
Novel kau Tak Perlu Mencintaiku
Tuesday, April 19, 2016
1
KAU TAK PERLU MENCINTAIKU
Penulis : Almino Situmoran
Kujungi websaite selalubagus.com temukan konten menarik lainya
Almino Situmoran
Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar.
Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.
2
Tolong beri tahu aku nomor teleponnya. Siapa saja,
seseorang di dunia ini yang tak punya masalah. Kenalkan aku padanya.
Akan kuberikan dia medali.
Di kantor aku tak menemukannya.
Layla yang cantik sedang bergumul dengan kanker payudara.
Pak Bowo sedang setengah mati ketakutan akan diceraikan istrinya, karena penyakit selingkuhnya yang tidak kunjung sembuh.
Ibu Jim yang sedang sekarat karena narkoba, hidup segan mati tak mau.
Bortje dijauhi orang karena kabarnya mengidap AIDS. Malah, ia dicurigai AC/DC alias biseksual.
Farrah bertengkar melulu dengan suaminya dan terancam perceraian.
Jean yang punya suami kaya raya belum bisa punya anak.
Bosku, Pak Rudy, tak bisa menghentikan hobinya berjudi.
3
Takeda San, sang bos Jepang yang punya banyak istri, senang menghambur-hamburkan uangnya. Dan, itu selalu membuatnya mabuk.
Karen sakit jiwa.
Karen tidak sakit jiwa, sebenarnya. Tapi, semua orang
setuju bahwa dia sedang bermasalah. Entah apa. Tapi, dia selalu mencari
masalah denganku. Mungkin, akulah masalah baginya. Dan, dia memang
potensial untuk menjadi masalah bagiku, walau aku merasa tak ada yang
perlu dipermasalahkan.
Entahlah, tapi akhir-akhir ini dia makin
seperti orang sakit jiwa saat menghadapiku. Dia lebih senior, walaupun
usiaku lebih tua. Dia cantik. Tetap cantik, walaupun tengah hamil.
Hamilnya besar hingga dia yang dulunya model, tinggi dan langsing, kini
bagaikan babon, king kong, gajah gemuk atau sebutlah raksasa. Dia
lumayan cerdas dan pekerja yang bagus. Tapi, itu mulai berubah akhir-akhir ini. Dia selalu mencari gara-gara padaku. Sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, dan bicara dengan pedas tentang soal-soal
yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Aku mencoba memaklumi, mungkin
itu gejala penyakit ibu muda yang sedang hamil pertama. Kata orang, bisa
jadi, kelak bila anaknya lahir akan mirip denganku. Jadi, kuabaikan
keganjilan sikapnya itu.
Tapi, makin lama makin menjadi.
Banyak hal yang tidak masuk akal dan tidak edukatif
serta tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya tanpa sebab yang
jelas. Tapi, jelas-jelas ditujukan padaku. Tak ada angin, tak ada hujan. Kata-kata yang dilontarkannya tajam-tajam, sampai bisa untuk memotong semangka!
“Kamu sadar nggak, sebentar lagi kamu akan jadi satu-satunya perawan tua di kantor ini?”
Astaga! Seumur hidupku, baru pertama kalinya aku mendengar kata-kata
itu. Perawan tua? Aku baru 28 tahun, kok. Sebentar lagi 29, sih. Baru
dua delapan? Baru? Entah kenapa, aku tak suka mendengarnya. Aku merasa
ada yang sakit di dalam hatiku. Kusadari, di satu sisi dia benar.
Tinggal aku yang belum menikah. Layla sedang bertunangan. Padahal,
setelah Jean, aku lebih
4
tua dari semua wanita di kantor ini. Tapi, aku kan tak menghendaki hal itu. Itu terjadi di luar kuasaku, bukan?
Tapi, aku menganggap dia ada benarnya. Rasanya, dia
juga tak sengaja menyakiti perasaanku. Anggaplah itu bentuk perhatiannya
padaku. Jadi, segera kulupakan. Atau, kalau dia memang sengaja,
kumaafkan saja. Aku terlalu sibuk untuk marah.
Tapi, ketika aku memutuskan untuk diam, mulutnya
malah makin beraksi. Sering sekali dia menyebut kedua kata itu: perawan
dan tua. Yang lebih parah lagi, ia menyebutkan istilah baru lagi.
Saat itu aku ingin menamparnya. Tapi, untunglah,
tidak jadi. Aku hanya yakin bahwa aku tidak seperti yang dia sebutkan.
Kumaafkan. Anggap saja angin lalu.
Begitulah hidup. Semua orang punya masalah, disadari
atau tidak, diakui atau ditutupi. Sedangkan aku? Masalahku apa? Mungkin
hanya satu. Taka.
Itulah yang terbesar. Letak kesalahannya adalah aku
telanjur mencintainya dan belum bisa pindah ke lain hati. Padahal, kisah
itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
Terus terang, aku mulai pusing. Mulai agak panik.
Panik? Ya! Aku tak suka menghitung usiaku. Aku takut seperti Jean yang
terlambat menikah dan sampai kini setengah mati mengusahakan punya anak.
Aku takut seperti Farrah yang menyesal menikah dengan pria pilihannya
sendiri.
Padahal, dulu pria itu dianggapnya ideal sekali. Aku takut ini dan takut itu….
Aku juga selalu pusing jika Mama dan Papa mulai
berbicara soal keinginan mereka memiliki cucu. Hanya aku yang sedang
ditunggunya untuk mengabulkan keinginan itu.
5
Aku bingung dengan semua hubungan yang sudah dan
sedang kucoba jalani. Ada Nathan, Yoel, Aba, Ferry, Ibem, dan yang lain.
Tapi, rasanya, belum ada yang mampu merebut hatiku seperti Taka.
Kehadiran mereka justru makin membuatku merindukan Taka. Bukannya aku
tak membuka hati. Tapi, bersama dengan pria-pria yang baik itu malah membuatku merasa tidak nyaman, sehingga aku lebih memilih untuk menikmati kebebasanku dalam kesendirian.
Apa dari Taka yang begitu istimewa? Tidak banyak. Dia
hanyalah pria keturunan petani buah dari sebuah kampung pedalaman
Tokyo, masih jauh dari Hachioji, kampus almamaternya.
Jalan hidup kami berpapasan ketika aku mengikuti
program pertukaran mahasiswa ke kampusnya, dan dia mendaftar sebagai
salah seorang relawan bagi mahasiswa asing. Kebetulan, dia salah satu
mahasiswa teladan. Tapi, bukan itu daya tarik utamanya, walaupun, aku
sangat beruntung memiliki dia sebagai guru bahasa Jepang pribadi dan
gratis!
Aku tidak berencana berjalan-jalan di
negeri mantan penjajah itu. Mencari kekasih juga tidak. Bahkan, aku
bertekad untuk tidak tertarik pada seorang pria pun keturunan penganut
Shinto itu. Aku bahkan tiba di sana dengan berat hati. Berkali-kali
kuyakinkan orang tuaku bahwa Tuhan akan menjagaku di negeri asing itu.
Masa lalu keluarga kami membuat mereka berat melepas kepergianku, walau
hanya satu tahun. Aku tidak peduli padanya sejak pertama melihat ia
menjemputku di Bandara Narita itu. Instingku berkata bahwa dia adalah
orang yang memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dan, meski
hampir tiap hari dia menemaniku pergi, perlu berbulan-bulan untukku berjuang menyangkal pesona pria ini. Akhirnya, aku kalah. Terpanah Dewa Cupid. Tak berdaya mengelak.
Aku tak tahu apakah itu yang namanya jatuh cinta.
Serasa jatuh, tak berdaya. Semua mengalir begitu saja. Alami dan tanpa rekayasa.
Aku tak tahu apakah itu yang dikhawatirkan oleh kedua orang tuaku.
6
Ternyata, aku salah. Kami berdua salah. Sebab, sejauh
apa pun kami berpisah, sejauh apa pun aku melarikan diri, biarpun
samudra luas membatasi kami, aku terus membawa dia dalam hatiku. Aku
belum bisa melepas segala kenangan tentangnya.
Hebat sekali dia, pesonanya. Dulu, kukira pertemuan
kami beberapa tahun lalu di Bandara Narita adalah pertemuan terakhir,
sekaligus menjadi akhir dari satu babak perjalanan hidup yang mungkin
paling manis. Kupikir, setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta,
aku akan segera menemukan orang lain dan melupakan pria bernama Taka.
Dia juga mengharapkan hal serupa, yang ditegaskannya dalam sorot mata
yang dalam, tapi teduh dan penuh kasih, jabatan tangan, serta rangkulan
erat, ketika dia berbisik semoga aku selalu bahagia. Sebab, bila aku
bahagia, dia juga akan bahagia.
Selalu bahagia.
Aku setuju dan selalu mengusahakannya. Selalu
bahagia, kapan, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Tapi, tampaknya
tak semudah itu. Selalu bahagia? Maaf, ada yang bisa menjelaskan
definisinya? Sebab, selama ini selalu bahagia tak ada artinya. Selalu
dan bahagia, tanpa dia? Maaf sekali lagi, sampai kini aku belum berhasil
memenuhi harapannya itu.
Kesepian. Itulah oleh-oleh yang masih
tertinggal, yang kubawa pulang dari Negeri Sakura itu. Yang kian terasa
mencekam, seiring debur ombak yang memantulkan kelap-kelip lampu dari Hard Rock Café, ditambah langit mengguntur, serta bunyi jangkrik-jangkrik nakal yang menyiuli turis-turis hampir telanjang, yang sedang melintas pulang.
Pulang.
Aku juga harus pulang ke masa kini. Tak mungkin pulang ke masa lalu.
Entah karena kesepian, tiba-tiba aku jadi sangat merindukan masa lalu itu. Merindukan Taka. Sangat. Teramat.
“Bagaimana weekend-nya? Ada kekasih baru atau masih berkumpul dengan teman-teman lesbi?”
7
Karen, dengan perutnya yang makin membesar, menaruh setumpuk berkas di mejaku, sambil mengucapkan kalimat yang tajam itu. Lesbi.
Huff. Kalau setumpuk berkas itu mendarat di
kepalanya, bisa nggak, ya, dia menahan keseimbangan tubuhnya? Tapi,
jangan. Kasihan si janin. Aku menimbang-nimbang.
“Karen,” tegur Jim yang sedang lewat, “your mouth sounds like hell.”
“I‟m not talking to you,” sergah Karen.
Kubuka segera berkas-berkas itu.
“Karen, ini berkas yang minggu lalu, „kan?” ujarku. “Sudah beres, ada di meja Pak Rudy.”
Wajahnya menyemburat merah. “Semuanya?”
Aku mengangguk. Menatap lurus matanya yang tajam. Bagaimanapun, dia lebih senior.
Farrah mengedipkan mata padaku. “Dia kan belum hamil, Ren. Jadi, masih gesit mengerjakan setumpuk kerjaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”
“Belum punya pacar pula,” sambung Karen, yang sengaja
membalikkan sindiran Farrah. “Tapi, lain kali lapor ke saya dulu, dong,
sudah selesai atau belum. Jadi, saya bisa memonitor. Jangan langsung ke
Pak Rudy. Bisa-bisa kredibilitas saya dipertanyakan.”
8
Memang kamu siapa? Memangnya kamu punya kredibilitas?
Cuma menang senioritas dan perut buncit saja! Aku memaki dalam hati.
Untunglah, lampu merah kecil di ujung boks teleponku berkedip-kedip.
Terdengar suara khas Layla.
“Mbak Rara, line satu dari orang Jepang. Maaf, namanya kurang jelas. Kawa atau siapalah.”
Klik.
Kuangkat. “Moshi-moshi, Rara degozaimasu.” (Halo, di sini Rara.)
“Ogawa desu. Hisashiburi ne, Rara chan. Genki?” (Ini Ogawa. Lama tak bertemu, Rara, apa kabar?)
“Takaaa…,” seruku, membuat banyak kepala di ruangan ini menoleh.
***
Kejutan, kejutan! Inilah yang disebutnya kejutan dalam e-mail-nya yang terakhir. Dia akan mengunjungiku minggu depan!
Lihat, inilah salah satu kelebihan Taka. Seolah-olah, kami mempunyai kontak batin. Dia akan muncul ketika aku sedang memikirkannya, baik lewat e-mail atau telepon. Namun, kali ini dengan sosok nyata!
Tapi, kenapa ada perasaan lain yang membuatku tak
nyaman, selain perasaan gembira yang meluap dengan kabar kedatangan
Taka? Kenapa sepertinya pertemuan ini tak akan seindah harapanku,
padahal sudah kutunggu-tunggu sekian lama? Entahlah….
9
Columbuslah gara-garanya.
Teorinya tentang bumi yang bulat itu sungguh menakjubkan.
Aku bagaikan berdiri di atas permukaan air dalam
sebuah bola, yang separuhnya berisi air. Langit melengkung bagaikan
busur setengah lingkaran yang melingkupiku. Bila dilihat sampai batas
cakrawala, aku seolah sedang berdiri pada diameter bumi.
Ketika itu Pantai Kuta sedang pasang.
Pria itu sedang sibuk menghabiskan isi kamera sekali
pakainya. Terakhir dia membidik ke arahku dan segera kuberikan ekspresi
terjelek sepanjang hidupnya. Dia sangat senang hingga tertawa
berkepanjangan. Foto itu pasti akan disimpannya, kelak untuk dilihat anak-cucunya.
Lalu, dia duduk di pasir, di sebelahku. Menulis huruf-huruf
kanji di pasir, walau ombak segera menghapusnya. Terakhir, dia menulis
dengan huruf hiragana. Sugoi. Hebat. Dia sepertinya sangat kagum pada
negeri ini.
Sejurus di depan kami, melintas sepasang turis asing,
yang diikuti seorang penjaja patung gajah kecil berwarna cokelat.
Sejenak mereka bertiga berhenti. Turis wanita menggoreskan jempol kaki
kanannya di atas pasir, menuliskan sejumlah angka. Si penjaja
menggeleng. Mereka meneruskan langkah. Si penjaja mengucapkan beberapa
kata sambil tetap mengikuti mereka. Ketiganya berhenti lagi. Giliran si
penjaja yang menggoreskan jari tangan di atas pasir. Kedua turis
melihatnya, berpikir sejenak, lalu menggeleng, melambai pergi. Transaksi
gagal. Lain kali, si penjaja mungkin sebaiknya membawa-bawa
pasir di tangan untuk tempat menulis angka sebagai ganti kalkulator
supaya mereka tak perlu meggoreskan jari kaki di pasir, pikirku.
Lalu, kami sama-sama terdiam, menikmati
suara ombak, angin, dan cakrawala. Lama. Apakah hanya aku yang
merasakannya? Tapi, aku yakin kami tidak sedang menikmati itu semua
sepenuhnya. Kami sedang memikirkan hal lain.
10
“Rara chan,“ desisnya. Aku sangat senang pada
panggilan sayang itu. Tapi, aku jadi berdebar- debar. Mungkin, karena
suasana Bali yang terlalu romantis untuk dinikmati berdua saja oleh
orang yang mengaku hanya berteman atau bersahabat?
Dan, di bawah langit yang remang-remang sisa-sisa sunset, seperti yang sudah kuduga dan kutakutkan, dia mencoba membuka kisah lalu itu.
Dia bertanya apakah aku masih menyimpan perasaan itu
untuknya. Aku tak bisa menjawab. Aneh. Padahal, mestinya tanpa bertanya
pun dia pasti tahu, sebab aku tidak pernah bisa menutupi perasaan di
depannya.
Dia bertanya lagi, apakah aku ingin tahu isi hatinya.
Aku takut mendengar jawabannya, walau aku sangat ingin. Jadi, aku hanya
menggeleng. Dia bertanya apakah ada yang berubah. Kubilang tidak tahu.
Dia bilang tidak ada. Mungkin dia benar. Bukan mungkin. Dia benar. Tidak
ada yang berubah!
Aku masih mencintainya, seperti dulu.
Dia juga. Hanya dia. Dan, itulah masalahnya.
Lihat sisi positifnya bila kuambil cuti.
Aku takkan melihat Karen untuk sementara atau muka-muka bertopeng orang kantor yang seolah tanpa masalah, atau deadline laporan ke Takeda San.
Aku menikmati tabunganku selama ini dengan berbelanja
di sepanjang Orchard Road, makan di restoran lesehan yang romantis di
atas sungai dalam Boat Quay, menikmati botanical garden, dan China Town
(Niu Che Shui, aku dan Taka berlomba melafalkannya dengan fasih), juga
mengunjungi Cantonese Opera House (Lai Chun Yuen, aksenku lebih pas
daripada Taka, lho!).
11
Jangan salah, ini bukan semacam acara berpacaran atau
berbulan madu. Bukan pula semacam proyek balas jasa setelah setahun dia
menjadi guide pribadi di Jepang.
Kami tinggal dalam kamar terpisah di hotel yang sama.
Selebihnya, kami hanya sebatas pegangan tangan, itu pun sesekali. Takut
salah satu hilang atau nyasar di negeri orang.
Di Clarke Quay, Taka sangat menikmati durian. Ketika
kubilang rasa durian di Sumatra lebih enak, dia hampir tak percaya masih
ada rasa durian yang lebih enak lagi. Kian lama ia kian ingin mengenal
Indonesia. Dengan napasnya yang masih beraroma durian, dia menanyakan
perasaanku.
“Senang. Singapura indah, ya. Tapi, Indonesia lebih indah.”
“Bukan itu maksudku.”
Aku jadi teringat, pernah ditanyakan seperti ini
ketika di Yokohama, hampir empat tahun yang lalu, sewaktu kami sedang
menikmati indahnya pantai pelabuhan Yokohama yang romantis. Mercusuar
yang menebarkan cahaya hijau ke segala arah, sepasang tiang penyangga
biru berkilauan Yokohama Rainbow Bridge, lampu jalan, dan taman kota berkelap-kelip. Memesona sekali.
“Perasaanku?” tanyaku waktu itu. “Senang. Yokohama
indah, ya. Ada juga tempat seperti ini di Jepang. Tapi, masih kalah,
sih, dengan Bali.”
“Baka. Bukan itu maksudku. Perasaanmu tentang aku, tentang kita berdua.”
Lalu, aku terdiam dengan tololnya. Baka.
12
Saat itu aku baru mengetahui dan mengalami sendiri
bagaimana cara pria Jepang mengungkapkan cinta. Yang kutahu, sebelumnya
mereka takkan pernah mengungkapkannya dengan kata-kata, hanya melalui sikap atau tindakan abstrak. Huh!
“Rara chan no koto ga suki.” (Saya suka Rara.)
Suki. (Suka.) Bukan aishiteiru. (Bukan cinta.) Itu
jarang sekali diucapkan, kecuali jika memang sangat mendalam. Atau,
hanya diucapkan oleh orang-orang yang tak menganut budaya
Jepang tradisional. Aku jadi penasaran, apakah suatu waktu akan pernah
mendengar kata itu dari mulut Taka. Aishiteiru.
“Perasaanku?” kataku. “Kamu kan tahu.”
“Kamu masih percaya bahwa kita tak mungkin menikah?”
Aku tak bisa menjawab.
“Kamu tidak ada keinginan lagi, walau sedikit, untuk menikah denganku?”
Oh, jangan tanya soal itu.
“Taka, jawaban apa yang kamu inginkan? Kita kan sudah pernah membicarakan ini.”
Dia terdiam sejenak, menatapku dalam.
“Kapan kamu akan menikah?”
13
Aku merasa hampa, tiba-tiba. Kuhindari matanya. Aku tak ingin dia mengucapkan apa-apa lagi. Tapi, masih saja dia tak bisa diam.
“Aku hanya memikirkanmu, memikirkan hubungan kita, masa depan kita.”
Ucapannya mantap. Hatiku yang akhir-akhir ini sudah terlalu sering luka bisa-bisa luluh karenanya. Dia mengambil sapu tangan untuk mengelap ujung mataku.
Kau tahu, aku sering menangis karena terharu oleh sikapnya.
“Aku masih ingin ke Danau Toba, lho,” katanya.
Aku pernah mempromosikan kampung halamanku dan dia „teracuni‟.
“Aku masih penasaran ingin melihat gigi palsu
nenekmu.” Rupanya, ia teringat ceritaku bahwa kalau gigi palsu nenek
dicopot, pipinya akan terlihat kempot sekali.
Aku mengangguk, menahan senyum. Agak bingung
membayangkan dengan bahasa apa dia akan berkomunikasi dengan Oppung. Dia
terlihat sedang mengernyit, mungkin memikirkan hal yang sama denganku.
Tapi, minatnya sangat jelas terlihat di mukanya.
Aku tahu mengapa dia sangat ingin pergi ke sana. Aku
pernah bercerita tentang Batu Gantung, sebuah tempat di sekitar Danau
Toba yang menjadi legenda. Tentang sepasang kekasih yang berjanji
sehidup semati, tapi tidak direstui orang tua. Sang pria harus menikah
dengan wanita pilihan orang tuanya, sedangkan sang wanita memegang teguh
janji mereka, memilih bunuh diri dengan meloncat ke jurang. Akan
tetapi, rambutnya yang panjang tersangkut di dahan pohon. Kabarnya,
sampai kini masih ada patung yang menyerupai sosok wanita yang
tersangkut itu, beserta anjingnya.
14
Legenda itu diabadikan ke dalam sebuah lagu.
Ai anggo ahu da ito ndang tarbaen ahu lao ro
Lao mangadopi pestami songon pandok ni suratmi
Tu Batu Gantung do ahu lao di topi Tao Toba
Lao mangaluhon sasude hinalungun ni roha
Ido upa ni padanta i
Ai manang ise hita nadua ose di janji
Gantung ma ibana songon batu gantung i
Ido angga upa ni padanta
Di tingki hita rap padua-dua
Tetapi saya tak bisa datang menghadiri pestamu seperti isi suratmu
saya akan pergi ke Batu Gantung di tepi Danau Toba untuk mengungkapkan segala kepedihan hati
seperti isi janji kita dulu bila seorang melanggar janji
dia akan tergantung seperti Batu Gantung itulah isi ikrar kita dulu
ketika kita masih berdua
15
Hari terakhir di Singapura, dia kebingungan soal oleh-oleh. Untuk Mama dan Papa.
“Mereka suka oleh-oleh ini, nggak?”
Tiap kali dia bertanya, kujawab santai, “Kayaknya, sih, enggak.”
Aku hanya bercanda. Tapi, mukanya serius.
Aku heran melihat dia sudah membelikan sehelai
selendang etnik dan dasi. Entah kapan dan di mana. Ketika aku menggeleng
lagi untuk dasinya, dia mengerutkan dahi.
“Kalau begitu, kamu saja yang pilihkan.”
“Taka, mereka nggak peduli oleh-olehmu.”
“Aku tahu. Mereka hanya peduli satu hal, anaknya pulang dengan selamat.”
“Bukan. Mereka bukan orang penganut oleh-oleh-isme, Taka. Oleh-oleh bukanlah yang utama,” ujarku, menggantung. “Tapi, lebih suka mentahnya, ha… ha…ha….”
Kupikir, aku telah berhasil mematahkan semangatnya.
“Sebenarnya, aku tahu, kok. Aku cuma menguji kamu. Papa suka mengoleksi kacamata hitam, „kan? Ha… ha… ha…,” dia membalas.
16
Sepanjang toko di Singapura, dijelajahinya untuk
mencari satu yang terbaik. Dengan sikapnya itu, aku jadi merasa dia
lebih mencintai orang tuaku daripada aku sendiri.
“Untuk Nenek, apa, ya?”
Hah? Apa lagi itu? Untuk Nenek? Harus mencari lagi? Kakiku sudah terasa akan patah.
“Beli gambar tempel tato saja,” ujarku, asal. “Buat aksesori gigi palsunya.”
Dia menatapku seperti menatap anak kecil. Aku sudah kecapaian.
“Ya, sudah, beli surfing board saja, yang bisa berubah fungsi jadi papan setrikaan. Atau, bikini, atau perlengkapan diving.” Lagi-lagi, aku hanya mengajaknya bercanda.
“Dasar cucu durhaka.” Rambutku diacak-acaknya dengan gemas. Asalkan dia tak bertanya soal pernikahan, aku sangat senang berada di sampingnya.
***
Aku tahu kencan kami saat ini tidak romantis sama sekali.
Kubawa Taka melewati pasar tradisional yang becek, dengan menggunakan sandal jepit.
„Kucekoki‟ perutnya dengan jajanan pasar yang takkan ada di negara asalnya. Ketoprak, siomai, otak-otak,
batagor, es doger, rujak pedas, tahu tek, dan banyak lagi menu berbeda
setiap harinya. Kuajak dia naik mobil ompreng reyot, becak yang lelet
dan terjepit di keramaian lalu lintas, bajaj yang bising, kereta api
ekonomi yang sesak, bau, kotor, dan penuh copet.
“Hoi, orang Batak!” serunya, suatu kali. “Berhentilah menyiksa turis asing ini.”
17
“Ketika di Jepang dulu, saya dipaksa makan natto dan wasabi. Ingat?”
“Tapi, berkat wasabi flu kamu sembuh.”
“Rujak pedas juga bikin pilek kamu sembuh.”
Dia tak bisa mendebatku. Tapi, dia bisa bertahan.
Di Jepang pun aku berjalan kaki dengannya. Menelusuri
china town Yokohama yang banyak jajanan dan berjalan kaki sampai ke
Yokohama Marine Tower. Padahal, pelabuhan itu jalannya menanjak. Cuaca
saat itu panas dan membuat kulit terbakar. Ditambah lagi, aku dipaksa
makan sashimi dan sushi, berikut wasabi dan natto, yang semuanya
membuatku mual. Tapi, akhirnya aku terbiasa. Juga ketika aku dipaksa
naik King Coaster, wahana yang paling tinggi, meliuk-liuk,
dan paling menyeramkan di Fujikyu Highland. Ketika baru naik wahana
saja, aku sudah hampir menangis melihat ke bawah. Aku pun langsung
berhadapan dengan Gunung Fuji. Rasanya mau mati. Berteriak pun tak bisa.
Terus meluncur, berputar, dan tidak terasa berhenti. Ternyata, semuanya
baik-baik saja. Aku masih hidup. Anggota badan masih utuh
semua. Lega. Taka, yang tadinya ingin kubunuh begitu turun dari wahana,
memelukku sambil tertawa lebar.
“Jadi, pengalaman bagus, „kan?” katanya, waktu itu.
“Jangan pulang dari Jepang kalau belum naik King Coaster. Menyesal
seumur hidup.”
Ketika dia kuajak naik Halilintar dan Kora-kora di Dufan, dia hanya tersenyum-senyum geli.
“Cincai. Mainan anak-anak. Nggak ada apa-apanya dibanding Fujikyu,” katanya.
Aku jadi malu! Jakarta baru punya yang cincai begitu.
“Nggak ada yang lebih menantang lagi, nih, di Indonesia?”
18
Kucubit bahunya sampai dia mengaduh.
Di Depok, sehabis berkeliling kampus, hujan turun.
Kami berteduh sambil ngopi di sebuah warteg di Jalan Margonda, dengan
baju yang sedikit basah. Dia terlihat lelah, tapi gembira. Dia menyukai
Teater Kolam di Fakultas Sastra, yang kabarnya akan dirombak, dan juga
danau UI, yang menurutku kotor dan tak terawat. Aku malu
membandingkannya dengan Ike, kolam di kampus Soka, almamaternya. Sangat
terawat, bersih, luas, dan ikannya gemuk-gemuk, tanpa
seorang pun tega memancingnya. Dia bilang memang jauh berbeda, tapi dia
tetap menyukai UI. Mungkin, karena aku sempat bercerita bahwa dulu
setiap Minggu pagi aku senang membaca di tepi danau UI, sehabis lari
pagi, sambil tidur-tiduran di tempat duduk yang terbuat dari semen.
I like the way you wanted me every night for so long, baby
And I like the way you needed me every time when things get rocky
I was believing in you, was I mistaken
Do you say, do you say what you mean
I want our love to last forever
I like the way you‟d hold me every night for so long, baby
And I like the way you‟d say my name
In the middle of the night while you were sleeping
I was believing in you, was I mistaken
Do you mean, do you mean what you say
I want our love to last forever
When you say our love could last forever
19
Sambil menikmati kopi hangat, aku termangu sejenak
ketika lagu Vonda Shepard itu terdengar dari sebuah radio kecil yang
gelombangnya agak terganggu.
Taka masih kedinginan. Bajunya masih basah. Giginya agak gemeletuk ketika dia bicara.
“Rara chan.…”
Aku menoleh. Aku takut dia sakit. Sudah terlalu lama dia „kusiksa‟ di Jakarta.
“Aku tahu ini agak egois. Tapi, maukah kamu
mempertimbangkan kembali pertanyaanku tempo hari?” tanyanya. Aku lega.
Dia tidak kelihatan akan sakit. Wajahnya terlihat lebih segar.
“Yang mana? Perpanjangan cuti? Aku, sih, mau sekali. Cuma, si Karen bisa-bisa melahirkan bayi prematur di kantor saking gemes-nya padaku.…”
|
“Bukan itu,” potongnya.
Aku mendadak tersadar apa yang dimaksudnya.
“Masih maukah kamu menikah denganku?”
Tahukah dia bahwa minggu ini adalah minggu paling
membahagiakan bagiku? Tiap malam aku bisa tidur nyenyak, bemimpi indah,
dan melupakan semua masalah sejak kehadirannya.
Demi Tuhan! Saat ini aku tak punya daya lagi untuk
menolak lamarannya. Aku sudah letih. Letih dengan semua masalah. Letih
menanti dan letih mendengarkan omongan Karen tentang
20
bertambahnya usiaku dan harapan orang tuaku. Aku
ingin semua ini berakhir segera. Aku teramat mencintai Taka untuk bisa
menolak tawaran yang sangat istimewa. Sejujurnya, ini adalah impian
terpendamku sejak lama.
“Aku mencintaimu, bukan sekadar menyayangimu. Aishiteiru.”
Aku terpana. Beberapa saat.
Pada akhirnya aku mendengar kata itu.
Lalu, aku luluh. Bagaikan es di atas tungku panas. Kata-kata itu pun akhirnya keluar dari mulut si Nippon ini. Aishiteiru.
Aku tak berdaya menolak.
“Aku akan coba bicarakan dengan Papa dan Mama dulu.”
Aku bahagia, tapi sekaligus tergetar. Berdebar-debar. Apakah ini nyata?
You would run around and lead me on forever
While I wait at home still thinking that we‟re together
I wanted our love to last forever
21
But I‟d rather you be mean than love and lie
I‟d rather hear the truth and have to say goodbye
I‟d rather take a blow at least then I would know
But baby don‟t you break my heart slow…
Papa dan Mama menganggapku bercanda. Padahal, bagiku ini bagaikan proyek harakiri. Bunuh diri.
Mereka pikir aku hanya asal bicara, seperti biasa.
Ketika ekspresiku kupertegas, Mama kira aku hanya putus asa karena belum
menemukan pasangan yang cocok.
Papa, dengan santai.
Taka melamarku, Pa, Ma.”
Barulah mereka mengikuti ekspresiku yang sudah lebih serius. Suasana berubah jadi tegang.
“Jawabannya adalah hatimu sendiri. Dengarkan sanubarimu.”
“Saya perlu jawaban Papa dan Mama.”
“Benar? Sungguh?”
Aku mengangguk.
22
Aku berharap mereka akan merestui. Mereka, toh, menyukai Taka.
Mereka menatapku misterius. Aku berdebar-debar.
“Tidak.”
Secepat dan sependek itukah jawabannya?
Apa yang bisa kuharapkan? Sekali tidak, artinya tidak bagi orang tuaku.
Tapi, mengapa?
Tentu saja, bodoh! Banyak alasannya.
Karena mereka mencintaiku dan tak mau kehilangan aku. Jepang jauh dan aku anak mereka satu- satunya, setelah kakak laki-lakiku menikah dengan si Blonde di Amerika, dan takkan kembali!
Karena, mereka pikir aku tidak akan bahagia menikah dengan orang Jepang yang gila kerja dan akan menyia-nyiakan aku di negeri yang tak ramah itu.
Karena, mereka berharap aku menikah dengan pria
Batak, bukan dengan keturunan penjajah yang tidak mengerti adat dalihan
na tolu (boru – bere – hula-hula), sejak mereka kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Atau, masih banyak karena lainnya?
23
“Lebih baik kamu menangis sebanyak-banyaknya
sekarang, Boru,” ujar Mama, dengan panggilan khas untuk anak perempuan
Batak. ”Daripada kelak kamu meneteskan air mata penuh penyesalan jika
sudah telanjur menikah dengannya.”
Papa tidak mengucapkan apa-apa. Tapi, dia pasti setuju dengan Mama.
“Percayalah, tak ada orang tua yang tak ingin anaknya bahagia.”
Mama terlalu banyak menikmati sinetron. Kalimatnya persis disontek dari sinetron dangdut.
“Tapi, kenapa?” dalam kebebalan aku masih bertanya.
Mama memelukku, mengusap mataku yang banjir oleh air mata.
“Kepercayaannya, Boru. Bagaimana kamu akan
mempertaruhkan sepanjang hidupmu pada orang yang tak memiliki agama? Apa
yang jadi sumber kekuatanmu dalam menghadapi hidup yang keras ini?
Cinta? Cinta apa? Cinta anak muda yang mekar sesaat dan segera layu itu?
Kepercayaan apa yang akan kamu teruskan pada keturunanmu jika menikah
dengan orang yang tidak jelas keyakinannya?”
“Kamu perlu contoh nyata?” Papa menimpali dengan nada tak sabar. “Kakak laki-lakimu sendiri. Bagaimana hidupnya sekarang? Kamu mau mengikuti jejaknya?”
Itulah intinya.
Aku mati skak. Palu telah dipukul. Sidang selesai. Kasus ditutup.
24
Aku kalah.
Taka pulang.
Membawa pergi semua sel-sel kegembiraan dari tubuhku.
***
Dia bahkan belum sempat menjenguk oppung kempot-ku.
Belum sempat mengambil durian jatuh di belakang rumah Oppung di Pulau
Samosir. Belum sempat melihat Batu Gantung dan makan naniura, masakan
ikan mentah ala Batak yang serupa dengan sashimi.
Dia bukannya pergi begitu saja. Dia bukannya tidak mencoba. Dia masih sempat menemui Papa dan Mama.
“Saya akan mempelajari agama Anda. Saya akan pindah. Saya sungguh-sungguh!”
“Apakah waktumu cukup untuk itu? Dengan lingkungan di Jepang yang pekerjaan sangat menguras waktumu? Bukankah itu hanya sekadar basa-basi?” tangkis Papa.
Seperti yang diceritakannya, tiap hari dia bangun
pagi, menyelesaikan ketikan laporan semalam dan mempersiapkan presentasi
rencana hari itu, lalu berangkat bekerja, pulang kantor malam, setelah
lembur tanpa hitungan over time, mengetik laporan pekerjaan hari itu,
dan tidur hanya tiga sampai lima jam sehari. Betapa hidupnya seperti
mesin!
Kelak kalian akan mengerti, jika kalian sudah punya
anak, apalagi jika kalian memang benar- benar menyayangi anak itu.
Kalian akan mengusahakan hidup yang terbaik baginya. Dengan
25
prinsip yang kalian pegang, kalian takkan rela
membiarkannya pergi dengan orang yang tidak memegang prinsip yang sudah
jadi napas hidup kalian itu!” khotbah Papa dengan lancar.
Taka tak berani menambah luka hati keluarga kami. Jadi, dia pergi.
“Aku doakan kamu selalu bahagia.” Itulah ucapannya yang terakhir. Aku hanya diam.
Sejak Taka pergi, hidupku mendadak berubah, dari tak
berwarna menjadi kelabu. Suram dan murung. Seolah hari datang dan pergi
tanpa arti.
Sepertinya, aku akan segera mati. Sebab, tak ada
lagi bedanya matahari di timur dan barat bagiku. Tak ada lagi daya tarik
es krim Haagen-Dazs yang dulu sungguh kugilai seperti
orang ngidam. Tak ada lagi nafsu makan yang timbul saat mendengar nama
restoran Tempura. Klien ganteng yang konon mirip dengan Mel Gibson pun
tak menarik perhatianku. Padahal, teman- teman sekantor langsung
histeris begitu dia muncul.
Atau, mungkin aku sudah mati, tanpa kusadari. Sebab,
tak ada lagi yang begitu berarti buatku dalam hidup ini. Semuanya hanya
rutinitas. Datar. Lingkaran hitam.
Aku jadi sering menghabiskan waktu memandangi Jalan
Sudirman dari kaca jendela kantor pada malam hari. Aku sering pergi ke
kafe yang sepi untuk browsing internet atau membaca, dan baru pulang
setelah „diusir‟ oleh pemiliknya.
Suatu malam Takeda San mengajakku bicara empat mata.
“Saya suka kamu kerja keras. Kamu rajin dan
pekerjaanmu makin excellent. Tapi, saya tidak suka satu hal,” ujarnya,
sambil menunjuk pipiku. “Sudah lama tidak pernah melihat senyum di
sini.”
26
Mereka tidak tahu. Tak ada yang tahu. Sebaiknya
jangan. Tak perlu. Itu memalukan. Kisah feodal, percintaan yang dilarang
orang tua membuat anaknya frustrasi. Huh, kampungan!
Tapi, huh, biarin! Aku merasa, sebodo amat dengan dunia. Sebodo amat dengan Karen. Sebodo amat dengan siapa pun!
“Nggak punya pacar, sih. Jadi, bisa lembur terus, deh,” sindir Karen.
Rasanya, aku ingin menyumpal mulutnya.
“Ya, dong, mumpung belum hamil. Mengambil arsip saja
sudah susah! Sebaiknya kan kerja keras selagi bisa,” jawabku, sehalus
mungkin. Segera aku angkat telepon yang berbunyi halus.
Aku takut, dalam kondisi sekarang, yang bisa
memancing emosiku, aku bisa membalas kalimat Karen dengan lebih pedas.
Jadi, kuusahakan mencari jarak dengannya.
Sama halnya dengan menghadapi Mama dan Papa. Jaga jarak. Supaya aman. Sebab, aku punya hobi baru sejak Taka pulang. Naik darah!
“Ya, Lay?” tanyaku. “Dari siapa?”
“Pak Andrew, line dua.”
“Aduh, dia lagi. Klien baru itu lagi! Tolong bilang, saya sedang on-line.”
Tapi, tet! Telanjur tersambung.
27
“Halo, dengan Rara?”
“Ya, saya sendiri,” jawabku, agak termangu. Tidak sopan. Dia tidak menyebut Bu atau Mbak?
Tapi, kok, suaranya agak lain? Kok, suaranya seperti sudah akrab dengan telinga?
“Ini Andrew. Apa kabar?”
“Oh, baik!” seruku. Oh, ya, ampun, Andrew! Temanku. Bukan klienku yang cerewet itu.
“Suaramu bindeng. Pilek, ya?”
“Oh, nggak. Sedang kursus aksen Prancis.”
Terdengar tawa empuknya. Ya, ampun, sudah berapa
lama aku tak mendengarnya. Dia muncul lagi dari liang persembunyiannya.
Dan, masih bisa tertawa!
Lalu, malam itu kami bertemu. Dia mentraktirku di restoran Jepang di lantai bawah gedung kantorku.
“Kamu nggak pernah makan di Chicago?” tanyaku,
sehabis dia bercerita bahwa dia baru kembali dari sana. “Atau, uang saku
dari kantor kurang?”
“Gaji kamu sendiri nggak cukup untuk beli makanan
bergizi, ya?” balasnya. Menurutnya, aku kurus. Menurutku dia lebih
kurus, pucat, dan tak terawat.
28
“Oh, saya sedang menerima tawaran jadi model. Tubuh langsing seperti Kate Moss atau Ally McBeal kan sedang tren.”
Dia hanya tersenyum, malu-malu, seperti dulu. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami bertemu. Tapi, sepertinya dia tak berubah.
“Kamu kurang terawat. Belum punya istri, ya? Kasihan….”
Dia tak menjawab.
“Kamu sudah menikah?” katanya, balik bertanya.
Kenapa semua orang menyukai topik yang satu ini? Menyebalkan.
“Sudah. Belum tahu, ya?”
“Oh, ya? Selamat, dong.” Raut wajahnya tegang. “Dengan siapa?”
“Masa nggak tahu, sih?” seruku. “Kamu nggak tahu
kenapa Nicole Kidman dan Tom Cruise bercerai? Karena ada wanita lain,
„kan? Nih, kenalin orangnya.”
Kuangsurkan tangan. Dia tertawa lepas tiba-tiba.
“Kamu nggak berubah, Ra.”
29
“Ya, kamu yang berubah.”
“Really?”
“Ya. Kamu tumben tidak ingkar janji lagi.”
Dia terkesima sesaat. Mukanya berubah, ada kekelaman
yang dalam pada bola matanya. Aku tak suka melihatnya sehingga segera
kutepuk pundaknya. Harus ada yang memecah kebekuan ini.
“Just kidding!” seruku. “Mana oleh-olehnya?”
Lantas, ganti aku yang terkesima. Kehilangan kata-kata. Banyak sekali yang dia keluarkan dari tas kulit mahalnya. Dulu, dia sering bertanya, oleh-oleh apa yang kumau. Tapi, tak pernah kuterima oleh-olehnya, sekali pun. Menelepon saja, dia tidak pernah sempat.
“Wah, Ndrew, jangan repot-repot. Satu saja cukup, kok.”
“Nggak, ini semua memang jatah kamu. Ini yang dulu
pertama kali saya ke LA. Ini dari Paris. Ini Singapura, Bangkok, Hong
Kong, Tokyo, Inggris, dan kemarin dari Chicago. Yang lainnya lupa dari
mana. Tapi, ini memang untuk kamu. Nah, yang paling besar itu juga dari
Hong Kong, semoga kamu suka.”
“Yang dari Belanda mana?” candaku.
Aku hanya mencoba menutupi rasa haru. Dia menyimpan
ini semua untukku? Orang yang selalu ingkar janji ini? Jadi, setiap kali
dia pergi jauh ke mana pun, dia selalu mengingatku, berusaha membelikan
oleh-oleh untukku, walau tak sempat bertemu langsung untuk memberikannya padaku. Oh….
30
Aku sangat tersentuh, sekaligus sedih, menyadari dua
hal. Aku salah menilainya. Kukira dia tidak peduli lagi padaku. Dan,
dia salah menilaiku, aku masih belum bisa tampil apa adanya di depannya.
Aku masih berusaha menutupi perasaanku. Dia tidak tahu itu.
“Aku tahu kamu suka sembe. Tapi, itu terlalu murah,
terlalu biasa. Minta yang lebih mahal, dong. Jangan bikin malu calon
bankir Jepang ini,” tantangnya.
“Kalau begitu, saya minta berlian. Sekilo!”
Taka pura-pura terjatuh pingsan!
Tidak, bukan itu yang penting. Aku tak butuh oleh-oleh. Aku butuh kehadirannya. Taka tahu itu. Sedangkan Andrew?
“Kamu nggak suka, ya? Kok, nggak diambil?” suara Andrew mengagetkanku.
Rupanya, aku sempat bengong di depannya beberapa sesaat.
“Nggak mau,” jawabku.
“Nggak mau sedikit?”
“Nggak,” sahutku, “nggak salah lagi.” Tawa kami pun berderai.
31
Aku teringat, sewaktu masih mahasiswa, kami selalu begini di telepon.
Aku juga baru sadar, dalam beberapa bulan terakhir, itulah pertama kalinya aku tertawa lepas.
Tepat sekali. Kehadirannya jauh lebih berarti daripada oleh-olehnya.
Andrew menarik. Yang membuatku tertarik padanya adalah sikapnya yang low profile.
Aku berkenalan dengan Andrew, anak teknik yang
pendiam itu, lewat sahabatnya yang juga sahabatku, yaitu Amel. Menurut
Amel, kami pasti akan menjadi pasangan serasi, ditinjau dari sudut
intelektualitas, spiritual, dan emosional. Dia kikuk, sementara aku tenang-tenang saja ketika dikenalkan padanya. Aku tak percaya dengan rekayasa. Diperkenalkan kan belum tentu jadi pacar. Begitu prinsipku.
Tapi, kami mudah akrab. Aku menganggapnya sebagai
sahabat baru yang menyenangkan. Menurut Amel, entah mengapa, jika sedang
berdua denganku, Andrew bisa bercerita apa saja, bahkan hal-hal
paling pribadi dan rahasia. Padahal, bagi orang kebanyakan, dia adalah
patung bisu yang membosankan! Dia cerdas dan obrolan kami nyambung.
Secara umum, lama-kelamaan kusadari bahwa dia berbeda dari sahabat laki-laki
yang lain. Dulu, jika aku ingin bercerita, aku akan menelepon Warih.
Dia adalah pendengar yang baik. Kalau ingin minta pendapat, akan
kutelepon Edo yang otaknya encer. Kalau ingin bergosip, kuhubungi Ray,
yang bekerja sebagai penyiar radio. Kalau ingin jalan-jalan, Alan adalah orang yang paling tepat karena selalu bisa membuatku tertawa. Mereka semua hanya sebagai sahabatku.
Tetapi, sejak ada Andrew, aku hampir tak pernah lagi
saling menelepon dengan mereka. Semua yang ada di pikiran dan hatiku
kubicarakan dengan Andrew, walau kami jarang bertemu karena sama-sama
sibuk. Dia sering meneleponku, bahkan ketika liburan ke luar kota
bersama keluarganya. Mungkin, kami tidak pacaran seperti yang Amel
inginkan. Tapi, kami memang sangat klop. Dan, kami belum pernah
membicarakan hubungan kami selanjutnya.
32
Tapi, dari sekian banyak kelebihan Andrew, ada satu yang kurang. Dia bukan Taka.
***
Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.
Taka sangat sibuk. Sebelum lulus kuliah, dia sudah
diterima bekerja di salah satu bank terbesar di Jepang. Tapi, dia selalu
mengirimiku e-mail, yang di bawahnya sering tertera tanda
waktu sekitar pukul 01.30 sampai 03.05 am. Bahkan, sesekali meneleponku
dari Jepang. SLJJ!
Andrew? Sepulang dari Jepang, sampai setahun
kemudian aku menjadi alumni, aku hanya sempat bertemu dia dua atau tiga
kali. Pertama, ketika aku mau memberikan oleh-oleh dari
Jepang. Kedua, ketika tak sengaja bertemu di toko buku. Ketiga, aku
lupa. Mungkin ketika acara perpisahan alumni baru di balairung. Aku
bahkan belum sempat bercerita tentang Taka padanya. Lihat, dulu aku
selalu ingin berbagi cerita dengannya tentang apa saja.
Pernah sekali aku sudah menyusun kejutan ulang tahunnya bersama teman-teman
di sebuah kafe, dia tidak muncul. Ketika akhirnya ponselnya bisa
dihubungi, dia ternyata sedang berada di Bandung! Aku tak tahu harus
menelusupkan muka ke mana. Untung ada Amel yang pintar mengakali
suasana. Begitu terus sampai setahun. Sampai aku putuskan untuk tak
mengharapkannya lagi. Semua teman bilang dia menyukaiku, dan kata Amel
tak ada wanita lain, dan aku bisa percaya. Tapi, bagaimana mungkin aku
dicintai bila tak pernah ada waktu untukku. Bagaimana dia akan jadi
kekasihku dengan pola hubungan seperti itu.
Setelah jadi alumni, Andrew berubah. Dia selalu
membuat aku bersaing dengan pekerjaannya. Setiap kali kami janjian,
hanya ada dua kemungkinan. Dibatalkan mendadak atau tidak bisa ditepati
dengan alasan yang kurang intelek (Aku heran, dia terlalu cerdas untuk
tidak bisa mengarang alasan yang lebih masuk akal). Aku merasa dia
menghindariku. Mungkin dia sudah punya kekasih, tak jadi masalah. Tapi,
kata Amel, tidak ada wanita lain. Dia memang sangat sibuk. Taruhlah kami
bukan kekasih, tapi sebagai teman biasa pun sikapnya itu sungguh tak
bersahabat.
33
Aku pun memutuskan untuk tak memikirkan ataupun
berniat bertemu dengannya, setelah satu atau dua tahun lebih kecewa pada
segala sikapnya. Kuhabiskan tahun-tahun terakhir dengan beberapa hubungan yang selalu kandas, karena aku tak pernah bisa benar-benar serius dengan salah seorang pun dari para pria itu. Sesekali kukirimi Andrew e-mail sekadar basa-basi untuk menjaga hubungan kami tidak putus total. Terakhir kudengar dia ada proyek di Hong Kong.
Pernah sekali waktu, dia ditugaskan ke kantor di
sebelah gedung kantorku, selama dua minggu. Tapi, tak sekali pun dia
menemuiku, yang hanya dengan jalan kaki lima menit bisa sampai. Dia
hanya menelepon sekali untuk menanyakan kantin ada di sebelah mana.
Dua tahun lalu aku training ke Osaka, tanpa kuminta Taka bela-belain datang dari Tokyo untuk menemaniku week-end, menyusuri pusat pertokoan di Shinsaibashi yang luas. Pada malam hari di sana banyak hosto, pria-pria eksekutif yang gagah berjas gelap, yang gencar berburu wanita- wanita cantik untuk ditawarkan pada bos-bos kaya. Ketika Taka sedang membelikan es krim di am-pm,
dan aku sedang memotret beberapa pemandangan, seorang hosto
mendekatiku, tanpa kuduga. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya.
Dia agak nekat, apalagi mungkin dia mengira aku orang Filipina, yang
terkenal sering terlibat kasus prostitusi di Jepang. Untung Taka segera
muncul. Aku merasa sangat dilindungi dan dihargai bersama Taka. Bukankah
perasaan seperti itulah yang paling diharapkan dari pria oleh wanita di
seluruh jagat ini?
Bukan, bukan itu yang jadi pokok perbedaan di antara mereka berdua.
Pernah juga aku menghadiri seminar di Singapura,
kebetulan Andrew sedang transit di sana, dalam perjalanan pulang dari
Amerika. Dia mengajakku bertemu di salah satu food court di Orchard
Road, malam sehabis aku seminar. Tapi, sampai dua jam menunggu, dia tak
muncul dan tak ada kabar. Setelah kembali ke hotel, aku menerima pesan
di kamar, hanya kata maaf. Besoknya dia sudah check out pada subuh hari,
dan tak ada kabar sesampainya di Jakarta. Ok, kumaafkan, kumaafkan
lagi. Untuk Andrew, kata maaf kuobral.
Tahun lalu aku ke Tokyo, pada musim tsuyu (transisi
musim panas ke musim gugur, musim yang panas, lembap, berangin dan
hujan). Taka butuh kira-kira dua jam untuk menemuiku di Shinagawa dari kantornya. Dia bela-belain
datang, walau kami hanya punya waktu beberapa jam untuk bertemu,
sebutlah sebuah makan malam yang sudah sangat terlambat. Tapi, sekitar
dua sampai tiga jam itu jadi sungguh terasa bermakna.
34
Dia bilang sangat senang melihatku lagi. Dia bercerita tentang ibunya yang kupanggil Okasan, yang sudah mulai mencoba menjodoh-jodohkannya
(omiai kekkon), dan itu membuatnya malas mudik pada akhir pekan. Dia
bilang, dia belum bisa tertarik pada wanita (lain), selain karena
kesibukannya juga karena masih mengingat aku. Dia bilang akan menikah
hanya bila aku sudah menikah dengan orang lain.
Aku kagum pada kemampuan kami memakai logika dalam
melihat kenyataan, bahwa hubungan kami tidak akan semulus impian kami,
oleh karena itu sebaiknya kami hentikan dan berusaha membuka hati untuk
orang lain. Dengan menyadari betapa banyaknya perbedaan prinsipiil,
walaupun sejujurnya tidak semudah itu mencabut sesuatu yang berakar kuat
dalam hati kami dan itu mungkin akan menyakitkan, kami anggap hubungan
kami too good to be true. Taruhlah bukan mission impossible, tapi kami
berdua percaya (dengan susah payah) bahwa cinta saja tak cukup jadi
modal sebuah rumah tangga yang hakiki.
Sepanjang jalan di depan Stasiun Shinagawa menuju
hotel tempatku menginap, dia mencopot dark blue suit, jas biru gelapnya,
untuk melindungiku dari hujan.
Pernah aku janjian dengan Andrew di Plaza Indonesia.
Dia meminta tolong ditemani membelikan kado untuk ibunya yang ulang
tahun. Setelah menunggu dua jam di lobi, dengan dilewati pria-pria
iseng yang mencoba mengganggu, dia tak muncul juga. Hujan turun, tak
ada kabar. Kuhubungi ke rumah tak ada, HP tidak aktif. Aku kelaparan dan
kedinginan, dan kakiku pegal. Malamnya dia menelepon untuk minta maaf,
alasannya hujan. Aku bilang sebaiknya dia beli payung, kalau nggak punya
uang kan boleh pinjam aku dulu. Dia malah tertawa, padahal aku tak
sedang melucu. Dan, anehnya, aku tidak bisa marah padahal aku ingin.
Aku juga heran pada kemampuanku menutupi perasaan,
dengan mencoba bercanda dengannya. Lihat, aku adalah great pretender di
depannya. Badut sejati. Dia adalah penonton buta dan bodoh yang mudah
sekali tertipu oleh topengku yang tipis.
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Kali ini aku harus membuat si tukang ingkar janji
ini buka mulut, karena ternyata setelah tiga kali janjian, dia tidak
pernah ingkar lagi, berarti selama ini ada sesuatu yang membuat dia
sengaja ingkar janji.
35
Nggak boleh.”
“Kalau aku paksa?”
“Aku keras kepala.”
“Tahu ini, „kan?” kutunjukkan pisau cake dengan mimik mengancam.
“Ya, ya. Ampun, ampun,” sembahnya, bercanda.
“Kenapa, dulu, kamu, sukaaa sekali…,” kalimatku sengaja kugantung-gantung, “I-N-G-K-A-R J- A-N-J-I?”
Dia menahan napas. Berpikir. Dahinya berkerut. Sinar
matanya memudar. Kutatap dia tajam. Sialan, anak ini menarik juga kalau
diperhatikan, bahkan dengan muka kurus dan kepala agak botak seperti
sekarang. Aku baru sadar. Orang jenius memang berisiko botak.
36
“Maafkan aku, Ra, kalau masih bisa,” ucapnya. “Aku
memang brengsek, nggak pernah tepati janji. Aku nggak tahu bagaimana
menghargai orang lain. Aku tak berguna, tak layak mendapatkan pengertian
orang lain, karena aku sendiri nggak bisa mengerti orang lain, egois.…”
“Dan, mestinya kamu dibakar hidup-hidup
di neraka?” sambungku cepat, sebelum aku tak bisa menahan perasaan
haruku meledak, setelah mendengar ucapannya yang terdengar sangat tulus.
Kami tertawa. Suasana pun kembali normal.
Sementara itu, aku dan Taka masih berkirim kabar sekali-sekali.
Rara chan,
Bagaimana hubunganmu dengan Papa dan Mama? Jangan
membenci mereka karena aku. Jangan mengambil jarak terus dengan mereka.
Aku juga sering melakukan hal yang sama, tapi lama- kelamaan kupikir
memang benar bahwa orang tua menginginkan anaknya bahagia.
Minggu lalu Okasan membawa wanita lagi ke rumah.
Sebegitu seringnya sampai aku tidak tega bilang bahwa aku tak berminat.
Bukan karena hubungan kita. Tapi, papamu benar, aku memang sibuk sekali
di kantor. Aku takut dia akan bosan kutinggal di rumah. Okasan marah-marah. Dia ingin sekali segera memiliki cucu.
Memang susah menyamakan pendapat dengan orang tua, kadang-kadang.
Tapi, kita mesti gambarimasu, berjuang. Aku harap kamu bahagia.
Bahagialah untukku. Aku turut bahagia untukmu. Bukalah hati untuk yang
lain. Bahagiakanlah dirimu.
P.S: Jangan terlalu sering lembur. Ingat makan, jaga kesehatan.
Love, Taka
37
“Rara San!” panggil seseorang.
Takeda San! Aku segera menoleh.
“Hai‟?” jawabku.
“Dareka, okyakusan ga matteruyo. Ada seorang tamu menunggu, lho.”
Aku segera bangkit. Meja resepsi yang biasanya
dihuni Layla, sudah kosong. Kantor sudah sepi, tinggal segelintir orang
yang masih lembur, termasuk aku yang sedang jenuh hingga buka-buka internet dan malas pulang. Jam digital di atas meja Layla menunjukkan angka 19:50.
Seseorang muncul di ambang pintu kaca.
“Andrew?” aku terkejut. “Kita nggak janjian, „kan?”
“Aku kebetulan sedang lewat di depan kantormu, dan
kulihat lampu masih menyala, kupikir kamu mungkin belum pulang, jadi aku
mampir.”
Oh,” desisku.
“Kamu sudah makan malam?”
“Belum.”
38
“Kamu mau makan denganku?”
“Mau tunggu sepuluh menit? Aku harus membereskan sedikit pekerjaan.”
Dia mengangguk dan duduk di sofa.
Sebelum komputer ku-shut down, kubalas e-mail Taka.
Dear Taka,
Aku baik-baik saja. Aku tidak membenci
Papa dan Mama. Aku hanya masih menjaga jarak dengan mereka, soalnya aku
nggak suka cara mereka mencarikanku jodoh. Akhir-akhir ini
mendadak banyak sekali pria yang telepon atau mendatangiku ke rumah atau
ke kantor. Aku tak peduli pada mereka, tapi itu membuatku makin nggak
nyaman dan malas pulang.
Oh, ya, masih ingat Andrew? Kami kadang-kadang bertemu sekarang. Dia sudah bertobat, tidak suka ingkar janji lagi.
Aku harap kamu juga bahagia.
Salam, Rara.
Aku pamit pada Takeda San.
“Osakini shitsurei itashimasu. Maaf saya pulang duluan.”
39
“Hai, dozo. Ki wo tsukete ne. Ya, silakan. Hati-hati di jalan, ya.”
“Hai, mata ashita. Sampai besok.”
“Kareshi ni yoroshiku ne. Salam, ya, buat pacarnya.”
***
Ungk! Aku terkejut dan menoleh. Takeda San tersenyum, lalu mengedipkan mata.
Andrew melihatku datang dengan lega.
“Seram juga, ya, kantormu kalau malam. Rasanya banyak hantu Jepang yang lewat.”
“Hantu? Sok tau lu!” semburku.
Dia terkekeh. Dia paling senang bisa mencelaku.
Karen lagi, Karen lagi.
“Come on, Karen,” kata Bortje. “Kembalilah dengan bayi Rolling Stones-mu. Ambillah cuti hamil segera. Kamu butuh istirahat.”
40
Karen menjulurkan lidah. Itulah hobi barunya sejak
hamil, sehingga orang sekantor yakin anaknya nanti akan jadi penyanyi
rock, penerus The Rolling Stones.
“Belum siap, nih, ninggalin kantor. Bagaimana jadinya kalau saya nggak ada,” Karen mengangkat dagu sambil melirik ke arahku.
“Kalau begitu, melahirkan di kantor saja, bidannya Takeda San sekalian, siapa tahu ketularan jadi bos,” sembur Jean.
“Ironis juga ya,” ucap Karen, nggak menggubris.
“Saya sudah mau punya anak, sedangkan yang lain punya pacar juga belum,
umur sudah mau kepala tiga.”
Aku menahan napas. Tiba-tiba Jim mendekat sambil membawa kalender.
“Wah, sebentar lagi kita makan-makan,
deh. Ada dua orang yang ulang tahun. Layla dan Rara. Asyik juga, nih.
Ra, makan di restoran lantai bawah, dong. Saya sudah lama, nih, tidak
makan sushi.”
“Makan melulu yang dipikirin,” ucap Layla, yang
sedang membawa setumpuk surat dan menjatuhkannya beberapa di atas
mejaku. “Ulang tahun apaan, besok mungkin saya sudah mati duluan.”
Paling nggak sebelum mati kamu sudah tunangan dulu, Lay. Daripada jomblo sama sekali,” timpal Karen.
“Karen,“ Jim mendekati mejanya, “you‟re sick! You better take leave soon!”
41
Jim bangkit dan mengusap bahuku sambil berlalu. Karen terdiam seketika. Layla juga berlalu. Karen manyun.
“Mbak Rara, line satu,” suara Layla.
“Halo?”
”Ra, ini Ibem. Kamu ada waktu nggak, ada pameran software di JHCC….”
“Sori, Bem, aku mesti lembur hari ini.”
“Besok gimana?”
“Lihat besok, tapi nggak janji, ya.”
“Ya, sudah. Ok, bye.”
“Line empat buat mbak Rara, dari mamanya,” seru Layla lagi di intercom.
Kuangkat telepon. “Ya, Ma?”
“Hari ini bisa pulang cepat? Mama mau ngajak makan malam di rumah.”
“Ngajak makan siapa?”
42
“Kamu. Kalau bisa, ajak Andrew.”
“Kok, tumben? Kok, Andrew?”
“Kan malam ini ulang tahun pernikahan Papa dan Mama.
Lupa, ya? Tadi pagi Mama nggak sempat bilang soalnya kamu berangkat
pagi sekali. Bisa kan, Boru?”
Kok, ngajak Andrew segala? Dia nggak bisa, mestinya dia lagi di Singapura sampai lusa,” jawabku, curiga.
“Ya, sudah, yang penting kamu ada. Jam tujuh bisa sampai rumah?”
“Ya, sudah.”
Telepon diputus. Kuputar nomor HP Andrew. Tidak aktif. Semoga dia masih di Singapura. Aku curiga ada apa-apanya Mama mengundang dia segala. Sebaiknya Andrew nggak usah datang. Aku nggak suka karena aku tahu Mama suka orang bertipe Andrew.
Lalu, tanpa sengaja aku punya alasan untuk tetap
menjaga jarak itu, walau aku tak menginginkannya. Takeda San memintaku
lembur, membantunya membuat laporan bulanan ke Headquarter. Sebenarnya
aku bisa menolaknya, tapi sebaiknya jangan.
Aku sudah menelepon ke rumah dan mereka bisa
mengerti. Ketika pukul sembilan aku tiba di rumah, aku tak bisa
memercayai penglihatanku. Dan, itu membuatku hampir naik darah.
“Kamu bilang kamu di Singapura,” kataku pada pria itu. Tanpa basa-basi. “Kamu bohong.”
43
Dia menatap suram. Diam. Mungkin terkejut melihat ekspresi ketidaksukaanku.
“Siapa yang mengundang kamu? Mama, ya?” serangku, mungkin dengan nada kemarahan.
“Rara, makan dulu.” Mama mencoba menghela tanganku ke dapur. Kusergah.
“Aku nggak lapar. Aku mau tidur.”
Bum! Pintu kamarku kubanting. Aku punya alasan untuk marah!
Aku memang marah. Bukan karena Andrew memboh
ongiku, tapi karena Mama! Dan, aku menyesal telah bersikap begitu pada Andrew.
Setiap kali bunyi bip-bip-bip di atas mejaku, aku akan segera menoleh dan berharap itu dari Andrew. Tapi, setiap kali aku kecewa.
“Selamat siang, bisa dibantu?” kuterima telepon. Entah siapa lagi ini.
“Hai, Rara. Masih ingat saya?”
Aku mengernyit. Suaranya bernada akrab sekali. Sok akrab sekali, tepatnya. “Maaf?”
“Ini Tonny, yang ketemu di gereja minggu lalu. Yang pakai kemeja biru. Lupa?”
44
“Ya, ya. Ingat. Kenapa, Pak Tonny, ada yang bisa saya bantu?”
“Emh, jangan panggil „Pak‟, dong. Sorry mengganggu, lagi sibuk, ya? Engh, anu, kamu makan siangnya jam berapa?”
“Hari ini saya ada meeting jadi makan siang di kantor.” “Kalau makan malam?”
“Biasanya saya tidak pernah sempat makan malam.”
“Kalau besok?”
“Besok saya sales call ke tempat klien.”
“Lusa, atau kapan bisa?”
“Saya belum tahu. Kenapa?”
“Oh, Rara, nggak heran mama kamu segitu paniknya mencarikan kekasih buat kamu, kamu sangat sibuk ternyata.”
“Aaa? Maaf?” aku bingung dan tersentak secara bersamaan.
“Ya, kasihan mama kamu segitu khawatirnya akan
kondisi kamu, karena kamu sangat menutup diri dan menghindari pria. Kamu
sadar nggak usia kamu berapa?”
45
Darahku mulai naik.
“Kamu pikir kamu siapa, beraninya ngomong begitu sama saya!”
“Oh, jangan sewot begitu, dong. Saya cuma mau nolong
mama kamu, kok. Mama kamu yang minta tolong saya mendekati kamu. Saya,
sih, terpaksa saja.” Brengsek. Kubanting telepon.
Malamnya, sepulang kerja, kubanting pintu kamar di belakang Mama.
Biasanya Mama akan mendiamkan dan membiarkanku bertapa di kamar dengan damai. Tapi, kali ini tidak.
Pintu kamarku digedor-gedor.
“BUKAAA…”
Aku yang sudah tak tahan pun segera menerima tantangan itu. Di depanku sepasang manusia itu menatap marah dan terluka.
“Kelakuan kamu sudah tak pantas!”
“Itu gara-gara Mama.”
“Mama kan cuma ngenalin dan selanjutnya terserah kamu.”
46
“Cuma ngenalin gimana! Mama sudah berapa kali nyuruh pria-pria ngejar-ngejar
Rara. Bahkan sampai ada yang begitu lancangnya ngomong menjatuhkan
harga diri Rara sebagai wanita. Mau ditaruh di mana muka Rara? Kesannya
Rara, tuh, cewek yang nggak laku, diobral dan dijodoh- jodohin seenak
hati!”
“Itu kan gara-gara kamu yang menutup diri. Ingat-ingat, dong, usia kamu sudah berapa.”
“Tapi, bukan begitu caranya, dong, Ma.”
“Jadi gimana caranya? Ayo, ajarin Mama. Kamu masih
terus mengharapkan Taka? Dengan menutup diri begini, apa kamu pikir pria
akan pada datang dengan sendirinya?”
“Saya tidak peduli pada pernikahan.”
“Kamu tidak boleh bicara begitu!” bentak Mama.
Papa hanya diam. Tapi aku tahu, dia tak berpihak padaku.
“Mama terlalu banyak mencampuri…,” aku mulai terisak. “Bahkan dalam hal-hal
kecil. Seperti hubunganku dengan Andrew. Ngapain juga mesti sok
ngundang dia segala. Tahu nggak, sejak makan malam di anniversary waktu
itu, dia sudah tak pernah muncul lagi, „kan? Mama bisa kasih tahu
alasannya kenapa? Mama lihat, dengan turut campurnya Mama, bukannya
membuat keadaan Rara lebih baik, tapi semua orang jadi makin menjauhi
Rara….”
Aku terduduk lunglai.
Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?”
47
***
Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.
Aku terduduk lunglai.
Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?”
“Dia satu-satunya teman yang masih bisa
bikin Rara senang sejak Taka pergi. Tapi, dia juga akhirnya pergi,
sejak dia kenal Mama. Entah kenapa. Entah apa yang salah. Yang jelas itu
sejak
Mama mulai mencampuri hubungan kami.”
“Andrew nggak pernah hubungi kamu lagi?” suara Mama sangat tidak yakin.
Aku menoleh. Ada sesuatu yang menarik. Kulihat mata Mama mulai berkaca-kaca.
“Padahal, dia bilang dia sangat sayang pada kamu….”
“Hah? Kok, bisa dia bilang gitu sama Mama? Mama ngomong apa sama dia?” Aku makin marah.
Mama menunduk. Air matanya mulai menitik.
48
“Padahal, dia bilang sangat ingin jadi menantu Mama, waktu Mama minta dia …”
“Apa?” Darahku naik lagi. “Jadi, Mama…?” Ya, ampun!
Oh, jadi diam-diam Mama meminta Andrew melamarku?
BUM!!
Kali ini pintu kubanting dan takkan kubuka, walau dengan gedoran sekeras apa pun.
Dear Taka,
Aku sedang ketakutan.
Ketakutan pada diriku sendiri. Aku mudah sekali naik
darah. Walaupun setelah marah aku akan tersiksa dengan rasa sesal. Aku
bukan membenci Papa dan Mama, tapi aku kesal dan muak dengan cara mereka
mencampuri urusan dan mencoba mengatur hidupku.
Apakah mereka lupa kisah Siti Nurbaya, Titanic,
Romeo dan Juliet, semuanya berakhir dengan kesedihan dan kehancuran?
Bahwa cinta tidak bisa dipaksakan?
Taka, aku juga mulai merasa takut… kehilangan Andrew….
Kuklik send. Lalu muncul report. Message sent.
Teleponku berbunyi. Segera kuaktifkan voice mail. Aku sedang tak ingin dihubungi.
49
“Halo Rara, ini Yoel, Cuma pengen denger kabar kamu, kok. Masih suka bowling nggak? Sesekali main bareng lagi, yuk.”
Lima menit kemudian. Voice mail lainnya.
“Hei, ke mana aja! Nathan, nih. Gue mau nganterin
undangan, nih. Lu nggak mau ama gue, sih, jadi gue merit ama cewek lain.
Kapan ada waktu?” Klik.
“Rara Chan, isogashii (Sibuk)?”
Hahk! Aku tersentak. Itu suara Takeda San.
“Call back ne, ketai denwa. Shikkyu.”
Aku buru-buru menghubungi ponselnya. Shikkyu.Urgent, kata bos.
“Haro, Rara Chan,” suara khasnya terdengar. “Torong
kirimu imeru ku Nakagawa San. Birang saya tidakku bisa besokku ku
kantorunya. Kirimu juga kosto karukureshon ne. Arigatou.”
Dasar orang Jepang. L jadi R. Kirim jadi kirimu. Ke jadi ku….
Kirim juga apa tadi dia bilang? Cost calculation?
Kejutan! Kejutan!
Ternyata, Andrew tidak pergi ke mana-mana.
50
Dia ternyata sedang mempersiapkan kejutan untukku. Setelah menghilang sekian lama, tiba-tiba dia muncul. Ah, dia selalu begitu. Tak berubah.
Dia membawakanku sebentuk cincin berlian yang khusus
dibelinya di Jerman. Dia sedang mempersiapkan pernikahan kami. Dia juga
telah mempersiapkan bulan madu ke Eropa. Kami akan terbang ke Negeri
Kincir Angin, Amsterdam, dan mengunjungi Desa Volendam, Dam square,
Royal Palace, Museum Rijks. Lalu ke Paris, mengunjungi Place De La
Concorde, Arch De Triomphe, Gereja Notre Dame, Menara Eiffel, yang dari
lantai dua bisa menyaksikan pemandangan spektakuler ke seluruh penjuru
kota Paris. Malamnya menyaksikan pertunjukan Cabaret Show di Lido Club.
Dia menanyakan apakah dia perlu meminta izin dulu
pada Taka untuk mempersuntingku, kujawab tidak! Aku bahagia dalam gaun
pengantin putih dan dia dalam tuxedo biru. Taka akan menjadi pendamping
pengantin pria. Taka juga bahagia. Seperti janjinya. Bahagia untukku.
Di mana-mana ada bunga. Semua berwarna cerah. Indah. Bersinar. Hangat. Rasanya seperti surga. Mungkinkah ini selamanya? Bisakah?
Semua sahabatku datang. Teman-teman kantor juga. Papa, Mama, dan bahkan kakak laki-lakiku yang di Amerika muncul. Semua bahagia. Semua tersenyum. Tertawa bahagia.
Padahal, persiapan pernikahan ini sangat buru-buru.
Andrew yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal terima jadi. Tapi,
aku sangat bahagia. Lihat, bukan hanya Taka yang selalu bisa membuat
kejutan yang menyenangkan, „kan? Andrew lebih spektakuler lagi!
Andrew menjadi suamiku! Aku menikah! Karen tidak bisa lagi mengata-ngataiku.
Aku bukan perawan tua. Aku bukan lesbian. Aku bukan gadis tak laku.
51
Aku jadi pengantin. Bahagia sekali!
Ketika kami berdiri di altar, dan pendeta menanyakan
kesungguhan kami, bahwa hanya maut yang bisa memisahkan kami, Andrew
telah menjawab mantap, “Saya bersedia.”
Dan, ketika giliranku tiba.…
“Rara, Raraaa….”
Semua undangan menjadi geger. Tapi, Mama tetap tidak mau diam. Dia terus memanggil- manggil namaku. Aku menoleh dengan panik.
Dan.…
Kulihat Mama di pintu.
“Bangun, Boru. Kamu nggak ngantor?”
Kulihat jam dinding. Sudah pukul tujuh. Pagi. Aku baru bermimpi.
Hanya mimpi. Seharian, entah kenapa, aku tak bisa membendung air mata.
“Jangan lakukan ini pada dirimu sendiri, Boru,” kata Mama. “Kalau kamu marah pada Mama, jangan dirimu sendiri yang kamu siksa.”
52
Itu adalah kalimat Mama yang divariasikan dengan
beberapa gaya bahasa, ketika membukakan pintu, bila aku pulang malam
atau pagi hari saat berangkat kerja dengan buru-buru.
Lalu siapa yang harus kusiksa? Ada yang mau jadi voluntir?
Lalu Takeda San akan datang dengan ekspresi aneh.
“Tolong beri tahu saya, berapa kira-kira kenaikan gaji yang kamu inginkan tahun depan, supaya saya siap-siap.” Lalu dia akan memohonku untuk tersenyum sedikit untuknya.
Seandainya dia tahu, saya sungguh senang bekerja di perusahaan ini, yang memang cita-cita saya sejak kuliah, kecuali oleh satu hal.
Karen menjulurkan lidah.
“Sudah punya nama buat anak kamu nanti, Ren?” tanyaku pada Karen.
Aku hanya mencoba berbasa-basi dengannya. Sebab, kulihat sorot mata sirik itu.
“It‟s none of your business!” jawabnya, ketus.
***
53
Jean mendongak. “Saya mau gantian sama kamu, Karen.
Saya lebih suka punya anak daripada kerja di kantor. Kamu kayaknya berat
sekali meninggalkan pekerjaan, padahal kerjaan kamu nggak gitu-gitu amat, kok. Ada nggak ada kamu, nggak jadi masalah.”
Karen tidak menjawab. Mulutnya memanjang. Dia segera beranjak dan membanting file.
Jean mengalihkan tatapan padaku. Menahan tawa.
Lalu, ada suara khas Layla di interkom.
“Ada tamu di depan. Pak Andrew. Bukan klien. Temennya, katanya.”
Jean tersenyum. “Jadi hari ini nggak lembur, dong.”
Hari itu aku pulang kantor jauh lebih cepat dari biasanya.
Di restoran yang senyap, dingin dan remang, aku duduk berhadapan dengan orang bermuka kurus, dengan tulang dan urat-urat
pipi yang menonjol nyata, pucat, dan sorot mata yang kelam. Sebegitu
cepatnya dia berubah penampilan menjadi seburuk ini. Maksudku, pertemuan
kami sebelumnya juga dia sudah kelihatan memburuk, tapi ini makin
parah….
“Maafkan aku, menghilang lagi tiba-tiba.”
Selalu kumaafkan. Sejak dulu. Masih belum mengertikah dia?
“Tidak apa-apa. Aku yang harus minta maaf soal makan malam di rumah waktu itu….”
54
Segera disergahnya tanganku untuk memotong ucapanku. Aku terkesima. Berdebar-debar. Kenapa jadi begini?
“Maafkan Mama juga,” kusambung dengan nekat. “Mama….”
Telapak tangannya langsung menyentuh bibirku.
Tidak, tidak. Mama kamu benar, nggak ada yang salah.
Kamu nggak perlu minta maaf. Akulah yang salah. Akulah yang membuat
semuanya jadi berantakan. Akulah yang tidak berani menghadapi kenyataan
dan selalu melarikan diri.”
Di restoran Jepang yang senyap dan dingin ini, dulu
kami bertemu lagi setelah sekian lama tidak bertemu, dengan muka
gembira, tawa dan canda. Segalanya berbeda dengan sekarang.
“Sebenarnya aku sangat menyukaimu,” ujarnya, dengan
suaranya yang terdengar berat dan susah keluar. “Aku sangat ingin
menikah denganmu.”
Entahlah, aku harus tersanjung atau malu dengan hal
itu. Kalau Itu adalah hasil pendekatan kedua orang tuaku yang kuanggap
sudah sangat keterlaluan, maka aku harus mencari tempat untuk membuang
mukaku. It‟s just a white lie, right? Saya tidak selugu itu, Andrew!
“Tapi?” tanyaku mencoba tenang, menahan malu.
“I can‟t make it true.”
55
Aku tak punya keinginan untuk bertanya apa alasannya. Aku tahu permainan ini.
“Aku mengidap kanker.”
Aku tersenyum. Alasan yang bagus.
“Aku juga mengidap AIDS,” balasku. Badut! Kumat.
“Aku serius, Ra.”
Padahal, akhir-akhir ini, entah setan apa yang hinggap, aku mulai sedang-hampir-akan mempertimbangkan usul Mama dan Papa untuk menikah dengan pria ini, setelah kupikirkan dalam-dalam dari banyak segi. Bukan karena mimpiku. Bukan hanya karena e-mail
Taka. Bukan karena umur. Bukan karena demi orang tua. Bukan juga karena
aku putus asa tak menemukan pria yang lebih cocok (dia tetap tak
sebanding dengan Taka). Tetapi, karena makin kurasakan, walau sedikit
(demi sedikit), hasil rekayasa percomblangan Amel yang dulu, yaitu
adanya kebutuhan untuk bertemu dan bersama dia, yang makin hari makin
menjadi, seperti dulu kurasakan dengan Taka. Apalagi sejak dia tiba-tiba menghilang akhir-akhir
ini, perasaan sangat kehilangan itu makin terasa nyata. Aku jadi sangat
takut kehilangan dia…. Setelah Taka, aku belum siap untuk kehilangan
lagi. Kini, rupanya aku memang akan benar-benar kehilangan dia.
“Penyakit ini ketahuan sejak aku mulai bekerja, Ra.
Ketika itu aku mulai sering harus mengingkari janji denganmu, sering
menghilang, karena aku tiba-tiba ambruk, atau tiba-tiba
harus ke dokter, atau dirawat di rumah sakit. Beberapa kali aku juga
berobat ke luar negeri, walau itu hanya membuat kepalaku makin botak.
Juga karena aku berpikir lebih baik menjaga jarak kita supaya tidak ada
yang kecewa. Mungkin akulah yang akan paling kecewa karena dari dulu,
sejak pertama bertemu, bibit-bibit rasa suka pada kamu
sudah tumbuh. Entahlah dengan kamu, tapi kamu sangat berperan baik
sebagai sahabat bagiku. Daripada berharap muluk-muluk, aku
sudah merasa puas dengan persahabatan kita. Meskipun sering menghilang
dan menjaga jarak, sebenarnya aku tetap nggak mampu melupakan kamu.”
56
Lalu mengapa kamu muncul lagi akhir-akhir ini? Oh, aku tahu. Hanya untuk menebus dosa, sebagai saat-saat
terakhir yang manis dan takkan terlupakan. Aku mengerti. Oh. Taka,
tolong aku, rasanya aku lebih baik melompat ke Batu Gantung saja!
“Soal Mama kamu, pernah aku menelepon ke sana
mencari kamu, tapi kamu belum pulang. Mama mengajak ngobrol dan
menceritakan semuanya. Mama sangat sedih melihat kondisi kamu, karena
Mama begitu sayang padamu. Aku juga tidak bisa menutupi pada Mama bahwa
sebenarnya aku sangat sayang pada kamu, tapi aku nggak berani karena aku
nggak tahu perasaan kamu bagaimana. Apalagi waktu makan malam di
anniversary itu, kamu sepertinya memang tak suka aku ada di sana, dan
itu memang salahku. Aku dan Mama kamu sekongkol untuk membuat kejutan,
bahkan dengan sengaja saya membohongi kamu dengan bilang bahwa saya
sedang di Singapura. Setelah malam itu, saya tiba-tiba ambruk lagi. Dan, menghilang tanpa kabar. Sama sekali bukan karena ingin menghindari kamu atau Mama….” Maafkan aku….”
Kami mengucapkannya bersamaan. Dengan air mata.
Sementara lagu itu terdengar menusuk ke sanubari yang paling dalam.
Too much love will kill you
it‟ll make your life a lie
yes, too much love will kill you
and you won‟t understand why
you‟d give your life, you‟d sell your soul
but here it comes again
too much love will kill you
in the end.
Aku kembali ke kantor dengan sebuah kehancuran jiwa yang baru.
57
Setelah Taka, kini Andrew. Apa yang salah dengan
takdirku? Papa, Mama, what more would you say? Hatiku yang belum pulih,
kini hancur lagi. Makin parah!
“Mbak Rara, line dua dari Jepang, Mr. Ogawa,” teriak Layla, ketika aku sedang melintas.
Thank God, dia memang selalu ada ketika aku membutuhkannya.
Karen!
Dia menjerit keras. Semua kegiatan di kantor tiba-tiba terhenti.
Sepuluh menit kemudian kami sudah di rumah sakit. Kalau ada apa-apa dengan bayinya, akulah yang bertanggung jawab. Aku sangat tegang. Rasanya ingin mati saja. Aku ingin matiii.
***
Demi kebahagiaan orang tuanya, Rara rela dijodohkan.
Tapi, mampukah ia mencintai suaminya dengan tulus, sebagaimana ia
mencintai Taka?
58
Karen sudah mengerahkan segenap tenaganya. Dia
terlihat sangat menderita. Dia menjerit berulang kali sambil mengejan.
Kasihan Karen. Dia sudah kehabisan tenaga. Karen memang bersikeras
melahirkan secara normal. Si bossy yang bermulut pedas, yang menjuluki
aku perawan tua dan lesbian. Tapi, ia kumaafkan!
Aku bergidik ngeri melihat penderitaan Karen menjelang melahirkan. Tubuhku bergetar hebat. Kupejamkan mata.
Aku seakan melihat Mama di sana.
Dan, suara-suara itu terus terngiang-ngiang.
“Masih maukah kamu menikah denganku?”
“Aku mencintaimu, bukan sekadar menyukaimu. Aishiteiru.”
“Taka melamarku, Mama, Papa.”
“Tidak!”
“Sebenarnya aku sangat menyukaimu, aku sangat ingin menikah denganmu.”
59
“Aku mengidap kanker.” Tiba-tiba Karen
menjerit keras, untuk yang terakhir, sebelum jatuh terkulai karena
kehabisan tenaga. Akhirnya, semua berakhir. Aku menghambur keluar
ruangan ketika terdengar tangisan bayi.
Ya, Tuhan, aku percaya bahwa melahirkan itu
menyakitkan sekali. Tapi, aku baru mengerti setelah menyaksikannya
sendiri. Aku jadi teringat cerita Papa. Dulu, saking inginnya Mama
memiliki anak lagi, biarpun dokter melarangnya, Mama tetap mengambil
risiko dan nyaris meninggal. Tapi, Tuhan memang baik, masih memberikan
kesempatan agar aku lahir di dunia, hidup pongah di atas penderitaan dan
taruhan nyawa seorang ibu yang kini malah tak diacuhkannya, ibu yang
telah „kehilangan‟ anak laki-laki harapannya.
Rara. Namaku artinya merah. Pertanda semangat Mama melahirkanku dan banyaknya darah yang tercurah demi aku. Rara.
Aku makin membenci diriku sendiri.Aku tak pantas
hidup. Selautan air mata pun takkan mampu membersihkan semua
kesalahanku. Selautan berlian pun takkan mampu membalas kasihnya.
Rasanya, aku ingin segera pulang, menyembah, mencium, dan membasuh kaki
Mama dengan air mataku. Mama yang melahirkan aku dengan taruhan nyawa.
Andrew pergi untuk selamanya. Kuputuskan untuk
menjadi anak manis bagi orang tuaku. Kukurangi kontak dengan Taka dan
kuperbanyak perhatianku untuk Mama dan Papa. Kuputuskan menerima tawaran
pekerjaan di tempat baru. Semua orang di kantor menuduh Karen sebagai
penyebab kepindahanku. Mereka salah.
Hidup harus dilanjutkan. Hidup adalah keputusan dan tindakan.
Aku memulai sesuatu yang baru. Meninggalkan semua kejadian pahit, mengubur dalam-dalam, dan memberinya nisan bertuliskan: Masa Lalu.
Kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Papa atau Mama, aku tahu siapa orang pertama yang harus kusalahkan. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya nomor telepon, yang kusimpan sekian lama, tersambung juga.
60
“Yes, Jogi‟s speaking.”
“Ini Rara.”
Tak ada reaksi. Dia pasti terkejut. “Rara who?” tanyanya, singkat.
“Papa kena serangan jantung. Sekarang di rumah sakit.
Aku hanya ingin memberi tahu hal itu,” kututup telepon. Pulsa ke
Amerika mahal. Lalu, kenapa aku harus meneleponnya?
Bukan untuk meminta perhatian atau simpatinya.
Aku hanya ingin dia merasa bersalah!
Aku ingin dia ikut merasakan akibat perbuatannya!
Aku ingin dia tidak bisa tidur oleh rasa sesal dan malu yang mendalam!
Aku ingin dia hidup dalam penyesalan, kegusaran, dan kehampaan!
Itu pun kalau dia masih punya perasaan!
“Apa yang Papa pikirkan?”
61
Papa menggeleng. Dia berbohong. Ya Tuhan, dia sudah
tua. Sinar matanya meredup. Dia berbaring tak berdaya. Aku tahu apa yang
berkecamuk dalam benaknya. Hanya dua. Jogi, putranya yang durhaka.
Rara, putrinya yang keras kepala dan belum menikah! Jadi, lima puluh
persen penyebab dia tergeletak tak berdaya adalah aku! Itu membuatku
menangis
semalaman. Taka, help me….
Aku harus menikah, tapi dengan siapa?
Apa pun akan kulakukan asal Papa bahagia.
Asal Papa tidak sakit, apalagi sampai meninggal.
Apa pun akan kulakukan….
Rara,
Menikahlah dengan pria yang betul-betul mencintaimu.
Dia akan menolongmu belajar mencintainya.
Pakailah instingmu untuk memilih yang terbaik.
Kucoba turuti saran Taka. Sulit sekali.
Robert bukan tipe bapak. Denny terlalu career-minded, takkan ada waktu untukku. Toby kelihatan kurang dewasa. Hendrik terlalu bergaya bos.
Lalu, siapa lagi? Aku makin pusing.
Pria ini adalah anak sahabat Papa sewaktu masih sekolah di Pematang Siantar. Mereka datang menjenguk Papa.
62
Perjodohan yang tepat. Orang Batak. Dia anak pertama
pembawa marga. Entah kenapa, aku tidak punya alasan untuk menolak.
Padahal, aku takut melihat sorot matanya. Dingin dan seolah tidak
peduli.
Mungkin sama seperti aku. Kami sama-sama tidak begitu peduli akan perjodohan ini. Kami sepertinya menyimpan kepahitan akan masa lalu.
Tapi, apa artinya ini dibandingkan dengan kebahagiaan Papa dan Mama?
“Apa yang salah dengan cara kita mendidik anak, ya,
Albert,” kata sahabat Papa itu. “Anakku hampir menikah dengan orang dari
seberang yang tidak seiman.”
Hanya itu yang kuketahui tentang masa lalunya. Bulan
berikutnya, kami berdua sudah berdiri di altar gereja yang bertaburan
bunga.
Pria di hadapanku ini pasti tidak mendengarnya. Padahal, aku sudah meneriakkan sekeras- kerasnya, dalam hati.
“Aku rela menikah denganmu. Kau tak perlu mencintaiku. Tapi, tolong jangan sakiti hatiku.
Masih banyak luka yang belum sembuh, yang sedang kubalut. Tolong, jangan kau tambahi dulu.”
Pendeta pun meresmikan pernikahan kami. Kami resmi menjadi satu. Suami dan istri. Hanya maut yang bisa memisahkan kami!
Sepulang dari resepsi dan adat, otakku mulai
berputar. Apa jadinya hidup tanpa cinta? Apa yang harus kulakukan pada
malam pertama? Bagaimana aku harus bersikap di hadapan mertua? Di rumah
mertua, kami diberi wejangan oleh pihak keluarga suami sampai tengah
malam. Tapi, karena itu, aku tidak perlu mencari alasan untuk
menghindari malam pertama. Kami sama-sama terkapar kelelahan, tanpa sempat membuka baju pengantin.
63
Namanya Arga. Dalam bahasa Batak artinya mahal.
Aku memanggilnya „Bang‟. Kami terpaut lima tahun.
“Kita bulan madu ke mana, ya?” tanyanya.
“Ke mana saja, asal jangan di rumah.”
“Jakarta atau daerah?”
“Luar negeri?”
Aku hanya mencoba bercanda.
“Uangnya nggak cukup. Kan, kita mau cari kontrakan.”
“Ya, sudah, terserah saja.”
“Aku nggak punya ide.”
“Aku juga.”
Kami memilih Bali.
64
Aku merasa aneh berjalan dengannya. Dia tidak
menggenggam tanganku seperti layaknya pengantin baru. Selama lima hari
di Bali, setiap kali pulang ke hotel, kami pasti langsung tertidur.
Malam pertama itu tidak pernah ada. Akhirnya, aku percaya bahwa dia
tidak begitu peduli akan pernikahan ini. Dia tidak pernah mencintaiku.
Aku juga begitu. Tiga bulan berjalan, aku masih perawan. Tapi, aku tak
peduli!
Kami pindah ke kontrakan dekat kantorku.
Tiap pagi kubuatkan kopi dan sarapan roti untuknya. Kadang-kadang,
kami berangkat bersama- sama. Tapi, pulangnya aku sering sendiri.
Selain lembur, kuhabiskan waktu di mal atau kafe. Dia juga sering pulang
malam. Tak ada tuntutan apa-apa satu sama lain.
Aku kurang cocok dengan ibu mertua dan adik ipar
perempuanku yang sangat perhitungan dan materialistis. Suamiku harus
membayar semua belanjaan mereka. Kalau begini terus, kapan tabungan kami
akan cukup untuk membeli rumah sendiri?
Ya, ampun! Aku baru sadar. Aku mulai memikirkan
rumah tangga dan masa depan kami. Tapi, aku tidak berani membicarakannya
dengan Arga.
Lalu, datanglah cobaan pertama.
Aku tak ingin pergi ke acara rekreasi untuk seluruh
staf perusahaanku. Jarak antara aku dan Arga akan menimbulkan
kecurigaan. Arga tak tahu itu.
Ketika aku cuti sehari untuk menemani Papa yang masuk
rumah sakit lagi, Arga berkata, “Tadi ada telepon. Tentang acara
rekreasi kantor kamu.”
“Aku sudah bilang tidak ikut.”
65
“Kenapa?”
“Aku ingin menjaga Papa.”
“Tapi, aku sudah telanjur bilang kita ikut.”
“Apa?”
“Aku sudah lama sekali ingin ke Pulau Seribu.”
Aku terpana. Baru kali ini dia meminta sesuatu. Aku tak mampu menolak.
Di sanalah pertama kalinya dia menggandeng tanganku.
Kami juga berdansa bersama pasangan lain. Dia menciptakan kesan bahwa
kami adalah pengantin baru yang sangat mesra dan bahagia. Sungguh aktor
yang pintar!
Tapi, malam hari, di dalam kamar hotel, kami tidur di antara bantal.
***
Kututup pintu kamar rawat Papa dengan perasaan
khawatir. Khawatir hidupnya tak akan lama lagi. Khawatir akan
keinginannya memiliki cucu dariku. Aku harus hamil. Aku harus
membicarakannya dengan Arga. Tapi, apa yang harus kukatakan pada Arga?
66
Beberapa menit kemudian, Arga keluar juga dari kamar Papa.
Digandengnya tanganku menuju parkir. Kami pulang tanpa berkata sepatah kata pun selama di perjalanan.
Air mataku tumpah di kamar mandi.
Tuhan, jangan ambil Papa dulu.
Ketika aku kembali ke kamar tidur, Arga mengusap
rambutku dan memeluk kepalaku di dadanya. Yang ada di pikiranku hanyalah
keinginan untuk melemparkan bom ke muka Jogi.
Mungkin benar, bahwa kutukan itu berlaku sepanjang masa. Tak ada ibu mertua dan menantu perempuan yang akur.
“Abang kamu dulu kuliah di kedokteran, ya?” tanya ibu mertuaku.
“Ya, Inang.”
“Di mana dia sekarang?”
“Amerika, Inang.”
Aku sudah mencium bau tidak beres di sini.
“Katanya, ia menikah di sana dengan wanita asing, ya?”
67
“Ya. Maaf, kenapa tiba-tiba Inang menanyakan abang saya?”
“Kemarin kan Inang ke undangan pernikahan. Kebetulan
bertemu dengan Nyonya Sihombing. Katanya, anaknya sempat berteman
dengan abang kamu. Namanya Ida. Kenal?”
“Oh, kenal.”
“Kok, pertunangan mereka bisa putus? Kabarnya, Ida sampai dirawat di sanatorium dan sempat pula mencoba bunuh diri, ya?”
Aku sudah muak pada semua ini. Aku tak tahu jika
masa lalu Jogi akan jadi bahan cemoohan bagi rumah tanggaku. Mertuaku
yang menyebalkan dan memuakkan! Sepertinya, dia senang sekali bisa
menemukan kelemahanku. Ya, mungkin bukan jodoh,” tiba-tiba suamiku muncul.
“Kasihan banget mereka sekeluarga. Orang tuanya harus
menanggung malu dan sempat tidak berani muncul di acara adat. Undangan,
gedung, katering, dan pakaian sudah dipesan. Eh, tahu- tahu dibatalkan.
Rugi materi, waktu, tenaga, dan harga diri,” lanjut Inang.
“Keluarga kami juga sama menanggung malu seperti
keluarga mereka, Inang,” ucapku, akhirnya. “Abang saya memang tidak
bertanggung jawab.”
Inang dan putrinya saling melirik. “Kok, bisa ada anak seperti itu, ya,” gumam Inang.
“Itu, sih, tergantung didikan orang tuanya,” timpal putrinya. Dan, batas kesabaranku habis.
68
“Aku nggak suka cara mereka bicara!” kutumpahkan
kekesalanku pada Arga. “Bukan urusan mereka. Mereka tak punya hak
menghakimi keluargaku!”
Arga terdiam.
“Jika mereka bicara seperti itu lagi, aku tidak akan tinggal diam,” ancamku.
Arga terus menyetir mobil dengan diam.
Arga mungkin tak peduli. Itu mengingatkanku bahwa kami menikah bukan atas dasar keinginan. Hatiku teriris. Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Suatu malam, Arga terlihat tidak bisa tidur, sepertiku.
“Papa bilang apa tadi?” tanyaku.
“Hanya bilang supaya kita hidup rukun.”
“Masa?”
“Katanya, Amang sudah mengatakannya padamu.” Amang, panggilan untuk papak mertua.
“Bilang apa?”
“Supaya segera punya anak.”
69
Aku kehabisan kata-kata.
“Aku ngantuk.”
Entah siapa yang berbahagia atas pernikahan kami.
Mungkin Mama, Papa, atau bapak mertuaku. Yang jelas, bukan aku, suamiku,
atau ibu mertuaku.
“Kenalkan,” ujar Inang, ketika kami pulang dari
gereja. Seorang gadis bergaun hijau memakai perhiasan lengkap di seluruh
tubuhnya.
“Tuti.”
“Rara.”
“Ini mantan pacarnya Arga,” ujar adik iparku.
“Kok, putus? Padahal, kalian terlihat serasi, lho,” kataku, cepat.
“Itulah bodohnya Arga,” tangkap Inang. Sialan!
Tuti pun pergi dengan mobil mewahnya, sedangkan aku menahan jengkel dalam mobil Arga.
“Sepertinya Tuti kaya ya, Bang. Kok, kalian putus?”
70
Kami tidak pernah berpacaran. Mama yang menjodohkan.”
“Tak heran Inang suka padanya.”
Di luar dugaan, Arga tertawa.
“Kalau bukan karena Jogi, sekarang ini aku tak akan
tinggal di rumah kontrakan. Aku bisa beli rumah. Bisa punya mobil mewah.
Inang pasti suka padaku.”
“Jahat sekali Jogi, menghabiskan harta kekayaan keluarga kalian, ya,” kata Arga.
“Itu bukan karena salah didikan orang tua, lho,” tukasku.
“Aku percaya,” sahutnya. “Kamu tidak perlu memusingkan sikap Mama dan adikku. Kalau mereka macam-macam, biar aku yang hadapi.”
Aku terdiam. Akhir-akhir ini, aku merasa dia lebih perhatian padaku. Ah, mungkin bukan perhatian, hanya kasihan.
“Boleh?”
“Kenapa tidak?”
“Siapa yang gantian menjaga Papa di rumah sakit?”
71
“Aku. Siapa lagi?”
“Kenapa Abang mau?”
“Aku kan suamimu.”
“Terima kasih ya, Bang,” kututup telepon.
Aku meminta izinnya untuk perjalanan dinas ke Jepang.
Cuma tiga hari. Dia memeluk dan mencium pipi serta dahiku di bandara.
Aku tak habis pikir, mengapa dia melakukannya. Sepertinya, bukan akting.
Tulus. Tidak. Tidak mungkin dia kehilangan aku. Tak mungkin dia
menyayangiku. Tak mungkin.
Aku tak merasa kehilangan dia. Saat ini, yang ada di pikiranku hanya Taka!
“Kamu bahagia?” tanyanya.
“Kelihatannya bagaimana?”
“Kelihatannya begitu.”
Salah. Aku bahagia karena bertemu dengannya!
“Kamu bagaimana?”
72
“Tidak bahagia sama sekali,” ujarnya, sambil tersenyum tipis. “Mama sudah meninggal.”
Aku terkejut.
“Aku turut bersedih.”
“Aku sangat menyesal.”
“Menyesal?”
“Karena, dia meninggal sebelum aku memenuhi harapannya. Menikah dan memiliki anak.”
Aku terkesima. Itu sangat menyiksaku sampai sekarang.”
Matanya berkabut. “Aku merasa tak berguna. Tak berarti.”
Wajahnya mendung.
“Seandainya waktu bisa diputar kembali, apa saja akan kulakukan demi Mama. Tapi, sekarang sudah terlambat.”
Aku belum terlambat.
Aku tidak mau seperti Taka
73
Aku pulang ke Jakarta dengan tekad baru. Papa harus punya cucu.
Di bandara, kutelepon Arga. Handphone-nya
tidak aktif. Telepon rumah tidak ada yang mengangkat. Aku segera
mencari taksi. Di taksi kucoba menghubungi Arga di kantor. Ternyata, dia
sedang cuti.
Kucoba menelepon rumah Papa. Nadanya sibuk.
Kutelepon ke rumah sakit. Katanya, Papa sudah pulang.
“Pak, ke Menteng saja, ya,” ujarku, kepada sopir taksi.
Aku merasa ada yang tidak beres.
Aku tiba di rumah orang tuaku. Sepi.
Aku segera menuju kamar Papa. Ada Mama dan Arga di sana.
Mereka sedang menggenggam tangan Papa sambil berurai air mata. Papa!” seruku.
Mama makin terisak-isak.
“Papa!” jeritku, sambil menghambur.
74
Terlambat. Dia sudah pergi.
Terlambat. Aku sangat menyesal!
Aku sangat membenci diriku sendiri. Aku memang anak
tak tahu diuntung. Durhaka. Aku tak pantas hidup. Aku tak berguna. Aku
tak berarti.
Selautan air mata takkan mampu mengembalikan hidup Papa.
Aku tak lebih baik daripada Jogi. Aku lebih buruk, lebih parah.
Papa, maafkan aku….
Ampunilah aku….
Di sebuah layar komputer.
Dear Taka,
Setahun sejak kepergian Papa, akhirnya Mama menimang cucu.
Aku tahu dia bahagia. Kuharap Papa juga bahagia di alam sana.
Dan, aku telah belajar satu hal. Perjodohan itu ternyata tidak selalu berakhir sedih seperti Siti Nurbaya.
Seperti harapanmu, sekarang aku bahagia, bersama anak dan suami. Dan, suamiku sungguh mencintaiku.
75
Salam,
Rara
TAMAT
76