti. "Jangan lupa meneleponnya dan mengucapkan
terima kasih, Sayang."
Mia tahu ibunya langsung menyukai Alex sejak berbicara dengan Alex malam
itu. Alex memberitahu Mia bahwa ia menjawab ponsel Mia malam itu supaya
ibu Mia tidak khawatir dan menjelaskan kepada ibu Mia bahwa Mia
baik-baik saja. Tetapi Alex tidak memberitahu Mia hal lain yang
dikatakannya pada ibu Mia. Ibunya yang memberitahu Mia keesokan siangnya
ketika mereka hendak pergi menemui Dr. Schultz.
"Kau tahu yang dikatakannya padaku, yang membuatku yakin dia benar-benar
menyukaimu?" tanya ibu Mia pada Mia waktu
347
itu. Mia mendesah berlebihan, namun tidak bisa mencegah debar jantungnya
yang semakin cepat. "Apa?"
"Katanya aku tidak perlu khawatir lagi karena dia akan menjagamu."
Mia kembali membaca tulisan di kartu yang dipegangnya sambik tersenyum
lebar, mengingat apa yang dikatakan ibunya kepadanya waktu itu.
"Ayo, telepon dia sekarang, Sayang." Suara ibunya membuyarkan
lamunannya.
Mia menoleh ke arah boneka beruangnya, yang masih dikerebungi para
sepupu dan anggota keluarganya yang lain.
"Jangan khawatir," kata ibunya. "Aku akan memastikan mereka
mengembalikannya kepadamu."
Setelah memeluk ibunya dan mengucapkan terima kasih, Mia berlari kembali
ke kamarnya di atas dan menelpon Alex. Laki-laki itu menjawab telepon
pada deringan kedua.
"Kau sudah menerima hadiahnya?" tanya Alex langsung.
"Ya," jawab Mia sambil menggigit bibir, berusaha tanpa hasil
menyembunyikan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. "Kau membuat
seluruh keluargaku terkesan dengan boneka raksasa itu, Alex. Harus
kukatakan bahwa ibuku juga sangat terkesan padamu. Dia yang menyuruhku
meneleponmu untuk berterima kasih. Jadi, terima kasih."
"Tidak masalah," sahut Alex ringan. "Dan hadiah untukku?"
348
"Hadiah untukmu ada di apartemenmu," sahut Mia. "Telepon aku kalau kau
sudah pulang ke apartemenmu. Akan kuberitahu di mana kau bisa
menemukannya."
Masih sambil tersenyum. Mia menutup ponselnya dan mengempaskan diri ke
ranjang. Ia memeluk bantalnya dan memikirkan hadiah yang dipilihnya
untuk Alex. Ia sungguh tidak tahu apa yang harus dibelinya untuk Alex
karena menurutnya Alex sudah memiliki segalanya. Ia tidak ingin
membelikan hadiah biasa seperti yang dibelikannya untuk teman-temannya
yang lain. Ia merasa harus memberikan sesuatu yang istimewa kepada Alex
setelah semua yang sudah dilakukan laki-laki itu untuknya. Akhirnya
sebuah ide terpikirkan olehnya dan kini ia berharap pilihannya tepat dan
tidak dianggap kekanak-kanakkan.
Oh, ya, sekarang waktunya menyelamatkan boneka beruang itu dari
cengkeraman keluargaku, putus Mia sambil bangkit dari ranjang dan keluar
dari kamar.
*****
Alex tertawa kecil dan menutup ponsel. Kata gadis itu hadiah untuknya
ada di apartemennya?
"Telepon dari Mia?"
Alex mengangkat wajah dan menoleh menatap Ray yang berdiri di ambang
pintu ruang duduk. Ray melangkah masuk dan duduk di kursi berlengan di
samping kursi Alex, di dekat perapian.
349
"Di mana Mom dan Dad?" tanya Alex tanpa menjawab pertanyaan Ray.
"Mom di dapur bersama Nenek dan Dad bermain catur dengan Kakek di ruang
kerja."
Alex mengangguk-angguk sambil mengamati perapian.
Alex, apakah kau menyukai Mia?" tanya Ray tiba-tiba, memecah keheningan.
Suaranya terdengar serius dan penuh pertimbangan.
Alex kaget mendengar pertanyaan itu, tetapi ia menjaga raut wajahnya
tetap datar. "Apa maksudmu?"
Ray terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Aku melihatmu dan Mia waktu itu.
Di toko kue."
Alex tersentak. Di toko kue? Ketika Mia jatuh pingsan? Ray melihatnya?
Ia menoleh menatap Ray dan bertanya, "Apa yang kau lihat?"
"Aku melihat kalian masuk ke toko kue itu sambil berpegangan tangan,"
sahut Ray tanpa menatap Alex, tetapi tetap menatap api di perapian.
"Saat itu aku baru menyadari sesuatu yang seharusnya sudah kusadari
sejak lama. Aku tidak tahu kenapa aku tidak pernah menyadarinya sebelum
ini. Tapi kurasa sebenarnya aku hanya menolak menyadarinya."
Sepertinya Ray tidak melihat ketika Mia jatuh pingsan. Jadi Alex tidak
berkomentar dan membiarkan adiknya meneruskan kata-katanya.
"Kau menyukai Mia, bukan, Alex?" tanya Ray sekali lagi. Kali ini ia
mengangkat wajah menatap Alex, mengharapkan jawaban.
350
Alex menarik napas, ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya." Ray terlihat
kaget mendengar pengakuannya, tetapi ia dengan
cepat mengendalikan perasaannya dan mengangguk. "Kupikir juga begitu,"
gumannya. "Apakah kau sudah memberitahunya?"
"Tidak." Alex memang belum beritahu Mia secara langsung. Ray mengangguk
sekali lagi, lalu tersenyum masam. "Aku
tidak pernah menyangka aku akan bersaing dengan kakakku sendiri dalam
hal wanita."
Alex mengangkat alis.
"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku juga menyukai Mia," kata Ray.
"Aku tahu," sahut Alex.
"Masih menyukainya," koreksi Ray sambil memiringkan kepalanya ke satu
sisi. "Dan walaupun Mia pernah berkata padaku bahwa dia hanya
menganggapku sebagai teman, aku masih menyimpan harapan suatu hari nanti
dia akan berubah pikiran. Karena selama ini dia tidak pernah
menunjukkan tanda-tanda menyukai orang tertentu."
"Mm," gumam Alex tanpa maksud tertentu.
"Aku hanya ingin kau tahu," kata Ray sambil mengangkat bahu, "selama Mia
belum menentukan pilihan, aku akan tetap mendekatinya walaupun aku tahu
kau juga menyukainya."
Alex menatap adiknya sambil tersenyum. "Cukup adil."
Ray juga tersenyum. Lalu ia menepuk lengan kursi dan berkata, "Baiklah,
bagaimana kalau sekarang kita ikut bermain catur dengan Dad dan Kakek di
ruang kerja?"
351
"Ide bagus," kata Alex, lalu berdiri.
*****
"Kau baru sampai di rumah?" tanya Mia di ujung sana. "Bukankah di New
York sekarang sudah hampir jam satu pagi?"
Alex memindahkan ponselnya dari telinga kiri ke telinga kanan sambil
melepas jaket. Ia berjalan ke ruang duduk dan menyalakan lampu. Pohon
Natal di sudut ruangan dekat jendela yang dihias Mia, menyambut
kepulangannya. "Ya, karena dari Bayside aku mampir dulu ke tempat ayah
dan ibuku," jelasnya. "Bagaimana dengan kau sendiri? Di Minnesota
sekarang sudah hampir tengah malam dan kau belum tidur. Apakah mungkin
kau menunggu telepon dariku?"
"Tidak," jawab Mia cepat. Terlalu cepat, menurut Alex sambil tersenyum
dalam hati. "Di sini belum ada yang tidur, kecuali sepupuku yang masih
kecil. Mereka masih mengobrol di bawah. Omong-omong, bagaimana acara
makan malammu? Menyenangkan?"
"Biasa saja," sahut Alex sambil membaringkan diri di sofa dan
menyandarkan kepalanya ke lengan sofa. "Kau sendiri?"
"Sangat menyenangkan. Berkumpul bersama keluarga besar selalu
menyenangkan."
Alex tersenyum mendengar nada gembira dalam suara Mia. "Kau suka
keluarga besar?" tanyanya.
"Tentu saja. Kau tidak suka?"
352
"Aku tidak punya keluarga besar, jadi aku tidak tahu. Tapi aku senang
mendengar kau bersenang-senang di sana," kata Alex. "Omong-omong, aku
ingin tahu di mana kau menyembunyikan hadiahku."
Mia terdengar ragu ketika berkata, "Sebenarnya aku benar-benar bingung
apa yang harus kuberikan kepadamu. Jadi hanya ini yang bisa kupikirkan.
Tolong jangan tertawakan aku."
"Apa yang kaubicarakan, Clark? Aku tidak mungkin menertawakanmu," kata
Alex menyakinkan Mia.
Jeda sejenak, lalu, "Baiklah. Cari buku The Piano: An Encylopedia di
antara buku-bukumu yang ada di rak. Aku yakin kau tahu tempatnya."
Alex bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri rak bukunya. Ia
mengambil buku yang dimaksud dan berkata, "Sudah kutemukan. Lalu?"
"Hadiahmu ada di halaman pertama."
Alex menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sementara ia
membuka halaman pertama buku itu. Alisnya terangkat heran ketika tiga
lembar kertas biru berbentuk persegi panjang jatuh ke lantai.
"Apa ini?" tanyanya sambil membungkuk memungut ketiga lembar kertas itu
dan membaca tulisan tangan yang tertera di sana. "Voucher Permintaan
Kepada Mia Clark?"
"Kau belum membaca tulisan kecil dibawahnya. Di dalam tanda kurung."
"Yang masuk akal dan tidak melanggar hukum," baca Alex.
353
"Apa maksudnya?"
"Maksudnya kau bisa mengajukan tiga permintaan kepadaku—apa saja,
asalkan yang masuk akal dan tidak melanggar hukum—dan aku akan
mengabulkannya."
Alex tertawa. "Jadi aku hanya bisa mengajukan tiga permintaan?"
"Ya."
"Jadi kalau aku memintamu menikah denganku minggu depan, kau mau
melakukannya?"
"Yang masuk akal, Alex."
"Kata siapa menikah denganku tidak masuk akal?"
"Apakah kau senang kalau aku menikah denganmu karena terpaksa?"
"Astaga, tentu saja tidak."
"Kau lihat? Aku tahu kau akan bersikap masuk akal. Aku percaya padamu."
Alex tertawa. "Baiklah, akan kupikirkan baik-baik apa yang akan kuminta
darimu dan memberikan alasan yang sangat masuk akal sampai kau tidak
mungkin menolaknya. Malah aku sudah punya gagasan untuk permintaan
pertamaku."
"Oh, ya? Apa itu?"
"Akan kuberitahu saat kau kembali ke sini." "Oke."
Alex melirik jam tangannya dan berkata pelan, "Sudah lewat tengah malam
di Minnesota, Clark. Selamat Natal."
"Selamat Natal, Alex."
354
Bab Tiga Puluh Dua
TAHUN BARU sudah berlalu dan selama seminggu setelah itu Alex
mendapati dirinya disibukkan oleh Karl dan persiapan konsernya yang dulu
sempat tertunda. Karena tangan Alex sudah sembuh total, Karl tidak
membuang-buang waktu dan langsung bekerja.
Alex tahu Mia sudah kembali ke New York, tetapi karena kesibukannya Alex
belum sempat bertemu gadis itu. Alex hanya sempat meneleponnya beberapa
kali untuk menanyakan keadaan gadis itu, walaupun begitu mereka tidak
bisa bicara lama-lama karena Alex harus kembali bekerja dan Mia... Mia
juga sepertinya sibuk.
Sebenarnya setiap kali Alex bertanya apa yang sedang dilakukannya, Mia
hanya menjawab, "Tidak ada yang penting." Awalnya Alex tidak terlalu
memikirkannya, tetapi sekarang kalau dipikir-pikir lebih saksama, gadis
itu memang terkesan sibuk. Kadang-kadang ia tidak menjawab teleponnya.
Kadang-kadang Mia terkesan tidak bisa bicara lama-lama dan ingin segera
menutup telepon.
Kening Alex berkerut sementara ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas
meja kerja di kantor produsernya yang katanya ingin membalas beberapa
hal dengan mereka, tetapi mereka sudah
355
menunggu selama tujuh menit dan produsernya masih belum muncul.Alex tahu
ia tidak akan bisa berkonsentrasi pada pekerjaan kalau Mia Clark masih
menghantui pikirannya. Ia tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi,
tetapi ia merasa gadis itu menyembunyikan sesuatu. Ada yang aneh di
sini. Dan ia bertekad mencari tahu. Karena itu ia harus menemui Mia
sekarang.
"Karl, aku pergi dulu," kata Alex sambil berdiri dari kursi dan
menyambar jaketnya.
"Woah, Alex, tunggu dulu. Kau mau ke mana?" tanya Karl kaget. "Pertemuan
akan segera dimulai dan kau mau pergi begitu saja? Alasan apa yang
harus kuberikan kepada produsermu?"
"Karl, aku percaya padamu," kata Alex sambil mengenakan jaketnya dan
tersenyum kepada manajernya. "Tidak ada masalah yang tidak bisa kau
atasi. Itu moto hidupmu, bukan? Dan soal alasan, aku yakin kau bisa
memikirkan sesuatu. Kuserahkan semua masalah pekerjaan padamu. Dan
sekarang aku harus menemui seseorang dan menyelesaikan sesuatu."
Karl mendesah berat, namun ia tersenyum. "Ini tentang Mia Clark, bukan?
Sudah kubilang, Alex, gadis itu membuatmu bertekuk lutut."
Alex memutar bola matanya, tetapi tidak berkomentar. Ia berderap ke arah
pintu kantor dan membukanya dengan satu sentakan cepat. Sebelum keluar,
ia menoleh kembali kepada Karl dan berkata, "Terima kasih, Karl. Aku
berutang padamu."
356
Karl tertawa dan mengibaskan tangannya. "Oh ya, utangmu padaku sudah
setinggi Gunung Rushmore sekarang. Jangan khawatir. Akan kutagih suatu
hari nanti."
*****
Gadis itu tidak menjawab telepon Alex menutup ponselnya dan mengarahkan
mobilnya ke studio tari tempat Mia mengajar. Mungkin gadis itu sedang
mengajar dan tidak bisa menjawab telepon.
Tetapi Mia tidak ada di studio tarinya. Setidaknya itulah yang dikatakan
wanita setengah baya dan berkacamata di balik meja resepsionis. Lalu
ada di mana Mia Clark sekarang? Astaga, Alex tidak akan senewen seperti
ini kalau gadis ini menjawab ponselnya.
Saat itu seorang gadis berambut merah berjalan melewati meja resepsionis
dan berkata pada si wanita berkacamata, "Agnes, aku pergi makan siang
dulu, ya? Kau mau kubelikan sesuatu?"
"Tidak usah, Lucy. Terima kasih," sahut wanita yang dipanggil Agnes.
Alex baru hendak berbalik dan keluar dari gedung ketika ia mendengar
seseorang memanggilnya dan bertanya, "Kau Alex, bukan?"
Alex berbalik dan menatap gadis berambut merah yang dipanggil Lucy oleh
si resepsionis. Gadis itu terlihat tidak asing, pikir Alex. Ah, benar
juga. Bukankah ia teman Mia?
357
"Ya, dan kau Lucy, teman C—maksudku Mia," sahut Alex. Gadis berambut
merah itu tersenyum. "Aku senang kau masih
ingat padaku. Kau datang ke sini mencari Mia?"
"Ya, tapi katanya dia tak ada di sini. Kau tahu di mana dia?" tanya
Alex.
Alis Lucy terangkat heran. "Oh, Mia belum memberitahumu? Dia berhenti
mengajar di sini untuk sementara karena menerima tawaran untuk tampil
dalam pertunjukan yang akan diselenggarakan Dee Black Company. Jadi
kurasa kau bisa menemuinya di studio tari mereka."
*****
Dee bertepuk tangan dua kali dan berseru, "Oke, bagus sekali, Anak-anak.
Latihan kita sampai di sini dulu. Besok kita lanjutkan lagi."
Mia mengusap kening dengan punggung tangan dan berusaha mengatur
napasnya yang tersengal. "Mia sayang, kau luar biasa," puji Dee sambil
menepuk bahu Mia ketika Mia berjalan melewatinya ke arah bangku tempat
ia meletakkan tasnya. Mia mengucapkan terima kasih dengan pelan karena
masih agak sulit bernapas. Kemudian ia menjatuhkan diri di samping
tasnya, mengeluarkan botol air minumnya dan meneguknya.
Sudah seminggu terakhir ini is menghabiskan pagi dan siang berlatih di
studio tari Dee Black Company. Ya, ia menerima tawaran Dee untuk tampil
dalam pertunjukkan khusus yang direncanakan Dee. Ia tahu kondisi
tubuhnya yang lemah akan menjadi gangguan,
358
tetapi ia ingin menari. Demi Tuhan, ia penari. Ia harus menari. Dan ia
juga ingin menari di atas panggung Broadway, walaupun hanya satu kali.
Ia sudah memikirkannya baik-baik, mempertimbangkan segalanya, bahkan
sudah membahasnya dengan dokter dan orangtuanya—oh, tentu saja mereka
tidak melompat kegirangan mendengar apa yang ingin dilakukannya, tetapi
mereka memahami keinginan Mia dan akhirnya menyerah dengan enggan. Jadi
Mia pun menerima tawaran Dee.
Masalahnya, sampai sekarang ia belum memberitahu Alex Hirano. Mia tidak
tahu kenapa ia merasa gugup membayangkan reaksi laki-laki itu kalau
sampai tahu tentang dirinya yang memutuskan untuk menari lagi. Gagasan
memberitahu Alex tentang keputusannya terasa lebih menakutkan daripada
ketika ia memberitahu orangtuanya. Tetapi Mia tahu ia harus segera
memberitahu Alex.
Seseorang duduk di lantai di sampingnya dan membuyarkan lamunan Mia. Ia
mengangkat wajah dan menatap Aaron yang tersenyum lebar kepadanya.
"Capek?" tanyanya.
Mia mengangguk. "Kau tidak capek? Kau harus melanjutkan latihan untuk
pertunjukan lain setelah ini, bukan?"
"Kau tahu aku sudah terbiasa dengan latihan berat," kata Aaron ringan.
"Kau yang sudah terlalu lama bermalas-malasan, Mia. Karena itu latihan
sedikit saja sudah membuatmu capek dan pucat seperti ini."
Mia hanya tersenyum.
359
"Tapi kau belum kehilangan sentuhanmu," lanjut Aaron. "Kau masih penari
hebat seperti dulu. Dan aku senang bisa menari denganmu lagi."
"Aku juga senang bisa menari denganmu lagi, Aaron," balas Mia
sungguh-sungguh. "Semua ini membangkitkan kenangan yang menyenangkan."
Aaron berdiri dengan satu gerakan anggun dan mengulurkan tangannya
kepada Mia untuk membantunya berdiri. Mia tersenyun lebar, meraih tasnya
dengan satu tangan dan menerima uluran tangan Aaron dengan tangannya
yang lain, membiarkan laki-laki itu menariknya berdiri dengan mulus.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau mengundurkan diri dari kelompok
tari kita, tapi tidak apa-apa. Kurasa kau akan menceritakannya padaku
kalau kau sudah siap nanti," kata Aaron sambil meremas tangan Mia yang
masih berada dalam genggamannya dan menatap mata Mia dalam-dalam. Lalu
ia tersenyum kecil. "Tapi untuk sekarang, mari kita tunjukkan kepada
orang-orang betapa hebatnya kita di atas panggung."
Mia tertawa. Kata-kata Aaron membuat semangatnya timbul lagi. Ia
melingkarkan kedua lengannya di tubuh Aaron dan memeluknya sejenak.
"Terima kasih, Aaron," gumannya. "Sampai jumpa besok."
Mia berbalik dan langsung membeku di tempat ketika melihat siapa yang
berdiri di ambang pintu ruang latihan.
Alex Hirano.
360
Dan laki-laki itu sama sekali tidak tersenyum ketika ia menatap Mia
dengan tajam dan kening berkerut.
*****
Melihat Mia yang memeluk Aaron Entah-Siapa-Namanya itu membuat darah
Alex mendidih dan ia diserang desakan hebat untuk menyakiti laki-laki
itu secara fisik. Namun ketika gadis itu berbalik dan jelas-jelas
terkejut melihat Alex berdiri di sana, ia melihat kilatan perasaan
bersalah di mata Mia dan hal itu membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Hanya sedikit.
Mia menggigit bibir dan berjalan ke arah pintu, menghampiri Alex. Ia
mencoba menawarkan seulas senyum kecil kepada Alex, mungkin dengan
harapan bisa meredakan amarah Alex. "Hei," sapa Mia pelan, lalu berdeham
salah tingkah. "Sedang apa kau di sini?"
Alex menatap gadis yang berdiri gugup di hadapannya dengan mata
disipitkan. "Lucu sekali," gumamnya datar. "Aku juga ingin menanyakan
hal yang sama padamu."
Mia membuka mulut. "Aku..."
"Kita bicarakan sambil makan siang saja," sela Alex datar, lalu
mencengkeram siku Mia dan menariknya pergi.
Empat puluh menit kemudian mereka duduk berhadapan di salah satu
restoran kecil di dekat apartemen Alex. Alex masih marah, tetapi
amarahnya sudah jauh berkurang selama perjalanan mereka dari studio tari
ke restoran ini. Sekarang ia hanya menginginkan penjelasan. Jadi
setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan
361
berbalik pergi, Alex menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan
berkata, "Jadi kau akan ikut tampil dalam pertunjukan Dee."
Mia menarik napas dalam-dalam dan membasahi bibirnya. "Ya," jawabnya
pelan. Matanya yang hitam terangkat menatap Alex dengan ragu. "Aku ingin
melakukannya."
"Bukankah doktermu sudah memintamu berhenti menari karena kondisi
jantungmu?"
―Ya, tapi karena hanya pertunjukan satu kali, dan karena aku bukan
penari resmi kelompok mereka, aku tidak perlu menjalani latihan keras
dari pagi sampai malam," Mia buru-buru menjelaskan. "Aku sudah
menjelaskan kepada Dee bahwa aku hanya bisa ikut berlatih dari pagi
sampai siang. Tentu saja aku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.
Dia setuju. Padahal para penari lainnya yang ikut dalam produksi ini
harus menjalani latihan rutin dan mempersiapkan pertunjukan mereka di
malam hari seperti biasa. Aku sudah mengikuti latihan selama seminggu
terakhir, dan sejauh ini tidak ada masalah."
Alex membuka mulut ingin mengatakan sesuatu, tetapi Mia lebih cepat. Ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata, "Aku sudah memikirkannya
baik-baik, Alex. Dan aku sudah membicarakannya dengan orangtuaku dan Dr.
Schultz. Aku berjanji pada mereka akan berhenti kalau latihannya
terbukti terlalu berat bagiku. Aku juga akan berjanji hal yang sama
padamu. Aku tidak akan memaksakan diri. Percayalah padaku. Aku ingin
sembuh."
Alex kembali membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi Mia kembali
menyelanya. Sepertinya gadis itu belum selesai
362
bicara. "Tapi aku juga ingin menari," katanya dengan suara yang lebih
pelan. "Dulu aku mengundurkan diri sebelum benar-benar menunjukkan siapa
diriku di atas panggung. Aku penari. Impianku sama seperti impian para
penari lain. Aku ingin menari dalam pertunjukan besar di Broadway, di
atas panggung, di bawah sinar lampu sorot."
Mia berhenti sejenak untuk menarik napas. Matanya terlihat berkaca-kaca
dan kedua tangannya saling meremas di atas meja. Melihat Mia seperti itu
membuat dada Alex terasa nyeri.
Setelah menelan ludah, Mia melanjutkan, "Aku ingin menari selama aku
masih bisa, sebelum aku sama sekali tidak bisa menari lagi. Kurasa ini
kesempatan terakhirku, Alex, tolong jangan menyela. Kau tahu benar aku
membutuhkan jantung baru. Dr. Schultz sudah mengatakannya padaku.
Sekarang kondisi jantungku memburuk dengan cepat. Kau sudah tahu itu.
Jadi kuharap kau memahami keputusanku."
"Kau sudah memberitahu dokter dan orangtuamu. Kenapa kau belum
memberitahuku? Kenapa sepertinya kau merahasiakan hal ini dariku?" tanya
Alex penasaran.
Mia terlihat salah tingkah. Ia mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya
jujur. "Kurasa aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Tapi aku memang
berencana memberitahumu hari ini. Sungguh."
"Kapan pertunjukannya dilangsungkan?" "Tiga minggu lagi."
363
Alex tidak berkata apa-apa. Ia sibuk berpikir sementara mengamati Mia
yang pucat dan gugup di hadapannya. Gadis itu berkata tidak ingin
membuat Alex khawatir, tetapi Alex selalu khawatir kalau menyangkut Mia.
Kenapa gadis ini selalu membuatnya khawatir? Alex tahu dirinya tidak
bisa tenang selama tidak memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Mia
baik-baik saja. Lagi pula, Alex pernah berjanji pada ibu Mia bahwa ia
akan menjaga Mia. Jadi... Baiklah, inilah yang akan dilakukannya. Ia
mengeluarkan secarik kertas biru berbentuk persegi panjang dari saku
celananya, meletakkannya di atas meja dan mendorongnya ke arah Mia.
Awalnya Mia menunduk, menatap kertas yang disodorkan kepadanya dengan
bingung, namun setelah mereka mengenali kertas itu, matanya melebar
kaget dan tubuhnya menegang. Ia menatap Alex dan kertas di atas meja itu
bergantian.
"Kalau kau masih ingat, itu Voucher Permintaan Kepada Mia Clark yang kau
berikan kepadaku sebagai hadiah Natal," kata Alex tenang. "Aku
memutuskan mengajukan permintaan pertamaku sekarang."
"Tapi... tapi..." Mia tergagap sejenak. Lalu ia mengerjap dan menatap
Alex dengan alis berkerut. "Apakah kau akan memintaku keluar dari
pertunjukan? Apakah kau akan memintaku membatalkan keputusanku untuk
bergabung? Apakah kau akan memintaku berhenti menari?" tuduhnya.
Alex membuka mulut hendak menjawab, tetapi terpaksa menutup mulutnya
kembali ketika pelayan datang membawakan
364
makanan mereka. Setelah si pelayan pergi, Alex mencondongkan tubuh ke
depan dan berkata, "Kurasa seratus lembar kertas birumu itu juga tidak
bisa membuatmu berhenti dari pertunjukan itu. Bukan, yang ingin kuminta
bukan itu."
Tubuh Mia berubah santai. Ia mengerjap menatap Alex dengan curiga. "Lalu
apa permintaanmu kalau bukan itu?"
"Mulai hari ini kau akan tinggal di apartemenku." Mata Mia terbelalak
kaget. "Apa?"
Alex bergegas menjelaskan, "Clark, ibumu pernah memberitahuku bahwa ia
dan ayahmu tidak suka melihatmu tinggal sendirian di apartemenmu. Mereka
lebih tenang kalau kau kembali tinggal bersama mereka di Huntington.
Aku sangat mengerti alasan kekhawatiran mereka dan aku yakin kau juga
mengerti. Mereka mengkhawatirkan kesehatanmu dan mereka khawatir sesuatu
terjadi padamu."
Mia mengerjap, menunggu Alex melanjutkan. Sepertinya ia masih terlalu
kaget untuk berkomentar."
Tapi aku tahu kau pasti merasa repot kalau harus mondar-mandir dari
Huntington ke New York setiap hari, terlebih lagi sekarang kau harus
berlatih untuk pertunjukan yang direncanakan Dee itu," lanjut Alex. "Dan
kurasa kau tidak bisa tinggal bersama temanmu Lucy atau teman-temanmu
yang lain tanpa menjelasksn kondisi jantungmu kepada mereka. Tapi kau
bisa tinggal bersamaku. Aku sudah tahu kondisimu. Kau sudah pernah
tinggal di apartemenku. Lagi pula, orangtuamu pasti akan lebih tenang
kalau ada orang yang menemanimu."
365
Mia menatap Alex dengan ragu. "Tapi..."
"Aku tidak memintamu memindahkan semua barangmu ke apartemenku, Clark.
Kau boleh tetap mempertahankan apartemenmu yang sekarang, jadi kau hanya
perlu membawa barang-barang yang benar-benar kau butuhkan," tambah
Alex.
"Tapi kenapa kau melakukan ini?" tanya Mia sambil menatap Alex
lurus-lurus. "Kenapa kau mau repot-repot membantuku?"
Alex menghela napas dan mengembuskannya dengan pelan. "Kurasa kau tahu
alasannya, Clark," gumannya. "Lagi pula, aku sudah berjanji pada ibumu
bahwa aku akan menjagamu."
Wajah Mia merona samar sementara ia menggigit bibir dan mengaduk-ngaduk
sup jamur di hadapannya. "Kau tahu permintaanku ini masuk akal, Clark.
Dan kau sudah berjanji akan mengabulkan permintaanku yang masuk akal,"
kata Alex sambil mengetuk kertas biru di atas meja dengan jari
telunjuknya.
"Kau tahu?" gumam Mia sambil mengangkat wajah dan kembali menatap Alex.
Seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. "Kau seharusnya menggunakan
voucher itu untuk memintaku melakukan sesuatu untukmu, bukannya malah
menggunakannya untuk kepentinganku."
"Oh, jangan salah paham, Clark. Aku mengajukan permintaan itu demi
diriku sendiri. Demi ketenangan jiwaku," bantah Alex.
"Ketenangan jiwamu?" ulang Mia dengan alis terangkat. Alex mengangguk.
"Dan supaya aku bisa kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku,"
tambahnya.
Mia mengerutkan kening tidak mengerti.
366
"Kau mau tahu keuntungan lain bagiku kalau kau tinggal bersamaku? Aku
bisa minum kopimu setiap pagi," kata Alex sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana? Apakah alasan itu cukup untuk membuatmu setuju mengabulkan
permintaanku?"
"Kurasa aku tidak punya pilihan lain, bukan?" Mia balas bertanya.
Alex menggeleng. "Tidak."
Mia menatap voucher birunya yang ada di atas meja. Lalu ia meraihnya dan
memasukkannya ke dalam saku. "Baiklah, kukabulkan permintaanmu."
Dan Alex yakin ia belum pernah merasa selega itu seumur hidupnya.
367
Bab Tiga Puluh Tiga
MIA meletakkan tabung obatnya ke atas meja dapur dengan tangan
gemetar dan menarik napas kesal. Kepalanya terasa berat dan dadanya
terasa nyeri. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, ia mencoba
membuka tutup tabung obatnya lagi. Tetap tidak bisa. Tangannya terasa
seperti agar-agar hari ini.
Tepat pada saat itu ia mendengar bunyi pintu dibuka dan Mia mengangkat
wajah penuh harap. Sedetik kemudian terdengar suara Alex yang
memanggilnya, "Clark?"
Alex sudah pulang, pikir Mia lega. Ia tidak beranjak dari bangku tinggi
di dapur karena tidak ingin jatuh tertelungkup di lantai setelah
berjalan beberapa langkah. Ia sedang merasa tidak sehat dan tidak
bertenaga, karena itu ia tetap duduk di tempatnya dan berseru, "Di
dapur.‖
Sesaat kemudian Alex muncul di dapur. Keningnya berkerut cemas ketika
melihat wajah Mia yang lesu. "Hei, Clark, kau tidak apa-apa?" tanyanya
otomatis mengulurkan tangannya dan meraba kening Mia.
"Aku hanya merasa agak lelah hari ini," aku Mia cepat. Ia yakin wajahnya
tidak lagi pucat setelah Alex menyentuhnya, karena
368
pipinya mulai terasa hangat. "Tapi aku tidak bisa membuka ini." Ia
mengacungkan tabung obatnya.
"Sini, berikan padaku," kata Alex. "Sudah waktunya minum
obat?"
Mia mengangguk. Ia mengamati Alex buka tabung obatnya dengan mudah dan
mengeluarkan obat-obat lain yang harus diminum Mia malam ini dari lemari
obat.
Sudah dua minggu terakhir ini Mia tinggal bersama Alex dan sejauh ini
semuanya berjalan tanpa masalah. Mia pergi ke studio tari untuk berlatih
setiap pagi—diantar Alex yang juga harus pergi bekerja—dan kembali ke
apartemen Alex di siang hari. Kalau ia merasa sehat, ia akan mampir ke
Small Steps sepulangnya dari latihan untuk menemui Lucy sebelum pulang
dan menunggu Alex pulang di sore hari.
Orangtuanya, terutama ibunya, merasa lega dan sepenuhnya mendukung
keputusan Mia untuk tinggal bersama Alex, sedangkan ayahnya agak ragu
membiarkan putri semata wayangnya tinggal berdua dengan laki-laki. Namun
ayahnya kemudian menyimpulkan bahwa ia lebih suka melihat ada seseorang
yang menemani Mia dan memastikan Mia baik-baik saja daripada Mia harus
tinggal sendirian dan tidak ada orang yang tahu seandainya terjadi
sesuatu. Dan setelah orangtuanya datang untuk bertemu dan berbicara
dengan Alex minggu lalu, ayahnya merasa lebih yakin dengan keputusannya.
"Ini. Minun obatmu." Suara Alex membuyarkan lamunan Mia.
369
Ia menelan semua obatnya dengan patuh dan meneguk air yang sudah
disediakan Alex untuknya. "Bagaimana harimu?" tanya Mia sambil
meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja.
"Sibuk. Tapi Karl jauh lebih sibuk lagi," kata Alex sambil tersenyum.
"Kau sendiri?"
Mia mengangkat bahu dengan pelan. "Aku agak kesulitan mengikuti latihan
hari ini," akunya muram. "Kakiku sempat kram beberapa kali."
"Besok akan lebih baik," hibur Alex. "Tapi kau bisa menceritakan
semuanya kepadaku nanti setelah aku mandi. Kau tahu, mungkin tentang
bagaimana Rogers menginjak kakimu ketika kalian menari atau tentang
Rogers yang tidak bisa mengikuti irama dengan benar."
Mia tertawa. Alex selalu berhasil membuatnya tertawa, bahkan ketika
perasaannya buruk seperti sekarang. "Aaron tidak pernah menginjak
kakiku, Alex, dan kau tahu dia penari yang sangat berbakat," katanya.
"Apa yang pernah dilakukannya padamu sehingga kau tidak bisa bersikap
ramah padanya?"
Alex mengangkat sebelah alisnya, namun tidak menjawab. "Aku mandi dulu,"
katanya dan berjalan keluar dari dapur. Namun ketika ia menyadari Mia
tetap duduk diam di tempat, ia berbalik dan bertanya, "Clark apa lagi
yang kau tunggu di situ? Pergilah ke ruang duduk. Di sana lebih hangat."
Mia memang ingin pergi ke ruang duduk, tetapi tadinya ia berencana
menungu sampai Alex pergi sebelum mencoba berjalan.
370
"Kenapa? Kau bisa berdiri?" tanya Alex lagi ketika Mia tidak menjawab.
Mia menggigit bibir dan turun dari bangku tinggi. Ketika kakinya
menginjak lantai, ia merasa kakinya cukup kuat menopangnya. Mungkin ia
sudah bisa berjalan tanpa masalah.
Alex mendesah dan berkata, "Kau tahu, Clark, kalau kau membutuhkan
bantuan, yang perlu kau lakukan hanya memintanya."
Mia memekik kaget ketika tiba-tiba sudah berada dalam gendongan Alex.
"Alex! Aku tidak perlu digendong. Aku bisa jalan sendiri!" protesnya.
"Baiklah, kalau begitu kita anggap saja aku yang ingin menggendongmu.
Oke?" kata Alex sambil berjalan ke ruang duduk dengan langkah lebar. Ia
mendudukkan Mia yang memberengut di sofa dengan perlahan, lalu
menegakkan tubuh dan tersenyum lebar. "Hei, coba lihat. Wajahmu tidak
pucat lagi. Kurasa aku harus sering-sering menggendongmu."
Mia melotot kepada Alex, namun Alex hanya tertawa dan berjalan masuk ke
kamarnya. Kondisi tubuh Mia memang tidak menentu. Ada kalanya ia merasa
sangat sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa. Namun ada kalanya,
seperti hari ini, ia merasa tidak bertenaga, sesak napas, dan sakit
kepala. Mia menyadari akhir-akhir ini ia lebih sering merasa sakit
daripada merasa sehat. Itu berarti obat-obatan baru yang diberikan
dokternya sama sekali tidak membantu.
Mia mendesah berat dan meraih remote control untuk menyalakan CD player.
Ia berbaring di sofa dan memejamkan mata
371
sementara lagu yang akan mereka gunakan dalam pertunjukan khusus Dee
Black mengalun di ruang duduk. Mia tidak bisa menari saat ini karena ia
harus memulihkan diri untuk latihan besok, tetapi ia bisa berlatih
dengan otaknya. Ia bisa mengulangi setiap gerakan dalam pikirannya. Maka
itulah yang dilakukannya saat ini, mencoba mengingat dan membayangkan
setiap gerakan dalam tariannya.
Di tengah-tengah "latihan"-nya ia mendengar bel interkom. Mia membuka
mata dan menoleh ke arah interkom yang terpasang di dekat pintu. Bel
berbunyi lagi. Ia bangkit dari duduk dan mencoba berdiri, sebelum
berjalan dengan perlahan menghampiri alat itu. Ia menekan tombol
interkom untuk menjawab, namun ketika ia baru membuka mulut, ia sudah
disela oleh orang yang menekan bel di bawah sana.
"Alex? Kenapa lama sekali baru menjawab? Ini aku. Buka pintunya. Aku
sudah hampir beku di sini."
Mia mengerjap mendengar suara Ray. Lalu tanpa berpikir panjang, ia
menekan tombol untuk membuka pintu gedung dan membiarkan Ray masuk.
Beberapa menit kemudian bel pintu apartemen berbunyi dan Mia membuka
pintu.
"Hai, Alex, apa..." Ray menghentikan kata-katanya dan menatap Mia dengan
mata terbelalak heran. "Mia? Kenapa kau ada di sini?"
Ketika mendengar pertanyaan Ray, Mia baru sadar bahwa ia sama sekali
tidak pernah memikirkan kemungkinan seperti ini. Kemungkinan bahwa Ray
atau Karl atau siapa pun akan datang ke apartemen Alex dan
mempertanyakan keberadaannya di sana. Jadi ia
372
sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya atau dikatakannya.
Akhirnya ia memaksa bibirnya tersenyum kecil dan menyapa, "Hai, Ray.
Masuklah."
Ray melangkah masuk, namun masih terlihat bingung. "Alex ada di rumah?"
"Ya. Dia sedang mandi," jawab Mia dan berjalan pelan kembali ke ruang
duduk.
"Tapi kenapa kau ada di sini? Bukankah tangan Alex sudah sembuh? Apakah
dia masih memaksamu membantunya?" tanya Ray dan mengikuti Mia ke ruang
duduk. "Dan omong-omong, apa yang terjadi padamu? Kau sakit?"
Mia mendudukkan dirinya di sofa dan memijat-mijat pelipisnya. Kepalanya
berputar-putar mendengar rentetan pertanyaan Ray.
"Clark tinggal di sini sekarang, Ray."
Mereka serentak menoleh ke arah Alex yang berdiri di ambang pintu ruang
duduk sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Apa?" tanya Ray tidak mengerti sementara Mia melemparkan tatapan tajam
dan memperingatkan ke arah Alex.
Namun Alex hanya mengangkat sebelah bahunya dan berkata pada Mia, "Cepat
atau lambat orang-orang akan tahu, Clark. Kau tahu itu."
Alis Ray berkerut. Ia menatap Mia dan Alex bergantian, lalu berseru,
"Salah satu di antara kalian, tolong jelaskan padaku apa yang sedang
kalian bicarakan."
373
*****
Ray menatap Mia tanpa berkedip. Ia baru saja mendengar penjelasan
panjang-lebar dari gadis itu dan kakaknya, dan Ray hampir tidak
mempercayai sepatah kata pun yang didengarnya. "Katakan padaku kalian
hanya bercanda," katanya, memecah keheningan di apartemen Alex.
Mia menoleh menatap Alex yang duduk di sampingnya di sofa dan menghela
napas dalam-dalam. Lalu ia menoleh kembali ke arah Ray dan balas
bertanya dengan nada lelah, "Tentang apa, Ray? Kau ingin aku hanya
bercanda soal apa? Penyakitku? Kurasa itu bukan sesuatu yang bisa
dijadikan bahan tertawaan."
Ray mengerjap dan terlihat malu. "Bukan itu maksudku, Mia. Maafkan aku.
Kurasa aku hanya... Maksudku, semua ini terlalu mengejutkan. Aku tidak
pernah menduga... Aku hanya kesulitan mempercayainya," katanya cepat dan
agak tergagap. "Tapi kenapa kau tidak pernah memberitahuku selama ini?"
"Karena tidak ada alasan bagiku untuk memberitahumu. Atau siapa pun
juga," sahut Mia sambil mengangkat bahu.
Alis Ray berkerut samar. "Tapi kau memberitahu Alex," katanya sambil
melirik kakaknya.
Kali ini Alex membuka suara. "Itu karena aku menemukan obatnya tanpa
sengaja dan juga karena aku menemukannya ketika ia mendapat serangan.
Jadi dia tidak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya
kepadaku."
374
Ray terdiam sejenak, lalu kembali menatap Mia. "Tapi kau juga bisa
memberitahuku," ia bersikeras.
Kilatan kesal berkelebat di mata Mia dan tubuhnya menegang. "Maaf, Ray
tapi aku tidak tahu kenapa aku harus memberitahumu tentang penyakitku,"
tukasnya. "Kalau Alex tidak menemukan obatku dan tidak melihatku ketika
aku mendapat serangan, aku juga tidak akan memberitahunya."
Saat itu Alex menyentuh pundak Mia sekilas dengan tangannya yang
direntangkan di punggung sofa. Mia menoleh menatapnya dan Ray bisa
melihat ketegangan di bahu Mia perlahan-lahan menguap.
"Kurasa aku perlu beristirahat sekarang," gumam Mia perlahan. "Kalian
boleh meneruskan obrolan kalian."
Ray mengamati Mia yang bangkit dari sofa dan berjalan perlahan ke arah
kamar tamu yang kini ditempatinya. Gadis itu terlihat tidak sehat. Ray
belum pernah melihatnya seperti ini. Semua ini terasa sangat asing bagi
Ray.
Alex menghela napas pelan dan menatap Ray. "Tunggu di sini," gumamnya
sebelum bangkit dan berjalan menyusul Mia.
Ditinggal sendiri, Ray kembali memikirkan apa yang sudah didengarnya
malam ini. Mia sakit parah. Ray baru mengetahui hal itu hari ini,
sedangkan kakaknya sudah lama tahu. Ia tahu tidak sepantasnya berpikir
seperti ini, tetapi ia merasa Mia seharusnya lebih percaya padanya
daripada kakaknya. Bagaimanapun, Ray-lah yang lebih dulu mengenal Mia.
Ray-lah yang lebih dulu dekat
375
dengan Mia. Lalu kenapa Alex yang mendapatkan seluruh kepercayaan gadis
itu?
Dan tadi ketika kedua orang itu bertatapan... Ray mengernyit mengingat
bagaimana Mia berubah lebih tenang ketika ia menatap Alex. Seharusnya
dirinyalah yang ditatap Mia seperti itu. Seharusnya dirinyalah yang
memberikan ketenangan bagi Mia.
"Dia sedang tidak sehat hari ini. Tolong jangan membuatnya
kesal."
Suara Alex yang lelah menyentakkan Ray dari pikirannya yang kacau. Ia
mendongak dan melihat kakaknya duduk kembali di sofa sambil mengembuskan
napas panjang.
"Dan jangan lampiaskan kecemburuanmu padanya," lanjut Alex menatap Ray
lurus-lurus. Ada nada memperingatkan dalam suaranya yang pelan.
Tidak ingin membicarakan tentang kecemburuan pada kakaknya, Ray
mengalihkan pembicaraan. "Kalau jantungnya tidak memungkinkan baginya
untuk menari lagi, kenapa kau diam saja dan membiarkannya ikut dalam
pertunjukan Dee? Kenapa kau tidak menghentikannya?"
"Reaksi pertamaku ketika tahu dia menerima tawaran Dee adalah ingin
berteriak padanya dan memaksanya membatalkan niatnya," aku Alex. "Tapi
kurasa aku bisa memahami alasannya."
Ray mendengus.
"Kau juga penari. Coba tempatkan dirimu di posisinya," sela Alex,
mengabaikan dengusan Ray. "Kalau kau tidak bisa menari lagi, kalau kau
tidak bisa menjadi b-boy lagi dan tidak bisa melakukan
376
semua gerakan yang biasa dilakukan para b-boy, bagaimana perasaanmu?"
Ray tidak menjawab, tetapi ia memikirkan kata-kata kakaknya. Kalau ia
tidak bisa menjadi b-boy lagi, apa yang harus dilakukannya? Entahlah.
Mungkin ia akan depresi, lalu... Entahlah, ia tidak pernah benar-benar
memikirkannya.
"Apabila kau mendapat kesempatan menari sekali lagi sebelum harapan
untuk menari itu pupus sama sekali, bukankah kau akan mengambil
kesempatan itu?" lanjut Alex.
Ya, batin Ray, namun tidak menyuarakannya. Mereka berdua tidak berkata
apa-apa selama beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka
sendiri. Lalu Ray bertanya, "Apakah menurutmu dia akan baik-baik saja?"
"Dia akan baik-baik saja," sahut Alex yakin. "Dia pasti akan baik-baik
saja."
Ray mengangkat wajah menatap kakaknya dengan pandangan bertanya.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu, Alex? Bagaimana kau bisa setenang itu?
Jujur saja, saat ini pikiranku sangat kacau. Aku merasa tidak berdaya,
tidak berguna, dan tidak bisa berhenti mencemaskannya. Jadi katakan
padaku bagaimana kau bisa setenang ini? Kau tidak khawatir?" desaknya.
Alex mengernyit dan rahangnya mengeras. Ia menelan ludah dengan susah
payah dan Ray melihat tangan Alex terkepal di sisi tubuhnya. Kemudian ia
berdiri dari sofa, berjalan ke arah jendela dan berdiri di sana tanpa
berkata apa-apa. Hanya memandang kosong ke luar jendela. Selama satu
menit penuh apartamen itu diselimuti
377
keheningan. Lalu Alex menghela napas dan memecah keheningan. "Aku
khawatir," katanya lirih, tanpa memandang Ray. Tangannya terbuka dan
terkepal lagi di sisi tubuhnya. "Aku takut. Tapi aku tidak mungkin
menunjukkan apa yang kurasakan di hadapannya."
Suara kakaknya terdengar serak, tercekat, dan ia belum pernah melihat
kakaknya seperti ini.
"Setiap kali kondisinya memburuk dan dia hampir tidak bisa berjalan, aku
bisa merasakan rasa frustasinya dan aku berharap aku bisa memberikan
seluruh tenagaku kepadanya," lanjut Alex, masih dengan nada serak dan
pandangan menerawang yang sama. "Setiap kali ia mendapat serangan dan
menangis menahan rasa sakit, aku berharap bisa menggantikannya dan
mengambil semua rasa sakit itu darinya supaya dia tidak perlu merasakan
rasa sakit sedikit pun." Alex menelan ludah lagi. "Dan ketika dia jatuh
pingsan, aku berani bersumpah aku merasakan jantungku berhenti berdetak
dan ketakutan besar, yang belum pernah kukenal. Seluruh diriku terasa
lumpuh. Pada saat seperti itu aku mulai membayangkan kemungkinan
terburuk, lalu aku sadar aku sama sekali tidak siap menerima kemungkinan
terburuk. Dan kesadaran itu membuat ketakutan yang sudah ada berlipat
ganda."
Ray menahan napas mendengar pengakuan Alex. Ia bisa melihat dan
merasakan kekhawatiran kakaknya. Mereka memang memiliki hubungan yang
dekat sejak kecil, namun Ray merasa inilah pertama kalinya Alex
mencurahkan isi hatinya dengan jujur. Mungkin ketakutan dan kekhawatiran
yang dipendamnya secara paksa selama ini mulai mencekiknya, membuatnya
sulit bernapas,
378
dan ia harus menceritakannya kepada seseorang sebelum ia menjadi gila.
"Tapi aku tidak bisa menunjukkan kelemahan seperti itu di hadapannya.
Dia membutuhkan seseorang yang bisa mendukungnya, seseorang yang bisa
membantunya ketika dibutuhkan, yang bisa diandalkannya, seseorang yang
bisa meyakinkannya bahwa segalanya akan baik-baik saja." Alex menoleh ke
arah Ray dan tersenyum samar. "Jadi kuputuskan aku harus menjadi orang
seperti itu."
Sejenak Ray tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa terpana dalam diam
ketika menyadari perasaan Alex. Lalu ia mengembuskan napas yang
ditahannya dan membuka mulut menanyakan hal yang sebenarnya sudah
diyakininya, tetapi ia hanya ingin mengucapkannya untuk menegaskan
kenyataan. "Kau... sangat mencintainya, bukan?"
Alex mengerjap. Matanya yang muram terlihat berkaca-kaca ketika
menggumamkan dua patah kata dari dasar jiwanya dengan lirih.
"Sepenuh hati."
379
Bab Tiga Puluh Empat
"PERHATIAN, para penari. Sepuluh menit lagi geladi bersih akan
dimulai. Harap bersiap di posisi yang sudah ditentukan."
Mia menelan obatnya dan menoleh ke arah pengeras suara yang terpasang di
langit-langit di sudut ruang ganti pribadinya dalam gedung pertunjukan.
Ia memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas panjang, lalu membuka
matanya dan mengamati bayangan dirinya di cermin. Ia tahu wajahnya pucat
pasi di balik riasan wajahnya yang tebal, namun yang penting
orang-orang lain tidak tahu.
Ia tidak merasa sehat hari ini. Ia merasa demam. Ia merasa seolah-olah
melayang. Kepalanya terasa ringan. Jantungnya juga berdebar tidak
beraturan. Dan itu bukan karena ia gugup menghadapi geladi bersih. Ia
hanya berharap semoga obat yang diminumnya bisa membuatnya bertahan
sampai akhir latihan terakhir ini.
Tepat pada saat itu pintu ruang gantinya terbuka dan Aaron melongokkan
kepalanya ke dalam ruangan. "Hei, sudah siap?" tanyanya sambil tersenyum
lebar.
Mia berbalik dan memaksakan seulas senyum kepada Aaron. "Ya," sahutnya.
"Ayo, kita pergi."
380
Ketika mereka berjalan berdampingan di koridor yang dipenuhi para penari
dan petugas panggung yang sibuk bersiap-siap, Aaron menunduk menatap
Mia dan bertanya, "Kau pendiam sekali hari ini. Kau baik-baik saja?"
Tidak. "Ya," sahut Mia dan kembali menyunggingkan seulas senyum kaku
yang diharapkannya bisa meyakinkan Aaron. "Hanya gugup."
Aaron tertawa. "Yang benar saja, Mia. Kau tidak pernah gugup," katanya.
"Kau tidak pernah gugup karena kau tahu kau akan melakukannya dengan
sempurna."
Mia hanya tersenyum lemah. "Kulihat banyak pers yang datang memenuhi
undangan Dee untuk menyaksikan geladi bersih kita," komentar Aaron.
"Sepertinya mereka ingin melihat Mia Clark yang sudah sering
disebut-sebut sebagai salah satu penari kontemporer terbaik di Amerika
Serikat, kalau bukan di dunia.
"Oh ya?" guman Mia agak gugup.
Selain beberapa tamu undangan, termasuk orangtua para penari, pers juga
selalu diundang menghadiri geladi bersih suatu pertunjukan sehingga bisa
memberikan ulasan di media yang mereka wakili, yang nantinya akan
menentukan kesuksesan pertunjukan secara keseluruhan. Ini berarti Mia
harus berusaha sebaik-baiknya sehingga pertunjukan mereka ini mendapat
ulasan yang baik di media.
"Apakah orangtuamu datang menontonmu hari ini?" tanya Aaron lagi.
381
"Ya," sahut Mia pendek. Ia mengundang orangtuanya dan Alex untuk
menonton geladi bersih ini. Tentu saja mereka juga akan menonton
pertunjukan resminya akhir pekan nanti, bersama kakek, nenek, dan
anggota keluarga besarnya yang lain.
"Dua menit lagi!" seru salah seorang petugas panggung ketika Mia dan
Aaron mengambil posisi masing-masing di balik panggung.
Saat itu tangan Mia mulai terasa kebas. Butir-butir keringat mulai
bermunculan di keningnya padahal ia belum menari. Kesadarannya mulai
kabur. Tetapi ia tidak bisa mundur sekarang. Musik sudah dimulai, layar
sudah diangkat. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menegakkan
tubuh, melupakan penyakitnya untuk sementara, mengangkat dagunya
tinggi-tinggi, dan berlari ke tengah panggung, ke arah gemuruh tepuk
tangan penonton, dan melakukan apa yang dilakukannya seumur hidupnya.
Ia mulai menari.
*****
Alex melirik Mrs. Clark yang duduk di kursi di sebelah kanannya. Wanita
itu menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan tisu yang sudah
basah karena sudah digunakan sejak tadi. Mr. Clark, yang menempati kursi
di sebelah kanan Mrs. Clark, mengenggam tangan istrinya erat-erat
sementara pandangannya tak terlepas dari sosok putrinya yang sedang
menari di panggung. Sinar bangga terlihat jelas di matanya, membuat
tenggorokan Alex tercekat.
382
Mrs. Clark bukan satu-satunya orang yang meneteskan air mata di dalam
teater itu. Alex melihat beberapa orang penonton wanita juga menekankan
tisu dan sapu tangan mereka ke sudut mata atau pipi mereka. Seluruh
penonton tersihir pada saat yang sama. Mereka semua tidak mampu
melepaskan pandangan dari penari yang mencurahkan segenap jiwa dan
raganya di atas panggung itu.
Alex kembali menatap sosok Mia yang kini sedang diangkat dan diputar
oleh Aaron Rogers. Walaupun ini kedua kalinya ia melihat Mia menari, ia
tetap terpesona. Gadis itu memang terlahir untuk menari. Caranya
bergerak sangat berbeda dengan penari lain di atas panggung. Ia bergerak
dan menari dengan keanggunan, kelas, dan kehebatan penari tingkat
dunia.
Terlebih lagi, ia tidak hanya sekedar menari. Ia bercerita. Ia bercerita
melalui gerakan tubuh dan raut wajahnya. Seorang penari harus bisa
menyampaikan suatu kisah. Dan kisah yang disampaikan Mia saat itu
membuat semua orang terperangkap dalam sihirnya.
Ketika geladi bersih itu berakhir, tepuk tangan terdengar bergerumuh
memenuhi teater. Alex sendiri bertepuk tangan begitu keras sampai
tangannya mati rasa. Bisa dipastikan bahwa produksi Dee Black ini akan
mendapat ulasan hebat di media. Alex dan orangtua Mia segera pergi ke
belakang panggung yang penuh sesak untuk menemui Mia. Mereka akhirnya
menemukan Mia di depan ruang gantinya bersama Dee. Dee terlihat begitu
gembira sampai ia nyaris meledak.
383
"Oh, sayangku, kau benar-benar hebat tadi," seru Dee sambil memeluk Mia
erat-erat. "Aku yakin pertunjukan kita akhir pekan nanti akan luar
biasa. Aku yakin sekali!"
Mia terlihat lelah, namun ia tersenyum lebar. Dan ketika ia melihat
orangtuanya menghampirinya, ia melepaskan diri dari pelukan Dee dan
beralih memeluk kedua orangtuanya bergantian. Lalu ia menghampiri Alex
yang berdiri di belakang orangtuanya.
"Kau berhasil melakukannya, Clark. Dan harus kuakui kau memang luar
biasa tadi. Ibumu menangis terus sepanjang tarianmu," gumam Alex sambil
tersenyum menatap gadis yang terengah-engah di depannya.
Tanpa berkata apa-apa, Mia berjinjit, dan merangkul leher Alex dan
memeluknya erat-erat. "Terima kasih, Alex," bisiknya sambil tersengal.
Alex juga melingkarkan lengannya memeluk tubuh Mia yang ramping. Namun
alisnya berkerut samar ketika ia merasa sekujur tubuh Mia gemetar.
"Clark, kau tidak apa-apa?"
Mia melepaskan pelukannya, lalu menatap Alex dan orangtuanya. "Ayo, kita
masuk ke ruang gantiku," gumamnya lirih. "Kurasa aku harus duduk."
"Sayang, ada apa?" tanya ayah Mia ketika menyadari putrinya tidak
terlihat baik. Ia menangkup pipi Mia dengan kedua tangannya dan menatap
putrinya dengan cemas.
Namun Mia tidak sempat menjawab, karena tepat pada saat itu kepalanya
terkulai ke belakang dan ia sudah pasti akan terjatuh ke lantai kalau
saja ayahnya tidak segera menahannya.
384
Bab Tiga Puluh Lima
ORANGTUA Mia mendesak Alex pulang malam itu untuk
beristirahat dan membiarkan mereka yang menemani Mia di rumah sakit.
Mereka berjanji akan langsung mengabari Alex apabila Mia sudah sadarkan
diri. Alex pun pulang dengan enggan setelah berjanji pada orangtua Mia
bahwa ia akan kembali besok pagi untuk menggantikan mereka menemani Mia
sehingga mereka bisa pulang dan beristirahat sejenak.
Tentu saja Alex sama sekali tidak bisa tidur.
Setiap kali memejamkan mata, ia kembali merasakan ketakutan dingin yang
mencengkeram dirinya ketika melihat Mia jatuh pingsan dalam pelukan
ayahnya. Dokter memang berhasil menstabilkan keadaannya, tetapi kini
mereka harus menunggu sampai Mia sadarkan diri.
Sejak Mia jatuh pingsan, Alex hampir tidak bisa merasakan apa pun
kecuali rasa dingin yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Berpikir juga
terbukti agak sulit karena otaknya serasa berkabut. Dirinya hanya
berfungsi secara otomatis, tanpa benar-benar disadarinya.
Alex berbaring di ranjangnya dan menatap kosong ke arah langit-langit.
Sesekali ia melirik ponselnya yang tepat berada di
385
samping kepalanya, memastikan alat itu dalam keadaan menyala. Ia juga
terus melirik jam di atas meja di samping tempat tidur, berharap pagi
cepat tiba sehingga ia bisa pergi ke rumah sakit. Namun menjelang jam
lima pagi, Alex akhirnya terlelap, dan terbangun tiga jam kemudian
karena dering ponsel.
Dari orangtua Mia.
Mereka mengabarkan bahwa Mia sudah sadarkan diri. Setelah mendengar itu,
Alex pun akhirnya bernapas kembali.
*****
Ketika masuk ke kamar rawat Mia, ia melihat gadis itu sedang duduk
bersandar di bantal-bantal di atas ranjang sambil mengobrol dengan kedua
orangtuanya. Begitu melihat Alex, Mia langsung tersenyum cerah
kepadanya. Gadis itu terlihat ceria seperti biasa— walaupun wajahnya
tetap pucat—seolah-olah kemarin ia sama sekali tidak jatuh pingsan.
"Nah, Sayang, karena Alex sudah datang, ayah dan ibumu akan pulang
sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Kami akan datang lagi nanti
siang," kata ayahnya.
"Baiklah, Dad," sahut Mia.
Sementara Mr. Clark mencium kening putrinya, Mrs. Clark menoleh ke arah
Alex dan berkata, "Oh, ya, Alex, kuharap kau tidak keberatan aku
meminjam kunci apartemenmu dari Mia. Mia butuh pakaian ganti dan kupikir
aku akan mampir ke apartemenmu dalam perjalanan kembali ke sini nanti
siang untuk mengambil pakaiannya."
386
Alex menggeleng. "Tidak, Mrs. Clark, aku sama sekali tidak keberatan.
Silahkan saja."
Mrs. Clark tersenyum berterima kasih. Lalu ia berbalik ke arah putrinya
untuk mencium pipinya dan kali ini Mr. Clark yang menoleh ke arah Alex.
"Dr. Schultz sudah memeriksanya tadi," katanya kepada Alex. "Dan katanya
anak ini harus beristirahat total sepanjang hari ini."
"Ya, Sir," sahut Alex. "Akan kupastikan dia beristirahat sepanjang hari
ini."
Mr. Clark menepuk pundak Alex sambil tersenyum. "Kuserahkan putriku
kepadamu."
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada putri mereka dan Alex,
pasangan Clark pun pergi.
"Hei."
Alex mengalihkan pandangan dari pintu dan menatap Mia. "Hei juga,"
balasnya sambil duduk di kursi di samping ranjang yang sebelumnya
diduduki ibu Mia. "Jadi bagaimana perasaanmu hari ini?"
"Jauh lebih baik." Mia menatap Alex dengan alis terangkat. "Tapi kau
terlihat kacau."
"Kalau kau mengalami apa yang kualami kemarin malam kau juga akan
terlihat seperti aku sekarang," kata Alex sambil tersenyum kecil.
Mia balas tersenyum muram. "Aku membuat kalian semua cemas, bukan?"
387
Alex meraih tangan kiri Mia dan menggenggamnya sejenak. Matanya masih
terpaku pada tangan Mia yang berada dalam genggamannya ketika ia berkata
pelan, "Tolong jangan membuatku cemas lagi."
Mia menatapnya, namun tidak menjawab. Sebaliknya ia bertanya, "Jadi
bagaimana reaksi semua orang ketika tahu aku jatuh pingsan di belakang
panggung? Bagaimana reaksi Dee?"
"Mereka khawatir, tentu saja. Tapi kami meyakinkan mereka bahwa kau
kecapekan dan butuh istirahat total selama beberapa hari," sahut Alex.
"Dan itulah yang harus kau lakukan. Istirahat."
"Jangan khawatir. Tolong sampaikan pada Dee bahwa aku akan beristirahat
sepanjang hari ini dan besok. Aku memang perlu memulihkan tenagaku untuk
pertunjukan lusa."
Alex menegang. Ia melepaskan tangan Mia dan mendesah, "Kau akan tetap
melakukannya, bukan? Tampil dalam pertunjukan itu, maksudku."
Mia dengan cepat berbalik menggenggam tangan Alex sebelum Alex menjauh.
"Alex," panggilnya dengan nada memohon. "Kau tahu aku akan melakukannya.
Aku harus melakukannya."
Alex menghela napas. "Kau tidak harus melakukannya," bantahnya. "Apakah
kau pernah berpikir apa yang akan terjadi kalau kau jatuh pingsan di
tengah-tengah pertunjukan?"
"Maka aku akan jatuh pingsan di tengah-tengah pertunjukan," sahut Mia
sambil tertawa kecil.
Alex mengerutkan kening. "Clark, ini tidak lucu."
388
Raut wajah Mia berubah serius. Ia menatap Alex dengan menyesal. "Aku
tahu. Maafkan aku," gumannya. "Dengar, kemarin aku memang merasa tidak
sehat. Tapi aku yakin setelah beristirahat penuh selama dua hari, aku
merasa cukup sehat untuk tampil sekali lagi. Aku akan baik-baik saja."
Alex menatap Mia dengan tatapan tidak percaya. Ia memejamkan mata dan
berusaha menarik napas untuk menenangkan diri. Gadis itu masih
menggenggam tangannya dengan erat.
"Alex?" panggil Mia pelan.
Alex membuka mata dan menatap Mia, tidak bisa menyembunyikan sinar
ketakutan dalam matanya. "Aku hanya tidak ingin kejadian seperti kemarin
terulang lagi," gumam Alex.
Mia menyandarkan kepalanya kembali ke bantal dan memiringkan kepala
menatap Alex. Tangannya masih menggenggam tangan Alex dan Alex
membiarkannya. Sejenak gadis itu tidak berkata apa-apa, lalu ia menelan
ludah dan berkata pelan, "Kejadian seperti kemarin akan terulang lagi,
Alex. Tunggu, jangan menyelaku. Dengarkan." Ia meremas tangan Alex tanda
memohon. "Kita tahu jantungku memburuk setiap hari dan obat-obatan yang
kuminum selama ini sama sekali tidak membantu, jadi ya, kejadian
seperti kemarin akan terulang lagi. Aku akan mendapat serangan lagi dan
aku mungkin akan jatuh pingsan lagi. Tidak ada yang bisa kita lakukan
untuk mencegahnya, kecuali aku mendapat jantung baru."
Alex mengernyit mendengar kenyataan itu, tetapi Mia dengan tegas
melanjutkan, "Kau tentu tahu kemungkinan menemukan donor jantung yang
sesuai untukku tidaklah mudah. Namaku memang
389
sudah tercantum dalam daftar pasien yang membutuhkan donor jantung, tapi
yang membutuhkan donor jantung di negara ini bukan hanya aku."
Tenggorokan Alex serasa tercekat. Ia tetap diam. Ia takut apabila ia
mencoba bersuara, ia akan melakukan sesuatu yang bodoh seperti
meneteskan air mata saat itu juga.
"Kau mau kuberitahu satu rahasia?" bisik Mia tiba-tiba.
Alex menatap gadis pucat yang terlihat rapuh itu dan meremas tangannya,
memintanya melanjutkan. Mia tersenyum padanya. "Kau masih ingat hari
pertama kita bertemu?‖
Sudut-sudut bibir Alex tertarik ke atas membentuk senyum kecil ketika
mengingat pertemuan pertama mereka, ketika gadis itu jatuh dari tangga,
menubruknya, dan mencederai tangannya. "Kau membuat tanganku patah,"
guman Alex. Suaranya terdengar serak.
"Aku tidak mematahkan tanganmu!" protes Mia sambil tertawa. "Tanganmu
hanya terkilir."
Alex tersenyum, namun tidak membantah. Setelah tawanya mereda, Mia
bertanya pelan, "Kau tahu, kau tidak pernah bertanya kepadaku kenapa aku
bisa terjatuh dari tangga hari itu."
Alex mengerjap tidak mengerti. "Apa?"
"Kau tidak pernah bertanya kenapa aku bisa terjatuh dari tangga hari
itu," ulang Mia.
Benar juga, pikir Alex. Ia tidak pernah memikirkannya. Waktu itu ia
terlalu marah kepada gadis itu untuk berpikir tentang apa pun. Ia bahkan
tidak mau tahu apa pun yang menyangkut Mia. Saat itu ia
390
hanya ingin Mia jauh-jauh darinya. Tetapi sekarang, kalau dipikir-
pikir...
"Kenapa kau bisa terjatuh dari tangga hari itu?" tanya Alex. Mia
memalingkan wajah menatap ke luar jendela dan menarik
napas dalam-dalam. "Pagi itu sebelum aku pergi ke Small Steps, aku pergi
menemui Dr. Schultz karena dia sudah mendapatkan hasil tes jantungku,"
jelasnya. Suaranya terdengar jauh, datar, seolah-olah ia sedang
berbicara dalam pikirannya sendiri. "Aku diberitahu bahwa setelah semua
usaha yang kulakukan selama berbulan-bulan, setelah meminum sekian
banyak obat mengerikan yang kadang-kadang menimbulkan efek samping,
setelah mengikuti diet ketat yang dianjurkan, setelah melakukan semua
yang harus kulakukan demi mendapatkan sedikit harapan bahwa kondisi
jantungku bisa membaik, jantungku tetap tidak menunjukkan tanda-tanda
membaik. Malah hasil tes menunjukan kondisi jantungku semakin lemah.
―Dr. Schultz berusaha bersikap optimis, tapi aku tahu dia mulai
kehilangan harapan. Aku juga mulai kehilangan harapan. Jadi hari itu
ketika kau pergi ke Small Steps, keadaan jiwaku sedang kacau. Aku merasa
tertekan, putus asa, juga marah. Aku tidak tahu aku marah pada siapa.
Mungkin pada hidup yang kupikir tidak adil. Aku bahkan tidak menyadari
semua yang terjadi di sekelilingku saat itu. Hal berikut yang kusadari
adalah aku berdiri di puncak tangga, memandang ke bawah, dan berpikir
bagaimana jadinya kalau aku melepaskan pegangan tanganku dan membiarkan
diriku jatuh. Apakah aku akan mati? Atau apakah aku akan cacat?" Mia
tertawa
391
tawar. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jiwaku sedang tidak
seimbang."
Alex menatap Mia tanpa berkedip. Ia terlalu terkejut mendengar pengakuan
gadis itu. Lalu Mia kembali menoleh ke arah Alex dan berkata, "Tepat
setelah aku berpikir seperti itu, aku mendengar suaramu dan Ray. Suaramu
dan Ray mengejutkanku dari pikiranku yang buram, namun sudah terlambat
untuk menghentikan apa yang terjadi. Kau tahu apa yang kupikirkan ketika
aku sadar bahwa aku akan jatuh dari tangga? Aku berpikir aku masih
belum ingin mati. Aku juga tidak ingin menjadi orang cacat. Aku masih
ingin menari. Semua itu melintas cepat dalam pikiranku sampai aku
menubrukmu."
Mia menatap Alex dengan mata berkaca-kaca. "Aku—yang awalnya berpikir
ingin mencelakai diri sendiri—pada akhirnya malah membuatmu celaka. Kau
tidak bisa membayangkan betapa menyesalnya aku saat itu. Kau celaka
karena kebodohanku." Ia tersenyum sedih. "Dan itulah sebabnya aku
bersikeras menawarkan diri membantumu walaupun saat itu kau jelas-jelas
membenciku dan sama sekali tidak mau berurusan denganku."
Alex mencondongkan tubuh ke depan dan menopangkan sikunya di ranjang
Mia. Ia menatap mata Mia lurus-lurus dan berkata pelan dan tegas, "Aku
tidak membencimu."
Mia tersenyum mengerti. "Tapi akhirnya kau menerima bantuanku, walaupun
dengan berat hati, dan karena itu kau memberiku alasan untuk hidup." Ia
mengangguk ketika Alex terlihat bingung. "Menjadi pengurus rumahmu
memberiku alasan untuk
392
menjalani hidupku. Lalu perlahan-lahan aku sadar bahwa kau juga menjadi
salah satu alasanku untuk bertahan hidup."
Alex tertegun. Apakah maksud gadis itu sama seperti yang dipikirkannya?
Apakah ia boleh berharap Mia membalas perasaannya?
Tetapi sebelum Alex sempat berpikir lebih jauh, Mia menarik tangannya
dari tangan Alex. "Kau tahu apa yang sangat kuinginkan sekarang?"
tanyanya sambil tersenyum pada Alex.
"Apa?" Alex balas bertanya, berusaha mengabaikan rasa dingin yang
menghinggapi tangannya setelah Mia melepaskannya.
"Aku ingin mendengar laguku." "Lagumu?"
"Sunshine Becomes You," kata Mia. Lalu setelah berpikir sejenak, ia
menambahkan, "Atau Thinking of Clark?"
Alex tertawa dan bangkit dari kursinya. "Baiklah, tunggu di sini
sebentar."
*****
Sepuluh menit berlalu dan Alex masih belum kembali. Mia mulai
bertanya-tanya apa yang dilakukan Alex. Tetapi tepat saat itu pintu
terbuka dan Alex masuk sambil mendorong kursi roda.
"Alex, kau dari mana saja?" tanya Mia langsung. "Dan kenapa kau membawa
kursi roda?"
Alex tersenyum lebar. "Tadi aku bertanya kepada perawat apakah ada piano
di rumah sakit ini. Katanya ada satu piano tua di
393
ruang bermain bangsal anak," jelasnya. Lalu ia menepuk pegangan kursi
roda ini untukmu. Ayo, duduklah di sini dan aku akan membawamu ke
bangsal anak."
Mia menatap kursi roda itu dengan alis terangkat."Atau kau lebih suka
aku menggendongmu ke sana?" pancing Alex.
"Sepertinya kursi roda lebih aman."
Alex menyipitkan mata. "Aku tahu kau berbohong," katanya dan terkekeh
pelan, "tapi tidak apa-apa. Ayo kita pergi."
Mereka akhirnya tiba di ruang bermain bangsal anak di lantai enam
setelah menanyakan arahnya kepada dua perawat. Tidak ada seorang pun di
ruang bermain pagi ini. Alex mendorong Mia dan kursi rodanya ke arah
piano berwarna hitam di salah satu sisi ruangan. Setelah menempatkan
kursi roda Mia di samping bangku piano, Alex pun membuka tutup piano dan
melarikan jemarinya di atas deretan tuts piano.
"Hm, masih cukup bagus," gumamnya, lebih pada diri sendiri. Lalu ia
menoleh kepada Mia. "Oke, siap?"
Mia merapatkan selimut di sekeliling tubuhnya dan mengangguk. Lalu
kesepuluh jari Alex yang ramping mulai bergerak di atas tuts-tuts piano
dan alunan yang indah pun mulai terdengar. Mia memejamkan mata dan
kembali membayangkan sinar matahari, padang rumput hijau di bawah langit
biru yang luas, rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin, dan musim
semi.
Mendengar bunyi gemerisik samar di belakangnya, Mia membuka mata dan
menoleh. Matanya melebar melihat orang-orang yang bergerombol di ambang
pintu dan berdiri di luar jendela,
394
berusaha melihat ke ruang bermain itu melalui kaca jendela. Lalu
bibirnya melengkung membentuk senyum lebar saat melihat rombongan kecil
penonton Alex, yang terdiri atas enam perawat, tiga dokter, beberapa
pasangan orangtua bersama anak-anak mereka, terlihat tidak bisa
melepaskan pandangan kagum dari sosok Alex yang sedang bermain piano.
Para wanita bahkan mendesah senang dan menempelkan tangan mereka ke dada
selama mereka mendengarkan permainan Alex.
Sama seperti Mia.
Di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya, tangan kanannya juga
terangkat ke dada. Sama seperti waktu itu, lagu ini seolah-olah menyusup
ke dalam dadanya, menyelinap ke dalam jiwanya, dan mengendap di sana.
Lagu ini memenuhi dada Mia dengan harapan dan kebahagiaan. Dan Mia ingin
mempertahankan perasaan ini selama mungkin di dalam dadanya.
Ketika lagu itu berakhir, Mia dan orang-orang yang menonton dari luar
ruangan bertepuk tangan. Alex terkejut ketika melihat ia telah
mengumpulkan serombongan kecil penonton. Ia berdiri dan membungkuk ke
arah penonton dengan resmi.
"Kau membuat mereka terpesona," kata Mia ketika para penonton sudah
menghilang dari ambang pintu.
"Benarkah?" gumam Alex sambil menatap Mia. "Padahal aku hanya ingin
menawan hati satu orang." Mia tidak berkomentar. Ia mengalihkan
pandangannya dan menunduk menatap tuts piano. Jari telunjuknya menekan
salah satu nada dengan kikuk. "Terima kasih karena sudah memainkannya
untukku," katanya.
395
Alex merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas biru dan
menyodorkannya kepada Mia. Alis Mia terangkat melihat Voucher Permintaan
kepada Mia Clark di depan hidungnya. "Apa?"
"Untuk berterima kasih padaku, aku ingin kau mengabulkan satu
permintaanku," kata Alex ringan. Mia tertawa dan menerima voucher itu.
"Apa permintaanmu?"
"Biarkan aku menciummu."
*****
Alex melihat tubuh Mia menegang begitu ia mengucapkan permintaannya. Ia
tahu permintaannya mendadak, tetapi ia ingin gadis itu memahami
perasaannya tanpa kata-kata. Alex ingin Mia Clark merasakan apa yang
dirasakannya dalam hati. Alex ingin Mia mengerti bahwa ia sudah menjadi
bagian terpenting dalam hidup Alex, bahwa Alex bersedia menggerakkan
langit dan bumi demi dirinya, bahwa Alex bahkan bersedia menyerahkan
jantungnya untuk Mia seandainya itu bisa membuat gadis itu tetap
bertahan hidup.
Mata hitam Mia masih menatap mata Alex dalam-dalam dan Alex tidak tahu
apa yang kini sedang berkelebat dalam pikirannya, atau apa yang sedang
dicari gadis itu. Alex yakin Mia mendengarnya tadi. Ia yakin...
"Baiklah."
396
Sepatah kata itu diucapkan dengan begitu lirih sampai Alex hampir tidak
mendengarnya. Ia mengerjap dan menatap Mia meminta penegasan.
Seulas senyum samar dan ragu tersungging di bibir Mia. "Kurasa aku bisa
mengabulkannya," gumamnya.
Alex menelan ludah. Jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut
jantungnya akan melompat keluar dari dadanya. Ini konyol. Ini bukan
ciuman pertamanya, lalu kenapa ia mendadak berkeringat dingin seperti
ini?
Karena ini Mia Clark. Gadis yang memiliki hati Alex dalam genggaman
tangannya. Alex mencondongkan tubuh dengan perlahan, memberi kesempatan
kepada Mia untuk mengurungkan niat. Tetapi Mia tetap diam dan membiarkan
Alex mendekatinya.
Ketika pada akhirnya Alex menyentuhkan bibirnya ke bibir Mia, kepalanya
terasa begitu ringan sampai ia merasa seolah melayang dan dadanya terasa
begitu penuh sampai ia merasa akan meledak. Bibir Mia terasa dingin dan
Alex tidak melakukan apa pun selain menempelkan bibirnya ke bibir Mia.
Ia tidak ingin membuat gadis itu ketakutan.
Ciuman kecil itu hanya berlangsung selama lima detik. Setelah itu Alex
menarik diri dan tersenyum kecil kepada Mia. "Nah, tidak sesulit
dugaanmu, bukan?" tanyanya dengan nada bergurau. "Kuharap tidak terlalu
mengerikan."
Mia memperbaiki letak selimut di sekeliling tubuhnya, berusaha
menenggelamkan diri di dalamnya. Ia terlihat malu dan canggung, namun ia
membalas senyum Alex. Jadi Alex merasa lega.
397
Selama beberapa saat mereka hanya duduk diam, sibuk dengan pikiran
masing-masing. Lalu Alex memecah keheningan nyaman yang menyelubungi
mereka.
"Aku mencintaimu."
Sekali lagi Alex merasa Mia Clark menegang di sampingnya. Alex
mengembuskan napas dengan pelan. Akhirnya ia
mengatakannya. Ia sudah mengatakannya. Dan ia memang merasa sedikit
lebih lega setelah menyuarakan apa yang ada dalam hatinya.
"Tapi kurasa kau sudah bisa menebaknya," lanjut Alex dengan nada lebih
ringan. Mia masih diam seribu bahasa, masih tidak menatap Alex, masih
tidak bergerak sedikit pun. Alex bertanya-tanya apakah ia melangkah
terlalu cepat. Tetapi ia memang hanya ingin gadis itu tahu. Hanya itu.
Setidaknya untuk saat ini. Jadi walaupun Mia tidak bereaksi, Alex tidak
akan memaksa, karena ia tahu Mia mendengar kata-katanya dengan jelas.
"Aku hanya ingin mengatakannya, jadi kau tidak perlu merasa terbebani,"
lanjut Alex.
Hening lagi. Tetapi kali ini keheningan yang menyelimuti mereka tidaklah
senyaman keheningan sebelum pengakuan Alex. Ada sesuatu yang terasa
canggung di udara.
"Tapi ada satu hal yang ingin kuminta darimu." Alex menghela napas dan
kembali membuka suara. "Berjanjilah padaku kau akan bertahan hidup."
Mia mengerjap. "Kalau bukan untukku, lakukanlah untuk dirimu sendiri."
398
Hening. Kemudian Alex mendengar Mia menghela napas singkat sebelum
akhirnya membuka suara. "Aku berjanji aku akan bertahan hidup," katanya
pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari tuts piano. "Aku akan menari
sekali lagi dan aku akan bertahan hidup. Lalu aku akan tetap bertahan
hidup sampai aku mendapat jantung baru. Untukku... Untuk orangtuaku...
Untukmu."
399
Bab Tiga Puluh Enam
AKHIR pekan itu Mia kembali ke atas panggung. Gedung
pertunjukan penuh. Tidak ada satu pun tempat duduk kosong malam itu.
Semua orang ingin melihat Mia Clark menari setelah membaca dan mendengar
ulasan awal yang positif di media. Malam itu semua mata tertuju pada
Mia. Semua orang ingin melihat seperti apa Mia Clark
yang dipuji-puji Dee Black dan dianggap sebagai salah satu dari lima
penari kontemporer terbaik dunia. Mia memahami tanggung jawab yang
dibebankan kepadanya. Dan penampilannya sama sekali tidak mengecewakan.
Ia membuat semua penonton jatuh dalam pesonanya. Gedung pertunjukan
seolah-olah nyaris meledak ketika pertunjukan berakhir. Tepuk tangan
penonton seolah-olah tidak berakhir ketika Mia muncul di panggung untuk
memberi hormat setelah tirai diturunkan.
Seluruh keluarga besarnya bangga padanya. Orang-orang membahas
pertunjukan itu dengan nada kagum. Pers memuji-muji penampilan Mia dalam
ulasan mereka di berbagai media. Kini orang-orang mengenal nama Mia
Clark dan mengakuinya sebagai salah satu penari terbaik yang pernah ada.
Seperti yang bisa diduga, Mia merasa tidak sehat di akhir pertunjukan,
tetapi ia tidak jatuh pingsan seperti waktu itu. Ia jatuh
400
pingsan keesokan harinya. Dan sejak hari itu kondisinya terlalu lemah
sampai ia hampir tidak bisa melakukan apa pun dan ia bisa mengalami
serangan lebih dari satu kali dalam sehari.
Lima hari setelah pertunjukan, Dr. Schlutz mengharuskan Mia dirawat di
rumah sakit dan nama Mia kini berada di puncak daftar pasien yang
menunggu donor jantung.
Saat itu kondisi Mia tidak lagi menjadi rahasia. Bahkan Dee Black, yang
sebenarnya sudah kembali ke Miami bersama rombongannya, terbang kembali
ke New York untuk menjenguk Mia setelah mendengar kabar itu.
Orangtua Mia dan Alex adalah orang-orang yang paling sering menemani Mia
di rumah sakit. Namun setelah dua minggu di rumah sakit, Alex mulai
merasa Mia bersikap aneh padanya. Mia mulai mengacuhkannya. Gadis itu
juga jarang berbicara dengannya. Awalnya Alex masih merasa hal itu cukup
wajar. Bagaimanapun, saat ini Mia jauh lebih lemah daripada sebelumnya,
jadi wajar saja kalau kadang-kadang ia lebih suka berdiam diri.
Tetapi suatu pagi, ketika Alex baru datang menjenguknya seperti biasa,
Mia menatapnya dan bertanya datar, "Alex, kenapa kau datang ke sini
setiap hari?"
"Mm?" guman Alex sambil menatap Mia yang berbaring di ranjangnya. Gadis
yang dulunya ceria itu kini terlihat jauh lebih kurus, jauh lebih pucat,
dengan lingkaran hitam yang jelas di sekeliling matanya. Mia Clark
terlihat rapuh, dan satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa ia masih
berjuang dan bertahan adalah sinar matanya.
401
Mata hitam yang masih terlihat awas itu menatap Alex sejenak dengan
tajam, lalu Mia memalingkan wajah ke luar jendela kamarnya. "Kau tidak
perlu datang setiap hari," gumamnya.
Alex mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan."
"Tidak, pergilah," desak Mia. "Lakukan apa yang biasa kau lakukan
sebelum kau terpaksa menemaniku di sini."
Alex mengerutkan kening. "Tapi, Clark..."
"Pergilah," sela Mia lebih keras, masih tidak memandang Alex. Lalu ia
memejamkan mata dan bergumam pelan, "Tolong pergilah."
Sejak hari itu Mia menolak menemui Alex.
"Dia tidak mau menemuiku?" tanya Alex bingung ketika ia kembali ke rumah
sakit keesokan harinya. "Kenapa?"
Mrs. Clark mendesah berat dan menggeleng. "Aku tidak tahu, Alex. Mungkin
ia hanya ingin sendirian hari ini." Ia tersenyum menyesal, berusaha
menenangkan Alex. "Bagaimana kalau kau kembali lagi besok? Mungkin
perasaannya sudah lebih baik saat itu."
Tetapi Mia masih tidak mau menemui Alex keesokan harinya. Dan keesokan
harinya. Dan keesokan harinya lagi. Hal ini membuat Alex frustasi. Ia
tidak mengerti kenapa gadis itu tiba-tiba tidak mau menemuinya, tidak
mau berbicara dengannya, tidak mau berurusan dengannya. Gadis itu mau
menemui teman-temannya yang datang menjenguknya. Ia mau menemui Paolo
dan Eleanor, juga Ray dan Karl. Ia bahkan mau menemui orangtua Alex yang
datang menjenguknya. Tetapi ia bersikeras tidak mau menemui Alex. Alex
jadi bertanya-tanya apa yang sudah dilakukannya. Apa salahnya?
402
Apakah ia melakukan sesuatu yang membuat gadis itu marah? Ia sungguh
tidak mengerti.
Walaupun Mia menolak menemuinya, Alex tetap datang ke rumah sakit setiap
hari. Ia tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu. Ia
hanya ingin berada di dekat Mia. Walaupun saat ini gadis itu tidak
mengakui keberadaannya dan mengabaikannya, setidaknya Alex bisa duduk di
luar kamar Mia dan itu berarti ia masih bisa berada di dekat Mia.
*****
Hari ini adalah hari kelima belas Alex datang ke rumah sakit dan
diberitahu bahwa Mia masih tidak mau menemuinya. Alex hanya bisa
tersenyum lesu kepada Mrs. Clark yang terlihat tersiksa karena tidak
bisa membiarkan Alex masuk ke kamar rawat Mia. Tanpa berkata apa-apa,
Alex duduk di bangku tidak nyaman yang sudah sering didudukinya selama
dua minggu terakhir. Lima menit kemudian pintu kamar rawat Mia terbuka.
Alex mendongak dan melihat ayah Mia melangkah keluar.
Dari raut wajah pria yang kini terlihat jauh lebih tua daripada usia
sebenarnya itu Alex tahu bahwa Mr. Clark keluar bukan untuk menyuruh
Alex masuk.
"Ayo, Nak, temani aku minum kopi," ajak Mr. Clark kepada
Alex.
Alex bangkit dan mengikuti pria itu ke kafetaria.
403
"Kopi di sini mengerikan," komentar Mr. Clark ketika mereka sudah duduk
berhadapan di meja bundar kecil di kafetaria yang tidak terlalu ramai.
"Tapi kurasa kau harus menerima apa yang bisa kau dapatkan saat ini."
"Cla—maksudku Mia bisa membuat kopi yang sangat enak," kata Alex tanpa
berpikir.
Mr. Clark menatap Alex sejenak. Sinar matanya terlihat lembut, namun
sedih. "Dia sedang sakit," katanya kepada Alex dengan hati-hati. "Karena
itu dia tidak bersikap seperti dirinya yang biasa. Kuharap kau tidak
tersinggung atau marah karenanya."
Alex menunduk menatap kopi di tangannya. Tenggorokannya tercekat. Pria
yang duduk di hadapannya ini jelas-jelas sangat menderita karena
mencemaskan putrinya, tetapi ia masih bisa mencoba menghibur Alex. Ia
yakin saat ini orangtua Mia juga teramat sedih walaupun mereka tidak
bisa menunjukannya di depan putri mereka dan harus selalu bersikap kuat
serta positif.
"Aku mengerti," gumam Alex dengan suara serak. "Aku tidak marah, Mr.
Clark. Aku hanya berharap aku tidak melakukan sesuatu yang membuatnya
marah."
"Kau mencintainya, bukan?" tanya Mr. Clark pelan. Alex masih menunduk.
Mengakui perasaannya di depan ayah Mia tidaklah semudah yang
dibayangkan, jadi ia hanya mengangguk kecil.
"Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama."
Kali ini Alex mendongak, menatap pria di hadapannya dan tersenyum muram.
"Kuharap aku bisa seyakin Anda."
404
"Dia putriku. Aku mengenalnya," Mr. Clark menegaskan. Alex menghela
napas. "Aku hanya berharap bisa mendengarnya langsung dari mulutnya
suatu hari nanti. Mungkin kalau dia sudah bersedia menemuiku."
"Aku akan coba bicara padanya lagi," Mr. Clark menawarkan
diri.
Alex tersenyum berterima kasih kepada pria yang dihormatinya itu. Mr.
Clark sudah beberapa kali mencoba membujuk Mia tanpa hasil, tetapi pria
itu masih tetap ingin mencoba. Untuk itu Alex sangat berterima kasih.
Tiba-tiba Alex teringat sesuatu. Ia mengerjap ketika menyadari sesuatu
yang terlupakan olehnya. Kenapa ia bisa sebodoh ini?
"Ada apa, Alex?" tanya Mr. Clark agak cemas ketika melihat perubahan
raut wajah Alex.
Alex merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas lusuh.
Sepertinya kertas ini adalah harapan terakhirya untuk membuat Mia
bersedia menemuinya. Ia meletakkan kertas biru itu di atas meja dan
mendorongnya ke arah Mr. Clark yang menatapnya dengan bingung.
"Aku ingin meminta sedikit bantuan," pinta Alex. "Tolong berikan ini
kepadanya."
Mr. Clark memungut kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.
Ia tersenyum kecil, lalu kembali menatap Alex. "Dan permintaanmu?"
"Aku ingin diizinkan menemuinya. Satu kali lagi saja, kalau dia memang
tidak mau menemuiku lagi."
405
Mr. Clark mengangguk dan mengantongi Voucher Permintaan Kepada Mia
Clark. "Pasti akan kuberikan padanya."
Alex mendesah lega. Sebersit harapan terbit dalam hatinya. Gadis itu
akan mengabulkan permintaannya. Ia sudah berjanji. Jadi ia pasti akan
mengabulkan permintaan Alex. Akhirnya Alex bisa menemuinya. "Terima
kasih, Sir."
"Justru aku yang harus berterima kasih padamu, Alex." Alex terlihat
heran. "Untuk apa?"
"Karena sudah mencintai putriku."
*****
Baru dua hari kemudian Mia mengabulkan permintaan Alex dan mengizinkan
Alex masuk menemuinya. Mr. Clark menepuk pundak Alex dengan pelan ketika
ia dan istrinya keluar dari kamar Mia, meninggalkan Alex bersama Mia.
Setelah pintu kamar tertutup, Alex mengalihkan pandangan ke arah gadis
yang setengah berbaring bersandarkan bantal-bantal. Ia mendapati dirinya
tidak tahu harus mengatakan apa. Ketika tadi menunggu di luar kamar, ia
merasa ada banyak hal yang ingin dikatakannya kepada Mia. Banyak sekali
yang ingin ditanyakannya. Tetapi setelah berdiri di tengah-tengah kamar
dan setelah akhirnya berhadapan dengan Mia, Alex lupa apa yang ingin
dikatakannya. Isi pikirannya menguap begitu saja.
"Bagaimana kabarmu?"
406
Suara Mia yang lirih terdengar jelas di dalam kamar yang sunyi itu,
menyentakkan Alex dari lamunannya. Ia melihat jemari Mia memainkan ujung
selimut di pinggangnya dengan gugup. Matanya menatap Alex sekilas, lalu
beralih memandang ke arah lain.
"Sekarang sudah lebih baik," jawab Alex sambil berjalan menghampiri
ranjang Mia dan duduk di kursi yang tersedia di sisi kirinya.
Mia menelan ludah dengan susah payah, membasahi bibirnya yang pucat dan
kering, lalu kembali menatap Alex. "Jadi apa yang ingin kau katakan
padaku?"
Alex tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Mia dengan seksama,
memperhatikan pipinya yang pucat dan cekung, lingkaran hitam di
sekeliling matanya yang masih bersinar tajam. Gadis itu terlihat rapuh
dan dada Alex mendadak terasa nyeri. Begitu nyerinya sampai ia nyaris
sesak napas.
"Ini kedua kalinya kau menghindariku," gumam Alex perlahan. "Kenapa kau
menghindariku, Clark?"
Sesuatu berkelebat di mata gadis itu, namun ia mengerjap dan mata
hitamnya kembali datar seperti tadi. "Aku tidak menghindarimu,"
bantahnya. "Aku hanya tidak ingin kau menghabiskan waktumu di sini."
"Apa maksudmu menghabiskan waktuku?"
Mengabaikan pertanyaan Alex, Mia berkata, "Kau sudah di sini sekarang.
Sebaiknya kau mengatakan apa yang ingin kau katakan."
"Tolong jangan menghindariku."
407
Mia menatap Alex sejenak, lalu memalingkan wajah dan menatap lurus ke
depan. Alex bisa melihat tenggorokannya bergerak ketika Mia menelan
ludah dengan susah payah. Tetapi gadis itu hanya diam tanpa berkata
apa-apa. Alex mencondongkan tubuh ke depan. Sebelah tangannya terulur
hendak menyentuh tangan Mia. Namun tepat sebelum ujung jemarinya
menyentuh punggung tangan Mia, Alex mendadak ragu dan menghentikan
gerakannya. Apakah Mia akan menarik diri apabila Alex menyentuhnya? Alex
tidak bisa menghadapi penolakan lain saat ini. Ia merasa hatinya tidak
akan kuat menghadapinya kalau hal itu terjadi. Jadi ia mengurungkan
niatnya dan menarik kembali tangannya.
"Kalau aku membuatmu marah, maafkan aku," kata Alex. Mia mengerjap, lalu
berkata pelan, "Aku tidak marah padamu."
"Aku..." Suara Alex tercekat dan ia harus berhenti sejenak untuk
mengendalikan diri. Selama ini ia menganggap dirinya bukan orang yang
gampang terbawa perasaan, tetapi kali ini berbagai emosi berkecamuk
dalam dirinya dan membuatnya sesak. "Kalau kau tidak mau berbicara
denganku, tidak apa-apa," lanjutnya. "Kalau kau tidak mau aku berbicara
padamu, itu juga tidak apa-apa. Tapi tolong jangan menghindariku.
Biarkan aku di sini bersamamu."
Wajah Mia berkerut samar dan bibirnya terkatup rapat, namun matanya kini
berkaca-kaca. "Mungkin kau tidak membutuhkanku. Tapi aku
membutuhkanmu."
Setetes air mata jatuh dari sudut mata Mia dan ia cepat-cepat
menghapusnya. Tetapi Alex sudah melihatnya, dan harapannya
408
terbit tanpa bisa di cegah. Gadis itu tidak akan menangis kalau
kata-kata Alex tidak berpengaruh baginya, bukan?
Kali ini Alex memberanikan diri mengulurkan tangan dan menggengam tangan
kiri Mia. Gadis itu tidak menolak dan Alex merasa jantungnya berdebar
lebih keras dalam dadanya.
"Katakan padaku," bisik Alex sambil menatap Mia dengan sungguh-sungguh
walaupun gadis itu masih menatap lurus ke depan, "bagaimana perasaanmu
padaku?"
Begitu kata-kata itu meluncur dari mulut Alex, sebuah isakan lirih
terdengar dari mulut Mia. Air mata pun kembali mengalir sementara ia
memejamkan mata dan menggigit bibir.
"Apakah kau juga mencintaiku? Apakah ada sedikit saja kemungkinan kau
bisa mencintaiku?" tanya Alex lirih. Mendengar itu, air mata Mia tak
terbendung lagi. Tangan kanannya terangkat membekap mulutnya sementara
ia memejamkan mata dan terisak-isak sampai sekujur tubuhnya berguncang
keras. Melihat Mia menangis seperti itu membuat Alex merasa tersiksa.
Terlebih lagi karena ia tidak tahu kenapa Mia tiba-tiba menangis. Ia
hanya bisa melakukan apa yang menurutnya benar saat itu. Alex berdiri
dan duduk di samping Mia di ranjang. Tangannya merangkul bahu Mia dan
menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Alex membiarkan Mia menangis di
dadanya sementara ia menempelkan pipinya ke kepala Mia dan membisikkan
kata-kata yang diharapkannya bisa menenangkan gadis itu.
Mia membiarkan Alex memeluknya, membiarkan Alex menempelkan bibir di
keningnya, membiarkan Alex mengusap-usap
409
punggung dan lengannya untuk menenangkannya, namun ia tetap tidak
menjawab pertanyaan Alex.
*****
Dua minggu kemudian mereka mendapat berita bahwa jantung yang sesuai
untuk Mia sudah tersedia.
410
Bab Dua Puluh Tujuh
LAMPU merah itu masih menyala. Lima jam sudah berlalu, namun
operasi masih berlangsung. Seorang perawat kadang-kadang keluar dari
ruang operasi dan menyampaikan perkembangan selama operasi kepada
keluarga Mia. Sejauh ini perkembangan yang disampaikannya cukup positif.
Saat itu orang-orang berkumpul dan menunggu dengan tegang di ruang
tunggu adalah kedua orangtua Mia, kedua kakek dan neneknya, Alex dan
Ray. Ray ada di situ untuk menemani Alex. Ia tahu betapa pentingnya Mia
bagi kakaknya. Orang buta pun bisa melihat betapa Alex mencintai Mia.
Ray tahu Alex membutuhkan semua dukungan yang bisa didapatkannya saat
ini. Dan itulah yang akan diberikan Ray kepadanya.
Alex menopangkan kedua siku ke paha dan menangkup kepala dengan kedua
tangannya. Pikirannya melayang ke saat sebelum Mia dibawa ke ruang
operasi. Setelah kedua orangtuanya memeluk, mencium, dan mendoakannya,
Mia menoleh ke arah Alex dan memintanya mendekat tanpa suara.
Selama persiapan operasi, Alex menjaga jarak dari Mia. Ia merasa lega
dan gembira karena Mia tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk
mendapatkan jantung yang sesuai. Tetapi di dalam
411
hati kecilnya Alex merasa takut. Operasi transplantasi jantung bukan
operasi sepele. Bagaimana kalau terjadi komplikasi? Bagaimana kalau...?
Demi Tuhan, kenapa ia harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk?
Alex menghampiri ranjang Mia dan tersenyum padanya. Lalu ia meraih
tangan Mia dan menggenggamnya. Tangan Mia terasa kecil, rapuh, dan
dingin.
Mia tersenyum kecil. Dengan tangannya yang lain ia menyentuh pipi Alex.
"Kemarilah," bisiknya. Alex menunduk dan membiarkan Mia merangkul
lehernya dengan satu tangan sementara ia menyurukkan wajahnya ke bahu
Mia yang kurus. Lalu Alex mendengar gadis itu berbisik di telinganya,
"Doakan semoga operasiku berhasil."
Alex mundur sedikit supaya bisa melihat ke mata Mia. "Aku akan
menunggumu. Semoga berhasil. Dan kembalilah kepadaku."
Mata Mia berkaca-kaca, namun ia tersenyum dan menempelkan bibirnya yang
dingin ke pipi Alex sejenak sebelum akhirnya melepaskan rangkulannya.
Sekarang Alex duduk menunggu dengan tegang. Ia memandang ke sekeliling
ruangan dan melihat kecemasan yang sama di wajah semua orang di sana.
Alex kembali menunduk menatap lantai. Berapa lama lagi?
Semoga dia baik-baik saja. Semoga dia baik-baik saja.
Semoga dia...
Tiba-tiba Dr. Schultz melangkah masuk ke ruang tunggu dengan wajah
lelah, memotong doa Alex. Tanpa disadari, Alex
412
melompat berdiri dan menyerbu ke arah dokter itu bersama anggota
keluarga Mia yang lain.
"Operasinya berjalan baik," Dr. Schultz menenangkan orang-orang yang
mengerubunginya. "Semuanya berjalan sesuai harapan. Kami sudah melakukan
semua yang bisa kami lakukan. Jantung baru sudah berdetak di dalam
tubuh Mia. Yang harus kita lakukan sekarang adalah menunggu dan
mengawasi kondisinya selama seminggu ke depan. Dan berharap tubuh Mia
tidak menolak jantung baru yang diberikan kepadanya."
Sepertinya semua orang terlalu cepat merasa lega. Termasuk
Alex.
Tiga hari kemudian dokter mendapati bahwa tubuh Mia menolak jantung
barunya.
Para dokter dengan sangat menyesal berkata bahwa tidak ada lagi yang
bisa mereka lakukan.
Dan Mia tidak pernah sadarkan diri lagi.
413
Bab Tiga Puluh Delapan
ALUNAN lagu bernada cepat yang berasal dari piano tunggal di
tengah-tengah panggung terdengar sampai ke seluruh sudut aula
pertunjukan yang kosong itu. Alex Hirano duduk di balik piano, kesepuluh
jarinya bergerak lincah di atas tuts, kepalanya tertunduk, dan matanya
terpejam. Matanya tetap terpejam sampai ia memainkan nada terakhir lagu
itu.
Tepuk tangan seseorang bergema dari belakangnya. Alex berbalik dan
melihat Karl Jones berdiri di bawah panggung, di dekat deretan pertama
kursi penonton.
"Kau tidak menjawab ponselmu. Tapi aku yakin bisa menemukanmu di sini,"
kata Karl sambil tersenyum.
Alex merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Benar saja, ada
panggilan tak terjawab dari manajernya. Ia terlalu larut dalam
latihannya sampai tidak merasakan getaran ponselnya. "Maaf, aku tidak
mendengarnya tadi," katanya menyesal.
Karl mengangkat bahu. "Tidak masalah. Aku hanya ingin memberitahumu
bahwa konsermu masih semingu lagi tapi tiket pertunjukannya sudah
terjual habis segalanya berjalan sesuai rencana."
"Terima kasih, Karl."
414
Karl berjalan ke tepi panggung dan mendongak menatap Alex. "Bagaimana
kabarmu?" tanyanya serius.
Alex menoleh ke arah temannya dan menghela napas dalam-dalam. "Aku akan
baik-baik saja," sahutnya dan tersenyum menenangkan Karl. Dua bulan
sudah berlalu sejak Alex kehilangan Mia Clark. Selama sebulan pertama
sejak Mia meninggal dunia, Alex hampir tidak mampu meninggalkan
apartemennya. Ia seolah-olah kehilangan semangat hidup dan hanya bisa
menyerah dalam kesedihannya. Untunglah ia memiliki keluarga dan
teman-teman yang selalu menahannya setiap kali ia jatuh. Alex yakin ia
tidak akan pernah bisa menghadapi perasaan kehilangan dan kesedihannya
kalau bukan karena mereka.
Perlahan-lahan ia mulai bisa berfungsi kembali. Perlahan-lahan ia mulai
bisa melihat menembus kabut tebal dan dingin yang menyelimutinya selama
ini. Perlahan-lahan ia mulai menerima kenyataan bahwa Mia tidak akan
pernah kembali kepadanya walaupun ia memohon kepada langit dan bumi agar
Mia dikembalikan kepadanya.
Walaupun luka dalam hatinya akan sembuh seiring berlalunya waktu, ia
yakin ia tidak akan bisa kembali seperti dulu. Ia tidak akan bisa
kembali menjadi Alex Hirano sebelum mengenal Mia maupun Alex Hirano
selama mengenal Mia. Ia telah kehilangan sebagian hati dan jiwanya pada
hari Mia meninggal. Ia tidak akan pernah utuh lagi.
"Bagaimana kalau kutraktir makan malam?"
415
Suara Karl menyentakkannya dari lamunan. Namun sebelum ia sempat
menjawab, ponselnya berbunyi. Setelah membaca nama yang tertera di
layar, Alex bergegas menempelkan ponsel ke telinganya. "Ya, Mr. Clark?"
katanya. "Tidak, Anda sama sekali tidak mengganggu... Ya, tentu saja...
Di mana?... Baiklah, aku akan ke sana sekarang."
Ia menatap ponselnya dan tersenyum meminta maaf kepada Karl. "Maaf,
Karl. Aku harus pergi menemui Mr. Clark," katanya sambil berdiri dan
membereskan barang-barangnya.
"Pergilah," kata Karl ringan. "Sampaikan salamku pada Mr. Clark, oke?"
*****
"Sudah lama kami tidak melihatmu, Nak," kata Mr. Clark hangat ketika
Alex sudah duduk di hadapannya di sebuah kafe kecil di Soho. "Jangan
menjadi orang asing. Kunjungilah kami di Huntington sesekali. Kau tahu
kau akan selalu diterima dengan tangan terbuka."
Alex tersenyum kecil dan mengangguk singkat. "Terima
kasih."
Mr. Clark terlihat berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Atau apakah kau
masih merasa sulit mengunjungi kami tanpa merasa terlalu tertekan?"
Alex menggeleng. "Bagaimana kabar Anda sendiri? Bagaimana kabar Mrs.
Clark?"
416
"Kami masih bertahan." Pria yang lebih tua itu mengangguk-angguk.
"Istriku masih menangis setiap kali memikirkan Mia."
Alex memahami perasaan itu. Ia juga merasa ingin duduk dan membiarkan
air matanya mengalir setiap kali membayangkan wajah gadis itu.
"Karena itulah istriku butuh sedikit waktu sebelum ia bisa membereskan
barang-barang milik Mia," lanjut Mr. Clark.
"Aku mengerti," sahut Alex.
"Dan karena itulah aku minta maaf karena aku tidak bisa menyerahkan ini
kepadamu lebih awal."
Alex menatap camcorder yang diletakkan Mr. Clark di atas meja, lalu
menatap pria di hadapannya dengan tatapan bertanya.
"Kami menemukannya di antara barang-barang Mia yang kami bawa pulang
dari rumah sakit," jelas Mr. Clark. "Aku yakin Mia ingin kau
memilikinya."
Alex masih tidak mengerti. "Anda ingin aku menyimpannya?" "Ya," jawab
Mr. Clark yakin. "Mia meninggalkannya untukmu.
Kurasa kau harus melihatnya."
Alex baru hendak menyalakan camcorder itu ketika Mr. Clark
menghentikannya.
"Sebaiknya kau melihatnya di rumah, Nak," kata Mr. Clark. "Aku juga
harus pulang. Istriku menungguku. Ingat ucapanku, Alex, mampirlah
mengunjungi kami kalau kau sempat."
Alex ikut berdiri ketika Mr. Clark berdiri. Ia mengulurkan tangan
kanannya kepada pria itu. Mr. Clark menjabat tangannya, namun kemudian
menarik Alex ke dalam pelukannya. Mr. Clark
417
menepuk punggung Alex dengan ramah dan berkata, "Kami pasti akan
menonton konsermu minggu depan."
Alex mengangguk dan tersenyum.
Mr. Clark melepaskan pelukannya dan berbalik. Namun ia teringat sesuatu
dan berbalik kembali. "Dan kuharap kau bahagia, Nak."
Berusaha menelan bongkahan pahit di tenggorokannya, Alex membalas, "Anda
juga, Mr. Clark."
*****
Kembali ke apartemennya yang sunyi dan hampa malam itu, Alex menyalakan
lampu ruang duduk dan mengempaskan diri ke sofa. Ia meletakkan camcorder
dari Mr. Clark di atas meja. Setelah mengamati benda itu sejenak dengan
ragu, akhirnya ia meraih camcorder itu dan menyalakannya.
Gambar yang muncul menggantikan layar hitam kecil di sana membuat napas
Alex tercekat dan ia hampir menjatuhkan camcorder ditangannya.
"Hai, Alex," kata Mia yang menatap lurus ke arah Alex, dari
layar.
Mendadak mata Alex terasa perih sementara seluruh emosi yang berhasil
dipendamnya selama ini muncul kembali ke permukaan dan menerjangnya,
membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Melihat wajah Mia di layar,
mendengar Mia memanggil
418
namanya, mengingatkannya betapa ia merindukan gadis itu. Ia begitu
merindukan Mia sampai sekujur tubuhnya terasa sakit.
Alex tahu Mia merekam ini di rumah sakit dari seragam pasien yang
dikenakannya. Sepertinya gadis itu duduk bersandar pada tumpukan bantal
di ranjang rumah sakit sambil memegangi kamera dengan kedua tangan.
Wajah Mia terlihat pucat, cekung, dan lelah, namun ia masih mencoba
tersenyum ketika menatap lurus ke arah kamera, ke arah Alex.
"Aku tidak pernah merekam diri sendiri, jadi ini terasa aneh," kata Mia
kikuk. Ia memperbaiki posisi kamera sehingga wajahnya terlihat lebih
jelas. "Tapi aku ingin melakukan ini karena... karena ada yang ingin
kukatakan padamu." Mia membasahi bibirnya yang kering dan mengangkat
sebelah bahunya dengan lemah. "Maksudku, kalau kau sedang melihat ini,
berarti sesuatu telah terjadi dan aku tidak bisa mengatakannya kepadamu
secara langsung."
Alex mengusap pipinya sendiri dan menutup mulut dengan satu tangan
sementara berusaha mengendalikan tangannya yang gemetar.
Mia tersenyum kecil. "Kau tahu, sebenarnya aku sudah lupa bahwa kau
masih memiliki ini." Ia mengancungkan secarik kertas biru lusuh di depan
kamera. Alex mengenal kertas itu. Voucher Permintaan Kepada Mia Clark.
"Aku tidak pernah menduga kau akan meminta ayahku menyerahkan ini
kepadaku. Aku tidak mengatakannya kepadamu tadi ketika kau ada di sini,
tapi..." Mia terdiam sejenak dan menghela napas perlahan. "Maafkan aku
karena menghindarimu selama ini. Kurasa aku hanya bersikap bodoh dan
419
berharap segalanya akan lebih mudah kalau kita tidak bertemu. Lebih
mudah bagimu, juga bagiku. Tapi aku salah."
Mia menggigit bibir sejenak sebelum melanjutkan, "Sebenarnya aku tidak
bermaksud menghindarimu. Aku hanya berusaha menghindari perasaanku
sendiri dengan menghindarimu." Mia terdiam dan terlihat merenung sambil
tersenyum samar dan muram. "Aku sangat ahli menghindari perasaanku
sendiri, kau tahu? Bagiku suatu perasaan tidaklah nyata kalau aku
menolak mengakuinya."
Mia menghela napas lagi. "Dan... aku menghindar karena aku takut pada
perasaan yang kau timbulkan dalam diriku," bisiknya serak, lalu menelan
ludah dengan susah payah. "Aku merasa tidak berhak merasakan perasaan
yang selalu membuatku bahagia tanpa alasan itu, yang selalu membuatku
kembali berharap, kembali memikirkan ‗seandainyai‘."
Mata Mia terlihat berkaca-kaca ketika ia menatap ke arah kamera, ke arah
Alex, walaupun ia berusaha tetap tersenyum lemah. "Aku tidak berhak
merasakan perasaan itu. Tidak sementara kondisiku masih seperti ini."
Setetes air mata jatuh bergulir di pipi Mia dan ia menghapusnya dengan
cepat. Ia mendesah lirih dan menggelengkan kepala. "Tidak ada yang bisa
kuberikan kepadamu saat ini. Tidak ada yang bisa kutawarkan. Juga tidak
ada yang bisa kujanjikan."
Alex memejamkan mata sementara setetes air matanya juga jatuh ke
pipinya. Dadanya terasa sakit. Hatinya serasa diremas-remas. Demi
Tuhan... apakah gadis itu tidak tahu bahwa Alex tidak
420
menuntut apa pun darinya? Alex hanya ingin berada di sampingnya. Di
dekatnya. Bersamanya. Karena seperti yang pernah dikatakan Alex kepada
gadis itu, Alex membutuhkannya. Mia Clark mungkin tidak membutuhkan
Alex, tapi Alex sangat membutuhkannya.
"Karena itu ketika kau bertanya padaku tadi, aku tidak memberikan
jawaban yang kua minta. Kau pantas mendapatkan semua yang terbaik di
dunia ini, Alex, dan aku tidak bisa memberikannya padamu saat ini,"
lanjut Mia lirih. Air matanya jatuh lagi dan ia kembali menghapusnya
dengan telapak tangan. "Karena itu aku diam... tapi aku berjanji pada
diriku sendiri bahwa suatu saat nanti... ketika aku mendapat jantung
baru... ketika aku sehat kembali... ketika aku memiliki masa depan yang
bisa kuserahkan kepadamu... aku akan berhenti menghindar. Saat itu aku
akan berdiri tegak di hadapanmu dan memberikan jawaban yang pantas kau
terima. Dan saat itu akan menyerahkan seluruh hidupku kepadamu."
Di layar, Mia kembali menghela napas dalam-dalam. Alex juga menghela
napas dalam-dalam, berusaha meredakan rasa nyeri di dadanya, tanpa
hasil. "Tapi kemudian aku mulai berpikir. Bagaimana kalau aku tidak
mendapat jantung baru? Bagaimana kalau...
bagaimana kalau pada akhirnya aku tidak mendapat kesempatan untuk
berdiri lagi di hadapanmu dan mengatakan apa yang ingin kukatakan
padamu?" Mia menelan ludah dengan susah payah. "Bagaimanapun, setelah
apa yang kau katakan padaku, setelah kau menyatakan perasaanmu padaku,
kupikir kau berhak mendapat jawaban. Walaupun mungkin aku tidak bisa
memberikan
421
jawabanku secara langsung kepadamu seperti yang kuharapkan. Karena
itulah aku memutuskan merekam ini. Untuk berjaga-jaga."
Air mata Alex mengancam akan jatuh lagi. Kenyataan bahwa Mia tidak ada
lagi di sini bersamanya, kembali menerjangnya dan rasa sakit di dadanya
hampir tak tertahankan.
Di layar Mia memiringkan kepalanya sedikit dan menatap langsung ke arah
Alex. Air mata kembali mengalir dari sudut matanya. "Aku ingin kau tahu
bahwa aku mensyukuri hari aku mengenalmu. Aku juga ingin berterima kasih
atas semua yang sudah kau lalukan untukku. Terima kasih karena telah
menemaniku selama ini. Terima kasih karena tetap bersabar denganku
walaupun aku cenderung bersikap tidak masuk akal akhir-akhir ini. Aku
tidak tahu kenapa kau bisa jatuh cinta pada orang sepertiku, tapi...
terima kasih karena telah mencintaiku." Suara Mia berubah menjadi
bisikan serak. Ia tidak lagi berusaha menghapus air mata yang mengalir
desar di pipinya sementara ia menunduk dan terisak pelan.
Alex mengerjap, berusaha menyingkirkan air matanya, sementara jari
telunjuknya yang gemetar menyentuh wajah Mia di layar. Ialah yang
seharusnya berterima kasih kepada gadis itu. Karena telah menemaninya
selama ini. Kaena telah bersabar menghadapinya walaupun ia bersikap
buruk pada gadis itu di awal perkenalan mereka. Karena telah membuatnya
bahagia selama ini.
Mia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan untuk
menenangkan diri, lalu ia mengangkat wajah dan kembali menatap Alex
dengan mata basah, namun seulas senyum samar terlihat di bibirnya.
"Satu-satunya penyesalanku
422
dalam hidup adalah aku tidak bisa bersamamu sekarang dan mengatakan
semua ini secara langsung kepadamu. Tapi tolong percayalah padaku ketika
kukatakan bahwa aku ingin selalu bersamamu. Percayalah padaku ketika
kukatakan bahwa aku selalu ingin berada di dekatmu. Dan percayalah
padaku ketika kukatakan bahwa aku juga mencintaimu."
Alex merasa dirinya berhenti bernapas. Jantungnya juga berhenti
berdetak. Dan dunia seolah-olah berhenti berputar sesaat. Apakah ia
salah dengar?Sejenak kemudian sebersit harapan yang dikiranya sudah
terkubur jauh di dalam hatinya tumbuh kembali, seiring jantungnya yang
mendadak kembali berdetak. Dua kali lebih cepat. Dua kali lebih keras.
Apakah ia salah dengar?
"Aku mencintaimu, Alex Hirano," bisik Mia sekali lagi, seolah-olah ingin
meyakinkan Alex. "Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa
kau percayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku."
Alex memejamkan mata erat-erat sementara rasa lega yang hebat
mengusainya, menyelubunginya, meyesakkannya, membuat sekujur tubuhnya
gemetar, dan membuat air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi tumpah
keluar.
Ini bukan mimpi.
Akhirnya harapan yang tidak lagi berani diharapkannya itu terkabul.
Akhirnya ia mendapat jawaban yang ditunggu-tunggunya selama ini.
Akhirnya ia tahu Mia Clark mencintainya.
423
Itulah yang terpenting baginya. Karena seandainya tidak ada hal lain di
dunia ini yang bisa dipercayainya, Alex masih bisa bergantung pada
keyakinan bahwa Mia Clark mencintainya.
Dan ia yakin ia akan baik-baik saja. Karena Mia Clark mencintainya.
424
Epilog
"SESEORANG pernah berkata padaku bahwa dia tidak tahu kenapa
aku bisa mencintai orang seperti dirinya. Terus terang saja, aku juga
tidak tahu. Kurasa aku tidak termasuk salah satu orang yang merasa kau
tidak membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang. Karena cinta terjadi
begitu saja. Kau tidak bisa memaksakan diri mencintai seseorang, sama
seperti kau tidak bisa memaksakan diri membenci orang yang kau cintai."
Alex Hirano terdiam sejenak, menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
"Tapi kalau aku harus menjawab pertanyaan itu," lanjutnya sambil
merenung, "Kurasa aku akan berkata bahwa aku mencintainya karena dia
adalah Mia Clark."
Mata Alex menyapu sekeliling aula konser yang dipenuhi ratusan penonton.
Ia melihat kedua orangtuanya duduk di barisan pertama kursi penonton.
Ray dan Karl juga ada di sana. Lalu matanya beralih ke arah Mr. dan Mrs.
Clark yang juga duduk di barisan pertama. Mereka tersenyum menyemangati
Alex. Akhirnya mata Alex terpaku pada kursi kosong di samping Mrs.
Clark dan dadanya langsung terasa nyeri.
"Walaupun dia tidak bisa berada di sini hari ini," kata Alex tanpa
mengalihkan pandangan, "kuharap dia mendengar lagu ini. Di
425
mana pun dia berada. Dan kuharap dia tahu bahwa selama aku masih
bernapas, aku akan selalu mencintainya. Sepenuh hatiku. Selamanya."
Beberapa detik kemudian, lagu yang selalu membuatnya teringat pada Mia
Clark dan setengah jiwanya yang hilang pun mengalun lembut, mengisi
seluruh sudut ruangan besar yang sunyi senyap itu dengan nada-nada indah
yang pada akhirnya membuat para penonton mendesah dan memejamkan mata,
membayangkan sinar matahari yang hangat, padang rumput yang hijau, dan
langit biru tak berawan.
TAMAT.
Edit by Selalubagus.com